Implementasi Putusan Mahkamah Agung NO 179 SIP 1961 Tentang Pembagian Harta Warisan Pada Anak Perempuan Menurut Hukum Adat Batak Karo

BAB II
TINJUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS ADAT
A. Pengertian Umum tentang waris Adat
Hukum Adat merupakan terjemahan dari istilah Belanda yaitu Adat-Recht
dikemukakan oleh Snocuk Hurgronje dalam bukunya yaitu De Atjehers dan
dipakai pula oleh Van Vollenhoven yang menuis buku atau pokok tentang hukum
adat dalam 3 jiid yaitu”Het-Adar-Recht van Nederlandsch Indie”(Hukum Adat
Hindia Belanda).27
Hukum Waris Adat mengatur proses penerusan dan peralihan harta, baik
yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari pewaris pada waktu masih
hidup dan atau setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dari dua pendapat
di atas juga terdapat suatu kesamaan bahwa, hukum waris adat yang mengatur
penerusan dan pengoperan harta waris dari suatu generasi keturunannya. Hal ini
menunjukkan dalam hukum adat untuk terjadinya pewarisan haruslah memenuhi 4
unsur pokok, yaitu :
(1) Adanya Pewaris;
(2) Adanya Harta Waris;
(3) Adanya ahli Waris; dan

27


Iman Hidayat, Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar,Yogyakarta,Liberty,1998, hal 1

Universitas Sumatera Utara

(4) Penerusan dan Pengoperan harta waris.
Hukum waris adat Istilah waris di dalam kelengkapan istilah hukum waris
adat diambil alih dari bahasa Arab yang telah menjadi bahasa Indonesia. Hukum
waris adat tidak sematamata hanya akan menguraikan tentang waris dalam
hubungannya dengan ahli waris, tetapi lebih luas dari itu. 28
Hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan
tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan itu dialihkan
penguasaan dan pemilikkannya dari pewaris kepada ahli waris. Hukum waris adat
sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada
keturunannya. 29
Istilah Hukum Adat dalam Perundang-undangan yaitu :
1. Dalam Algemene Bepalingen Van Wetgeving=”Ketentuan-ketentuan
dalam Perundang-undangan”, Memakai pasal 11 dengan istilah
”Godsdienstige Wetten, Volksinstellingen En Gebruiken”(Peraraturanperaturan Keagamaan, Lembaga –lembaga Rakyat dan Kebiasaankebiasaan). 30
2. Dalam R.R 1854 pasal 75 ayat 3 yaitu Peraturan-peraturan Keagamaan
,Lembaga-lembaga dan Kebiasaan-kebiasaan.


28

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat,Bandung;Citra Aditya Bakti,2003, hal 7
Ibid, hal 8
30
Ibid, hal 9
29

Universitas Sumatera Utara

3. Dalam Indische Staatsregeling yaitu Peraturan Hukum Negara Belanda
seperti Undang-undang Dasar bagi Hindia –Belanda pasal 128 ayat 4 yaitu
“Instellingen Des Volks”(lembaga-lembaga dari rakyat).
4. Dalam Indische Staatsregeling pasal 131 ayat 2,sub B yaitu “Met Hunne
Godsdiensten en Gewoonten Samenhangende Recht Regelen” yaitu
Aturan Aturan hukum yang berhubungan dengan Agama dan Kebiasaankebiasaan Mereka.
5. Dalam R.R 1854 pasal 78 ayat 2 yaitu Godsdienstige Wetten en Oude
Herkomsten” yaitu PeraturanKeagamaan dan Naluri- naluri).
6. S.1929 Nomor 221jo.nomor 487: “Adat Recht’’.

Berikut beberapa pengertian hukum waris adat menurut para ahli :
Menurut Van Den Berg hukum adat adalah orang yang mengemukakan
sebuah teori sehingga megakibatkan kekeliruan dalam pengertian, dalam praktek
dan dalam perundang-undangan pada bagian kedua abad yang lampau ,bahkan
pada permulaan abad ini dengan teori nya bernamaReceptio in complexu. Menurut
teori ini istilah adat istiadat dan hukum suatu golongan masyarakat adalah
resepsi. 31
Tetapi pendapat dari van den berg ditentang keras oleh Snouck Hurgronje
dan van Vollenhoven. Menurut Snouck Hurgronje tidak semua bagian hukum
agama diterima diresepsi, dalam hukum adat, hanya beberapa bagian saja yang
dipengaruhi oleh hukum islam.

31

Bushar Muhammad, Asas-asas Hukum Adat,Jakarta:Pradya Pramita,1986 hal 4

Universitas Sumatera Utara

Bagian yang dipengaruhi oleh hukum islam yaitu :
a. Hukum keluarga

b. Hukum waris
c. Hukum perkawinan
Hukum perkawinan yang terdiri dari agama yaitu innerlijke belevenis yaitu
suatu kepercayaan dan kehidupan batiniah dengan ketentuan yang mempunyai
sifat yang mutlak.
Tetapi pendapat Snouck Hurgronje dibantah oleh Ter Haar, menurut
pendapat Ter Haar hukum waris tidak dipengaruhi oleh islam, tetapi tetap asli,
sebagai contoh pada Masyarakat Minangkabau hukum waris tetap asli yaitu suatu
himpunan norma-norma yang cocok dengan susunan dan struktur masyarakat dan
alam minagkabau. Dengan kata lain hukum adat masih mempunyai unsur-unsur
keagamaan,walaupun pengaruh agama tidak begitu besar dan hanya dibeberapa
daerah saja. 32
Tetapi sangat sulit untuk memberikan definisi tentang hukum waris adat
karena hanya mengemukakan beberapa kata,keseluruhan pengertian , sifat dan
hakikat yang dimaksud.
Hukum waris adat adalah hukum yang memuat garis-garis ketentuan
tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan
waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan oleh pemiliknya dari

