Perlindungan bagi Konsumen Terhadap Usaha Waralaba (Franchise) Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Studi pada Usaha Roti Cappie Medan) Chapter III V

BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG WARALABA (FRANCHISE)
A.

PENGERTIAN WARALABA
Pada awalnya pengertian waralaba diatur pada pasal 1 Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba dan Pasal 1 Keputusan
Menteri

Perindustrian

dan

Perdagangan

Republik

Indonesia

No.


259/MPP/KEP/7/1977 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran
Waralaba menyebutkan bahwa waralaba (franchise) adalah “perikatan dimana salah
satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas
kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain
dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut
dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang atau jasa”.
Kemudian seiring perkembangan zaman Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun
1997 tentang Waralaba dianggap tidak bisa lagi sebagai landasan pengaturan
waralaba di Indonesia. Pada tahun 2007 terbitlah Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun
2007 tentang Waralaba menggantikan PP No. 16 Tahun 1997 sebelumnya. Akibat
adanya pergantian Peraturan Pemerintah tersebut, maka pada pp No. 42 Tahun 2007
memberikan pengertian waralaba yang baru sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

“Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, yaitu: hak
khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem
bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang atau jasa yang telah
terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan

perjanjian waralaba”.
Franchise sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu francorum rex yang artinya
“bebas dari ikatan”, yang mengacu pada kebebasan untuk memilih hak usaha.
Sedangkan pengertia franchise berasal dari bahasa Prancis abad pertengahan, diambil
dari kata “franc” (bebas) atau “francher’ (membebaskan), yang secara umum
diartikan sebagai pemberian hak istimewa. Dalam bahasa Inggris, franchise
diterjemahkan dalam pengertian privilege (hak istimewa/hak khusus).
Pada awalnya, istilah franchise tidak dikenal kepustakaan hukum Indonesia.
Hal ini dapat dimaklumi karena memang lembaga franchise sejak awal tidak terdapat
dalam budaya atau tradisi bisnis masyarakat Indonesia. Namun, karena pengaruh
globalisasi yang melanda di berbagai bidang, maka franchise kemudian masuk
kedalam tatanan budaya dan tatanan hukum masyarakat Indonesia. Kemudian istilah
franchise coba di Indonesiakan dengan istilah “waralaba” yang diperkenalkan
pertama kali oleh Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen (LPPM).

Universitas Sumatera Utara

Waralaba berasal dari kata “wara” (lebih atau istimewa) dan “laba” (untung) sehingga
waralaba berasal usaha yang memberikan laba lebih dan istimewa. 42
Franchise pada dasarnya adalah sebuah perjanjian mengenai metode

pendistribusian barang dan jasa kepada konsumen. Franchisor dalam jangka waktu
tertentu

memberikan

lisensi

kepada

franchisee

untuk

melakukan

usaha

pendistribusian barang dan jasa dibawah nama dan identitas franchisor dalam
wilayah tertentu. Usaha tersebut harus dijalankan sesuai dengan prosedur dan cara
yang ditetapkan franchisor. Franchisor memberikan bantuan (assistance) terhadap

franchisee. Sebagai imbalannya franchisee membayar sejumlah uang berupa inntial
fee dan royalty. 43
Berikut ini defenisi waralaba (franchise) yang diuraikan oleh para ahli, yaitu:
Franchise adalah hak istimewa untuk menggunakan nama atau untuk menjual
produk/jasa layanan. Hak itu diberikan oleh pengusaha pabrik untuk penyedia pada
penjual eceran untuk menggunakan berbagai produk dan nama dengan berdasarkan
syarat-syarat yang telah disetujui bersama (dalam hubungan yang saling
menguntungkan). 44
Franchise dapat juga diartikan sebagai suatu sistem pemasaran atau distribusi
barang dan jasa, dimana sebuah perusahaan induk (franchisor) memberikan kepada

42

Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 6-7
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus (Jakarta: Prenada Media, 2004), hal. 83
44
Faisal Santiago, Pengantar Hukum Bisnis (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2012), hal. 75
43

Universitas Sumatera Utara


individu atau perusahaan lain yang berskala kecil dan menengah (franchisee), hakhak istimewa untuk melaksanakan suatu sistem usaha tertentu dengan cara yang
sudah ditentukan, selama waktu tertentu, disuatu tempat tertentu. 45
Defenisi waralaba juga diberikan oleh Institut Pendidikan dan Manajemen
yang antara lain mendefenisikan waralaba sebagai berikut:
a. Waralaba adalah suatu sistem pemasaran atau distribusi barang dan jasa, dimana
sebuah perusahaan induk (franchisor) memberikan hak istimewa untuk melakukan
suatu sistem usaha dengan cara, waktu, dan lokasi tertentu kepada individu atau
perusahaan lain (franchisee) yang berskala kecil dan menengah.
b. Waralaba merupakan sebuah metode pendistribusian barang dan jasa kepada
masyarakat konsumen, yang dijual kepada pihak lain yang berminat. Pemilik dari
metode yang dijual ini disebut franchisor, sedangkan pembeli hak untuk
menggunakan metode tersebut disebut franchisee.
c. Waralaba merupakan suatu hubungan berdasarkan kontrak antara franchisor
dengan franchisee. Franchisor menawarkan dan berkewajiban menyediakan
perhatian terus-menerus pada bisnis waralaba melalui penyedian pengetahuan dan
pelatihan. Franchisee beroperasi dengan menggunakan merek dagang, format, atau

45


Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal. 57

Universitas Sumatera Utara

prosedur yang dipunyai serta dikendalikan oleh franchisor. Franchisee melakukan
investasi dalam bisnis yang dimilikinya. 46
Menurut Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, menterjemahkan pengertian
franchise dari Black’s Law Dictionary sebagai berikut:
1. Franchise adalah hak istimewa untuk melakukan hal-hal tertentu yang diberikan
oleh pemerintah pada individu atau perusahaan yang terbentuk badan hukum, dan hak
tersebut tidak dimiliki oleh penduduk pada umumnya.
2. Franchise adalah hak istimewa untuk menggunakan nama atau untuk menjual
produk/jasa layanan. Hak itu diberikan oleh pengusaha pabrik atau penyedia pada
penjual eceran untuk menggunakan berbagai produk dan nama dengan berdasarkan
syarat-syarat yang telah disetujui bersama (dalam hubungan yang saling
menguntungkan).
3. Franchise adalah lisensi dari pemilik merek dagang atau nama dagang yang
mengizinkan orang lain untuk menjual produk atau jasa layanan di bawah nama atau
merek tersebut. 47
Dari sudut bisnis, ada beberapa pengertian waralaba. Juadir Sumardi, dalam

konferensi pers mengenai konsep perdagangan baru yang dilaksannakan di Jakarta
pada tanggal 25 Juni 1991, mengemukakan bahwa Franchise adalah sebuah metode
pendistribusian barang dan jasa kepada masyarakat konsumen, yang dijual kepada
46

Adrian Sutedi, Op.Cit, hal. 9
Johannes Ibrahim dan Lindawati Sewu, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern (Bandung:
Refika Aditama, 2004), hal. 116

