Perlindungan bagi Konsumen Terhadap Usaha Waralaba (Franchise) Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Studi pada Usaha Roti Cappie Medan)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, A. 1970. Ensiklopedia Ekonomi, keuangan, Perdagangan, Pradnya Paramita, Jakarta.

Ali, Zainuddin. 2009. Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Ashofa, Burhan. 1996. Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.

Barkatullah, Abdul Halim. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen, Nusa Media, Bandung.

Gaharpung, Marianus.2000. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Korban Atas Tindakan Pelaku Usaha, Jurnal Yustika.

Ibrahim, Johannes dan Sewu, Lindawati. 2004. Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern, Refika Aditama, Bandung.

Kristiyanti, Celina Tri Siwi. 2014. Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta.

Sadar, M dan Makarao, Taufik Moh. Dan Mawad, Habloel. 2012. Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, Akademia, Jakarta.

Santiago, Faisal. 2012. Pengantar Hukum Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta.


(2)

Simatupang, Richard Burton. 2003. Aspek Hukum Dalam Bisnis, Rineka Cipta, Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 2012. Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.

Suharnoko. 2004. Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Prenada Media, Jakarta.

Sumardi, J. 1995. Aspek-Aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Transnasional, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Susanto, Happy. 2008. Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta.

Sutedi, Adrian. 2008. Hukum Waralaba, Ghalia Indonesia, Bogor.

Widjaja, Gunawan. 2003. Seri Hukum Bisnis Waralaba, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Yani, Ahmad dan Widjaja, Gunawan. 2003. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Zainal Askin, H dan Amiruddin. 2012. Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.

PERATURAN PERUNDANG-UNDAGAN

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen


(3)

Simanjuttak, Dinni Harina. 2011. Tinjaun Yuridis Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Franchise Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997, Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan

Sinambela, F. 2000. Peranan Perjanjian Kerja Antara Pengusaha dan Pekerja Pada Perusahaan Waralaba (Franchise) di Kotamadya Medan, Tesis program Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan.

INTERNET

Stefanno Reinard Sulaiman, “Bisnis Waralaba di Tahun 2015,”


(4)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG WARALABA (

FRANCHISE

)

A. PENGERTIAN WARALABA

Pada awalnya pengertian waralaba diatur pada pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba dan Pasal 1 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 259/MPP/KEP/7/1977 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Waralaba menyebutkan bahwa waralaba (franchise) adalah “perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang atau jasa”.

Kemudian seiring perkembangan zaman Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba dianggap tidak bisa lagi sebagai landasan pengaturan waralaba di Indonesia. Pada tahun 2007 terbitlah Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba menggantikan PP No. 16 Tahun 1997 sebelumnya. Akibat adanya pergantian Peraturan Pemerintah tersebut, maka pada pp No. 42 Tahun 2007 memberikan pengertian waralaba yang baru sebagai berikut:


(5)

“Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, yaitu: hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba”.

Franchise sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu francorum rex yang artinya “bebas dari ikatan”, yang mengacu pada kebebasan untuk memilih hak usaha. Sedangkan pengertia franchise berasal dari bahasa Prancis abad pertengahan, diambil dari kata “franc” (bebas) atau “francher’ (membebaskan), yang secara umum diartikan sebagai pemberian hak istimewa. Dalam bahasa Inggris, franchise

diterjemahkan dalam pengertian privilege (hak istimewa/hak khusus).

Pada awalnya, istilah franchise tidak dikenal kepustakaan hukum Indonesia. Hal ini dapat dimaklumi karena memang lembaga franchise sejak awal tidak terdapat dalam budaya atau tradisi bisnis masyarakat Indonesia. Namun, karena pengaruh globalisasi yang melanda di berbagai bidang, maka franchise kemudian masuk kedalam tatanan budaya dan tatanan hukum masyarakat Indonesia. Kemudian istilah

franchise coba di Indonesiakan dengan istilah “waralaba” yang diperkenalkan pertama kali oleh Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen (LPPM).


(6)

Waralaba berasal dari kata “wara” (lebih atau istimewa) dan “laba” (untung) sehingga waralaba berasal usaha yang memberikan laba lebih dan istimewa.42

Franchise pada dasarnya adalah sebuah perjanjian mengenai metode pendistribusian barang dan jasa kepada konsumen. Franchisor dalam jangka waktu tertentu memberikan lisensi kepada franchisee untuk melakukan usaha pendistribusian barang dan jasa dibawah nama dan identitas franchisor dalam wilayah tertentu. Usaha tersebut harus dijalankan sesuai dengan prosedur dan cara yang ditetapkan franchisor. Franchisor memberikan bantuan (assistance) terhadap

franchisee. Sebagai imbalannya franchisee membayar sejumlah uang berupa inntial fee dan royalty.43

Franchise adalah hak istimewa untuk menggunakan nama atau untuk menjual produk/jasa layanan. Hak itu diberikan oleh pengusaha pabrik untuk penyedia pada penjual eceran untuk menggunakan berbagai produk dan nama dengan berdasarkan syarat-syarat yang telah disetujui bersama (dalam hubungan yang saling menguntungkan).

Berikut ini defenisi waralaba (franchise) yang diuraikan oleh para ahli, yaitu:

44

Franchise dapat juga diartikan sebagai suatu sistem pemasaran atau distribusi barang dan jasa, dimana sebuah perusahaan induk (franchisor) memberikan kepada

42

Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 6-7 43

Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus (Jakarta: Prenada Media, 2004), hal. 83 44


(7)

individu atau perusahaan lain yang berskala kecil dan menengah (franchisee), hak-hak istimewa untuk melaksanakan suatu sistem usaha tertentu dengan cara yang sudah ditentukan, selama waktu tertentu, disuatu tempat tertentu.45

c. Waralaba merupakan suatu hubungan berdasarkan kontrak antara franchisor

dengan franchisee. Franchisor menawarkan dan berkewajiban menyediakan perhatian terus-menerus pada bisnis waralaba melalui penyedian pengetahuan dan pelatihan. Franchisee beroperasi dengan menggunakan merek dagang, format, atau Defenisi waralaba juga diberikan oleh Institut Pendidikan dan Manajemen yang antara lain mendefenisikan waralaba sebagai berikut:

a. Waralaba adalah suatu sistem pemasaran atau distribusi barang dan jasa, dimana sebuah perusahaan induk (franchisor) memberikan hak istimewa untuk melakukan suatu sistem usaha dengan cara, waktu, dan lokasi tertentu kepada individu atau perusahaan lain (franchisee) yang berskala kecil dan menengah.

b. Waralaba merupakan sebuah metode pendistribusian barang dan jasa kepada masyarakat konsumen, yang dijual kepada pihak lain yang berminat. Pemilik dari metode yang dijual ini disebut franchisor, sedangkan pembeli hak untuk menggunakan metode tersebut disebut franchisee.

45


(8)

prosedur yang dipunyai serta dikendalikan oleh franchisor. Franchisee melakukan investasi dalam bisnis yang dimilikinya.46

3. Franchise adalah lisensi dari pemilik merek dagang atau nama dagang yang mengizinkan orang lain untuk menjual produk atau jasa layanan di bawah nama atau merek tersebut.

Menurut Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, menterjemahkan pengertian

franchise dari Black’s Law Dictionary sebagai berikut:

1. Franchise adalah hak istimewa untuk melakukan hal-hal tertentu yang diberikan oleh pemerintah pada individu atau perusahaan yang terbentuk badan hukum, dan hak tersebut tidak dimiliki oleh penduduk pada umumnya.

2. Franchise adalah hak istimewa untuk menggunakan nama atau untuk menjual produk/jasa layanan. Hak itu diberikan oleh pengusaha pabrik atau penyedia pada penjual eceran untuk menggunakan berbagai produk dan nama dengan berdasarkan syarat-syarat yang telah disetujui bersama (dalam hubungan yang saling menguntungkan).

47

Dari sudut bisnis, ada beberapa pengertian waralaba. Juadir Sumardi, dalam konferensi pers mengenai konsep perdagangan baru yang dilaksannakan di Jakarta pada tanggal 25 Juni 1991, mengemukakan bahwa Franchise adalah sebuah metode pendistribusian barang dan jasa kepada masyarakat konsumen, yang dijual kepada

46

Adrian Sutedi, Op.Cit, hal. 9 47

Johannes Ibrahim dan Lindawati Sewu, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern (Bandung: Refika Aditama, 2004), hal. 116


(9)

pihak lain yang berminat. Pemilik dari metode ini disebut “franchisor”, sedangkan pembeli yang berhak untuk menggunakan metode ini disebut “franchisee”.48

Dari sudut hak atas kekayaan intelektual, Ferro Sinambela mendefenisikan

franchise adalah semua hak milik yang berhubungan dengan bidang usaha atau kepemilikan yang berhubungan daya pikir, seperti merek dagang, nama perusahaan, label perusahaan, model barang penemuan, hak cipta, hak paten, yang digunakan untuk tujuan penjualan barang-barang atau jasa-jasa kepada konsumen.49

Dari sudut hubungan kemitraan usaha dan perjanjian, waralaba dapat didefenisikan sebagai berikut. Dalam bukunya, A. Abdurrahman menyebutkan, “secara umum waralaba yang dikenal dengan istilah franchise berarti suatu persetujuan atau perjanjian (kontrak) antara leveransir dan pedagang eceran atau pedagang besar, yang menyatakan bahwa yang tersebut pertama itu memberikan kepada yang tersebut terakhir itu suatu hak untuk memperdagangkan produknya, dengan syarat-syarat yang disetujui oleh kedua belah pihak”.50

48

J. Sumardi, Aspek-aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Transnasional (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 16

49

F. Sinambela, Peranan Perjanjian Kerja Antara Pengusaha dan Pekerja Pada Perusahaan

Waralaba (Franchise) di Kotamadya Medan (Tesis Program Studi Ilmu Hukum-Program Pascasarjana USU, Medan, 2000), hal. 50

50

A. Abdurrahman, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan, Perdagangan (Jakarta: Pradnya Paramita, 1970), hal. 424

Semua pengertian yang telah dipaparkan di atas menunjukkan bahwa


(10)

a. Franchisor yaitu pihak pemilik/produsen dari barang atau jasa yang telah memiliki merek tertentu serta memberikan atau melisensikan hak eksklusif tertentu untuk pemasaran dari barang atau jasa itu.

b. Franchisee yaitu pihak yang menerima hak eksklusif itu dari franchisor.

c. Adanya penyerahan hak-hak secara eksklusif (dalam praktek meliputi berbagai macam hak milik intelektual/hak milik perindustrian) dari franchisor kepada

franchisee.

d. Adanya penetapan wilayah tertentu, franchise area dimana franchisee diberikan hak untuk beroperasi diwilayah tertentu.

e. Adanya imbal prestasi dari franchisee kepada franchisor yang berupa Franchise Fee dan Royalties serta biaya-biaya lain yang disepakati oleh kedua belah pihak.

f. Adanya standar mutu yang ditetapkan oleh franchisor bagi franchisee, serta supervisi secara berkala dalam rangka mempertahankan mutu.

g. Adanya pelatihan awal, pelatihan yang berkesinambungan, yang diselenggarakan oleh franchisor guna peningkatan keterampilan.

