MANUSIA DAN KECERDASAN TRANSENDENTAL dan

MANUSIA DAN KECERDASAN TRANSENDENTAL
DALAM ISLAM
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Psikologi Komunikasi
Dosen : Prof. Dr. Nina Syam, MS.

Disusun Oleh :
Rd. Laili Al Fadhli
20080013047
Kelas B

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2013

PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya dan
dengan pertolongan serta atas izin-Nya pula penyusun dapat menyelesaikan makalah ini.
Shalawat serta salam tak lupa untuk disampaikan dan semoga tetap tercurah limpahkan
kepada uswatuna wa qudwatuna, nabiyullah wa rasulullah Muhammad shallallahu
‘alayhi wa sallam. Serta kepada keluarganya (ahlul baiyt), para shahabat, para tabi’in,
tabi’ tabi’in hingga umatnya yang tetap istiqamah di seluruh penjuru dunia, penyusun

ungkapkan

sebuah

ucapan

terindah

yang

merupakan

sunnah

Rasulullah,

Assalamu’alaykum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Dalam prakata ini penyusun mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua
atas segala doa dan dukungannya, Ibu Prof. Dr. Nina Syam, M.Si. selaku dosen mata
kuliah Psikologi Komunikasi atas segala arahannya, serta kepada seluruh pihak yang telah

membantu penyusun dalam menyelesaikan makalah ini, syukran katsiran, jazakumullah
khayr.

Bandung, Desember 2013

Penyusun

DAFTAR ISI
PRAKATA ……………………………………………………………...

i

DAFTAR ISI ……………………………………………………………

ii

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………

1


Latar Belakang …………………………………………

1

Rumusan Masalah ……………………………………...

3

Tujuan Penelitian……………………………………….

3

Metode Penelitian ...........................................................

3

BAB II MANUSIA DAN KECERDASAN TRANSENDENTAL
DALAM ISLAM ……………………………........................................... 4
Jiwa Manusia ……. …………………............................


4

Fithrah Jiwa ....................................................................

5

Pertarungan dalam Jiwa .................................................

9

Kecerdasan Transendental ……..……………...............

10

Kecerdasan Ruhiyah Cerminan Pribadi Taqwa .............

13

Cinta ...............................................................................


16

Benci ...............................................................................

17

BAB III PENUTUP …………………………………………………….

22

Simpulan ………………………………………………...

22

Saran …………………………………………………….

23

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………..


24

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Penelitian
Berbicara tentang manusia, maka kita akan membicarakan makhluk yang begitu

sempurna dan kompleks. Allah berfirman di dalam Al-Qur`an :

ْ
ْ
ۤ‫لق ْٖ خلقنا ٱإنساڗ يۤ ْحسن تقڤيږ‬
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya.” [QS. At Tiin, 95 : 4]
Bila kita mengurai manusia, maka tampak bagi kita bahwa manusia tidak hanya
sekedar terdiri atas unsur yang bersifat jasmani belaka. Manusia merupakan gabungan
dari unsur jasmani dan rohani.


Gambar 1.1 Unsur Manusia

Unsur jasmani manusia merupakan jasad atau fisik yang tersusun dari materi.
Unsur jasmani bersifat fana dan tidak bernilai tanpa unsur yang lainnya. Sedangkan unsur
rohani manusia merupakan substansi yang berdiri sendiri. Berfungsi sebagai
penyempurna unsur yang lain dan merupakan hakikat manusia.
Selanjutnya, para pemikir muslim berbeda pendapat tentang unsur rohani yang
ada pada diri manusia. Pembahasan dalam hal ini berputar dalam permasalahan ruh, nafs
(jiwa), fithrah, akal, hawa, dan al-qalbu (hati).
Manusia, selain membawa aspek-aspek bawaan dan berbagai potensi yang ada
saat ia dilahirkan ke dunia, juga telah ditanamkan “multiple intelligence quotient”.
Dengan kata lain, kecerdasan yang ada pada manusia tidaklah tunggal, melainkan jamak.

2
Tetapi kejamakan kecerdasan itu hendaknya menghasilkan pemikiran, sikap, tindakan,
dan perilaku yang tunggal setelah seseorang bersentuhan dengan fenomena tertentu.1
Kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan
emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). Ditambah dengan kecerdasan
transendental (TQ), yang merupakan pengembangan dari kecerdasan spiritual.
Kecerdasan Intelektual (IQ) adalah ukuran kemampuan intelektual, analisis,

logika, dan rasio seseorang. IQ merupakan kecerdasan otak untuk menerima, menyimpan,
dan mengolah informasi menjadi fakta. Kecerdasan Emosional (EQ) adalah kemampuan
mengenali perasaan sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri,
serta kemampuan mengolah emosi dengan baik pada diri sendiri dan orang lain.
Kecerdasan Spiritual (SQ) adalah kemampuan seseorang untuk mengerti dan
memberi makna pada apa yang di hadapi dalam kehidupan, sehingga seseorang akan
memiliki fleksibilitas dalam menghadapi persoalan di masyarakat.2 Sementara itu,
kecerdasan transendental merupakan kemampuan seseorang memaknai hidup dan
kehidupannya dalam perspektif Allah subhanahu wa ta’ala.3
Posisi kecerdasan transendental (TQ) dalam, termasuk di dalamnya adalah
perbedaannya dengan kecerdasan spiritual menjadi perbincangan yang sangat menarik.
Apalagi bila kita menilik permasalahan ini dari sudut pandang Islam. Karena
sesungguhnya para pemikir muslim juga telah menyinggung esensi dari kecerdasan ini
walaupun tidak menyebutkan konsep tersebut secara eksplisit.
Apa yang dipaparkan dalam tulisan ini bukan merupakan hasil final dari penelitian
yang berkaitan dengan hakikat manusia. Apa yang dihadirkan di sini berangkat dari uraian
para pemikir muslim yang dikombinasikan, dicari titik temunya, dan disimpulkan secara
sederhana untuk mendapatkan gambaran konsep yang disepakati bersama. Namun, bukan
berarti simpulan ini merupakan simpulan mutlak, karena bisa jadi apa yang dipaparkan di
sini merupakan luapan kebingungan penulis sehingga memilih untuk berhenti pada

sebuah titik yang dianggap bisa menyederhanakan permasalahan agar bisa lebih mudah
dipahami, minimal bagi penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca sekalian.

1

Aristiono Nugroho, Multiple Intelligence Quotient,
http://sosiomotivation.blogspot.com/2012/06/multiple-intelligence-quotient.html
2
Silvi Astrilyani, Pengertian IQ, EQ, dan SQ,
http://silviastrilyani.wordpress.com/2013/02/11/pengertian-iq-eq-dan-sq/
3
Aristiono Nugroho, Multiple Intelligence Quotient,
http://sosiomotivation.blogspot.com/2012/06/multiple-intelligence-quotient.html

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

3
1.2.

Perumusan Masalah


1.3.1. Bagaimana konsep manusia dalam Islam.
1.3.2. Bagaimana konsep Kecerdasan Transendental (TQ) dalam perspektif Islam.

1.3.

Tujuan Penelitian

1.3.1. Mengetahui konsep manusia dalam Islam.
1.3.2. Mengetahui konsep Kecerdasan Transendental (TQ) dalam perspektif Islam.

