Analisis Kesiapan Dinas Kesehatan Dalam Implementasi Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional Di Kabupaten Deli Serdang

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Telaah Pustaka
2.1.1. Teori Kebijakan Publik
Kebijakan menurut Fredrich yang dikutip oleh Lubis (2007) adalah
serangkaian konsep tindakan yang diusulkan oleh seorang atau sekelompok orang
atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatanhambatan dan peluang terhadap pelaksanaan usulan tersebut dalam rangka mencapai
tujuan tertentu. Fredrich merinci bahwa ada beberapa pokok kebijakan, yaitu: a)
tujuan (goal), b) sasaran (objective) dan c) kehendak (purpose).
2.1.2. Kebijakan Kesehatan
Kebijakan kesehatan menurut Buse (2009) adalah rangkuman segala arah
tindakan yang memengaruhi tatanan kelembagaan, organisasi, layanan dan aturan
pembiayaan dalam sistem kesehatan yang mencakup sektor swasta dan sektor publik
(pemerintah).
2.1.3. Analisa Kebijakan Publik
Analisa kebijakan menurut William Dunn adalah suatu analisis yang
menghasilkan dan menyajikan informasi sehingga dapat menjadi landasan untuk
membuat keputusan bagi pembuat kebijakan. Selain digunakan sebagai pengertian
umum juga digunakan untuk menguji dan mengelompokkan kebijakan tersebut dalam
bentuk komponen dan perancangan serta sintesis alternatif baru. Pada proses analisa


akan dijabarkan mengenai kegiatan, pandangan mengenai masalah, antisipasi hingga
evaluasi program yang lengkap.
2.1.4. Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi kebijakan adalah aktivitas-aktivitas yang dilakukan untuk
melaksanakan suatu kebijakan. Implementasi kebijakan merupakan suatu langkah
yang sangat penting dalam proses kebijakan. Tanpa implementasi, kebijakan publik
hanya merupakan dokumen yang tidak bermakna karena tidak memberi pengaruh
apapun pada kehidupan bernegara. Kebijakan dalam suatu program harus
diimplementasikan agar dampak dan tujuan yang diharapkan dapat diketahui.
Menurut Edward, implementasi kebijakan merupakan kegiatan yang kompleks
dengan begitu banyak faktor yang memengaruhi keberhasilan suatu implementasi
kebijakan. Dalam mengkaji implementasi kebijakan publik, Edward mulai dengan
mengajukan dua pertanyaan, yakni:
is the precondition for successful policy implementation?
What are the primary obstacles to successful policy implementation?
Edward III berusaha menjawab dua pertanyaan tersebut dengan mengkaji empat
faktor atau variabel dari kebijakan yaitu struktur birokrasi, sumber daya, komunikasi
dan disposisi.
1. Struktur Birokrasi

Birokrasi merupakan salah-satu institusi yang paling sering bahkan secara
keseluruhan menjadi pelaksana kegiatan. Keberadaan birokrasi tidak hanya dalam
struktur pemerintah, tetapi juga ada dalam organisasi-organisasi swasta, institusi

pendidikan dan sebagainya. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu birokrasi diciptakan
hanya untuk menjalankan suatu kebijakan tertentu. Ripley dan Franklin dalam
Winarno (2005) mengidentifikasi enam karakteristik birokrasi sebagai hasil
pengamatan terhadap birokrasi di Amerika Serikat, yaitu:
1. Birokrasi diciptakan sebagai instrumen dalam menangani keperluan-keperluan
publik (public affair).
2. Birokrasi merupakan institusi yang dominan dalam implementasi kebijakan
publik yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dalam setiap hierarkinya
3. Birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang berbeda
4. Fungsi birokrasi berada dalam lingkungan yang kompleks dan luas
5. Birokrasi mempunyai naluri bertahan hidup yang tinggi dengan begitu jarang
ditemukan birokrasi yang mati
6. Birokrasi bukan kekuatan yang netral dan tidak dalam kendali penuh dari pihak
luar.
Implementasi kebijakan yang bersifat kompleks menuntut adanya kerjasama
banyak pihak. Ketika struktur birokrasi tidak kondusif terhadap implementasi suatu

kebijakan, maka hal ini akan menyebabkan ketidakefektifan dan menghambat
jalannya pelaksanaan kebijakan.
Berdasakan penjelasan di atas, maka memahami struktur birokrasi merupakan
faktor yang fundamental untuk mengkaji implementasi kebijakan publik. Menurut
Edwards III dalam Winarno (2005) terdapat dua karakteristik utama dari birokrasi
yakni: ”Standard Operational Procedure (SOP) dan fragmentasi”. Standard

operational procedure (SOP) merupakan perkembangan dari tuntutan internal akan
kepastian waktu, sumber daya serta kebutuhan penyeragaman dalam organisasi kerja
yang kompleks dan luas” (Winarno, 2005). Ukuran dasar SOP atau prosedur kerja ini
biasa digunakan untuk menanggulangi keadaan-keadaan umum diberbagai sektor
publik

dan

swasta.

Dengan

menggunakan


SOP,

para

pelaksana

dapat

mengoptimalkan waktu yang tersedia dan dapat berfungsi untuk menyeragamkan
tindakan-tindakan pejabat dalam organisasi yang kompleks dan tersebar luas,
sehingga dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar dan kesamaan yang besar dalam
penerapan peraturan.
Berdasakan hasil penelitian Edward III yang dirangkum oleh Winarno (2005)
menjelaskan bahwa: ”SOP sangat mungkin dapat menjadi kendala bagi implementasi
kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe personil baru
untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan. Dengan begitu, semakin besar kebijakan
membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang lazim dalam suatu organisasi,
semakin besar pula probabilitas SOP menghambat implementasi”. ”Namun demikian,
di samping menghambat implementasi kebijakan SOP juga mempunyai manfaat.