47

Universitas Sumatera Utara

pihak lain yang berminat. Pemilik dari metode ini disebut “franchisor”, sedangkan
pembeli yang berhak untuk menggunakan metode ini disebut “franchisee”. 48
Dari sudut hak atas kekayaan intelektual, Ferro Sinambela mendefenisikan
franchise adalah semua hak milik yang berhubungan dengan bidang usaha atau
kepemilikan yang berhubungan daya pikir, seperti merek dagang, nama perusahaan,
label perusahaan, model barang penemuan, hak cipta, hak paten, yang digunakan
untuk tujuan penjualan barang-barang atau jasa-jasa kepada konsumen. 49

Dari sudut hubungan kemitraan usaha dan perjanjian, waralaba dapat
didefenisikan sebagai berikut. Dalam bukunya, A. Abdurrahman menyebutkan,
“secara umum waralaba yang dikenal dengan istilah franchise berarti suatu
persetujuan atau perjanjian (kontrak) antara leveransir dan pedagang eceran atau
pedagang besar, yang menyatakan bahwa yang tersebut pertama itu memberikan
kepada yang tersebut terakhir itu suatu hak untuk memperdagangkan produknya,
dengan syarat-syarat yang disetujui oleh kedua belah pihak”. 50
Semua pengertian yang telah dipaparkan di atas menunjukkan bahwa
franchise pada dasarnya mengandung elemen-elemen pokok sebagai berikut:

48

J. Sumardi, Aspek-aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Transnasional (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1995), hal. 16
49
F. Sinambela, Peranan Perjanjian Kerja Antara Pengusaha dan Pekerja Pada Perusahaan
Waralaba (Franchise) di Kotamadya Medan (Tesis Program Studi Ilmu Hukum-Program Pascasarjana
USU, Medan, 2000), hal. 50
50
A. Abdurrahman, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan, Perdagangan (Jakarta: Pradnya Paramita,

1970), hal. 424

Universitas Sumatera Utara

a. Franchisor yaitu pihak pemilik/produsen dari barang atau jasa yang telah memiliki
merek tertentu serta memberikan atau melisensikan hak eksklusif tertentu untuk
pemasaran dari barang atau jasa itu.
b. Franchisee yaitu pihak yang menerima hak eksklusif itu dari franchisor.
c. Adanya penyerahan hak-hak secara eksklusif (dalam praktek meliputi berbagai
macam hak milik intelektual/hak milik perindustrian) dari franchisor kepada
franchisee.
d. Adanya penetapan wilayah tertentu, franchise area dimana franchisee diberikan
hak untuk beroperasi diwilayah tertentu.
e. Adanya imbal prestasi dari franchisee kepada franchisor yang berupa Franchise
Fee dan Royalties serta biaya-biaya lain yang disepakati oleh kedua belah pihak.
f. Adanya standar mutu yang ditetapkan oleh franchisor bagi franchisee, serta
supervisi secara berkala dalam rangka mempertahankan mutu.
g. Adanya pelatihan awal, pelatihan yang berkesinambungan, yang diselenggarakan
oleh franchisor guna peningkatan keterampilan.
B.


BENTUK PERJANJIAN WARALABA
Sebelum memasuki tentang bentuk perjanjian waralaba, terlebih dahulu kita

harus mengetahui pengertian perjanjian itu sendiri. Adapun pengertian perjanjian
diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, “perjanjian adalah

Universitas Sumatera Utara

suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih”.
Sedangkan menurut Yahya Harahap perjanjian adalah “suatu hubungan
hukum kekayaan harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan
hak atau sesuatu untuk memperoleh prestasi atau sekaligus kewajiban pada pihak lain
untuk menunaikan kewajiban pada pihak lain untuk memperoleh suatu prestasi”.
Adapun bentuk perjanjian/kontrak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
tertulis dan lisan. Perjanjian tertulis adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para
pihak dalam bentuk tulisan, sedangkan perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang
dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan.
Sehubungan dengan bentuk perjanjian waralaba, Pasal 4 ayat (1) Peraturan

Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, menentukan bahwa waralaba
diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara pemberi waralaba dengan
penerima waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia. Berdasarkan ketentuan
Pasal 4 ayat (1) PP Waralaba ini jelas dimengerti bahwa apabila pemberi dan
penerima waralaba telah sepakat maka perjanjian waralaba harus dituangkan kedalam
bentuk perjanjian tertulis.
Salim HS menyebutkan ada tiga bentuk perjanjian tertulis, yaitu:
1. Perjanjian di bawah tangan ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan
saja.
2. Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para pihak.

Universitas Sumatera Utara

3. Perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta notariel. 51
Bila dihubungkan pendapat Salim HS dengan ketentuan bentuk perjanjian
waralaba dalam Pasal 4 ayat (1) PP Waralaba di atas maka bentuk perjanjian
waralaba yang termaktub dalam PP Waralaba tidak menjelaskan dengan tegas
bagaimana bentuk perjanjian tertulis tersebut, dengan keadaan seperti ini tentunya
bentuk perjanjian waralaba yang ada dilapangan dapat berbentuk 3 (tiga) macam
yaitu perjanjian waralaba dengan bentuk perjanjian di bawah tangan yang
ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan saja, perjanjian waralaba dengan
bentuk perjanjian yang disaksikan notaris untuk melegalisir tanda tangan para pihak
dan perjanjian waralaba dengan bentuk perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh
notaris dalam bentuk akta notariel.
Dalam hal pembuatan kontrak, hubungan hukum antara franchisor dan
franchisee ditandai ketidakseimbangan kekuatan tawar-menawar (unequal bargaining
power). Perjanjian franchise merupakan perjanjian baku yang dibuat oleh franchisor.
Franchisor menetapkan syarat-syarat dan standar yang harus diikuti oleh franchisee
yang memungkinkan franchisor dapat membatalkan perjanjian apabila dia menilai
franchisee tidak dapat memenuhi kewajibannya. Dalam perjanjian dicantumkan
kondisi-kondisi bagi pemutusan perjanjian seperti: kegagalan memenuhi standar
pengoperasian, dan sebagainya. Franchisor mempunyai discretionary power untuk
menilai semua aspek usaha franchisee, sehingga perjanjian tidak memberikan

51

Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Di Indonesia (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2005), hal. 32

Universitas Sumatera Utara

perlindungan yang memadai bagi francisee dalam menghadapi dalam menghadapi
pemutusan perjanjian dan penolakan franchisor untuk memperbaharui perjanjian. 52
Ketidakseimbangan kekuatan tawar-menawar antara franchisor dengan
franchisee juga terdapat di dalam kontrak Roti Cappie. Dimana klausul-klausul yang
terdapat didalam kontrak Roti Cappie tersebut adalah kehendak dari franchisor.
Franchisee tidak dapat menawar atau tidak mempunyai wewenang untuk
memberikan pendapat mengenai isi daripada kontrak tersebut.
C.