32


Ibid, hal 6

Universitas Sumatera Utara

pewaris kepada ahli waris. Hukum ini sesungguhnya adalah hukum penerusan
serta mengoperkan harta kekayaan dari sesuatu generasi kepada keturunannya. 33
Dengan demikian, hukum waris itu memuat ketentuan-ketentuan yang
mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak
berwujud) dari pewaris kepada para ahli warisnya.
Menurut Wirjono : “Pengertian warisan ialah, bahwa warisan itu adalah
soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban
tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada
orang lain yang masih hidup. 34
Jadi warisan menurut Wirjono adalah cara penyelesaian hubungan hukum
dalam masyarakat yang melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai akibat dari
wafatnya seorang manusia, di mana manusia yang wafat itu meninggalkan harta
kekayaan,Istilah warisan diartikan sebagai cara penyelesaian bukan diartikan
bendanya. Kemudian cara penyelesaian itu sebagai akibat dari kematian
seseorang.

Menurut Iman Sudiyat : Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan
keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerus / pengoperan
dan peralihan /perpindahan harta kekayaan materiil dan immateriil dari generasi
ke generasi.

33
34

Soerojo Wignojadipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukun Adat,Jakarta,1988, hal 161
Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia,Jakarta, 2012 hal 259

Universitas Sumatera Utara

Hal yang penting dalam masalah warisan ini adalah bahwa pengertian
warisan itu memperlihatkan adanya tiga unsur yang masing-masing merupakan
unsur yang esensial (mutlak), yakni:
1.

Seorang peninggal warisan yang pada saat wafatnya meninggalkan harta
kekayaan.


2.

Seorang atau beberapa orang ahli waris yang berhak menerima kekayaan
yang ditinggalkan ini.

3.

Harta warisan atau harta peninggalan, yaitu kekayaan “in concreto” yang
ditinggalkan dan sekali beralih kepada para ahli waris itu.
Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang

khas Indonesia, yang berbeda dari hukum Islam maupun hukum barat. Sebab
perbedaannya terletak dari latar belakang alam pikiran bangsa Indonesia yang
berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang Bhineka Tunggal Ika. Latar
belakang itu pada dasarnya adalah kehidupan bersama yang bersifat tolong
menolong guna mewujudkan kerukunan, keselarasan dan kedamaian di dalam
hidup.
1. Hukum Waris Berdasarkan Adat
Istilah waris di dalam kelengkapan istilah hukum waris adat diambil alih

dari bahasa Arab yang telah menjadi bahasa Indonesia. Hukum waris adat tidak
sematamata hanya akan menguraikan tentang waris dalam hubungannya dengan
ahli waris, tetapi lebih luas dari itu.

Universitas Sumatera Utara

Hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan
tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan itu dialihkan
penguasaan dan pemilikkannya dari pewaris kepada ahli waris. Hukum waris adat
sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada
keturunannya.
2. Hukum waris menurut KHI
Berdasarkan ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) buku II tentang
hukum kewarisan Pasal 171 butir a, yang dimaksud dengan:“Hukum kewarisan
adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli
waris dan berapa bagiannya masing-masing.”.
Maka hukum waris menurut KHI mencakup ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Ketentuan yang mengatur siapa pewaris
2. Ketentuan yang mengatur siapa ahli waris

3. Ketentuan yang mengatur tentang harta peninggalan
4. Ketentuan yang mengatur tentang akibat peralihan harta peninggalan dari
pewaris kepada ahli waris.

Universitas Sumatera Utara

3. Hukum waris menurut KUHPerdata
Dalam KUHPerdata hukum waris diatur pada buku II, jumlah Pasal yang
mengatur hukum waris sebanyak 300 pasal, yang dimulai dari Pasal 830
KUHPerdata sampai dengan Pasal 1130 KUHPerdata.
Dalam KUHPerdata tidak ditemukan pengertian hukum waris, tetapi yang
ada hanya konsep-konsep tentang pewarisan, orang yang berhak dan tidak berhak
menerima warisan 35. Jadi jelaslah bahwa kematian seseorang tersebut merupakan
syarat utama dari terjadinya pewarisan dalam KUHPerdata.
Dengan meninggalnya seseorang tersebut maka seluruh harta kekayaannya
beralih kepada ahli waris. Pada asasnya dalam konsep KUHPerdata, yang dapat
diwariskan hanya hak-hak dan kewajiban di bidang hukum kekayaan saja.
Terjadinya pewarisan (warisan terbuka) dapat dilihat dari Pasal 830 BW yang
menyatakan bahwa pewarisan hanya terjadi karena kematian. 36.
B. PERKEMBANGAN HUKUM WARIS ADAT

Hukum Waris Adat menurut Ter Haar(1960) adalah aturan-aturan hukum
yang berkaitan dengan penerusan dan peralihan harta warisan baik yang berwujud
ataupun tidak berwujud.
Menurut Soepomo(1986) Hukum Waris Adat yaitu memuat peraturan
yang mengatur proses melanjutkan harta benda baik yang berwujud atau tidak
berwujud.

