Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Debitur Dalam Perjanjian Kredit Bank Dikaitkan Dengan Keadaan Memaksa Akibat Bencana Alam Dan Kepastian Hukum Hak Kreditur

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dewasa ini kredit tidak dapat lagi dipisahkan dari kehidupan bisnis. Dalam
dunia modern dengan sistem moneter yang sudah kompleks baik nasional maupun
internasionalyang sudah begitu erat, perkreditan sangat dibutuhkan dan tidak dapat
dipisahkandari kebutuhan perkembangan ekonomi negara dan kesejahteraan
bangsany. 9Fungsi utama bank dalam suatu perekonomian adalah untuk memobilisasi
dana masayarakat dan secara tepat dan cepat menyalurkan dana tersebut kepada
pengguna investasi yang efektif dan efisien. Fungsi tersebut dapat dikatakan “aliran
darah” bagi perkembangan perekonomian dan peningkatkan taraf hidup. 10
Kredit merupakan bagian fungsi perbankan dalam hubungan bank sebagai
kreditur dengan nasabah sebagai debitur. Fungsi sebagai lembaga perantara yang
dilaksanakan oleh industri perbankan adalah bagian yang sangat penting dalam
pembangunan ekonomi. Hal ini seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan
akan dana pada saat laju pembangunan semakin tinggi. Saat ini pula ekspansi yang
dilakukan oleh dunia usaha banyak dilakukan sejalan dengan pertumbuhan dan
membaiknya ekonomi. Dalam keadaan seperti ini, kalangan usaha tidak lagi dapat
melakukan pembiayaan yang didasarkan pada sumber dana sendiri. Untuk tujuan


9

R. Tjipto Adinugroho, Perbankan Masalah Perkreditan, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1972) h.

11.
10

Zulkarnain Sitompul,Perlindungan Dana NasabahBank,Suatu Gagasan Tentang Pendirian
Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2002), h.1.

perluasan usaha ini, laba yang ditahan tidak lagi mencukupi untuk membiayai
pengembangan yang dibutuhkan. Industri perbankan merupakan salah satu sumber
pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan yang diinginkan. 11 Oleh karena itu, bank
dapat dikatakan merupakan urat nadi perekonomian suatu negara, di mana kemajuan
perekonomian dan kesejahteraan rakyatnya itu sangat tergantung pada maju tidaknya
bank di negara tersebut. Industri perbankan merupakan komponen penting sebagai
pendukung dan penggerak sektor rill. Kebijakan di sektor perbankan akan
berpengaruh dan memiliki implikasi terhadap pembangunan ekonomi nasional secara
keseluruhan.

Bisnis dalam mengelola bank mempunyai karakteristik tersendiri sehingga
berbeda dalam bisnis lainnya dalam pengelolaannya. Menurut Poh Chu Chai:
characteristics of banking business the questions as to whether a particular
organisation is conducting banking business is often not easy to answer. Must the
organisation provide all the services normally associated with a banker before it may
be said to be transacting banking bussines? Will the provision of some banker
services be sufficient to render the business one of banking? Does it make any
difference if the provision of these limited services represents the only activites of the
organisation? In other words, what is the position if the organisation does nothing
else other than provide the limited range of banking services? 12
Karakteristik bisnis suatu bank sering menimbulkan pertanyaan. Pertanyaan
mengenai apakah sebuah organisasi melakukan urusan perbankan sering sekali tidak
mudah untuk dijawab. Haruskah organisasi yang menyerahkan seluruh jasa yang
terkait dengan para bankir dapat dilakukan urusan transaksi bank. Apakah tuntutan
terhadap beberapa jasa bankir cukup untuk menyebabkan urusan tersebut diserahkan
kepada perbankan Apakah akan jadi beda jika pemberian jasa terbatas ini hanya
11

Ibid., h. 23.
Poh Chu Chai, Banking Law, (Singapore: Lexis Nexis, 2nd Edition, 2011), p. 19-20.


12

merupakan aktivitas-aktivitas organisasi. Dengan perkataan lain, bagaimana
keadaannya jika organisasi tidak melakukan apapun kecuali memberikan serangkaian
jasa perbankan yang terbatas.Dalam karateristik bisnis bank tersebut adanya suatu
transaksi, 13 yang mana adanya hubungan hukum antara bank sebagai pihak yang
memberikan jasaperbankan dengan segala aktivitas-aktivitasnya dan nasabah sebagai
penerima jasa perbankan.