UNSUR-UNSUR PERJANJIAN WARALABA
Perjanjian

franchise

adalah

sebuah

perjanjian

mengenai

metode

pendistribusian barang dan jasa kepada konsumen. Franchisor dalam jangka waktu
tertentu

memberikan

lisensi

kepada

franchisee

untuk

melakukan

usaha

pendistribusian barang dan jasa di bawah nama dan indentitas franchisor dalam
wilayah tertentu. Usaha tersebut harus dijalankan sesuai dengan prosedur dan cara
yang ditetapkan franchisor. Franchisor memberikan bantuan (assistance) terhadap
franchisee. Sebagai imbalannya franchisee membayar sejumlah uang berupa inntial
fee dan royalty. 53
Dari pengertian perjanjian Waralaba yang dikemukakan di atas, maka unsurunsur yang dapat disimpulkan adalah:
1. Adanya suatu perjanjian yang disepakati franchisor dengan franchisee

52
53

Suharnoko, Op. Cit, hal. 85
Suharnoko, Loc. It, hal. 83

Universitas Sumatera Utara

Waralaba sebagai suatu sistem bisnis dilakukan dengan adanya perjanjian
antara para pihak, yaitu pemilik waralaba (franchisor) dengan penerima waralaba
(franchisee). Di dalam kesepakatan ini menjelaskan secara rinci mengenai segala hak,
kewajiban dan tugas dari pemberi Waralaba dan penerima waralaba. Demi menjamin
kepastian hukum bagi kedua belah pihak, sebaiknya perjanjian waralaba dibuat
dihadapan pejabat yang berwenang (Notaris).
2. Adanya pemberian hak dari Pemilik waralaba kepada penerima waralaba untuk
memproduksi dan memasarkan produk dan/atau jasa.
Dari unsur yang kedua ini, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa si
penerima waralaba (franchisee) mempunyai hak untuk memakai, menggunakan logo
dan cap dagang dari pemilik waralaba untuk dipasarkan oleh penerima waralaba
kepada masyarakat konsumen.
3. Pemberian hak tersebut terbatas pada waktu dan tempat tertentu.
Dalam hal ini Pemberi Waralaba memberi hak kepada Penerima Waralaba
untuk menggunakan nama, merek dagang dan logo dari usahanya kepada Penerima
Waralaba terbatas pada tempat dan waktu yang telah diperjanjikan dalam perjanjian
yang telah dibuat sebelumnya.
Menurut saya, unsur pemberian hak terbatas pada waktu dan tempat tertentu
ini adalah salah satu unsur yang tidak menguntungkan kepada franchisee. Franchisor
disini dapat memanfaatkan kedudukan franchisee untuk menguji pasar, dan setelah
mengetahui bahwa kondisi pasar menguntungkan, maka franchisor memutuskan
perjanjian dengan franchisee, selanjutnya franchisor mengoperasikan outlet atau

Universitas Sumatera Utara

tempat usaha sendiri di wilayah franchisee. Hal ini perlu mendapat perhatian khusus
dari pemerintah, supaya memberikan perlindungan hukum yang jelas kepada
franchisee yang mendapatkan tindakan semena-mena dari franchisor dalam hubungan
perdagangan.
4. Adanya pembayaran sejumalah uang tertentu dari Penerima Waralaba kepada
Pemberi Waralaba
Adapun pembayaran ini antara lain:
a. Pembayaran awal yang dilakukan setelah adanya kesepakatan dari kedua
belah pihak atas perjanjian.
Pembayaran ini dipergunakan untuk pemilihan lokasi dan biaya-biaya
lain yang dikeluarkan sampai mulai beroperasinya usaha tersebut.
b. Pembayaran selama berlangsungnya waralaba
Pembayaran ini meliputi royalty, pembagian kelebihan harga yang
telah ditetapkan oleh Pemberi Waralaba sebagai harga standar, biaya promosi,
biaya jasa yang dalam hal ini adalah jasa administrasi dan bantuan
pembukuan.
c. Pembayaran atau pengoperan hak Penerima Waralaba kepada pihak ketiga
Maksud dari pembayaran ini adalah bahwa Penerima Waralaba berhak
mengalihkan hak pemegang waralabanya kepada calon Penerima Waralaba
yang lain atas seizin Pemberi Waralaba, dalam hal ini Pemberi Waralaba
mendapatkan bagian tertentu dari Penerima Waralaba.
d. Penyediaan bahan baku

Universitas Sumatera Utara

Pemberi Waralaba berhak memasok bahan baku yang bermutu sesuai
dengan kualitas standar.
D.

PERKEMBANGAN WARALABA DI INDONESIA
Di Indonesia, waralaba mulai dikenal pada 1950-an dengan munculnya dealer

kendaraan bermotor melalui pembelian lisensi atau menjadi agen tunggal pemilik
merek. Waralaba di Indonesia semakin berkembang ketika masuknya waralaba asing
pada tahun 80-90an. KFC, Mc Donald’s, Burger King, dan Wendys adalah sebagian
dari jejaring waralaba asing yang masuk ke Indonesia pada awal-awal
berkembangnya waralaba di Indonesia. 54
Pada tahun 1990, melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin
membaik, politik yang stabil dan keamanan yang terjamin, para investor dari luar
negeripun mulai melirik pasar Indonesia. Franchise asing mulai berkembang di pasar
Indonesia, dan harus diakui ternyata minat penduduk Indonesia terhadap franchise
yang dari luar negeri ini sangat besar. Hal ini dapat dibuktikan dengan lakunya
franchise asing di pasaran Indonesia, sebut saja : Kentucky Fried Chicken. 55
Pada tahun 1991, tepatnya tanggal 22 November 1991, berdiri Asosiasi
Franchise Indonesia (AFI) sebagai wadah yang menaungi franchisor dan franchisee.
AFI didirikan dengan bantuan ILO (International Labour Organization) dan
pemerintah Indonesia. Dengan berdirinya AFI diharapkan dapat menciptakan industri

54

Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 19
Dinni Harina Simanjuttak,”Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Hukum bagi Franchise
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997” (Skripsi, Universitas Sumatera Utara, 2011),
hal. 20

55

Universitas Sumatera Utara

waralaba yang kuat dan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang
berbasiskan usaha kecil dan menengah. 56
Ketika terjadi krisis moneter, yaitu di tahun 1997, sekitar 64% waralaba asing
menutup usahanya. Hal ini disebabkan terpuruknya nilai rupiah sehingga franchise
fee dan royalty fee serta biaya bahan baku, peralatan, dan perlengkapan yang dalam
dolar menjadi meningkat. Oleh sebab itu, jumlah perusahaan waralaba

asing

mengalami penurunan pertumbuhan sebesar 9,78% dari tahun 1997/2001. Setelah
krisis moneter reda, mulai bermunculan berbagai waralaba lokal. Dari kurun waktu
1999-2000, pertumbuhan waralaba lokal sebesar 120%. Pada tahun 2001, jumlah
waralaba asing tumbuh kembali sebesar 8,5%, sedangkan waralaba lokal meningkat
7,69% dari tahun 2000. Pertumbuhan bisnis waralaba yang cepat di Indonesia tidak
lepas dari peran serta merek-merek waralaba lokal, seperti Indomaret, Alfamart,
Martha Tilaar dan lain-lain. 57
Salah satu contoh bisnis waralaba yang sangat berkembang di Indonesia
sampai saat ini ialah Indomaret dan Alfamart. Dua bisnis ini sangat banyak
bermunculan di berbagai tempat dan sangat mudah ditemukan di Indonesia.
Hingga pada saat ini bisnis waralaba diperkirakan akan semakin berkembang
di Indonesia, apalagi sekarang telah diresmikannya Masyarakat Ekonomi Asean
(MEA) yang disinyalir dapat menumbuhkan minat yang begitu besar bagi Investor
luar untung menanamkan investasinya di Indonesia.