35
36

Salim , Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW),Jakarta : Sinar Grafika, 2014. hal. 137
Henny Tanuwidjaja, Hukum Waris menurut BW,Bandung : Refika Aditama, 2012. hal 2

Universitas Sumatera Utara

Perkembangan hukum waris Adat yaitu muncul pada harta bersama
dan hak mewariskan kepada anak perempuan yang didapat pada masyarakat
pariental, dan kedudukan ahli waris sebelum indonesia merdeka yaitu mereka
yang memiliki hubungan darah dengan pewaris


37

. Dengan adannya pendapat

bahwa yang tidak mempunyai hubungan ahli waris bukan merupakan ahli
warisnya. Setelah keluarnya putusan Mahkamah Agung pada tanggal 23 Oktober
1957 No 130/SIP/1957 , Mahmakamah Agung menetapkan bahwa janda dari
pewaris beserta anak-anaknya berhak atas warisan ayahnya. 38 Dan pada
perkembangan zaman janda semakin diakui sebagai ahli waris dengan Putusan
Mahmakamah Agung No 387 K/SIP/1958 yang berisi bahwa juga memiliki hak
waris yang hanya separuh harta gono-gini suaminya.
Didalam Hukum Waris Adat yaitu hukum yang lahir dan berkembang
didalam masyarakat dan mempunyai bentuk dan sifat yang tidak tertulis dan
sesuai dengan perkembangan zaman status kewarisan hukum adat juga mengalami
perkembangan dan perubahan pada bentuk pelaksaanannya terdapat beberapa
faktor perkembangan nya yaitu dengan adanya pengaruh ajaran agama dan juga
pengaruh putusan Mahkamah Konstitusi mengenai perkara waris adat yang terjadi
dibeberapa daerah di Indonesia dengan pokok permasalahan yang sama akan
tetapi mempunyai putusan yang berbeda-beda.

37
38

Subekti,Trusto.Hukum Waris Adat edisi Ke Dua,Jakarta:2013, hal 15
Ibid,hal 19

Universitas Sumatera Utara

1. Perkembangan Hukum Waris Adat Dengan Adanya Putusan Mahkamah Agung
a. Ahli Waris
Ahli Waris adalah mereka yang memeliki hubungan darah dengan Ahli
waris atau mempunyai satu keturunan baik untuk anak laki-laki akan tetapi pada
masayarakat karo pembagian warisan hanya diberikan kepada anak laki-laki saja
dan dengan keluarnya Putusan Mahkamah Agung No 179/SIP/1961 menetapkan
bahwa bahwa anak perempuan dan anak lelaki dari seorang peninggal warisan
bersama-sama berhak atas harta warisan dalam arti, bahwa bagian anak lelaki
sama dengan bagian anak perempuan.
Yang dimaksud dengan ahli waris sebelum kemerdekaan adalah mereka
yang memiliki hubungan darah dengan pewaris. Dengan demikian pengertian ahli
waris selalu dikaitkan dengan hubungan darah. Akibatnya janda bukan menjadi
ahli waris karena tidak mempunyai hubungan darah dengan suaminya. Tetapi MA
dengan keputusannya 23 Oktober 1957 No.130 K/Sip/1957 menetapkan bahwa
janda dari pewaris dengan anak-anak bersama-sama berhak atas harta warisan
almarhum suaminya. Meskipun MA belum menggunakan istilah “ahli waris” bagi
seorang janda namun di sini terlihat perkembangan dalam hukum waris adat
khususnya tentang kedudukan seorang janda.
Menurut putusan ke III dari Raad Yustisi Jakarta dahulu, tanggal 17 Mei
1940 bahwa barang pusaka jatuh kepada silsilah ke bawah. Apabila peninggal

Universitas Sumatera Utara

harta tidak punya anak maka harta kembali ke tangan silsilah famili, dengan kata
lain istri tidak dapat atau tidak berhak atas warisan tersebut.39
Kemudian pada tahun 1958 MA menetapkan bahwa janda memiliki hak
mewarisi separuh harta gono-gini dengan keputusannya tanggal 25 Februari 1958
No. 387 K/Sip/1958. Kemudian status janda sebagai ahli waris dari almarhum
suaminya ditetapkan MA pada tahun 1960. Keputusan MA tersebut menunjukkan
perkembangan menguatnya kedudukan janda dalam keluarga.
Daerah Yogyakarta.
Di daerah Yogyakarta seorang janda juga mengalami perkembangan dan
mewarisi harta dari suaminya. Bahkan para istri mempunyai kedudukan yang
sederajat dengan anaknya ketika suaminya meninggal. Bahkan sekarang banyak
orang mengasuransikan jiwanya jika yang menjadi tertanggung adalah suami, di
dalam polis yang di tunjuk sebagai orang yang akan memperoleh keuntungan
adalah ahli warisnya yang tidak lain adalah anak dan istrinya. . Dan jika harta
warisan tersebut berupa uang simpanan uang (deposito) di Bank yang hanya boleh
di bayarkan kepada ahli waris, sehingga istri berhak menerima uang tersebut.
Daerah Negara (Bali)
Menurut hukum Adat Bali yang berhak mewaris hanyalah keturunan pria
dan pihak keluarga pria dan anak angkat lelaki. Hal ini berdasarkan Putusan
Mahkamah Agung : _ol. 3 –12-1958 No. 200 K/Sip/1958..

