Implementasi Putusan Mahkamah Agung NO 179 SIP 1961 Tentang Pembagian Harta Warisan Pada Anak Perempuan Menurut Hukum Adat Batak Karo Chapter III V

BAB III
HUKUM WARIS ADAT KARO
A.Sejarah Waris Adat Karo
Menurut sejarah dikalangan Suku Batak terutama pada Suku Karo, dimana
tempat perkampungan leluhur adalah yang menjadi ahli warisnya. Dimana cara
pembagiannya pada zaman dulu yaitu pembagian Warisan menurut Adat Batak
Karo yaitu dilakukan dengan cara musyawarah atau runggu dan hasil dari
musyawarah adat karo yaitu 1/3 dari warisan untuk anak Perempuan dan 2/3
untuk Anak Laki-Laki. 51
Kedudukan anak perempuan pada waris adat karo pada zaman dahulu
tidak mendapatkan warisan atau dapat dikatakan sebagai ahli waris dari ayahnya.
Alasanya kenapa anak Perempuan tidak mendapatkan warisan dari ayahnya
karena sang anak perempuan hanya mewarisi marga sang ayah hanya sampai satu
generasi keturunan saja.
Maksud dari hanya mewarisi satu garis keturunan saja yaitu apabila anak
perempuan menikah , maka marga sang ayah hanya dibawa anak perempuan saja
,tetapi tidak untuk sang anak yang dilahirkannya.Akan tetapi anak Perempuan bisa
mendapat warisan dari orang tuanya apabila sang anak laki-laki memberikan
warisannya kepada saudara perempuan hanya untuk memberikan penghormatan
saja kepada anak Perempuan.


51

Darwin Prinst, Adat Karo, Medan: Bina Media Perintis ,2004 Hal 15

Universitas Sumatera Utara

Harta Warisan dalam masyarakat Karo dibagi atas terbagi atas 2 golongan
yaitu :
a. Harta Warisan yang didapat dari hasil jerih payah kedua Orang Tua
Harta yang didapat bersama atau biasa disebutkan yaitu harta yang
didapatkan dari jerih payah kedua orang tuanya.Terhadap harta ini baik anak
Laki-laki ataupun perempuan berhak atas warisan kedua orang tuanya akan
tetapi warisan untuk anak laki-laki lebih besar dari pada anak Perempuan.
b. Harta Warisan yang didapat dari Hak Ulayat
Yaitu harta warisan yang didapat dari jerih payah yang dibawa oleh marga
dan tidak bisa diganggu gugat dan bagian dari anak perempuan 1/3 untuk
anak Perempuan(dasar peraturannya tidak tertulis atau lisan) 52 .
Sejak dulu Hak Ulayat hanya terdapat hak pakai dan tidak ada batasnya
dan tidak bisa dijual belikan, kalaupun ada transaksi harus disetujui oleh pihak
pemberi Saudara Laki-Laki.

Akan tetapi pembagian warisan pada Adat Karo berubah sejak Keluarnya
Putusan Mahmakah Agung dengan NO Putusan M.A Tanggal 1-11-1961 nomor
179/SIP/1961 menyatakan bahwa anak perempuan dan anak lelaki dari seorang
peninggal warisan bersama berhak atas harta warisan dalam arti, bahwa bagian
anak lelaki adalah sama dengan anak perempuan.
Dari Putusan Mahkamah Agung tersebut maka pembagian warisan dalam
adat Karo maka bagian anak laki-laki dengan anak Perempuan sama tidak terdapat
perbedaannya.
52

Perdana Sembiring Brahmana, Wawancara, 10 Desember 2016

Universitas Sumatera Utara

Dikuatkan juga berdasarkan Pengadilan Tinggi Medan, dalam tingkat
banding, dengan putusannya tanggal 28 Mei 1970 No.444/1969 menguatkan
putusan

tersebut.


Dalam

tingkat

kassai

diajukan

sebagai

keberatan:

“bahwa keputusan Mahkamah Agung tanggal 1 Novembert 1961 tentang
persamaan hak antara ahliwaris laki-laki dan ahliwaris perempuan terhadapa harta
warisan, belum dapat dilaksanakan di Tanah Karo sewaktu Elak Meliala
meninggal dunia pada tahun 1947, jadi pada tahun 1957 itu menurut hukum adat
Karo hanya ahliwaris laki-laki yang berhak mewaris”.
Keberatan ini ditolak oleh Mahkamah Agung, dengan pertimbangan :
“bahwa keberatan ini juga tidak dapat dibenarkan, karena tentang hal yang
dimaksud oleh penggugat untuk kasasi inipun telah secara tepat dipertimbangkan

oleh judex facti, yaitu bahwa tentang pelaksanaan pembagian harta warisan yang
belum terbagi, hukum adat yang harus diperlakukan adalah hukum adat
(jurisprudensi) yang berlaku pada saat pembagian tersebut dilaksanakan.
Dari keputusan keputusan diatas dapat kita ketahui bahwa dewasa ini
hukum adat masyarakat batak karo dalam hal warisan tidak hanya diberikan
kepada anak laki-laki saja tetapi juga kepada anak perempuan jadi anak laki-laki
dan perempuan mendapatkan harta warisan.
Ini dikarenakan kaum wanita merasa tidak adil dalam pembagian warisan,
mereka merasa mereka tidak mempunyai hak dalam segala macam harta benda
karena mereka hanya dianggap sekedar menjadi ibu yang berfungsi sebagai wadah
benih lelaki sebagai tempat pembuahan anak untuk dilahirkan. Padahal kedudukan