Organisasi-organisasi dengan prosedur-prosedur perencanaan yang luwes dan kontrol
yang besar atas program yang bersifat fleksibel mungkin lebih dapat menyesuaikan
tanggung jawab yang baru dari pada birokrasi-birokrasi tanpa mempunyai ciri-ciri
seperti ini”. Sifat kedua dari struktur birokrasi yang berpengaruh dalam pelaksanaan
kebijakan adalah fragmentasi. Edward III dalam Winarno (2005) menjelaskan bahwa
”fragmentasi merupakan penyebaran tanggung jawab suatu kebijakan kepada

beberapa badan yang berbeda sehingga memerlukan koordinasi”. Pada umumnya,
semakin besar koordinasi yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan, semakin
berkurang kemungkinan keberhasilan program atau kebijakan. Fragmentasi
mengakibatkan pandangan-pandangan yang sempit dari banyak lembaga birokrasi.
Hal ini akan menimbulkan konsekuensi pokok yang merugikan bagi keberhasilan
implementasi kebijakan.
Berikut hambatan-hambatan yang terjadi dalam fregmentasi birokrasi
berhubungan dengan implementasi kebijakan publik (Winarno, 2005): Pertama, tidak
ada otoritas yang kuat dalam implementasi kebijakan karena terpecahnya fungsifungsi tertentu ke dalam lembaga atau badan yang berbeda-beda. Di samping itu,
masing-masing badan mempunyai yurisdiksi yang terbatas atas suatu bidang, maka
tugas-tugas yang penting mungkin akan terlantarkan dalam berbagai agenda birokrasi
yang menumpuk”. ”Kedua, pandangan yang sempit dari badan yang mungkin juga
akan menghambat perubahan. Jika suatu badan mempunyai fleksibilitas yang rendah

dalam misi-misinya, maka badan itu akan berusaha mempertahankan esensinya dan
besar kemungkinan akan menentang kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan
perubahan.
2. Sumber Daya
Syarat berjalannya suatu organisasi adalah kepemilikan terhadap sumber daya
(resources). Seorang ahli dalam bidang sumber daya, Schermerchorn, Jr (1994)
mengelompokkan sumber daya ke dalam: “Information, Material, Equipment,
Facilities, Money, People”. Sementara Hodge (1996) mengelompokkan sumber daya

ke dalam: ”Human resources, Material resources, Financial resources and
Information resources”. Pengelompokkan ini diturunkan pada pengkategorikan yang
lebih spesifik yaitu sumber daya manusia ke dalam: “Human resources- can be
classified in a variety of ways; labors, engineers, accountants, faculty, nurses, etc”.
Sumber daya material dikategorikan ke dalam: “Material resources-equipment,
building, facilities, material, office, supplies, etc. Sumber daya finansial digolongkan
menjadi: ”Financial resources- cash on hand, debt financing, owner`s investment,
sale reveue, etc”. Serta sumber daya informasi dibagi menjadi: “Data resourceshistorical, projective, cost, revenue, manpower data etc”rojective, cost, revenue,
manpower data etc”. Edwards III (1980) mengkategorikan sumber daya organisasi
terdiri dari : “Staff, information, authority, facilities; building, equipment, land and
supplies”. Edward III (1980) mengemukakan bahwa sumber daya tersebut dapat

diukur dari aspek kecukupannya yang didalamnya tersirat kesesuaian dan kejelasan;
“Insufficient resources will mean that laws will not be enforced, services will not be
provided and reasonable regulation will not be developed”. “Sumber daya
diposisikan sebagai input dalam organisasi sebagai suatu sistem yang mempunyai
implikasi yang bersifat ekonomis dan teknologis. Secara ekonomis, sumber daya
bertalian dengan biaya atau pengorbanan langsung yang dikeluarkan oleh organisasi
yang merefleksikan nilai atau kegunaan potensial dalam transformasinya ke
dalam output. Sedang secara teknologis, sumber daya bertalian dengan kemampuan
transformasi dari organisasi” (Tachjan, 2006).

Menurut Edward III dalam Agustino (2006), sumber daya merupakan hal
penting dalam implementasi kebijakan yang baik. Indikator-indikator yang digunakan
untuk melihat sejauh mana sumber daya memengaruhi implementasi kebijakan terdiri
dari:
a. Staf
Sumber daya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf atau pegawai.
Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan, salah-satunya
disebabkan oleh staf/pegawai yang tidak cukup memadai, mencukupi, ataupun tidak
kompeten dalam bidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak
cukup menyelesaikan persoalan implementasi kebijakan, tetapi diperlukan sebuah

kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan
kapabel) dalam mengimplementasikan kebijakan
b. Informasi
Dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk yaitu:
pertama, informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan. Kedua,
informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan
regulasi pemerintah yang telah ditetapkan
c. Wewenang
Pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar perintah dapat
dilaksanakan secara efektif. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi
para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika
wewenang tidak ada, maka kekuatan para implementor di mata publik tidak

dilegitimasi, sehingga dapat menggagalkan implementasi kebijakan publik. Tetapi
dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal tersedia, maka sering terjadi
kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Di satu pihak, efektivitas
kewenangan diperlukan dalam implementasi kebijakan; tetapi di sisi lain, efektivitas
akan menyurut manakala wewenang diselewengkan oleh para pelaksana demi
kepentingannya sendiri atau kelompoknya
d. Fasilitas

