Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat di Kota Medan

117

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu
Nurhuda (2009) melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Gaya
Kepemimpinan Fasilitator Kelurahan Terhadap Kinerja BKM dalam Pelaksanaan
PNPM Mandiri Perkotaan. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Syahmad
Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang. Kesimpulan yang diperoleh
adalah bahwa gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh fasilitator kelurahan
tergolong baik dan begitu pula dengan kinerja dari BKM dalam pelaksanaan PNPM
Mandiri Perkotaan. Selain itu, hipotesis yang terdapat dalam penelitian ini yaitu,
”Ada pengaruh antara gaya kepemimpinan fasilitator kelurahan terhadap kinerja
BKM dalam pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan” dapat diterima atau sesuai
dengan kenyataan, dimana hubungan yang terjadi antara variabel gaya kepemimpinan
fasilitator kelurahan dengan variabel kinerja BKM adalah termasuk dalam kategori
tinggi. Hal ini berarti bahwa koefisien korelasi antara variabel gaya kepemimpinan
fasilitator kelurahan dengan variabel kinerja BKM tergolong dalam kategori tinggi
dan merupakan hubungan yang positif. Adapun pengaruh yang ditimbulkan oleh gaya
kepemimpinan fasilitator kelurahan terhadap kinerja BKM dalam pelaksanaan PNPM

Mandiri di Kelurahan Syahmad adalah sebesar 46%.

117
Universitas Sumatera Utara

118

Gustina (2008) melakukan penelitian dengan judul Implementasi Program
Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan di Kecamatan Medan Maimun. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas implementasi P2KP terhadap penurunan
jumlah keluarga miskin dan daerah penerima program tersebut, mengetahui manfaat
dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan P2KP di Kecamatan Medan Maimun.
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah dapat lebih mengembangkan
kemampuan berfikir dalam menganalisis fenomena-fenomena yang terjadi dalam
lingkup penanggulangan kemiskinan melalui penerapan teori-teori yang diperoleh
selama kuliah. Metode yang digunakan adalah bentuk penelitian explanatory dengan
menggunakan teknik analisis data kuantitatif, yang menggunakan perhitungan
statistik yaitu koefisien korelasi product moment dan koefisien determinasi.
Berdasarkan hasil analisis data diperoleh koefisien korelasi product moment (r)
bernilai 0,20092 dimana nilai r tabel untuk n= 164 yaitu 0,148. Sehingga dengan

ketentuan r xy > r tabel maka hipotesis alternatif diterima atau melalui perhitungan
koefisien

determinasi

diperoleh

bahwa

efektivitas

implementasi

program

penanggulangan kemiskinan perkotaan (p2kp) terhadap penurunan jumlah keluarga
miskin di kecamatan medan maimun memiliki tingkat efektivitas yang rendah hanya
sebesar 4,0368%. Dimana hubungan ini diperoleh berdasarkan indikator-indikator
yang diolah meliputi efektivitas, pengembangan masyarakat, pengembangan
ekonomi, perlindungan lingkungan dan kemiskinan, serta faktor-faktor lain yang

tidak termasuk dalam penelitian ini.

118
Universitas Sumatera Utara

119

Fatma (2007) melakukan penelitian dengan judul Upaya Peningkatan
Partisipasi Masyarakat Dalam Mendukung Keberlangsungan Kegiatan Pembangunan
Fisik Dari Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) (Studi Kasus:
Kelurahan Situsaeur Dan Kelurahan Sukahaji, Kota Bandung). Hasil analisis
menunjukkan bahwa variabel penyebab rendahnya tingkat partisipasi masyarakat di
kedua kelurahan adalah karena bentuk partisipasi dari masyarakat adalah partisipasi
terbujuk, tidak langsung dan partisipasi yang dimanipulasi; pelaksanaan kegiatan fisik
lebih difokuskan pada hasil daripada prosesnya; SDM dalam kelembagaan masih
buruk; pengawasan dan pemantauan yang kurang dari fasilitator serta keterlibatan
wanita yang sangat rendah. Oleh karena itu, studi ini menyimpulkan bahwa upaya
yang dapat dilakukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat adalah dengan
sosialiasi yang mendalam dan meluas; menempatkan masyarakat sebagai pelaku
utama kegiatan; pengambilan keputusan mengikusertakan masyarakat dari RTkelurahan; pelaksanaan proyek tetap mengutamakan proses disamping hasil;

menerapkan prinsip adil dalam pemberian bantuan; meningkatkan peran serta wanita;
pendampingan yang intensif; menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas
dalam pengeluaran dana; adanya variable-variabel dari masyarakat dan periode
proyek P2KP yang diperpanjang atau lebih dari 2 tahun.
Herlina (2005) melakukan penelitian dengan judul Partisipasi Masyarakat
Sebagai Salah Satu Determinan Dalam Pembangunan Desa/Kelurahan (Di Kelurahan
Pelaihari Kecamatan Pelaihari Kabupaten Tanah Laut). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa proses partisipasi masyarakat sangat mendukung keberhasilan program
119
Universitas Sumatera Utara

120

pembangunan, disamping peranan LKMD sebagai wadah partisipasi masyarakat dan
peranan aparat pemerintah. Berdasarkan perhitungan yang didapat melalui rumus
koefisien korelasi spearman maka hasilnya adalah sebagai berikut:
a. Korelasi antara variabel partisipasi masyarakat (X) dengan variabel program
pembangunan desa/kelurahan (Y) hasilnya menunjukkan nilai 0,50. Nilai ini
menggambarkan arah hubungan yang positif dan bertaraf nyata atau benar,
sehingga nilai ini termasuk dalam kategori cukup sebagaimana pendapat

Guilford dan Sutrisno Hadi.
b. Hasil pengujian hipotesis penelitian diterima dengan arah hubungan adalah
signifikan. Dengan demikian maka nilai tersebut menunjukkan besarnya
hubungan

pengaruh

antara

partisipasi

masyarakat

dengan

program

pembangunan desa di Kelurahan.Pelaihari Kecamatan pelaihari Kabupaten
Tanah Laut.
Sinaga (2004) dengan judul penelitian adalah Pengaruh Proyek Pemberdayaan

Kecamatan Terpadu (P2KT) Terhadap Pembangunan Desa Di Kecamatan Dolok
Pangaribuan Kabupaten Simalungun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat
partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan/evaluasi
adaiah relatif tinggi, dengan Koefisien Partisipasi Masyarakat (KPM) sebesar
3,06. Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi yang
signifikan antara pimpinan desa dengan warga desa tentang manfaat P2KT untuk
peningkatan produksi, sedangkan manfaat untuk sarana perhubungan, usaha
ekonomi desa, kesempatan kerja, kesehatan, dan pembinaan pemuda tidak
120
Universitas Sumatera Utara

121

ditemukan perbedaan yang signifikan. Hasil uji t-matched pair yang dilakukan
terhadap pendapatan rata-rata rumah tangga masyarakat menunjukkan terdapat
perbedaan yang signifikan sebelum dan setelah.