1.4.

Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang dilakukan adalah menggunakan metode peneltian

kualitatif dengan melakukan studi pustaka.

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli


BAB II
MANUSIA DAN KECERDASAN TRANSENDENTAL

2.1

Jiwa Manusia (An-Nafs)
Para pemikir muslim tidak menemukan kesepakatan mengenai konsep jiwa. Satu

sama lain saling mengeluarkan pendapatnya yang bertolak belakang. Masing-masing
pihak saling menguatkan pendapatnya dengan argumen-argumen yang bersumber dari
Al-Qur`an, as-Sunnah, serta para pemikir terdahulu.
Dalam permasalahan ini, para pemikir terpecah ke dalam beberapa golongan,4
antara lain:
1. Golongan yang menyatakan bahwa jiwa merupakan substansi rohani yang
memancar kepada raga dan menghidupkannya lalu menjadikannya alat untuk
mendapatkan pengetahuan dan ilmu. Ini merupakan pemikiran Ibn Sina dan
para filosof muslim yang mengikutinya.5
2. Golongan yang menyatakan bahwa jiwa sama dengan ruh, yaitu fisik halus
yang menempati fisik kasar (jasad), mempunyai panjang, lebar, dan dalam,
mengambil tempat di badan, mengarahkan dan mengatur badan. Pendapat ini
dikemukakan oleh Ibn Hazm dan Ibn al-Qayyim.6
3. Golongan yang menyatakan bahwa jiwa berbeda dengan ruh. Ruh adalah
sumber kebaikan karena bersifat ilahiyah, sedangkan jiwa (nafs) sumber
segala keburukan. Ini merupakan pendapat yang berkembang di kalangan
sufi.7
4. Golongan yang menyatakan bahwa jiwa merupakan batin manusia, tetapi ia
tidak terpisah secara eksklusif dari raga. Pendapat ini dikemukakan oleh
Fazlur Rahman. Menurut penafsirannya, nafs yang sering diterjemahkan
menjadi jiwa (soul), sebenarnya berarti pribadi, perasaan, atau aku. Adapun
predikat yang beberapa kali disebut dalam Al-Qur`an hanyalah dan
seharusnya dipahami sebagai kaidah-kaidah, aspek-aspek, watak-watak, dan
4

Perbedaan pendapat para pemikir ini lebih jauh disinggung oleh Ibn Qayyim Al Jawziyyah, dalam Roh
hal. 300-356
5
Syah Reza, Makalah Konsep Jiwa Menurut Islam, http://inpasonline.com/new/konsep-jiwa-menurutislam/ diakses tanggal 22 Oktober 2013.
6
Ibn Qayyim Al Jawziyyah, 2012, Roh cet. 29, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, hal. 303
7
Jalaludin Rakhmat dalam Budhy Munawar-Rachman, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (ebook), http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/Nurani.html diakses tanggal 22 Oktober 2013

5
kecenderungan-kecenderungan yang ada pada pribadi manusia. Hal ini
seharusnya dipahami sebagai aspek mental, sebagai lawan dari aspek fisik,
tetapi tidak sebagai substansi yang terpisah.
Bila kita cermati, pendapat yang dikemukakan terakhir mencoba mencari titik
temu antara pendapat golongan pertama dan kedua. Adapun pendapat kaum sufi yang
menyatakan bahwa jiwa merupakan sumber segala keburukan perlu dikritisi kembali,
karena realitanya Al-Ghazali yang merupakan pendukung konsep ini juga menyatakan
bahwa jiwa dapat berpotensi positif dan negatif. Sehingga pernyataan mereka yang
membedakan antara ruh dan jiwa pada akhirnya hanya terbatas pada perbedaan dalam
sifat, bukan dalam dzat. Hal ini tidak terlalu berbeda dengan yang disampaikan oleh
golongan kedua.
Jika diperhatikan dari penjelasan tersebut, barangkali istilah jiwa yang
dimaksudkan kaum sufi lebih mengarah pada istilah hawa nafsu (al-hawa) yang
merupakan salah satu fithrah (bawaan) dari konsep jiwa (nafs) secara umum. Sedangkan
yang dimaksud ruh oleh kaum sufi sebagai sumber segala kebaikan karena bersifat
ilahiyah merupakan bawaan lain dari jiwa (nafs) itu sendiri. Karenanya Al-Ghazali
menggunakan istilah lain untuk ruh, yaitu an-nafs an-nathiqah (jiwa yang rasional),
sedangkan jiwa yang merupakan sumber segala keburukan dinamakan an-nafs alhayawanat (jiwa hewani).8 Jadi, dalam pengertian ini kita dapat memahami bahwa jiwa
memiliki potensi kebaikan dan juga memiliki potensi keburukan.
Dari pemaparan tersebut, dapat kita simpulkan bahwa jiwa adalah totalitas dayadaya rohani berikut internalisasi dan aktualisasinya dalam kehidupan manusia. Jiwa
berarti pribadi seseorang (person), bersifat netral, dan membawa fithrah ketika dilahirkan
ke dunia sebagaimana yang akan dibahas kemudian.

2.2

Fithrah Jiwa
Fithrah dapat diartikan sebagai “sifat asal, kesucian, bakat, dan pembawaan”.

Setiap manusia yang dilahirkan dari rahim sang Ibu, telah membawa sesuatu yang
langsung ditanamkan di dalam jiwanya oleh Sang Khaliq. Firman-Nya,

8

Jalaludin Rakhmat dalam Budhy Munawar-Rachman, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (ebook), http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/Nurani.html diakses tanggal 22 Oktober 2013

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

6

ْ
ْ
ٰ
‫ عل ْيها ا ت ْبٖيل لخلڄ ٱللڢ ٗلڊ ٱلٖين‬ٝ‫ف ق ْږ ڣ ْجهڊ للٖين حنۤيفا فطرع ٱللڢ ٱلت فطر ٱلنا‬
ٰ
ْ
ْ
ۤ‫ ا ي ْعلمڤڗ‬ٝ‫ٱلقيږ ڣلـكن كثر ٱلنا‬
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu. Tidak ada perubahan
pada fithrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui, [Ar-Ruum, 30: 30]
Fithrah yang Allah tanamkan pada jiwa manusia sangat kompleks. Di dalamnya
ada bagian yang merupakan sumber segala kebaikan, cahaya penerang jiwa. Bagian jiwa
inilah yang mungkin oleh kalangan sufi disebut sebagai ruh. Firman-Nya,

ْ
‫ڣحګ‬ٙ ‫فإٗا سڤ ْيتڢ ڣنفخـ فيڢ من‬
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan
kepadanya ruh-Ku.” [QS. Al-Hijr, 15: 29]
Ayat di atas menjadi sandaran kaum sufi bahwa ruh bersifat ilahiyah, merupakan
pencitraan dari sifat-sifat ketuhanan yang luhur, yang selalu mengajak kepada kebaikan
dan ketaatan kepada Sang Khaliq. Ruh ini pula yang menggiring manusia untuk memiliki
kecenderungan beragama, bertauhid, dan melakukan berbagai jenis kebaikan. Fithrah
inilah yang dimaksud oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam dalam
haditsnya,

