2. Hasil n pembahasan doc

38

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Persiapan Pemeliharaan Larva
Hatchery ikan kerapu tikus pada umumnya akan melaksanakan persiapan
yang matang dan terencana agar tidak timbul permasalahan dalam proses
pemeliharaan larva. Khususnya persiapan awal pemeliharaan, yang meliputi
persiapan media dan wadah.
Hal ini dikarenakan telur dan larva ikan kerapu yang baru menetas sangat
rentan terhadap penyakit dan media yang kurang sesuai dengan habitat larva.
Beberapa hal yang dilakukan untuk mempersiapkan media dan wadah
pemeliharaan larva ikan kerapu tikus di Unit Pengelola Budidaya Laut (UPBL)
Situbondo adalah sebagai berikut :
5.1.1. Persiapan Bak
Bak yang digunakan dalam proses penebaran telur dan pemeliharaan
larva ikan kerapu tikus adalah bak beton berbentuk persegi panjang (dimensi
balok) dengan kapasitas total masing-masing bak 10 m3. Persiapan bak dimulai
dengan menyiram seluruh permukaan bak menggunakan larutan 10 ppm
chlorine yang diambil menggunakan gayung.
Penyiraman


chlorine

dilakukan

dengan

hati-hati

supaya

chlorine

menyebar secara merata pada dinding bak. Kemudian didiamkan selama .± 2
Hari. Tujuan dari pemberian larutan clorin adalah untuk mempermudah dalam
pembersihan dinding bak, dan juga membunuh mikroorganisme yang menempel
pada bak. Setelah itu dicuci dengan deterjen dan dibilas dengan air tawar sampai
hilang bau deterjen.

39


Lebih jelasnya persiapan bak dapat dilihat seperti Gambar 5.

Gambar 5. Persiapan Bak
Sumber : Data Primer (2014)
5.1.2. Instalasi Pengadaan Air
Setelah bak pemeliharaan siap digunakan, lakukan pengisian media
pemeliharaan larva, berupa air laut bersalinitas ± 33 0/00 yang sebelumnya sudah
ditreatment dengan chlorine 10 ppm, selanjutnya dinetralkan dengan natrium
thiosulfat 5 ppm 14 jam setelah pemberian clorin. Proses transfer air dari bak
tandon menuju bak pemeliharaan larva menggunakan pompa celup dan dialirkan
pipa paralon dengan diameter 1 1/2”.
Air yang akan dimasukkan dalam bak pemeliharaan, terlebih dahulu
disaring menggunakan filterbag untuk menanggulangi kemungkinan masuknya
kotoran yang berasal dari bak tandon. Volume awal air yang dimasukkan pada
bak penetasan dan pemeliharaan larva berkapasitas 10 m3 itu atau sebanyak 10
ton. Hal ini sesuai dengan pendapat Akbar dan Sudaryanto (2001) mengenai tata
letak indoor dan outdoor instalasi pengadaan air

5.2. Penebaran dan Penetasan Telur


40

Setelah bak dan media pemeliharaan larva siap, penebaran telur ikan
kerapu dapat dilakukan. Telur ikan kerapu tikus yang ditebar pada pemeliharaan
di UPBL Situbondo biasanya berkisar 100.0000 butir/bak 10m3 atau 100 butir per
liter,

berbeda

dengan

pendapat

Departemen

Perikanan

(1999),


yang

mengatakan padat penebaran telur 50 butir telur per liter. Penebaran telur
dilakukan pagi hari sekitar pukul 16.00 - 17.00 WIB. Hal ini bertujuan agar telur
tidak mengalami fluktuasi suhu yang dapat mengakibatkan tingkat penetasan
telur menurun.
Telur yang berada diplastik packing dimasukkan ke dalam bak penetasan
secara perlahan-lahan dengan diaklimatisasi terlebih dahulu selama ± 5 sampai
10 menit. Telur ikan akan menetas setelah 16 - 18 jam pada suhu 29 – 32 oC.
5.3. Pemeliharaan Larva
Larva yang baru menetas bersifat planktonik dan fototaksis positif. Sifat
larva yang baru menetas berenang naik turun (Vertical), dan apabila larva sudah
naik kepermukaan maka akan sulit untuk turun (tersangkut) karena adanya
tegangan antara permukaan air dengan udara.
Untuk mencegah hal tersebut, maka permukaan bak ditetesi dengan
minyak cumi sebanyak 0,1 ml/m3, sehingga ketika larva naik kepermukaan maka
larva tidak akan kesulitan untuk berenang kedalam air karena telah dilumasi
minyak cumi tersebut.
Minyak cumi mulai diberikan pada umur D1 - D6, pemberian minyak cumi
dilakukan 2 kali dalam sehari yaitu pada pukul 07.00 dan 16.00 WIB. Minyak