B. BENTUK PERJANJIAN WARALABA

Sebelum memasuki tentang bentuk perjanjian waralaba, terlebih dahulu kita harus mengetahui pengertian perjanjian itu sendiri. Adapun pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, “perjanjian adalah


(11)

suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Sedangkan menurut Yahya Harahap perjanjian adalah “suatu hubungan hukum kekayaan harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak atau sesuatu untuk memperoleh prestasi atau sekaligus kewajiban pada pihak lain untuk menunaikan kewajiban pada pihak lain untuk memperoleh suatu prestasi”.

Adapun bentuk perjanjian/kontrak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tertulis dan lisan. Perjanjian tertulis adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan, sedangkan perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan.

Sehubungan dengan bentuk perjanjian waralaba, Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, menentukan bahwa waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) PP Waralaba ini jelas dimengerti bahwa apabila pemberi dan penerima waralaba telah sepakat maka perjanjian waralaba harus dituangkan kedalam bentuk perjanjian tertulis.

Salim HS menyebutkan ada tiga bentuk perjanjian tertulis, yaitu:

1. Perjanjian di bawah tangan ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan saja.


(12)

3. Perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta notariel.51

Dalam hal pembuatan kontrak, hubungan hukum antara franchisor dan

franchisee ditandai ketidakseimbangan kekuatan tawar-menawar (unequal bargaining power). Perjanjian franchise merupakan perjanjian baku yang dibuat oleh franchisor. Franchisor menetapkan syarat-syarat dan standar yang harus diikuti oleh franchisee

yang memungkinkan franchisor dapat membatalkan perjanjian apabila dia menilai

franchisee tidak dapat memenuhi kewajibannya. Dalam perjanjian dicantumkan kondisi-kondisi bagi pemutusan perjanjian seperti: kegagalan memenuhi standar pengoperasian, dan sebagainya. Franchisor mempunyai discretionary power untuk menilai semua aspek usaha franchisee, sehingga perjanjian tidak memberikan

Bila dihubungkan pendapat Salim HS dengan ketentuan bentuk perjanjian waralaba dalam Pasal 4 ayat (1) PP Waralaba di atas maka bentuk perjanjian

waralaba yang termaktub dalam PP Waralaba tidak menjelaskan dengan tegas bagaimana bentuk perjanjian tertulis tersebut, dengan keadaan seperti ini tentunya bentuk perjanjian waralaba yang ada dilapangan dapat berbentuk 3 (tiga) macam yaitu perjanjian waralaba dengan bentuk perjanjian di bawah tangan yang

ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan saja, perjanjian waralaba dengan bentuk perjanjian yang disaksikan notaris untuk melegalisir tanda tangan para pihak dan perjanjian waralaba dengan bentuk perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta notariel.

51


(13)

perlindungan yang memadai bagi francisee dalam menghadapi dalam menghadapi pemutusan perjanjian dan penolakan franchisor untuk memperbaharui perjanjian.52

Perjanjian franchise adalah sebuah perjanjian mengenai metode pendistribusian barang dan jasa kepada konsumen. Franchisor dalam jangka waktu tertentu memberikan lisensi kepada franchisee untuk melakukan usaha pendistribusian barang dan jasa di bawah nama dan indentitas franchisor dalam wilayah tertentu. Usaha tersebut harus dijalankan sesuai dengan prosedur dan cara yang ditetapkan franchisor. Franchisor memberikan bantuan (assistance) terhadap

franchisee. Sebagai imbalannya franchisee membayar sejumlah uang berupa inntial fee dan royalty.

Ketidakseimbangan kekuatan tawar-menawar antara franchisor dengan

franchisee juga terdapat di dalam kontrak Roti Cappie. Dimana klausul-klausul yang terdapat didalam kontrak Roti Cappie tersebut adalah kehendak dari franchisor.

Franchisee tidak dapat menawar atau tidak mempunyai wewenang untuk memberikan pendapat mengenai isi daripada kontrak tersebut.

C. UNSUR-UNSUR PERJANJIAN WARALABA

53

52

Suharnoko, Op. Cit, hal. 85 53

Suharnoko, Loc. It, hal. 83

Dari pengertian perjanjian Waralaba yang dikemukakan di atas, maka unsur-unsur yang dapat disimpulkan adalah:


(14)

Waralaba sebagai suatu sistem bisnis dilakukan dengan adanya perjanjian antara para pihak, yaitu pemilik waralaba (franchisor) dengan penerima waralaba (franchisee). Di dalam kesepakatan ini menjelaskan secara rinci mengenai segala hak, kewajiban dan tugas dari pemberi Waralaba dan penerima waralaba. Demi menjamin kepastian hukum bagi kedua belah pihak, sebaiknya perjanjian waralaba dibuat dihadapan pejabat yang berwenang (Notaris).

2. Adanya pemberian hak dari Pemilik waralaba kepada penerima waralaba untuk memproduksi dan memasarkan produk dan/atau jasa.

Dari unsur yang kedua ini, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa si penerima waralaba (franchisee) mempunyai hak untuk memakai, menggunakan logo dan cap dagang dari pemilik waralaba untuk dipasarkan oleh penerima waralaba kepada masyarakat konsumen.

3. Pemberian hak tersebut terbatas pada waktu dan tempat tertentu.

Dalam hal ini Pemberi Waralaba memberi hak kepada Penerima Waralaba untuk menggunakan nama, merek dagang dan logo dari usahanya kepada Penerima Waralaba terbatas pada tempat dan waktu yang telah diperjanjikan dalam perjanjian yang telah dibuat sebelumnya.

Menurut saya, unsur pemberian hak terbatas pada waktu dan tempat tertentu ini adalah salah satu unsur yang tidak menguntungkan kepada franchisee. Franchisor

disini dapat memanfaatkan kedudukan franchisee untuk menguji pasar, dan setelah mengetahui bahwa kondisi pasar menguntungkan, maka franchisor memutuskan perjanjian dengan franchisee, selanjutnya franchisor mengoperasikan outlet atau


(15)

tempat usaha sendiri di wilayah franchisee. Hal ini perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah, supaya memberikan perlindungan hukum yang jelas kepada franchisee yang mendapatkan tindakan semena-mena dari franchisor dalam hubungan perdagangan.

4. Adanya pembayaran sejumalah uang tertentu dari Penerima Waralaba kepada Pemberi Waralaba

Adapun pembayaran ini antara lain:

a. Pembayaran awal yang dilakukan setelah adanya kesepakatan dari kedua belah pihak atas perjanjian.

Pembayaran ini dipergunakan untuk pemilihan lokasi dan biaya-biaya lain yang dikeluarkan sampai mulai beroperasinya usaha tersebut.

b. Pembayaran selama berlangsungnya waralaba

Pembayaran ini meliputi royalty, pembagian kelebihan harga yang telah ditetapkan oleh Pemberi Waralaba sebagai harga standar, biaya promosi, biaya jasa yang dalam hal ini adalah jasa administrasi dan bantuan pembukuan.

c. Pembayaran atau pengoperan hak Penerima Waralaba kepada pihak ketiga Maksud dari pembayaran ini adalah bahwa Penerima Waralaba berhak mengalihkan hak pemegang waralabanya kepada calon Penerima Waralaba yang lain atas seizin Pemberi Waralaba, dalam hal ini Pemberi Waralaba mendapatkan bagian tertentu dari Penerima Waralaba.


(16)

Pemberi Waralaba berhak memasok bahan baku yang bermutu sesuai dengan kualitas standar.

D. PERKEMBANGAN WARALABA DI INDONESIA

Di Indonesia, waralaba mulai dikenal pada 1950-an dengan munculnya dealer

kendaraan bermotor melalui pembelian lisensi atau menjadi agen tunggal pemilik merek. Waralaba di Indonesia semakin berkembang ketika masuknya waralaba asing pada tahun 80-90an. KFC, Mc Donald’s, Burger King, dan Wendys adalah sebagian dari jejaring waralaba asing yang masuk ke Indonesia pada awal-awal berkembangnya waralaba di Indonesia.54

Pada tahun 1990, melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin membaik, politik yang stabil dan keamanan yang terjamin, para investor dari luar negeripun mulai melirik pasar Indonesia. Franchise asing mulai berkembang di pasar Indonesia, dan harus diakui ternyata minat penduduk Indonesia terhadap franchise

yang dari luar negeri ini sangat besar. Hal ini dapat dibuktikan dengan lakunya

franchise asing di pasaran Indonesia, sebut saja : Kentucky Fried Chicken.55

Pada tahun 1991, tepatnya tanggal 22 November 1991, berdiri Asosiasi

Franchise Indonesia (AFI) sebagai wadah yang menaungi franchisor dan franchisee. AFI didirikan dengan bantuan ILO (International Labour Organization) dan pemerintah Indonesia. Dengan berdirinya AFI diharapkan dapat menciptakan industri

54

Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 19 55

Dinni Harina Simanjuttak,”Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Hukum bagi Franchise

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997” (Skripsi, Universitas Sumatera Utara, 2011), hal. 20


(17)

waralaba yang kuat dan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang berbasiskan usaha kecil dan menengah.56

Ketika terjadi krisis moneter, yaitu di tahun 1997, sekitar 64% waralaba asing menutup usahanya. Hal ini disebabkan terpuruknya nilai rupiah sehingga franchise fee dan royalty fee serta biaya bahan baku, peralatan, dan perlengkapan yang dalam dolar menjadi meningkat. Oleh sebab itu, jumlah perusahaan waralaba asing mengalami penurunan pertumbuhan sebesar 9,78% dari tahun 1997/2001. Setelah krisis moneter reda, mulai bermunculan berbagai waralaba lokal. Dari kurun waktu 1999-2000, pertumbuhan waralaba lokal sebesar 120%. Pada tahun 2001, jumlah waralaba asing tumbuh kembali sebesar 8,5%, sedangkan waralaba lokal meningkat 7,69% dari tahun 2000. Pertumbuhan bisnis waralaba yang cepat di Indonesia tidak lepas dari peran serta merek-merek waralaba lokal, seperti Indomaret, Alfamart, Martha Tilaar dan lain-lain.57

56

Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 20 57

Ibid, hal. 21

Salah satu contoh bisnis waralaba yang sangat berkembang di Indonesia sampai saat ini ialah Indomaret dan Alfamart. Dua bisnis ini sangat banyak bermunculan di berbagai tempat dan sangat mudah ditemukan di Indonesia.