‫ ڣ‬,‫ ڣ ينصرانڢ‬,‫ ف بڤاه يهڤدانڢ‬- ‫ڣايغ علګ ه٘ه املغ‬ٙ ‫كل مڤلڤد يڤلٖ علګ الفطرع – ڣ ي‬
‫يمجسانڢ‬
Setiap bayi dilahirkan di atas fithrah -dalam riwayat lain : di atas agama ini-.
Maka orangtuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. [HR. AlBukhari dan Muslim]
Namun, hal tersebut bukan berarti bahwa sifat-sifat yang ada pada diri manusia
sama dengan apa yang ada pada Dzat Allah subhanahu wa ta’ala. Sungguh, aqidah Ahlus
Sunnah wal Jama’ah (Suni) telah menetapkan sifat mukhalafatu lil-hawadits (berbeda
dengan makhluk) bagi Allah, berdasarkan ayat dalam Al-Qur`an,

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

7

ْ
ْ
ۤ ۤ‫ل ْيس كمثلڢ ش ْ ڣهڤ ٱلسميع ٱلبصير‬
Tidak ada yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat. [QS. Asy-Syuura, 42 : 11]
Ruh yang ditanamkan kepada manusia berasal dari-Nya, namun Dia merupakan
Dzat yang terpisah dari makhluk-Nya. Ruh yang ditanamkan kepada manusia adalah
makhluk yang terpisah dari-Nya, sedangkan sifat-sifat-Nya melekat dengan Dzat-Nya.
Ruh membawa sifat yang selalu mengajak kepada kebaikan dan ketaqwaan yang telah
ditentukan oleh Allah sesuai dengan kehendak-Nya, bukan membawa sifat Allah itu
sendiri. Ini merupakan kesepakatan para ulama Suni dalam masalah aqidah yang
berkaitan dengan Dzat Allah subhanahu wa ta’ala.
Bahkan, ketetapan ini juga merupakan konsekuensi dari kalimat tauhid, Laa
ilaaha illallah. Bahwasanya tidak ada yang serupa dengan Allah dari sisi dzat-Nya, namanama-Nya, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, dan kita diperintahkan untuk hanya
beribadah kepada-Nya saja, sedangkan Dia terpisah dari makhluk-Nya, berada di atas
‘arsy-Nya yang mulia dan tidak mungkin menyatu dengan makhluk-Nya. Pemahaman ini
akan menghindarkan kita dari pemahaman yang tidak sesuai dengan ketetapan para ulama
Ahlus Sunnah, serta menjauhkan kita dari jalan yang menyimpang dalam aqidah.
Adapun maksud sebuah ayat dalam Al-Qur`an, “Allah lebih dekat daripada urat
leher” tidaklah bermakna bahwa Allah menyatu dengan hambanya (Al-Hulul/ WahdatulWujud). Ini adalah aqidah yang tidak sesuai dengan pemahaman para ulama Suni. Makna
kedekatan dalam ayat tersebut adalah kedekatan pengawasan Allah terhadap manusia, di
mana Allah telah mengutus malaikat-Nya untuk selalu mendampingi manusia dan
mencatat setiap gerak langkah manusia. Hal ini dapat dilihat dari kelengkapan ayat
tersebut,

ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
‫يٖ* ٗ يۤتلقۤى‬ٙ‫ بڢ نفسڢ ڣن ْحن قرب ل ْيڢ م ْن ح ْبل الڤ‬ٝ‫لق ْٖ خلقنا إنساڗ ڣن ْعلږ ما تڤ ْسڤ‬
ْ
ْ
ْ
ٖۤ‫قيظ عتي‬ٙ ‫امتلقياڗ عنۤۤاليميڗ ڣعن الشماڋ قعيٖ * ما يلفٴ من ق ْڤڋ ا لٖ ْيڢ‬
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang

dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya; (yaitu)
ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, yang satu duduk di sebelah
kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkan

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

8
(seseorang) melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” [QS. Qaaf
: 16-18].

ْ

Firman Allah [ۤ‫امتلقياڗ‬

ْ
‫ ] ٗ يتلقى‬: “(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat

amal perbuatannya” ; adalah dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh ayat di
atas adalah dekatnya dua malaikat yang mencatat amal. Wallahu a’lam.
Fithrah yang diberikan oleh Allah kepada manusia bukan hanya ruh. Manusia juga
membawa kecenderungan berbuat buruk yang oleh kaum sufi disebut jiwa. Namun,
sepertinya penggunaan istilah ini kurang tepat karena jiwa bersifat umum, sedangkan
kecenderungan berbuat buruk yang ada pada diri manusia bukanlah sifat jiwa secara
keseluruhan, ia hanya merupakan sebagian dari sifat jiwa itu sendiri. Bagian ini lebih
tepat disebut dengan al-hawa (hawa nafsu). Hawa merupakan sumber dari segala
keburukan, pemadam cahaya jiwa. Hawa nafsu selalu bersanding dengan bisikan-bisikan
setan. Berbanding terbalik dengan ruh yang selalu bersanding dengan bisikan-bisikan
malaikat.
Shalih bin Fauzan Al Fauzan mengatakan,

‫ ڣقرين من الجن ڣالشياطيڗ يٖلڢ علګ الشر‬، ‫مع إنساڗ قرين من امائكغ يٖلڢ علګ الخير‬
‫ ابتا ڣامتحاڗ من ه سبحانڢ ڣتعالګ‬، ‫ معڢ‬ٙ‫ف يهما غلظ عليڢ سا‬
Setiap

manusia

memiliki

qorin

(pendamping)

dari

malaikat

yang

membimbingnya kepada kebaikan dan qorin dari kalangan jin dan setan yang
mengarahkannya kepada keburukan, yang mana yang lebih kuat maka dia yang berjalan
bersama manusia itu sebagai ujian dan cobaan dari Allah subhanahu wa ta’ala.9
Selain ruh dan hawa yang saling tarik menarik, Allah juga telah menganugerahi
manusia dengan gharizah thabi’iyah (sifat-sifat alamiah) berupa kemampuan untuk
tumbuh dan berkembang, naluri, watak, dan bakat; quwwatul ghadhab (daya defensif)
yang dapat menghindarkan manusia dari segala perbuatan yang membahayakan dirinya;
quwwatusy syahawat (daya ofensif) yang mampu menginduksi obyek-obyek yang
menyenangkan dan bermanfaat bagi kehidupannya, baik secara jasmaniah maupun
rohaniah; akal (quwwatul ‘aqli) yang merupakan penasehat diri dan pengikat potensipotensi lainnya; serta hati (al-qalbu), yang merupakan raja diri. Bila hati ini baik, maka

9

http://sahab.net/forums/showthread.php?t=378513

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

9
baik pula seluruh diri manusia. Bila hati ini buruk, maka buruk pula keseluruhan diri
manusia.
Nabi bersabda dalam hadits Ibn Mas’ud

ْ
ْ
ْ
ْ
ْ ‫ا ڣ ڗ ي ْالجسٖ م‬
‫ضغغ ٗا صلحـ صلح الجسٖ كلڢ ڣ ٗا فسٖػ فسٖ الجسٖ كلڢ ا ڣهي‬
ْ ْ
‫القلظ‬
Ketahuilah, sesungguhnya di dalam hati ada segumpal daging yang kalau dia
baik maka akan baik pula seluruh anggota tubuh, dan kalau dia rusak maka akan rusak
pula seluruh anggota tubuh, ketahuilah di adalah hati.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Ibn Rajab Al-Hanbali berkata, “Dalam hadits ini ada isyarat yang menunjukkan
bahwa baiknya gerakan anggota tubuh seorang hamba, dia meninggalkan semua yang
diharamkan dan menjauhi semua syubhat, sesuai dengan baiknya gerakan hatinya.”10
2.3