cumi diberikan karena mengandung fosfolipid dimana di dalamnya terdapat asam
lemak dan asam fosfat.
Asam fosfat mudah berikatan dengan air sehingga pada pemberiannya,
minyak cumi tidak akan menggumpal tetapi dapat tersebar dengan rata. Alternatif

41

lain selain minyak cumi yaitu minyak cumi sebanyak 1 ml/m 3. Jumlah larva yang
ditebar berdasarkan hasil perhitungan 100.000 telur per bak volume 10 m3.
Larva yang dapat bertahan sampai D45 dihitung dengan metode sampel,
larva diambil 1 L dan dihitung manual kemudian jumlah larva dikalikan volume
bak larva 10 m3 atau 10.000 liter.

5.3.1. Pengadaan Pakan Alami
a. Chlorella Sp
Di Pemeliharaan barat UPBL Situbondo menggunakan kultur skala
massal. Proses kultur chlorella ini dilakukan pada 12 bak kultur berkapasitas 8 m3
yang terletak diruangan terbuka (outdoor). Adapun prosedur kerja pengadaan
pakan alami chlorella di UPBL Situbondo yang sesuai dengan Departemen
Perikanan (1999) sebagai berikut :

1) Persiapan bak dicuci dengan chlorine
2) Persiapan wadah-wadah dicuci dan diseterilkan dengan chlorine
3) Persiapa air media dichlorine 10 ppm dan dinetralkan dengan natrium
thiosulfat 5 ppm
4) Jumlah bibit 20 – 30 % dari volume bak
5) Dosis pupuk urea 50 ppm, ZA 25 ppm, TSP 25 ppm
6) Panen umur 5 – 8 hari
Pemberian pakan ini diberikan dalam satu harinya yaitu sekali, pada pagi
hari pukul 07.00 WIB. Cara pemberian ditransfer dengan menggunakan pipa
PVC 3/4 inchi. Dari bak kultur chlorella ke bak pemeliharaan larva, chlorella
disaring dengan filter bag agar kotoran dapat tersaring, pemberian chlorella
dalam sehari sebanyak 1 kali selama D1 – D 45, yaitu pada pagi hari pukul 07.00
WIB.
b. Rotifer
Saat larva berumur D2, mulai penambahan pakan alami yang lain yaitu
Rotifer. Rotifer sp merupakan pakan alami berupa Zooplankton yang dapat

42

merangsang larva untuk bergerak. Pemberian Rotifer dimulai dari umur D2 – D45

Ukuran rotifer sangat kecil berkisar 10 – 20 indiv/ml, Pemberian rotifer yaitu
sebanyak 1 kali sehari, yaitu pagi hari pukul 07.30 atau setelah pemberian
chlorella, adapun proses kultur rotifer sebagai berikut :
1. Persiapan bak dicuci dengan chlorine
2. Persiapan wadah-wadah dicuci dan diseterilkan dengan chlorine
3. Persiapa air media dichlorine 10 ppm dan dinetralkan dengan natrium
thiosulfat 5 ppm
4. Jumlah bibit 3 individu per ml
5. Panen 2 – 3 hari berbeda dengan pendapat Sunyonto dan Mustahal (2000)
yang mengatakan panen rotifier pada hari ke lima, hal ini berbeda
dikarenakan di lapangan kebutuhan pakan untuk larva sangat banyak dan
umur 3 hari sudah cukup untuk dipanen.
Banyaknya pemberian rotifer tergantung dari kepadatan rotifer dalam
media pemeliharaan. Untuk mengetahui kepadatan rotifer maka lakukan
pengecekan setiap hari menggunakan beaker glass. Cara pemberiannya
dilakukan dengan gayung, diberikan pada titik aerasi.
c. Artemia
Artemia mengandung protein yang tinggi sehingga dapat mempercepat laju
pertumbuhan larva. Proses Cyste artemia yang digunakan untuk pakan larva
kerapu tikus di UPBL Situbondo, diteteskan dengan cara didekapsulali. Adapun

prosedur dekapsulasi artemia di UPBL Situbondo dapat dilihat sebagai berikut :
1) Proses penetasan artemia dilakukan pada bak ember bervolume 10 liter,
cyste artemia yang ditetaskan disesuaikan dengan kebutuhan larva
2) Rendam cyste yang baru dikeluarkan dari kaleng menggunakan air tawar,
supaya kotoran dan lendir yang ada disekitar cyste bersih
3) Dekapsulasi dilakukan dengan cara mencampurkan chlorine ± 250 ml
kedalam ember 10 liter

