Pengaruh Faktor Predisposisi, Pemungkin dan Kebutuhan Terhadap Pemanfaatan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) pada Wanita Pasangan Usia Subur di Puskesmas Batang Kuis Tahun 2015

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kanker Serviks
Kanker adalah istilah umum untuk pertumbuhan sel tidak normal yaitu sel
yang tumbuh sangat cepat, tidak terkontrol dan tidak berirama yang dapat
menyerang ke jaringan tubuh normal dan menekan jaringan tubuh normal
sehingga memengaruhi fungsi tubuh. Pertumbuhan sel yang tidak normal ini dapat
terjadi pada jaringan mana saja termasuk pada alat kelamin wanita, khususnya
leher rahim (serviks) (Suryati dan Anna, 2012).
Kanker serviks atau leher rahim adalah keganasan yang terjadi pada leher
rahim yang merupakan bagian terendah dari rahim yang menonjol ke puncak liang
senggama (vagina). Sel kanker yang menyelimuti leher rahim berlangsung dalam
waktu yang lama dan sebelum menjadi kanker, sel kanker mengalami perubahan
di mana tanda perubahan mengidentifikasi kanker mungkin sedang berkembang
(Kemenkes, 2010).
2.1.1 Penyebab Kanker Serviks
Kanker serviks menyerang daerah leher rahim atau serviks yang hampir
semua (99,7%) berkaitan dengan infeksi sebelumnya dari salah satu atau lebih
Human Papilloma Virus (HPV). Dari 50 jenis HPV yang menginfeksi saluran
reproduksi , 15 sampai 20 jenis terkait dengan kanker leher rahim. Empat dari

jenis tersebut yaitu HPV 16, 18, 31, dan 45 adalah yang paling umum terdeteksi
pada kasus kanker leher rahim, dan jenis ke 16 merupakan penyebab dari setengah
jumlah kasus yang terjadi di seluruh dunia (Depkes, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2.1.2 Riwayat Alami Kanker Serviks
Seorang wanita yang terinfeksi HPV bisa bersifat stabil lokal, bisa
membaik secara spontan atau jika serviks terkena bisa berkembang menjadi lesi
tingkat rendah (low-grade squamosi intraepithelial lession) yang disebut juga
Neoplasia Intraepitelial Serviks Ringan (mild cervical intraepithelial neoplasia
{CIN I}) atau displasia awal. Sebagian besar lesi derajat rendah (CIN I) dapat
hilang tanpa pengobatan atau tidak berkembang, terutama pada wanita muda.
Diperkirakan dari setiap 1 juta wanita yang terinfeksi, 10% (sekitar 100.000) akan
berkembang menjadi prakanker leher rahim. Perubahan prakanker ini diamati
seringkali terjadi pada wanita berusia 30 dan 40.
Sekitar 8% wanita yang mengalami perubahan tersebut akan menjadi
prakanker yang terbatas pada lapisan luar dari epitel leher rahim (carcinoma in
situ {CIS}), dan sekitar 1,6% akan berkembang menjadi kanker ganas bila lesi
prakanker atau CIS tersebut tidak terdeteksi dan diobati. Perkembangan menjadi

kanker leher rahim dari lesi derajat tinggi (high-grade squamous intraepithelial
lesions) biasanya terjadi setelah kurun waktu 10 sampai 20 tahun. Walaupun
jarang terjadi, sebagian lesi prakanker bisa menjadi kanker dalam waktu yang
lebih singkat yaitu dalam waktu satu atau dua tahun (Depkes, 2007).
2.1.3 Faktor Risiko Kanker Serviks
Berdasarkan hasil penelitian mutakhir diketahui bahwa faktor risiko
terjadinya kanker serviks adalah sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