Hingga pada saat ini bisnis waralaba diperkirakan akan semakin berkembang di Indonesia, apalagi sekarang telah diresmikannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang disinyalir dapat menumbuhkan minat yang begitu besar bagi Investor luar untung menanamkan investasinya di Indonesia.


(18)

Direktur Bina Usaha Kementerian Perdagangan RI, Fetnayeti menargetkan di tahun 2015 kemarin pertumbuhan bisnis waralaba naik 15-20 persen. Saat ini ada 12.000 bisnis waralaba dengan jumlah gerai mencapai 23.000.

Dirinya optimistis Indonesia bisa melakukan ekspor bisnis waralaba dibandingkan ekspor produk. Hal ini melihat adanya minat yang besar datang dari investor-investor timur tengah. Hal ini senada dengan jumlah omzet yang besar dari bisnis waralaba tahun 2014 berdasarkan data Asosiasi Franchise Indonesia (AFI).

Menurut Fetnayeti, dalam memajukan bisnis waralaba lokal, Kementerian Perdagangan melakukan pendampingan selama 3 tahun terakhir kepada 384 Usaha Kecil Menengah (UKM). Pendampingan tersebut dilakukan salah satunya dengan cara mengikutkan UKM-UKM dalam pameran-pameran di dalam negeri dan di luar negeri.

Untuk tahun ini, Kemendag mendampingi kurang lebih 180 UKM dengan menambahkan sejumlah materi untuk mempersiapkan bisnis tersebut menjadi bisnis waralaba. “Rata-rata ada 180an yang kita dampingi, tahun ini rencananya kita masukkan materi dari segi legal dan manajemen keuangan. Jadi ketika mereka mendapat masalah dari hukum, mereka sadar dan paham bahwa mereka punya dasar hukum.58

58

Stefanno Reinard Sulaiman, “Bisnis Waralaba di Tahun 2015,” E. PENGATURAN WARALABA DI INDONESIA

17 Februari 2016).


(19)

1. Pengaturan Waralaba Sebelum Berlakunya Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba

Waralaba merupakan suatu perjanjian (kontrak) antara dua belah pihak, yaitu antara franchisor (pemilik waralaba) dengan franchisee (penerima waralaba) dimana franchisor memberikan hak kepada franchisee untuk mendistribusikan barang dan/atau jasa milik franchisor.

Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dikenal perjanjian bernama (nominaat) dan tidak bernama (innominaat). Perjanjian bernama ini adalah perjanjian yang diberi nama oleh pembuat Undang-undang dan telah diatur dengan jelas dalam KUH Perdata, sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang belum ada diatur dengan jelas di dalam KUH Perdata.

Perjanjian waralaba ini merupakan perjanjian tidak bernama (innominaat) dan merupakan salah satu contoh dari perkembangan hukum perdata. Perjanjian ini timbul dan berkembang di kalangan masyarakat dikarnakan azas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Melalui azas tersebut, setiap orang berhak membuat suatu perjanjian dan berhak juga membuat klausul apa saja yang mereka masukkan ke dalam kontrak sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


(20)

Perjanjian tidak bernama (innominaat) adalah sah menurut hukum apabila perjanjian tersebut dibuat berdasarkan pasal 1320 BW. Dalam pasal tersebut dikatakan suatu perjanjian adalah sah apabila dibuat dengan empat syarat, yaitu:

a. Adanya kesepakatan dari kedua belah pihak;

b. Adanya kecakapan bagi subjek hukum yang membuat perjanjian; c. Suatu hal tertentu;

d. Suatu sebab yang halal.

Perjanjian waralaba sebagai perjanjian innominaat juga tunduk pada pasal 1319 KUH Perdata BW, dimana dalam ketentuan pasal tersebut dikatakan “semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum, yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sebelum adanya Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba, waralaba diatur diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu terdapat dalam buku III. Waralaba ini merupakan salah satu perkembangan dari Hukum Perdata dibidang kontrak (perjanjian).

2. Pengaturan Waralaba Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba


(21)

Peraturan Pemerintah dibuat bertujuan untuk mengembangkan kegiatan usaha waralaba sebagai upaya memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha serta sebagai upaya untuk meningkatkan pelaksanaan alih teknologi. Peraturan tersebut juga dibuat untuk memberikan kepastian usaha dan kepastian hukum bagi setiap orang yang menjalankan usaha waralaba, terutama dalam upaya pengaturan, pembinaan, serta pengembangan waralalaba.

Adapun rumusan waralaba yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 diuraikan sebaga berikut.

a. Waralaba merupakan suatu perikatan.

Rumusan tersebut menyatakan bahwa sebagai perikatan, waralaba tunduk pada ketentuan umum mengenai perikatan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

b. Waralaba melibatkan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha.

Yang dimaksud dengan hak atas kekayaan intelektual meliputi antara lain merek, nama dagang, logo, desain, hak cipta, rahasia dagang dan paten. Sedangkan penemuan ciri khas usaha , misalnya sistem menajemen serta cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus dari pemiliknya.

Ketentuan ini membawa akibat bahwa sampai pada derajat tertentu,waralab tidak berbeda dengan lisensi (hak atas kekayaan intelektual), khususnya yang


(22)

berhubungan dengan waralaba nama dagang atau merek dagang, baik untuk produk berupa barang dan/atau jasa.

c. Waralaba diberikan dengan suatu imbalanberdasarkan persyaratan dan/atau penjualan barang dan/atau jasa.

Ketentuan ini pada dasarnya menekankan kembali bahwa waralaba tidak diberikan secara Cuma-Cuma. Pemberian waralaba senantiasa dikaitkan dengan suatu bentuk imbalan tertentu. Secara umum dikenal dua macam kompensasi yang dapat diminta oleh pemberi waralaba dan penerima waralaba, yaitu sebagai berikut.

1) Kompensasi langsung dalam bentuk nilai moneter (direct monetary compensation). Berikut ini adalah kompensasi yang termasuk kompensasi langsung dalam bentuk nilai moneter.

a) Lump-sum payment, suatu jumlah uang yang telah dihitung terlebih dahulu yang wajib dibayarkan oleh penerima waralaba untuk diberikan kepada pemberi waralaba pada saat persetujuan waralaba disepakati. Pembayaran ini dapat dilakukan sekaligus, maupun dalam beberapa kali (pembayaran cicilan.

b) Royalty, pembayaran oleh pihak penerima waralaba kepada pemberi waralaba sebagai imbalan, yang besar atau jumlah pembayarannya dikaitkan dengan persentase tertentu yang dihitung dari jumlah produksi dan/atau penjualan barang atau jasa berdasarkan perjanjian waralaba, baik yang disertai dengan jumlah minimum atau maksimum


(23)

atau tidak. Meskipun secara absolut royalti dibayarkan tetap, tetapi sebenarnya pembayaran royalty akan menunjukkan kenaikan seiring dengan peningkatan jumlah produksi, penjualan, atau keuntungan penerima lisensi.59

2) Kompensasi tidak langsung dalam bentuk nilai moneter (indirect moneter) dan kompensasi yang diberikan tidak dalam bentuk nilai moneter (non monetary compensation), yang meliputi sebagai berikut.

a) Keuntungan dari penjualan barang modal atau bahan mentah, bahan setengan jadi, dan termasuk barang jadi, yang merupakan satu paket dengan pemberian waralaba.

b) Pembayaran dalam bentuk dividen atau bunga pinjaman di mana pemberi waralaba memberikan bantuan finansial baik dalam bentuk ekuitas atau dalam bentuk pinjaman jangka pendek maupun jangka panjang.

c) Cost shifting atau pengalihan atas sebagian biaya yang harus dikeluarkan oleh pemberi waralaba. Pengalihan ini biasanya dilakukan dalam bentuk kewajiban penerima waralaba untuk mengeluarkan segala biaya yang diperlukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran maupun untuk mempertahankan perlindungan hak atas kekayaan intelektual paket yang waralabakan kepadanya.

59


(24)

d) Perolehan data pasar dari kegiatan usaha oleh penerima waralaba, yang berarti pemberi waralaba memiliki akses yang lebih luas untuk mengembangkan lebih lanjut waralaba yang diberikan tersebut.

e) Penghematan biaya pemberi waralaba yang dilakukan oleh penerima waralaba. Hal ini dapat terjadi karena pada prinsipnya kegiatan operasional waralaba berada pada pundak pemberi waralaba. Ini berarti penerima waralaba hanya cukup melakukan pengawasan atas jalannya pemberian waralaba tersebut.60

Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba menggantikan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997. Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang waralaba ini dilandasi upaya pemerintah meningkatkan pembinaan usaha waralaba di seluruh Indonesia sehingga perlu mendorong pengusaha nasional, terutama pengusaha kecil dan menengah untuk tumbuh sebagai franchisor nasional yang andal dan mempunyai daya asing di dalam negeri dan luar negeri khususnya dalam rangka memasarkan produk dalam negeri.

3. Pengaturan Waralaba Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba

61

Dengan adanya peraturan tersebut diharapkan bisnis waralaba yang dijual dipasar benar-benar bisnis yang telah solid dan terbukti layak untuk dikembangkan

60

Ibid, hal. 110 61


(25)

oleh franchisee. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 memuat salah satu poin penting, yaitu persyaratan bisnis yang bisa diwaralabakan, yang dimuat pada pasal 3. Adapun persyaratannya ialah bisnis memiliki ciri khas usaha, terbukti telah memberikan keuntungan, memiliki standar atas pelayanan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis, mudah diajarkan dan diaplikasikan, adanya dukungan yang berkesinambungan, serta hak atas kekayaan intelektual yang telah terdaftar.

Untuk lebih menjamin kelayakan usaha bisnis yang diwaralabakan, pada bagian lain peraturan pemerintah ini, franchisor diwajibkan memperlihatkan prospek kepada calon franchisee. Isi prospek setidaknya memuat data identitas franchisor, legalitas usaha, sejarah kegiatan usaha, struktur organisasi, laporan keuangan dua tahun terakhir, jumlah tempat usaha, daftar franchisee, serta hak dan kewajiban

franchisor dan franchisee.