56
57

Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 20
Ibid, hal. 21

Universitas Sumatera Utara

Direktur Bina Usaha Kementerian Perdagangan RI, Fetnayeti menargetkan di
tahun 2015 kemarin pertumbuhan bisnis waralaba naik 15-20 persen. Saat ini ada
12.000 bisnis waralaba dengan jumlah gerai mencapai 23.000.
Dirinya optimistis Indonesia bisa melakukan ekspor bisnis waralaba
dibandingkan ekspor produk. Hal ini melihat adanya minat yang besar datang dari
investor-investor timur tengah. Hal ini senada dengan jumlah omzet yang besar dari
bisnis waralaba tahun 2014 berdasarkan data Asosiasi Franchise Indonesia (AFI).
Menurut Fetnayeti, dalam memajukan bisnis waralaba lokal, Kementerian
Perdagangan melakukan pendampingan selama 3 tahun terakhir kepada 384 Usaha
Kecil Menengah (UKM). Pendampingan tersebut dilakukan salah satunya dengan
cara mengikutkan UKM-UKM dalam pameran-pameran di dalam negeri dan di luar
negeri.
Untuk tahun ini, Kemendag mendampingi kurang lebih 180 UKM dengan
menambahkan sejumlah materi untuk mempersiapkan bisnis tersebut menjadi bisnis
waralaba. “Rata-rata ada 180an yang kita dampingi, tahun ini rencananya kita
masukkan materi dari segi legal dan manajemen keuangan. Jadi ketika mereka
mendapat masalah dari hukum, mereka sadar dan paham bahwa mereka punya dasar
hukum. 58
E.

PENGATURAN WARALABA DI INDONESIA

58

Stefanno
Reinard
Sulaiman,
“Bisnis
Waralaba
di
Tahun
2015,”
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/01/21/194548626/Bisnis.Waralaba.Diproyeksikan.Naik.
15-20.Persen.Tahun.Ini?search=evolusi+perkembangan+waralaba+di+indonesia (diakses pada tanggal
17 Februari 2016).

Universitas Sumatera Utara

1. Pengaturan Waralaba Sebelum Berlakunya Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun
1997 tentang Waralaba
Waralaba merupakan suatu perjanjian (kontrak) antara dua belah pihak, yaitu
antara franchisor (pemilik waralaba) dengan franchisee (penerima waralaba) dimana
franchisor memberikan hak kepada franchisee untuk mendistribusikan barang
dan/atau jasa milik franchisor.
Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dikenal perjanjian bernama
(nominaat) dan tidak bernama (innominaat). Perjanjian bernama ini adalah perjanjian
yang diberi nama oleh pembuat Undang-undang dan telah diatur dengan jelas dalam
KUH Perdata, sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang belum ada
diatur dengan jelas di dalam KUH Perdata.
Perjanjian waralaba ini merupakan perjanjian tidak bernama (innominaat) dan
merupakan salah satu contoh dari perkembangan hukum perdata. Perjanjian ini timbul
dan berkembang di kalangan masyarakat dikarnakan azas kebebasan berkontrak yang
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Melalui azas tersebut, setiap
orang berhak membuat suatu perjanjian dan berhak juga membuat klausul apa saja
yang mereka masukkan ke dalam kontrak sepanjang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Universitas Sumatera Utara

Perjanjian tidak bernama (innominaat) adalah sah menurut hukum apabila
perjanjian tersebut dibuat berdasarkan pasal 1320 BW. Dalam pasal tersebut
dikatakan suatu perjanjian adalah sah apabila dibuat dengan empat syarat, yaitu:
a. Adanya kesepakatan dari kedua belah pihak;
b. Adanya kecakapan bagi subjek hukum yang membuat perjanjian;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
Perjanjian waralaba sebagai perjanjian innominaat juga tunduk pada pasal
1319 KUH Perdata BW, dimana dalam ketentuan pasal tersebut dikatakan “semua
perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal
dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum, yang termuat dalam bab
ini dan bab yang lalu.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sebelum adanya Peraturan
Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba, waralaba diatur diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata yaitu terdapat dalam buku III. Waralaba ini
merupakan salah satu perkembangan dari Hukum Perdata dibidang kontrak
(perjanjian).
2. Pengaturan Waralaba Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997
tentang Waralaba

Universitas Sumatera Utara

Peraturan Pemerintah dibuat bertujuan untuk mengembangkan kegiatan usaha
waralaba sebagai upaya memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha serta
sebagai upaya untuk meningkatkan pelaksanaan alih teknologi. Peraturan tersebut
juga dibuat untuk memberikan kepastian usaha dan kepastian hukum bagi setiap
orang yang menjalankan usaha waralaba, terutama dalam upaya pengaturan,
pembinaan, serta pengembangan waralalaba.
Adapun rumusan waralaba yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 16
Tahun 1997 diuraikan sebaga berikut.
a. Waralaba merupakan suatu perikatan.
Rumusan tersebut menyatakan bahwa sebagai perikatan, waralaba tunduk
pada ketentuan umum mengenai perikatan yang diatur dalam Kitab Undangundang Hukum Perdata.
b. Waralaba melibatkan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak
atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha.
Yang dimaksud dengan hak atas kekayaan intelektual meliputi antara lain
merek, nama dagang, logo, desain, hak cipta, rahasia dagang dan paten.
Sedangkan penemuan ciri khas usaha , misalnya sistem menajemen serta cara
penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik
khusus dari pemiliknya.
Ketentuan ini membawa akibat bahwa sampai pada derajat tertentu,waralab
tidak berbeda dengan lisensi (hak atas kekayaan intelektual), khususnya yang

Universitas Sumatera Utara

berhubungan dengan waralaba nama dagang atau merek dagang, baik untuk
produk berupa barang dan/atau jasa.
c. Waralaba diberikan dengan suatu imbalanberdasarkan persyaratan dan/atau
penjualan barang dan/atau jasa.
Ketentuan ini pada dasarnya menekankan kembali bahwa waralaba tidak
diberikan secara Cuma-Cuma. Pemberian waralaba senantiasa dikaitkan
dengan suatu bentuk imbalan tertentu. Secara umum dikenal dua macam
kompensasi yang dapat diminta oleh pemberi waralaba dan penerima
waralaba, yaitu sebagai berikut.
1) Kompensasi langsung dalam bentuk nilai moneter (direct monetary
compensation). Berikut ini adalah kompensasi yang termasuk
kompensasi langsung dalam bentuk nilai moneter.
a) Lump-sum payment, suatu jumlah uang yang telah dihitung terlebih
dahulu yang wajib dibayarkan oleh penerima waralaba untuk diberikan
kepada pemberi waralaba pada saat persetujuan waralaba disepakati.
Pembayaran ini dapat dilakukan sekaligus, maupun dalam beberapa
kali (pembayaran cicilan.
b) Royalty, pembayaran oleh pihak penerima waralaba kepada pemberi
waralaba sebagai imbalan, yang besar atau jumlah pembayarannya
dikaitkan dengan persentase tertentu yang dihitung dari jumlah
produksi dan/atau penjualan barang atau jasa berdasarkan perjanjian
waralaba, baik yang disertai dengan jumlah minimum atau maksimum