1. Infeksi Human Papilloma Virus (HPV)
Lebih dari 90% kasus kondiloma serviks, semua NIS, dan kanker serviks
mengandung DNA virus HPV. Virus ini ditularkan melalui hubungan
seksual. Wanita yang berisiko terkena penyakit akibat hubungan seksual juga
berisiko terinfeksi virus ini sehingga mempunyai risiko terkena kanker
serviks.
2. Perilaku Seksual
Berdasarkan penelitian, risiko kanker serviks meningkat lebih dari 10 kali
bila berhubungan dengan 6 atau lebih mitra seks, atau bila hubungan seks
pertama di bawah umur 15 tahun. Risiko juga meningkat bila berhubungan

seks dengan laki-laki yang berisiko tinggi (laki-laki yang berhubungan seks
dengan banyak wanita), atau laki-laki yang mengidap penyakit kondiloma
akuminatum di zakarnya (penis).
3. Merokok
Wanita perokok memiliki risiko 2 kali lipat terhadap kanker serviks
dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok. Rokok mengandung
nikotin dan zat-zat lain yang dapat menurunkan daya tahan serviks dan
menyebabkan kerusakan epitel serviks sehingga timbul kanker serviks, di
samping merupakan kokarsinogen infeksi virus.
4. Trauma Kronis pada Serviks
Trauma ini terjadi karena persalinan yang berulang kali (banyak anak),
adanya infeksi dan iritasi menahun.

Universitas Sumatera Utara

5. Defisiensi Zat Gizi
Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa defisiensi asam folat dapat
meningkatkan risiko terjadinya displasia (neoplasia intraepitel serviks/NIS 1
dan NIS 2), serta mungkin juga meningkatkan risiko terkena kanker serviks
pada wanita yang rendah konsumsi beta karoten dan vitamin A, C, dan E

(Yani dkk, 2011).
2.1.4 Gejala Kanker Serviks
Gejala dini yang dapat ditunjukkan oleh adanya kanker serviks adalah:
1. Keputihan
2. Contact Bleeding (perdarahan sewaktu bersetubuh)
3. Sakit waktu koitus
4. Terjadi perdarahan walaupun telah memasuki masa menopause
Tingkat kelainan akibat gangguan untuk terjadi kanker serviks dapat berupa
displasia ringan, displasia sedang, displasia penuh, displasia insitu, dan displasia
invasive.
Dalam perjalanannya kanker leher rahim membutuhkan waktu yang cukup
lama dari kondisi normal sampai menjadi kanker. Dalam pemantauan perjalanan
penyakit, diagnosis displasia sering ditemukan pada usia 20 tahunan, karsinoma in
situ pada usia 25-35 tahun dan kanker serviks invasif pada usia 40 tahun.
Kondisi prakanker sampai karsinoma in situ (stadium 0) sering tidak
menunjukkan gejala karena proses penyakitnya berada di dalam lapisan epitel dan
belum menimbulkan perubahan yang nyata dari mulut rahim. Pada akhirnya
gejala yang ditimbulkan adalah keputihan, perdarahan paska senggama dan

Universitas Sumatera Utara


pengeluaran cairan encer dari vagina.lalu jika sudah menjadi invasif akan
ditemukan gejala seperti perdarahan spontan, perdarahan paska senggama,
keluarnya cairan (keputihan) dan rasa tidak nyaman saat melakukan hubungan
seksual (Bustan, 2007)
2.1.5 Penapisan
Ada beberapa metode yang dikenal untuk melakukan penapisan kanker
serviks. Tujuan penapisan untuk menemukan lesi prakanker. Beberapa metode itu
antara lain:
a. Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA)
Pemeriksaan dengan cara mengamati menggunakan spekulum, melihat leher
rahim yang telah dipulas dengan asam asetat atau asam cuka (3-5%). Pada
lesi prakanker akan menampilkan warna bercak putih yang disebut
acetowhite epitelium.
b. Pemeriksaan Sitologi (Papanicolaou/ tes Pap)
Merupakan suatu prosedur pemeriksaan sederhana melalui pemeriksaan
sitopatologi yang dilakukan dengan tujuan untuk menemukan perubahan
morfologis dari sel-sel epitel leher rahim yang ditemukan pada keadaan
prakanker dan kanker (Kemenkes, 2010).
2.1.6


Upaya Pencegahan
Upaya pencegahan dapat dilakukan melalui pencegahan primer, sekunder,

dan tertier.