Universitas Sumatera Utara

wanita dan pria dewasa ini tidaklah dapat dibeda bedakan, karena sudah ada
dalam pasal 28 D UUD 1945.
Selain anak perempuan, janda juga mendapat harta bagian warisan dari
peninggalan si suaminya, karena pihak perempuan ini telah dibeli dengan
perkawinan jujur jadi dia merupakan sudah dianggap saudara oleh bagian pihak
laki-laki, dan akibat dari perkawinan jujur ini sang janda ini dapat kawin dengan

saudara dari pihak suami yang disebut juga dengan Levirant/Paraekhan/Lakoman,
tetapi apabila sang janda ini tidak menikah dengan pihak saudara dari sang suami
maka ia harus menyerahkan harta pusaka yang telah ia terima dari pihak si lakilaki.
Janda disini berhak mendapat bagian asalkan itu digunakan untuk
keperluan keperluan utama untuk kemajuan sang anak, yang dimana menurut
penjelasan orang tua atau leluhur dari karo bila ada suatu warisan yang
ditinggalkan oleh orangtua hendaklah warisan tersebut dapat meningkatkan
perbaikan hidup anak cucunya dan untuk terciptanya suatu kedamaian
sesamanya. 53
B. Perkembangan Waris Adat Karo
Menurut Masyarakat Batak Karo warisan Adat sangat berarti dan juga adat
karo menggunakan azas kekeluargaan dan Masyarakat Karo menganut sistem
kekerabatan Patrilineal dimana lebih menekankan kepada kedudukan anak Lakilaki lebih tinggi dari anak perempuan.

53

Hasil wawamcara dengan Kikim, wawancara , Kabanjahe , 11 Desember 2016

Universitas Sumatera Utara


Jadi Anak Laki-laki yang mewariskan marga dari sang bapak dan juga
masyarakat karo masih menggunakan sistem perkawinan jujur, maksud darisistem
perkawinan jujur yaitu suatu bentuk perkawinan yang mana pihak laki-laki
memberikan suatu benda atau bisa disebut membayar sejumlah uang kepada pihak
perempuan sehingga dapat dikatakan bahwa anak Perempuan dibeli secara adat
oleh anak Laki-laki yang mana tujuannya yaitu agar pihak perempuan dapat
melepaskan marga ayahnya sehingga masuk dalam marga suaminya. 54
Pada masyarakat Karo yang menerima warisan adalah Anak Laki-laki saja
dan anak perempuan tidak berhak atas warisan dan akan tetapi anak Perempuan
yang dapat warisan hanya berdasarkan pada pemberiansaudara-saudaranya
berdasarkan pada cinta kasih dan rasa kasihan.
Didalam masyarakat Hukum Adat Batak Karo bukan hanya anak
Perempuan saja yang tidak mendapat warisan akan tetapi Janda yang ditinggal
suaminya juga tidak dapat, disebabkan karena pihak perempuan tidak
mendapatkan harta warisan dari ayah ataupun suaminya.
Didalam Hukum Waris Adat Karo dikenal istiah Pewaris Pengganti ,
maksud dari pewaris pengganti yaitu apabila seorang anak yang menjadi ahi waris
meninggal sebelum orang tuanya maka tempatnya digantikan oleh keturunannya,
sehingga cucu mendapat sebagian dari warisan neneknya ataupun kakekya, yang
sebenarnya menajadi warisan orang tuanya. 55


54
55

Sitepu Sempa, Sitepu Bujur A.G, Pilar Budaya Karo, Hal 20
Ibid,hal 25

Universitas Sumatera Utara

Sering perkembangan Zaman Hukum Adat Pada Masyarakat Karo sedikit
mengalami perubahan karena dianggap tidak adil bagi anak perempuan dan hanya
berpihak pada kaum laki-laki saja. Hukum Adat Karo mengalami mengalami
banyak kontroversi sehingga banyak sekali gugatan yang diajukan dan lama
kelamaan warisan adat Karo mengalami perubahan dan banyak mengikuti pada
hukum positif di Indonesia.
Sebagai contohnya yaitu Putusan M.A Tanggal 1-11-1961 nomor
179/SIP/1961Menyatakan bahwa anak perempuan dan anak lelaki dari seorang
peninggal warisan bersama berhak atas harta warisan dalam arti, bahwa bagian
anak lelaki adalah sama dengan anak perempuan.
C. Sistem Waris Adat Karo

Sebelum membahas sistem kewarisan pada masyarakat ada karo, akan
dipaparkan terlebih dahulu kedudukan anak pada masyarakat karo, karena
pandangan terhadap kedudukan anak tersebut berimplikasi terhadap seluruh
sistem kewarisan masyarakat adat Karo. Kedudukan anak laki-laki dan anak
perempuan pada masyarakat Karo.
Pada Masyarakat adat Karo tujuan perkawinan adalah untuk melanjutkan
keturunan generasi laki-laki atau marga, karena hanya anak laki-laki saja yang
dapat meneruskan garis marga. Fenomena sosial, nilai-nilai serta adat kebiasaan di