Fasilitas fisik merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan.
Implementor mungkin mempunyai staf yang mencukupi, kapabel dan kompeten,
tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi
kebijakan tersebut tidak akan berhasil.
3. Disposisi
Menurut Edward III dalam Winarno (2005) mengemukakan ”kecenderungankecenderungan atau disposisi merupakan salah-satu faktor yang mempunyai
konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif”. Jika para pelaksana
mempunyai kecenderungan atau sikap positif atau adanya dukungan terhadap
implementasi kebijakan maka terdapat kemungkinan yang besar implementasi
kebijakan akan terlaksana sesuai dengan keputusan awal. Demikian sebaliknya, jika
para pelaksana bersikap negatif atau menolak terhadap implementasi kebijakan
karena konflik kepentingan maka implementasi kebijakan akan menghadapi kendala
yang serius. Bentuk penolakan dapat bermacam-macam seperti yang dikemukakan
Edward tentang ”zona ketidakacuhan” dimana para pelaksana kebijakan melalui

keleluasaanya (diskresi) dengan cara yang halus menghambat implementasi kebijakan
dengan cara mengacuhkan, menunda dan tindakan penghambatan lainnya.
Menurut pendapat Metter dan Horn dalam Agustino (2006): ”sikap
penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana kebijakan sangat memengaruhi
keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin

terjadi karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat
yang sangat mengenal permasalahan dan persoalan yang mereka rasakan. Tetapi
kebijakan publik biasanya bersifat top down yang sangat mungkin para pengambil
keputusan tidak mengetahui bahkan tak mampu menyentuh kebutuhan, keinginan
atau permasalahan yang harus diselesaikan”.
4. Komunikasi
Menurut Agustino (2006); ”komunikasi merupakan salah-satu variabel
penting yang memengaruhi implementasi kebijakan publik, komunikasi sangat
menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik”.
Implementasi yang efektif akan terlaksana, jika para pembuat keputusan mengetahui
mengenai apa yang akan mereka kerjakan. Infromasi yang diketahui para pengambil
keputusan hanya bisa didapat melalui komunikasi yang baik. Terdapat tiga indikator
yang dapat digunakan dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi. Edward
dalam Agustino (2006) mengemukakan tiga variabel tersebut yaitu: transmisi,
kejelasan dan konsistensi.

2.2. Jaminan Kesehatan Nasional
2.2.1. Tiga Dimensi untuk Mencapai Cakupan Semesta Bagi Seluruh Penduduk
Indonesia
1. Penduduk yang akan dijamin kesehatannya dilakukan dalam 2 tahap yaitu :

a. Penduduk pertama mulai 1 januari 2014 antara lain Penerima Bantuan Iuran (PBI)
yaitu fakir miskin dan orang tidak mampu, anggota TNI/Polri/Pegawai Negeri
Sipil di lingkungan Kementerian Pertahanan, dan Polri beserta anggota
keluarganya, peserta asuransi kesehatan PT Askes dan PT Jamsostek beserta
keluarganya.
b. Tahap kedua meliputi seluruh penduduk yang belum masuk sebagai peserta paling
lambat pada tanggal 1 januari 2019.
2. Pelayanan kesehatan mana yang akan ditanggung baik oleh pemerintah dan
masyarakat (benefit package) meliputi pelayanan komprehensif (promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif). Pelayanan ini dilaksanakan secara wajib oleh
fasilitas kesehatan milik pemerintah seperti Puskesmas dan rumah sakit.
3. Sumber dana bagi peserta bantuan iuran dibayar oleh pemerintah, sedangkan bagi
peserta lainnya dalam bentuk pembayaran premi kepada Badan Penyelenggara
Jaminan Kesehatan (BPJS).
2.2.2. Pengertian Asuransi Kesehatan Sosial (Jaminan Kesehatan NasionalJKN)
Asuransi sosial merupakan mekanisme pengumpulan iuran yang bersifat
wajib dari peserta, guna memberikan perlindungan kepada peserta atas risiko sosial

ekonomi yang menimpa mereka dan atau anggota keluarganya (UU SJSN No.40
tahun 2004).
Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah tata cara penyelenggaraan program
Jaminan Sosial oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan
BPJS Ketenagakerjaan.
Jaminan Sosial adalah bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh
rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.
Dengan demikian JKN yang dikembangkan di Indonesia merupakan bagian
dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sistem Jaminan Sosial Nasional ini
diselenggarakan melalui mekanisme Asuransi Kesehatan Sosial yang bersifat wajib
(mandatory) berdasarkan Undang-Undang No.40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional. Tujuannya adalah agar semua penduduk Indonesia
terlindungi dalam sistem asuransi, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar
kesehatan masyarakat yang layak.
2.2.3. Kepesertaan JKN
1. Jenis-jenis Peserta
a.

Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan meliputi orang yang
tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu.

b.

Peserta bukan PBI adalah Peserta yang tidak tergolong fakir miskin dan orang
tidak mampu yang terdiri atas:

1) Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya, yaitu: Pegawai Negeri Sipil,
anggota TNI, anggota Polri, pejabat negara, pegawai pemerintah non pegawai
negeri, pegawai swasta dan pekerja lain yang menerima upah.
2) Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya, yaitu: pekerja di luar
hubungan kerja/pekerja mandiri dan pekerja yang bukan perima upah.
3) Bukan Pekerja dan anggota keluarganya terdiri atas: investor; pemberi kerja,
penerima pensiun, veteran, perintis kemerdekaan dan orang yang mampu
membayar Iuran.
4) Penerima pensiun terdiri atas: Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berhenti dengan
hak pensiun, anggota TNI dan anggota Polri yang berhenti dengan hak pensiun
serta pejabat negara yang berhenti dengan hak pensiun;
Anggota keluarga bagi pekerja penerima upah meliputi: a) Istri/suami yang
sah dari peserta; dan b) Anak kandung, anak tiri dan/atau anak angkat yang sah dari
Peserta, dengan kriteria: tidak atau belum pernah menikah atau tidak mempunyai
penghasilan sendiri; dan belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum berusia
25 (duapuluh lima) tahun yang masih melanjutkan pendidikan formal.
Sedangkan Peserta bukan PBI JKN dapat juga mengikutsertakan anggota
keluarga yang lain.
2. Lokasi Pendaftaran Peserta
Pendaftaran peserta dilakukan di kantor BPJS terdekat/setempat.
3. Prosedur Pendaftaran Peserta
a. Pemerintah mendaftarkan PBI JKN sebagai Peserta kepada BPJS Kesehatan.

b. Pemberi Kerja mendaftarkan pekerjanya atau pekerja dapat mendaftarkan diri
sebagai Peserta kepada BPJS Kesehatan.
c. Bukan pekerja dan peserta lainnya wajib mendaftarkan diri dan keluarganya
sebagai Peserta kepada BPJS Kesehatan.
4. Hak dan Kewajiban Peserta
Setiap Peserta yang telah terdaftar pada BPJS Kesehatan berhak mendapatkan
identitas peserta dan manfaat pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan yang bekerja
sama dengan BPJS Kesehatan.
Setiap Peserta yang telah terdaftar pada BPJS Kesehatan berkewajiban untuk
membayar iuran dan melaporkan data kepesertaannya kepada BPJS Kesehatan
dengan menunjukkan identitas Peserta pada saat pindah domisili dan atau pindah
kerja.
5. Masa Berlaku Kepesertaan
a.