39

Ibid, hal 20

Universitas Sumatera Utara

b. Kedudukan janda/duda (balu) terhadap suami/istri.
Sesungguhnya kedudukan balu sebagai waris atau bukan waris
dipengaruhi oleh sistem kekerabatan dari masyarakat yang bersangkutan dan
bentuk perkawinan yang berlaku diantara mereka. Ada balu setelah teman
hidupnya wafat namun belum bebas menentukan sikap tindaknya oleh karena itu
ia harus masih menetap di tempat kerabat suami atau istri. Dan ada yang dapat
kembali ke kerabat asalnya dan atau bebas menentukan pilihannya untuk menikah
lagi atau tidak. 40
Daerah Bojonegoro
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung : _ol. 24-1-1960 No. 302
K/Sip/1960 menyatakan dengan alasan bahwa seorang janda perempuan
merupakan ahli waris terhadap barang asal dari suaminya dalam arti bahwa
sekurang-kurangnya dari barang-barang asal itu sebagian harus tetap di tangan
janda sepanjang perlu untuk hidup secara pantas sampai ia meninggal atau kawin
lagi, sedang di beberapa daerah Indonesia di samping ketentuan ini mungkin
dalam hal barang-barang warisan amat banyak harganya, janda berhak atas bagian
warisan seperti seorang anak kandung.
Daerah Blitar
Seorang janda

bila

ia

memerlukan

untuk

penghidupannya

dapat menguasaibarang-barang tinggalan mendiang suaminya selama hidup dan
tidak kawin lagi. Hal ini berdasarkan Putusan Mahkamah Agung : _ol. 19-101960 No. 307 K/Sip/1960.

40

Ibid, hal 25

Universitas Sumatera Utara

Daerah Tulung agung.
Dalam hal seseorang

meninggal

dengan

meninggalkan

seorang

janda dengan 5 orang anak, yang menjadi akhli warisnya adalah janda dan kelima
orang anak itu dengan masing-masing berhak atas bagian yang sama dari harta
warisan. Hal ini berdasarkan Putusan Mahkamah Agung : _ol. 22-6-1961 No. 140
K/Sip/1961.
b. Hukum WARIS yang berlaku menurut putusan Mahkamah Agung
Yaitu terdapat didaerah kabanjahe bahwa Hukum adat yang berlaku atau
diperlakukan pembagian waris adat sewaktu ahli waris meninggal dan yang
meneruskan warisannya sebagai ahli waris yaitu anak Laki-laki an Anak
Perempuan mendapat warisan yang sama dari orang tuanya.
Daerah Yogyakarta
Di daerah Yogyakarta seorang janda juga mengalami perkembangan dan
mewarisi harta dari suaminya. Bahkan para istri mempunyai kedudukan yang
sederajat dengan anaknya ketika suaminya meninggal. Bahkan sekarang banyak
orang mengasuransikan jiwanya jika yang menjadi tertanggung adalah suami, di
dalam polis yang di tunjuk sebagai orang yang akan memperoleh keuntungan
adalah ahli warisnya yang tidak lain adalah anak dan istrinya. . Dan jika harta
warisan tersebut berupa uang simpanan uang (deposito) di Bank yang hanya boleh
di bayarkan kepada ahli waris, sehingga istri berhak menerima uang tersebut.
Daerah Makassar.

Universitas Sumatera Utara

Mahkamah Agung menganggap sebagai hal yang nyata di seluruh
Indonesia bahwa dalam hal warisan pada hakikatnya berlaku Hukum Adat, yang
di daerah dengan pengaruh agama Islam yang kuat sedikit banyak mengandung
unsur-unsur hukum Islam.
Daerah Jakarta
Karena tidak terbukti bahwa dalam hal warisan disini (daerah Jakarta)
hukum Islam telah diterima dalam hukum Adat, dalam hal ini harus diperlakukan
hukum Adat.
Daerah Kabanjahe
Hukum Adat yang harus diperlakukan adalah hukum Adat yang
berlaku padasaat dilakukan pembagian warisan jadi hukum Adat yang berlaku
pada dewasa ini, bukannya hukum Adat yang berlaku sewaktu meninggalnya
orang yang meninggalkan warisan. (Putusan Mahkamah Agung : _ol. 24-2-1971
No. 782 K/Sip/1970).
C. Pengaruh Hukum Islam dalam Hukum kewarisan Adat
Perkembangan hukum adat terjadi, salah satunya disebabkan adanya
hukum atau peraturan-peraturan agama. Pada awal masuknya Islam ke Indonesia,
nilai-nilai hukum agama Islam dihadapkan dengan nilai-nilai hukum adat yang
berlaku, yang dipelihara dan ditaati sebagai sistem hukum yang mengatur
masyarakat tersebut.
Sebagai contoh, hukum kewarisan sudah ada dalam hukum adat sebelum Islam
memperkenalkannya. Sehingga pada akhirnya, proses penerimaan hukum