Pertarungan dalam Jiwa
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa di antara fithrah manusia

terdapat ruh yang merupakan sumber kebaikan dan hawa nafsu yang merupakan sumber
keburukan. Keduanya selalu berperang di dalam jiwa dan berusaha untuk menguasai jiwa
manusia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

ۤ

ْ
ْ
‫ها ڣتقڤاها‬ٙ‫ف لهمها فجڤ‬

ْ
‫ڣنفس ڣما سڤاها‬

Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. [QS. Asy-Syams, 91 : 7-8]
Ayat di atas menegaskan bahwa Allah memberikan dua potensi ke dalam setiap
jiwa, yaitu potensi untuk melaksanakan kebaikan (taqwa) dan potensi untuk
melaksanakan keburukan (fujur). Segala bentuk kebaikan bersumber dari ruh dan segala
bentuk keburukan bersumber dari hawa.

10

Jami’ Al-Ulum Wa Al-Hikam: 1/210

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

10

Quwwatul
'Aqli

Al Qalbu
Quwwatul
Ghadhab

Quwwatusy
Syahawat

Ilustrasi

Allah menjelaskan kepada kita bahwa mengikuti hawa nafsu hanya akan
membawa manusia pada kesesatan,

ۤ‫ڣم ْن ضل ممن اتبع هڤاه بغ ْير هٖڥ من اللڢ‬
Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya
dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun. [QS. Al Qashshash, 28 : 50]
Karenanya Allah memerintahkan kita untuk tidak mengikutinya,

ْ
ۤ ۤ‫ڣا تتبع الهڤڥ فيضلڊ عن سبيل اللڢ‬

Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu
dari jalan Allah. [QS. Shaad, 38 : 26]
Kemudian Allah menjanjikan bahwa siapa saja yang bisa mengalahkan hawa
nafsunya, ia akan mendapatkan kebaikan dan balasan surga.

ْْ
ْ
ْ
ْ
ۤ ٠٤ ‫ فإڗ ٱلجنغ هګ ٱم ڣ ٰڥ‬٠٤ ‫بڢ ڣنه ٱلنفس عۤن ٱلهڤ ٰڥ‬ٙ ‫ڣ ما م ْن خاف مقام‬

Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan
diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).
[An-Naazi’aat, 79 : 40-41]
2.4

Kecerdasan Transendental
Manusia, selain membawa aspek-aspek bawaan dan berbagai potensi yang ada

saat ia dilahirkan ke dunia, juga telah ditanamkan “multiple intelligence quotient”.
Dengan kata lain, kecerdasan yang ada pada manusia tidaklah tunggal, melainkan jamak.

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

11
Tetapi kejamakan kecerdasan itu hendaknya menghasilkan pemikiran, sikap, tindakan,
dan perilaku yang tunggal setelah seseorang bersentuhan dengan fenomena tertentu.11
Kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan
emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). Ditambah dengan kecerdasan
transendental (TQ), yang merupakan pengembangan dari kecerdasan spiritual.
Kecerdasan Intelektual (IQ) adalah ukuran kemampuan intelektual, analisis,
logika, dan rasio seseorang. IQ merupakan kecerdasan otak untuk menerima, menyimpan,
dan mengolah informasi menjadi fakta. Kecerdasan Emosional (EQ) adalah kemampuan
mengenali perasaan sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri,
serta kemampuan mengolah emosi dengan baik pada diri sendiri dan orang lain.
Kecerdasan Spiritual (SQ) adalah kemampuan seseorang untuk mengerti dan
memberi makna pada apa yang di hadapi dalam kehidupan, sehingga seseorang akan
memiliki fleksibilitas dalam menghadapi persoalan di masyarakat.12 Sementara itu,
kecerdasan transendental merupakan kemampuan seseorang memaknai hidup dan
kehidupannya dalam perspektif Allah subhanahu wa ta’ala.13
Sebagian orang seringkali keliru menggunakan istilah “spiritual” dan “ruhiyah”.
Dalam Islam, pengertian "ruhiyah" tidak sama dengan pengertian "spiritual" dalam
psikologi atau perspektif non Islam. "Spiritual" tidak berhubungan dengan religiusitas,
sedangkan "ruhiyah" sangat berhubungan erat dengan religiusitas.
Oleh karena itu, secara terminologi (peristilahan) istilah "ruhiyah" lebih dekat
kepada istilah "transendental" daripada istilah "spiritual". Danah Zohar dan Ian Marshal
(penulis "Spiritual Quotient", 2001) pada halaman 7-8 mengakui, bahwa spiritualitas
tidak berhubungan dengan religiusitas. Spiritualitas hanyalah sebatas pemaknaan hidup
dalam perspektif manusia yang bersangkutan.14
Nina Syam dalam diktat mata kuliah Psikologi Komunikasi untuk program studi
Magister Komunikasi Unisba menggambarkan kecerdasan transendental sebagai berikut,

11

Aristiono Nugroho, Multiple Intelligence Quotient,
http://sosiomotivation.blogspot.com/2012/06/multiple-intelligence-quotient.html
12
Silvi Astrilyani, Pengertian IQ, EQ, dan SQ,
http://silviastrilyani.wordpress.com/2013/02/11/pengertian-iq-eq-dan-sq/
13
Aristiono Nugroho, Multiple Intelligence Quotient,
http://sosiomotivation.blogspot.com/2012/06/multiple-intelligence-quotient.html
14
Aristiono Nugroho, Spiritual dan Transcendental,
http://sosiologidakwah.blogspot.com/2008/03/spiritual-dan-transcendental.html

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

12

Kecerdasan
Spiritual

Agama (Islam)

Kecerdasan Transendental

Gambar di atas dimaksudkan untuk melahirkan titik singgung (overlapping of
meaning) pada dua lingkaran, di mana garis yang saling bertindihan antara bidang
spiritual dan agama adalah kecerdasan transendental (Nina Syam).
Bila kita kaitkan dengan apa yang telah dibahas pada pemaparan sebelumnya,
maka kecerdasan transendental merupakan kemampuan ruh untuk selalu mendominasi
hawa dan mengendalikan hati, akal, ghadhab, dan syahwat. Karena sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya bahwa dalam diri manusia terjadi peperangan yang maha dahsyat
antara ruh dengan hawa, di mana pemenangnya kemudian akan memimpin jiwa manusia
dan mengarahkannya. Bila ruh berhasil mengalahkan hawa dan mendominasi jiwa, maka
jiwa manusia akan menjadi tenang, hatinya akan selamat, dan akal pikirannya menjadi
jernih.
Sebaliknya, bila hawa berhasil memenangkan pertempuran dan mengalahkan ruh,
maka jiwa manusia akan selalu menyuruh berbuat keburukan, hati akan menjadi sakit,
bahkan mati, sedangkan akal pikiran akan menjadi keruh dan kotor.