43

4) Aduk merata bersama cyste artemia yang didekapsulasi
5) Setelah itu chlorine dibuang dengan cara dibilas dengan air tawar, dilakukan
berulang-ulang sampai 3 kali atau warna berubah menjadi orange
6) Penyaringan cyste menggunakan seser halus misize 200 kemudian dibilas
dengan air tawar
7) Kemudian cyste artemia ditiriskan
8) Cyste artemia itu tidak langsung digunakan untuk dikultur, kerena dekapsulasi
dilakukan jika persediaan sebelumnya telah habis
9) Untuk cyste artemia yang baru didekapsulasi kemudian dibungkus dalam
plastik bening dan disimpan dalam lemari pendingin

Naupli artemia diberikan pada larva pada saat larva umur D13 atau
tergantung pada bukaan mulut larva. Untuk pertama kali artemia diberikan
sebanyak 3 kali sehari yaitu ada pagi hari pukul 08.00 WIB, siang hari pukul
12.00 WIB dan sore hari pukul 16.00 WIB. Artemia pada awalnya pemberian
diberikan dengan kepadatan 1 - 3 indiv/ml lalu disebarkan pada tiap titik aerasi
secara merata. Salinitas penetasan artemia di lapangan 28 – 32 ppt sesuai
pendapat Akbar dan Sudaryanto, (2001) yang menyatakan sebelum artemia
dimasukkan, terlebih dahulu bak dicuci dan dikeringkan lalu diisi air laut dengan
salinitas 28 – 32 ppt.
Selain pakan alami, pada pemeliharaan larva diperlukan juga pakan
buatan, Adapun pakan buatan yang dipakai pada pemeliharaan larva adalah:

a. Pakan Buatan
Pemberian Pakan buatan yang diberikan pada larva kerapu tikus adalah
otohima A-1, B-1, B-2, dan C. Pakan A-1 mulai diberikan pada umur D7 - D19
dengan dosis ± 5 gram. Pada usia D20 - D29 diberikan paka A-1 dengan B-1

44

yang dicampur, pada usia D30 – D39 diberikan pakan campuran B-1 dan B-2,

setelah itu D27 keatas diberikan pakan C. Sedangkan cara pemberiannya adalah
dengan cara disaring dan ditebar pada titik aerasi khususnya pakan A-1 dan
untuk jenis lain tanpa dilakukan penyaringan. Pakan buatan dapat dilihat seperti
Gambar 6.

Gambar 6. Pakan Buatan berbentuk Tepung
Sumber : Data Primer, (2014)
5.3.2. Pengelolaan Pakan
Sependapat dengan Subyakto dan Cahyanungsih (2003), pada saat larva
sudah mulai menetas (D1), larva tidak perlu diberi makan dikarenakan larva
mempunyai cadangan kuning telur (yolk egg) dan butir minyak (oil globule) yang
keluar dari cangkangnya. Kuning telur dan butiran minyak yang terdapat pada
tubuh larva akan digunakan sebagai sumber energi untuk pergerakan maupun
pertumbuhan bagi larva selama 3 hari.
Larva yang telah menetas diberi minyak cumi sebanyak 0,1 ml/m 2 pada
pukul 06.00 dan 15.00 wib dari umur D1 – D6. Cara pemberian minyak cumi yaitu
cairan ditebar secara merata di atas permukaan air. Kegunaan dari pemberian
minyak cumi adalah untuk mencegah pembengkokkan tulang (nekrosis) dan
mencegah naiknya larva ke permukaan air karena dapat menyebabkan larva


45

menyangkut pada permukaan air. Lebih jelasnya pemberian pakan dapat dilihat
pada Lampiran 2.

