Analisa Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Metode Kontrasepsi pada Pasangan Usia Subur (PUS) di Wilayah Kerja Puskesmas Pancur Batu

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Pasangan Usia Subur (PUS)

Pasangan Usia Subur (PUS) adalah pasangan suami istri yang terikat dalam perkawinan yang sah yang umur istrinya antara 15-49 tahun (Pinem, 2009). Menurut SK Menkes nomor : 1202/Menkes/SK/VIII/2003, Pasangan Usia subur adalah wanita berusia 15-49 tahun dengan status kawin (Profil Kesehatan Kabupaten Bojonegoro, 2008). Pasangan Usia Subur adalah pasangan suami-istri yang istrinya berumur 15-49 tahun dan masih haid, atau pasangan suami-istri yang istrinya berusia kurang dari 15 tahun dan sudah haid, atau istri sudah berumur lebih dari 50 tahun, tetapi masih haid (datang bulan) (BKBBN, 2011). PUS merupakan sasaran utama program KB sehingga perlu diketahui bahwa:

• Hubungan urutan persalinan dengan risiko ibu-anak paling aman pada persalinan kedua atau antara anak kedua dan ketiga.

• Jarak kehamilan 2–4 tahun, adalah jarak yang paling aman bagi kesehatan ibu-anak.

• Umur melahirkan antara 20–30 tahun, adalah umur yang paling aman bagi kesehatan ibu-anak.

• Masa reproduksi (kesuburan) dibagi menjadi 3, yaitu: masa menunda kehamilan/kesuburan (sampai usia 20 tahun), masa mengatur kesuburan/menjarangkan (usia 20-30 tahun), masa mengakhiri kesuburan/tidak hamil lagi (di atas usia 30 tahun). Masa reproduksi


(2)

(kesuburan) ini merupakan dasar dalam pola penggunaan kontrasepsi rasional.

2.2 Kontrasepsi

2.2.1 Definisi Kontrasepsi

Istilah kontrasepsi berasal dari kata kontra dan konsepsi. Kontra berarti melawan atau mencegah, sedangkan konsepsi adalah pertemuan antara sel telur yang matang dan sperma yang mengakibatkan kehamilan (Suratun dkk, 2008). Kontrasepsi merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan upaya-upaya yang digunakan untuk mencegah konsepsi (van der Akker, 2012). Kontrasepsi adalah pencegahan kehamilan secara sengaja oleh salah satu atau kedua pasangan seksual (Cash & Glass, 2011). Menurut Padilla (2006) kontrasepsi adalah pencegahan yang nyata secara langsung terhadap proses konsepsi sebelum, selama, atau setelah hubungan seksual yang disengaja.

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kontrasepsi adalah upaya-upaya pencegahan kehamilan secara sengaja yang dilakukan oleh salah satu atau kedua pasangan sebelum, selama, atau setelah berhubungan seksual. Adapun tujuan kontrasepsi diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu menunda/mencegah kehamilan, menjarangkan kehamilan, serta menghentikan/mengakhiri kehamilan atau kesuburan.


(3)

2.2.2 Klasifikasi Metode Kontrasepsi

Menurut Hartanto (2010), metode kontrasepsi dapat dibagi menjadi metode sederhana dan metode modern. Metode sederhana dibagi menjadi metode tanpa alat dan dengan alat. Kontrasepsi sederhana tanpa alat dapat dengan senggama terputus dan KB alamiah seperti metode kalender (Ogino-Knaus), metode suhu basal (termal), metode lendir serviks, dan metode simpto-termal. Sedangkan kontrasepsi dengan alat dapat dibagi menjadi cara mekanis yaitu kondom pria, diafragma, kap serviks, spon, kondom wanita, dan cara kimiawi yaitu spermisida. Metode Modern, dibagi menjadi kontrasepsi hormonal (per oral yaitu pil oral kombinasi dan minipil, injeksi atau suntikan yaitu DMPA dan NET-ET, sub-kutis atau implan), alat kontrasepsi dalam rahim dan kontrasepsi mantap (MOP dan MOW).

Sementara berdasarkan lama efektivitasnya, kontrasepsi dapat dibagi menjadi Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) dan non-Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (non-MKJP). MKJP dibagi menjadi susuk/implant, IUD, MOP, dan MOW. Sedangkan yang termasuk dalam kategori non-MKJP adalah kondom, pil, suntik, dan metode-metode lain selain metode yang termasuk dalam MKJP.

2.3Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan Metode Kontrasepsi

Pemilihan metode kontrasepsi menurut Bulatao (1989) dipengaruhi oleh empat faktor yaitu faktor tujuan kontrasepsi (contraceptive goals), kompetensi kontrasepsi (contraceptive competence), evaluasi kontrasepsi (contraceptive


(4)

evaluation), dan akses kontrasepsi (contraception access). Tujuan kontrasepsi meliputi pengaruh spesifik terhadap kesuburan wanita atau pasangan yang dicapai melalui penggunaan kontrasepsi. Kompetensi kontrasepsi adalah kemampuan menggunakan metode kontrasepsi tertentu secara efektif. Evaluasi kontrasepsi meliputi penilaian praktik dan moral terhadap metode kontrasepsi tertentu. Terakhir, akses kontrasepsi meliputi keterjangkauan metode kontrasepsi dari segi biaya, lokasi, peraturan, dan informasi.

Menurut Hartanto (2010), terdapat 3 faktor dalam memilih kontrasepsi. pertama adalah faktor pasangan (motivasi dan rehabilitas) yang diantaranya meliputi umur, gaya hidup, frekuensi sanggama, jumlah keluarga yang diinginkan dan pengalaman dengan kontrasepsi yang lalu. Kedua, dalam memilih metode kontrasepsi harus mempertimbangkan faktor kesehatan (kontraindikasi absolut dan relatif). Pertimbangan ketiga dalam memilih metode kontrasepsi adalah faktor metode kontrasepsi itu sendiri (penerimaan dan pemakaian berkesinambungan). Faktor metode kontrasepsi meliputi efektivitas, efek samping minor, kerugian, komplikasi-komplikasi yang potensial, dan biaya.