Universitas Sumatera Utara

dalam masyarakat telah meligitimasi bahwa kedudukan dari anak laki-laki berada
pada level yang lebih tinggi dari anak perempuan 56
Oleh karena anak laki-laki sangat penting dalam sebuah keluarga pada
masyarakat Karo, sehingga jika tidak mempunyai anak laki-laki dianggap wajar
oleh masyarakat maupun kerabat apabila diadakan perceraian karena dianggap
“masap” (lenyap dari keluarangya).
Namun biasanya jika keluarga tersebut tidak mempunyai anak laki-laki
banyak kepercayaan-kepercayaan tradisionil yang dilakukan untuk mendapatkan
keturunan laki-laki, mulai dari banyak laranganlarangan yang berlaku, ritual adat

yang dilakukan bahkan dimandikan dengan air jeruk. 57
Kehadiran anak laki-laki dapat diartikan sebagai pewaris marga dan juga
berkedudukan sebagai orang yang dapat melindungi saudara perempuannya.
Walaupun anak laki-laki tersebut masih kecil ia dapat dijadikan benang merah
yang menghubungkan ikatan kerabatan antara suatu keluarga dengan saudara lakilaki ayahnya serta orang yang semarga dengan ayahnya, dan semua anak laki-laki
akan memperoleh kedudukan yang sama dan sederajat.
Namun bukan berarti anak perempuan pada masyarakat tidak mempunyai
arti dalam masyarakat Karo, kedudukan anak perempuan pada masyarakat karo
demikian penting karena dari anak perempuan itulah lahir ikatan kekeluarga
sebagai anak beru.21 Berdasarkan fenomena yang telah dipaparkan maka

56
57

Suara Bangun, Wawancara, Berastagi 29 Nopember 2016.
Mardiano, Wawancara,Medan 30 november 2016 .

Universitas Sumatera Utara

berimplikasi pada aturan kewarisan yang meniadakan hak anak perempuan untuk

mewarisi.
Berdasarkan sistem kekeluargaan patrilineal (garis keturunan dari pihak
bapak) masyarakat karo menganut sistem kewarisan individual dimana
berdasarkan prinsipnya, ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan
menurut bagiannya masing-masing.
Dalam hal ini anak laki-laki yang menjadi ahli waris yang memiliki
seluruh harta warisan. Adapun alasan mengapa anak perempuan tidak berhak
untuk mewarisi karena anak perempuan sendiri tidak dapat meneruskan marga
dari keluarga ayahnya. 58
Alasan lain dikemukakan bahwa perkawinan adat patrilineal, apabila
perempuan sudah kawin, ia dianggap keluar dari keluarganya dan menjadi
keluarga suaminya, seperti perempuan Sembiring menikah dengan seorang
Ginting, dengan adanya pemberian yang disebut tukar, maka perempuan
Sembiring tersebut ikut kepada kerabat si suami. Dengan demikian ia tidak
mendapatkan harta warisan. 59
Anak perempuan tidak berhak mewarisi karena dia akan menikah dengan
orang lain yang nantinya dia akan mewarisi harta dari suaminya. Fenomena yang
terjadi dimasyarakat karo, anak perempuan yang telah menikah maka dia sudah

58

59

Maspon Sembiring, Wawancara, Berastagi 11 Desember 2016.
Halimatus Sa’diyah Br Bangun, Wawancara, Berastagi 12 Desember 2016.

Universitas Sumatera Utara

menjadi bagian dari keluarga suaminya, sehingga dia dianggap sebagai orang lain
atau bukan lagi bagian dari kerabat asalnya. 60
Praktek Pembagian harta warisan yang terjadi seperti yang dijelaskan pada
sistem di atas dalam lingkungan masyarakat adat Karo telah diatur secara turun
temurun menurut hukum adat Karo 61, dan ahli waris yang mendapatkan harta
warisan dalam adat Karo adalah anak laki-laki saja atau jika tidak ada maka
kerabat laki-laki dari pewaris. Masyarakat karo meniadakan hak waris anak
perempuan, hal itu disebabkan anak perempuan tidak dapat meneruskan keturunan
karena sistem kekeluargaan masyarakat karo.
Berdasarkan garis keturunan pada masyarakat adat batak Karo, dengan
kata lain anak laki-laki yang membawa marga (meneruskan keturunan).Ada jika
saudara laki-laki dari anak perempuan tersebut dengan suka rela memberikan
beberapa atau bahkan semua warisan yang ia miliki maka anak perempuan
tersebut tidak boleh menolak.
Dalam hukum warisan patrilineal harta yang dapat menjadi harta warisan
bukan hanya harta yang didapat selama perkawinan saja, tapi juga termasuk harta
pusaka, karena dalam hukum Adat perkawinan patrilineal marga itu berlalu
keturunan patrilineal, sehingga hanya anak laki-laki yang merupakan ahli waris
waris dari orang tuanya.

60
61

Rumus Tarigan, Wawancara, Berastagi 15 Desember 2016.
Sersan Ginting, Wawancara, Berastagi 16 Desember 2016.

