Pengaruh Suhu dan Waktu Terhadap Pemadatan Kayu Jabon (Anthocephalus cadamba)

5

TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi Jabon
Jabon merupakan salah satu jenis pohon asli Indonesia dan memiliki prospek
cukup baik untuk dikembangkan karena jabon termasuk pohon cepat tumbuh, dapat
tumbuh di berbagai jenis tanah, tidak mudah terserang oleh hama dan penyakit secara
serius.

Saat

ini,

Jabon

menjadi

andalan

industri


perkayuan

karena Jabon memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan tanaman kayu lainny
a. Kayu Jabon telah dikenal baik secara nasional maupun internasional. Dengan
demikian pemasaran kayu Jabon semakin lama semakin terbuka. Pengembangan Jabon
di Indonesia perlu dilakukan secara lebih intensif karena dapat memberikan pendapatan
jangka pendek, menengah, dan jangka panjang untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan dalam waktu yang sama meningkatkan produktivitas hutan dan menjaga
pasokan bahan baku industri.
Kayu Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) merupakan jenis kayu daun lebar
yang pertumbuhannya sangat cepat termasuk ke dalam famili Rubiaceae. Tinggi pohon
dapat mencapai 45 m dengan panjang batang bebas cabang 30 m, diameter mencapai
160 cm, batang lurus dan silindris, bertajuk tinggi dengan cabang mendatar, berbanir
sampai ketinggian 1,50 m, kulit berwarna kelabu sampai coklat, sedikit beralur dangkal.
Pertumbuhan riap sampai tanaman berumur 6-8 tahun adalah 7 cm/tahun dan akan
menurun menjadi 3cm/tahun sampai tanaman berumur 20 tahun. Tanaman Jabon
tumbuh di tanah aluvial lembab di pinggir sungai, daerah peralihan antara tanah rawa,
tanah kering, di tanah liat, tanah lempung podsolik coklat, tanah tuf halus, atau tanah
berbatu yang tidak sarang. Jabon memerlukan iklim basah sampai kemarau dengan tipe


5
Universitas Sumatera Utara

6

curah hujan A-D, mulai dari dataran rendah sampai dengan ketinggian 1000 mdpl
(Yudohartono, 2013).
Jabon merupakan salah satu jenis pohon yang memiliki prospek tinggi untuk
hutan tanaman industri dan tanaman reboisasi (penghijauan) di Indonesia, karena
pertumbuhannya yang sangat cepat, kemampuan beradaptasinya pada berbagai kondisi
tempat tumbuh, perlakuan silvikulturnya yang relatif mudah, serta relatif bebas dari
seranga hama dan penyakit yang serius. Jenis ini juga diharapkan menjadi semakin
penting bagi industry perkayuan di masa mendatang, terutama ketika bahan baku kayu
pertukangan dari hutan alam diperkirakan akan semakin berkurang. Hutan tanaman
jabon dalam skala besar dapat dijumpai di Provinsi Sumatera Utara, Riau dan
Kalimantan Tengah. Pada saat ini Jabon juga banyak dibudidayakan oleh petani,
terutama di Kalimantan dan Jawa. Di beberapa daerah di Jawa, Jabon pada umumnya
ditanam untuk menggantikan tanaman jati yang miskin riap setelah pemanenan (Nair
dan Sumardi 2000).

Tanaman jabon merupakan jenis kayu daun lebar ringan dengan sifat kayu
keras, berwarna putih krem hingga kekuningan, kelas awet V dan kelas kuat III-IV.
Tanaman jabon biasanya digunakan sebagai bahan pembuatan mebel, bagian tengah
plywood, batang korek api, alas sepatu, papan, bubur kertas, pensil, papan partikel, dan
lainnya (Karomi, 2011). Kayu jabon mempunyai berat jenis 0,42 (0,29 -0,56), kelas kuat
III—IV, dan kelas awet V (Mulyana et al., 2010). Kayu jabon termasuk kelas awet V
dan kelas keterawetan sedang yang berarti kayu jabon tergolong tidak awet pada kondisi
terbuka dan bersentuhan dengan tanah, sedangkan pada kondisi tertutup kayu
mempunyai ketahanan sedang.