2.3.1. Tujuan Kontrasepsi (Contraception Goals)

Tujuan kontrasepsi meliputi pengaruh spesifik terhadap kesuburan wanita atau pasangan yang dicapai melalui penggunaan kontrasepsi. Tujuan kontrasepsi diantaranya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia wanita, jumlah anak hidup, komposisi jenis kelamin anak, usia anak terkecil, jenis persalinan terakhir,


(5)

usia pernikahan dan tujuan reproduksi (fertility intention) (Laguna, Po, Perez, 2000).

1. Usia Wanita

Kemampuan reproduksi wanita sangat bergantung pada faktor usia. Masa reproduksi wanita dibagi dalam tiga periode, yakni kurun reproduksi muda (15-19 tahun), kurun reproduksi sehat (20-35 tahun), dan kurun reproduksi tua (36-45 tahun). Pembagian ini didasarkan atas data epidemiologi bahwa risiko kehamilan dan persalinan lebih tinggi pada usia kurang dari 20 tahun, paling rendah pada usia 20-35 tahun dan meningkat lagi secara tajam setelah lebih dari 35 tahun. Jenis kontrasepsi yang digunakan sebaiknya disesuaikan dengan tahap masa reproduksi tersebut (Siswosudarmo, 2001). Perbedaan fungsi faaliah, komposisi biokimiawi, dan sistem hormonal pada suatu periode umur menyebabkan perbedaan pada kontrasepsi yang dibutuhkan.

Penggunaan metode modern lebih populer di kalangan wanita muda (Qazi et al, 2009). Sebuah penelitian menunjukkan wanita berusia 30-39 tahun dan 40-49 tahun secara signifikan lebih jarang menggunakan metode modern daripada wanita yang berusia antara 15-29 tahun (Rahayu, Utomo, McDonald, 2009). Metode jangka panjang lebih dominan digunakan wanita yang lebih berusia relatif tua (di atas 30 tahun), sementara metode jangka pendek cenderung digunakan oleh wanita yang berusia lebih muda (di bawah 30 tahun) (Rahayu, Utomo, McDonald, 2009; Wang, 2010).


(6)

2.Jumlah Anak Hidup

Setiap anak memiliki nilai, maksudnya setiap anak merupakan cerminan harapan serta keinginan orang tua yang menjadi pedoman dari pola pikir, sikap maupun perilaku dari orang tua tersebut (Tedjo, 2009). Dengan demikian, setiap anak yang dimiliki oeh pasangan suami istri akan memberi pertimbangan tentang apakah mereka ingin memiliki anak dan jika ingin, berapa jumlah yang diinginkan (Tedjo, 2009).

Arnold et al. (1975) menyebutkan nilai anak sebagai nilai keseluruhan dari seorang anak yang terdiri dari nilai positif dan nilai negatif. Nilai positif merupakan kepuasan atau kegunaan yang dirasakan orang tua, sementara itu nilai negatif merupakan biaya atau beban yang ditimbulkan oleh keberadaan seorang anak. Manfaat/kepuasan dan biaya/beban tersebut tidak semata-mata aspek finansial (monetary), tetapi juga aspek psikologis dan sosial.

Persepsi orang tua terhadap nilai anak berpengaruh terhadap jumlah anak yang diinginkan (demand for children). Bulatao dan Lee (1983) dan Shapiro (1997) menemukan hubungan positif antara nilai anak dan jumlah anak yang diinginkan. Ketika anak dipersepsikan memiliki kegunaan dan manfaat yang besar maka orang tua menginginkan jumlah anak yang lebih banyak. Sementara itu, ketika orang tua berpersepsi bahwa biaya atau beban karena memiliki anak lebih besar, maka orang tua menginginkan anak yang lebih sedikit (Shapiro, 1997). Walaupun demikian, ada faktor lain, seperti pendapatan, latar belakang sosial dan budaya, modernisasi, serta kebijakan pemerintah yang secara langsung ataupun


(7)

tidak langsung berpengaruh terhadap jumlah anak yang diinginkan (Hartoyo, Latifah & Mulyani, 2011).

Jumlah anak yang masih hidup erat kaitannya dengan tingkat kesejahteraan. Keluarga dengan tingkat kesejahteraan tinggi, umumnya lebih mementingkan kualitas anak daripada kuantitas anak. Sementara itu pada keluarga miskin, anak dianggap memiliki nilai ekonomi. Umumnya, keluarga miskin lebih banyak mempunyai anak dibandingkan dengan keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke atas. Hal ini disebabkan karena pada umumnya keluarga miskin mempunyai tingkat pendidikan rendah atau menikah pada usia muda sehingga memiliki banyak anak (Nasution, 2011).

Jumlah anak hidup mempengaruhi pasangan usia subur dalam menentukan metode kontrasepsi yang akan digunakan. Pada pasangan dengan jumlah anak hidup masih sedikit, terdapat kecenderungan untuk menggunakan metode kontrasepsi dengan efektivitas rendah, sedangkan pada pasangan dengan jumlah anak hidup banyak, terdapat kecenderungan menggunakan metode kontrasepsi dengan efektivitas tinggi (WHO, 2006; Alemaheyu, Belachew, Tilahun, 2012). Wanita nulipara lebih cenderung menggunakan metode kontrasepsi tradisional (Lyons-Amos, Durrant, Padmadas, 2011). Di antara pilihan metode kontrasepsi modern dan tradisional, terdapat hubungan yang positif antara paritas dan komposisi jenis kelamin anak terhadap penggunaan metode kontrasepsi modern saja (Jayaraman, Mishra, Arnold, 2008). Makin banyak jumlah anak hidup yang dimiliki oleh pasangan, makin besar kecenderungan penggunaan metode kontrasepsi jangka panjang (Wang, 2010; Nasution, 2011).