2.2. Landasan Teori
2.2.1. Teori Tentang Motivasi Kerja
2.2.1.1. Pengertian Motivasi Kerja

Dalam upaya pemberian batasan konsep motivasi kerja, Winardi
(2001:1) mengemukakan bahwa: "Istilah motivasi (motivation) berasal dari bahasa
latin, yaitu movere, yang berarti "menggerakkan". (to move)." Fathoni (2006:81)
mengemukakan, bahwa: "...pengertian motivasi dapat dikatakan suatu keadaan
yang menggerakkan atau mengarahkan seseorang untuk melaksanakan suatu
tindakan tertentu".
Motivasi mempersoalkan bagaimana caranya mengarahkan daya potensi
bawahan agar mau bekerja secara produktif berhasil mencapai dan mewujudkan
tujuan yang telah ditentukan. Motivasi kerja terdiri dari dua kata yaitu motivasi dan
kerja. Menurut Hasibuan (2003:95), motivasi berasal dari kata dasar motif, yang
mempunyai arti suatu perangsang, keinginan dan daya penggerak kemauan bekerja
seseorang. Motivasi adalah pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan
kerja seseorang agar pegawai mau bekerjasama dengan efektif dan terintegrasi
dengan segala daya upayanya untuk mencapai kepuasan.

121
Universitas Sumatera Utara

122


Sedangkan menurut Robbins (2001:166), motivasi adalah kesediaan untuk
mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi yang dikondisikan
oleh kemampuan upaya itu dalam memenuhi beberapa kebutuhan individual.
Kebutuhan terjadi apabila tidak ada keseimbangan antara apa yang dimiliki dan apa
yang diharapkan. Dorongan merupakan kekuatan mental yang berorientasi pada
pemenuhan harapan dan pencapaian tujuan. Dan tujuan adalah sasaran atau hal yang
ingin dicapai oleh seseorang individu.
Robbins dan Coulter (Winardi, 2001:1-2) mengemukakan pengertian
motivasi pengurus (employee motivation) sebagai: "Kesediaan untuk melaksanakan
upaya tinggi untuk mencapai tujuan-tujuan keorganisasian, yang dikoordinasikan
oleh kemampuan upaya, untuk memenuhi kebutlihan individual tertentu."
Schermerhom Jr. et al. (dalam Winardi, 2001:2) mengemukakan, bahwa:
"...motivasi untuk bekerja, merupakan sebuah istilah yang digunakan dalam bidang
perilaku keorganisasian (Organizational Behavior = OB), guna menerangkan
kekuatan-kekuatan yang terdapat pada diri seorang individu, yang menjadi
penyebab timbulnya tingkat, arch, dan persistensi upaya yang dilaksanakan dalam
hal bekerja."
Mangkunegara (2006:61) mengemukakan, bahwa: "Motivasi merupakan
kondisi atau energi yang menggerakkan diri pengurus yang terarah atau tertuju
amok mencapai tujuan organisasi instansi." Robbins (2001:213) mendefinisikan

motivasi sebagai "proses yang ikut menentukan intensitas, arah, dan ketentuan
individu dalam usaha mencapai sasaran."
122
Universitas Sumatera Utara

123

Beredoom dan Stainer (dalam Fathoni, 2006:81) mengemukakan, bahwa:
"

Motivasi adalah kondisi mental yang mendorong aktivitas dan memberi energi

yang mengarah kepada pencapaian kebutuhan, memberi kepuasan ataupun
mengurangi ketidakseimbangan."
Hal senada disampaikan Gray et al. (Winardi, 2001:2) yang mengemukakan, bahwa: "...motivasi merupakan hasil sejumlah proses yang bersifat
internal atau eksternal bagi seorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap
entusiasme dan persistensi dalam hal melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu."
Dari pendapat-pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan, bahwa
motivasi adalah kemauan yang mendorong seseorang untuk berusaha melakukan
sesuatu dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Kemauan terbentuk karena

usahanya untuk memenuhi kebutuhannya/keinginan pribadinya. Karena perbedaan
kebutuhan antara individu yang sate dengan yang lainnya, maka motivasi dasar
yang dimiliki oleh pengurus akan berbeda satu dengan yang lainnya, akan tetapi
faktor lingkungan mempunyai pengaruh.
Motivasi dapat dipandang sebagai hasil interaksi antara individu dengan
1ingkungannya. Dapat diasumsikan, bahwa motivasi antar individu akan berbeda,
demikian pula bahwa motivasi seseorang akan berbeda pada saat atau situasi yang
berbeda. Kesimpulannya ialah, bahwa motivasi dapat dipengaruhi untuk
dikembangkan atau sebaliknya.

123
Universitas Sumatera Utara

124

Maslow mengemukakan hasil-hasil pemikirannya mengenai motivasi kerja
manusia dalam bukunya “Motivation and Personality”. Menurutnya seseorang
bekerja atau berperilaku karena adanya dorongan untuk memenuhi bermacam-macam
kebutuhannya, dan kebutuhan manusia itu memiliki tingkatan atau hirarki.
Selanjutnya dikelompokkan semua kebutuhan manusia dalam lima tingkatan atau

yang biasa disebut dengan Hirarki Kebutuhan Maslow, yaitu:
1. Kebutuhan fisiologis, seperti pangan, sandang, dan papan.
2. Kebutuhan keamanan, tidak hanya dalam arti fisik, akan tetapi juga
mental, dan psikologis, termasuk di dalamnya terbebas dari ancaman fisik
dan kehilangan pekerjaan.
3. Kebutuhan sosial, yaitu kebutuhan akan pergaulan dan diterima dalam
lingkungan sosialnya, kasih sayang dan afiliasi yaitu hasrat untuk
mendapatkan hubungan antar pribadi yang ramah dan akrab.
4. Kebutuhan akan penghargaan dan prestise yang pada umumnya tercermin
dalam berbagai simbol-simbol status.
5. Aktualisasi diri dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk
mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah
menjadi kemampuan nyata (Siagian, 2000).
Menurut Maslow, kelima kategori tersebut saling berkaitan dalam bentuk
hirarki yang teratur, dimana satu kategori kebutuhan hanya menjadi aktif apabila
tingkat kebutuhan yang lebih rendah telah terpenuhi. Ada banyak kebutuhan, namun
kebutuhan yang belum terpenuhi yang akan mempengaruhi perilaku seseorang.
124
Universitas Sumatera Utara

125

Tingkat terendah dalam hirarki adalah tingkat kebutuhan fisiologis dan yang tertinggi
adalah aktualisasi atau perwujudan diri.
Sejalan dengan berkembangnya dunia bisnis dan semakin berkembangnya
kehidupan organisasional, maka teori klasik Maslow di atas semakin berkembang
atau disempurnakan karena semakin berkembang dan bervariasi pula hirarki
kebutuhan manusia yang pada awalnya hirarki kebutuhan tersebut diklasifikasikan
atas dua tingkat kebutuhan yaitu kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder.
Selanjutnya teori motivasi Maslow ini dikembangkan dan dilengkapi oleh Maslow
dan Lowery. Kemudian dikembangkan kebutuhan akan aktualisasi diri, yaitu
tingkatan yang kelima ke dalam empat tingkatan kebutuhan yang berbeda yaitu:
a. Cognititive,

yaitu

kebutuhan

untuk mengetahui, memahami

dan

menyelusuri.
b. Aesthetic,

yaitu

kebutuhan

akan

keseimbangan,

keteraturan

dan

keindahan.
c. Self actualization, yaitu kebutuhan untuk diakui aspirasi dan harapannya
serta menyadari potensi diri.
d. Self-transcendence, yaitu kebutuhan yang berhubungan dengan sesuatu
yang melebihi egonya atau keinginan menolong orang lain memenuhi
aspirasi dan harapannya menyadari potensi dirinya (Huitt, 2004).