Universitas Sumatera Utara

kewarisan Islam sebagai sistem hukum berjalan bersama dengan sistem hukum
kewarisan adat.
Di satu pihak hukum kewarisan Islam menggantikan posisi hukum
kewarisan adat yang tidak islamiyah dan di pihak lain hukum kewarisan adat yang
tidak bertentangan dengan hukum kewarisan Islam mengisi kekosongan hukum
kewarisan sesuai budaya hukum yang berlaku d lingkungan adat masyarakat.Dan
lambat laun, hukum kewarisan adat dalam hal tertentu digeser posisinya oleh
hukum kewarisan Islam . dengan demikian, hukum kewarisan Islam menjadi
hukum kewarisan adat dan dalam lain hal yang tidak diatur oleh hukum kewarisan
Islam atau tidak bertentangan dengan hukum kewarisan Islam, maka hukum
kewarisan adat itu tetap berlaku.
Adapun persesuaian dan perbedaan antara hukum kewarisan Islam dengan
hukum kewarisan adat dalam pelaksanaannya di luar dan di dalam Pengadilan
Agama dapat dilihat dari tinjauan terhadap Kabupaten Donggala. Dalam
kabupaten Donggala terdapat persesuaian antara hukum kewarisan adat dan
hukum kewarisan Islam dalam beberapa asas hukum mengenai pewaris ahli
waris, harta warisan, pengalihan harta, dan bagian masing-masing ahli waris.
Hal tersebut dapat diklasifikasi sebagai berikut. 41
1.

Kedudukan orang tua

2.

Kedudukan orang tua, baik ayah maupun ibu dalam pelaksanaan hukum
kewarisan Islam dan hukum kewarisan adatdalam lingkungan adat
masyarakat muslim yang mendiami kabupaten Donggala disebut pewaris

41

Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008). Hal. 223

Universitas Sumatera Utara

bila mereka (ayah dan ibu atau keduanya) meninggal dunia, dan
meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada kepada anaknya yang
masih hidup. Penentuan anak sebagai ahli waris didasari oleh hubungan
kekerabatan.
3.

Kedudukan Anak
Kedudukan anak baik laki-laki maupun perempuan di dalam pelaksanaan

pembagian harta warisan merupakan ahli waris kelompok utama. Sengketa yang
terjadi disebabkan harta warisan dikuasai oleh saudara dan keponakan atau
putusan pengadilan negeri dan pengadilan agama di kabupaten Donggala,
menetapkan bahwa anak sebagai ahli waris dari orang tuanya.
4.

Kedudukan harta asal
Mengenai kedudukan harta asal nila pewaris meninggal dunia tanpa anak,

melainkan meninggalkan ahli waris yang terdiri dari orang tua (ayah ibu) dan
suami atau istri. Dalam hal harta warisan menjadi sengketa
5.

Kedudukan pengalihan harta melalui wasiat
Mengenai kedudukan pengalihan harta melalui wasiat pewaris kepada

salah seorang atau beberapa orang ahli waris yang tertentu. Dalam hal harta
warisan menjadi sengketa, karena dikuasai oleh salah seorang atau beberapa orang
ahli waris, maka penyelesaian kasus demikian dilakukan dengan cara hakim
melihat silsilah pewaris, bukti-bukti surat wasiat mengenai persetujuan ahli waris
lainnya. Apabila terdapat ahli waris yang tidak menyetujuinya dan menggugat ke
pengadilan untuk mendapatkan harta warisannya, maka hakim membatalkan
wasiat dan menetapkan pembagian hak warisan kepada seluruh ahli waris.

Universitas Sumatera Utara

Putusan pembatalan wasiat yang demikian, diuraikan bahwa wasiat yang
dilakukan oleh seseorang kepada ahli waris tertentu tanpa persetujuan ahli waris
lainnya dibatalkan oleh hakim.
6.

Kedudukan hak ahli waris
Dari data yang diteliti melalui pengadilan negeri dan pengadilan adama di

kabupaten Donggala ditemukan kedudukan hak ahli waris dalam pembagian harta
warisan yang dilakukan oleh ahli waris melalui musyawarah di antara merekam
kemudian disahkan oleh hakim dalam bentuk putusan Akta Perdamaian. Putusan
yang demikian mempunyai persesuaian ganda, yakni di satu pihak hak waris
seorang laki-laki sama dengan hak warisan dua orang perempuan dan di pihak lain
hak warisan seorang laki-laki sama dengan hak warisan seorang perempuan.
Persesuaian di atas juga diiringi adanya perbedaan dalam beberapa asas hukum
mengenai penentuan harta warisan, pembagian harta warisan, kelompok
keutamaan ahli waris, pengalihan harta warisan, dan pembagian harta warisan.
Perbedaan asas hukum tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut.42
a. Penentuan harta warisan
Dalam penentuan harta warisan dalam hukum kewarisan adat masyarakat
Donggala terdapat beberapa harta peninggalan yang tidak dibagikan kepada ahli
waris. Harta peninggalan itu disebut mbara-mbara nimana, misalnya kavari,
geno, lola, dan alat-alat pesta adat lainnya. Dapat juga berupa rumah. Harta
warisan tersebut tidak dibagikan kepada ahli waris, tetapi diwakafkan kepada
yayasan yang mengurusi anak yatim.