(8)

3. Komposisi Jenis Kelamin Anak

Mayoritas budaya masyarakat di dunia, termasuk di Indonesia menunjukkan kecenderungan untuk lebih menyenangi kelahiran anak laki-laki, dibandingkan kelahiran anak perempuan. Preferensi jenis kelamin laki-laki ini terutama terjadi di kalangan budaya Islam, Cina, India, dan di Indonesia, budaya ini ditemukan terutama pada masyarakat Batak dan Bali. Pemilihan secara aktif jenis kelamin anak-anak perempuan (sex preference culture) tampaknya hanya ada pada beberapa budaya tertentu. Faktor budaya ini yang antara lain menyebabkan suatu pasangan berkeinginan untuk menambah anak terus hingga keinginan untuk memiliki anak dengan jenis kelamin tertentu terwujud (Irawan, 2008).

Pemilihan metode kontrasepsi modern dan tradisional secara signifikan berhubungan dengan komposisi jenis kelamin anak hidup yang dimiliki. Kecenderungan penggunaan metode kontrasepsi modern meningkat seiring dengan banyaknya jumlah anak laki-laki (Jayaraman, Mishra, Arnold, 2008). Penggunaan metode permanen secara positif berhubungan dengan meningkatnya jumlah anak laki-laki (Mannan, 2002; Jayaraman, Mishra, Arnold, 2008).

4. Usia Anak Terkecil

Usia anak terkecil erat hubungannya dengan pengaturan jarak kehamilan selanjutnya. Jarak kelahiran yang aman antara anak satu dengan lainnya adalah 27 sampai 32 bulan. Pada jarak ini si ibu akan memiliki bayi yang sehat serta selamat saat melewati proses kehamilan (Agudelo, 2007). Jarak kehamilan atau kelahiran yang berdekatan juga dapat memicu pengabaian pada anak pertama secara fisik


(9)

maupun psikis, yang dapat menimbulkan rasa cemburu akibat ketidaksiapan berbagi kasih sayang dari orang tuanya (Yolan, 2007). Perencanaan kehamilan dapat dilakukan dengan mengikuti program Keluarga Berencana (KB).

Usia anak terkecil suatu pasangan dapat mempengaruhi pemilihan metode dalam dua cara. Di daerah-daerah tempat angka kematian bayi tinggi, sebagian pasangan dengan anak yang masih kecil dan tidak lagi menginginkan anak menunda pemakaian metode kontrasepsi permanen sampai mereka cukup yakin bahwa anak mereka akan bertahan hidup. Seorang wanita yang baru melahirkan mungkin mengandalkan efek kontrasepsi dari menyusui atau memilih metode komplementer yang dapat digunakan sewaktu menyusui (WHO, 2006). Menurut sebuah penelitian, wanita yang baru melahirkan, atau dengan kata lain memiliki anak balita cenderung menggunakan metode kontrasepsi modern (Lyons-Amos, Durrant, Padmadas, 2011).

5. Jenis Persalinan Terakhir

Sebuah penelitian di Meksiko menunjukkan persalinan Sectio Cesarea yang dijalani wanita sebelumnya menjadi faktor penentu yang signifikan terhadap penggunaan kontrasepsi postpartum (Gutierrez et al, 2003).

6. Usia Pernikahan

Perkawinan adalah bentuk hubungan antarpribadi yang spesifik. Meskipun banyak orang yang akan atau telah mengalaminya tetapi terdapat beragam perbedaan tipe hubungan, model, tahapan, perkembangan dan proses yang


(10)

berubah setiap waktu. Hollingshead (1950), Katz dan Hill (1956) menyatakan perkawinan umumnya dibentuk antarindividu yang memiliki kategori kebudayaan tertentu, seperti kesamaan latar belakang etnis, ras, agama, pendidikan dan sosial ekonomi (Suryani, 2004).

Penelitian menunjukkan usia pernikahan memiliki efek yang signifikan terhadap penggunaan MKJP dan non MKJP. Pasangan dengan usia pernikahan lebih dari 10 tahun cenderung menggunakan MKJP. Pasangan dengan usia pernikahan yang lebih lama, umumnya memiliki status pernikahan yang lebih stabil sehingga kemungkinan besar menggunakan metode permanen (Nasution, 2011).

7. Tujuan Reproduksi (Fertility Intention)

Tujuan reproduksi dari suatu pasangan, apakah mereka akan menjarangkan anak mereka atau membatasi jumlah keluarga-jelas memiliki pengaruh pada pemilihan metode. Pasangan yang tidak lagi menginginkan anak mungkin memilih metode yang sangat efektif, bekerja lebih lama, atau permanen karena lebih cocok dengan kebutuhan mereka. Pasangan yang ingin memiliki anak di masa depan mungkin puas dengan metode yang yang kurang efektif karena mengetahui bahwa kegagalan metode hanya mempengaruhi penentuan waktu rencana reproduktif mereka dan tidak mempengaruhi jumlah anak yang diinginkan secara keseluruhan (WHO, 2006).

Tujuan ber-Kb erat hubungannya dengan perencanaan keluarga yaitu untuk menunda kehamilan, menjarangkan kehamilan, dan mengakhiri kelahiran.