125
Universitas Sumatera Utara

126

Hirarki kebutuhan Maslow dan Lowery dalam Huitt (2004) digambarkan pada
Gambar 2.1.

Maslow’s
Hierarchy Of Needs
Transcendence
Self-Actualization

Aesthetic Needs
Need to Know & Understand

Esteern Needs
Belongingness & Love Needs
Safety Needs
Physiological Needs

Sumber : http://www.ifla.org/IV/ifla61/61.kaye.htm

Gambar 2.1. Hirarki Kebutuhan Teori Maslow
2.2.1.2. Tujuan Pemberian Motivasi Kerja
Pemberian motivasi kepada pengurus bertujuan untuk kemajuan diri
pribadi pengurus maupun organisasi. Jika pemberian motivasi dapat dilakukan terus
menerus, maka kinerja organisasi dapat terkendali dan prestasi kerja dapat dicapai
dan dijaga. Jika pemberian motivasi tetap dilaksanakan dengan baik, maka
diharapkan pengurus dapat memiliki tanggung jawab pribadi yang tinggi atas

126
Universitas Sumatera Utara

127

pekerjaan yang diberikan kepadanya dan selanjutnya diharapkan dapat memberikan
hasil yang memuaskan bagi organisasi. Selain itu pengurus yang diberi motivasi akan
lebih bertanggungjawab dan lebih berani menanggung resiko terhadap pekerjaan
yang dilakukan dan lebih berani lagi mengambil keputusan dan inisiatifnya juga
tinggi tanpa harus mengabaikan kebijakan-kebijakan organisasi yang telah
ditentukan.
Menurut Hasibuan (2003) tujuan motivasi adalah:
a. Mendorong gairah dan semangat kerja pengurus.
b. Meningkatkan moral dan kepuasan kerja pengurus.
c. Meningkatkan produktivitas kerja pengurus.
d. Mempertahankan loyalitas dan kestabilan pengurus instansi.
e. Meningkatkan kedisiplinan dan menurunkan tingkat absensi pengurus.
f. Mengefektifkan pengadaan pengurus.
g. Menciptakan suasana dan hubungan kerja yang baik.
h. Meningkatkan kreatifitas dan partisipasi pengurus.
i. Meningkatkan tingkat kesejahteraan pengurus.
j. Mempertinggi rasa tanggungjawab pengurus terhadap tugas-tugasnya.
k. Meningkatkan efesiensi penggunaan alat-alat dan bahan baku.
Foster dan Seeker (2001:73-74) mengemukakan beberapa teknik untuk
membangun kinerja pengurus yang erat hubungannya dengan faktor motivasi yakni
sebagai benikut:
1. lmbalan Berwujud (peningkatan gaji berdasarkan prestasi, insentif khusus,
127
Universitas Sumatera Utara

128

bonus, komisi, hadiah, tunjangan, gaji variabel, surat rekomendasi, biaya
perjalanan, dan sebagainya).
2. Status (Promosi, ruang kerja lebih baik, kepemimpinan, jabatan, undangan
untuk pertemuan penting, kantor pribadi, dan sebagainya).
3. Hak (istimewa) Pribadi (jam kerja lebih fleksibel, waktu tidak kerja, tambahan
hari libur, penugasan khusus, perjalanan dan sebagainya).
4. Tanggung Jawab Pekerjaan (Pengakuan prestasi, pujian, penambahan tugas, peningkatan kerja, penambahan variasi pekerjaan, peningkatan karir, tugas-tugas
yang disukai, tambahan sumber daya, penghilangan tugas tertentu, dan sebagainya).
5. Kebijakan/Prosedur (lepas dari prosedur berulang dan/atau yang tidak disukai,
peluang untuk menciptakan kebijakan/ prosedur baru, akses lebih besar pada informasi rahasia, bebas dari control/supervisi, dan sebagainya).
6. Lingkungan Kerja (lingkungan yang menarik, lokasi yang tidak bising, rekan
kerja yang disukai, keamanan kerja yang lebih terjamin, dan sebagainya).
7. Aktivitas Sosial (berbicara dengan rekan kerja, klub makan siang, pesta di luar
instansi, peristiwa pembentukan tim, punya waktu bersama manajemen senior,
dan sebagainya).
8. Keterlibatan (lebih banyak berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, peluang
untuk mempengaruhi tujuan, tugas, dan prioritas, otonomi, kesempatan memberi
nasihat, pengakuan publik, peluang untuk melatih dan membina pengurus lain,
peluang untuk menjadi mentor, peluang untuk dimentori, terlibat dalam
128
Universitas Sumatera Utara

129

pertemuan, dan sebagainya).
Faktor motivasi kerja sangat erat kaitannya dengan kinerja seseorang.
Banyak pakar yang mengemukakan bahwa motivasi kerja, di samping faktor-faktor
lainnya turut mempengaruhi kinerja seseorang dalam melaksanakan tugasnya. Di
antara pakar itu adalah Winardi (2001:3) yang mengemukakan, bahwa: "Konsep
motivasi penting dalam studi tentang kinerja individual." Motivasi menurut Winardi
merupakan sebuah determinan penting bagi kinerja individual di samping
determinan lainnya seperti upaya (kerja keras), kemampuan orang yang
bersangkutan, pengalaman (kerja) sebelumnya.
Fathoni (2006:81) mengemukakan, bahwa: "Pencapaian tujuan motivasi
kerja sebagaimana dtharapkan menghasilkan efektivitas, produktivitas, dan hasil
kerja yang efisien, bath bagi diri individu yang bersangkutan maupun bagi
organisasi." Zainun (2004:57) mengemukakan pendapatnya, bahwa: "...motivasi
merupakan suatu usaha dan keinginan yang mempengaruhi kegairahan manusia
organisasi dalam memanfaatkan kemampuan yang dimiliki untuk menyelesaikan
pekerjaan."
2.2.1.3. Teori-Teori Motivasi Kerja
Teori-teori motivasi kerja banyak lahir dari pendekatan–pendekatan yang
berbeda–beda, hal itu terjadi karena yang dipelajari adalah perilaku manusia yang
komplek. Jadi teori–teori ini perlu bagi organisasi dalam memahami karyawan
(pegawai) dan mengarahkan karyawannya (pegawai) untuk melakukan sesuatu.