Ketika seorang nasabah menyetor uang di sebuah bank,

terbangun suatu hubungan hukum, yaitu antara bank dengannasabah. Bank sebagai
pihak yang bertanggung jawab untuk membayar kembali uang yang telah disimpan
ketika uang tersebut diminta oleh nasabah. Ketika uang simpanan/deposito dari
seorang nasabah telah disetorkan ke sebuah bank, maka uang tersebut menjadi
kepunyaan bank dan pihak bank bebas menggunakan uang tersebut untuk keperluan
bank itu sendiri. Selanjutnya bank akan menyalurkan uang yang dipercayakan oleh

13


Lihat Black’Law Dictionary, istilahtransactiondalamcommon lawadalah kontrak (contract).
Lihat juga Ricardo Simanjuntak dalam bukunya hukum Kontrak (Jakarta: Kontan Publishing, 2001, h.
34-35) pengertian kontrak lebih dipersamakan dengan pengertian dari perikatan yang digambarkan
dalam Pasal 1233 KUH Perdata (Utrecht, menyebutkan hukum perutangan (van verbintennissen), atau
the law of obligation seperti yang digambarkan dalam buku-buku teks hukum negera-negara common
law. Pengertian Kontrak dikutip dari pendapat Treitel G.H. Dalam bukunya Law of Contract, yang
mendefinisikan kontrak sebagai “ ... an agreement giving rise to obligations which are enforced or
recognised at law. Dari definisi tersebut sanggat jelas bahwa kontrak (contact) merupakan agreement
ataupun yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan perjanjian yang mempunyai konsekuensi hukum
(legal enforceability) apabila tidak dipatuhi. Pengertian ini jugalah yang harus dipahami dalam
membaca subjudul dari Buku III KUH Perdata Bab II berjudul tentang Perikatan perikatan yang
dilahirkan dari kontrak atau perjanjian yang pada pengertian tertentu mempersamakan kontrak dengan
perjanjian sebagai perbuatan hukum yang mempunyai kekuatan memaksa. Sama seperti yang
dimaksud dalam Pasal 1313 KUH Perdata, pengertian agreement dalam pengetian luas dapat berarti
sebagai suatu kesepakatan yang mempunyai konsekuensi hukum dan juga kesepakatan yang tidak
mempunyai konsekuensi hukum. Perjanjian atau agreement akan mempunyai kualitas atau pengertian
kontrak apabila ada akibat hukum yang dikenakan terhadap pelanggaran janji (breach of contract)
tersebut.Buku III KUH Perdata mengatur tentang Perikatan (verbintenis) dan perjanjian atau
persetujuan (overeenkomst). Menurut Subekti perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan

hukum kekayaan antara dua orang/lebih atau dua pihak, yang mana pihak yang satu berhak untuk
menuntut sesuatu hal dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Perjanjian adalah
suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang
tersebut yang dinamakan perikatan.

nasabah tersebut melalui kredit kepada masyarakat dengan manajemen perkreditan
yang baik dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian.
Hubungan hukum tersebut adalah hubungan-hubungan yang terjadi dalam lalu
lintas masyarakat, hukum melekatkan “hak” pada satu pihak, dan melekatkan
“kewajiban” pada pihak lainnya. Apabila satu pihak tidak mengindahkan ataupun
melanggar hubungan tadi, lalu hukum memaksakan supaya hubungan tersebut
dipenuhi

atau

dipulihkan.

kewajibannya,maka


hukum

Apabila

salah

“memaksakan”

satu
agar

pihak

tidak

memenuhi

kewajiban-kewajiban

tadi


dipenuhi. 14 Setiap debitur mempunyai kewajiban menyerahkan prestasi 15 kepada
kreditur. Oleh karena itu,debitur mempunyai kewajiban untuk membayar hutang.
Dalam istilah asing kewajiban disebut schuld.Di sampingschuld debitur juga