(11)

Penelitian menunjukkan wanita yang tidak ingin memiliki anak dalam periode 12 bulan ke depan lebih cenderung menggunakan metode kontrasepsi modern (Stephenson et al, 2007). Terdapat hubungan yang signifikan antara tujuan ber-Kb dengan penggunaan MKJP dan non MKJP (Nasution, 2011). Secara umum, terdapat kecenderungan penggunaan metode permanen seiring semakin mendekatinya besar keluarga dan jumlah anak laki-laki dengan yang PUS inginkan (Jayaraman, Mishra, Arnold, 2008). Pasangan yang masih ingin menambah jumlah anak lagi atau setidaknya satu anak laki-laki, lebih cenderung menggunakan metode jangka pendek (Wang, 2010).

2.3.2. Kompetensi Kontrasepsi (Contraceptive Competence)

Kompetensi kontrasepsi adalah kemampuan menggunakan metode kontrasepsi tertentu secara efektif. Kompetensi kontrasepsi diantaranya dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan dan dukungan pasangan (Laguna, Po, Perez, 2000).

1. Tingkat Pendidikan

Pendidikan merupakan faktor yang sangat menentukan pengetahuan dan persepsi seseorang terhadap pentingnya suatu hal, termasuk pentingnya keikutsertaan dalam keluarga berencana. Ini disebabkan karena seseorang yang berpendidikan tinggi pada umumnya akan lebih luas pandangannya dan lebih muda menerima ide maupun hal-hal yang inovatif (pembaharuan) (Nasution, 2011). Faktor pendidikan juga menentukan dalam pola pengambilan keputusan


(12)

dan penerimaan informasi. Dalam hubungan dengan pemakaian kontrasepsi, pendidikan akseptor dapat mempengaruhi dalam hal pemilihan jenis kontrasepsi yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kelangsungan pemakaiannya. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan akan mempengaruhi umur perkawinan pertama, yang pada akhirnya akan mempengaruhi fertilitas. Wanita yang tingkat pendidikannya lebih tinggi, umumnya umur perkawinan pertama juga tinggi dan pada akhirnya akan mempengaruhi jumlah anak yang dilahirkan yang akan lebih sedikit (Iswarati, 2009).

Tingkat pendidikan yang lebih tinggi pada wanita secara konsisten berhubungan dengan fertilitas yang lebih rendah dan penggunaan kontrasepsi yang lebih tinggi (Gubhaju, 2009). Variasi pemilihan metode kontrasepsi berdasarkan tingkat pendidikan tampaknya kecil, walaupun wanita yang berpendidikan lebih tinggi (menengah atau lebih tinggi) paling sering menggunakan metode jangka panjang, sementara tanpa pendidikan formal lebih cenderung menggunakan metode tradisional (Magadi & Curtis, 2003; Rahayu, Utomo, McDonald, 2009; Nasution, 2011, Lyons-Amos, Durrant, Padmadas, 2011). Akan tetapi, penggunaan metode suntik menurun seiring meningkatnya pendidikan (Magadi & Curtis, 2003).

2.Tingkat pengetahuan

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan, dari penelitian dan


(13)

pengalaman terbukti akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Kusumaningrum, 2009).

Pengetahuan tentang kontrasepsi secara signifikan mengurangi fertilitas, baik apakah fertilitas diukur sebagai fertilitas sepanjang hidup atau kemungkinan melahirkan. Keterpaparan terhadap media dan jaringan sosial memainkan peran penting dalam perolehan pengetahuan tentang kontrasepsi modern. Wanita yang teratur menonton TV, mendengarkan radio, atau membaca koran dan majalah cenderung terpapar oleh informasi yang berhubungan dengan kontrasepsi sehingga akan memiliki pengetahuan lebih tentang kontrasepsi (Withers, Kano, Pinatih, 2010).

3. Dukungan Pasangan

Dalam pelaksanaan program keluarga berencana selama ini, isu gender yang sangat menyolok adalah akses pria terhadap informasi dan pelayanan KB masih sangat terbatas, peserta KB pria jauh lebih sedikit dibandingkan wanita, hanya sedikit pria yang mengetahui manfaat KB, dan masih dominannya suami dalam pengambilan keputusan KB. Ketidaksetaraan gender dalam bidang KB dan kesehatan reproduksi akan berpengaruh pada keberhasilan program. Keterlibatan suami dalam KB dapat diwujudkan antara lain dengan membantu istri memilih metode yang sesuai, membantu menggunakan kontrasepsi dengan benar, mencari pertolongan jika terjadi efek samping atau komplikasi alat kontrasepsi, mengantar istri ke fasilitas pelayanan kesehatan, dan menggunakan kontrasepsi bila keadaan istri tidak memungkinkan.


(14)

Penelitian menunjukkan wanita yang diberikan izin oleh suami menggunakan KB lebih cenderung menjadi akseptor KB dan menggunakan metode kontrasepsi modern (Rahayu, Utomo, McDonald, 2009; Stephenson, Beke, Tshibangu, 2008). Wanita yang tidak diiizinkan oleh pasangannya untuk ber-KB cenderung lebih sering menggunakan metode tradisional. Wanita dengan keadaan tersebut juga umumnya lebih memilih metode suntik dan jarang menggunakan metode barrier daripada wanita yang mendapatkan persetujuan dari suami (Magadi & Curtis, 2003).

2.3.3. Evaluasi Kontrasepsi (Contraceptive Evaluation)

Evaluasi kontrasepsi diantaranya dipengaruhi oleh faktor efek samping kontrasepsi dan agama (Laguna, Po, Perez, 2000).