129
Universitas Sumatera Utara

130

a. Teori motivasi dua faktor atau teori iklim sehat oleh Herzberg
Herzberg berpendapat bahwa ada dua faktor ekstrinsik dan instrinsik yang
mempengaruhi seseorang bekerja. Termasuk dalam faktor ekstrinsik (hygienes)
adalah hubungan interpersonal antara atasan dengan bawahan, teknik supervisi,
kebijakan administratif, kondisi kerja dan kehidupan pribadi. Sedangkan faktor
instrinsik (motivator) adalah faktor yang kehadirannya dapat menimbulkan kepuasaan
kerja dan meningkatkan prestasi atau hasil kerja individu. Menurut Winardi (2001),
motivasi seseorang akan ditentukan motivatornya, yang meliputi: prestasi
(Achievement), penghargaan (Recognition), tantangan (Challenge), tanggungjawab
(Responsibility), pengembangan (Development), keterlibatan (Involvement), dan
kesempatan (Opportunity).
Dalam teori motivasi Herzberg, faktor-faktor motivator meliputi:
prestasi,

pengakuan, tanggungjawab, kemajuan, pekerjaan itu sendiri dan

kemungkinan berkembang.
(a). Prestasi (achievment) adalah kebutuhan untuk memperoleh prestasi di bidang
pekerjaan yang ditangani. Seseorang yang memiliki keinginan berprestasi
sebagai kebutuhan “need” dapat mendorongnya mencapai sasaran.
(b). Pengakuan (recoqnition) adalah kebutuhan untuk memperoleh pengakuan dari
pimpinan atas hasil karya atau hasil kerja yang telah dicapai.
(c). Tanggungjawab (responbility) adalah kebutuhan untuk memperoleh tanggung
jawab dibidang pekerjaan yang ditangani.

130
Universitas Sumatera Utara

131

d).

Kemajuan (advencement) adalah kebutuhan untuk memperoleh peningkatan
karier (jabatan).

(e). Pekerjaan itu sendiri (the work it self) adalah kebutuhan untuk dapat menangani
pekerjaan secara aktif sesuai minat dan bakat.
(f). Kemungkinan berkembang (the possibility of growth) adalah kebutuhan untuk
memperoleh peningkatan karier.
Frederick Herzberg memilah herarki kebutuhan maslow menjadi kebutuhan
tingkat rendah (fisiologis, rasa aman, dan sosial) dan kebutuhan tingkat tinggi
(penghargaan dan aktualisasi diri). Herzberg mengemukakan bahwa cara terbaik
untuk memotivasi seseorang adalah dengan memenuhi kebutuhan tingkat tingginya.
b. Teori motivasi prestasi kerja David Mc Clelland
Teori ini berpendapat bahwa karyawan mempunyai cadangan energi potensial,
bagaimana energi ini dilepaskan dan digunakan tergantung pada kekuatan dorongan
yaitu: (a). Kekuatan motif dan kekuatan dasar yang terlibat; (b). Harapan dan
keberhasilannya; dan (c). Nilai insentif yang terletak pada tujuan.
Menurut Mc Clelland kebutuhan manusia yang dapat memotivasi gairah kerja
dikelompokkan menjadi tiga yaitu:
(1). Kebutuhan akan prestasi, karyawan akan antusias untuk berprestasi tinggi,
asalkan kemungkinan untuk hal itu diberi kesempatan, seseorang menyadari
bahwa dengan hanya mencapai prestasi kerja yang tinggi akan dapat
memperoleh pendapatan yang besar, dengan pendapatan yang besar ia dapat
memenuhi kebutuhan– kebutuhannya.
131
Universitas Sumatera Utara

132

(2). Kebutuhan akan afiliasi seseorang karena kebutuhan afiliasi akan memotivasi
dan mengembangkan diri serta memanfaatkan semua energinya.
(3). Kebutuhan akan kekuasaan, kebutuhan ini merupakan daya penggarak yang
memotivasi semangat kerja seorang karyawan. Ego manusia yang ingin berkuasa
lebih dari manusia lainnya akan menimbulkan persaingan, persaingan ini oleh
manajer ditumbuhkan secara sehat dalam memotivasi bawahannya supaya
termotivasi untuk bekerja giat.
Pada teori yang dicapai dari Mc. Clelland gaji atau upah, penting sebagai
suatu sumber umpan balik kinerja untuk kelompok karyawan yang berprestasi tinggi
(High Achivers) ia dapat bersifat atraktif bagi orang-orang yang memiliki kebutuhan
tinggi akan afiliasi, apabila hal tersebut diberikan sebagai bonus kelompok, dan ia
sangat dinilai tinggi oleh orang-orang yang memiliki kebutuhan tinggi akan
kekuasaan, sebagai alat untuk membeli prestise atau mengendalikan pihak lain
(Winardi, 2001:156).
Berdasarkan pada dua teori di atas, maka pada penelitian ini yang sesuai
adalah teori dua faktor Herzberg untuk yang motivator. Karena Herzberg
mengemukakan bahwa cara terbaik untuk memotivasi seseorang adalah dengan
memenuhi kebutuhan tingkat tingginya. Herzberg mengatakan bahwa memberikan
seseorang kenaikan gaji atau kondisi kerja yang baik tidak dapat memotivasinya
karena kebutuhan tingkat rendah dapat dipenuhi secara cepat. Implikasi teori ini ialah
bahwa seorang pekerja mempunyai persepsi berkarya tidak hanya sekedar mencari

132
Universitas Sumatera Utara

133

nafkah, akan tetapi sebagai wahana untuk memuaskan berbagai kepentingan dan
kebutuhannya, bagaimanapun kebutuhan itu dikategorisasikan.
Indikator dalam penelitian ini meliputi:
a.

Kebutuhan akan Prestasi;

b.

Kebutuhan akan pengakuan;

c.

Pekerjaan itu sendiri

d.

Tanggungjawab

e.

Kebutuhan untuk berkembang atau kemajuan.

2.2.2. Teori Tentang Pelayanan dan Kualitas Pelayanan
2.2.2.1. Pengertian Pelayanan dan Pelayanan Publik
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pelayanan memiliki arti ”perihal
atau cara melayani.” Menurut rumusan American Marketing Association dalam
Napitupulu (2007), bahwa:
“Services are the separately identifiable, essential intangible activities which
provide want satisfaction and that is not necessarily tied to the sales of
product or another service. To produce a service may or may not require the
use of tangible goods. However when such use required, there is no transfer
of title (permanent ownership) to these tangible goods”. (pelayanan adalah
serangkaian kegiatan atau proses pemenuhan kebutuhan orang lain secara
lebih memuaskan berupa produk jasa dengan sejumlah ciri seperti tidak
berwujud, cepat hilang, lebih dapat dirasakan daripada dimilki, dan

133
Universitas Sumatera Utara

134

masyarakat lebih dapat berpartisipasi aktif dalam proses mengkonsumsi jasa
tersebut)”.
Menurut Sinambela (2008), bahwa: ”Pelayanan Publik diartikan sebagai
setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang
memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan,
dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara
fisik.”
2.2.2.2. Pengertian dan Dimensi Kualitas Pelayanan
Menurut Gaspersz (2005), Bahwa:”Pengertian dasar dari kualitas memiliki
2 (dua) definisi, yaitu Pertama, efinisi Konvensional dari Kualitas biasanya
menggambarkan

karakteristik

langsung

dari

suatu

produk

seperti

Performansi(performance), Keandalan(reliability), Mudah dalam penggunaan (easy
of use), Estetika(esthetics), sedangkan Kedua, Definisi Strategik, menyatakan bahwa
Kualitas adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan
masyarakat(meeting the needs of customer).
Selanjutnya Moenir (2000), menyatakan bahwa: kualitas pelayanan yang baik
adalah Kemudahan dalam pengurusan kepentingan, mendapatkan pelayanan yang
wajar, mendapatkan pelayanan yang sama tanpa pilih kasih dan mendapat perlakuan
yang jujur dan terus terang.
Oleh karena itu, maka kualitas mengacu pada segala sesuatu yang menentukan
kepuasan masyarakat, suatu produk yang dihasilkan baru dapat dikatakan berkualitas
apabila sesuai dengan keinginan masyarakat, dapat dimanfaatkan dengan baik serta
134
Universitas Sumatera Utara

135

didiproduksi dengan cara yang baik dan benar. Sejalan dengan hal terdebut diatas,
maka untuk memenuhi keinginan masyarakat (masyarakat), Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) dalam keputusannya Nomor : 81/1995
menegaskan bahwa pelayanan yang berkualitas hendaknya sesuai dengan sendi-sendi
sebagai berikut :
a.