Ruh mengalahkan
Hawa

•Jiwa yang tenang
•Hati yang bersih
•Akal yang jernih

Hawa
mengalahkan Ruh

•Jiwa yang mengajak kepada keburukan
•Hati yang sakit/ mati
•Akal yang keruh

Bila kita memahami hal ini, maka tentu kita akan berusaha untuk menjaga kondisi
ruh kita, mendidik dan membinanya sehingga ia bisa memenangkan pertempuran di
dalam jiwa. Usaha untuk menjaga kondisi ruhiyah seseorang biasa disebut sebagai
aktivitas tarbiyah ruhiyah (mendidik atau membina kondisi ruh). Aktivitas ini juga sering
disebut sebagai tazkiyatun nafs (pensucian jiwa) karena tujuan aktivitas ini adalah

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

13
mensucikan jiwa dari segala bentuk keburukan hawa nafsu dan dosa. Sedangkan
Abdullah Gymnastiar atau yang biasa disebut Aa Gym, lebih memilih istilah Manajemen
Qalbu, karena menurutnya kondisi ruhiyah seseorang sangat berkaitan erat dengan
kondisi hatinya (al-qalbu).

2.5

Kecerdasan Ruhiyah Cerminan Pribadi Taqwa
Taqwa didefinisikan sebagai sikap yang mengerjakan perintah Agama dan

menjauhi larangannya. Menurut Ibn Mas’ud, taqwa adalah engkau menaati Allah di atas
cahaya dari Allah, mengharapkan pahala Allah, dan engkau meninggalkan kemaksiatan
di atas cahaya dari Allah dan takut siksaan Allah.
Orang yang benar-benar bertaqwa adalah orang yang memiliki kecerdasan
ruhiyah yang tinggi, karena tidaklah seseorang dapat merealisasikan taqwa dalam
kehidupannya kecuali ruh dirinya telah berhasil memenangkan pertempuran yang terjadi
dalam jiwanya. Maka, taqwa merupakan indikator kecerdasan ruhiyah, dan kecerdasan
ruhiyah merupakan cerminan pribadi taqwa.
Untuk mencapai derajat taqwa yang hakiki, maka seseorang harus berusaha
mengendalikan keinginan hawa nafsu sekuat tenaga. Pertama, ia harus berusaha
meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, baik larangan tersebut
hukumnya haram atau makruh. Ini adalah taqwanya orang-orang awam. Sebagaimana
yang telah dipaparkan bahwa taqwa adalah mengerjakan apa-apa yang diperintahkan dan
menjauhi apa-apa yang dilarang.
Kedua, ia harus bisa berusaha meninggalkan perkara yang masih samar hukumnya
(syubhat). Termasuk di dalamnya adalah meninggalkan sesuatu yang mubah sebagai
bentuk kehati-hatian. Ini adalah wara’, derajat ketaqwaan yang lebih tinggi daripada
taqwanya orang-orang awam.

ْ
ْ ْ
ْ
ْ
ْ
ۤٝ ‫ا ما بڢ الب‬ٙ٘‫ بڢ ح‬ٝ ‫ا ي ْبلغ الع ْبٖ ڗ يكڤڗ م ْن امتقيڗ حت يٖٵ ما ا ب‬

Seorang hamba belum mencapai derajat taqwa sehingga ia meninggalkan
sesuatu yg mubah (boleh) sebagai bentuk kehati-hatian dari sesuatu yang dilarang. [HR.
Ibnu Majah No.4205].
Ketiga, ia harus berusaha meninggalkan belenggu dunia yang fana dan
menetapkan akhirat sebagai tujuan hidupnya. Segala sesuatu yang tidak membawa
kebaikan bagi kehidupan akhirat ia tinggalkan, sedangkan untuk urusan dunia, ia hanya

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

14
memanfaatkannya untuk menempuh jalan menuju kehidupan akhirat yang abadi. Ini
adalah sifat zuhud, yaitu tidak berambisi terhadap dunia karena ambisinya hanya untuk
akhirat. Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

‫ ف ضرڣا بالفاني للبا ي‬...‫يا قڤم‬.‫اد خرع ضر بالٖنيا‬ٙ ‫ڣمن‬.‫اد الٖنيا ضر باآخرع‬ٙ ‫من‬
Barangsiapa yang menginginkan akhirat, dia akan mengorbankan dunia. Dan
barangsiapa yang menginginkan dunia, dia akan mengorbankan akhirat. Wahai kaum,
korbankanlah yang fana (dunia) demi untuk yang kekal abadi (akhirat).15
Namun, bukan berarti zuhud selalu identik dengan hidup miskin, enggan mencari
nafkah, dan hidup penuh menderita. Zuhud adalah perbuatan hati. Karenanya, kita tidak
bisa hanya sekedar memperhatikan keadaan lahiriyah, lalu seseorang bisa dinilai sebagai
orang yang zuhud. Abu Dzar mengatakan,

ْ
ْ
ْ
ْ
‫هادع ګ الٖ ْنيا ْڗ ا تكڤڗ‬ٜ‫اماڋ ڣلكن ال‬
ۤ ‫هادع ګ الٖنيا ل ْيسـ بت ْحريږ الحاڋ ڣا ضاعغ‬ٜ‫ال‬
ْ
ْ
ْ
‫غظۤ فيها‬ْٙۤ ‫بما ګ يٖ ْيڊ ْڣثڄ مما ګ يٖڥ اللڢ ڣ ڗ تكڤڗ ګ ثڤاب امصيبغ ٗا نـ ص ْبـ بها‬
ْ
ۤ‫ل ْڤ نها ْبقيـ لڊ‬
Zuhud terhadap dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan bukan juga

menyia-nyiakan harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah engkau begitu yakin
terhadapp apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Zuhud
juga berarti ketika engkau tertimpa musibah, engkau lebih mengharap pahala dari
musibah tersebut daripada kembalinya dunia itu lagi padamu.16
Pada masa tabi’in,17 Abdullah bin Al Mubarak (Ibnul Mubarak) pernah dikritik
oleh sahabatnya tentang gaya hidupnya yang dianggap jauh dari sifat zuhud.
Diriwayatkan bahwa Fudhail bin ‘Iyadh (sahabat Ibnul Mubarak) berkata pada Ibnul
Mubarak,

Adz Dzahabi, Siyar A’la A -Nubala : 1/496 (e-book)
Jaa i’ul Ulu wal Hika , hal. 6, http://rumaysho.com/belajar-islam/manajemen-qolbu/3067memahami-arti-zuhud.html diakses tanggal 22 Oktober 2013
17
Masa tabi’i adalah kuru waktu setelah asa para sahabat. Para ula a tabi’i
erupaka
ereka
yang pernah belajar langsung kepada para Sahabat Rasulullah.