Universitas Sumatera Utara

1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer dimaksudkan untuk mengeliminasi dan meminimalisasi
pajanan penyebab dan faktor risiko kanker, termasuk mengurangi kerentanan
individu terhadap efek dari penyebab kanker. Selain faktor risiko, ada faktor
protektif yang akan mengurangi kemungkinan seseorang terkena kanker.
Pendekatan pencegahan ini memberikan peluang besar dan sangat cost-effective
dalam pengendalian kanker tetapi membutuhkan waktu yang lama.
Memberikan edukasi tentang perilaku gaya hidup sehat, mempromosikan anti
rokok termasuk menurunkan risiko terpajan asap rokok, perilaku seksual yang
aman, serta pemberian vaksin HPV, merupakan contoh kegiatan pencegahan
(Kemenkes, 2010).
2. Pencegahan Sekunder

Ada dua komponen deteksi dini yaitu penapisan (screening) dan edukasi
tentang penemuan dini (early diagnosis). Penapisan atau skrining adalah upaya
pemeriksaan atau tes yang sederhana dan mudah yang dilaksanakan pada populasi
masyarakat sehat, yang bertujuan untuk membedakan masyarakat yang sakit atau
berisiko terkena penyakit di antara masyarakat sehat. Penemuan dini (early
diagnosis) adalah upaya pemeriksaan pada masyarakat yang telah merasakan
adanya gejala. Oleh karena itu edukasi untuk meningkatkan kesadaran tentang
tanda-tanda awal kemungkinan kanker di antara petugas kesehatan, kader
masyarakat, maupun masyarakat secara umum merupakan kunci utama
keberhasilannya (Kemenkes, 2010).

Universitas Sumatera Utara

3. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier berupa diagnosis dan pengobatan yaitu untuk menentukan
stadiumnya agar dapat mengevaluasi besaran penyakit dan melakukan terapi yang
tepat. Tujuan dari pengobatan adalah menyembuhkan, memperpanjang harapan
hidup, dan meningkatkan kualitas hidup. Prioritas pengobatan ditujukan pada
kanker dengan stadium awal dan lebih berpotensial untuk sembuh sedangkan
kanker yang terdiagnosis pada stadium lanjut, pengobatan harus terpadu termasuk

pendekatan psikososial, rehabilitasi, dan terkoordinasi dengan pelayanan paliatif
untuk memastikan peningkatan kualitas hidup pasien kanker (kemenkes, 2010)
2.2

Program Penanggulangan Kanker Leher Rahim

2.2.1

Kebijakan Pengendalian Kanker Serviks
Pengendalian penyakit kanker serviks di Indonesia berada di bawah

Kementerian Kesehatan RI yaitu Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular
(PPTM) sub Direktorat Penyakit Kanker berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1575
tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan. Upaya
pencegahan dan pengendalian penyakit kanker serviks yang secara umum
bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat kanker serviks,
memperpanjang umur harapan hidup dan meningkatkan kualitas hidup penderita
(Depkes, 2007)
Kanker serviks merupakan salah satu dari Penyakit Tidak Menular (PTM)
yang menjadi perhatian pemerintah selain penyakit Jantung, Stroke, dan Diabetes.

Pencegahan dan pengendalian penyakit PTM telah diatur di dalam UndangUndang no 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dari Pasal 158 sampai dengan Pasal

Universitas Sumatera Utara

161. Di dalam Pasal 161 secara tegas dikatakan bahwa manajemen pelayanan
kesehatan baik berupa promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dititik beratkan
pada deteksi dini dan pengobatan penyakit tidak menular (Dumesty, 2012).
Secara teknis, peraturan yang digunakan mengenai pelaksanaan deteksi
dini kanker serviks adalah Kepmenkes Nomor 430 tahun 2007 tentang Pedoman
Pengendalian Penyakit Kanker yang menjabarkan hal-hal yang berhubungan
dengan nilai-nilai, tujuan, kebjakan, strategi, pokok-pokok kegiatan dan
pengorganisasian dalam pengendalian penyakit kanker termasuk kanker serviks.
Selanjutnya digunakan juga Kepmenkes Nomor 796 tahun 2010 tentang Pedoman
Teknis Pengendalian Kanker Payudara dan Kanker Leher Rahim yang ditujukan
kepada pengelola program Pengendalian PTM Pusat, Daerah, dan Unit Pelayanan
Teknis; Pemerintah Daerah, Lintas Program dan Lintas Sektor Terkait, Perguruan
Tinggi, Organisasi Profesi terkait, Lembaga Swadaya Masyarakat dan kelompok
berisiko (Dumesty, 2012).
Pada tahun 2015 Kepmenkes Nomor 796 tahun 2010 dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku. Hal ini terjadi seiring dengan dikeluarkannya Peraturan