Universitas Sumatera Utara

Ahli Waris Masyarakat Karo adalah Anak Laki-laki Semua anak laki-laki
menjadi ahli waris tentunya anak yang sah yang berhak menjadi ahli waris dari
orang tuanya, baik harta dari hasil perkawinan maupun harta pusaka. Jumlah harta
yang akan menjadi harta warisan itu sama diantara anak-anak laki-laki pewaris,
misalnya apabila pewaris mempunyai tiga orang anak-laki-laki, maka bagian harta
masing-masing mendapat sepertiga bagian.
Namun bila pewaris tidak mempunyai anak-laki-laki, tetapi ahli warisnya
hanya istri dan anak perempuan, maka harta pusaka itu bisa dipergunakan baik
oleh istri dan anak perempuan selama hidupnya, setelah meninggal dunia harta
warisan itu kembali kepada asalnya atau kembali kepada –pengulihen.
1. Anak angkat
Anak angkat dalam masyarakat patrilineal Batak Karo merupakan ahli
waris yang berkedudukannya seperti halnya anak sah, akan tetapi anak angkat ini
hanya menjadi ahli waris terhadap harta warisan atas harta perkawinan artinya
hanya harta yang di dapat dalam pekawinan atau harta bersama dari orang tua
angkatnya, sedangkan untuk harta pusaka anak angkat tidak mempunyai hak harta
warisan.
Dalam adat Karo anak angkat adalah anak laki-laki karena pada umumnya
masyarakat Karo mengangkat anak laki-laki karena tidak memiliki keturunan lakilaki sehingga pengangkatan anak laki-laki bertujuan untuk meneruskan silsilah
keluarga.

Universitas Sumatera Utara

2. Ayah dan Ibu
Untuk ayah dan ibu serta saudara-saudara kandung pewaris, ini muncul
sebagai ahli waris apabila tidak ada anak kandung dan anak angkat pewaris, maka
ayah, ibu dan saudara-saudara kandung pewaris menjadi ahli waris secara
bersama-sama.
Dalam posisi anak perempuan sebagai ibu maka ia tergolong ahli waris
pada masyarakat karo hal ini juga dengan syarat bahwa si ibu tersebut tidak
mempunyai anak laki-laki, dengan demikian ibu dan anak perempuan memiliki
posisi yang berbeda dalam menerima warisan sehingga anak perempuan tetap
tidak dapat dikatakan sebagai ahli waris pada masyarakat Karo.
3. Keluarga terdekat dari garis keturunan Laki-laki
Keluarga terdekat ini muncul sebagai ahli waris apabila tidak ada ahli
waris anak kandung, anak angkat, ayah, ibu dan saudara-saudara pewaris.
4. Persekutuan adat
Persekutuan adat ini sebagai ahli waris apabila tidak ada ahli waris sama
sekali yang tersebut diatas, maka

warisan jatuh pada persekutuan adat,

berdasarkan pemaparan ahli waris diatas tidak ada yang menyebutkan bahwa anak
perempuan merupakan ahli waris dalam masyarakat adat karo. Bahkan jika anak
perempuan adalah anak tunggal dari pewaris, maka hartanya terlebih dahulu
dibagikan kepada kerabat kerabat dalam garis ayah, 62 demikian dapat disimpulkan

62

Perdana Sembiring Brahmana, wawancara, Brastagi 20 Desember 2016

Universitas Sumatera Utara

bahwa masyarakat adat karo tidak mengakui bahwa anak perempuan adalah ahli
waris pada masyarakat Karo.
D. Proses Pembagian Warisan
Proses pembagian warisan pada

masyarakat

Batak

Karo

dapat

dilaksanakan pada saat sebelum pewaris meninggal dunia dan setelah pewarisn
meninggal dunia, proses pembagian warisan sebelum pewaris meninggal dunia
dapat berupa pengalihan kedudukan, hak/kewajiban, lewat penunjukan pewarisan,
hibah/wasiat, dan lain-lain.
Pada masyarakat Karo misalnya proses pembagian warisan sebelum
pewaris meninggal dunia dapat dilihat dalam hal pengalihan kedudukan atau
jabatan adat kepada pewarisnya.
Ada juga pemberian harta kekayaan pewaris tertentu sebagai bekal
kekayaan untuk kehidupan kelanjutan yang diberikan pewaris kepada anak pada
saat anak-anaknya hendak menikah, di batak di sebut Manjae, pada masyarakat
Karo anak perempuan biasanya mendapat bagian warisan dari ayahnya ketika ia
menikah, berupa harta bawaan, yang berupa perhiasan atau tanah.
Dengan

demikian

dapat

disimpulkan

bahwa

anak

perempuan

dimungkinkan pada masyarakat Karo dapat menerima warisan dengan dua cara;
Berdasarkan kerelaan anak laki-laki, dan dalam hal tersebut anak perempuan tidak
boleh menolak.