15
16

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

15

‫ كيف ٗا ؟‬،‫ ڣنراڅ ت تي بالبضائع‬،‫ ڣالبلغغ‬،‫هٖ ڣالتقلل‬ٜ‫نـ ت مرنا بال‬
Engkau memerintahkan kami untuk zuhud, sederhana dalam harta, hidup yang
sepadan (tidak kurang tidak lebih). Namun kami melihat engkau memiliki banyak harta.
Mengapa bisa begitu?
Ibnul Mubarak mengatakan,

‫بي‬ٙ ‫ ڣ ستعيڗ بڢ علګ طاعغ‬، ‫ ڣ كرم عرض‬، ‫ نما فعل ٗا اصڤڗ ڣجه‬،‫يا با علي‬
Wahai Abu ‘Ali (yaitu Fudhail bin ‘Iyadh). Sesungguhnya hidupku seperti ini
hanya untuk menjaga wajahku dari ‘aib (meminta-minta). Aku pun bekerja untuk
memuliakan kehormatanku. Aku bekerja agar bisa membantuku untuk taat pada Rabbku.
Bila ruh telah terlatih, maka jiwa menjadi bersih dan suci, hidupnya merdeka
karena tidak lagi terbelenggu kehidupan dunia yang fana, maka hawa nafsu pun akan
tunduk di bawah kekuasaan ruh dan setan yang mengiringinya akan kelelahan dalam
membisikkan keburukan. Ibadah kepada Allah akan terasa lebih mudah dan khusyu’.
Sesungguhnya perumpamaan tazkiyatun nafs atau tarbiyah ruhiyah adalah seperti
membersihkan dan mengisi gelas. Jika gelas kita kotor, meskipun diisi dengan air yang
bening, airnya akan berubah menjadi kotor. Dan meskipun diisi dengan minuman yang
lezat, tidak akan ada yang mau minum karena kotor. Tetapi jika gelasnya bersih, diisi
dengan air yang bening akan tetap bening. Bahkan bisa diisi dengan minuman apa saja
yang baik-baik: teh, sirup, jus, dan sebagainya.18
Bila hakikat taqwa telah tertanam dalam diri seorang manusia, maka ia akan
merasakan kelezatan iman. Hal ini disebabkan, segala curahan cinta yang muncul dari
hatinya berasal dari kekuatan ilahiyah. Ia telah menempatkan cinta tertinggi kepada Allah
dan Rasul-Nya, sedangkan cinta kepada selainnya ia tempatkan di bawah keduanya.
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,

‫ ڣ ڗ‬، ‫سڤلڢ حظ ليڢ مما سڤاهما‬ٙ‫ ڗ يكڤڗ ه ڣ‬: ‫ثاف من كن فيڢ ڣجٖ بهن حاڣع إيماڗ‬
‫ كما يكره ڗ‬، ‫ ڣ ڗ يكره ڗ يعڤد ي الكفر بعٖ ٗ نق٘ه ه منڢ‬، ‫يحظ امر ا يحبڢ ا ه‬
.ٙ‫يق٘ف ي النا‬

18

Abdur Rosyid, Makna dan Pentingnya Tazkiyatun Nafs, http://menaraislam.com/content/view/127/1/
diakses tanggal 22 Oktober 2013

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

16
Ada tiga hal yang jika ada pada diri seseorang, maka orang tersebut akan
mendapatkan manisnya iman: (1) Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain
keduanya, (2) Mencintai seseorang, yang dia tidak mencintai orang tersebut kecuali
karena Allah, (3) Membenci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan
dia dari kekufuran tersebut sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam api
neraka.

2.6

Cinta (Al-Mahabbah)
Sebagaimana telah dipaparkan bahwa manisnya iman hanya akan dirasakan oleh

orang yang memiliki tiga sifat, yaitu :
1) Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya,
2) Mencintai seseorang, yang dia tidak mencintai orang tersebut kecuali karena
Allah,
3) Membenci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan dia dari
kekufuran tersebut sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam api
neraka.
Puncak kelezatan iman akan diraih bila seseorang telah menyandarkan cintanya
hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, serta mencintai selainnya di bawah kecintaan kepada
keduanya, sekaligus membenci apa-apa yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya.
Ibn Qayyim Al-Jawziyyah menyebutkan bahwa cinta (al-mahabbah) pada
dasarnya terbagi dua,
1) Al-Mahabbah asy-Syar’iyyah (cinta yang disyari’atkan), di mana landasan
dasarnya adalah keimanan, dan
2) Al-Mahabbah ghayrusy Syar’iyyah (cinta yang tidak disyari’atkan/ cinta
terlarang), yang landasan dasarnya adalah syahwat dan hawa.
Lebih jauh, Ibn Al-Qayyim menjelaskan bahwa sebagai seorang muslim, kita
diperintahkan untuk proporsional dalam mencintai sesuatu. Kadar cinta harus
ditempatkan sesuai dengan objeknya, karena kita tidak boleh mencintai semua hal dengan
kadar yang sama. Ibn Al-Qayyim sebagaimana dikatakan oleh Burhan Sodiq19
menyebutkan bahwa cinta terbagi pada enam tingkatan, di mana setiap tingkat harus
ditujukan pada objek yang sesuai dan diysari’atkan.

19

Ya Allah, Aku Jatuh Cinta, Mengelola Cinta Tanpa Harus Kena Dosa, 2008

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

17
1) At-Tatayyum (cinta menghamba), yang hanya ditujukan untuk Allah semata,
karena konsekuensi cinta ini adalah menyembah dan mengabdikan diri (QS.
2 : 21, 2: 165)
2) Al-‘Isyq (sangat mesra), ditujukan kepada Rasulullah dan Islam,
konsekuensinya adalah al-ittiba’ (mengikuti), yakni mengikuti perintah
dalam Al-Qur`an dan as-Sunnah.
3) Asy-Syauq (rasa rindu), ditujukan kepada orang-orang beriman dan orangorang shalih, termasuk di dalamnya orang tua dan keluarga yang beriman.
Kadar cinta ini akan memunculkan sifat rahmah dan mawaddah (saling
berkasih sayang dan saling mencintai).
4) Ash-Shababah (curahan hati), ditujukan kepada umat Islam secara umum,
untuk menumbuhkan ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam).
5) Al-‘Athf (simpati), yang ditujukan kepada manusia secara keseluruhan. Sikap
simpati ini akan mendorong kita untuk mengajak mereka kepada keindahan
Islam (dakwah).
6) Al-‘Alaqah (hubungan), yang ditujukan kepada seluruh materi/ dunia. Kadar
cinta kepada materi duniawi tidak boleh meninggi, karena kadar cinta ini
hanya sebatas keinginan untuk memanfaatkan segala macam materi dalam
rangka beribadah dan menjalankan aktivitas kehidupan.
Bila seseorang telah proporsional dalam menempatkan kadar cinta sesuai dengan
objeknya, maka ia telah berjalan di atas cinta yang disyari’atkan. Bila tidak, maka
sesungguhnya ia telah dikuasai oleh hawa dan syahwatnya sendiri. Dengan kata lain, ia
belum memiliki kecerdasan transendental.

2.7

Benci (Al-Karahah)
Sebagaimana cinta, benci juga terbagi menjadi dua: benci yang disyari’atkan dan

benci yang tidak diyari’atkan. Sehingga dalam Islam, kebencian tidak selalu bermakna
negatif. Bahkan, pada titik tertentu, benci merupakan bagian dari iman yang harus ada,
sebagaimana hadits manisnya iman yang telah diutarakan bahwa syarat ketiga untuk
meraih manisnya iman adalah membenci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah
selamatkan dia dari kekufuran tersebut sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke
dalam api neraka.