Peminat baru bisnis waralaba juga patut lebih lega karena sesuai peraturan pemerintah tersebut, para franchisor tidak dapat seenak hati menjual, kemudian acuh tak acuh lagi dengan bisnis waralaba yang telah diserahkan pada franchisee. Pasalnya, dalam peraturan ini tercantum kewajiban franchisor untuk memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional manajemen, pemasaran, penelitian dan pengembangan kepada franchisee secara berkesinambungan. Hal ini tidak hanya sekedar simbol. Sanksi administratif berupa pencabutan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba menanti franchisor yang tidak melakukan pembinaan kepada


(26)

franchisee sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, setelah diterbitkannya surat peringatan tertulis ke-3.62

a) Nama dan alamat para pihak;

Di dalam pasal 4 (empat) ayat (1) dikatakan bahwa bisnis waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba dan harus berdasarkan hukum Indonesia. Dalam ayat 2 (dua) dikatakan juga bahwa apabila perjanjian dibuat dalam bahasa asing, maka perjanjian tersebut harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini tentu mempunyai fungsi yang penting kepada franchisee yang ada di Indonesia, demi untuk melindungi segala hak dan kepentingan-kepentingannya. Dengan adanya peraturan tersebut diharapkan juga kepada franchisor dari luar negeri supaya menghargai dan juga menghormati hak-hak dari franhisee yang ada di dalam negeri.

Mengenai klausula-klausula yang wajib dibuat dalam suatu perjanjian waralaba antara franchisor dengan franchisee diatur dalam pasal 5 peraturan pemerintah tersebut. Dalam pasal 5 (lima) dikatakan “perjanjian waralaba memuat klausula paling sedikit”:

b) Jenis hak atas kekayaan intelektual; c) Kegiatan usaha;

d) Hak dan kewajiban para pihak;

62


(27)

e) Bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba;

f) Wilayah usaha;

g) Jangka waktu perjanjian; h) Tata cara pembayaran imbalan;

i) Kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris; j) Penyelesaian sengketa; dan

k) Tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian.

Perlu diingat terlebih dahulu, bahwa disamping klausula-klausula wajib diatas, para pihak bebas untuk membuat klausula-klausula lain yang dapat menunjang hak dan kepentingan para pihak yang membuat perjanjian sepanjang klausula tambahan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan yang ada.

Dalam pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 dikatakan bahwa

franchisor dengan franchisee wajib untuk mendaftarkan usahanya kepada Departemen Perdagangan paling lambat satu tahun sejak Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 diberlakukan (23 Juli 2007). Menteri Perdagangan kemudian menerbitkan surat tanda pendaftaran waralaba apabila permohona telah memenuhi syarat. “Surat tanda pendaftaran waralaba berlaku selama lima tahun dan dapat diperpanjang, proses ini tidak dipungut biaya”. Bila tidak didaftarkan, maka dikenakan sanksi administratif berupa denda Rp 100 juta atau pencabutan STPUW (Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba). Syarat waralaba serta sanksi denda bagi


(28)

pemberi waralaba dan penerima waralaba yang tidak mendaftarkan diri memang baru ada Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007. Tujuannya adalah untuk mendidik dan menerbitkan para pengusaha waralaba di Indonesia agar patuh pada peraturan.

Namun, Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 memiliki kekurangan. Peraturan ini memiliki permasalahan yuridis yang dapat menjadi kendala pengembagan usaha kecil dan menengah untuk tumbuh menjadi franchisor. Peraturan pemerintah ini sangat ketat sehingga dikhawatirkan bisnis waralaba tidak bisa lagi dilakukan oleh usaha kecil, tetapi hanya oleh usaha menengah dan besar.

Salah satu pasal yang dinilai sangat berpotensi menghalangi usaha kecil untuk mengembangkan usahanya dengan waralaba adalah pasal 3 dan pasal 8 yang mewajibkan franchisor untuk memberikan pelatihan, bimbingan operasional, manajemen, pemasaran, penelitian, dan pengembangan pada franchisee secara terus-menerus. Jadi, franchisor harus memiliki lembaga pelatihan sendiri yang secara logika sulit dimiliki oleh usaha kecil. Jika tidak dilakukan, maka franchisor dapat diberi sanksi oleh pemerintah antara lain dengan denda Rp 100 juta.63

Ketentuan pasal 3 dan pasal 8 Peraturan pemerintah tersebut dipandang memiliki kelemahan. Di satu sisi pemerintah ingin memberdayakan pengusaha kecil dan menengah sebagai franchisor yang andal dan memiliki daya saing di dalam maupun diluar negeri, tetapi di sisi lain peraturan pemerintah tersebut sangat memberatkan franchisor kecil karena secara implisit maupun eksplisit, pasal 3 hanya

63


(29)

bisa dipenuhi perusahaan menengah dan besar. Usaha kecil hampir tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kriteria tersebut.

Keberadaan Peraturan Pemerintah No. 42Tahun 2007 sangat penting sebagai landasan untuk membatasi maraknya bisnis atau waralaba yang eksistensinya belum terbukti. Dengan adanya peraturan pemerintah ini diharapkan mampu menjamin hak-hak franchisee yang telah menanamkan modalnya dan menertibkan peluang bisnis yang tidak layak usaha.64

64


(30)

BAB IV

PERLINDUNGAN BAGI KONSUMEN TERHADAP USAHA

WARALABA (

FRANCHISE

) BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN

KONSUMEN (STUDI PADA USAHA ROTI CAPPIE MEDAN)

A. HUBUNGAN ANTARA PERJANJIAN WARALABA DENGAN

PERLINDUNGAN KONSUMEN

Berbicara mengenai hubungan antara perjanjian waralaba dengan perlindungan konsumen, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui klausula-klausula yang wajib dicantumkan dalam suatu perjanjian waralaba. Perjanjian waralaba antara franchisor dengan franchisee harus dibuat secara tertulis sebagaimana amanat dari pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba.

Di dalam pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 dikatakan klausula-klausula yang wajib dicantumkan dalam suatu perjanjian waralaba ialah:

a. nama dan alamat para pihak; b. jenis Hak Kekayaan Intelektual; c. kegiatan usaha;


(31)

e. bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan dan pemasaran yang diberikan Pemberi

f. Waralaba kepada Penerima Waralaba; g. wilayah usaha;

h. jangka waktu perjanjian; i. tata cara pembayaran imbalan;

j. kepemilikan, perubahan kepemilikan dan hak ahli waris; k. penyelesaian sengketa; dan

l. tata cara perpanjangan, pengakhiran dan pemutusan perjanjian.

Namun disamping klausula-klausula diatas, tidak menutup kemungkinan Para Pihak menambahkan klausula-klausula lain, seperti klausula kerahasiaan, dan klausula lainnya, sepanjang klausula tambahan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, kesusilaan, kepatutan, dan kebiasaan yang berlaku umum di dalam masyarakat.

Bisnis Waralaba saat ini sedang menjamur dan berkembang di Indonesia, bila kita melihat di mall, pusat keramaian, maupun di media, banyak sekali bisnis yang diwaralabakan, seperti Food and Beverages, salon, dan masih banyak lagi. Nilai investasi waralaba bervariasi, mulai dari yang puluhan juta rupiah hingga ratusan juta rupiah, tergantung bisnis yang diwaralabakan.


(32)

Saat ini, bisnis waralaba merupakan suatu usaha yang banyak diminati oleh pelaku usaha di lapangan, karena bisnis tersebut memberikan banyak sekali keuntungan baik bagi Pemberi Waralaba maupun Penerima Waralaba. Bagi Pemberi Waralaba tentunya akan mendapatkan royalty atau kompensasi atas Waralaba yang diberikan, artinya cukup bermodal pengetahuan tentang bisnis yang bersangkutan, maka Pemberi Waralaba akan mendapatkan pemasukan setiap harinya.

Penerima Waralaba pastinya juga akan mendapatkan keuntungan, karena dengan dukungan pengalaman dan pengetahuan dari Pemberi Waralaba, Penerima Waralaba akan lebih mudah dalam menjalankan bisnis yang ia terima.

Waralaba sebagai bentuk usaha yang bergerak dibidang makanan dan minuman, maka dalam menjalankan usaha tersebut pelaku usaha harus menghormati hak-hak daripada konsumen. Pelaku usaha wajib memasarkan makanan dan minuman yang sehat, bagus, dan aman untuk dikonsumsi oleh konsumen. Dalam menjalankan suatu bisnis usaha, antara pelaku usaha dengan konsumen mempunyai posisi tawar-menawar yang seimbang atau sejajar. Pelaku usaha tidak boleh semena-mena berbuat kecurangan dalam menjalankan usahanya. Hal ini dapat berdampak bagi kelanjutan usaha yang ditekuninya sehari-hari.

Jika kita lihat pengertian dari konsumen yang terdapat dalam UUPK No. 8 Tahun 1999, dimana dalam UU tersebut dikatakan.


(33)

“konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup dan tidak untuk diperdagangkan”.

Disamping pengertian konsumen diatas, kemudian kita melihat pengertian pelaku usaha yang diberikan oleh UUPK tersebut, di mana dikatakan bahwa yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah:

“setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.65

Sejalan dengan hubungan perjanjian waralaba dengan perlindungan konsumen, maka pelaku usaha yang menjalankan usaha waralaba melalui perjanjian

Dari dua pengertian diatas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa antara pelaku usaha dan konsumen merupakan subjek hukum yang tidak dapat dipisahkan. Karna, pelaku usaha memerlukan konsumen untuk membeli dan mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang ia perdagangkan, sedangkan konsumen juga sangat memerlukan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan oleh pelaku usaha.

65


(34)

tertulis harus memberikan perlindungan kepada konsumen yang mengkonsumsi makanan dan minuman atau barang dan jasa yang ia perdagangkan.

Dalam perjanjian waralaba tersebut harus dicantumkan klausula perlindungan terhadap konsumen yang memakai, mengkonsumsi makanan dan minuman yang diperdagangkan. Dalam perjanjian juga harus memuat pertanggungjawaban dari pihak pelaku usaha kepada konsumen yang mengalami kerugian akibat mengkonsumsi makanan dan minuman yang di produksi oleh pelaku usaha.

B. KONTRAK ROTI CAPPIE DALAM PERSPEKTIF WARALABA DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

Roti Cappie merupakan salah satu usaha dari sekian banyak usaha franchise

yang ada di kota Medan. Roti Cappie ini terletak di Jln. HM joni di medan, dan sekarang usaha tersebut telah diwaralabakan ke beberapa tempat yang ada di kota Medan. Salah satu lokasi tempat usaha yang diwaralabakan oleh Roti Cappie tersebut terletak di Jln. Kalimantan dan di Jln. Bromo.