Universitas Sumatera Utara

Sebelum si anak perempuan menikah, yang berupa harta bawaan yang
diberikan keluarga yang masih hidup berupa perhiasan, tanah, dan lain-lain. Dan
proses pembagian warisan yang disebutkan diatas dilakukan melalui musyawarah
keluarga yang dalam hal ini masyarakat Karo menyebutnya dengan istilah
Runggun Keluarga jika dalam proses pembagian harta tersebut banyak kerabatkerabat yang tidak menyetujui pembagian warisan tersebut.
Didalam perkawinan adat karo juga dikenal dengan istilah untuk
menyelesaiakan masalah yang ada dalam keluarga adat karo yaitu runggun
keluarga ini diadakan karena masalah perkawinan yang melibatkan dua pihak
keluarga, namun tidak dipungkiri pada Masyarakat Karo menjadikan runggun
kelurga ini forum formal dalam menyelesaikan segala perkara-perkara yang
dialami masyarakat.
Hingga jika ada permasalahan yang ditimbulkan baik yang menyangkut
masalah pribadi ataupun dengan orang, maka biasanya masyarakat mengadakan
runggun kelurga tersebut untuk mencari jalan keluar dari masalah yang tengah
dihadapi. Karena pada masyarakat Karo masalah pribadi juga masalah bersama
apalagi yang menyangkut dengan aturan adat.
Asas yang diutamakan adalah asas keadilan dan kerukunan antara anggota
keluarga, maka ketika terjadi sengketa waris, masyarakat Desa Rumah Kabanjahe
tidak pernah membawa perkara sengketa waris ke pengadilan, dan mereka lebih
memilih jalan secara kekeluargaan yakni dengan bermusyawarah yang disebut
runggun keluarga. Runggun keluarga adalah lembaga formal yang bertujuan

Universitas Sumatera Utara

mempertimbangkan mufakat umum dalam suatu forum yang tenang pada tiga
kategori kekeluargaan.
Patrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan
berasal

dari

pihak

ayah.

Dimana

jika

terjadi

masalah

maka

yang

bertanggungjawab adalah pihak laki-laki. Sistem kekeluargaan ini dianut oleh
bangsa Arab, Eropa, dan suku Batak yang hidup di daerah Sumatera Utara. Kata
Patrilineal seringkali disamakan dengan patriarkhat atau patriarkhi, meskipun
pada dasarnya artinya berbeda.
Patrilineal berasal dari dua kata, yaitu pater (bahasa Latin) yang berarti
“ayah”, dan linea (bahasa Latin) yang berarti “garis”. Jadi, “patrilineal” berarti
mengikuti “garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah”. Sementara itu
patriarkhat berasal dari dua kata yang lain, yaitu pater yang berarti “ayah” dan
archein (bahasa Yunani) yang berarti “memerintah”. Jadi, “patriarkhi” berarti
“kekuasaan berada di tangan ayah atau pihak laki-laki“.
Terdapat beberapa alasan atau argumentasi yang melandasi sistem hukum
adat waris masyarakat patrilineal, sehingga keturunan laki-laki saja yang berhak
mewarisi harta peninggalan pewaris yang meninggal dunia, sedangkan anak
perempuan sama sekali tidak mewarisi
Silsilah keluarga didasarkan pada anak laki-laki. Anak perempuan tidak

dapat

melanjutkan silsilah (keturunan keluarga) yaitu :
1. Dalam rumah-tangga, isteri bukan kepala keluarga. Anak-anak memakai nama
keluarga (marga) ayah. Istri digolongkan ke dalam keluarga (marga) suaminya.

Universitas Sumatera Utara

2. Dalam adat, wanita tidak dapat mewakili orang tua (ayahnya) sebab ia masuk
anggota keluarga suaminya.
3. Dalam adat, Kalimbubu (laki-laki) dianggap anggota keluarga sebagai orang
tua (ibu);
4. Apabila terjadi perceraian, suami isteri, maka pemeliharaan anak-anak menjadi
tanggung jawab ayahnya. Anak laki-laki kelak merupakan ahli waris dari ayah
baik dalam adat maupun harta benda. 63
Dalam Waris Adat Karo mengandung sistem kekerabataan Parental yaitu
Pengaruh jenis harta dalam sistem waris patrilineal khususnya pada suku adat
Batak Tanah Karo atau biasa disebut Batak Karo.
Dalam masyarakat Patrilineal seperti halnya dalam masyarakat Batak
Karo, hanyalah anak laki- laki yang menjadi ahli waris. Terdapat beberapa alasan
atau argumentasi yang melandasi sistem hukum adat waris masyarakat patrilineal,
sehingga keturunan laki-laki saja yang berhak mewarisi harta peninggalan pewaris
yang meninggal dunia, sedangkan anak perempuan sama sekali tidak mewaris.
Hal ini didasarkan kepada anggapan kuno yang menganggap rendah
kedudukan wanita dalam masyarakat Karo khususnya dan dalam masyarakat
Batak pada umumnya.
Selain itu, perempuan tidak mendapatkan warisan dikarenakan beberapa
faktor seperti silsilah keluarga didasarkan kepada anak laki-laki; dalam keluarga,
istri bukanlah kepala keluarga; anak-anak memakai marga ayahnya sedangkan
istri digolongkan ke dalam marga suaminya; dalam adat, wanita tidak mewakili
63

Mitchon Purba , wawancara, Medan, 22 Desember 2016

Universitas Sumatera Utara

orang tuanya sebab ia maasuk anggota keluarga suaminya; apabila terjadi
perceraian, pemeliharaan anak-anak menjadi tanggung jawab ayahnya.
Dalam sistem hukum adat waris di Tanah Karo, pewaris adalah seorang
yang meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, baik harta
itu diperoleh selama dalam perkawinan maupun harta pusaka, karena di dalam
hukum adat perkawinan suku Karo yang memakai marga itu berlaku keturunan
patrilineal maka orang tua merupakan pewaris bagi anak-anaknya yang laki-laki
yang merupakan ahli waris dari orang tuanya.
Akan tetapi anak lai-laki tidak dapat membantah pemberian terhadap anak
perempuan, demikian juga sebaliknya.Hal tersebut didasarkan pada prinsip bahwa
orang tua (pewaris) bebas menentukan untuk membagi-bagi harta benda kepada
anak-anaknya berdasarkan kebijakan orang tua yang tidak membedakan kasih
sayangnya kepada anak-anaknya