14

Mariam Darus Badrulzaman,KUH PerdataBukuIIIHukumPerikatan Dengan Penjelasan
(Bandung: Alumni, 2006), h.1-2.
15
Lihat Pasal 1234 KUH Perdata, prestasi itu dibedakan atas: memberikan sesuatu, berbuat
sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu. Perikatan yang termasuk memberikan sesuatu adalah: kewajiban
menyerahkan, Pasal 1235 KUH Perdata, Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu
kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya
sebagai seorang bapak rumah tangga yang baik, sampai pada saat penyerahan. Kewajiban
menggantirugi, Pasal 1236 KUH Perdata, si berutang adalah berwajib memberikan ganti biaya, rugi
dan bunga kepada si berpiutang, apabila ia telah membawa dirinya dalam keadaan tak mampu untuk
menyerahkan kebendaannya, atau telah tidak merawatnya sepatutnya guna menyelamatkannya. Pasal
1237, dalam hal adanya perikatan untuk memberikan sesuatu kebendaan tertentu, kebendaan itu
semenjak perikatan dilahirkan adalah tanggungan si berpiutang. Jika si berpiutang lalai akan

menyerahkannya, maka semenjak saat kelalaian, kebendaan adalah atas tanggungannya. Peringatan,
Pasal 1238 KUH Perdata, si berutang adalah lalai apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah
akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa
si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Perikatan yang
termasuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu adalah: Perikatan yang tidak dipenuhi,
diselesaikan dengan ganti rugi, Pasal 1239 KUH Perdata, tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu atau
tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang, tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaian
dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga. Penghapusan atas biaya yang
berutang, Pasal 1240 KUH Perdata, Dalam pada itu berpiutang adalah berhak menuntut akan
penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perikatan, dan bolehlah ia meminta
supaya dikuasakan oleh hakim untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuat tadi di
atas biaya si berutang; dengan tak mengurangi hak menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga jika
ada alasan untuk itu. Eksekusi rill, Pasal 1241 KUH Perdata, Apabila perikatan tidak dilaksanakan,
maka si berpiutang boleh juga dikuasakan supaya ia sendirilah mengusahakan pelaksanaannya atas
biaya si berutang.

mempunyai kewajiban yang lain yaitu haftung, maksudnya ialah bahwa debitur itu
berkewajiban untuk memberikan harta kekayaannya diambil oleh kreditur sebanyak
hutang debitur, guna pelunasan hutang tadi, apabila debitur tidak memenuhi
kewajibannya membayar hutang tersebut. 16

Fungsi dari suatu bank adalah menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkannya kembali dana tersebut kepada masyarakat/pengusaha yang
memerlukannya. Peran kredit dalam operasi bank sangat besar/penting, di samping
sebagian besar bank masih mengandalkan sumber pendapatan utamanya dari operasi
perkreditan, sehingga untuk mendapatkan margin yang baik diperlukan pengelolaan
perkreditan secara efektif dan efisien. Bank adalah business. Business yang
berdagang dalam kredit dan uang. Jadi bisnis utama dari suatu bank adalah
kepercayaan, sehingga dapat dikatakan pula bahwa bank merupakan lembaga
kepercayaan. 17 Dengan perkataan lain, fungsi kredit itu ialah pemenuhan jasa untuk
melayani kebutuhan masyarakat (to serve the society) dalam rangka mendorong dan
melancarkan perdagangan, mendorong dan memperlancar produksi, jasa-jasa dan
bahkan konsumsi yang kesemuanya itu pada akhirnya ditujukan untuk menaikkan
taraf hidup rakyat banyak.
Proses pemberian kredit, aspek hukum memegang peranan yang penting,
artinya pemberian kredit melahirkan suatu hubungan hukum dengan konsekuensi
yuridis yang dapat menimbulkan kerugian bagi bank selaku kreditur apabila hal-hal
yang mendasar terabaikan. Kebenaran dan keabsahan subjek hukum maupun objek
16

Mariam Darus Baddrulzaman, Op.Cit., h. 9-10.

H.Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal, Credit Management HandBook, Teori,
Konsep, Prosedur, dan Aplikasi Panduan Praktis Mahasiswa, Bankir, dan Nasabah, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2007), h. 3.
17

hukum merupakan persyaratan utama, di mana untuk mendapatkan kebenaran dan
keabsahan ini dapat dilakukan dengan meneliti atau menganalisis secara cermat dan
mendalam atas semua data yang diperlukan. Termasuk didalamnya segala jenis
perjanjian yang mendahului setiap pelepasan kredit oleh bank. Oleh karena itu,
pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank yang mengandung risiko yang
dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha bank, sehingga dalam
pelaksanaannya bank harus berdasarkan asas-asas perkreditan yang sehat.
Dalam karakteristik kredit, bank dapat menentukan segmentasi kredit sesuai
dengan ukuran besar kecilnya bank, meskipun secara prinsip sama. Karakteristik
masing-masing segmen, antara lain

retail lending (micro, small, consumer);

