Perkecambahan Biji Tanaman Biwa (Eriobotrya japonica Lindl.) dengan Penambahan GA3 dan Kinetin Secara In Vitro

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biwa (Eriobotrya japonica Lindl.)
Biwa atau loquat (Eriobotrya japonica Lindl.) merupakan tanaman evergreen dari
famili Rosaceae dengan percabangan batang yang pendek. Tanaman ini adalah
tanaman asli Cina bagian Tenggara dan terutama tumbuh di wilayah subtropis dan
temperatur sedang. Selain di negara asalnya, tanaman biwa juga telah
dibudidayakan di wilayah lain, seperti Afrika Selatan, Amerika Selatan, Australia,
dan California (Ferreres et al. 2009). Tanaman biwa dapat dilihat pada gambar 2.1
berikut.

Gambar 2.1 Tanaman biwa; pohon (kiri), buah (tengah) dan biji (kanan)
Karsinah et al. (2008) mendeskripsikan tanaman biwa sebagai berikut;
biwa merupakan tanaman berkayu, berukuran sedang sampai tinggi (2,5 – 8) m.
Kanopinya rapat, berbentuk menyebar/berbentuk payung dan ada yang berbentuk
tegak, dan berdaun hijau. Batang dan daunnya bertekstur kasar, dengan lingkar
batang mencapai 39,0 – 91,5 cm tergantung pada umur tanaman. Warna daun
pada bagian permukaan atas hijau tua mengkilat, sedangkan bagian bawah
berwarna agak putih atau berbulu halus seperti karat. Bunga biwa berbentuk
malai, terbentuk pada ujung ranting. Bunga memiliki 5 kelopak, 5 mahkota

berwarna putih sampai krem, jumlah benangsarinya (18 – 20) utas, dan jumlah
putik 5 utas. Buah biwa terbentuk dalam kluster, berbentuk oval atau lonjong.

Universitas Sumatera Utara

4

Kulit buah berwarna kuning atau jingga, pada permukaan kulit buah berbulu
halus. Daging buah mengandung banyak air, berwarna jingga, rasanya manis,
agak asam atau asam. Biji buah berwarna coklat.

2.2 Kultur Jaringan Tumbuhan
Kultur jaringan digunakan sebagai suatu cara untuk memperbanyak tanaman dari
bagian tanaman itu sendiri menjadi tanaman lengkap dalam kondisi yang aseptik
dan terkendali (Armini et al. 1991). Teknik ini dilakukan berdasarkan prinsip
“totipotensi’’. Berdasarkan prinsip ini sebuah sel atau jaringan tumbuhan yang
diambil dari bagian manapun akan dapat tumbuh menjadi tumbuhan sempurna jika
diletakkan pada media yang cocok (Hendaryono & Wijayani, 1994).

Sumber


eksplan

sangat

berpengaruh

terhadap

pertumbuhan

dan

morfogenesis kultur jaringan (Armini et al. 1991). Semua bagian tanaman yang
masih muda dan aktif membelah, merupakan bagian yang paling baik digunakan
sebagai eksplan. Setiap sel dari bagian tanaman yang berbeda mempunyai
karakteristik yang berbeda sehingga akan menghasilkan morfogenesis yang
berbeda (Dewi et al. 1998). Eksplan yang umum digunakan adalah batang, biji,
daun, akar, bunga, kalus, sel, protoplas dan embrio (Street, 1973)
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi perkembangan kultur antara lain

kebutuhan nutrisi, zat pengatur tumbuh dan lingkungan kultur. Kebutuhan nutrisi
untuk pertumbuhan kultur in vitro yang optimal bervariasi antarspesies ataupun
antarvarietas. Jaringan yang berasal dari bagian tanaman yang berbeda pun akan
berbeda kebutuhan nutrisinya. Oleh karena itu, tidak ada satu pun media dasar
yang berlaku universal untuk semua jenis jaringan dan organ. Meskipun demikian,
media dasar MS yang diformulasi oleh Murashige dan Skoog pada 1962 adalah
yang paling luas penggunaannya dibandingkan media dasar lainnya (Zulkarnain,
2009).
Perbanyakan tanaman Famili Rosaceae telah banyak dilakukan dengan teknik
kultur jaringan. Inisiasi tanaman apel dengan eksplan pucuk steril dapat dilakukan
pada media MS dengan penambahan 4 ppm BAP dan 0,2 ppm NAA (Samudin,
2009). Media ½ MS dengan penambahan 1 mg/L BAP menginduksi multiplikasi
tunas secara optimal dengan eksplan tunas aksilar mawar dan media yang sama
dengan penambahan 2 mg/L IBA menginduksi perakaran pada tunas hingga 90%