Kesederhanaan,

dalam

arti

bahwa

prosedur/tata

cara

pelayanan

diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat dan tidak berbelit-belit serta
mudah difahami dan dilaksdanakan.
b.

Kejelasan dan kepastian, menyangkut :
1. Prosedur/tata cara pelayanan umum
2. Persyaratan pelayanan umum, baik teknis maupun administratif
3. Unit kerja atau pejabat yang bertanggung jawab dalam memberikan
pelayanan umum
4. Rincian biaya/tarif pelayanan umum dan tata cara pembayarannya
5. Jadwal waktu penyelesaian pelayanan umum
6. Hak dan kewajiban baik dari pemberi maupun penerima pelayanan
umum

berdasarkan

kelengkapannya,

bukti-bukti

sebagai

alat

untuk

penerimaan
memastikan

permohonan/
pemrosesan

pelayanan umum
7. Pejabat yang menerima keluhan masyarakat (masyarakat)

135
Universitas Sumatera Utara

136

c.

Keamanan, dalam arti bahwa proses serta hasil pelayanan umum dapat
memberikan keamanan dan kenyamanan serta dapat memberikan kepastian
hukum.

d.

Keterbukaan, dalam arti bahwa prosedur/tata cara, persyaratan, satuan
kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan umum, waktu
penyelesaian dan rincian biaya/tarif dan hal-hal lain yang yang berkaitan
dengan proses pelayanan umum wajib diinformasikan secara terbuka agar
mudah diketahui dan difahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak
diminta.

e.

Efisien, meliputi:
1.

Persyaratan pelayanan umum hanya dibatasi pada hal-hal yang
berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap
memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk
pelayanan umum yang diberikan.

2.

Dicegah adanya pengulangan pemenuhan kelengkapan persyaratan,
dalam hal proses pelayanannya mempersyaratkan kelengkapan
persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.

f.

Ekonomis, dalam arti pengenaan biaya pelayanan umum harus ditetapkan
secara wajar dengan memperhatikan :
1.

Nilai barang atau jasa pelayanan umum dengan tidak menuntut biaya
yang tinggi diluar kewajaran

136
Universitas Sumatera Utara

137

2.

Kondisi dan kemampuan masyarakat (masyarakat) untuk membayar
secara umum

3.
g.

Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Keadilan yang merata dalam arti cakupan atau jangkauan pelayanan umum
harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan
diperlakukan secara adil.

h.

Ketepapatan waktu, dalam arti pelaksanaan pelayanan umum dapat
diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
Kompetensi pelayanan prima yang diberikan oleh aparatur pemerintahan

kepada masyarakat, selain dapat dilihat dalam keputusan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) Nomor 81/1993, juga dipertegas dalam
instruksi Presiden nomor 1/1995 tentang peningkatan kualitas aparatur pemerintah
kepada masyarakat. Oleh karena itu, kualitas pelayanan masyarakat dewasa ini tidak
dapat diabaikan lagi, bahkan hendaknya sedapat mungkin disesuaikan dengan
tuntutan era globalisasi. Sudarsono Hardjosoekarto dalam Bisnis dan Birokrasi
Nomor 3/Vol. IV/September 1994 (p. 16) menyebutkan beberapa kategori dalam
mengkaji pelayanan prima. Pertama, kategori berdasar yang meliputi analisa makro
dan analisa mikro. Kedua kategori yang berorientasi pada model Mc. Kinsey yang
mengkaitkan upaya pelayanan prima dengan 7 (tujuh) unsur S, yakni : a. Strategi, b.
Staff

, c. Share Value, d.Struktur, e. Skill, f. System

dan g. Style

Menurut Wyckof dalam Tjiptono, (2002), bahwa : Kualitas jasa atau layanan,
yaitu “tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan
137
Universitas Sumatera Utara

138

tersebut untuk memenuhi keinginan masyarakat.” Ini berarti, bila jasa atau layanan
yang diterima(preceived service) sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa
atau layanan dipersepsikan baik dan memuaskan, sebaliknya bila jasa atau layanan
yang diterima lebih rendah dari yang diharapkan, maka kualitas jasa atau layanan
akan dipersepsikan buruk.
Sedangkan menurut Zeithaml et. Al. Dalam Tjiptono (2002) dinyatakan
bahwa: ada sepuluh dimensi yang saling melengkapi dan merupakan faktor utama
dalam menentukan kualitas pelayanan, kesepuluh dimensi tersebut meliputi: (1).
Reliability, mencakup dua hal pokok, yaitu konsistensi kerja (performance) dan
kemampuan untuk dipercaya (dependability). Hal saat pertama (right the first time).
Selain itu juga berarti bahwa preusan yang bersangkutan memenuhi janjinya, misal
menyampaikan jasanya sesuai dengan jadwal yang disepakati; (2). Responsiveness,
yaitu kemampuan atau kesiapan para pengurus untuk memberikan jasa yang
dibutuhkan masyarakat; (3). Competence, artinya setiap orang dalam suatu preusan
memiliki keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan agar dapat memberikan jasa
tertentu; (4). Acces, meliputi kemudahan untuk dihubungi dan ditemui. Hal ini berarti
lokasi fasilitas jasa yang mudah dijangkau, waktu menunggu tidak terlalu lama,
saluran komunikasi instansi yang mudah dihubungi, dan lain-lain; (5). Courtesy,
meliputi sikap sopan santun, respek, perhatian, dan keramahan yang dimiliki para
contact personel (seperti resepsionis, operator telepon dan lain-lain); (6).
Communication, artinya memberikan informasi kepada masyarakat dalam bahasa
yang dapat dipahami, serta selalu mendengarkan saran dan keluhan pelangan; (7).
138
Universitas Sumatera Utara