5.4. Pengelolaan Kualitas Air
Siponan awal dilakukan pada umur 12 hari, selanjutnya 1 minggu sekali.
Penyiponan merupakan tindakan penyedotan air yang menggunakan selang.
Jumlah air yang disipon tergantung umur ikan. Perlakuan penyiponan ini
dilakukan dengan hati-hati agar tidak menyebabkan ikan menjadi stres. Sirkulasi
air mulai dilakukan mulai larva berumur D7. Umur 18 - 25 hari, air yang diganti
sebanyak 11 – 20 % per hari, umur 26 - 35 diganti sebanyak 21 – 30 % per hari,
dan lebih dari umur 35 hari airnya diganti sebanyak 30 – 40 % per hari. Adapun
parameter kualitas air yang dikontrol yaitu suhu 30 – 31 0C dan salinitas 33 - 34
ppt. DO 7,6 ppm. Hal ini sesuai dengan pendapat Tarwiyah (2001). Sehingga
parameter yang sesuai akan mendukung perkembangan dan pertumbuhan larva
secara optimal.
5.5. Sampling Pertumbuhan (Grading)
Di UPBL Situbondo grading pertama dilakukan umur 34 hari grading,
grading digolongkan kedalam 2 ukuran 2cm dan 1cm. Grading bertujuan untuk
menyeragamkan ukuran ikan sehingga dapat mengurangi tingkat kanibalisme
pada ikan dimana bila mutu makanan rendah, pakan tidak diberikan tepat waktu,
jumlah pakan yang diberikan tidak mencukupi, cahaya yang terlalu terang, air
yang terlalu jernih dan kepadatan ikan yang terlalu tinggi, maka sifat kanibal
pada ikan akan semakin dominan, sesuai pendapat Subyakto dan Cahyaningsih,
(2003). Sehingga setelah diseragamkan ukurannya pemberian pakan akan lebih
efisien karena larva yang masih kecil tidak berebut pakan dengan larva yang
lebih besar.

46

Proses Grading dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Proses Grading
Sumber : Data Primer, (2014)
5.6. Pengendalian Hama dan Penyakit
Pengendalian hama dan penyakit di UPBL Situbondo dilakukan dengan
sistem

Biosecurity.

Biosecurity

yang

digunakan

adalah

larutan

kalium

permanganat. Setiap pekerja yang masuk tempat produksi wajib melewati sistem
biosecurity. Sanitasi dilakukan dengan cara menyemprot lantai tempat produksi
dengan air tawar setiap hari dan setiap pekerja harus menjaga kebersihan diri
dan peralatan agar tidak terkontaminasi. Sanitasi menggunakan alkohol 70 %
atau sabun pencuci tangan untuk membersihkan tangan.
Adapun hama yang menyerang adalah kelebihan pemberian Chlorella,
sehingga perairan menjadi lembab dan tumbuh jamur, sedangkan cacing dan
copepod berasal dari bak kultur Rotifera sp. yang terbawa saat pemberian
pakan. Cara pencegahannya yaitu dengan menyaring terlebih dahulu Rotifera
sp.yang akan diberikan pada larva. Sedangkan penyakit tidak terdapat pada
larva kerapu tikus.

47

5.7. Panen dan Pasca Panen
5.7.1. Panen
Panen larva dilakukan pagi hari ukuran 2,5 – 3 cm umur larva 45 hari
dengan harga Rp 3.000,-. Panen larva di UPBL Situbondo yang berjumlah 3 bak
adalah 30.000 ekor larva, diperoleh SR 10% dari total tebar 300.000 ekor larva.
Pemanenan dilakukan dengan cara membuang air pada saluran outlet dan
memberi saringan dipintu pembuangan dengan misize 200 sehingga larva dapat
ditampung.
Pengemasan menggunakan plastik packing ukuran 40 x 60 cm dengan
kepadatan larva per kantong 2.000 sesuai dengan pendapat Akbar dan
Sudaryanto (2001), yang mengatakan pengangkutan tertutup dengan kantong
plastik berukuran 40 x 60 cm 2 lapis untuk menghindari kebocoran. Plastik
packing diberi O2 perbandingan air dan O2 adalah 1 : 2 supaya larva dapat
bertahan 3 jam proses pengiriman (wilayah Bali).
5.7.2. Pasca Panen
Bak dicuci dengan chlorine 10 ppm dan disikat dinding bak menggunakan
sikat kawat supaya jamur yang menempel yang ada di bak larva tidak menjadi
inang dalam masa pemeliharaan berikutnya setelah itu bak dikeringkan selama 2
hari.