Universitas Sumatera Utara

5

(Salekjalali et al. 2011). Hassanen dan Gabr (2012) melaporkan multiplikasi tunas pir

dengan eksplan potongan batang berhasil dilakukan pada media MS dengan
penambahan 2 mg/L BAP dan 0,05 mg/L NAA. Eksplan daun stroberi yang
diinokulasi pada media MS dengan 1 mg/L 2,4-D dan 0,1 mg/L BAP menghasilkan
kalus secara optimal dan media MS dengan penambahan 2 mg/L BAP dan 0,5 mg/L
NAA mampu menginduksi tunas secara optimal (Ara et al. 2012).
Perbanyakan tanaman secara in vitro dapat dilakukan dengan berbagai cara,
antara lain kultur embrio, kultur biji, kultur meristem, kultur suspensi, kultur anter
dan polen, kultur pucuk bunga, kultur ovul, dan kultur protoplas. Perbanyakan biwa

secara in vitro dapat dilakukan melalui kultur meristem (Abbasi et al. 2013), anter
(Wang & Teng, 2014) dan biji.
Kultur biji merupakan budidaya secara in vitro dengan eksplan biji pada
media steril dan kaya nutrisi sehingga biji dapat beregenerasi dan berdiferensiasi
menjadi tanaman lengkap (Zulkarnain, 2009). Kultur biji umumnya digunakan
terhadap biji tanaman yang sulit berkecambah secara in vivo seperti pada anggrek.
Perbanyakan anggrek secara generatif sering menghadapi kendala pada rendahnya
kemampuan dan lamanya waktu yang diperlukan biji untuk berkecambah. Hal ini
dikarenakan ukuran biji anggrek sangat kecil dan tidak mempunyai endosperm
sebagai cadangan makanan pada awal perkecambahan biji (Bey et al. 2006).
Perkecambahan in vitro membantu biji anggrek dalam mensuplai nutrisi sebagai

pengganti endosperm dalam proses pertumbuhan. Selain itu, perkecambahan biji
secara in vitro menjadi lebih efektif karena lingkungan yang lebih terkontrol.

2.3 Zat Pengatur Tumbuh
Zat pengatur tumbuh (ZPT) berupa senyawa organik bukan hara yang dalam
jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat, dan dapat mempengaruhi proses
fisiologi tumbuhan. Fungsi zat tersebut merangsang pertumbuhan morfogenesis
dalam kultur sel, jaringan, dan organ (Gunawan, 1988).
Sitokinin dapat meningkatkan pembelahan sel pada jaringan tanaman serta
mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Umumnya sitokinin
digunakan untuk menumbuhkan dan menggandakan tunas aksilar atau
merangsang

tumbuhnya

tunas-tunas

adventif

(Yusnita,


2003).

Apabila

ketersediaan sitokinin di dalam media kultur sangat terbatas maka pembelahan sel

Universitas Sumatera Utara

6

pada jaringan yang dikulturkan akan terhambat. Namun bila jaringan tersebut
disubkulturkan pada media dengan kandungan sitokinin yang memadai maka
pembelahan sel akan berlangsung dengan baik (George & Sherrington, 1984
dalam Zulkarnain, 2009). Sitokinin yang paling banyak digunakan adalah zeatin,
BA, isopentenyl adenosine (IPA) dan kinetin (Santoso & Fatimah, 2004). Kinetin
merupakan kelompok sitokinin yang secara alami tidak terdapat pada tumbuhan
namun mampu memacu pembelahan sel dan pemulihan luka pada umbi kentang
(Zulkarnain, 2009).
Giberelin (GA) telah banyak ditemukan dalam berbagai bentuk dengan