Kepesertaan JKN berlaku selama yang bersangkutan membayar iuran sesuai
dengan kelompok peserta.

b.

Status kepesertaan akan hilang bila peserta tidak membayar iuran atau meninggal
dunia.

6. Pentahapan Kepesertaan
Kepesertaan JKN dilakukan secara bertahap, yaitu tahap pertama mulai 1
Januari 2014, kepesertaannya paling sedikit meliputi: PBI Jaminan Kesehatan;
Anggota TNI/PNS di lingkungan Kementerian Pertahanan dan anggota keluarganya;
Anggota Polri/PNS di lingkungan Polri dan anggota keluarganya; peserta asuransi

kesehatan PT Askes (Persero) beserta anggota keluarganya, serta peserta jaminan
pemeliharaan kesehatan Jamsostek dan anggota keluarganya. Selanjutnya tahap kedua
meliputi seluruh penduduk yang belum masuk sebagai Peserta BPJS Kesehatan
paling lambat pada tanggal 1 Januari 2019.
2.2.4. Pembiayaan
2.2.4.1. Iuran
Iuran Jaminan Kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara
teratur oleh Peserta, Pemberi Kerja, dan/atau Pemerintah untuk program Jaminan
Kesehatan (pasal 16, Perpres No. 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan).
2.2.4.2. Pembayar Iuran
a. Bagi peserta PBI, iuran dibayar oleh pemerintah.
b. Bagi peserta pekerja penerima upah, iurannya dibayar oleh pemberi kerja dan
pekerja.
c. Bagi peserta pekerja bukan penerima upah dan peserta bukan pekerja iuran dibayar
oleh peserta yang bersangkutan.
d. Besarnya iuran JKN ditetapkan melalui Peraturan Presiden dan ditinjau ulang
secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan kebutuhan dasar
hidup yang layak.
2.2.4.3. Pembayaran Iuran
Setiap Peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan
persentase dari upah (untuk pekerja penerima upah) atau suatu jumlah nominal
tertentu (bukan penerima upah dan PBI).

Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan
iuran peserta yang menjadi tanggung jawabnya, dan membayarkan iuran tersebut
setiap bulan kepada BPJS Kesehatan secara berkala (paling lambat tanggal 10 setiap
bulan). Keterlambatan pembayaran iuran JKN dikenakan denda administratif sebesar
2% (dua persen) perbulan dari total iuran yang tertunggak dan dibayar oleh Pemberi
Kerja.
Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja wajib
membayar iuran JKN pada setiap bulan yang dibayarkan paling lambat tanggal 10
(sepuluh) setiap bulan kepada BPJS Kesehatan.
2.2.4.4. Cara Pembayaran Fasilitas Kesehatan
BPJS Kesehatan akan membayar kepada fasilitas kesehatan tingkat pertama
dengan kapitasi. Kapitasi adalah metode pembayaran dalam jumlah tetap untuk
pelayanan kesehatan per pasien kepada penyedia layanan kesehatan sesuai standar
yang telah ditetapkan. Nilai kapitasi per pasien di tingkat Puskesmas dalam program
JKN yang dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan adalah 6.000 rupiah. Untuk fasilitas
kesehatan rujukan tingkat lanjutan, BPJS Kesehatan membayar dengan sistem paket
Indonesia Case Based Groups (INA CBG’s).
Kapitasi adalah metode pembayaran untuk jasa pelayanan kesehatan dimana
pemberi pelayanan kesehatan (dokter atau rumah sakit) menerima sejumlah tetap
penghasilan per peserta, per periode waktu (biasanya bulan), untuk pelayanan yang
telah ditentukan per periode waktu (biasanya bulan), untuk pelayanan yang telah
ditentukan per periode waktu.

Pembayaran bagi pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) dengan Sistem
Kapitasi adalah pembayaran yang dilakukan oleh suatu Lembaga kepada PPK atas
jasa pelayanan kesehatan yang diberikan kepada anggota lembaga tersebut, yaitu
dengan membayar di muka sejumlah dana sebesar perkalian anggota dengan satuan
biaya (unit cost) tertentu.
Yang dimaksud dengan Lembaga diatas adalah Badan Penyelenggara JPKM
(Bapel). Sedangkan yang dimaksud dengan Satuan Biaya (Unit Cost) adalah harga
rata-rata pelayanan kesehatan perkapita (disebut juga Satuan Biaya Kapitasi) yang
disepakati kedua belah pihak (PPK dan Lembaga) untuk diberlakukan dalam jangka
waktu tertentu.
Dua hal pokok yang harus diperhatikan dalam menentukan kapitasi adalah
akurasi prediksi angka utilisasi (penggunaan pelayanan kesehatan) dan penetapan
biaya satuan. Besaran angka kapitasi ini sangat dipengaruhi oleh angka utilisasi
pelayanan kesehatan dan jenis paket (benefit) asuransi kesehatan yang ditawarkan
serta biaya satuan pelayanan.
Kapitasi = Angka utilisasi x Biaya satuan/unit cost
Angka utilisasi dapat diketahui dari berbagai laporan yang ada, umpamanya Susenas,
atau dari Dinas Kesehatan setempat.
Angka utilisasi dipengaruhi oleh:
1. Karakteristik Populasi
2. Sifat Sistem Pelayanan
3. Manfaat yang Ditawarkan