commercial lending, corporate lending. Masing-masing bank memiliki kriteria
sendiri untuk menetapkan batas pemberian kredit kepada segmen-segmen tersebut di

atas. Adanya segmen tersebut di atas, bank dapat merencanakan fokus pemberian
kreditnya sehingga dituju pada segmen tertentu saja. 18
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang dirubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang
Perbankan memberikan rumusan mengenai pengertian kredit. Pasal 1 angka 12
menyebutkan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank
dengan pihak lain yang mewajibkan peminjam untuk melunasi utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian
18

hasil

Modul Sertifikasi Tingkat II General Banking, Ikatan Bankir Indonesia (IBI) bekerja sama
dengan Lembaga Sertifikasi Profesi Perbankan (LSPP),Mengelola Bank Komersial, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2014), h. 51-51.

keuntungan.Dari pengertian kredit tersebut, maka terdapat elemen-elemen kredit
yaitu kredit mempunyai arti khusus yaitu meminjamkan uang; penyedia/pemberi
pinjaman uang khusus terjadi di dunia perbankan; berdasarkan perjanjian pinjam
meminjam sebagai acuan dari perjanjian kredit; dalam jangka waktu tertentu; dan
adanya prestasi dari pihak peminjam untuk mengembalikan utang disertai dengan
jumlah bunga atau imbalan. Bagi bank syariah pengembalian utang disertai imbalan
atau adanya pembagian keuntungan tetapi bukan bunga.
Perjanjian pinjam meminjam dalam Pasal 1754 KUH Perdata yang berbunyi:
perjanjian pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis
karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan
mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.
Perjanjian pinjam meminjam menurut pasal tersebut di atas mengandung pengertian
luas yaitu meliputi perjanjian pinjam meminjam benda atau barang yang habis jika
dipakai dan pinjam uang. Berdasarkan perjanjian pinjam meminjam uang maka
peminjam

sebagai

pemilik

uang

yang

dikemudian

hari

peminjam

harus

mengembalikan dengan jenis yang sama (uang) disertai bunga atau imbalan kepada
pihak yang meminjamkan.
Perjanjian kredit tidak diatur secara khusus dalam KUH Perdata, sehingga
perjanjian kredit termasuk perjanjian innominaat (perjanjian tidak bernama).
Perjanjian innominaat, walaupun tidak diatur secara khusus dalam KUH perdata,
perjanjian tersebut timbul dan tumbuh serta berkembang di dalam masyarakat. Hal ini
dasarkan pada Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata, perjanjian yang dibuat secara

sahberlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pasal 1320 KUH
Perdata, sahnya suatu perjanjian harus memenuhi empat syarat yaitu:
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu hal tertentu; dan
4. suatu sebab yang halal.
Kredit dalam Undang-Undang Perbankan, menyebutkan bahwa kredit adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan jumlah bunga.Pencantuman kata-kata persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam di dalam definisi atau pengertian kredit sebagaimana dimaksud di atas
dapat mempunyai beberapa maksud sebagai berikut: 19
1. Bahwa pembentuk undang-undang bermaksud menegaskan bahwa hubungan
kredit bank adalah hubungan kontraktual antara bank dan nasabah debitur yang
berbentuk pinjam meminjam. Dengan demikian, bagi hubungan kredit bank
berlaku Buku III (tentang Perikatan) pada umumnya dan Buku III Bab XIII
(tentang pinjam-meminjam) KUHPerdata.
2. Bahwa pembentuk undang-undang bermaksud untuk mengharuskan hubungan
kredit bank dibuat berdasarkan perjanjian tertulis. Kalau semata-mata hanya dari
bunyi ketentuan Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan tersebut, sulit kiranya untuk menafsirkan bahwa ketentuan
tersebut memang menghendaki agar pemberian kredit harus diberikan berdasarkan
perjanjian tertulis. Namun ketentuan undang-undang harus dikaitkan dengan
Instruksi Presidium Kabinet nomor 15/EK/IN/10/1966 tanggal 3 Oktober
1996juncto Surat Edaran
Bank Negara
Indonesia Unit I nomor
2/539/UPK/Pemb, tanggal 8 Oktober 1966 dan Surat Edaran Bank Negara
Indonesia Unit I nomor 2/649/UPK/Pemb, tanggal 20 Oktober 1966, dan Instruksi
Presidium Kabinet Ampera nomor 10/EK/IN/2/1967 tanggal 6 Febuarri 1967,
19

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para
Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), h. 180181.