berbagai variasi aktivitas biologinya. Terdapat 2-3 GA saja yang dapat dikatakan
komersil salah satunya Giberelin acid (GA3). Dari tanaman telah dijumpai ±72
jenis GA. Giberelin ada yang dikelompokan menjadi 2, yaitu : GA dengan jumlah
karbon 19, merupakan kelompok yang paling aktif dan GA dengan jumlah karbon
20. GA sintetik yang paling banyak dipasaran dalah GA3 disusul GA4, GA7 dan
GA9 yang semuanya termasuk dalam kelompok berkarbon 19 (Santoso dan
Fatimah, 2004).
Giberelin jarang digunakan dalam teknik kultur jaringan. Dalam
penggunaannya sebagai komponen media kultur, GA3 tidak dapat disterilisasi
menggunakan autoklaf karena sifatnya yang tidak tahan panas. Sehingga harus
ditambahkan ke dalam medium steril dengan menggunakan filter milipore. Secara
umum, peran asam giberelin di dalam tanaman adalah meningkatkan
perkecambahan biji dan menginduksi pemanjangan ruas (Zulkarnain, 2009).
Struktur kinetin dan GA3 dapat dilihat pada gambar 2.3 berikut.

Gambar 2.3 Struktur kinetin (Amasino, 2005) (kiri) dan GA3 (Hedden & Thomas,
2012) (kanan)

Universitas Sumatera Utara


7

2.4 Peran Giberelin dan Sitokinin dalam Perkecambahan Biji
Tahapan perkecambahan diawali dengan proses imbibisi air oleh biji. Akibat
terjadinya proses imbibisi, maka kulit biji akan menjadi lunak. Bersamaan dengan
proses imbibisi akan terjadi peningkatan laju respirasi yang akan mengaktifkan
enzim-enzim yang terdapat di dalamnya. Aktivasi enzim menyebabkan terjadinya
penguraian bahan-bahan seperti karbohidrat, protein dan lemak menjadi bentuk
terlarut dan ditranslokasikan ke titik-titik tumbuh. Bahan-bahan tersebut akan
mengalami asimilasi untuk menghasilkan energi bagi sel-sel baru untuk
perkecambahan. Tahap terakhir adalah pertumbuhan dari kecambah melalui
proses pembelahan, pembesaran, dan diferensiasi sel-sel pada titik tumbuh
(Gardner et al. 1991; Heddy et al. 1994; Sutopo, 2002).
Selama proses perkecambahan giberelin akan berdifusi ke lapisan aleuron
dan mengaktifkan enzim-enzim hidrolitik (α -amilase, protease, β -gluconase).
Enzim-enzim hidrolitik akan berdifusi ke endosperma dan aktif dalam proses
metabolisme membentuk gula, asam-asam amino dan sebagainya. Zat-zat ini yang
digunakan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan embrio (Kamil,
1982). Menurut Goldworthy dan Fisher (1996), perubahan cadangan makanan
menjadi zat-zat yang lebih mobil menyebabkan pengangkutan merata keseluruh

bagian embrio sehingga benih dapat berkecambah.
Sitokinin dapat ditemukan pada biji yang berkembang dan terakumulasi di
dalam cairan endosperma. Sitokinin dibutuhkan untuk menginduksi pembelahan
sel embrio dan pemanjangan akar (Dewar et al. 1998). Sitokinin juga berperan
dalam menghasilkan pucuk lembaga dan perluasan awal koleoriza (Gardner et al.
1991).
Penggunaan sitokinin dan asam giberelin (GA3) dapat meningkatkan
persentase perkecambahan. Dweikat dan Lyrene (1989) melaporkan perlakuan

kombinasi GA3 10,4 mM dan 6N-benzyladenine konsentrasi 0,4 sampai 2,2 mM
memberikan

persentase

perkecambahan

yang

optimal


pada

Vaccinium

corymbosum. Kombinasi GA3 dan Kinetin mampu menginduksi perkecambahan
tomat dan gandum dengan sangat baik (Terzi & Kocacaliskan, 2010). Penelitian
Pourazar dan Mirshekari (2015) membuktikan bahwa kombinasi GA3 200 ppm
dan Kinetin 200 ppm mampu meningkatkan perkecambahan Lens culinaris.

Universitas Sumatera Utara