Berbicara mengenai kontrak Roti Cappie dalam perspektif Waralaba dan Perlindungan Konsumen, maka terlebih dahulu harus diketahui isi kontrak yang diatur oleh pemilik waralaba Roti Cappie dengan penerima waralaba Roti Cappie tersebut. Adapun klausula kontrak Roti Cappie ialah:

Pada hari……… Kami yang bertanda tangan dibawah ini:


(35)

1. Nama : ENZO SAUQI HUTABARAT. Jabatan : Owner Roti Cappie Alamat : Jl.Karya Wisata Ujung (Komp.Villa Kencana No.15) Johor-Medan.

Selanjutnya disebut sebagai PIHAK PERTAMA. Sebagai pemilik Roti Cappie (Franchisor)

2. Nama : Firahmi Rizky Jabatan : Pembeli Alamat : Jl. AH. Nasution Gg. Jaya Selanjutnya disebut sebagai PIHAK KEDUA, yang dalam hal ini bertindak sebagai Franchisee ROTI CAPPIE.

Dengan ini pihak PERTAMA dan KEDUA setuju untuk mengadakan perjanjian kerja sama, dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

PASAL 1

LINGKUP KERJA SAMA

Terhitung mulai surat ini ditanda tangani, maka PIHAK KEDUA berkewajiban memberikan dana PAKET ROTI CAPPIE FRANCHISE kepada PIHAK PERTAMA yaitu berupa uang tunai sebesarRp. 7.000.000,00-

PASAL 2 JENIS USAHA

Jenis usaha Franchise yang akan dikelola adalah Penjualan ROTI CAPPIE dengan lebel Roti Cappie, dengan fasilitas yang akan disediakan berupa:

฀ Outlet Roti Cappie.

฀ Perlengkapan penggorengan (kompor gas, tabung gas, wajan, dll)

฀ Tenda Lipat

฀ Training Pengolahan Roti Cappie.

PASAL 2 JENIS USAHA

Jenis usaha Franchise yang akan dikelola adalah Penjualan ROTI CAPPIE dengan lebel Roti Cappie, dengan fasilitas yang akan disediakan berupa:

฀ Outlet Roti Cappie.


(36)

฀ Tenda Lipat

฀ Training Pengolahan Roti Cappie.

PASAL 3

HAK DAN KEWAJIBAN

KEWAJIBAN ROTI CAPPIE FRANCHISE

1.Menyediakan semua kebutuhan bahan baku (roti kosong, kemasan dan bumbu) bagi mitra waralaba di kota tersebut.

2.Mempunyai link dengan pemasok roti cappie 3.Mempunyai link dengan pembuat outlet

4.Melaporkan kepada pemelik jika ada calon mitra waralaba baru (hal ini agar bisa segera di tindak lanjuti aplikasinya).

5.Melayani pengadaan outlet, perlengkapan outlet, sekaligus pengiriman outlet bagi mitra waralaba baru di kota tersebut. (Jika Outlet dibuat di daerah territorial Roti Cappie).

6.Melayani komplain dan memberikan solusinya dari mitra waralaba di kota tersebut. 7.Melakukan training karyawan bagi mitra waralaba baru.

HAK DAN KEUNTUNGAN ROTI CAPPIE FRANCHISE 1. Mendapatkan keuntungan dari pembuatan roti & penyediaan Bahan baku. 2. Mendapatkan keuntungan 15%-20% dari omzet bersih perbulan.

3. Mengkontrol proses penjualan disetiap oulet yang tersedia. 4. Sewa tempat ditanggung oleh pembeli Franchisor.

CATATAN :

(Ongkos / Biaya pengiriman bahan baku nantinya, dibebankan kepada Customers) PASAL 4

PERSELISIHAN

Apabila terjadi perselisihan antara kedua belah pihak di dalam pelaksanaan pasal-pasal dan surat perjanjian ini pada dasarnya akan diselesaikan secara musyawarah.

PASAL 5 FORCE MAJEURE

Force Majeure adalah hal-hal yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian kerja sama ini, yang terjadi diluar kekuasaan kedua belah pihak, seperti : Pemogokan umum, gempa bumi, banjir, sabotase, huru-hara, kerusuhan dan keadaan darurat yang secara resmi di keluarkan oleh pemerintah.


(37)

LAIN-LAIN

Surat perjanjian kerjasama ini dibuat dan ditandatangani oleh kedua belah pihak dan apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan dan atau kekurangan maka akan di adakan perbaikan sebagaimana mestinya.

Hal-hal lain yang tidak tertera dalam surat perjanjian kerja sama ini dapat diatur atas kesepakatan kedua belahpihak.

PASAL 7 PENUTUP

Hal-hal yang belum diatur dalam perjanjian ini akan diatur kemudian secara bersama dalam suatu surat suplemen dengan catatan masing-masing pihak setuju untuk membuat dan menyepakati surat suplemen tersebut. Selanjutnya, surat perjanjian ini dibuat rangkap 2 (dua) masing-masing bermaterai cukup dan telah ditandatangani asli oleh kedua belah pihak sehingga masing-masing mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan masing-masing pihak mendapatkan satu eksemplar.

Demikian Surat perjanjian ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. Perlu diketehui bahwa kontrak Roti Cappie tersebut merupakan kontrak baku, dalam arti kontrak tersebut adalah kehendak dari pemberi waralaba dan tidak ada tawar-menawar antara franchisor dengan franchisee dalam menetapkan klausula-klausula kontrak tersebut.

Kontrak Roti Cappie Dalam Perspektif Waralaba

Dari isi kontrak Roti Cappie diatas, jika dilihat dari sudut pandang waralaba, maka yang harus diperhatikan ialah apakah kontrak tersebut selaras dengan aturan tentang perjanjian waralaba yang terdapat di Bab III Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Dalam hal ini, diatur dalam pasal 4, 5, dan 6 yaitu mengenai perjanjian waralaba.


(38)

Menurut pasal 4 ayat (1), usaha waralaba harus diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara franchisor dengan franchisee dengan memperhatikan ketentuan hukum yang ada di Indonesia. Di dalam pasal 4 ayat (2) dikatakan perjanjian waralaba harus dibuat menggunakan bahasa Indonesia, dan apabila perjanjian dibuat dalam bahasa asing, maka perjanjian tersebut harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Dengan melihat ketentuan pasal 4 ayat (1 dan 2) di atas, maka kontrak Roti Cappie dibuat tidak menyalahi ataupun bertentangan dengan aturan pasal tersebut. Waralaba Roti Cappie ini diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara

franchisor dengan franchisee dan kontrak Roti Cappie dibentuk dengan menggunakan bahasa Indonesia. Tujuan dari ketentuan pasal tersebut sebenarnya untuk melindungi franchisee yang ada dalam negeri, supaya franchisor tidak melakukan tindakan semena-mena kepada franchisee terlebih franchisor yang datang dari luar negeri.

Kemudian ketentuan yang terdapat di dalam pasal 5, perjanjian waralaba tersebut harus memuat klausul nama dan alamat para pihak, jenis hak atas kekayaan intelektual, kegiatan usaha, serta hak dan kewajiban para pihak. Perjanjian juga harus mencantumkan wilayah usaha, jangka waktu perjanjian, tata cara pembayaran imbalan, kepemilikan dan ahli waris, penyelesaian sengketa, tata cara perpanjangan, dan pemutusan perjanjian. Hal ini ditegaskan dalam pasal 5 yang menyatakan, “Perjanjian Waralaba memuat klausul paling sedikit:


(39)

b. jenis Hak Kekayaan Intelektual; c. kegiatan usaha;

d. hak dan kewajiban para pihak;

e. bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan dan pemasaran yang diberikan Pemberi

f. Waralaba kepada Penerima Waralaba; g. wilayah usaha;

h. jangka waktu perjanjian; i. tata cara pembayaran imbalan;

j. kepemilikan, perubahan kepemilikan dan hak ahli waris; k. penyelesaian sengketa; dan

l. tata cara perpanjangan, pengakhiran dan pemutusan perjanjian.

Menurut yang saya lihat dari kontrak Roti Cappie ini, bahwa kontrak Roti Cappie dibuat berdasarkan ketentuan pasal 5 UUPK tersebut. Akan tetapi, ada beberapa ketentuan yang terdapat di dalam pasal 5 yang tidak dimasukkan ke dalam kontrak Roti Cappie tersebut. Saya melihat beberapa kekurangan dari isi kontrak Roti Cappie, dimana kontrak Roti Cappie tersebut tidak mengatur atau memasukkan klausul mengenai jangka waktu perjanjian, kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan ahli waris, serta kontrak tersebut juga tidak mengatur tentang tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana diatur dalam pasal 5 huruf (g, i, k) Peraturan Pemerintah tersebut.

Namun, terdapat pengaturan tambahan di dalam isi kontrak Roti Cappie di samping klausul yang wajib dibuat sesuai dengan pasal 5 tersebut. klausul tersebut terdapat di dalam pasal 6 Kontrak Roti Cappie, yaitu mengenai ketentuan lain-lain. Dalam isi pasal tersebut dikatakan, “Surat perjanjian kerjasama ini dibuat dan


(40)

ditandatangani oleh kedua belah pihak dan apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan dan atau kekurangan maka akan di adakan perbaikan sebagaimana mestinya.

Hal-hal lain yang tidak tertera dalam surat perjanjian kerja sama ini dapat diatur atas kesepakatan kedua belah pihak”.

Dari ketentuan isi kontrak yang terdapat dalam pasal 6 tersebut, bahwa apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan dan kekurangan antara franchisor dengan

franchisee dalam menjalankan usaha waralaba tersebut, maka isi kontrak dapat di perbaiki untuk lebih lanjutnya. Dalam pasal 6 tersebut juga dikatakan bahwa hal-hal lain yang tidak tertera dalam kontrak dapat diatur atas kesepakatan kedua belah pihak. Menurut saya hal ini akan mengakibatkan mudahnya timbul perkara bagi kedua belah pihak yaitu franchisor dengan franchisee, dikarnakan kalau perjanjiannya dibuat berdasarkan atas kesepakatan dari kedua belah pihak tanpa diiringi dengan dibuat kedalam suatu kontrak tertulis, maka hal ini akan sangat mudah untuk menimbulkan kekeliruan dan perselisihan bagi kedua belah pihak.

Di samping pasal 6 yang terdapat dalam isi kontrak Roti Cappie diatas, ada juga ketentuan lain yang diatur dalam kontrak tersebut, yaitu terdapat dalam pasal 7 bagian penutup kontrak. Dalam pasal 7 bagian penutup tersebut dikatakan “Hal-hal yang belum diatur dalam perjanjian ini akan diatur kemudian secara bersama dalam suatu surat suplemen dengan catatan masing-masing pihak setuju untuk membuat dan menyepakati surat suplemen tersebut. Selanjutnya, surat perjanjian ini dibuat rangkap 2 (dua) masing-masing bermaterai cukup dan telah ditandatangani asli oleh kedua


(41)

belah pihak sehingga masing-masing mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan masing-masing pihak mendapatkan satu eksemplar.