139

Credibility, yaitu sifat jujur dan dapat dipercaya. Kredibiltas mencakup nama instansi,
reputasi instansi, karakteristik pribadi, contact personel, dan interaksi dengan
masyarakat; (8). Security, yaitu aman dari bahaya, resiko, atau keragu-raguan. Aspek
ini meliputi keamanan secara fisik (physical safety), kemanan pinansial (fiancial
security), dan kerahasiaan (confidentiality); (9). Understanding/knowing the
customer, yaitu usaha untuk memahami kebutuhan masyarakat; (10). Tangibles, yaitu
bukti fisik dari jasa, bisa berupa fasilitas fisik, peralatan yang digunakan, representasi
fisik dari jasa (misal kartu kredit plastik).
Metode pengukuran kualitas pelayanan dengan menggunakan sepuluh
dimensi tersebut diatas, dikenal dengan nama Metode SERVQUAL (Service Quality).
Dalam perkembangannya, dari sepuluh dimensi dapat dirangkum menjadi hanya lima
dimensi pokok. Kelima dimensi pokok tersebut menurut Parasuraman, et.al. (dalam
Tjiptono, 2002) meliputi: (1). Bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik,
perlengkapan, pengurus, dan sarana komunikasi; (2). Keandalan(reliability), yakni
kemampuan memberkan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat, dan
memuaskan; (3). Daya tanggap(responsiveness), yaitu keinginan para staf untuk
membantu para masyarakat dan memberikan pelayanan dengan tanggap; (4).
Jaminan(assurance), mencakup pengetahuan,kemampuan, dari bahaya, resiko atau
keragu-raguan; (5). Empati(emphaty), meliputi kemudahan dalam melakukan
hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan para
masyarakat.

139
Universitas Sumatera Utara

140

2.2.3. Peran BKM dalam PNPM Mandiri Perkotaan
Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dilaksanakan
sejak tahun 1999 sebagai suatu upaya pemerintah untuk membangun kemandirian
masyarakat dan pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan secara
berkelanjutan. Program ini sangat strategis karena menyiapkan landasan kemandirian
masyarakat berupa lembaga kepemimpinan masyarakat yang ฀ocial฀฀tative,
mengakar dan kondusif bagi perkembangan modal ฀ocial (social capital) masyarakat
di masa mendatang serta menyiapkan program masyarakat jangka menengah dalam
penanggulangan kemiskinan yang menjadi pengikat dalam kemitraan masyarakat
dengan pemerintah daerah dan kelompok peduli setempat (Departemen Pekerjaan
Umum, 2008). Lembaga kepemimpinan masyarakat yang mengakar, ฀ocial฀฀tative
dan dipercaya tersebut (secara ฀ocial฀ disebut Badan Keswadayaan Masyarakat
atau disingkat BKM) dibentuk melalui kesadaran kritis masyarakat untuk menggali
kembali nilai-nilai luhur kemanusiaan dan nilai-nilai kemasyarakatan sebagai pondasi
modal ฀ocial (capital social) kehidupan masyarakat.
BKM ini diharapkan mampu menjadi wadah perjuangan kaum miskin dalam
menyuarakan aspirasi dan kebutuhan, sekaligus menjadi motor bagi upaya
penanggulangan kemiskinan yang dijalankan oleh masyarakat secara mandiri dan
berkelanjutan, mulai dari proses penentuan kebutuhan, pengambilan keputusan,
proses penyusunan program, pelaksanaan program hingga pemanfaatan dan
pemeliharaan. Tiap BKM bersama masyarakat telah menyusun Perencanaan Jangka
Menengah Program Penanggulangan Kemiskinan (yang kemudian lebih dikenal
140
Universitas Sumatera Utara

141

sebagai PJM Pronangkis) secara partisipatif, sebagai prakarsa masyarakat untuk
menanggulangi kemiskinan di wilayahnya secara mandiri. Atas fasilitasi pemerintah
dan prakarsa masyarakat, BKM-BKM ini mulai menjalin kemitraan dengan berbagai
instansi pemerintah dan kelompok peduli setempat.
Sejak pelaksanaan P2KP-1 hingga pelaksanaan P2KP-3 saat ini telah
terbentuk sekitar 6.405 BKM yang tersebar di 1.125 kecamatan di 235
kota/kabupaten, telah memunculkan lebih dari 291.000 relawan-relawan dari
masyarakat setempat, serta telah mencakup 18,9 Juta orang pemanfaat (penduduk
miskin), melalui 243.838 KSM. Mempertimbangkan perkembangan positif P2KP
tersebut, mulai tahun 2007 telah dirintis untuk mengadopsi P2KP menjadi bagian dari
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Tahun 2008 secara
penuh P2KP menjadi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
Perkotaan (PNPM Mandiri Perkotaan).
2.2.4. Prinsip Dasar PNPM Mandiri Perkotaan
PNPM Mandiri menekankan prinsip-prinsip dasar berikut ini :
a. Bertumpu pada pembangunan manusia. Pelaksanaan PNPM Mandiri
senantiasa bertumpu pada peningkatan harkat dan martabat manusia
seutuhnya.
b. Otonomi. Dalam pelaksanaan PNPM Mandiri, masyarakat memiliki
kewenangan secara mandiri untuk berpartisipasi dalam menentukan dan
mengelola kegiatan pembangunan secara swakelola.

141
Universitas Sumatera Utara

142

c. Desentralisasi. Kewenangan pengelolaan kegiatan pembangunan sektoral dan
kewilayahan dilimpahkan kepada pemerintah daerah atau masyarakat sesuai
dengan kapasitasnya.
d. Berorientasi pada masyarakat miskin. Semua kegiatan yang dilaksanakan
mengutamakan kepentingan dan kebutuhan masyarakat miskin dan kelompok
masyarakat yang kurang beruntung.
e. Partisipasi. Masyarakat terlibat secara aktif dalam setiap proses pengambilan
keputusan

pembangunan

dan

secara

gotong

royong

menjalankan

pembangunan.
f. Kesetaraan dan keadilan gender. Laki-laki dan perempuan mempunyai
kesetaraan dalam perannya di setiap tahap pembangunan dan dalam
menikmati secara adil manfaat kegiatan pembangunan.
g. Demokratis. Setiap pengambilan keputusan pembangunan dilakukan secara
musyawarah dan mufakat dengan tetap berorientasi pada kepentingan
masyarakat miskin.
h. Transparansi dan Akuntabel. Masyarakat harus memiliki akses yang
memadai terhadap segala infromasi dan proses pengambilan keputusan
sehingga pengelolaan kegiatan dapat dilaksanakan secara terbuka dan
dipertanggunggugatkan baik secara moral, teknis, legal, maupun administratif.
i. Prioritas. Pemerintah dan masyarakat harus memprioritaskan pemenuhan
kebutuhan untuk penanggulangan kemiskinan dengan mendayagunakan
secara optimal berbagi sumberdaya yang terbatas.
142
Universitas Sumatera Utara