4. Kebijakan Asuransi
Utilisasi adalah tingkat pemanfaatan fasilitas pelayanan yang dimiliki sebuah
klinik/praktik. Angkanya dinyatakan dalam persen (prosentase). Utilisasi merupakan
jumlah kujungan per 100 orang di populasi tertentu (jumlah kunjungan/total populasi
x 100%). Utilisasi dapat memberikan gambaran tentang kualitas pelayanan dan risiko
suatu populasi (angka kesakitan). Apabila utilisasi tinggi berarti menunjukkan
kualitas pelayanan buruk atau derajat kesehatan peserta buruk. Unit Cost adalah biaya
rata-rata untuk setiap jenis pelayanan rata-rata pada kurun waktu tertentu. Unit Cost
hanya dapat dihitung bila administrasi keuangan rapi (sistematis), sehingga dapat
melihat pemasukan untuk setiap jenis pelayanan. Unit cost merupakan jumlah
pendapatan untuk setiap jenis pelayanan/jumlah kunjungan untuk pelayanan tersebut.
Unit cost identik dengan tarif atau harga jual (harga pokok ditambah margin) dapat
memberikan gambaran tentang efisiensi pelayanan dan risiko biaya suatu populasi
(beban biaya). Angka unit cost yang tinggi menunjukkan pelayanan tidak efisien atau
populasi memiliki risiko biaya tinggi (banyak penyakit degeneratif). Hal ini penting
untuk menghitung tarif atau kapitasi dan untuk mengontrol biaya dan ketaatan tim
terhadap SOP yang telah disepakati.
Satuan biaya kapitasi ditetapkan berdasarkan perkiraan besarnya resiko
gangguan kesehatan yang memerlukan pelayanan kesehatan di kalangan anggota
lembaga pendanaan kesehatan tersebut dalam waktu tertentu.

Faktor-faktor yang menentukan satuan biaya kapitasi:
1. Bentuk-bentuk gangguan/masalah kesehatan yang umumnya dialami anggota
beserta prevalensisnya.
2. Jenis-jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan untuk mengatasi gangguan
kesehatan tersebut beserta tarifnya.
3. Tingkat penggunaan pelayanan kesehatan oleh anggota
Dari setiap pelayanan kesehatan, dihitung angka/biaya kapitasi dengan
mengalikan angka utilisasi tersebut dengan satuan biaya riil (real cost). Jumlah dari
semua angka kapitasi yang didapat menjadi angka kapitasi rata-rata per peserta per
bulan. Secara umum rumus penghitungan kapitasi adalah sebagai berikut :
Angka kapitasi = angka utilisasi tahunan x biaya satuan : 12 bulan = biaya per
anggota per bulan (PAPB).
Contoh penetapan angka utilisasi dan angka kapitasi :
Dari laporan pemanfaatan pelayanan kesehatan tahun yang lalu (experienced rate)
dapat diketahui jumlah kunjungan rawat jalan peserta asuransi kesehatan ke PPK
tingkat I sebanyak 12.443 kunjungan. Jumlah peserta 10.000 orang. Biaya dokter dan
obat per kunjungan rata-rata Rp. 15.000,- (jasa dokter Rp.5.000,- dan biaya obat ratarata Rp. 10.000,-). Maka berdasarkan rumus diatas, maka angka kapitasi per anggota
per bulan (PAPB), adalah sebagai berikut :
PAPB = [( 12433 / Rp. 10.000 ) x Rp. 15.000] : 12 bulan = Rp. 1554,12
Pembayaran untuk Penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK) dihitung berdasarkan atas
perhitungan biaya per kepala (per kapita) untuk pelayanan yang harus diberikan bagi

setiap peserta dalam jangka waktu tertentu (biaya pelayanan kapitasi). Besarnya tarif
pelayanan kesehatan disini merupakan hasil kesepakatan antara Bapel JPKM dengan
PPK yang bersangkut.
Perhitungan pembayaran kapitasi yaitu : jumlah peserta dan keluarganya yang
terdaftar sebagai peserta dikalikan dengan besarnya angka kapitasi untuk jenis
pelayanan kesehatan yang diinginkan.
Pembayaran kapitasi = jumlah peserta x angka kapitasi
Contoh perhitungan pembayaran kapitasi :
Jumlah peserta 3000 orang dan biaya kapitasi rawat jalan TK I Rp. 1.569,94
Pembayaran kapitasi lewat jalan TK 1 adalah sebagai berikut
Pembayaran kapitasi = 3000 x Rp. 1.569,94 = Rp. 4.709,820/bulan.
Manfaat system Kapitasi :
1. Ada jaminan tersedianya anggaran untuk pelayanan kesehatan yang akan
diberikan
2. Ada dorongan untuk merangsang perencanaan yang baik dalam pelayanan
kesehatan, sehingga dapat dilakukan :
• Pengendalian biaya pelayanan kesehatan per anggota
• Pengendalian tingkat penggunaan pelayanan kesehatan
• Efisiensi biaya dengan penyerasian upaya promotif-preventif dengan kuratif-

rehabilitatif
• Rangsangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu,

efektif & efisien

• Peningkatan pendapatan untuk PPK yang bermutu
• Peningkatan kepuasan anggota yang akan menjamin tersedianya kesehatan

masyarakat
Mengingat kondisi geografis Indonesia, tidak semua Fasilitas Kesehatan dapat
dijangkau dengan mudah. Maka, jika di suatu daerah tidak memungkinkan
pembayaran berdasarkan kapitasi, BPJS Kesehatan diberi wewenang untuk
melakukan pembayaran dengan mekanisme lain yang lebih berhasil guna.
Semua fasilitas kesehatan meskipun tidak menjalin kerja sama dengan BPJS
Kesehatan wajib melayani pasien dalam keadaan gawat darurat, setelah keadaan
gawat daruratnya teratasi dan pasien dapat dipindahkan, maka fasilitas kesehatan
tersebut wajib merujuk ke fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS
Kesehatan.
BPJS Kesehatan akan membayar kepada fasilitas kesehatan yang tidak
menjalin kerjasama setelah memberikan pelayanan gawat darurat setara dengan tarif
yang berlaku di wilayah tersebut.
2.2.4.5. Pertanggungjawaban BPJS Kesehatan
BPJS Kesehatan wajib membayar Fasilitas Kesehatan atas pelayanan yang
diberikan kepada Peserta paling lambat 15 (lima belas) hari sejak dokumen klaim
diterima lengkap. Besaran pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan ditentukan
berdasarkan kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan asosiasi Fasilitas Kesehatan di
wilayah tersebut dengan mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan. Dalam hal tidak ada kesepakatan atas besaran pembayaran, Menteri