Universitas Sumatera Utara

atau tidak. Meskipun secara absolut royalti dibayarkan tetap, tetapi
sebenarnya pembayaran royalty akan menunjukkan kenaikan seiring
dengan peningkatan jumlah produksi, penjualan, atau keuntungan
penerima lisensi. 59
2) Kompensasi tidak langsung dalam bentuk nilai moneter (indirect
moneter) dan kompensasi yang diberikan tidak dalam bentuk nilai
moneter (non monetary compensation), yang meliputi sebagai berikut.
a) Keuntungan dari penjualan barang modal atau bahan mentah, bahan
setengan jadi, dan termasuk barang jadi, yang merupakan satu paket
dengan pemberian waralaba.
b) Pembayaran dalam bentuk dividen atau bunga pinjaman di mana
pemberi waralaba memberikan bantuan finansial baik dalam bentuk
ekuitas atau dalam bentuk pinjaman jangka pendek maupun jangka
panjang.
c) Cost shifting atau pengalihan atas sebagian biaya yang harus
dikeluarkan oleh pemberi waralaba. Pengalihan ini biasanya dilakukan
dalam bentuk kewajiban penerima waralaba untuk mengeluarkan
segala biaya yang diperlukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran
maupun untuk mempertahankan perlindungan hak atas kekayaan
intelektual paket yang waralabakan kepadanya.

59

Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Waralaba (Jakarta: PT RajaGraindo Persada, 2003), hal. 109

Universitas Sumatera Utara

d) Perolehan data pasar dari kegiatan usaha oleh penerima waralaba,
yang berarti pemberi waralaba memiliki akses yang lebih luas untuk
mengembangkan lebih lanjut waralaba yang diberikan tersebut.
e) Penghematan biaya pemberi waralaba yang dilakukan oleh
penerima waralaba. Hal ini dapat terjadi karena pada prinsipnya
kegiatan operasional waralaba berada pada pundak pemberi waralaba.
Ini berarti penerima waralaba hanya cukup melakukan pengawasan
atas jalannya pemberian waralaba tersebut. 60
3. Pengaturan Waralaba Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007
tentang Waralaba
Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba menggantikan
Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997. Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 42
Tahun 2007 tentang waralaba ini dilandasi upaya pemerintah meningkatkan
pembinaan usaha waralaba di seluruh Indonesia sehingga perlu mendorong
pengusaha nasional, terutama pengusaha kecil dan menengah untuk tumbuh sebagai
franchisor nasional yang andal dan mempunyai daya asing di dalam negeri dan luar
negeri khususnya dalam rangka memasarkan produk dalam negeri. 61
Dengan adanya peraturan tersebut diharapkan bisnis waralaba yang dijual
dipasar benar-benar bisnis yang telah solid dan terbukti layak untuk dikembangkan

60
61

Ibid, hal. 110
Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 33

Universitas Sumatera Utara

oleh franchisee. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 memuat salah satu poin
penting, yaitu persyaratan bisnis yang bisa diwaralabakan, yang dimuat pada pasal 3.
Adapun persyaratannya ialah bisnis memiliki ciri khas usaha, terbukti telah
memberikan keuntungan, memiliki standar atas pelayanan barang dan/atau jasa yang
ditawarkan yang dibuat secara tertulis, mudah diajarkan dan diaplikasikan, adanya
dukungan yang berkesinambungan, serta hak atas kekayaan intelektual yang telah
terdaftar.
Untuk lebih menjamin kelayakan usaha bisnis yang diwaralabakan, pada
bagian lain peraturan pemerintah ini, franchisor diwajibkan memperlihatkan prospek
kepada calon franchisee. Isi prospek setidaknya memuat data identitas franchisor,
legalitas usaha, sejarah kegiatan usaha, struktur organisasi, laporan keuangan dua
tahun terakhir, jumlah tempat usaha, daftar franchisee, serta hak dan kewajiban
franchisor dan franchisee.
Peminat baru bisnis waralaba juga patut lebih lega karena sesuai peraturan
pemerintah tersebut, para franchisor tidak dapat seenak hati menjual, kemudian acuh
tak acuh lagi dengan bisnis waralaba yang telah diserahkan pada franchisee.
Pasalnya, dalam peraturan ini tercantum kewajiban franchisor untuk memberikan
pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional manajemen, pemasaran,
penelitian dan pengembangan kepada franchisee secara berkesinambungan. Hal ini
tidak hanya sekedar simbol. Sanksi administratif berupa pencabutan Surat Tanda
Pendaftaran Waralaba menanti franchisor yang tidak melakukan pembinaan kepada

Universitas Sumatera Utara

franchisee sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, setelah diterbitkannya surat
peringatan tertulis ke-3. 62
Di dalam pasal 4 (empat) ayat (1) dikatakan bahwa bisnis waralaba
diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara pemberi waralaba dengan
penerima waralaba dan harus berdasarkan hukum Indonesia. Dalam ayat 2 (dua)
dikatakan juga bahwa apabila perjanjian dibuat dalam bahasa asing, maka perjanjian
tersebut harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini tentu mempunyai
fungsi yang penting kepada franchisee yang ada di Indonesia, demi untuk melindungi
segala hak dan kepentingan-kepentingannya. Dengan adanya peraturan tersebut
diharapkan juga kepada franchisor dari luar negeri supaya menghargai dan juga
menghormati hak-hak dari franhisee yang ada di dalam negeri.
Mengenai klausula-klausula yang wajib dibuat dalam suatu perjanjian
waralaba antara franchisor dengan franchisee diatur dalam pasal 5 peraturan
pemerintah tersebut. Dalam pasal 5 (lima) dikatakan “perjanjian waralaba memuat
klausula paling sedikit”:
a) Nama dan alamat para pihak;
b) Jenis hak atas kekayaan intelektual;
c) Kegiatan usaha;
d) Hak dan kewajiban para pihak;