143

j. Kolaborasi. Semua pihak yang berkepentingan dalam penanggulangan
kemiskinan didorong untuk mewujudkan kerjasama dan sinergi antar
pemangku kepentingan dalam penanggulangan kemiskinan.
k. Keberlanjutan. Setiap pengambilan keputusan harus mempertimbangkan
kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak hanya saat ini tapi
juga di masa depan dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan.
l. Sederhana. Semua aturan, mekanisme dan prosedur dalam pelaksanaan
PNPM Mandiri harus sederhana, fleksibel mudah dipahami, dan mudah
dikelola, serta dapat dipertanggungjawabkan oleh masyarakat.
2.2.5. Sasaran PNPM Mandiri Perkotaan
Sasaran Pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan adalah sebagai berikut:
a. Terbangunnya Lembaga Keswadayaan Masyarakat (LKM) yang dipercaya,
aspiratif, representatif, dan akuntabel untuk mendorong tumbuh dan
berkembangnya partisipasi serta kemandirian masyarakat;
b. Tersedianya Perencanaan Jangka Menengah(PJM) Pronangkis sebagai wadah
untuk mewujudkan sinergi berbagai program penanggulangan kemiskinan
yang komprehensif dan sesuai dengan aspirasi serta kebutuhan masyarakat
dalam rangka pengembangan lingkungan permukiman yang sehat, serasi,
berjati diri dan berkelanjutan;
c. Terbangunnya forum LKM tingkat kecamatan dan kota/kabupaten untuk
mengawal terwujudnya harmonisasi berbagai program daerah;

143
Universitas Sumatera Utara

144

d. Terwujudnya kontribusi pendanaan dari pemerintah kota/kabupaten dalam
PNPM Mandiri Perkotaan sesuai dengan kapasitas fiskal daerah.
2.2.6. Masyarakat dan Lembaga Masyarakat
2.2.6.1. Pengertian Partisipasi Masyarakat
Istilah partisipasi sekarang ini menjadi kata kunci dalam setiap program
pengembangan masyarakat dimana-mana, seolah-olah menjadi “lebel baru” yang
harus melekat pada setiap rumusan kebijakan dan proposal proyek. Dalam
perkembangannya seringkali diucapkan dan ditulis berulang-ulang tetapi kurang
dipraktekkan, sehingga cenderung kehilangan makna. Partisipasi sepadan dengan arti
peranserta, ikutserta, keterlibatan, atau proses belajar bersama saling memahami,
menganalisis, merencanakan dan melakukan tindakan oleh sejumlah anggota
masyarakat.
Asngari (2001: 29) menyatakan bahwa, penggalangan partisipasi itu dilandasi
adanya pengertian bersama dan adanya pengertian tersebut adalah karena diantara
orang-orang itu saling berkomunikasi dan berinteraksi sesamanya. Dalam
menggalang peran serta semua pihak itu diperlukan : (1) terciptanya suasana yang
bebas atau demokratis, dan (2) terbinanya kebersamaan. Selanjutnya Slamet (2003: 8)
menyatakan bahwa, partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah sebagai ikut
sertanya

masyarakat

dalam

pembangunan,

ikut

dalam

kegiatan-kegiatan

pembangunan, dan ikut serta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan.
Gaventa dan Valderama dalam Aristo (2004), mencatat ada tiga tradisi konsep
partisipasi terutama bila dikaitkan dengan pembangunan masyarakat yang demokratis
144
Universitas Sumatera Utara

145

yaitu: 1) partisipasi politik Political Participation, 2) partisipasi sosial Social
Participation dan 3) partisipasi warga Citizen Participation/Citizenship, ke tiga hal
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Partisipasi

Politik,

political

participation

lebih

berorientasi

pada

”mempengaruhi” dan ”mendudukan wakil-wakil rakyat” dalam lembaga
pemerintahan ketimbang partisipasi aktif dalam proses-proses kepemerintahan
itu sendiri.
2. Partisipasi Sosial, social Participation partisipasi ditempatkan sebagai
keterlibatan masyarakat terutama yang dipandang sebagai beneficiary atau
pihak di luar proses pembangunan dalam konsultasi atau pengambilan
keputusan dalam semua tahapan siklus proyek pembangunan dari evaluasi
kebutuhan sampai
3.

penilaian, implementasi, pemantauan dan evaluasi. Partisipasi sosial
sebenarnya dilakukan untuk memperkuat proses pembelajaran dan mobilisasi
sosial. Dengan kata lain, tujuan utama dari proses partisipasi sosial
sebenarnya bukanlah pada kebijakan publik itu sendiri tetapi keterlibatan
komunitas dalam dunia kebijakan publik lebih diarahkan sebagai wahana
pembelajaran dan mobilisasi sosial.

4. Partisipasi

Warga,

citizen

participation/citizenship

menekankan

pada

partisipasi langsung warga dalam pengambilan keputusan pada lembaga dan
proses kepemerintahan. Partisipasi warga telah mengalihkan konsep
partisipasi “dari sekedar kepedulian terhadap ‘penerima derma’ atau ‘kaum
145
Universitas Sumatera Utara

146

tersisih’ menuju ke suatu kepedulian dengan berbagai bentuk keikutsertaan
warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di berbagai
gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan”. Maka berbeda dengan
partisipasi sosial, partisipasi warga memang lebih berorientasi pada agenda
penentuan kebijakan publik oleh warga ketimbang menjadikan arena
kebijakan publik sebagai wahana pembelajaran.
2.2.6.2. Relawan masyarakat
Kehadiran relawan masyarakat ini sangat dibutuhkan sebagai konsekwensi
logis dari penerapan pembangunan yang berbasis pada masyarakat dan penerapkan
konsep ‘membangun dari dalam’ (development from within) yang membutuhkan
pelopor-pelopor penggerak dari masyarakat sendiri yang mengabdi tanpa pamrih,
ikhlas, peduli, dan memiliki komitmen kuat pada kemajuan masyarakat di
wilayahnya. Di sisi yang lain proses membangun dari dalam tidak akan terlaksana
apabila pelopor-pelopor yang menggerakkan masyarakat tersebut merupakan individu
atau sekumpulan individu yang hanya memiliki pamrih pribadi dan hanya
mementingkan urusan ataupun kepentingan pribadi serta golongan atau kelompoknya.
Dengan kata lain, perubahan perilaku masyarakat akan sangat ditentukan oleh
relawan-relawan yang memiliki moral yang baik dan mampu menjadi contoh
perubahan itu sendiri sehingga pemilihan relawan tidak boleh semata-mata
didasarkan pada pengalaman, pendidikan, status sosial, dll tetapi lebih pada
kandungan moral yang dimiliki (Soekamto dkk., 2003).

146
Universitas Sumatera Utara

147

Didasarkan pada keyakinan inilah, PNPM Mandiri Perkotaan mendorong
masyarakat di lokasi sasaran agar membuka kesempatan seluas mungkin bagi warga
yang ikhlas, jujur, adil, peduli dan memiliki komitmen untuk membantu masyarakat
dalam melaksanakan seluruh tahapan kegiatan program agar bermanfaat bagi
masyarakat miskin serta seluruh masyarakat di wilayahnya. Dengan demikian peran
utama para relawan adalah (Herlina, 2005) :
a.

Pelopor perubahan.

b.

Pengerak masyarakat dalam menjalani seluruh proses PNPM Mandiri
Perkotaan yang memang direncanakan sebagai uapaya pemberdayaan
masyarakat atau peningkatkan kapasitas, sehingga secara rinci relawan
diharapkan menjadi pelopor dalam siklus program; refleksi kemiskinan,
pemetaan

swadaya,

pembentukan

BKM,

pengorganisasian

KSM,

perencanaan partisipatif, dsb.
c.