Universitas Sumatera Utara

7

B. Pemadatan Kayu
Teknologi untuk peningkatan mutu kayu yang sedang dikembangkan saat ini
antara lain yaitu dengan proses densifikasi atau pemadatan kayu. Densifikasi kayu
sebagai alternatif teknologi modifikasi kayu dipandang perlu sebagai salah satu solusi
untuk mengatasi kelangkaan kayu-kayu yang berkualitas tinggi (Arinana dan Farah,
2009). Densifikasi kayu merupakan suatu proses pemadatan kayu yang bertujuan untuk

meningkatkan kerapatan dan kekuatan kayu. Prinsip kerja metode ini adalah dengan
memodifikasi kondisi pemadatan kayu sehingga terjadi deformasi/perubahan bentuk
yang akan menghasilkan dimensi kayu yang tetap (fiksasi) dan peningkatan sifat-sifat
kayu (Sulistyono dan Surjokusumo 2001).
Densifikasi atau Pemadatan kayu adalah salah satu usaha meningkatkan
kekuatan dan keawetan kayu berkerapatan rendah dengan cara mengempa papan kayu
menjadi lebih padat. Pada kondisi lebih padat dari pada sebelumnya, maka kekuatan
kayu meningkat. Pemadatan kayu dipengaruhi oleh jenis kayu, plastisitas kayu, kadar
air, suhu kempa dan penerapan besarnya tekanan kempa. Proses plastisasi dan
pemadatan kayu yang sesuai akan meningkatkan sifat fisik dan mekanik kayu
terpadatkan dan berkualitas tinggi. Kualitas yang dimaksud adalah kemudahan proses
pemadatan, stabilitas dimensi, keseragaman dan peningkatan kekuatan papan kayu,
kehalusan corak permukaan, papan dan fiksasi permanen (Sulistyono dan Surjokusumo,
2003).
Proses

pemadatan

kayu


terbagi

dalam

tiga

tahap,

yaitu:

(1)

pelunakan (softening/plastization), (2) deformasi (deformation), dan (3) fiksasi
(fixation). Pelunakan dapat dilakukan secara fisik maupun kimia. Secara fisik,
pelunakan terjadi bila tiga komponennya yaitu air dalam kayu, temperatur yang tinggi

Universitas Sumatera Utara

8


dan tekanan ada secara bersama-sama. Pelunakan secara fisik dapat dilakukan
melalui pemberian

panas

dan dingin, perebusan

dan

dengan

menggunakan

pengukusan

dengan

oven,

perendaman


panas

autoklaf,

sedangkan

secara

kimia dengan menggunakan bahan kimia. Pemadatan atau densifikasi dilakukan melalui
pengempaan kayu dengan suhu dan tekanan tertentu, terutama untuk meningkatkan
berat jenisnya. Pemadatan kayu solid ditujukan untuk meningkatkan sifat-sifat kayu baik
sifat fisis

maupun

mekanisnya. Pada

produk-produk


komposit,

kegiatan

pengempaan lebih ditujukan untuk membantu meningkatkan ikatan rekat antara kayu
dengan perekatnya (Kollmann et al., 1975 dalam Khalil et al., 2014).
Pada tahap deformasi, kayu yang dikempa mengalami drying set, yaitu kondisi
dimana kayu telah mengalami perubahan dimensi dan apabila tekanan dilepaskan, kayu
tidak kembali ke bentuk semula. Tahap fiksasi merupakan tahap akhir dari proses
pemadatan. Pada tahap ini, kayu terpadatkan tidak akan kembali ke bentuk semula atau
perubahan bersifat permanen. Namun demikian, bila fiksasi yang terjadi tidak sempurna,
maka kayu akan dapat kembali kebentuk dan ukuran semula bila mendapat pengaruh
kelembaban dan perendaman ulang (recovery) (Amin & Dwianto 2006).
Sifat

dasar kayu

yang memiliki

peran penting dan erat


kaitannya

dengan struktur kayu itu sendiri adalah sifat fisis kayu. Perlakuan pemadatan
akan menyebabkan

kayu

mengalami

perubahan

yaitu

penyusutan

dimensi.

Penyusutan dimensi ini berakibat langsung terhadap deformasi sel-sel penyusun kayu.
Sel-sel kayu yang menyusut menjadi pipih dan volume rongga sel menjadi

berkurang. Hal ini berarti pemadatan kayu akan menyebabkan berkurangnya volume
kayu terpadatkan, bahkan bisa mencapai 50%. Hal ini tergantung dari tekanan

Universitas Sumatera Utara

9

kempa dan ukuran target yang diharapkan, sehingga kerapatan kayu menjadi
meningkat (Hartono 2008).
Upaya menstabilkan dimensi serta meningkatkan kerapatan dan kekuatan kayu
dapat dilakukan melalui pemadatan (densifikasi) dengan kempa panas (Esteves et al.
2007).