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR
179/SIP/1961 TENTANG PEMBAGIAN HARTA WARISAN BAGI ANAK
PEREMPUAN PADA MASYARAKAT KARO DIKECAMATAN RUMAH
KABANJAHE
A. Pembagian warisan pada anak perempuan menurut Hukum Adat Batak
Karo
Kabupaten Karo resmi terbentuk pada tahun 1943 dan sejak saat itulah
Kabupaten Karo dipimpin oleh seorang Bupati. Kabupaten Karo yang memiliki
alam yang sejuk dan indah yang dikenal dengan sebutan Taneh Karo Simalem
berada pada ketinggian 400-1600m di atas permukaan laut. Terdapat beberapa
buah gunung, seperti Gunung Sibayak, Gunung Sinabung, Gunung Barus dan lain
sebagainya yang sampai saat ini dijadikan sebagai daerah wisata
Pada sub bab ini akan dibahas berkaitan dengan pelaksanaan pembagian
harta waris. Yang dimaksud dengan pelaksanaan adalah segala hal yang
menyangkut tata cara atau mekanisme pembagian harta waris yang berlaku pada
masyarakat Karo.
Di mulai dari penentuan waktu pelaksanaan, musyawarah menentukan
porsi atau kadar serta pihak-pihak yang berhak mendapatkan bagian harta warisan,
terdapat mekanisme tentang pembagian warisan pada masyarakat karo yaitu :

Universitas Sumatera Utara

1. Waktu pembagian harta warisan
Salah satu yang selalu diperbincangkan bahkan diperdebatkan adalah berkaitan
dengan waktu pelaksanaan pembagian harta warisan, menurut hukum perdata,
peralihan hak kewarisan tergantung kepada kemauan pewaris serta kehendak
dan kerelaan ahli waris yang akan menerima hak tersebut. Intinya, peralihan
harta waris tidak berlaku dengan sendirinya 64.
Kerelaan pewaris menjadi sebuah keniscayaan karena kesedian menerima
sebagai ahli waris akan membawa akibat langsung untuk bersedia menerima
risiko melunasi hutang pewaris 65.
Di dalam hukum waris terdapat istilah yaitu penundaan pembagian harta waris.
Istilah lain yang kerap digunakan yaitu :
1. Hartawarisan yang belum terbagi
2. Harta warisan yang dipertangguhkan
3. Penundaan penanggugan pembagian harta peninggalan
4. Penundaan pembagian harta warisan
5. Harta peninggalan dalam keadaan tak terbagi
Menurut adat Karo, pembagian harta waris umumnya dilaksanakan setelah
kedua orangtuanya meninggal dunia 66, dengan demikian, meninggalnya
orang tua laki-laki tidak serta merta harta yang ditinggalkan dapat dibagi
sebagai harta waris kepada anak-anaknya. Harta waris tersebut tetap berada

64

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata ,Bandung: 1977, h. 84-85
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
66
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, BAndung: Citra Aditya Bakti, 2003 hal. 104
65

Universitas Sumatera Utara

dibawah pengelolaan istri yang ditinggalkan. Ia berhak mengelola dan
memanfaatkan harta suaminya sepanjang ia belum menikah kembali 67.
Bagi masyarakat Karo, istri yang ditinggal wafat suaminya berbeda dengan
cerai hidup tetapi tetaplah dianggap menjadi bagian dari keluarga suaminya.
Hal ini sesungguhnya adalah konsekuensi dari lembaga‛ tukur‛ (wanita yang
dibeli) yang dikenal pada masyarakat Karo).
Sebaliknya, jika terjadi‛cerai hidup‛, maka janda tersebut kembali kepada
keluarganya semula. Hubungannya dengan suaminya secara adat pun
terputus.
Berkenaan dengan hal ini menarik mencermati apa yang dituliskan oleh
Masri Singarimbun sebagai berikut: According to Karo adat, a women belongs to
the merga of her husband. His death does not alter her status, as her rights and
duties according to adat remain the same. She is fully responsible for raising her
children, and the inheritance may only be divided after the death of both
parents 68.
Informasi yang diperoleh dari beberapa informan menyatakan harta
warisan baru dapat dibagi setelah kedua orang tua meninggal. Dalam kasus
tertentu, pembagian harta dapat dilakukan atas permintaan anak ahli waris.
Biasanya hal ini dilakukan apabila anak ahli waris telah menikah dan sangat
membutuhkan harta. Dalam kasus seperti ini, ibu (istri ahli waris) akan membagi
harta berdasarkan persetujuan kalimbubu dan anak beru.
67

Syahrizal, Hukm Adat dan Hukum Islam di Indonesia, Lhoksumawe: Nadia Foundation,
2004,hal 224.
68
Masri Singarimbun, ‚Kutagambar: A Village of the Karo, …..h. 123