1. Agama

Pandangan setiap agama terhadap KB berbeda-beda sesuai dengan ajarannya masing-masing. Agama Islam memperbolehkan KB dengan alasan KB dianggap penting untuk menjaga kesehatan ibu dan anak, menunjang program pembangunan kependudukan lainnya dan menjadi bagian dari hak azasi manusia. Tetapi ada juga beberapa orang yang memiliki pandangan KB tidak boleh dilakukan dengan alasan Al Qur’an tidak memperbolehkan pemakaian alat kontrasepsi yang dianggap sebagai membunuh bayi atau agama Islam menginginkan agar Islam mempunyai umat yang besar dan kuat (Hartini, 2011). Metode kontrasepsi yang mekanisme kerjanya mencegah pertemuan antara


(15)

sperma dan sel telur umumnya diterima. Sementara metode kontrasepsi dengan IUD ditolak oleh sebagian ulama karena adanya kemungkinan bahwa IUD tidak mencegah pertemuan sperma dan sel telur melainkan mencegah hasil konsepsi untuk menempel ke rahim, yang berarti sama dengan pengguguran atau pembunuhan (Kuntari, 2010). Adapun pencegahan kehamilan yang permanen (sterilisasi) seperti vasektomi dan tubektomi, menurut MUI hukumnya haram (BKKBN, 2011).

Agama selain Islam di Indonesia umumnya mendukung KB. Pandangan agama Hindu terhadap KB sangat positif karena alat kontrasepsi dipergunakan untuk kesejahteraan manusia sehingga akan disetujui oleh Hindu Dharma dan tidak akan ditentang. Agama Buddha, yang memandang setiap manusia pada dasarnya baik, tidak melarang umatnya ber-KB demi kesejahteraan keluarga. Agama Kristen Protestan tidak melarang umatnya ber-KB, yang mana sedikit berbeda dengan agama Katolik yang memandang kesejahteraan keluarga diletakkan dan diwujudkan dalam pemahaman holistik sesuai dengan kehendak Allah. Gereja Katolik hanya menerima abstinensia dan pantang berkala (hubungan seksual hanya dilakukan pada masa tidak subur dalam siklus bulanan seorang wanita) sebagai metode keluarga berencana yang sesuai dengan pandangan gereja dan menolak secara tegas metode KB lainnya (Hartini, 2011).

2. Efek Samping Kontrasepsi

Dalam memilih suatu metode, seorang wanita harus mengetahui bagaimana penggunaan metode akan mempengaruhi gaya hidup mereka. Kadang-kadang


(16)

suatu metode tidak dapat diterima oleh seorang wanita hanya karena metode tersebut dapat mengganggu kegiatan rutinnya. Efek samping, misalnya perdarahan ireguler, juga dapat mempengaruhi pemilihan metode. Di daerah-daerah tempat wanita dilarang melakukan kegiatan aktivitas tertentu selama haid, suatu metode yang menyebabkan perdarahan ireguler, mungkin sulit diterima. Sebaliknya, metode yang menyebabkan perdarahan yang teratur dan sedikit, misalnya kontrasepsi oral, mungkin dipandang sangat sesuai (WHO, 2006).

Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007 memperlihatkan 25% responden mengalami masalah kesehatan selama menggunakan alat kontrasepsi. Persentase terbesar yang mengalami gangguan kesehatan selama menggunakan alat kontrasepsi adalah mereka yang menggunakan suntik 3 bulan (30%) dibandingkan dengan metode yang lain. Selanjutnya adalah mereka yang menggunakan metode suntik 1 bulan (25%). Sementara persentase terkecil adalah mereka yang menggunakan metode sterilisasi wanita (12%). Mereka yang menggunakan metode IUD juga tidak banyak yang mengalami masalah kesehatan, yaitu 12%. Perbedaan persentase ini cukup signifikan (p-value= 0,000).

Masalah kesehatan yang sering dialami responden selama memakai alat kontrasepsi di antaranya sakit kepala, tidak mengalami menstruasi, masalah kesehatan lainnya, dan mengalami kenaikan berat badan. Keluhan sakit kepala banyak dialami oleh mereka yang menggunakan metode pil (42%), suntik 3 bulan (28%), dan suntik 1 bulan (28%). Sedangkan yang tidak banyak mengalami gangguan sakit kepala adalah mereka yang menggunakan susuk 5 tahun (10%). Gejala mual paling banyak dialami oleh mereka yang menggunakan pil (20%).


(17)

Responden yang paling banyak mengalami gangguan tidak haid adalah mereka yang menggunakan suntik 3 bulan (30%), kemudian metode susuk 5 tahun (27%), dan susuk 3 tahun (12%). Masalah kesehatan lainnya paling banyak dialami oleh mereka yang menggunakan susuk 5 tahun (45%), dan paling sedikit dialami oleh mereka yang minum pil (14%). Gejala gangguan kesehatan juga ditandai dengan kenaikan berat badan, yang banyak dialami oleh mereka yang menggunakan metode suntik 1 bulan (23%) dan metode susuk tahun (17%).

(Hastono, 2009)

Di negara berkembang, 20-30% wanita yang menggunakan kontrasepsi oral atau suntik menghentikan penggunaan kontrasepsi setelah 2 tahun karena efek samping atau efek terhadap kesehatan lainnya (Alemaheyu, Belachew, Tilahun, 2012). Prevalensi persepsi negatif terhadap metode kontrasepsi, dan khususnya rasa takut terhadap efek samping dan resiko kesehatan, berhubungan dengan pemilihan penggunaan metode yang kurang efektif dalam mencegah kehamilan (Walsh, 2005). Penelitian menunjukkan berdasarkan kenyamanan suatu metode, wanita lebih cenderung menggunakan pil dibandingkan dengan metode modern lainnya, sementara mereka jarang menggunakan metode sterilisasi (Mannan, 2002 dalam Hollander, 2003).

2.3.4. Akses Kontrasepsi (Contraceptive Access)

Menurut Bertrand et al (1995) faktor aksesibilitas yang mempengaruhi pemilihan metode kontrasepsi diantaranya dapat dibagi menjadi aksesibilitas fisik


(18)

keberadaan dan lokasi fasilitas pelayanan kontrasepsi. Aksesibilitas ekonomi meliputi biaya langsung untuk mendapatkan pelayanan atau alat kontrasepsi dan biaya untuk mencapai tempat pelayanan kontrasepsi (Htay & Gardner, 2003).