Menurut saya ketentuan pasal 6 dengan pasal 7 ini memiliki makna dan tujuan yang sama, yaitu kontrak tersebut dapat diperbaiki di kemudian hari apabila isi kontrak tersebut terdapat kekurangan. Akan tetapi di dalam pasal 7 ini terdapat kesepakatan bagi kedua belah pihak untuk membuat “surat suplemen” demi untuk mengatur hal-hal yang belum diatur kontrak.

Perlu diketahui bahwa surat suplemen adalah surat khusus di luar kontrak yang dibuat oleh kedua belah pihak, dimana surat tersebut dibuat untuk mengatur segala kekurangan-kekurangan isi kontrak Roti Cappie.

Kontrak Roti Cappie dalam Perspektif Perlindungan Konsumen

Seperti yang telah diuraikan di atas, pada dasarnya kontrak Roti Cappie tersebut adalah kontrak atau perjanjian baku. Dikatakan bersifat “baku” karena, baik perjanjian maupun klausula tersebut, tidak dapat dan tidak mungkin dinegosiasikan atau ditawar-tawar oleh penerima waralaba. Tidak dapatnya kedudukan yang seimbang dalam membuat perjanjian ini, cenderung merugikan pihak yang kurang dominan dalam pembuatan kontrak tersebut. Terlebih lagi dengan sistem pembuktian yang berlaku di negara Indonesia saat ini, jelas tidaklah mudah bagi pihak yang cenderung dirugikan tersebut untuk membuktikan tidak adanya kesepakatan pada saat dibuatnya perjanjian tersebut.

Sebenarnya, kontrak Roti Cappie adalah kontrak antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba. Di dalam kontrak tersebut terdapat satu ketentuan yang


(42)

membahas masalah perlindungan konsumen. Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 3 yaitu mengenai hak dan kewajiban franchisor. Ketentuan pasal 3 ayat (6) klausul kontrak Roti Cappie dikatakan bahwa franchisor “melayani komplain dan memberikan solusinya dari mitra waralaba di kota tersebut”. Dari wawancara penulis dengan pemilik Roti Cappie, maka pemilik usaha memberikan penjelasan mengenai pasal tersebut. Pemilik usaha memberikan penjelasan bahwa pasal tersebut adalah salah satu pasal yang menjadi kewajiban bagi franchisor untuk menerima komplain dari setiap konsumen dan mitra waralaba dan akan memberikan solusi dari komplain tersebut.

Menurut saya, apabila pelaku usaha membuka bisnis dibidang franchise

khususnya di bidang makanan dan minuman, maka sangat perlu diatur dalam kontrak mengenai perlindungan atau pertanggungjawaban terhadap konsumen yang memakai atau mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dipasarkan oleh perusahaan tersebut. Karna dengan adanya klausul mengenai perlindungan konsumen dalam suatu kontrak, maka konsumen akan mendapatkan pertanggungjawaban yang jelas dari pihak perusahaan.

Mengenai perjanjian baku, bahwasanya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian baku yang memuat klausula baku atas setiap dokumen dan/atau perjanjian transaksi usaha perdagangan barang dan/atau jasa, selama dan sepanjang perjanjian baku atau klausula baku tersebut tidak mencantumkan ketentuan sebagaimana dilarang dalam pasal 18 ayat (1),sertatidak “berbentuk sebagaimana dilarang dalam


(43)

pasal 18 ayat (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen tersebut. Adapun ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam pasal 18 tersebut ialah:

(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau

pemanfaatanjasa yang dibeli oleh konsumen;

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa ataumengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan

baru,tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;


(44)

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untukpembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.

(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undangini.

C. PERLINDUNGAN BAGI KONSUMEN YANG MENGALAMI

KERUGIAN DAN KERACUNAN AKIBAT MENGKONSUMSI ROTI CAPPIE MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

Perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha bukan merupakan hal baru. Hal ini disebabkan oleh banyaknya transaksi yang dibuat diluar peraturan yang ada, dalam perkembangannya konsumen semakin menyadari akan hak-haknya dan berjuang dalam hal konsumen menerima prestasi yang tidak sesuai dengan isi kontrak, makanan dan minuman yang dikonsumsi kualitasnya tidak bagus atau tidak sehat untuk dikonsumsi oleh konsumen.


(45)

Pada masa kini fungsi dan perananan Negara terhadap masyarakat bukan hanya menjaga ketertiban dan keamanan, tetapi lebih luas dari itu untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakat atau dikenal juga dengan Negara kesejahteraan. Dalam melaksanakan konsep tersebut, perlindungan bagi warga Negara baik sebagai individu maupun sebagai kelompok merupakan suatu bentuk tindakan yang sangat penting, karena tanpa ada perlindungan yang menimbulkan rasa aman bagi rakyat tidak mungkin tercapai suatu kesejahteraan bagi masyarakat. Bentuk perlindungan bagi masyarakat khususnya konsumen yang mengalami kerugian ataupun keracunan akibat mengkonsumsi makanan dan minuman ialah:

Adapun bentuk perlindungannya diatur dalam Undang-undang nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hal tersebut dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu.

1. Perlindungan Hukum Dari Aspek Hukum Administratif

Bentuk perlindungan hukum yang dilakukan melalui hukum administratif terhadap konsumen yang mengalami kerugian akibat mengkonsumsi makanan dan minuman ataupun barang dan/atau jasa milik pelaku usaha yang melanggar tanggung jawabnya, maka terhadap pelaku usaha dibebankan untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen yang dirugikan oleh makanan dan minuman yang diperdagangkan olehnya.


(46)

Saksi administratif yang dijatuhkan bagi pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) UUPK tersebut berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000,00, (dua ratus juta rupiah), sedangkan pihak yang berwenang untuk menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Dalam hal ini diatur dalam pasal 60 ayat (1, 2 dan 3) Undang-undang Perlindungan Konsumen.

Pemberian ganti rugi tersebut harus diberikan kepada konsumen paling lambat 7 (tujuh) hari setelah transaksi dilaksanakan. Akan tetapi, pembebanan ganti rugi yang diberikan kepada pelaku usaha dapat terhapus apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan bukan berada pada pelaku usaha melainkan kesalahan dilakukan oleh konsumen (sebagaimana diatur dalam pasal 19 ayat (5).

2. Perlindungan Hukum Dari Aspek Hukum Pidana

Secara umum pelaku usaha seharusnya menjaga mutu barang dan/atau jasa yang dipasarkan sehingga tetap sepadan dengan pengeluaran konsumen yang ingin mendapatkan produk tersebut, hal ini berarti pengaturan dibidang perlindungan konsumen harus sejalan dengan peraturan dibidang perlindungan bisnis yang sehat dan jujur.

Di Indonesia pengaturan tidak jujur terdapat dalam Pasal 382 bis KUH Pidana, yang berbunyi “Barang siapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seseorang tertentu, diancam jika perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi konkurennya


(47)

atau konkuren-konkuren orang lain karena persaingan curang dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan atau pidana denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus rupiah.”

Perbuatan yang dirumuskan dalam pasal tersebut merupakan sebagian dari perbuatan persaingan curang dan terletak dalam hukum pidana.

Terhadap konsumen yang mengalami kerugian akibat memakai, menggunakan atau mengkonsumsi makanan dan minuman serta barang dan/atau jasa yang diperdagangkan oleh pelaku usaha, maka bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen dapat dilakukan melalui penuntutan pidana terhadap pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 62 UUPK. Adapun dalam pasal 62 UUPK tersebut dikatakan, bahwa:

1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).

2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.


(48)

Dalam penerapan sanksi pidana terhadap pelaku usaha yang telah memproduksi atau mengedarkan kosmetika yang mengandung zat aditif berbahaya menurut ketentuan Pasal 63 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dapat juga dijatuhkan hukuman tambahan berupa :

a. Perampasan barang tertentu b. Pengumuman keputusan Hakim c. Pembayaran ganti rugi

d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen

e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran, atau f. Pencabutan izin usaha

D. TANGGUNG-JAWAB FRANCHISEE TERHADAP KONSUMEN

YANG MENGALAMI KERUGIAN DAN KERACUNAN

Usaha Roti Cappie merupakan salah satu usaha franchise yang bergerak di bidang makanan yang ada di kota Medan. Roti Cappie berdiri pada tanggal 27 September 2015 dan berpusat di Jln. HM joni Medan. Usaha tersebut sekarang sudah berkembang dan sudah di franchisekan ke beberapa tempat yang ada di kota medan. Salah satu tempat franchise Roti Cappie terletak di Jln. Kalimantan dan di Jln. Bromo Medan.


(49)

Pemilik usaha Roti Cappie ialah Enzo Sauqi Hutabarat, pemilik membuka usaha tersebut di Jln. HM Joni Medan. Sedangkan Frachisee Roti Cappie tersebut ialah Margery Kusbiono yang menjalankan usaha tersebut di Jln. Kalimantan dan Supriadi menjalankan usaha di Jln. Bromo Medan.

Ketentuan mengenai tanggung-jawab franchisee terhadap konsumen yang mengalami keracunan dan kerugian akibat mengkonsumsi Roti Cappie terdapat dalam klausula kontrak antara franchisor dengan franchisee. Ketentuan tersebut terdapat di dalam pasal 3 ayat (6), dalam kontrak tersebut dikatakan “bahwa franchisor akan melayani komplain dan memberikan solusinya dari mitra waralaba”.

Perlu diketahui bahwa apabila konsumen mengalami kerugian akibat mengkonsumsi produk Roti Cappie di wilayah franchisee, maka franchisor ikut bertanggung-jawab terhadap kerugian konsumen tersebut. Franchisee wajib memberitahukan komplain konsumen tersebut kepada franchisor, supaya franchisor

dapat memberikan solusi yang tepat kepada konsumen sesuai dengan ketentuan pasal 3 ayat (6) klausula kontrak Roti Cappie.

Adapun bentuk pertanggung-jawaban dari pihak Roti Cappie terhadap konsumen yang mengalami kerugian dan keracunan akibat mengkonsumsi Roti tersebut ialah:


(50)

1) Pemilik Roti Cappie akan memberikan ganti rugi kepada konsumen dengan membayar dua kali lipat harga makanan yang dibeli oleh konsumen.