Kesehatan memutuskan besaran pembayaran atas program JKN yang diberikan.
Asosiasi Fasilitas Kesehatan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Dalam JKN, peserta dapat meminta manfaat tambahan berupa manfaat yang
bersifat non medis berupa akomodasi. Misalnya: Peserta yang menginginkan kelas
perawatan yang lebih tinggi daripada haknya, dapat meningkatkan haknya dengan
mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya
yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan
kelas perawatan, yang disebut dengan iur biaya (additional charge). Ketentuan
tersebut tidak berlaku bagi peserta PBI.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya, BPJS
Kesehatan wajib menyampaikan pertanggungjawaban dalam bentuk laporan
pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan (periode 1 Januari sampai
dengan 31 Desember). Laporan yang telah diaudit oleh akuntan publik dikirimkan
kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN paling lambat tanggal 30 Juni tahun
berikutnya.
Laporan tersebut dipublikasikan dalam bentuk ringkasan eksekutif melalui
media massa elektronik dan melalui paling sedikit 2 (dua) media massa cetak yang
memiliki peredaran luas secara nasional, paling lambat tanggal 31 Juli tahun
berikutnya.

2.2.5. Pelayanan
2.2.5.1. Jenis Pelayanan
Ada 2 (dua) jenis pelayanan yang akan diperoleh oleh Peserta JKN, yaitu
berupa pelayanan kesehatan (manfaat medis) serta akomodasi dan ambulans (manfaat
non medis). Ambulans hanya diberikan untuk pasien rujukan dari fasilitas kesehatan
dengan kondisi tertentu yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan.
Pelayanan kesehatan tingkat pertama, meliputi pelayanan kesehatan non
spesialistik yang mencakup :
a. Administrasi pelayanan;
b. Pelayanan promotif dan preventif;
c. Pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis;
d. Tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non operatif;
e. Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai;
f. Transfusi darah sesuai dengan kebutuhan medis;
g. Pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pertama; dan
h. Rawat inap tingkat pertama dengan indikasi medis
2.2.5.2. Prosedur Pelayanan
Peserta yang memerlukan pelayanan kesehatan pertama-tama harus
memperoleh pelayanan kesehatan pada Fasilitas Kesehatan tingkat pertama tempat
peserta terdaftar, kecuali berada di luar wilayah fasilitas kesehatan tingkat pertama
tempat peserta terdaftar; atau dalam keadaan kegawatdaruratan medis.

2.2.5.3. Kompensasi Pelayanan
Bila di suatu daerah belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi
syarat guna memenuhi kebutuhan medis sejumlah peserta, BPJS Kesehatan wajib
memberikan kompensasi, yang dapat berupa: penggantian uang tunai, pengiriman
tenaga kesehatan atau penyediaan fasilitas kesehatan tertentu. Penggantian uang tunai
hanya digunakan untuk biaya pelayanan kesehatan dan transportasi.
2.2.5.4. Persyaratan Fasilitas Kesehatan dengan BPJS Kesehatan
Untuk dapat melakukan kerja sama dengan BPJS Kesehatan, fasilitas
kesehatan harus memenuhi persyaratan. Persyaratan yang harus dipenuhi bagi
Fasilitas Kesehatan tingkat pertama terdiri atas:
a. Praktik Dokter atau Dokter Gigi harus memiliki:
1. Surat Ijin Praktik;
2. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
3. perjanjian kerja sama dengan laboratorium, apotek, dan jejaring lainnya; dan
4. surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan Jaminan
Kesehatan Nasional.
b. Puskesmas atau yang setara harus memiliki:
1. Surat Ijin Operasional;
2. Surat Ijin Praktik (SIP) bagi dokter/dokter gigi, Surat Ijin Praktik Apoteker
(SIPA) bagi Apoteker, dan Surat Ijin Praktik atau Surat Ijin Kerja (SIP/SIK)
bagi tenaga kesehatan lain;
3. Perjanjian kerjasama dengan jejaring, jika diperlukan; dan

4. surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan Jaminan
Kesehatan Nasional.
c. Klinik Pratama atau yang setara harus memiliki:
1. Surat Ijin Operasional;
2. Surat Ijin Praktik (SIP) bagi dokter/dokter gigi dan Surat Ijin Praktik atau Surat
Ijin Kerja (SIP/SIK) bagi tenaga kesehatan lain;
3. Surat Ijin Praktik Apoteker (SIPA) bagi Apoteker dalam hal klinik
menyelenggarakan pelayanan kefarmasian;
4. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) badan;
5. Perjanjian kerja sama dengan jejaring, jika diperlukan; dan
6. Surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan Jaminan
Kesehatan Nasional.
d. Rumah Sakit Kelas D Pratama atau yang setara harus memiliki :
1. Surat Ijin Operasional;
2. Surat Ijin Praktik (SIP) tenaga kesehatan yang berpraktik;
3. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) badan;
4. Perjanjian kerja sama dengan jejaring, jika diperlukan; dan
5. Surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan Jaminan
Kesehatan Nasional.
Selain persyaratan di atas, Fasilitas Kesehatan tingkat pertama juga harus
telah terakreditasi.