Menteri Kesehatan nomor 34 tahun 2015 tentang Penanggulangan Kanker
Payudara dan Kanker Leher Rahim yang merupakan pedoman terbaru dalam
upaya penanggulangan kanker serviks (Kemenkes, 2015).
2.2.2

Bentuk Kegiatan Program Pengendalian Kanker Serviks
Kanker leher rahim merupakan salah satu kanker terbanyak di Indonesia

yang memerlukan intevensi/tindakan kesehatan masyarakat dalam bentuk
program penanggulangan nasional. Pemerintah dan pemerintah daerah memiliki

Universitas Sumatera Utara

tanggungjawab dalam menyelenggarakan penanggulangan kanker serviks.
Penanggulangan yang dimaksud diselenggarakan melalui pendekatan pelayanan
kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan perorangan (Kemenkes, 2015).
Penanggulangan kanker leher rahim dalam bentuk pelayanan kesehatan
masyarakat meliputi kegiatan yang bersiafat promotif dan preventif. Kegiatan
yang bersifat promotif berupa penyuluhan kepada anggota masyarakat dan
lembaga/kelompok masyarakat di fasilitas umum, jejaring/media dalam ruang

maupun di luar ruang, media cetak, media elektronik, media sosial, perkumpulan
sosial budaya, keagamaan dan kegiatan/lembaga publik lainnya (Kemenkes,
2015).
Kegiatan

yang

bersifat

preventif

bertujuan

untuk

mencegah

berkembangnya faktor risiko di fasilitas umum dan di fasilitas pelayanan
kesehatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan

berwenang. Kegiatan yang

bersifat preventif meliputi perlindungan khusus massal, penapisan/skrining massal
dan penemuan dini massal serta tindak lanjut dini. Kegiatan penapisan/skrining
massal dan penemuan dini massal serta tindak lanjut dini yang dilakukan pada
msyarakat sehat dapat dilaksanakan oleh dokter atau bidan terlatih di fasilitas
kesehatan tingkat pertama atau fasilitas umum yang memadai (Kemenkes, 2015)
Penanggulangan Kanker Leher Rahim dalam bentuk pelayanan kesehatan
perorangan meliputi kegiatan yang bersifat kuratif, rehabilitatif dan paliatif
dengan tidak mengabaikan tindakan promotif dan preventif perorangan sebagai
bagian dari masyarakat (Kemenkes, 2015).

Universitas Sumatera Utara

2.2.3

Perkembangan Program Penanggulangan Kanker Serviks
Pelaksanaan penanggulangan kanker serviks salah satunya dilakukan

dengan pemeriksaan IVA. Berdasarkan hasil pengumpulan data pada akhir tahun
2014 sasaran yang akan menjadi target adalah sebanyak 37.415.483 perempuuan
dengan kondisi telah dilakukan pemeriksaan deteksi dini sebesar 904,099
perempuan (4,49%). Semua provinsi sudah mampu melakukan pemeriksaan
deteksi dini tetapi baru di 298 kabupaten/kota dari 542 kabupaten/kota atau telah
dilakukan di 2073 Puskesmas dari 9719 Puskesmas di Indonesia. Jumlah trainer
baru ada sekitar 430 orang dengan jumlah provider yaitu dokter umum sebesar
1453 dan bidan 2675 orang dari kebutuhan ideal di mana setiap puskesmas
memiliki 1 dokter dan 2 bidan terlatih (Kemenkes, 2015).
2.3 Inspeksi visual Asam Asetat (IVA)
Pemeriksaan leher rahim secara visual menggunakan asam cuka (IVA)
berarti melihat leher rahim dengan mata telanjang untuk mendeteksi abnormalitas
setelah pengolesan asam asetat atau cuka (3-5%). Daerah yang tidak normal akan
berubah warna dengan batas yang tegas menjadi putih (acetowhite) yang
mengindikasikan bahwa leher rahim mungkin memiliki lesi prakanker (Depkes,
2007)
2.3.1