Universitas Sumatera Utara

Dalam adat Karo, harta waris biasanya dibagi setelah kedua orang tua
meninggal dunia. Bagi orang Karo, adalah tabu jika anak-anak menuntut harta
waris selagi salah satu orang tuanya masih hidup. Kecuali keinginan itu muncul
dari orang tuanya sendiri.Tentu saja, penundaan pembagian harta waris ini
menimbulkan persoalan tersendiri 69.
2. Metode Penentuan Porsi atau Jumlah
Tampaknya di dalam hukum waris adat Karo tidak dikenal kadar atau
porsi harta untuk setiap ahli waris. Hampir di seluruh masyarakat adat tidak
mengenal cara pembagian harta waris dengan perhitungan matematika yang ketat.
Jadi walaupun hukum waris adat mengenal asas kesamaan hak tidak
berarti bahwa setiap waris akan mendapat bagian warisan dalam jumlah yang
sama, dengan nilai harga yang sama atau menurut banyaknya bagian yang sudah
tertentu70.
Di dalam hukum adat Karo, pembagian harta waris bukan berdasarkan
jumlah tertentu melainkan berdasarkan jenis atau bentuk harta yang ditinggalkan,
biasanya disebut harta pusaka atau harta waris hanya menyangkut ladang, sawah,
kolam dan rumah.

69

Satria Effendi M Sein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer: Analisis
Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyyah ,Jakarta: Kencana, Prenada Media, 2004 hal. 272.
70
Hadikusuma, Hukum Waris Adat,Bandung: PT. Citra Aditnya Bakti, 1993 hal 105.

Universitas Sumatera Utara

Berikut ini menurut pendapat para informan yaitu:
Dirumah Kabanjahe kendudukan pembagian Warisan untuk anak
perempuan yaitu dilakukan dengan cara musyawarah yang dilakukan oleh anak
beru dan hasil dari musyawarah adat karo tersebut menghasilkan 1/3dari warisan
untuk anak Perempuan dan 2/3 untuk Anak Laki-Laki. 71
Bagian warisan untuk anak perempuan hanya mendapatkan 1/3 dari hasil
warisan yaitu karena sesuai adat Karo anak perempuan tidak membawa marga
dari orang tuanya dan tidak secara terus menerus dan juga tidak mutlak, jadi
warisan untuk anak perempuan hanya untuk memberi penghormatan kepada anak
perempuan dan anak perempuan hanya membawa 2 kali marga dari sang ayah dan
setelah itu maka sang ayah akan hilang.
B.Implementasi

Putusan

Mahkamah

Agung

No

179/SIP/1961

pada

masyarakat Batak Karo dikecamatan Kabanjahe Kota
Perkembangan dalam hukum waris adat Batak ditandai dengan lahirnya
Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 179/K/SIP/1961 yang menyatakan
Mahkamah Agung menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia,
bahwa antara anak laki-laki dan anak perempuan, bersama-sama berhak atas harta
warisan dalam arti bagian anak lelaki adalah sama dengan perempuan 72.
Memang yurisprudensi tersebut tidak dapat berlaku sebagai peraturan
hukum yang mengikat secara umum, tetapi hanyalah mengikat para pihak yang

71
72

Perdana Sembiring Brahmana, wawancara, Kabanjahe 20 November 2016
Chaidir Ali, Himpunan Yurisprudensi Hukum Adat Batak, Bandung: Tarsito, 1977, hal 118.

Universitas Sumatera Utara

berperkara saja atau lebih jauh dapat diikuti oleh hakim lain dalam perkara yang
sama. Namun sebagai penemuan hukum dari hakim yurisprudensi ini cukup
berharga sebagai faktor pembentukan hukum nasional 73 karena yurisprudensi
sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia.
Yurisprudensi

juga berfungsi untuk menciptakan hukum yang baru

dengan mengubah hukum yang lama dengan dasar pertimbangan bahwa hukum
yang lama tidak sesuai lagi dengan masyarakat tempat hukum itu berlaku.
Diharapkan perkembangan yang telah dilakukan oleh putusan-putusan hakim ini
dapat mengangkat hak-hak anak perempuan sama sebagai ahli waris.
Pengadilan

melalui

yurisprudensi

tersebut

berusaha

membawa

perkembangan hukum tidak tertulis ke arah keseragaman hukum yang seluasluasnya, antara lain dengan pembinaan ke arah pola hukum keluarga dan hukum.
Berdasarkan pandangan yang ada dalam masyarakat yang saya teliti bahwa
didalam masyarakat Rumah Kabanjahe banyak yang mengetahui tentang Putusan
Mahkamah Agung No 179/SIP/1961, dan pandangan masyarakat terhadap
putusan Mahkamah Agung ini bukan tidak dipergunakan, akan tetapi masyarakat
adat karo harus sesuai adat, walaupun dibawa ke pengadilan dan hasil dari
putusan pengadilan harus dirembukan kembali dengan pihak keluarga.
Pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung nomor 179/SIP/1961 pada
masyarakat batak Karo di Rumah Kabanjahe kecamtan Kabanjahe Kota setelah
keluarnya putusan tersebut yaitu tidak berubah karena beliau cara pembagian
73

Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Jogyakarta: Citra Aditya Bakti,
1993, hal 59