Perubahan

sifat

kayu

yang


dimodifikasi dengan

perlakuan

kempa

panas bergantung pada kadar air, perlakuan awal dan besarnya suhu, serta sifat kayu asal
atau jeni kayunya (Hill 2006). Pengempaan terhadap kayu diupayakan tidak merusak
dinding sel karena akan menurunkan kekuatan kayu. Hal tersebut bisa diperoleh jika
dinding sel kayu plastis sehingga mudah dipadatkan (Basri et al, 2014).
C . Pengaruh Suhu dan Waktu Terhadap Pemadatan
Proses pemadatan kayu dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kerapatan awal
kayu, perlakuan pendahuluan sebelum proses pengempaan, kadar air kayu, suhu,
tekanan kempa dan lamanya pengempaan. Suhu dan waktu kempa mempunyai peranan
yang sangat penting dalam upaya mendapatkan hasil pemadatan kayu. Suhu dan waktu
berguna untuk memudahkan proses densifikasi dan mengikat perubahan bentuk kayu
yang didensifikasi sehingga tidak kebentuk semula ( Arinana, 2009).
Pemadatan kayu yang dipengaruhi oleh suhu dan waktu kempa menyebabkan
lumen menyempit dan dinding sel semakin rapat satu dengan lainnya. Selain itu dengan
adanya panas dan pengempaan dengan waktu tertentu menyebabkan bagian dinding sel
yang mengandung selulosa mengalami plastisasi sehingga terjadi perubahan bentuk
permanen. Kondisi ini menyebabkan sifat anatomi dan sifat mekanis kayu bertambah
bentuk permanen. Kondisi ini menyebabkan sifat-sifat mekanis kayu bertambah.
(Wardhani, 2005)

Universitas Sumatera Utara

10

Pemadatan kayu menyebabkan rongga sel memipih, meningkatkan kerapatannya
dan merubah struktur anatomi kayu. Pemadatan kayu dengan suhu dan waktu kempa
menyebabkan lumen menyempit dan dinding sel semakin rapat satu dengan lainnya.
Selain itu dengan adanya panas dan pengempaan dengan waktu tertentu menyebabkan
bagian dinding sel yang mengandung selulosa mengalami plastisasi sehingga terjadi
perubahan (Wahyuni, 2013).
Penelitian kayu yang didensifikasi telah banyak dilakukan. Penelitian Sulistyono
dan Surjokusumo (2001) melakukan densifikasi terhadap kayu agathis dengan perlakuan
suhu kempa 125 ºC, 150 ºC, 175 ºC dan 200 ºC dan waktu kempa berkisar antara 30-290
menit. Kayu agathis yang sebelumnya digolongkan kelas kuat III setelah didensifikasi
dapat digolongkan menjadi kelas kuat I-II. Penelitian Amin dan Dwianto (2006)
mendensifikasi kayu randu dengan penambahan modifikasi alat cetakan kedap udara
berupa Close System Compression (CSC) dengan suhu 140ºC, 160ºC dan 180ºC dan
waktu kempa 10, 20 dan 30 menit menghasilkan pengembangan tebal maksimal sebesar
8%. Beberapa penelitian tersebut membuktikan bahwa suhu dan waktu berpengaruh
besar sehingga masing-masing jenis kayu memerlukam suhu dan waktu yang berbeda.
Perlakuan perendaman dalam larutan NaOH dimaksudkan untuk mempercepat
proses pelunakan kayu, serta membantu trecapainya fiksasi yang permanen. Peningkatan
suhu dan tekanan uap panas pada kayu jenuh air maupun jenuh NaOH akan melunakkan
hemiselulosa dan lignin sebagai komponen utama kimia kayu sehingga kayu jadi
bersifat plastis dan memungkinkan terjadinya proses fiksasi. selain dapat melarutkan
dan melunakan lignin dan hemiselulosa, penetrasai larutan NaOH juga menyebabkan
melemahnya ikatan antar serat. Selama proses pengepresan, lignin yang merupakan
polimer berikatan silang (cross-link) akan melunak/mengalir dan mengisi ruang matriks

Universitas Sumatera Utara

11

di dalam kayu sebagai akibat dari pengaruh berbagai faktor perlakuan (suhu, NaOH dan
tekanan uap panas) (Onngo dan Astuti, 2005).

Universitas Sumatera Utara