2) Jika konsumen harus mendapat penanganan melalui pengobatan medis atau masuk rumah sakit, maka pihak Roti Cappie bertanggung-jawab untuk membayar biaya perobatan konsumen. Tetapi disini Rumah Sakit ditentukan oleh pihak Roti Cappie, dan konsumen tidak bisa menentukan sendiri Rumah Sakit mana yang akan merawatnya.66

Melihat bentuk pertanggung-jawaban dari pihak Roti Cappie diatas, maka hal tersebut selaras dengan ketentuan pasal 19 ayat (1dan 2) Undang-undang Perlindungan Konsumen. Dalam pasal 19 mengatur mengenai tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen, dimana dalam pasal 19 ayat (1) dikatakan “bahwa pelaku usaha bertanggung-jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Sedangkan ketentuan pasal 19 ayat (2) dikatakan “ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

E. PERAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA KONSUMEN

66


(51)

Hubungan hukum antara pelaku usaha/penjual dengan konsumen tidak tertutup kemungkinan timbulnya perselisihan/sengketa konsumen. Selama ini sengketa konsumen diselesaikan melalui gugatan di pengadilan, namun pada kenyataannya yang tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga pengadilan pun tidak akomodatif untuk menampung sengketa konsumen karena proses perkara yang terlalu lama dan sangat birokratis. Berdasarkan pasal 45 UUPK setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.67

Di luar peradilan umum UUPK membuat terobosan dengan memfasilitasi para konsumen yang merasa dirugikan dengan mengajukan gugatan ke pelaku usaha di luar pengadilan, yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Mekanisme gugatan dilakukan secara sukarela dari kedua belah pihak yang bersengketa. Hal ini berlaku secara gugatan perorangan, sedangkan gugatan secara kelompok (class action) dilakukan peradilan umum.68

Badan ini dibentuk di setiap daerah Tingkat II (pasal 49) BPSK dibentuk untuk menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan (pasal 49 ayat (1), dan badan ini mempunyai anggota-anggota dari unsur pemerintah, konsumen dan pelaku usaha. Setiap unsur tersebut berjumlah 3 (tiga) orang atau sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang, yang kesemuanya diangkat dan diberhentikan oleh Menteri (Perindustrian dan Perdagangan). Keanggotaan Badan terdiri atas ketua merangkap

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah peradilan khusus konsumen (small claim court) yang sangat diharapkan dapat menjawab tuntutan masyarakat agar proses berperkara berjalan cepat, sederhana dan murah. Dengan demikian, BPSK hanya menerima perkara yang nilai kerugiannya kecil.

67

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit, hal. 126 68

Marianus Gaharpung, “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Korban Atas Tindakan Pelaku Usaha,” Jurnal Yustika, Vol. III No. 1 Juli 2000. Hal. 43


(52)

anggota, wakil ketua merangkap anggota, dan aggota dibantu oleh sebuah sekretariat.69

Setelah adanya kata damai dari pihak konsumen dengan pelaku usaha, maka akan dibuat ke dalam suatu putusan dan putusan tersebut harus di daftarkan ke Pengadilan Negeri. Apabila pelaku usaha dan konsumen tidak menerima putusan dari BPSK, maka para pihak dapat mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri untuk menyelesaikan perkara tersebut

Adapun peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam menyelesaikan sengketa konsumen ialah:

1. Melalui mediasi, dimana BPSK akan menjadi mediator bagi kedua belah pihak yakni pelaku usaha dengan konsumen. BPSK akan mendengarkan segala keluhan dari konsumen dan juga pembelaan dari pihak pelaku usaha. Setelah mendengarkan beberapa keluhan dari kedua belah pihak, maka mediator akan mencoba mencari jalan kata damai bagi kedua belah pihak.

2. Melalui Arbitrase, dimana pihak konsumen yang dirugikan akan menunjuk satu orang arbiter dan pelaku usaha menunjuk satu orang arbiter serta pihak BPSK akan menunjuk juga arbiter dari bagian pemerintahan untuk menyelesaikan sengketa kedua belah pihak.

70

69

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit, hal. 127 70

Wawancara Dengan Bapak Hudri Aidil Fitri Selaku Anggota Sekretariat BPSK Kota Medan .

Peran BPSK diatas sejalan dengan pasal 52 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 52 tersebut membahas mengenai tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam menyelesaikan sengketa konsumen. Adapun isi pasal 52 tersebut ialah:


(53)

a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melaluimediasi atau arbitrase atau konsiliasi;

b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen;

c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;

d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang ini;

e. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;

g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini; i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi,

saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;

j. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;


(54)

k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;

l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.


(55)

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian mengenai Perlindungan Konsumen Terhadap Usaha Waralaba (franchise) menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Studi pada Usaha Roti Cappie Medan) dapat disimpulkan: 1 Bahwasanya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen memberikan bentuk perlindungan hukum yang jelas kepada konsumen yang mengalami kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang diperdagangkan atau dipasarkan oleh pelaku usaha. Adapun bentuk perlindungannya diatur dalam Undang-undang nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hal tersebut dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu.

a. Perlindungan Hukum Dari Aspek Hukum Administratif

Bentuk perlindungan hukum yang dilakukan melalui hukum administratif terhadap konsumen yang mengalami kerugian akibat mengkonsumsi makanan dan minuman ataupun barang dan/atau jasa milik pelaku usaha yang melanggar tanggung jawabnya, maka terhadap pelaku usaha dibebankan untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen yang dirugikan oleh makanan dan minuman yang diperdagangkan olehnya.


(56)

Saksi administratif yang dijatuhkan bagi pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) UUPK tersebut berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000,00,- (dua ratus juta rupiah), sedangkan pihak yang berwenang untuk menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Dalam hal ini diatur dalam pasal 60 ayat (1, 2 dan 3) Undang-undang Perlindungan Konsumen.

b. Perlindungan Hukum Dari Aspek Hukum Pidana

Secara umum pelaku usaha seharusnya menjaga mutu barang dan/atau jasa yang dipasarkan sehingga tetap sepadan dengan pengeluaran konsumen yang ingin mendapatkan produk tersebut, hal ini berarti pengaturan dibidang perlindungan konsumen harus sejalan dengan peraturan dibidang perlindungan bisnis yang sehat dan jujur.

Terhadap konsumen yang mengalami kerugian akibat memakai, menggunakan atau mengkonsumsi makanan dan minuman serta barang dan/atau jasa yang diperdagangkan oleh pelaku usaha, maka bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen dapat dilakukan melalui penuntutan pidana terhadap pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 62 UUPK. Adapun dalam pasal 62 UUPK tersebut dikatakan, bahwa:

1. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana


(57)

penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).

2. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyakRp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

3. Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

2. Ketentuan mengenai tanggung-jawab franchisee terhadap konsumen yang mengalami keracunan dan kerugian akibat mengkonsumsi Roti Cappie terdapat dalam klausula kontrak antara franchisor dengan franchisee. Ketentuan tersebut terdapat di dalam pasal 3 ayat (6), dalam kontrak tersebut dikatakan “bahwa franchisor akan melayani komplain dan memberikan solusinya dari mitra waralaba”.

Perlu diketahui bahwa apabila konsumen mengalami kerugian akibat mengkonsumsi produk Roti Cappie di wilayah franchisee, maka franchisor

ikut bertanggung-jawab terhadap kerugian konsumen tersebut. Franchisee

wajib memberitahukan komplain konsumen tersebut kepada franchisor, supaya franchisor dapat memberikan solusi yang tepat kepada konsumen sesuai dengan ketentuan pasal 3 ayat (6) klausula kontrak Roti Cappie.


(58)

Adapun bentuk pertanggung-jawaban dari pihak Roti Cappie terhadap konsumen yang mengalami kerugian dan keracunan akibat mengkonsumsi Roti tersebut ialah:

a. Pemilik Roti Cappie akan memberikan ganti rugi kepada konsumen dengan membayar dua kali lipat harga makanan yang dibeli oleh konsumen.

b. Jika konsumen harus mendapat penanganan melalui pengobatan medis atau masuk rumah sakit, maka pihak Roti Cappie bertanggung-jawab untuk membayar biaya perobatan konsumen. Tetapi disini Rumah Sakit ditentukan oleh pihak Roti Cappie, dan konsumen tidak bisa menentukan sendiri Rumah Sakit mana yang akan merawatnya.

3. Adapun peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam menyelesaikan sengketa konsumen ialah:

a. Melalui mediasi, dimana BPSK akan menjadi mediator bagi kedua belah pihak yakni pelaku usaha dengan konsumen. BPSK akan mendengarkan segala keluhan dari konsumen dan juga pembelaan dari pihak pelaku usaha. Setelah mendengarkan beberapa keluhan dari kedua belah pihak, maka mediator akan mencoba mencari jalan kata damai bagi kedua belah pihak. b. Melalui Arbitrase, dimana pihak konsumen yang dirugikan akan menunjuk satu orang arbiter dan pelaku usaha menunjuk satu orang arbiter serta pihak BPSK akan menunjuk juga arbiter dari bagian pemerintahan untuk menyelesaikan sengketa kedua belah pihak.


(59)

B. SARAN

Adapun saran yang dapat diberikan oleh penulis dalam skripsi ini ialah sebagai berikut:

1. Pelaku usaha dalam menjalankan usahanya sehari-hari diharapkan untuk memperdagangkan produk-produk yang bagus, baik dan aman untuk dikonsumsi oleh konsumen. Pelaku usaha juga tidak boleh melakukan tindakan kecurangan kepada konsumen dalam hal jual-beli, dimana pelaku usaha dan konsumen harus memiliki posisi tawar-menawar yang seimbang diantara kedua belah pihak.

2. Kepada pihak Roti Cappie diharapkan agar segera menyempurnakan isi kontrak kedua belah pihak, supaya kontrak tersebut memberikan manfaat dan tujuan yang jelas bagi kedua belah pihak serta kepada konsumen Roti Cappie. 3. Kepada masyarakat konsumen diharapkan agar selalu berhati-hati dalam

menentukan, membeli, ataupun mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang diperdagangkan oleh pelaku usaha. Diharapkan untuk selalu mencari informasi yang jelas atas barang dan/atau jasa yang diperdagangkan oleh pelaku usaha, supaya tidak merasa dirugikan atas produk yang sudah dipakai.


(60)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A.

SEJARAH PERLINDUNGAN KONSUMEN

Untuk membahas masalah perlindungan konsumen , kita juga perlu memahami bagaimana sejarah gerakan perlindungan konsumen, baik ketika awal mula berdiri hingga pada perkembangannya saat ini. Dengan melihat sejarah ini, kita akan bisa mencermati bagaimana pergulatan sosial, ekonomi, dan politik ketika itu mendesak masalah perlindungan konsumen muncul ke permukaan wacana publik.11

1. Tahapan I

Secara umum, sejarah gerakan perlindungan konsumen dapat dibagi dalam empat tahapan.