62

Ibid, hal. 34

Universitas Sumatera Utara

e) Bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang
diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba;
f) Wilayah usaha;
g) Jangka waktu perjanjian;
h) Tata cara pembayaran imbalan;
i) Kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris;
j) Penyelesaian sengketa; dan
k) Tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian.
Perlu diingat terlebih dahulu, bahwa disamping klausula-klausula wajib
diatas, para pihak bebas untuk membuat klausula-klausula lain yang dapat menunjang
hak dan kepentingan para pihak yang membuat perjanjian sepanjang klausula
tambahan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan yang ada.
Dalam pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 dikatakan bahwa
franchisor dengan franchisee wajib untuk mendaftarkan usahanya kepada
Departemen Perdagangan paling lambat satu tahun sejak Peraturan Pemerintah No.
42 Tahun 2007 diberlakukan (23 Juli 2007). Menteri Perdagangan kemudian
menerbitkan surat tanda pendaftaran waralaba apabila permohona telah memenuhi
syarat. “Surat tanda pendaftaran waralaba berlaku selama lima tahun dan dapat
diperpanjang, proses ini tidak dipungut biaya”. Bila tidak didaftarkan, maka
dikenakan sanksi administratif berupa denda Rp 100 juta atau pencabutan STPUW
(Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba). Syarat waralaba serta sanksi denda bagi

Universitas Sumatera Utara

pemberi waralaba dan penerima waralaba yang tidak mendaftarkan diri memang baru
ada Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007. Tujuannya adalah untuk mendidik dan
menerbitkan para pengusaha waralaba di Indonesia agar patuh pada peraturan.
Namun, Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 memiliki kekurangan.
Peraturan ini memiliki permasalahan yuridis yang dapat menjadi kendala
pengembagan usaha kecil dan menengah untuk tumbuh menjadi franchisor. Peraturan
pemerintah ini sangat ketat sehingga dikhawatirkan bisnis waralaba tidak bisa lagi
dilakukan oleh usaha kecil, tetapi hanya oleh usaha menengah dan besar.
Salah satu pasal yang dinilai sangat berpotensi menghalangi usaha kecil untuk
mengembangkan usahanya dengan waralaba adalah pasal 3 dan pasal 8 yang
mewajibkan franchisor untuk memberikan pelatihan, bimbingan operasional,
manajemen, pemasaran, penelitian, dan pengembangan pada franchisee secara terusmenerus. Jadi, franchisor harus memiliki lembaga pelatihan sendiri yang secara
logika sulit dimiliki oleh usaha kecil. Jika tidak dilakukan, maka franchisor dapat
diberi sanksi oleh pemerintah antara lain dengan denda Rp 100 juta. 63
Ketentuan pasal 3 dan pasal 8 Peraturan pemerintah tersebut dipandang
memiliki kelemahan. Di satu sisi pemerintah ingin memberdayakan pengusaha kecil
dan menengah sebagai franchisor yang andal dan memiliki daya saing di dalam
maupun diluar negeri, tetapi di sisi lain peraturan pemerintah tersebut sangat
memberatkan franchisor kecil karena secara implisit maupun eksplisit, pasal 3 hanya
63

Ibid, hal. 36

Universitas Sumatera Utara

bisa dipenuhi perusahaan menengah dan besar. Usaha kecil hampir tidak memiliki
kemampuan untuk memenuhi kriteria tersebut.
Keberadaan Peraturan Pemerintah No. 42Tahun 2007 sangat penting sebagai
landasan untuk membatasi maraknya bisnis atau waralaba yang eksistensinya belum
terbukti. Dengan adanya peraturan pemerintah ini diharapkan mampu menjamin hakhak franchisee yang telah menanamkan modalnya dan menertibkan peluang bisnis
yang tidak layak usaha. 64

64

Ibid, hal 38

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
PERLINDUNGAN BAGI KONSUMEN TERHADAP USAHA
WARALABA (FRANCHISE) BERDASARKAN UNDANGUNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN
KONSUMEN (STUDI PADA USAHA ROTI CAPPIE MEDAN)
A.

HUBUNGAN

ANTARA

PERJANJIAN

WARALABA

DENGAN

PERLINDUNGAN KONSUMEN
Berbicara

mengenai

hubungan

antara

perjanjian

waralaba

dengan

perlindungan konsumen, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui klausulaklausula yang wajib dicantumkan dalam suatu perjanjian waralaba. Perjanjian
waralaba antara franchisor dengan franchisee harus dibuat secara tertulis
sebagaimana amanat dari pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun
2007 tentang Waralaba.
Di dalam pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 dikatakan
klausula-klausula yang wajib dicantumkan dalam suatu perjanjian waralaba ialah:
a. nama dan alamat para pihak;
b. jenis Hak Kekayaan Intelektual;
c. kegiatan usaha;
d. hak dan kewajiban para pihak;

Universitas Sumatera Utara

e. bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan dan pemasaran yang
diberikan Pemberi
f. Waralaba kepada Penerima Waralaba;
g. wilayah usaha;
h. jangka waktu perjanjian;
i. tata cara pembayaran imbalan;
j. kepemilikan, perubahan kepemilikan dan hak ahli waris;
k. penyelesaian sengketa; dan
l. tata cara perpanjangan, pengakhiran dan pemutusan perjanjian.
Namun disamping klausula-klausula diatas, tidak menutup kemungkinan Para
Pihak menambahkan klausula-klausula lain, seperti klausula kerahasiaan, dan
klausula lainnya, sepanjang klausula tambahan tersebut tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, kesusilaan,
kepatutan, dan kebiasaan yang berlaku umum di dalam masyarakat.
Bisnis Waralaba saat ini sedang menjamur dan berkembang di Indonesia, bila
kita melihat di mall, pusat keramaian, maupun di media, banyak sekali bisnis yang
diwaralabakan, seperti Food and Beverages, salon, dan masih banyak lagi. Nilai
investasi waralaba bervariasi, mulai dari yang puluhan juta rupiah hingga ratusan juta
rupiah, tergantung bisnis yang diwaralabakan.

Universitas Sumatera Utara

Saat ini, bisnis waralaba merupakan suatu usaha yang banyak diminati oleh
pelaku usaha di lapangan, karena bisnis tersebut memberikan banyak sekali
keuntungan baik bagi Pemberi Waralaba maupun Penerima Waralaba. Bagi Pemberi
Waralaba tentunya akan mendapatkan royalty atau kompensasi atas Waralaba yang
diberikan, artinya cukup bermodal pengetahuan tentang bisnis yang bersangkutan,
maka Pemberi Waralaba akan mendapatkan pemasukan setiap harinya.
Penerima Waralaba pastinya juga akan mendapatkan keuntungan, karena
dengan dukungan pengalaman dan pengetahuan dari Pemberi Waralaba, Penerima
Waralaba akan lebih mudah dalam menjalankan bisnis yang ia terima.
Waralaba sebagai bentuk usaha yang bergerak dibidang makanan dan
minuman, maka dalam menjalankan usaha tersebut pelaku usaha harus menghormati
hak-hak daripada konsumen. Pelaku usaha wajib memasarkan makanan dan minuman
yang sehat, bagus, dan aman untuk dikonsumsi oleh konsumen. Dalam menjalankan
suatu bisnis usaha, antara pelaku usaha dengan konsumen mempunyai posisi tawarmenawar yang seimbang atau sejajar. Pelaku usaha tidak boleh semena-mena berbuat
kecurangan dalam menjalankan usahanya. Hal ini dapat berdampak bagi kelanjutan
usaha yang ditekuninya sehari-hari.
Jika kita lihat pengertian dari konsumen yang terdapat dalam UUPK No. 8 Tahun
1999, dimana dalam UU tersebut dikatakan.