Pengawalan nilai-nilai luhur, seperti transparansi, demokrasi, kejujuran,
dsb oleh sebab itu wsetelah LKM terbentuk tim relawan ini harus
berfungsi sebagai pengawas partisipatif terhadap keseluruhan proses
sehingga terbangun kontrol sosial yg mantap. Tata cara untuk ini akan
diatur lebih lanjut dalam pedoman operasional teknik.

147
Universitas Sumatera Utara

148

2.2.6.3. LKM (Lembaga Keswadayaan Masyarakat)
Dilokasi-lokasi dimana P2KP dan PNPM P2KP telah mulai bekerja, maka
di lokasi tersebut sudah terbentuk LKM sebagai “dewan amanah” atau “pimpinan
kolektif” organisasi masyarakat warga setempat (kelurahan/desa).
LKM ini bertanggungjawab menjamin keterlibatan semua lapisan masyarakat
dalam proses pengambilan keputusan yang kondusif untuk pengembangan
keswadayaan masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan khususnya dan
pembangunan masyarakat kelurahan pada umumnya. Oleh sebab itu peran utama
LKM adalah (Soekamto dkk., 2003) :
a. Mengorganisasikan warga secara partisipatif untuk merumuskan rencana
jangka menengah (3 tahun) penanggulangan kemiskinan (PJM Pronangkis)
dan diajukan ke PJOK untuk mencairkan dana BLM;
b. Sebagai dewan pengambilan keputusan untuk hal-hal yang menyangkut
pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan pada khususnya dan penanggulangan
kemiskinan pada umumnya;
c. Mempromosikan dan menegakkan nilai-nilai luhur (jujur, adil, transparan,
demokratis, dsb) dalam setiap keputusan yang diambil dan kegiatan
pembangunan yg dilaksanakan;
d. Menumbuhkan berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat miskin agar
mampu meningkatkan kesejahteraan;

148
Universitas Sumatera Utara

149

e. Mengembangkan jaringan LKM di tingkat kecamatan, kota/kabupaten sebagai
mitra kerja Pemerintah Daerah dan wahana untuk menyuarakan aspirasi
masyarakat warga yang diwakilinya;
f. Menetapkan kebijakan dan mengawasi proses pemanfaatan dana bantuan
langsung masyarakat (BLM), yang sehari-hari dikelola oleh UPK.
2.2.6.4. KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat)
Disamping LKM di lokasi yang telah menjalani P2KP/PNPM P2KP juga
sudah terbentuk KSM atau Kelompok Swadaya Masyarakat adalah nama jenerik
untuk kelompok warga masyarakat pemanfaat dana BLM PNPM Mandiri Perkotaan.
KSM ini diorganisasikan oleh tim relawan dan dibantu oleh tim fasilitator terdiri dari
warga kelurahan yang memiliki ikatan kebersamaan (common bond) dan berjuang
untuk mencapai tujuan bersama.
KSM ini bukan hanya sekedar pemanfaat pasif melainkan sekaligus sebagai
pelaksana kegiatan terkait dgn penangulangan kemiskinan yang diusulkan untuk
didanai oleh LKM melalui berbagai dana yg mampu digalang. Oleh sebab itu tugas
pokok KSM adalah (Fatma, 2007) :
a. Menyusun usulan kegiatan pembangunan terkait dgn penangulangan
kemiskinan
b. Mengelola dana yang diperolehnya untuk mendanai kegiatan pembangunan
yg diusulkan
c. Mencatat

dan

membuat

laporan

kegiatan

dan

keuangan

kegiatan

pembangunan yg diusulkan
149
Universitas Sumatera Utara

150

d. Menerapkan nilai-nilai luhur dalam pelaksanaan pembangunan yang
ditekuninya (transparansi, demokrasi, membangun dengan mutu, dll)
e. Secara aktif menjadi bagian dari kendali sosial (control social) pelaksanaan
penangulangan kemiskinan di wilayahnya
2.2.7. Pengertian Kemandirian Masyarakat
Kemandirian (self-reliance) (Ismawan, 2003) adalah suatu konsep yang sering
dihubungkan

dengan

pembangunan.

Dalam

konsep

ini

program-program

pembangunan dirancang secara sistematis agar individu maupun masyarakat menjadi
subyek dari pembangunan. Walaupun kemandirian, sebagai filosofi pembangunan,
juga dianut oleh negara-negara yang telah maju secara ekonomi, tetapi konsep ini
lebih banyak dihubungkan dengan pembangunan yang dilaksanakan oleh negaranegara sedang berkembang.
Mengapa persepsi ini muncul? Penjajahan yang berlangsung lama, yang
dengan efektif menggunakan kekuasaan feodal pribumi, telah meninggalkan warisan
berupa tatanan ekonomi sosial serta mentalitas masyarakat yang tidak siap
mengemban kemerdekaan yang telah diraih. Dalam kondisi semacam inilah negaranegara sedang berkembang bergaul dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju
secara ekonomi. Tidak bisa lain, untuk mengejar ketertinggalannya di bidang
ekonomi, negara-negara tersebut harus melakukan berbagai program pembangunan.
Sayangnya, pembangunan yang dilaksanakan seringkali terfokus hanya pada bidang
ekonomi, dengan sasaran utama meningkatkan produksi dan pendapatan, dan jarang
memperhatikan faktor manusia sebagai subyek. Dalam praktik sering dijumpai
150
Universitas Sumatera Utara

151

martabat manusia merosot hingga sekedar menjadi alat untuk mencapai tujuan
ekonomi.
Lebih ironis lagi, pembangunan di bidang ekonomi ini tidak menjamin
terwujudnya perbaikan ekonomi masyarakat secara merata. Dua hal yang menjadi
penyebabnya adalah: pertama, pembangunan ekonomi itu hanya mengutamakan
pertumbuhan. Kedua, tidak efisiennya sistem birokrasi yang dikembangkan oleh
pemerintah. Ketidakefisienan ini telah menimbulkan kesenjangan dalam kepemilikan
akses atas pembangunan. Dengan kata lain, hanya individu-individu atau kelompok
masyarakat tertentu yang menikmati hasil pembangunan tersebut. Golongan yang
diuntungkan ini adalah yang dekat dengan elit kekuasaan, atau yang secara sosial
ekonomi memang mampu meraih kesempatan yang ada.
Tentu saja golongan yang diuntungkan ini merupakan golongan kecil dari
masyarakat. Sebagian besar masyarakat, karena berada dalam tingkat sosial ekonomi
yang

memprihatinkan,

tidak

mampu

mengambil

manfaat

atas

hasil-hasil

pembangunan. Golongan terakhir ini hidup di perkampungan-perkampungan kumuh
di perkotaan dan di perdesaan. Karena tekanan struktur kekuasaan, sosial, ekonomi,
maupun politik begitu besar, tertinggal jauh dari kemajuan ekonomi yang semakin
menyulitkan kehidupan sehari-hari.
Karena itulah, satu-satunya tujuan hidup bagi golongan miskin hanyalah
menyelamatkan diri dari tekanan hidup dengan jalan sangat selfish. Bila kemiskinan
yang ditanggungkan sudah demikian parah, seperti kasus kemiskinan di Kabupaten
Pati, Jawa Tengah, sebagaimana dilaporkan oleh tim peneliti Universitas Satya
151
Universitas Sumatera Utara

152

Wacana, Salatiga dalam Ismawa