42

Ibid, hal 10

Universitas Sumatera Utara

b. Pembagian harta warisan
Dalam pembagian harta warisan dalam hukum kewarisan adat masyarakat
Donggala terdapat beberapa harta peninggalan pewaris yang beralih kepada ahli
waris lainnya dalam bentuk pembagian hasil kebun dan pembagian pengolahan
sawah secara bergilir kepada setiap ahli waris.
c. Kedudukan kelompok keutamaan ahli waris
Dalam hukum kewarisan adat masyarakat Donggala belum ditemukan
kasus mengenai ayah atau ibu yang mendapat harta warisan bila pewaris
meninggalkan anak, sedangkan dalam hukum kewarisan Islam dalam kasus yang
sama, anak menjadi ahli waris bersama dengan ibu dan/atau ayah pewaris.
d. Penentuan hak warisan
Pelaksanaan hukum kewarisan Islam dalam hukum kewarisan adat
masyarakat Donggala mengenai porsi pembagian ½, ¼, 1/8, 1/3, 1/6, dan 2/3 harta
warisan bagi setiap ahli waris berdasarkan perioritas dekat dan jauhnya hubungan
kekerabatan dengan pewaris, namun dalam kasus penambahan hak waris (raad)
dan pengurangan hak waris (awl) belum dikenal dalam pelaksanaan hukum adat
kewarisan masyarakat muslim kabupaten Donggala.
Perkembangan kewarisan waris adat terjadi karena adanya pengaruh
peraturan-peraturan agama dan pada awal masuknya agama islam ke Indonesia,
dan nilai-nilai hukum agama islam dihadapkan pada hukum adat yang sudah
berlaku Indonesia sehingga proses penerimaan kewarisan Islam berjalan bersama
dengan kewarisan Adat itu sendiri.

Universitas Sumatera Utara

Akan tetapi disatu Pihak Kewarisan Islam menggantikan posisi
kewarisan Adat yang masih mempunyai sifat yang tidak islamiyah dan pihak lain
hukum kewarisan adat yang tidak hanya bertentanggan pada hukum kewarisan
Islam mengisi kekosongan hukum kewarisan sesuai dengan sistem kewarisan di
dalam ligkungan masyarakatnya 43.
D. Sifat Waris Adat
Dalam Harta warisan menurut Hukum Waris Adat tidak merupakan
kesatuan yang dapat dinilai harganya, akan tetapi merupakan suatu kesatuan yang
tidak dapat dibagi-bagikan penguasaannya atau pun dapat dibagikan menurut jenis
macamnya dan kepentingan para warisannya. Harta warisan adat tidak boleh
dijual sebagai suatu kesatuan dan uang penjualan dibagi-bagikan kepada para
waris menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagaimana dalam Hukum
Waris Islam atau Hukum Waris Barat.44
Adapun sifat Hukum Waris Adat secara global dapat diperbandingkan dengan
sifat atau prinsip hukum waris yang berlaku di Indonesia, di antaranya adalah :
a.

Harta warisan dalam sistem Hukum Adat tidak merupakan kesatuan yang
dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi
atau dapat terbagi tetapi menurut jenis macamnya dan kepentingan para ahli
waris; sedangkan menurut sistem hukum barat dan hukum Islam harta
warisan dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai dengan uang.

43
44

Ibid, hal 15
Hilman HadiKusuma, Hukum Waris Adat,Bandung,Mandar Maju,1992 Hal 7

Universitas Sumatera Utara

b. Dalam Hukum Waris Adat tidak mengenal asas legitieme portie atau bagian
mutlak, sebagaimana diatur dalam hukum waris barat dan hukum waris Islam.
c.

Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk
sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan segera dibagikan.

Harta warisan Adat dapat dikategorikan menjadi dua golongan yaitu :
a. Harta warisan yang tidak dapat dibagi-bagi
Harta Warisan yang tidak

dapat dibagi-bagi yaitu Penguasaan dan

pemilikannya kepada ahli waris, ia tidak boleh dimiliki secara perorangan, tetapi
juga dapat dipakai dan dinikamati , akan tetapi sangat bertengang dengan pasal
1066 KUHPerdata ang berbunyi :“Tidak seorang pun mempunyai bagian dalam
harta peninggalan dalam keadaan terbagi-bagi” dan juga dapat digadai apabila
dalam keadaan sangat mendesak berdasarkan persetujuan para ketua adat dan
pada anggota kerabat yang bersangkutan.
b. Harta Warisan yang dapat dibagi-bagi
Harta Warisan yang dapat dibagi-bagi yaitu

apabila dapat diwariskan

kepada orang lain harus dimintakan pendapat para pihak.Bahkan tidak melanggar
hak ketetanggaan(naatingrecht).
Hukum Waris Adat juga tidak mengenal adanya hak bagi waris sewaktuwaktu “Legitieme portie” atau bagian mutlak yang terdapat pada hukum waris