Universitas Sumatera Utara

“konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk
hidup dan tidak untuk diperdagangkan”.
Disamping pengertian konsumen diatas, kemudian kita melihat pengertian
pelaku usaha yang diberikan oleh UUPK tersebut, di mana dikatakan bahwa yang
dimaksud dengan pelaku usaha adalah:
“setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun
bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan
dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersamasama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi”. 65
Dari dua pengertian diatas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa antara
pelaku usaha dan konsumen merupakan subjek hukum yang tidak dapat dipisahkan.
Karna, pelaku usaha memerlukan konsumen untuk membeli dan mengkonsumsi
barang dan/atau jasa yang ia perdagangkan, sedangkan konsumen juga sangat
memerlukan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan oleh pelaku usaha.
Sejalan dengan hubungan perjanjian waralaba dengan perlindungan
konsumen, maka pelaku usaha yang menjalankan usaha waralaba melalui perjanjian

65

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit, hal. 5

Universitas Sumatera Utara

tertulis harus memberikan perlindungan kepada konsumen yang mengkonsumsi
makanan dan minuman atau barang dan jasa yang ia perdagangkan.
Dalam perjanjian waralaba tersebut harus dicantumkan klausula perlindungan
terhadap konsumen yang memakai, mengkonsumsi makanan dan minuman yang
diperdagangkan. Dalam perjanjian juga harus memuat pertanggungjawaban dari
pihak

pelaku

usaha

kepada

konsumen

yang

mengalami

kerugian

akibat

mengkonsumsi makanan dan minuman yang di produksi oleh pelaku usaha.
B.

KONTRAK ROTI CAPPIE DALAM PERSPEKTIF WARALABA DAN

PERLINDUNGAN KONSUMEN
Roti Cappie merupakan salah satu usaha dari sekian banyak usaha franchise
yang ada di kota Medan. Roti Cappie ini terletak di Jln. HM joni di medan, dan
sekarang usaha tersebut telah diwaralabakan ke beberapa tempat yang ada di kota
Medan. Salah satu lokasi tempat usaha yang diwaralabakan oleh Roti Cappie tersebut
terletak di Jln. Kalimantan dan di Jln. Bromo.
Berbicara mengenai kontrak Roti Cappie dalam perspektif Waralaba dan
Perlindungan Konsumen, maka terlebih dahulu harus diketahui isi kontrak yang
diatur oleh pemilik waralaba Roti Cappie dengan penerima waralaba Roti Cappie
tersebut. Adapun klausula kontrak Roti Cappie ialah:
Pada hari……………………………………… Kami yang bertanda tangan dibawah
ini:

Universitas Sumatera Utara

1. Nama : ENZO SAUQI HUTABARAT. Jabatan : Owner Roti Cappie Alamat :
Jl.Karya Wisata Ujung (Komp.Villa Kencana No.15) Johor-Medan.
Selanjutnya disebut sebagai PIHAK PERTAMA. Sebagai pemilik Roti Cappie
(Franchisor)
2. Nama : Firahmi Rizky Jabatan : Pembeli Alamat : Jl. AH. Nasution Gg. Jaya
Selanjutnya disebut sebagai PIHAK KEDUA, yang dalam hal ini bertindak sebagai
Franchisee ROTI CAPPIE.

Dengan ini pihak PERTAMA dan KEDUA setuju untuk mengadakan perjanjian
kerja sama, dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
PASAL 1
LINGKUP KERJA SAMA
Terhitung mulai surat ini ditanda tangani, maka PIHAK KEDUA berkewajiban
memberikan dana PAKET ROTI CAPPIE FRANCHISE kepada PIHAK
PERTAMA yaitu berupa uang tunai sebesarRp. 7.000.000,00PASAL 2
JENIS USAHA
Jenis usaha Franchise yang akan dikelola adalah Penjualan ROTI CAPPIE dengan
lebel Roti Cappie, dengan fasilitas yang akan disediakan berupa:
฀ Outlet Roti Cappie.
฀ Perlengkapan penggorengan (kompor gas, tabung gas, wajan, dll)
฀ Tenda Lipat
฀ Training Pengolahan Roti Cappie.
PASAL 2
JENIS USAHA
Jenis usaha Franchise yang akan dikelola adalah Penjualan ROTI CAPPIE dengan
lebel Roti Cappie, dengan fasilitas yang akan disediakan berupa:
฀ Outlet Roti Cappie.
฀ Perlengkapan penggorengan (kompor gas, tabung gas, wajan, dll)

Universitas Sumatera Utara

฀ Tenda Lipat
฀ Training Pengolahan Roti Cappie.
PASAL 3
HAK DAN KEWAJIBAN
KEWAJIBAN ROTI CAPPIE FRANCHISE
1.Menyediakan semua kebutuhan bahan baku (roti kosong, kemasan dan bumbu) bagi
mitra waralaba di kota tersebut.
2.Mempunyai link dengan pemasok roti cappie
3.Mempunyai link dengan pembuat outlet
4.Melaporkan kepada pemelik jika ada calon mitra waralaba baru (hal ini agar bisa
segera di tindak lanjuti aplikasinya).
5.Melayani pengadaan outlet, perlengkapan outlet, sekaligus pengiriman outlet bagi
mitra waralaba baru di kota tersebut. (Jika Outlet dibuat di daerah territorial Roti
Cappie).
6.Melayani komplain dan memberikan solusinya dari mitra waralaba di kota tersebut.
7.Melakukan training karyawan bagi mitra waralaba baru.

HAK DAN KEUNTUNGAN ROTI CAPPIE FRANCHISE
1. Mendapatkan keuntungan dari pembuatan roti & penyediaan Bahan baku.
2. Mendapatkan keuntungan 15%-20% dari omzet bersih perbulan.
3. Mengkontrol proses penjualan disetiap oulet yang tersedia.
4. Sewa tempat ditanggung oleh pembeli Franchisor.
CATATAN :
(Ongkos / Biaya pengiriman bahan baku nantinya, dibebankan kepada Customers)
PASAL 4
PERSELISIHAN
Apabila terjadi perselisihan antara kedua belah pihak di dalam pelaksanaan pasalpasal dan surat perjanjian ini pada dasarnya akan diselesaikan secara musyawarah.
PASAL 5
FORCE MAJEURE
Force Majeure adalah hal-hal yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian kerja sama
ini, yang terjadi diluar kekuasaan kedua belah pihak, seperti : Pemogokan umum,
gempa bumi, banjir, sabotase, huru-hara, kerusuhan dan keadaan darurat yang secara
resmi di keluarkan oleh pemerintah.
PASAL 6