Kurun waktu ini titik awal munculnya kesadaran masyarakat untuk melakukan gerakan perlindungan konsumen. Pemicunya, histeria massal novel karya Upton Sinclair berjudul The Jungle, yang menggambarkan cara kerja pabrik pengolahan daging di Amerika Serikat yang sangat tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.

2. Tahapan II (1920-1940)

11


(61)

Pada kurun waktu ini muncul pula buku berjudul Your Money’s Worth

karya Chase dan Schlink. Karya ini mampu menggugah konsumen atas hak-hak mereka dalam jual beli.

3. Tahapan III (1950-1960)

Pada dekade 1950-an ini muncul keinginan untuk mempersatukan gerakan perlindungan konsumen dalam lingkup internasuional. Dengan diprakarsai oleh wakil-wakil gerakan konsumen dari Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Australia, dan Belgia, pada 1 April 1960 beridirilah International

Organization of Consumer Union.

4. Tahapan IV (pasca-1965)

Pasca-1965 sebagai masa pemantapan gerakan perlindungan konsumen, baik ditingkat regional maupun internasional. Sampai saat ini dibentuk lima kantor regional, yakni di Amerika Latin dan Karibia berpusat di Cile, Asia Pasifik berpusat di Malaysia, Afrika berpusat di Zimbabwe, Eropa Timur dan Tengah berpusat di Inggris, dan negara-negara maju juga berpusat di London, Inggris.12

Ada dua sejarah gerakan perlindungan konsumen yang akan dibahas dalam skripsi ini, pertama gerakan perlindungan konsumen yang ada diluar negeri dan gerakan yang ada di Indonesia.

12


(62)

A. Sejarah Gerakan Perlindungan Konsumen di Luar Negeri

Perkembangan hukum konsumen di dunia berawal dari adanya gerakan perlindungan konsumen pada abad ke-19, dimana hal ini ditandai dengan munculnya gerakan perlndungan konsumen (consumers movement) yang terjadi di America Serikat). Negara Amerika Serikat merupakan suatu negara yang sangat banyak memberikan sumbangan dalam masalah perlindungan konsumen.

Secara historis ada tiga fase atau gelombang gerakan perlindungan konsumen. Gelombang pertama, yaitu diawal abad ke-19. Di New York pada tahun 1891 terbentuk Liga Konsumen yang pertama kali di dunia, Kemudian pada tahun 1898 di tingkat nasional (The National Consumer’s Leangue). Organisasi i ini kemudian tumbuh dan berkembang dengan pesat sehingga pada tahun 1903 Liga Konsumen Nasional di Amerika Serikat telah berkembang menjadi 64 cabang yang meliputi 20 negara bagian.13

13

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit, hal. 13

Pada tahun 1906 lahirlah undang-undang tentang perlindungan konsumen dan undang-undang ini sangat mempengaruhi perkembangan berikutnya, yaitu The Meat Inspection Act dan The Food and Drugs Act (pada tahun 1937, undan-undang ini diamandemen menjadi The Food and Drugs, hal dikarenakan adanya tragedi Elixir Sulfanilamide dimana tragedi ini menewaskan 93 konsumen di Amerika Serikat).


(1)

11. Saudara Enzo Sauqi Hutabarat, selaku Pemilik Usaha Roti Cappie Medan, yang telah memberikan izin, waktu dan data-datanya dalam rangka penyusunan skripsi ini;

12. Bapak Hudri Aidil Fitri, S.H., selaku Anggota Sekretariat BPSK Kota Medan, yang telah memberikan izin, waktu dan data-datanya dalam rangka penyusunan skripsi ini;

13. Teristimewa kepada kedua orang tua yang sangat penulis banggakan yaitu H. Dahlan Siregar (Ayahanda) dan Hj. Siti Amar Harahap (Ibunda). Penulis ucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas setiap doa yang telah diberikan kepada penulis, dan juga semangatnya untuk terus memberikan motivasinya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaiakan skripsi ini;

13. Kepada abang dan kakak penulis dan seluruh keluarga penulis yaitu Mara Sutan Siregar, S.E., Siti Syahdiah Siregar, Abdul Muin Siregar, Raja Wali Siregar, Nur Asia Siregar, Am. Keb, Juntar Siregar, dan Marlina Siregar. Juga kepada abang ipar penulis yaitu Faijal Siregar, S.H., Asbin Rambe, S.Pdi, Rosmadina, Am. Keb, Ida Sasmita Harahap, Maysaroh, S.Pd, dan Muthia Harahap;

15. Kepada Sahabat-sahabat penulis yaitu Grup Casino Royale FH Usu yang beranggotakan Zikri Al-Hakim, Imam Andani Sinabariba, Meisura Dwini


(2)

Girsang, Rijkie Mahyoezar, Marshal Stanlly Sitepu, Eva Cristina Pardede, Grace Santo Sihombing, Stanny Sihite, Gloria Chintia Tobing, Hariani Song, Alwin, Veronika Sitanggang, Bambang Gunawan, Putra Rijki Akbar, dan Namirah Nazlah;

16. Ucapan terima kasih penulis juga kepada Grup C Stambuk 2012 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan juga kepada Sonia Ivana Barus dan Syahputra Nasution;

17. Segenap pihak yang membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih atas doa dan dukungan semangat yang telah diberikan.

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermafaat bagi kita semua. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan, 13 Maret 2016

Dodi Partahanan Siregar 120200427


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...v

ABSTRAK...vii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1

B. Perumusan Masalah...7

C. Tujuan Penulisan...7

D. Manfaat Penulisan...8

E. Keaslian Penulisan...9

F. Metode penelitian...10

G. Sistematika Penulisan...13

BAB II : Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen A. Sejarah Perlindungan Konsumen...15

B. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen...21

C. Tujuan dan Manfaat Perlindungan Konsumen...22

D. Hak dan Kewajiban Konsumen...27


(4)

BAB III : Tinjauan Umum Tentang Usaha Waralaba (franchise)

A. Pengertian Waralaba...48

B. Bentuk - Bentuk Perjanjian Waralaba...54

C. Unsur- Unsur Perjanjian Waralaba...56

D. Perkembangan Waralaba di Indonesia...59

E. Pengaturan Waralaba di Indonesia...62

BAB IV: Perlindungan Bagi Konsumen Terhadap Usaha Waralaba (Franchise) Berdasarkan Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Studi Pada Usaha Roti Cappie Medan) A. Hubungan Antara Perjanjian Waralaba dengan Perlindungan Konsumen...73

B. Kontrak Roti Cappie dalam Perspektif Waralaba dan Perlindungan Konsumen...77

C. Perlindungan Bagi Konsumen yang Mengalami Kerugian dan Keracunan Akibat Mengkonsumsi Roti Cappie Menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen...87

D. Tanggung Jawab Franchisee Terhadap Konsumen yang Mengalami Kerugian dan Keracunan tersebut...93


(5)

E. Peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam Menyelesaikan Sengketa Konsumen...93

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan...97

B. Saran...99

DAFTAR PUSTAKA


(6)

ABSTRAK

Dodi Partahanan Siregar*) O.K Saidin**) M. Siddik***)

Masalah perlindungan konsumen semakin gencar dibicarakan. Permasalahan ini tidak akan pernah habis dan akan selalu menjadi bahan perbincangan di masyarakat. Selama masih banyak konsumen yang dirugikan, maka permasalahan ini tidak akan pernah tuntas. Oleh karena itu, masalah perlindungan konsumen perlu diperhatikan. Permasalahan yang dihadapi konsumen Indonesia saat ini, seperti juga yang dialami konsumen di negara-negara berkembang lainnya, tidak hanya pada soal cara memilih barang, tetapi jauh lebih kompleks, yaitu mengenai kesadaran semua pihak, baik dari pengusaha, pemerintah maupun konsumen sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen. Pelaku usaha menyadari bahwa mereka harus menghargai hak-hak konsumen dengan memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman untuk dimakan, dikonsumsi, dan digunakan, mengikuti standar yang berlaku, serta harga yang sesuai (reasonable).

Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana bentuk perlindungan terhadap konsumen menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, bagaimana pertanggung-jawaban dari pelaku usaha kepada konsumen yang mengalami kerugian dan bagaimana peran BPSK dalam menyelesaikan sengketa konsumen.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah yuridis normatif, normatif empiris yaitu mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat. Metode ini juga digunakan agar dapat melakukan penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat didalam peraturan perundang-undangan perlindungan konsumen yang berlaku, serta memperoleh data maupun keterangan yang terdapat dalam berbagai literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, koran, majalah, situs internet dan sebagainya.1

*)

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**) Dosen Pembimbing I

Hasil penulisan skripsi ini ialah bahwa UUPK memberikan perlindungan terhadap konsumen yang mengalami kerugian, serta pelaku usaha juga akan memberikan pertanggung-jawaban kepada konsumen yang mengalami kerugian akibat mengkonsumsi produk yang dipasarkan oleh pelaku usaha.


Dokumen yang terkait

Prosedur Mutasi Jabatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Ditinjau Dari Persektif Hukum Administrasi Negara (Studi Kasus Dinas Pekerjaan Umum)

10 119 83

Pengoplosan Beras Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

11 144 123

Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Usaha Air Minum Depot (AMD) Isi Ulang Ditinjau Dari Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

3 124 97

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN SMART LAUNDRY ATAS KELALAIAN PELAKU USAHA YANG MENGAKIBATKAN KERUGIAN KONSUMEN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

1 2 72

Perlindungan bagi Konsumen Terhadap Usaha Waralaba (Franchise) Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Studi pada Usaha Roti Cappie Medan)

0 0 11

Perlindungan bagi Konsumen Terhadap Usaha Waralaba (Franchise) Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Studi pada Usaha Roti Cappie Medan)

0 0 1

Perlindungan bagi Konsumen Terhadap Usaha Waralaba (Franchise) Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Studi pada Usaha Roti Cappie Medan)

0 0 15

Perlindungan bagi Konsumen Terhadap Usaha Waralaba (Franchise) Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Studi pada Usaha Roti Cappie Medan)

0 0 35

Perlindungan bagi Konsumen Terhadap Usaha Waralaba (Franchise) Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Studi pada Usaha Roti Cappie Medan) Chapter III V

0 0 56

Perlindungan bagi Konsumen Terhadap Usaha Waralaba (Franchise) Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Studi pada Usaha Roti Cappie Medan)

0 0 3