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

18
Diriwayatkan bahwa Abdullah ibn `Abbas radhiyallaahu ‘anhu berkata, "Siapa
yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi wala' (loyalitas) karena
Allah dan memusuhi karena Allah maka sesungguhnya dapat diperoleh pertolongan Allah
hanya dengan itu. Sedangkan seorang hamba itu tidak akan merasakan lezatnya iman,
sekali pun banyak salat dan puasanya, sehingga ia melakukan hal tersebut. Telah menjadi
umum persaudaraan manusia berdasarkan kepentingan duniawi, yang demikian itu
tidaklah bermanfaat sedikit pun bagi para pelakunya." [HR. Thabrani dalam Al-Kabir]
Karenanya, baik cinta maupun benci, harus dilandasi kekuatan iman. Cinta dan
benci dalam Islam bukanlah cinta dan benci yang lahir dari ghadhab dan syahwat yang
dikuasai hawa nafsu. Cinta dan benci dalam Islam lahir dari pemahaman yang benar
terhadap konsep tauhidullah yang merupakan inti dari ajaran Islam itu sendiri.
Dalam bab ‘aqidah, cinta dan benci karena Allah termasuk ke dalam pembahasan
Al Wala’ wal Bara’ (loyalitas dan anti loyalitas). Al-Wala' artinya loyalitas dan
kecintaan. Wala’ adalah kata mashdar dari fi’il “waliya” yang artinya dekat. Adapun yang
dimaksud dengan wala’ di sini adalah dekat kepada kaum muslimin dengan mencintai
mereka, membantu dan menolong mereka atas musuh-musuh mereka dan bertempat
tinggal bersama mereka.
Al-Bara' artinya berlepas diri dan kebencian. Bara’ adalah mashdar dari bara’ah
yang berarti memutus atau memotong. Maksudnya di sini ialah memutus hubungan atau
ikatan hati dengan orang-orang kafir, sehingga tidak lagi mencintai mereka, membantu
dan menolong mereka202122 serta tidak tinggal bersama mereka.23
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam juga menegaskan hal ini, dengan
sabdanya,

ْ
ْ
ْ
ْ
ْ ْ
ۤ‫ ي ه‬٬‫ ڣالحظ ي ه ڣالبغ‬،‫ امڤاع ي ه ڣامعاداع ي ه‬:‫ْڣثڄ عرڥ إ ْيماڗ‬

20

Membantu dan menolong yang terlarang disini adalah di dalam membantu perbuatan kekafirannya,
sedangkan menolong dalam hal kebaikan dan kemanusiaan bahkan Islam sangat menganjurkannya,
Lihat fatwa Al-Lajnah;http://islamqa.info/id/1204
21
Fatawa Al-Lajnah, 25/380, Pertanyaan keenam dari fatwa no.
264) http://yaaukhti.wordpress.com/2011/03/09/hukum-menolong-orang-kafir-yang-kelaparan/
22
Penjelasan rinci tentang hukum berhubungan dengan orang kafir; http://asysyariah.com/hukumbekerja-dengan-orang-kafir/
23
Shalih ibn Fauzan Al Fauzan, Kitab Tauhid (e-book), http://belajar-tauhid.blogspot.com/2005/05/alwala-wal-bara.html

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

19
Tali keimanan yang paling kuat adalah bersikap loyal (setia) karena Allah dan
memusuhi karena Allah, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah. [HR. athThabarani dalam al-Mu’jamul Kabir no.11537]
Oleh karenanya, benci terhadap kemaksiatan dan orang-orang yang memusuhi
Allah dan Rasul-Nya merupakan sebuah kewajiban syar’i yang lahir dari kecintaan
kepada Allah dan Rasul-Nya. Dari sini kita memahami bahwa berbagai bentuk
kemaksiatan, seperti kemusyrikan dan kekufuran, bid’ah, dan berbagai kemaksiatan
lainnya harus dibenci sebagai bukti kecintaan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Lebih tegas, Allah berfirman dalam surat Al Mujaadalah,

ْ
ْ
ْ
‫سڤلڢ ڣل ْڤ كانڤا ب ه ْږ ْڣ‬ٙ‫ا تجٖ ق ْڤما ي منڤڗ بٱللڢ ڣٱلي ْڤم ٱآخر يڤ دڣڗ م ْن ح د ٱللڢۤ ڣ‬
ٰ
ْ
ْ
‫ْبن ه ْږ ْڣ خڤانه ْږ ْڣ عشيرته ْږ ْڣلـئڊ كتظ ګ قلڤبهږ ٱإيماڗ ڣ يٖه ْږ برڣح م ۤنڢ ڣي ْٖخله ْۤږ‬
ٰ ْ ْ
‫ب ٱللڢ ا ڗ‬ْٜ ‫ضڤا عنڢ ْڣلـئڊ ح‬ٙ‫ض ۤ ٱللڢ ع ْنه ْږ ڣ‬ٙ ‫ خالٖين فيها‬ٙ‫جناػ ت ْجرڥ من ت ْحتها ٱأ ْنها‬
ْ ْ
‫ڗ‬
ۤ ‫ب ٱللڢ هږ ٱمفلحڤ‬ْٜ ‫ح‬
Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling
berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun
orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga
mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati
mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan[1462] yang datang daripada-Nya.
Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,
mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas
terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa
sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung. [QS. Al-Mujaadalah, 58 :
22]
Juga firman-Nya,

ْ
ْ
ْ ْ
ْ
‫ق ْٖ كانـ لك ْږ ْسڤع حسنغ ي ْبراهيږ ڣٱل٘ين معڢ ٗ قالڤا لق ْڤمه ْږ نا بر ا م ۤنك ْږ ڣمما‬
ْ ْ
ْ
ْ ْ
‫ت ْعبٖڣڗ من دڣڗ ٱللڢ كف ْرنا بك ْږ ڣبٖا ب ْيننا ڣب ْينكږ ٱلعٖاڣع ڣٱلبغض بٖا حت ٰ ت منڤا بٱللڢ‬
ۤ‫ڣ ْحٖه‬
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan
orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

20
"Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah
selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu
permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah
saja. [QS. Al-Mumtahanah, 60: 4]
Namun demikian, bukan berarti kita tidak boleh berbuat baik sama sekali kepada
orang-orang kafir. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa manusia secara
umum mendapatkan hak cinta berupa al-‘athf (simpati) yang akan mendorong kita untuk
mengajaknya kepada keindahan Islam. Tentang hal ini Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman,

ْ
ْ
ْ
‫ك ْږ ڗ تبرڣهۤ ْږ ڣت ۤقسطڤا‬ٙ‫ا ي ْنهاكږ ٱللڢ عن ٱل٘ين ل ْږ يقاتلڤك ْږ ګ ٱلٖين ڣل ْږ يخرجڤك ْږ من ديا‬
ْ
ْ ْ
‫نما ي ْنهاكږ ٱللڢ عن ٱل٘ين قاتلڤك ْږ ګ ٱلٖين ڣ خرجڤكږ‬
ۤ‫ل ْۤيه ْږ ڗ ٱللڢ يحظ ٱمقسطيڗ‬
ٰ
ْ
ْ
‫ڗ‬
ۤ
ۤ ‫ك ْږ ڣظاهرڣا عل ٰګ خراجك ْږ ڗ تڤل ْڤه ْږ ڣمن يتڤله ْږ ف ْڣلـئڊ هږ ٱلظامڤ‬ٙ‫من ديا‬
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-

orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya
Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang
memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang
lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka
mereka itulah orang-orang yang zalim. [QS. Al-Mumtahanah, 60: 8-9]
Ibn Qayyim Al-Jawziyyah sebagaimana dikutip oleh Muhammad bin Sa’id Al
Qahthani24 menggambarkan hubungan cinta kepada Allah dengan benci karena Allah
dalam sya’irnya,