1. Fasilitas Pelayanan Kontrasepsi

Bruce (1990); Wilopo(1995) mengemukakan bahwa kualitas layanan yang tinggi akan menurunkan fertilitas melalui peningkatan pemakaian dan pemilihan alat kontrasepsi. Ada beberapa kemungkinan dampak positif yang muncul. Pertama, pemberian pilihan alternatif alat kontrasepsi akan meningkatkan efektifitas program KB. Kedua, memberikan pilihan metode alternatif akan meningkatkan prevalensi. Beberapa studi menunjukkan semakin banyak metode alternatif yang disediakan, maka semakin tinggi angka prevelansi kontrasepsinya. Ketiga, dengan mempertimbangkan kebutuhan dan pilihan klien dalam memberikan jenis kontrasepi akan meningkatkan kelangsungan pemakaian alat kontrasepsi. Keempat, pemberian jenis alat kontrasepsi yang sesuai dengan keinginan individu maupun pasangan akan mempunyai hasil yang lebih baik dibanding kalau memaksa pemakaian jenis kontrasepsi tertentu. Dengan demikian tampak bahwa kualitas pelayanan tidak hanya menyangkut kedekatan dan jarak tempuh ke tempat layanan semata, tetapi juga menyangkut ekonomi, psikologi, kesadaran dan persepsi klien terhadap metode kontrasepsi yang dibutuhkannya (Dwiyanto, 1997; Thang dan Anh, 2002 dalam Hastono 2009).

Kunjungan yang lama di tempat pelayanan kontrasepsi atau waktu perjalanan yang panjang merupakan hal yang mengurangi pendapatan bagi para


(19)

klien yang seharusnya bekerja. Faktor ini terutama terjadi pada metode kontrasepsi yang memerlukan pemberian ulang seperti kontrasepsi oral, obat suntik sebulan sekali atau kondom sehingga pemakaian metode-metode ini berkurang seiring dengan waktu perjalanan untuk mendapatkan layanan (WHO, 2006).

2. Biaya

Biaya langsung yang dikeluarkan untuk suatu metode, mempengaruhi pemilihan jenis metode kontrasepsi. Suatu penelitian menunjukkan hubungan signifikan antara pendapatan dan keputusan dalam memilih kontrasepsi, sebagian pasangan yang diteliti menyatakan bahwa mereka lebih memilih metode tradisional daripada metode modern karena perbedaan biaya. Penelitian lain menunjukkan biaya menjadi kendala utama dalam memilih metode sterilisasi (WHO, 2006).

Dengan adanya program Jamkesmas, keluarga miskin mendapatkan pelayanan KB secara cuma-cuma baik obat maupun alat kontrasepsi. Program ini dimaksudkan agar keluarga miskin tidak kesulitan dalam mengakses program KB, karena bila pertambahan penduduk tidak dapat dikendalikan, maka beban pembangunan akan bertambah. Pelayanan yang diberikan Jamkesmas bersifat komprehensif berjenjang. Pelayanan KB gratis termasuk dalam pelayanan yang diberikan di tingkat Puskesmas kecuali untuk jenis MOW dan MOP yang harus dirujuk ke rumah sakit .


(20)

3. Sumber Informasi KB

Salah satu faktor yang penting diperhatikan dalam layanan KB adalah faktor informasi. Informasi yang memadai mengenai berbagai metode KB akan membantu klien untuk menentukan pilihan alat kontrasepsi, baik informasi mengenai efek samping maupun alternatif metode KB. Pemberian informasi yang memadai mengenai efek samping alat kontrasepsi akan membantu klien mengetahui apakah alat tersebut cocok dengan kondisi kesehatan tubuhnya atau tidak. Selain itu, pemberian informasi yang memadai mengenai efek samping alat kontrasepsi, juga akan membantu klien menentukan pilihan metode alternatif lain yang sesuai dengan kondisinya. Petugas berkewajiban untuk memberikan informasi mengenai berbagai alternatif metode KB agar klien memiliki kebebasan menentukan pilihan (Hastono, 2009). Pemberian informasi oleh petugas KB, bidan/perawat, dan petugas PKK yang memiliki asosiasi dengan penggunaan alat kontrasepsi (Sumini, Tsalatsa, Kuntohadi, 2009).

Faktor akses informasi memiliki asosiasi positif dengan pemakaian alat kontrasepsi. Semakin tinggi frekuensi penyerapan informasi akan semakin meningkatkan kemungkinan pemakaian alat kontrasepsi. Berdasarkan tingkat korelasinya, televisi merupakan media dengan tingkat korelasi terkuat terhadap pemakaian alat kontrasepsi, diikuti dengan koran dan radio (Sumini, Tsalatsa, Kuntohadi, 2009). Keterpaparan terhadap media dan jaringan sosial memainkan peran penting dalam perolehan pengetahuan tentang kontrasepsi modern. Wanita yang teratur menonton TV, mendengarkan radio, atau membaca koran dan majalah cenderung terpapar oleh informasi yang berhubungan dengan kontrasepsi


(21)

sehingga akan memiliki pengetahuan lebih tentang kontrasepsi (Withers, Kano, Pinatih, 2010). Media memiliki peran yang positif dalam mempromosikan penggunaan metode kontrasepsi modern (Qazi et al, 2009).

Keterpaparan komunitas terhadap pesan KB melalui media berkaitan dengan kemungkinan yang lebih tinggi penggunaan metode kontrasepsi jangka panjang (Rahayu, Utomo, McDonald, 2009; Magadi & Curtis, 2003). Pasangan usia subur yang pernah dikunjungi petugas KB, secara signifikan lebih besar kemungkinannya menggunakan metode kontrasepsi modern atau metode kontrasepsi jangka panjang (Rahayu, Utomo, McDonald, 2009).