Keunggulan

IVA adalah praktik yang dianjurkan untuk fasilitas dengan sumberdaya
sederhana dibandingkan dengan jenis penapisan lain karena:

Universitas Sumatera Utara

a. Aman, tidak mahal, dan mudah dilakukan
b. Akurasi tes tersebut sama dengan tes-tes yang lain yang digunakan untuk
penapisan kanker leher rahim
c. Dapat dipelajari dan dilakukan oleh hampir semua tenaga kesehatan di semua
jenjang sistem kesehatan
d. Memberikan hasil segera sehingga dapat segera diambil keputusan mengenai
penatalaksanaannya (pengobatan atau rujukan)
e. Suplai sebagian besar peralatan dan bahan-bahan untuk pelayanan ini mudah
didapat dan tersedia
f. Pengobatan langsung dengan krioterapi berkaitan dengna penapisan yang
tidak bersifat invasif dan dengan efektif dapat mengidentifikasi berbagai lesi
prakanker (Kemenkes, 2010).
2.3.2

Kelompok Sasaran
Kelompok sasaran penapisan kanker leher rahim adalah:

a. Perempuan berusia 30-50 tahun
b. Perempuan yang menjadi pasien pada klinik infeksi menular seksual (IMS)
dengan discharge (keluar cairan) dari vagina yang abnormal atau nyeri pada
abdomen bawah
c. Perempuan yang tidak hamil (walaupun bukan suatu hal yang rutin,
perempuan yang sedang hamil dapat menjalani penapisan dengan aman,
tetapi tidak boleh menjalani pengobatan dengan krioterapi). Oleh karena itu
IVA belum dapat dimasukkan sebagai pelayanan rutin pada klinik antenatal

Universitas Sumatera Utara

d. Perempuan yang mendatangi puskesmas, kllinik IMS, dan klinik keluarga
berencana (KB) yang secara khusus meminta penapisan kanker leher rahim
(Kemenkes, 2010)
2.3.3 Frekuensi Penapisan
Seorang perempuan yang mendapat hasil tes IVA-negatif harus menjalani
penapisan minimal 5 tahun sekali. Mereka yang mempunyai hasil tes IVA-positif
dan mendapat pengobatan, harus menjalani tes IVA berikutnya enam bulan
kemudian (Kemenkes, 2010).
2.3.4

Kategori Klasifikasi Tes IVA
Adapun hasil temuan IVA dapat diklasifikasikan sesuai dengan temuan

klinis yang diperoleh, sebagai berikut:
1. Tes negatif dengan kriteria klinis; halus, berwarna merah muda, seragam,
tidak berfitur, ectropion, cervicitis, kista Nabothy, dan lesi acetowhite tidak
signifikan.
2. Tes positif dengan kriteria klinis; bercak putih (acetowhite epithelium sangat
jelas terlihat) dengan batas yang tegas dan meninggi, tidak mengilap yang
terhubung, atau meluas dari squamocolumnar junction.
3. Dicurigai kanker dengan kriteria klinis; pertumbuhan massa seperti kembang
kol yang mudah berdarah atau luka bernanah (ulcer) (Kemenkes, 2010).

Universitas Sumatera Utara

2.4

Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Menurut Levey dan Loomba (1973) seperti dikutip oleh Azwar (2010) yang

dimaksud dengan pelayanan kesehatan adalah setiap upaya untuk dilaksanakan
secara sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan, mencegah, mengobati penyakit serta memulihkan
kesehatan seseorang, keluarga, kelompok dan masyarakat.
Pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah hasil dari proses pencarian
pelayanan kesehatan oleh seseorang maupun kelompok. Menurut Notoatmodjo
(2010), perilaku pencarian pengobatan adalah perilaku individu maupun
kelompok atau penduduk untuk melakukan atau mencari pengobatan. Perilaku
pencarian pengobatan di masyarakat terutama di negara sedang berkembang
sangat bervariasi.
Andersen (1975) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2010) mendeskripsikan
model sistem kesehatan yaitu suatu model kepercayaan kesehatan yang disebut
sebagai model perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan (behavior model of
health service utilization). Andersen mengelompokkan faktor determinan dalam
pemanfaatan pelayanan kesehatan ke dalam 3 kategori utama, yaitu:
1. Karakteristik Predisposisi (Predisposing characteristics)
Karakteristik ini digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa tiap individu
mempunyai kecenderungan untuk menggunakan pelayanan kesehatan yang
berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena adanya ciri-ciri individu, yang
digolongkan ke dalam 3 kelompok:

Universitas Sumatera Utara

a. Ciri-ciri demografi, seperti jenis kelamin, umur, dan status perkawinan
b. Struktur sosial, seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, kesukuan atau ras,
dan sebagainya
c. Manfaat-manfaat kesehatan, seperti keyakinan bahwa pelayanan kesehatan
dapat menolong proses penyembuhan penyakit. Selanjutnya Anderson
percaya bahwa:
1. Setiap individu atau orang mempunyai perbedaan karakteristik ,
mempunyai perbedaan tipe dan frekuensi penyakit, dan mempunyai
perbedaan pola penggunaan pelayanan kesehatan
2. Setiap individu mempunyai perbedaan struktur sosial, mempunyai
perbedaan gaya hidup, dan akhirnya mempunyai perbedaan pola
penggunaan pelayanan kesehatan
3. Individu percaya adanya kemanjuran dalam penggunaan pelayanan
kesehatan.
2. Karakteristik Kemampuan (Enabling characteristic)
Karakteristik kemampuan adalah keadaan atau kondisi yang membuat
seseorang mampu untuk melakukan tindakan untuk memenuhi kebutuhannya
terhadap pelayanan kesehatan. Anderson (1975) membaginya ke dalam 2
golongan, yaitu:
a. Sumber daya keluarga, seperti: penghasilan keluarga, keikutsertaan dalam
asuransi kesehatan, kemampuan membeli jasa, dan pengetahuan tentang
informasi pelayanan kesehatan yang dibutuhkan

Universitas Sumatera Utara

b. Sumber daya masyarakat, seperti: jumlah sarana pelayanan kesehatan
yang ada, jumlah tenaga kesehatan yang tersedia salam wilayah tersebut,
rasio

penduduk

terhadap

tenaga

kesehatan,

dan

lokasi

pemukimanpenduduk. Menurut Anderson semakin banyak sarana dan
jumlah tenaga kesehatan maka tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan
suatu masyarakat akan semakin bertambah (Notoatmodjo, 2010).
3. Karakteristik kebutuhan (Need characteristic)
Karakteristik kebutuhan merupakan komponen yang paling langsung
berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan, Andersen (1975)
menggunakan istilah kesakitan untuk mewakili kebutuhan pelayanan
kesehatan. Penilaian terhadap suatu penyakit merupakan bagian dari
kebutuhan. Penilaian individu ini dapat diperoleh dari dua sumber, yaitu:
a. Penilaian individu (perceived need), merupakan penilaian keadaan
kesehatan yang paling dirasakan oleh individu, besarnya ketakutan
terhadap penyakit dan hebatnya rasa sakit yang diderita.
b. Penilaian klinik (Evaluated need), merupakan penilaian beratnya penyakit
dari dokter yang merawatnya, yang tercermin antara lain dari hasil
pemeriksaan

dan

penentuan

diagnosis

penyakit

oleh

dokter

(Notoadmodjo, 2010)

Universitas Sumatera Utara

Secara skematis konsep pemanfaatan pelayanan kesehatan menurut Anderson
digambarkan sebagai berikut:
Faktor predisposisi

Faktor Pemungkin

Demografi: Umur,
jenis kelamin, status
perkawinan, penyakit
masa lalu

Keluarga: pendapatan,
dukungan, asuransi
kesehatan

Struktur sosial:
Pendidikan, ras,
pekerjaan, besar
keluarga, agama

Komunitas/masyarakat:
Informasi, tersedianya
fasilitas dan petugas
kesehatan, lokasi/jarak,
biaya transportasi

Faktor Kebutuhan
Tingkat rasa sakit:
ketidakmampuan,
gejala penyakit,
diagnosis, keadaan
umum
Evaluasi: Gejalagejala, diagnosisdiagnosis

Keyakinan: Persepsi,
sikap, pengetahuan
Gambar 2.1 Skema Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
2.5

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Adapun faktor-faktor yang memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan

antara lain sebagai berikut:
1.

Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang. Suatu penelitian mengatakan bahwa tindakan

Universitas Sumatera Utara

yang didasari oleh pengetahuan akan mampu bertahan lebih lama dibanding tidak
didasari oleh pengetahuan (Notoadmodjo, 2010).
2. Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung
dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup.
Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, melainkan merupakan
predisposisi tindakan suatu perilaku (Notoadmodjo, 2010).
Menurut Wirawan (2009) seperti dikutip oleh Yuliwati (2012) sikap (attitude)
adalah istilah yang mencerminkan rasa senang, tidak senang, atau perasaan biasabiasa saja (netral) dari seseorang terhadap sesuatu. Sesuatu itu bisa benda,
kejadian, situasi, orang-orang atau kelompok. Jika yang timbul adalah perasaan
senang, maka disebut sikap positif, sedang jika tak senang disebut sikap negatif.
Jika tidak timbul apa-apa berarti bersikap netral.
Newcomb salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap adalah
merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan
pelaksanaan motif tertentu. Dalam kata lain sikap belum merupakan tindakan
(reaksi terbuka) atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi perilaku
(tindakan) atau reaksi tertutup (Azwar, 2010).
3.

Pendidikan
Pendidikan adalah proses perkembangan kecakapan seseorang dalam bentuk

sikap dan perilaku yang berlaku dalam masyarakatnya. Proses sosial dimana
seseorang dipengaruhi oleh sesuatu lingkungan yang terpimpin (khususnya di

Universitas Sumatera Utara

sekolah) sehingga ia dapat mencapai kecakapan sosial dan mengembangkan
kepribadiannya (Good, Carter V dalam Yuliwati, 2012).
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin mudah menerima
informasi sehingga semakin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya, dan jika
tingkat pendidikan rendah maka akan menghambat perkembangan perilaku
seseorang terhadap penerimaan informasi, dan nilai-nilai yang baru diperkenalkan
(Nursalam dan Pariani, 2000).
4. Pekerjaan
Pekerjaan adalah kegiatan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang
kehidupan diri dan kehidupan keluarganya (Nursalam dan Pariani, 2000).
Menurut Ananta (1993) yang dikutip oleh Manning dan Efendi (1985), statistik
pekerjaan mengelompokkan status pekerjaan menjadi 2 yaitu sektor formal dan
informal. Istilah yang pertama kali dilontarkan oleh Hart (1971) ini yakni
mengandung pengertian bahwa sektor formal adalah pekerjaan bergaji atau harian
permanen, seperti pekerjaan dalam perusahaan industri, kantor pemerintah dan
perusahaan besar lainnya, dimana struktur pekerjaan terjalin amat teroganisir,
biasanya ditandai dengan gaji yang tetap; sedangkan pekerjaan sektor informal
sering kali tercakup dalam istilah umum usaha sendiri ini merupakan jenis
kesempatan kerja yang kurang teroganisir, biasanya ditandai dengan gaji yang
tidak tetap.
Pekerjaan akan memengaruhi tingkat ekonomi seseorang. Tingkat sosial
ekonomi yang terlalu rendah akan memengaruhi individu menjadi tidak begitu

Universitas Sumatera Utara

memperhatikan pesan-pesan yang disampaikan karena lebih memikirkan
kebutuhan-kebutuhan lain yang lebih mendesak (Manning dan Efendi, 1985).
5.

Informasi
Pernah diterima atau tidaknya informasi tentang kesehatan olehh masyarakat

akan menentukan perilaku kesehatan masyarakat tersebut (Green, 2005).
Informasi dapat diterima melalui petugas langsung dalam bentuk penyuluhan,
pendidikan kesehatan, dan perangkat desa melalui siaran dikelompok-kelompok
dasawisma atau yang lain, melalui media massa, leaflet, siaran televisi dan lainlain (Yuliwati, 2012)
6.

