Negara Agraris Kecanduan Impor Bahan Pan

Negara Agraris Kecanduan Impor Bahan Pangan
Selama ini Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang kaya akan bahan pangan. Meski kaya
berbagai sumber bahan makanan, tapi masih membutuh beberapa bahan dari luar negeri. Alasan
tersebut yang menjadikan Negeri ini kecanduan mengimpor beberapa bahan pangan, padahal
bahan-bahan pangan yang dibeli dari luar negeri itu juga bisa diproduksi di dalam negeri.
Tanpa disadari bahan pangan yang digunakan sebagai pendukung industri makanan dan
minuman hampir 80% masih diimpor, negara terbanyak yang memasok bahan pangan tersebut
adalah Eropa, Amerika Serikat dan China. Sangat disayangkan, sebenarnya Indonesia memiliki
raw material yang sangat banyak. Tetapi karena tidak adanya jiwa industriawan, maka untuk
membuat industri bahan pangan senilai Rp40-50 miliar untuk memenuhi kebutuhan industri
makanan dan minuman jarang sekali yang mau mengembangkannya.
Padahal potensi pasar bahan pangan masih sangat besar, pendapatan industri makanan dan
minuman tahun 2011 saja telah mencapai Rp650 triliun, sedangkan pertumbuhannya mencapai
11%-12% setiap tahunnya. Wakil Ketua Umum Bidang Program dan Kerjasama Gabungan
Pengusaha Makanan dan Minuman Lena Prawira mencontohkan, bahan pangan yang paling
banyak diimpor adalah terigu dan gandum.
Sementara, untuk produk bahan tambahan pangan, meliputi sekuestran pewarna sintetik,
pengeras, pengawet, antioksidan, pengatur keasaman, penyedap atau penguat rasa, pemutih,
pemanis. Untuk produk lokal hanya pemanis saja yang cukup memiliki peran, namun itu hanya
sebatas gula tebu, bukan pemanis buatan. Sementara sisanya impor lebih mendominasi.
Mayoritas pengusaha memilih impor bahan makanan karena belum ada yang dapat diproduksi

dalam negeri. Sementara produk dari luar negeri menawarkan barang dengan pilihan lebih
banyak. Bila pabrik lokal menyediakan, harus bersaing dengan produk impor dari segi kualitas
dan harga. Padahal jika saja bahan baku pangan bisa diproduksi dan diperoleh dari dalam negeri,
harga produk pangan di Indonesia bisa turun sampai kisaran 10-20%.
Pemerintah seharusnya dapat membuka keran lebih lebar bagi para investor yang ingin
mengalokasikan dananya untuk membangun pabrik bahan pangan. Langkah itu akan banyak
membantu para pengusaha makanan dan minuman di Tanah air. Tentu, jika ada produksi dalam
negeri itu bisa lebih memberikan kepastian harga bahan pangan.
Minimnya Investor
Lena juga mengakui, masih minimnya investor untuk mendirikan pabrik bahan pangan agar
industri makanan dan minuman tidak bergantung dengan impor, sehingga faktor ekonomis

menjadi alasan. "Ada beberapa pelaku usaha makanan dan minuman lebih memilih beli,
ketimbang membuat pabrik karena pertimbangan lebih ekonomis," terangnya kemarin
(3/10/2012).
Dia juga mengatakan, industri pangan dalam negeri membutuhkan dukungan dari Pemerintah
baik sisi teknologi, insentif, pengurangan pajak atau infrastruktur. Sejauh ini belum ada
keberpihakan dari Pemerintah untuk pengembangan industri bahan pangan tersebut. Sungguh
mengherankan, Indonesia yang kaya akan bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong
untuk pangan. Akan tetapi, pemanfaatan dan pengembangan bahan-bahan tersebut masih kurang.

Direktur Southeast Asian Food & Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center
Institut Pertanian Bogor Purwiyatno Hariyadi menilai, seharusnya Indonesia mampu untuk
membuat pabrik yang memproduksi bahan pangan. Karena, dari semua segi Indonesia sangat
siap, mulai segi bahan mentah berlimpah hingga segi tenaga ahli itu juga bukan hal yang sulit,
ditambah keunikan khusus karena letak Indonesia yang merupakan daerah tropis.
Seperti halnya minyak sawit dan minyak buah merah yang ternyata bisa dikembangkan menjadi
sumber karoten. Banyak negara sudah mengembangkannya, tetapi di Indonesia belum ada yang
mau mengembangkannya. Menurut Purwiyanto, investor masih banyak yang tidak tertarik untuk
mengembangkannya, kemungkinan rendahnya investasi itu dikarenakan masih sedikit
pengetahuan yang dimiliki pengusaha Indonesia terkait bidang ini. Keduanya, belum mengetahui
betapa besarnya keuntungan bisnis ini.
“Atau memang masih banyak yang berpikiran sebagai pedagang, tidak mau menciptakan
industri, padahal lihat saja kita masih impor hingga 80%, pertumbuhannya 11%-12%. Artinya,
pasarnya ada dan bahan bakunya bisa didapatkan dari negeri kita sendiri,” terangnya. (anovianti
muharti)