(1)

suatu metode tidak dapat diterima oleh seorang wanita hanya karena metode tersebut dapat mengganggu kegiatan rutinnya. Efek samping, misalnya perdarahan ireguler, juga dapat mempengaruhi pemilihan metode. Di daerah-daerah tempat wanita dilarang melakukan kegiatan aktivitas tertentu selama haid, suatu metode yang menyebabkan perdarahan ireguler, mungkin sulit diterima. Sebaliknya, metode yang menyebabkan perdarahan yang teratur dan sedikit, misalnya kontrasepsi oral, mungkin dipandang sangat sesuai (WHO, 2006).

Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007 memperlihatkan 25% responden mengalami masalah kesehatan selama menggunakan alat kontrasepsi. Persentase terbesar yang mengalami gangguan kesehatan selama menggunakan alat kontrasepsi adalah mereka yang menggunakan suntik 3 bulan (30%) dibandingkan dengan metode yang lain. Selanjutnya adalah mereka yang menggunakan metode suntik 1 bulan (25%). Sementara persentase terkecil adalah mereka yang menggunakan metode sterilisasi wanita (12%). Mereka yang menggunakan metode IUD juga tidak banyak yang mengalami masalah kesehatan, yaitu 12%. Perbedaan persentase ini cukup signifikan (p-value= 0,000).

Masalah kesehatan yang sering dialami responden selama memakai alat kontrasepsi di antaranya sakit kepala, tidak mengalami menstruasi, masalah kesehatan lainnya, dan mengalami kenaikan berat badan. Keluhan sakit kepala banyak dialami oleh mereka yang menggunakan metode pil (42%), suntik 3 bulan (28%), dan suntik 1 bulan (28%). Sedangkan yang tidak banyak mengalami gangguan sakit kepala adalah mereka yang menggunakan susuk 5 tahun (10%). Gejala mual paling banyak dialami oleh mereka yang menggunakan pil (20%).


(2)

Responden yang paling banyak mengalami gangguan tidak haid adalah mereka yang menggunakan suntik 3 bulan (30%), kemudian metode susuk 5 tahun (27%), dan susuk 3 tahun (12%). Masalah kesehatan lainnya paling banyak dialami oleh mereka yang menggunakan susuk 5 tahun (45%), dan paling sedikit dialami oleh mereka yang minum pil (14%). Gejala gangguan kesehatan juga ditandai dengan kenaikan berat badan, yang banyak dialami oleh mereka yang menggunakan metode suntik 1 bulan (23%) dan metode susuk tahun (17%).

(Hastono, 2009)

Di negara berkembang, 20-30% wanita yang menggunakan kontrasepsi oral atau suntik menghentikan penggunaan kontrasepsi setelah 2 tahun karena efek samping atau efek terhadap kesehatan lainnya (Alemaheyu, Belachew, Tilahun, 2012). Prevalensi persepsi negatif terhadap metode kontrasepsi, dan khususnya rasa takut terhadap efek samping dan resiko kesehatan, berhubungan dengan pemilihan penggunaan metode yang kurang efektif dalam mencegah kehamilan (Walsh, 2005). Penelitian menunjukkan berdasarkan kenyamanan suatu metode, wanita lebih cenderung menggunakan pil dibandingkan dengan metode modern lainnya, sementara mereka jarang menggunakan metode sterilisasi (Mannan, 2002 dalam Hollander, 2003).

2.3.4. Akses Kontrasepsi (Contraceptive Access)

Menurut Bertrand et al (1995) faktor aksesibilitas yang mempengaruhi pemilihan metode kontrasepsi diantaranya dapat dibagi menjadi aksesibilitas fisik


(3)

keberadaan dan lokasi fasilitas pelayanan kontrasepsi. Aksesibilitas ekonomi meliputi biaya langsung untuk mendapatkan pelayanan atau alat kontrasepsi dan biaya untuk mencapai tempat pelayanan kontrasepsi (Htay & Gardner, 2003).

1. Fasilitas Pelayanan Kontrasepsi

Bruce (1990); Wilopo(1995) mengemukakan bahwa kualitas layanan yang tinggi akan menurunkan fertilitas melalui peningkatan pemakaian dan pemilihan alat kontrasepsi. Ada beberapa kemungkinan dampak positif yang muncul. Pertama, pemberian pilihan alternatif alat kontrasepsi akan meningkatkan efektifitas program KB. Kedua, memberikan pilihan metode alternatif akan meningkatkan prevalensi. Beberapa studi menunjukkan semakin banyak metode alternatif yang disediakan, maka semakin tinggi angka prevelansi kontrasepsinya. Ketiga, dengan mempertimbangkan kebutuhan dan pilihan klien dalam memberikan jenis kontrasepi akan meningkatkan kelangsungan pemakaian alat kontrasepsi. Keempat, pemberian jenis alat kontrasepsi yang sesuai dengan keinginan individu maupun pasangan akan mempunyai hasil yang lebih baik dibanding kalau memaksa pemakaian jenis kontrasepsi tertentu. Dengan demikian tampak bahwa kualitas pelayanan tidak hanya menyangkut kedekatan dan jarak tempuh ke tempat layanan semata, tetapi juga menyangkut ekonomi, psikologi, kesadaran dan persepsi klien terhadap metode kontrasepsi yang dibutuhkannya (Dwiyanto, 1997; Thang dan Anh, 2002 dalam Hastono 2009).