Dukungan keluarga
Ki Hajar Dewantara sebagai tokoh pendidikan berpendapat bahwa keluarga

adalah kumpulan beberapa orang yang karena terikat oleh satu turunan lalu
mengerti dan merasa berdiri sebagai satu gabungan yang hakiki, esensial, enak
dan berkehendak bersama-sama memperteguh gabungan itu untuk memuliakan
masing-masing anggotanya (Susanto dan Eko dalam Yuliwati 2012).
Menurut Susanti (2002) yang mengutip pendapat Friedman (1961) bahwa
sebelum seorang individu mencari pelayanan kesehatan yang profesional, ia
biasanya mencari nasihat dari keluarga dan teman-temannya. Selanjutnya
Friedman (1968) mengatakan tentang peran keluarga sebagai kelompok kecil
yang terdiri dari individu-individu yang mempunyai hubungan satu sama lain,
saling tergantung merupakan sebuah lingkungan sosial, dimana secara efektif
keluarga memberi perasaan aman, secara ekonomi keluarga berfungsi untuk
mengadakan sumber-sumber ekonomi yang memadai untuk menunjang proses

Universitas Sumatera Utara

perawatan, secara sosial keluarga menumbuhkan rasa percaya diri, memberi
umpan balik, membantu memecahkan masalah, sehingga tampak bahwa peran
dari keluarga sangat penting untuk setiap aspek perawatan kesehatan.
7.

Kebutuhan yang dirasakan
Faktor predisposisi dan faktor pemungkin untuk mencoba pelayanan

kesehatan dapat terwujud didalam tindakan bila dirasakan sebagai kebutuhan.
Faktor kebutuhan akan pelayanan kesehatan adalah orang akan melakukan atau
mencari upaya pelayanan kesehatan tersebut. Keadaan status kesehatan seseorang
menimbulkan suatu kebutuhan

yang dirasakan dan membuat seseorang

mengambil keputusan untuk mencari pertolongan atau tidak.

2.6 Kerangka Konsep
Variabel Independen

Variabel Dependen

Faktor Predisposisi:
1. Pendidikan
2. Pengetahuan
3. Pekerjaan
4. sikap
Faktor Pemungkin
1. Informasi
2. Dukungan
Suami/Keluarga

Pemanfaatan Pelayanan
IVA

Kebutuhan
1. Kebutuhan yang
dirasakan
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pengaruh Persepsi Dan Motivasi Wanita Usia Subur Terhadap Keikutsertaan Skrining Kanker Serviks Metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) Di Wilayah Kerja Puskesmas Sidangkal Kecamatan Padangsidimpuan Selatan Tahun 2013

9 159 129

Pengetahuan dan Sikap Wanita Usia Subur tentang Pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Medan

10 80 82

Pengaruh Persepsi Wanita Pasangan Usia Subur (PUS) Tentang Kanker Leher Rahim (KLR) dan Program Inspeksi Visual Asetat (IVA) Terhadap Pemanfaatan Pelayanan IVA Di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalifah Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Tah

6 57 85

Pengaruh Persepsi Dan Motivasi Wanita Usia Subur Terhadap Keikutsertaan Skrining Kanker Serviks Metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) Di Wilayah Kerja Puskesmas Sidangkal Kecamatan Padangsidimpuan Selatan Tahun 2013

0 41 129

Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Pemanfaatan Pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat Oleh Wanita Pasangan Usia Subur di Puskesmas Mengwi I.

3 33 45

Pengaruh Faktor Predisposisi, Pemungkin dan Kebutuhan Terhadap Pemanfaatan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) pada Wanita Pasangan Usia Subur di Puskesmas Batang Kuis Tahun 2015

0 0 16

Pengaruh Faktor Predisposisi, Pemungkin dan Kebutuhan Terhadap Pemanfaatan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) pada Wanita Pasangan Usia Subur di Puskesmas Batang Kuis Tahun 2015

0 0 2

Pengaruh Faktor Predisposisi, Pemungkin dan Kebutuhan Terhadap Pemanfaatan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) pada Wanita Pasangan Usia Subur di Puskesmas Batang Kuis Tahun 2015

0 0 11

Pengaruh Faktor Predisposisi, Pemungkin dan Kebutuhan Terhadap Pemanfaatan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) pada Wanita Pasangan Usia Subur di Puskesmas Batang Kuis Tahun 2015

0 1 3

Pengaruh Faktor Predisposisi, Pemungkin dan Kebutuhan Terhadap Pemanfaatan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) pada Wanita Pasangan Usia Subur di Puskesmas Batang Kuis Tahun 2015

0 0 25