Universitas Sumatera Utara

warisan yang paling baik menggunakan Hukum Adat, karena untuk menjaga
hubungan kekeluargaan yang ada dan juga untuk mencegah supaya tidak terjadi
keretakan dalam hubungan kekeluargaan. 74
C. Cara Penyelesaian Sengketa Harta Warisan bagi anak Perempuan

Skema Penyelesaian sengketa warisan pada Mayarakat Batak Karo yaitu :

Keluarga

Pengadilan Negeri

Runggu

1. Keluarga
Cara penyelesaikan sengketa warisan adat karo yang paling utama yaitu
melalui keluarga, karena melalui keluarga sengketa warisan dapat diselesaikan,
karena hanya keluarga saja lah yang dapat menyelesaikan warisan karo dan juga
cara penyelesaian yang dilakukan keluarga juga dengan cara adat, karena melalui
adat pembagian warisan sangat adil bagi keluarga dan juga menghindari terjadi
keretakan dalam keluarga.

74

Perdana Sembiring Brahmana, wawancara, Kabanjahe 20 November 2016

Universitas Sumatera Utara

2. Runggun
Runggu merupakan cara lanjut dari keluarga untuk melakukan pembagian
warisan melalui adat, dengan alasan bahwa dengan runggu ditentukan dapat
ditentukan bagian yang didapat oleh ahli waris.
3. Pengadilan Negri
Cara pembagian warisan melalui pengadilan negri bahwa cara terakhir
apabila secara adat tidak terpenuhi atau tidak bagi ahli waris, karena bagi anak
perempuan pembagian warisan melalui adat tidak adil, dengan alasan bahwa anak
perempuan tidak mendapatkan warisan sama sekali dan anak perempuan
menuntut ke pengadilan negri supaya cara pembagian warisan dilakukan secara
adil dan merata.

Universitas Sumatera Utara

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat ditarik kesimpulan :
1. Berdasarkan sistem patrilineal pada masyarakat karo anak laki-laki lebih
dihargai dibandingkan kedudukan anak perempuan ,sehingga hal ini
berdampak pada kedudukan anak perempuan dalam hal waris. Anak
perempuan dalam hukum adat Batak Karo tidak berhak atas bagian waris
dari orang tuanya.
Namun dari hasil penelitian pada masyarakat karo di kecamatan rumah
kabanjahe , anak perempuan saat ini mendapatkan bagian dari warisan
sebesar 1/3 yang diberikan dari pemberian kepada anak perempuan ini
didasari pada penghormatan kepada anak perempuan.
2. Dari hasil penelitian, implementasi terhadap Putusan Mahkamah Agung No
179/SIP/1961, tidak diterapkan dengan alasan karena anak laki-laki yang
membawa marga dan digunakan untuk menjaga hubungan kekeluargaan
supaya tidak terjadi keretakan dalam hubungan keluarga.
3. Penyelesaian sengketa dalam waris adat karo yang terdapat dalam
masyarakat adat karo dengan cara dibawa ke dalam musyawarah keluarga
atau ke runggu, dengan alasan untuk menjaga hubungan yang baik antar
keluarga.

Universitas Sumatera Utara

B. Saran
Dari hasil pembahasan diatas dapat diberiakan saran sebagai berikut :
1. Sebaiknya dimasa yang akan datang, anak perempuan harus juga
berkedudukan sebagai ahli waris seperti halnya anak laki-laki,karena anak
perempuan dan anak laki-laki adalah sebagai keturunan dari orang tuanya.
2. Sebaiknya dikemudian hari putusan mahkamah agung no 179/SIP/1961
supaya masyarakat bisa mengimplementasikan kedalam permasalahan
pembagian warisan dimasyarakat Batak Karo di kecamatan Rumah
Kabanjahe.
3. Sebaiknya juga harus selain memakai aturan dari putusan mahkamah agung
juga tetap secara adat karena untuk menghindari terjadi keretakan yang
hubungan keluarganya.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

APLIKASI PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT HUKUM ISLAM BERBASIS ANDROID Aplikasi Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Islam Berbasis Android.

1 3 20

Implementasi Putusan Mahkamah Agung NO 179 SIP 1961 Tentang Pembagian Harta Warisan Pada Anak Perempuan Menurut Hukum Adat Batak Karo

0 0 7

Implementasi Putusan Mahkamah Agung NO 179 SIP 1961 Tentang Pembagian Harta Warisan Pada Anak Perempuan Menurut Hukum Adat Batak Karo

0 1 1

Implementasi Putusan Mahkamah Agung NO 179 SIP 1961 Tentang Pembagian Harta Warisan Pada Anak Perempuan Menurut Hukum Adat Batak Karo

0 1 27

Implementasi Putusan Mahkamah Agung NO 179 SIP 1961 Tentang Pembagian Harta Warisan Pada Anak Perempuan Menurut Hukum Adat Batak Karo

0 1 27

Implementasi Putusan Mahkamah Agung NO 179 SIP 1961 Tentang Pembagian Harta Warisan Pada Anak Perempuan Menurut Hukum Adat Batak Karo

0 0 2

Warisan Anak Angkat Menurut Hukum Adat Dan Kompilasi Hukum Islam Chapter III V

0 1 43

Penyelesaian Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Adat Tapanuli Selatan (Studi Kasus Kecamatan Angkola Barat) Chapter III V

1 5 82