Kunjungan yang lama di tempat pelayanan kontrasepsi atau waktu perjalanan yang panjang merupakan hal yang mengurangi pendapatan bagi para


(4)

klien yang seharusnya bekerja. Faktor ini terutama terjadi pada metode kontrasepsi yang memerlukan pemberian ulang seperti kontrasepsi oral, obat suntik sebulan sekali atau kondom sehingga pemakaian metode-metode ini berkurang seiring dengan waktu perjalanan untuk mendapatkan layanan (WHO, 2006).

2. Biaya

Biaya langsung yang dikeluarkan untuk suatu metode, mempengaruhi pemilihan jenis metode kontrasepsi. Suatu penelitian menunjukkan hubungan signifikan antara pendapatan dan keputusan dalam memilih kontrasepsi, sebagian pasangan yang diteliti menyatakan bahwa mereka lebih memilih metode tradisional daripada metode modern karena perbedaan biaya. Penelitian lain menunjukkan biaya menjadi kendala utama dalam memilih metode sterilisasi (WHO, 2006).

Dengan adanya program Jamkesmas, keluarga miskin mendapatkan pelayanan KB secara cuma-cuma baik obat maupun alat kontrasepsi. Program ini dimaksudkan agar keluarga miskin tidak kesulitan dalam mengakses program KB, karena bila pertambahan penduduk tidak dapat dikendalikan, maka beban pembangunan akan bertambah. Pelayanan yang diberikan Jamkesmas bersifat komprehensif berjenjang. Pelayanan KB gratis termasuk dalam pelayanan yang diberikan di tingkat Puskesmas kecuali untuk jenis MOW dan MOP yang harus dirujuk ke rumah sakit .


(5)

3. Sumber Informasi KB

Salah satu faktor yang penting diperhatikan dalam layanan KB adalah faktor informasi. Informasi yang memadai mengenai berbagai metode KB akan membantu klien untuk menentukan pilihan alat kontrasepsi, baik informasi mengenai efek samping maupun alternatif metode KB. Pemberian informasi yang memadai mengenai efek samping alat kontrasepsi akan membantu klien mengetahui apakah alat tersebut cocok dengan kondisi kesehatan tubuhnya atau tidak. Selain itu, pemberian informasi yang memadai mengenai efek samping alat kontrasepsi, juga akan membantu klien menentukan pilihan metode alternatif lain yang sesuai dengan kondisinya. Petugas berkewajiban untuk memberikan informasi mengenai berbagai alternatif metode KB agar klien memiliki kebebasan

menentukan pilihan (Hastono, 2009). Pemberian informasi oleh petugas KB,

bidan/perawat, dan petugas PKK yang memiliki asosiasi dengan penggunaan alat kontrasepsi (Sumini, Tsalatsa, Kuntohadi, 2009).

Faktor akses informasi memiliki asosiasi positif dengan pemakaian alat kontrasepsi. Semakin tinggi frekuensi penyerapan informasi akan semakin meningkatkan kemungkinan pemakaian alat kontrasepsi. Berdasarkan tingkat korelasinya, televisi merupakan media dengan tingkat korelasi terkuat terhadap pemakaian alat kontrasepsi, diikuti dengan koran dan radio (Sumini, Tsalatsa, Kuntohadi, 2009). Keterpaparan terhadap media dan jaringan sosial memainkan peran penting dalam perolehan pengetahuan tentang kontrasepsi modern. Wanita yang teratur menonton TV, mendengarkan radio, atau membaca koran dan majalah cenderung terpapar oleh informasi yang berhubungan dengan kontrasepsi


(6)

sehingga akan memiliki pengetahuan lebih tentang kontrasepsi (Withers, Kano, Pinatih, 2010). Media memiliki peran yang positif dalam mempromosikan penggunaan metode kontrasepsi modern (Qazi et al, 2009).

Keterpaparan komunitas terhadap pesan KB melalui media berkaitan dengan kemungkinan yang lebih tinggi penggunaan metode kontrasepsi jangka panjang (Rahayu, Utomo, McDonald, 2009; Magadi & Curtis, 2003). Pasangan usia subur yang pernah dikunjungi petugas KB, secara signifikan lebih besar kemungkinannya menggunakan metode kontrasepsi modern atau metode kontrasepsi jangka panjang (Rahayu, Utomo, McDonald, 2009).


Dokumen yang terkait

Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan metode kontrasepsi suntik pada pasangan usia subur (PUS) di Kelurahan Losung Kecamatan Padangsidimpuan Selatan

5 54 121

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pasangan Usia Subur (PUS) Tidak Menggunakan Alat Kontrasepsi Di Dusun II Desa Tanjung Anom Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang

7 110 68

Analisa Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Metode Kontrasepsi pada Pasangan Usia Subur (PUS) di Wilayah Kerja Puskesmas Pancur Batu

19 130 148

Analisa Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Metode Kontrasepsi pada Pasangan Usia Subur (PUS) di Wilayah Kerja Puskesmas Pancur Batu

0 0 10

Analisa Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Metode Kontrasepsi pada Pasangan Usia Subur (PUS) di Wilayah Kerja Puskesmas Pancur Batu

0 0 1

Analisa Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Metode Kontrasepsi pada Pasangan Usia Subur (PUS) di Wilayah Kerja Puskesmas Pancur Batu

0 0 6

Analisa Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Metode Kontrasepsi pada Pasangan Usia Subur (PUS) di Wilayah Kerja Puskesmas Pancur Batu

0 0 7

Analisa Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Metode Kontrasepsi pada Pasangan Usia Subur (PUS) di Wilayah Kerja Puskesmas Pancur Batu

0 0 58

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMILIHAN KONTRASEPSI HORMONAL PADA PASANGAN USIA SUBUR (PUS) DI PUSKESMAS BANGUNTAPAN II BANTUL - DIGILIB UNISAYOGYA

0 0 14

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI UNMET NEED PADA PASANGAN USIA SUBUR (PUS) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SOKARAJA II TAHUN 2016

0 0 12