Universitas Sumatera Utara

barat dimana para waris telah ditentukan hak warisnya atas bagian-bagiannya
yang diatur dalam pasal 913 KUH Perdata.45
Adapun sifat Hukum Waris Adat secara global dapat diperbandingkan
dengan sifat atau prinsip hukum waris yang berlaku di Indonesia, di antaranya
adalah :
1. Harta warisan dalam sistem Hukum Adat tidak merupakan kesatuan yang dapat
dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi atau dapat
terbagi tetapi menurut jenis macamnya dan kepentingan para ahli waris;
sedangkan menurut sistem hukum barat dan hukum Islam harta warisan
dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai dengan uang.
2. Dalam Hukum Waris Adat tidak mengenal asas legitieme portie atau bagian
mutlak, sebagaimana diatur dalam hukum waris barat dan hukum waris Islam.
3. Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktuwaktu menuntut agar harta warisan segera dibagikan.
Didalam hukum waris adat dikenal beberapa prinsip (azas umum) ,
diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Jika pewarisan tidak dapat dilaksanakan secara menurun, maka warisan ini
dilakukan secara keatas atau kesamping. Artinya yang menjadi ahli waris ialah
pertama-tama anak laki atau perempuan dan keturunan mereka. Kalau tidak
ada anak atau keturunan secara menurun, maka warisan itu jatuh pada ayah,
nenek dan seterusnya keatas. Kalau ini juga tidak ada yang mewarisi adalah
45

Ibid, hal 20

Universitas Sumatera Utara

saudara-saudara sipeninggal harta dan keturunan mereka yaitu keluarga
sedarah menurut garis kesamping, dengan pengertian bahwa keluarga yang
terdekat mengecualikan keluarga yang jauh.
2. Menurut hukum adat tidaklah selalu harta peninggalan seseorang itu langsung
dibagi diantara para ahli waris adalah sipewaris meninggal dunia, tetapi
merupakan satu kesatuan yang pembagiannya ditangguhkan dan adakalanya
tidak dibagi sebab harta tersebut tidak tetap merukan satu kesatuan yang tidak
dapat dibagi untuk selamanya.
3. Hukum adat mengenal prinsip penggantian tempat (Plaats Vervulling).
Artinya seorang anak sebagai ahli waris dan ayahnya, maka tempat dari anak
itu digantikan oleh anak-anak dari yang meninggal dunia tadi (cucu dari
sipeninggal harta). Dan bagaimana dari cucu ini adalah sama dengan yang akan
diperoleh ayahnya sebagai bagian warisan yang diterimanya.
4. Dikenal adanya lembaga pengangkatan anak (adopsi), dimana hak dan
kedudukan juga bisa seperti anak sendiri (Kandung ). Sifat kewarisan adat
terbagi atas tiga corak yaitu :
a. Sistem Patrilinial
Sistem Patrilinial yaitu suatu sistem yang garis keturunannya ditarik
berdasarkan ayahnya, dimana kedudukan ayahnya lebih menonjol dan
pengaruhnya dari pada kedudukan wanita dalam pewarisan. Daerah yang
dipengaruhi Sistem ini yaitu
1. Gayo
2. Alas

Universitas Sumatera Utara

3. Batak
4. Nias
5. Lampung
6. Buru
7. Seram
8. Nusa Tenggara
b. Sistem Matrilinial
Sistem Matrilinial yaitu sistem keturunan yang ditarik berdasarkan garis
ibu dimana kedudukan ibu lebih menonjol dibandingkan kedudukan ayah dalam
pewarisan.
Daerah yang dipengaruhi sistem ini yaitu
1. Minangkabau
2. Enggano
3. Timor
c. Sistem Parental
Sistem Parental yaitu sistem keturunannya ditarik menurut garis ayah
ataupun ibu, dimana kedudukan ayah ataupun ibunya tidak dibedakan dalam
pewarisan.
Daerah yang dipegaruhi dalam pewarisan yaitu :

46

1.

Aceh

2.

Riau

3.

Jawa 46

Ibid, hal 30

Universitas Sumatera Utara

4. Sistem Kewarisan Adat
Sistem Hukum Kewarisan yang berlaku bagi Warga Negara Indonesia.
Pertama, sistem hukum adat yang beraneka ragam sistemnya, yang dipengaruhi
oleh bentuk etnis di pelbagai daerah lingkungan hukum adat. Hukum adat, pada
beberapa daerah masih sangat kuat diterapkan oleh masyarakat.
Hukum adat berlaku bagi semua orang bumi putera (Indonesia asli),
terkecuali mereka yang telah masuk suatu golongan hukum lain. Tergolong juga
mereka yang dahulu golongan hukum lain tetapi sejak lama dianggap atau
diterima sebagai orang bumi putera. Hukum adat juga tidak berlaku bagi
seseorang Indonesia asli yang beragama Kristen dalam hal ordonansi telah
menentukan hukum lain 47.
Terdapat juga hukum adat Timur asing yang tunduk pada peraturan ini
adalah orang Asia lain, misalnya orang Tionghoa, orang Arab, orang India, orang
Pakistan. Hukum adat Timur asing tidak berlaku bagi seseorang Timur Asing
yang beragama Kristen dalam hal ordonansi telah menentukan hukum lain 48.
Sistem Kewarisan Adat dibagi atas tiga kelompok yaitu
a. Kewarisan Individual
Kewarisan Individual, ciri sistem kewarisan Individual yaitu bahwa harta
peninggalan terbagi-bagi atas pemilikannya kepada para waris,sebagaimana
diatur dalam Hukum Perundang-undangan KUH Perdata(BW) dan Hukum
Islam, begitu pula yang berlaku didalam lingkungan masyarakat adat seperti
47
48