Persyaratan yang harus dipenuhi bagi Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat
lanjutan terdiri atas:
a. Klinik Utama atau yang setara harus memiliki:
1. Surat Ijin Operasional;
2. Surat Ijin Praktik (SIP) tenaga kesehatan yang berpraktik;
3. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) badan;
4. Perjanjian kerja sama dengan laboratorium, radiologi, dan jejaring lain jika
diperlukan; dan
5. Surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan Jaminan
Kesehatan Nasional.
b. Rumah Sakit harus memiliki:
1. Surat Ijin Operasional;
2. Surat Penetapan Kelas Rumah Sakit;
3. Surat Ijin Praktik (SIP) tenaga kesehatan yang berpraktik;
4. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) badan;
5. Perjanjian kerja sama dengan jejaring, jika diperlukan;
6. Sertifikat akreditasi; dan
7. Surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan Jaminan
Kesehatan Nasional.
Dalam hal di suatu kecamatan tidak terdapat dokter berdasarkan penetapan
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat, BPJS Kesehatan dapat bekerja
sama dengan praktik bidan dan/atau praktik perawat untuk memberikan Pelayanan

Kesehatan Tingkat Pertama sesuai dengan kewenangan yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan.
Dalam rangka pemberian pelayanan kebidanan di suatu wilayah tertentu,
BPJS Kesehatan dapat bekerja sama dengan praktik bidan. Persyaratan bagi praktik
bidan dan/atau praktik perawat terdiri atas:
a. Surat Ijin Praktik (SIP);
b. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
c. Perjanjian kerja sama dengan dokter atau puskesmas pembinanya; dan
d. Surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan Jaminan
Kesehatan Nasional.
Dalam menetapkan pilihan Fasilitas Kesehatan, BPJS Kesehatan melakukan
seleksi dan kredensialing dengan menggunakan kriteria teknis yang meliputi:
a. Sumber daya manusia;
b. Kelengkapan sarana dan prasarana;
c. Lingkup pelayanan; dan
d. Komitmen pelayanan.
Kriteria teknis sebagaimana dimaksud di atas, digunakan untuk penetapan
kerja sama dengan BPJS Kesehatan, jenis dan luasnya pelayanan, besaran kapitasi,
dan jumlah Peserta yang bisa dilayani. BPJS Kesehatan dalam menetapkan kriteria
teknis,berpedoman pada peraturan menteri.
Perpanjangan kerja sama antara Fasilitas Kesehatan dengan BPJS Kesehatan
setelah dilakukan rekredensialing. Rekredensialing dilakukan dengan menggunakan

kriteria teknis dan penilaian kinerja yang disepakati bersama. Rekredensialing
dilakukan paling lambat (tiga) bulan sebelum masa perjanjian kerja sama berakhir.
Fasilitas kesehatan dapat mengajukan keberatan terhadap hasil kredensialing
dan rekredensialing yang dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan kepada dinas kesehatan
kabupaten/kota. dalam menindaklanjuti keberatan yang diajukan oleh Fasilitas
Kesehatan, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat membentuk tim
penyelesaian keberatan. Tim ini terdiri dari unsur dinas kesehatan dan asosiasi
fasilitas kesehatan.
2.2.5.5. Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan
Penyelenggara pelayanan kesehatan meliputi semua fasilitas kesehatan yang
menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan baik fasilitas kesehatan milik
pemerintah, pemerintah daerah, dan swasta yang memenuhi persyaratan melalui
proses kredensialing dan rekredensialing.

2.3. Konsep Puskesmas
2.3.1. Pengertian Puskesmas
Menurut Departemen Kesehatan RI (2004), Puskesmas adalah unit pelaksana
teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan
pembangunan kesehatan di suatu wilayah kesehatan.
a. Unit Pelaksana Teknis
Sebagai Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan kabupaten / kota (UPTD),
Puskesmas berperan menyelenggarakan sebagian dari tugas teknis operasional dinas

kesehatan kabupaten/kota dan merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta ujung
tombak pembangunan kesehatan di Indonesia.
b. Pembangunan Kesehatan
Pembangunan kesehatan adalah penyelenggaraan upaya kesehatan oleh
Bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap orang, agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
c. Pertanggungjawaban Penyelenggaraan
Penanggung jawab utama penyelenggaraan seluruh upaya pembangunan
kesehatan di wilayah kabupaten/kota adalah dinas kesehatan kabupaten / kota,
sedangkan Puskesmas bertanggung jawab hanya untuk sebagian upaya pembangunan
kesehatan yang dibebankan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota sesuai dengan
kemampuannya.
d. Wilayah Kerja
Secara nasional standar wilayah kerja Puskesmas adalah satu kecamatan,
tetapi apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari satu Puskesmas, maka tanggung
jawab wilayah kerja dibagi antar Puskesmas, dengan memperhatikan keutuhan
konsep wilayah (desa/kelurahan atau RW). Masing-masing Puskesmas tersebut secara
operasional bertanggung jawab langsung kepada Dinas Kesehatan kabupaten/kota.
2.3.2. Visi dan Misi Puskesmas
Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas adalah
tercapainya Kecamatan Sehat. Kecamatan Sehat adalah gambaran masyarakat
kecamatan masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan, yakni

masyarakat yang hidup dalam lingkungan dan dengan perilaku sehat, memiliki
kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan
merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Indikator
Kecamatan Sehat yang ingin dicapai mencakup 4 indikator utama, yakni: 1)
lingkungan sehat; 2) perilaku sehat; 3) cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu;
4) derajat kesehatan penduduk kecamatan
Misi Puskesmas adalah:
a.

Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya.
Puskesmas

akan

selalu

menggerakan

pembangunan

sektor

lain

yang

diselenggarakan di wilayah kerjanya, agar memperhatikan aspek kesehatan yaitu
pembangunan yang tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan,
setidak-tidaknya terhadap lingkungan dan perilaku masyarakat.
b.

Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di wilayah
kerjanya.
Puskesmas akan selalu berupaya agar setiap keluarga dan masyarakat yang
bertempat tinggal di wilayah kerjanya makin berdaya di bidang kesehatan,
melalui peningkatan pengetahuan dan kemampuan menuju kemandirian untuk
hidup sehat.

c.

Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan
kesehatan yang

diselenggarakan

Puskesmas

akan

selalu

berupaya

menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar dan
memuaskan masyarakat, mengupayakan pemerataan pelayanan kesehatan serta

meningkatkan efisiensi pengelolaan dana sehingga dapat dijangkau oleh seluruh
anggota masyarakat.
d.

Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat
beserta lingkungannya.
Puskesmas akan selalu berupaya memelihara dan meningkatkan kesehatan,
mencegah

dan

menyembuhkan

penyakit,

serta

memulihkan

kesehatan

perorangan, keluarga dan masyarakat yang berkunjung dan yang bertempat
tinggal di wilayah kerjanya, tanpa diskriminasi dan dengan menerapkan
kemajuan ilmu dan teknologi kesehatan yang sesuai. Upaya pemeliharaan dan
peningkatan yang dilakukan Puskesmas mencakup pula aspek lingkungan dari
yang bersangkutan.
2.3.3. Tujuan Puskesmas
Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas adalah
mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional yakni meningkatkan
kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang bertempat
tinggal di wilayah kerja Puskesmas agar terwujud derajat kesehatan yang setinggitingginya.
2.3.4. Fungsi Puskesmas
2.3.4.1. Pusat Penggerak Pembangunan Berwawasan Kesehatan
Puskesmas selalu berupaya menggerakkan dan memantau penyelenggaraan
pembangunan lintas sektor termasuk oleh masyarakat dan dunia usaha di wilayah
kerjanya, sehingga berwawasan serta mendukung pembangunan kesehatan. Di

samping itu aktif memantau dan melaporkan dampak kesehatan dari penyelenggaraan
setiap pembangunan di wilayah kerjanya.
Khusus untuk pembangunan kesehatan, upaya yang dilakukan Puskesmas
adalah mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit tanpa
mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.
2.3.4.2. Pusat Pemberdayaan Masyarakat
Puskesmas selalu berupaya agar perorangan terutama pemuka masyarakat,
keluarga dan masyarakat termasuk dunia usaha memiliki kesadaran, kemauan dan
kemampuan melayani diri sendiri dan masyarakat untuk hidup sehat, berperan aktif
dalam memperjuangkan kepentingan kesehatan termasuk sumber pembiayaannya,
serta ikut menetapkan, menyelenggarakan dan memantau pelaksanaan program
kesehatan. Pemberdayaan perorangan, keluarga dan masyarakat ini diselenggarakan
dengan memperhatikan kondisi dan situasi, khususnya sosial budaya masyarakat
setempat.
2.3.4.3. Pusat Strata Pelayanan Kesehatan Strata Pertama
Puskesmas bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan
tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu danberkesinambungan. Pelayanan
kesehatan tingkat pertama yang menjadi tanggung jawab Puskesmas meliputi:
1. Pelayan Kesehatan Perorangan
Pelayanan kesehatan perorangan adalah pelayanan yang bersifat pribadi
dengan tujuan utama menyembuhkan penyakit dan pemulihan kesehatan perorangan,
tanpa mengabaikan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit. Pelayanan

perorangan tersebut adalah rawat jalan dan untuk Puskesmas tertentu di tambahkan
dengan rawat inap.
2. Pelayanan Kesehatan Masyarakat
Pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan yang bersifat publik
dengan tujuan utama memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah
penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.
Pelayanan

kesehatan

masyarakat

tersebut

antara

lain

promosi

kesehatan,

pemberantasan penyakit, penyehatan lingkungan, perbaikan gizi, peningkatan
kesehatan keluarga, keluarga berencana, kesehatan jiwa masyarakat serta berbagai
program kesehatan masyarakat lainnya.
2.3.5. Struktur Organisasi Puskesmas
Menurut keputusan menteri kesehatan RI nomor 128 tahun 2004, struktur
organisasi Puskesmas tergantung dari kegiatan dan beban tugas masing-masing
Puskesmas. Penyusunan struktur organisasi Puskesmas di satu kabupaten/kota
dilakukan oleh Dinas Kesehatan kabupaten/kota, sedangkan penetapannya dilakukan
dengan peraturan daerah. Sebagai acuan dapat dipergunakan pola struktur organisasi
Puskesmas sebagai berikut :
1. Kepala Puskesmas
2. Unit tata usaha yang bertanggung jawab membantu kepala Puskesmas dalam
pengelolaan: data dan informasi, perencanaan dan penilaian, keuangan serta umum
dan kepegawaian
3. Unit pelaksana teknis fungsional Puskesmas:

a. Upaya kesehatan masyarakat, termasuk pembinaan Upaya Kesehatan Berbasis
Masyarakat (UKBM)
b. Upaya kesehatan perorangan.
4. Jaringan pelayanan Puskesmas yaitu: Puskesmas pembantu, Pos Kesehatan Desa
(Poskesdes), Puskesmas keliling dan bidan di desa/komunitas.

2.4. Landasan Teori
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesiapan Puskesmas terhadap
implementasi kebijakan JKN di Kabupaten Deli Serdang. Untuk menganalisa faktorfaktor yang memengaruhi implementasi kebijakan dari segi kepatuhan para
implementer dalam menjalankan kebijakan ini peneliti memilih menggunakan model
Edwards dengan 4 faktor yang memengaruhi proses implementasi teori ini lebih
mudah untuk tersebut yaitu: 1) komunikasi; 2) sumber daya; 3) disposisi dan 4)
struktur birokrasi dengan pertimbangan teori ini lebih mudah untuk diterapkan dalam
penelitian ini.
Untuk melihat keberhasian implementasi dari perspektif kelompok sasaran
(out put) maka peneliti melengkapi dengan pertanyaan yang terdiri dari pengadaan
layanan dan sistem informasi (WHO 2011).

2.5. Kerangka Pikir
Gambaran:
1.
2.
3.
4.

Komunikasi
Sumber daya
Disposisi
Struktur Birokrasi

Pengadaan
layanan
Kesehatan
Program JKN

Gambar 2.1. Kerangka Pikir Penelitian
Kerangka pikir penelitian difokuskan untuk melihat gambaran komunikasi,
sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi dalam penyiapan penyelenggaran JKN
yang akan menentukan kondisi pengadaan layanan kesehatan program JKN.