‫ۤتحظۤ علګ محبتڢۤ با عصياڗ‬

ۤ‫ش ْر٭ۤ امحبغۤ ڗ تڤافڄۤ م ْن‬

‫ۤفڊۤ ما يحظۤ ف نـ ٗڣ بهتاڗ‬

ۤ ‫فإٗا ادعيـۤ لڢ امحبغۤ مع خا‬

‫ۤحباۤ لڢ ما ٗاڅ ي مكاڗ‬

ۤ ‫تحظۤ عٖا الحبيظۤ ڣتٖعي‬

ۤ ۤ‫ۤ ين امحبغۤ يا خا الشيطاڗ‬
24

ۤ

ۤ

ۤ‫ڣك٘ا تعادڬ جاهٖاۤ ْحبابڢ‬

Al Wala wal Bara fil Islam (e-book), hal 40-41

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

21

ۤ ‫كاڗ‬ٙ ‫ۤمع خضڤٵ القلظ ڣ‬

ۤ ‫ليس العبـادع غير تڤحيٖ امحبغ‬

Syarat cinta adalah engkau sejalan dengan
orang yang kau cintai tanpa durhaka kepadanya
Bila kau mengaku mengaku mencintainya dan
menentangnya, maka engkau sedang berdusta
Pantaskah kau cintai musuh kasihmu dan kau katakan
mencintainya? tidak ada kemungkinannya
Engkau pun musuhi orang yang dicintainya
Ke manakah cinta itu wahai saudaranya setan?
Tak ada ibadah tanpa kesatuan cinta
diiringi tunduk hati dan anggota badan

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

BAB III
PENUTUP

3.1.

Simpulan
Apa yang telah dipaparkan memberikan penjelasan kepada kita bahwa manusia

dalam perspektif Islam merupakan makhluk yang kompleks, yang membawa berbagai
bawaan (fithrah) sejak ia dilahirkan di dunia ini. Di antara bawaan tersebut ada yang
senantiasa mengajak kepada kebaikan, yakni ar-ruh, juga ada yang senantiasa mengajak
kepada keburukan, yakni al-hawa.
Selain keduanya, manusia juga dibekali dengan daya berpikir (quwwatul ‘aqli),
daya mempertahankan diri (quwwatul ghadhab), daya ofensif (quwwatusy syahwat), hati
(al-qalbu) yang merupakan inti atau pusat berkumpulnya daya tersebut, serta gharizah
thabi’iyah (naluri alamiah) yang merupakan ciri makhluk hidup secara umum.
Kaitannya dengan kecerdasan yang dimiliki oleh manusia, ia merupakan
“multiple intelligence quotient”. Dengan kata lain, kecerdasan yang ada pada manusia
tidaklah tunggal, melainkan jamak. Tetapi kejamakan kecerdasan itu hendaknya
menghasilkan pemikiran, sikap, tindakan, dan perilaku yang tunggal setelah seseorang
bersentuhan dengan fenomena tertentu.25
Kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan
emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). Ditambah dengan kecerdasan
transendental (TQ), yang merupakan pengembangan dari kecerdasan spiritual.
Kecerdasan Spiritual (SQ) adalah kemampuan seseorang untuk mengerti dan
memberi makna pada apa yang di hadapi dalam kehidupan, sehingga seseorang akan
memiliki fleksibilitas dalam menghadapi persoalan di masyarakat.26 Sementara itu,
kecerdasan transendental merupakan kemampuan seseorang memaknai hidup dan
kehidupannya dalam perspektif Allah subhanahu wa ta’ala.27
Kecerdasan transendental (TQ) atau yang biasa disebut juga dengan istilah
kecerdasan ruhaniah/ ruhiyah merupakan ciri pribadi bertaqwa. Sedangkan taqwa

25

Aristiono Nugroho, Multiple Intelligence Quotient,
http://sosiomotivation.blogspot.com/2012/06/multiple-intelligence-quotient.html
26
Silvi Astrilyani, Pengertian IQ, EQ, dan SQ,
http://silviastrilyani.wordpress.com/2013/02/11/pengertian-iq-eq-dan-sq/
27
Aristiono Nugroho, Multiple Intelligence Quotient,
http://sosiomotivation.blogspot.com/2012/06/multiple-intelligence-quotient.html

23
merupakan indikator kecerdasan transendental. Pusat kecerdasan ini berada di inti jiwa,
yakni hati, sedangkan muaranya ada pada rasa cinta yang amat sangat kepada Allah dan
Rasul-Nya, serta hanya mencintai dan membenci karena Allah semata.

3.2.

Saran
Dengan pemaparan ini, semoga pembaca bisa lebih memahami konsep manusia

dan kecerdasan transendental dalam perspektif Islam, sehingga sanggup menjalani
aktivitas hidupnya dengan pertimbangan-pertimbangan ilahiyah. Karena sesungguhnya,
kehidupan yang dijalani manusia merupakan ketentuan-Nya yang harus disusuri dengan
semangat taqwa dan ketaatan terhadap-Nya.
Selain itu, semoga penelitian ini dapat menjadi bahan yang akan ditindaklanjuti
oleh para peneliti lain sebagai upaya penelitian lanjutan. Hanya kepada Allah lah tempat
meminta pertolongan dan kebenaran mutlak hanya milik-Nya. Semoga shalawat dan
salam tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam.

Manusia dan Kecerdasan Ruhiyah – Laili Al Fadhli

DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzahabi. Tanpa Tahun. Siyar A’lam An-Nubala (e-book).
Al-Jawziyyah, Ibn Qayyim. 2003. Penawar Hati yang Sakit. Jakarta : Gema Insani Press.
Al-Jawziyyah, Ibn Qayyim. 2012. Roh cet. 29. Jakarta : Pustaka Al Kautsar.
Al-Fauzan, Shalih bin Fauzan. Tanpa tahun. Fatawa Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan.
Terdapat di http://sahab.net/forums/showthread.php?t=378513.
Al-Qahtani, Muhammad bin Sa’id. Tanpa tahun. Al Wala’ wal Bara’ Fil Islam (e-book).
Astrilyani, Silvi. 2013. Pengertian IQ, EQ, dan SQ. Terdapat
http://silviastrilyani.wordpress.com/2013/02/11/pengertian-iq-eq-dan-sq/.
Diakses tanggal 12 Desember 2013.

di

Munawar, Budhy dan Rachman. Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (e-book),
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/Nurani.html. diakses tanggal
22 Oktober 2013.
Nugroho, Aristiono. 2008. Spiritual dan Transcendental. Terdapat di
http://sosiologidakwah.blogspot.com/2008/03/spiritual-dan-transcendental.html.
Diakses tanggal 22 Oktober 2013.
Nugroho, Aristiono. 2012. Multiple Intelligence Quotient. Terdapat
http://sosiomotivation.blogspot.com/2012/06/multiple-intelligencequotien

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

HUBUNGAN ANTARA STRES DAN PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA

11 143 2