Universitas Sumatera Utara

LAIN-LAIN
Surat perjanjian kerjasama ini dibuat dan ditandatangani oleh kedua belah pihak dan
apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan dan atau kekurangan maka akan di
adakan perbaikan sebagaimana mestinya.
Hal-hal lain yang tidak tertera dalam surat perjanjian kerja sama ini dapat diatur atas
kesepakatan kedua belahpihak.
PASAL 7
PENUTUP
Hal-hal yang belum diatur dalam perjanjian ini akan diatur kemudian secara bersama
dalam suatu surat suplemen dengan catatan masing-masing pihak setuju untuk
membuat dan menyepakati surat suplemen tersebut. Selanjutnya, surat perjanjian ini
dibuat rangkap 2 (dua) masing-masing bermaterai cukup dan telah ditandatangani asli
oleh kedua belah pihak sehingga masing-masing mempunyai kekuatan hukum yang
sama dengan masing-masing pihak mendapatkan satu eksemplar.
Demikian Surat perjanjian ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Perlu diketehui bahwa kontrak Roti Cappie tersebut merupakan kontrak baku,
dalam arti kontrak tersebut adalah kehendak dari pemberi waralaba dan tidak ada
tawar-menawar antara franchisor dengan franchisee dalam menetapkan klausulaklausula kontrak tersebut.
Kontrak Roti Cappie Dalam Perspektif Waralaba
Dari isi kontrak Roti Cappie diatas, jika dilihat dari sudut pandang waralaba,
maka yang harus diperhatikan ialah apakah kontrak tersebut selaras dengan aturan
tentang perjanjian waralaba yang terdapat di Bab III Peraturan Pemerintah Nomor 42
Tahun 2007 tentang Waralaba. Dalam hal ini, diatur dalam pasal 4, 5, dan 6 yaitu
mengenai perjanjian waralaba.

Universitas Sumatera Utara

Menurut pasal 4 ayat (1), usaha waralaba harus diselenggarakan berdasarkan
perjanjian tertulis antara franchisor dengan franchisee dengan memperhatikan
ketentuan hukum yang ada di Indonesia. Di dalam pasal 4 ayat (2) dikatakan
perjanjian waralaba harus dibuat menggunakan bahasa Indonesia, dan apabila
perjanjian dibuat dalam bahasa asing, maka perjanjian tersebut harus diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia.
Dengan melihat ketentuan pasal 4 ayat (1 dan 2) di atas, maka kontrak Roti
Cappie dibuat tidak menyalahi ataupun bertentangan dengan aturan pasal tersebut.
Waralaba Roti Cappie ini diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara
franchisor dengan franchisee dan kontrak Roti Cappie dibentuk dengan
menggunakan bahasa Indonesia. Tujuan dari ketentuan pasal tersebut sebenarnya
untuk melindungi franchisee yang ada dalam negeri, supaya franchisor tidak
melakukan tindakan semena-mena kepada franchisee terlebih franchisor yang datang
dari luar negeri.
Kemudian ketentuan yang terdapat di dalam pasal 5, perjanjian waralaba
tersebut harus memuat klausul nama dan alamat para pihak, jenis hak atas kekayaan
intelektual, kegiatan usaha, serta hak dan kewajiban para pihak. Perjanjian juga harus
mencantumkan wilayah usaha, jangka waktu perjanjian, tata cara pembayaran
imbalan, kepemilikan dan ahli waris, penyelesaian sengketa, tata cara perpanjangan,
dan pemutusan perjanjian. Hal ini ditegaskan dalam pasal 5 yang menyatakan,
“Perjanjian Waralaba memuat klausul paling sedikit:
a. nama dan alamat para pihak;

Universitas Sumatera Utara

b. jenis Hak Kekayaan Intelektual;
c. kegiatan usaha;
d. hak dan kewajiban para pihak;
e. bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan dan pemasaran yang
diberikan Pemberi
f. Waralaba kepada Penerima Waralaba;
g. wilayah usaha;
h. jangka waktu perjanjian;
i. tata cara pembayaran imbalan;
j. kepemilikan, perubahan kepemilikan dan hak ahli waris;
k. penyelesaian sengketa; dan
l. tata cara perpanjangan, pengakhiran dan pemutusan perjanjian.
Menurut yang saya lihat dari kontrak Roti Cappie ini, bahwa kontrak Roti
Cappie dibuat berdasarkan ketentuan pasal 5 UUPK tersebut. Akan tetapi, ada
beberapa ketentuan yang terdapat di dalam pasal 5 yang tidak dimasukkan ke dalam
kontrak Roti Cappie tersebut. Saya melihat beberapa kekurangan dari isi kontrak Roti
Cappie, dimana kontrak Roti Cappie tersebut tidak mengatur atau memasukkan
klausul mengenai jangka waktu perjanjian, kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan
ahli waris, serta kontrak tersebut juga tidak mengatur tentang tata cara perpanjangan,
pengakhiran, dan pemutusan perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana diatur
dalam pasal 5 huruf (g, i, k) Peraturan Pemerintah tersebut.
Namun, terdapat pengaturan tambahan di dalam isi kontrak Roti Cappie di
samping klausul yang wajib dibuat sesuai dengan pasal 5 tersebut. klausul tersebut
terdapat di dalam pasal 6 Kontrak Roti Cappie, yaitu mengenai ketentuan lain-lain.
Dalam isi pasal tersebut dikatakan, “Surat perjanjian kerjasama ini dibuat dan

Universitas Sumatera Utara

ditandatangani oleh kedua belah pihak dan apabila di kemudian hari terdapat
kekeliruan dan atau kekurangan maka akan di adakan perbaikan sebagaimana
mestinya.
Hal-hal lain yang tidak tertera dalam surat perjanjian kerja sama ini dapat diatur atas
kesepakatan kedua belah pihak”.
Dari ketentuan isi kontrak yang terdapat dalam pasal 6 tersebut, bahwa
apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan dan kekurangan antara franchisor dengan
franchisee dalam menjalankan usaha waralaba terseb

Dokumen yang terkait

Prosedur Mutasi Jabatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Ditinjau Dari Persektif Hukum Administrasi Negara (Studi Kasus Dinas Pekerjaan Umum)

10 119 83

Pengoplosan Beras Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

11 144 123

Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Usaha Air Minum Depot (AMD) Isi Ulang Ditinjau Dari Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

3 124 97

Perlindungan bagi Konsumen Terhadap Usaha Waralaba (Franchise) Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Studi pada Usaha Roti Cappie Medan)

0 7 121

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN SMART LAUNDRY ATAS KELALAIAN PELAKU USAHA YANG MENGAKIBATKAN KERUGIAN KONSUMEN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

1 2 72

Perlindungan bagi Konsumen Terhadap Usaha Waralaba (Franchise) Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Studi pada Usaha Roti Cappie Medan)

0 0 11

Perlindungan bagi Konsumen Terhadap Usaha Waralaba (Franchise) Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Studi pada Usaha Roti Cappie Medan)

0 0 1

Perlindungan bagi Konsumen Terhadap Usaha Waralaba (Franchise) Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Studi pada Usaha Roti Cappie Medan)

0 0 15

Perlindungan bagi Konsumen Terhadap Usaha Waralaba (Franchise) Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Studi pada Usaha Roti Cappie Medan)

0 0 35

Perlindungan bagi Konsumen Terhadap Usaha Waralaba (Franchise) Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Studi pada Usaha Roti Cappie Medan)

0 0 3