Ibid, hal 35
Ibid hal 38

Universitas Sumatera Utara

pada keluarga Jawa yang Parental dan keluarga Batak yang Patrilinial. Sistem
ini berlaku pada masyarkat Keluarga Mandiri yang tidak terikat kuat pada
hubungan kekerabatan. Pada Masyarakat adat yang modern dimana
kekuasaan penghulu adat sudah lemah dan tidak ada lagi harta milik
bersama. 49
Kebaikan Sistem individual yaitu dengan adanya pembagian maka
Pribadi-pribadi waris mempunyai hak Miik yang bebas atas bagian yang
diterimanya.Para Waris bebas menentukan kehendaknya atas warisan yang
menjadi bagiannya.
Kelemahan sistem Individual yaitu bukan saja pecahnya harta warisan ,
akan tetapi putusnya hubungan kekerabatan antara keluarga waris yang satu
dengan keluarga yang seketurunannya. Hal ini kebanyakan berlaku dikalangan
masyarakat adat di perantauan, yang telah jauh dari kampung halamannya.
b. Kewarisan Kolektif
Ciri Sistem kewarisan Kolektif yaitu bahwa harta peninggalan diwarisioleh
sekelompok waris dalam keadaan tidak terbagi-bagi yang seoalah-olah
merupakan suatu badan Hukum keluarga atau kerabat atau badan Hukum
Adat . Harta Peninggalan itu disebut “Harta Pusaka” .didaerah Minangkabau,
atau “Harta menyanak” Di Lampung, dalam bentuk sebidang tanah atau
rumah bersama. 50

49
50

Hilman Hadikusuma, Sistem Waris Indonesia , Hal 16
Ibid,hal 11

Universitas Sumatera Utara

Didalam Kewarisan Kolektif harta peninggalan orang tua adalah “Pusaka
rendah” atau harta peninggalan seketurunannya tidak dimiliki secara pribadi oleh
anggota keluarga atau kerabat bersangkutan,para anggota keluarga atau kerabat
boleh memanfaatkan tanah pusaka untuk digarap bagi keperluan tanah untuk
digarap bagi keperluan kelurganya, atau rumah pusaka boleh didiami oleh salah
seorang dari mereka dari mereka yang sekaligus mengurusnya, akan tetapi tidak
boleh dimiliki sebagai hak Milik Perseorangan.Berdasarkan pada persetujuan dan
kesepakatan para anggota kerabatbersangkutan.
Dimasa yang sekarang Sistem kewarisan yang kolektif sudah banyak
kelemahannya didasarkan sebagai berikut :
1. Sudah banyak diantara anggota kelompok

atau kerabat yang pergi

merantau meninggalkan kampung halamannya.
2. Tidak adanya anggota keluarga atau kerabat atau tua-tua kerabat yang
mau mengurusnya dan memeliharanya.
3. Tanah Pusaka terbengkalai tidak diurus dan diusahakan rumah Pusaka
Lambat laun menjadi lapuk dan runtuh.
4. Sering Terjadinya perselisihan diantara anggota kelompok keluarga atau
kerabat dikarenakan ada diantaranya yang ingin menguasai dan memiliki
secara pribadi atau metransaksikan secara pribadi dengan pihak ketiga
c. Ciri Sistem kewarisan Mayorat yaitu bahwa harta peninggalan orang tua
“Pusaka Rendah” atau Harta peninggalan leluhur kerabat “Pusaka Tinggi”
tetap utuh tidak dibagi-bagi kepada ahli warisnya melainkan dikuasai oleh
anak laki-laki. Daerah yang menganut sistem ini yaitu :

Universitas Sumatera Utara

1. Gayo
2. Alas
3. Batak
4. Nias
5. Lampung
Sistem Kewarisan Mayorat

bersamaan dengan sistem kewarisan

kolektif dimana harta peninggalanannya tidak dibagi-bagi kepada ahli
waris, melainkan dikuasai secara bersama-sama sebagai hak milik
bersama.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

APLIKASI PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT HUKUM ISLAM BERBASIS ANDROID Aplikasi Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Islam Berbasis Android.

1 3 20

APLIKASI PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT HUKUM ISLAM BERBASIS ANDROID Aplikasi Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Islam Berbasis Android.

0 3 18

Implementasi Putusan Mahkamah Agung NO 179 SIP 1961 Tentang Pembagian Harta Warisan Pada Anak Perempuan Menurut Hukum Adat Batak Karo

0 0 7

Implementasi Putusan Mahkamah Agung NO 179 SIP 1961 Tentang Pembagian Harta Warisan Pada Anak Perempuan Menurut Hukum Adat Batak Karo

0 1 1

Implementasi Putusan Mahkamah Agung NO 179 SIP 1961 Tentang Pembagian Harta Warisan Pada Anak Perempuan Menurut Hukum Adat Batak Karo

0 1 27

Implementasi Putusan Mahkamah Agung NO 179 SIP 1961 Tentang Pembagian Harta Warisan Pada Anak Perempuan Menurut Hukum Adat Batak Karo Chapter III V

0 0 26

Implementasi Putusan Mahkamah Agung NO 179 SIP 1961 Tentang Pembagian Harta Warisan Pada Anak Perempuan Menurut Hukum Adat Batak Karo

0 0 2