yang menentukan bahwa dalam pemberian kredit dalam bentuk apapun bank harus
wajib menggunakan/membuat akad perjanjian kredit.
Dengan demikian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya (debitur) dilakukan
dengan perjanjian kredit yang dibuat secara tertulis baik yang dibuat dengan
perjanjian kredit yang dibuat dibawah tangan atau akta dibawah tangan maupun
perjanjian kredit yang dibuat dihadapan notaris atau akta autentik.
Pengaturan mengenai perjanjian kredit sampai saat ini yang berupa undangundang belum ada sedangkan Undang-Undang Perbankan hanya mengatur pihak
yang memberikan kredit (bank) saja, padahal undang-undang yang mengatur
perkreditan memiliki fungsi dan peranan yang penting dalam masalah kredit.
Kemudian di satu pihak undang-undang yang mengatur mengenai pemberian jaminan
berupa Hak Tanggungan, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, dan UndangUndang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia telah ada. Seperti diketahui perjanjian
kredit adalah merupakan perjanjian pokok dan perjanjian pemberian jaminan hanya
merupakan perjanjian tambahan (accessoir), sehingga agak janggal bahwa perjanjian
kredit sebagai perjanjian pokok pengaturannya belum diatur secara tegas dalam
bentuk undang-undang, sedangkan perjanjian pemberian jaminannya pengaturannya
telah berupa undang-undang. Saat ini peraturan tentang perkreditan banyak diatur
oleh Bank Indonesia (BI) berupa Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran
Bank Indonesia (SEBI)

dan ketentuan-ketentuan lain yang dikeluarkan Bank

Indonesia. Ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia merupakan
peraturan yang kedudukannya di bawah undang-undang, tidak mempunyai kekuatan
mengikat kepada rakyat banyak. Sebuah undang-undang pada hakikatnya merupakan

perjanjian atau kesepakatan antara rakyat dengan pemerintah sehingga semua pihak
menjadi terikat dan dianggap telah mengetahui semuanya. Berbeda dengan peraturan
di bawah undang-undang yang dibuat oleh lembaga tertentu yang sifatnya sepihak
dan berlaku untuk kalangan tertentu saja, ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan Bank
Indonesia sifatnya tidak berlaku umum karena tujuannya mengatur operasional bank.
Bank Indonesia hanya mengatur yang ruang lingkup untuk kepentingan bank.
Ketentuan Bank Indonesia hanya mengikat bank. Masyarakat tidak terikat oleh
peraturan-peraturan tersebut, karena bukan sebagai undang-undang.
Pasca keluarnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (OJK), maka pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan
sektor perbankan menjadi tugas dan wewenang dari lembaga OJK. Walaupun
demikian dalam melaksanakan tugasnya, OJK tetap diwajibkan berkoordinasi dengan
Bank Indonesia. Ketentuan pengaturan dan pengawasan perbankan oleh OJK saat ini
masih memedomani ketentuan-ketentuan yang di atur dalam Peraturan Bank
Indonesia yang telah ada sebelumnya.
Dalam Pasal 1 angka 3 Rancangan Undang-Undang tentang Perkreditan
Perbankan telah ditentukan pengertian perjanjian kredit. Perjanjian kerdit adalah
persetujuan dan/atau kesepakatan yang dibuat bersama antara kreditur dan debitur
atas sejumlah kredit dengan kondisi yang telah diperjanjikan, hal mana pihak debitur
wajib untuk mengembalikan kredit yang telah diterima dalam jangka waktu tertentu
disertai bunga dan biaya-biaya yang disepakati. Dari Pasal di atas dapat dilihat bahwa
unsur-unsur yang terkandung dalam perjanjian kredit adalah:
1. Adanya persetujuan atau kesepakatan;

2. Dibuat bersama antara kreditur dan debitur; dan
3. Adanya kewajiban debitur. Kewajiban debitur adalah mengembalikan kredit yang
diterimanya, membayar bunga, dan biaya lainnya.
Perjanjian kredit yang dibuat oleh pihak bank berupa formulir standar/baku
atau dinamakan akta dibawah tangan atau akta perjanjian kredit yang dibuat oleh dan
dihadapan notaris atau yang dinamakan akta autentik/akta notariil mempunyai
kekuatan pembuktian. Akta merupakan surat atau tulisan yang sengaja dibuat dan
ditandatangani, memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak
untuk dijadikan alat bukti. Dengan demikian unsur yang penting untuk suatu akta
adalah adanya kesengajaan, dibuat untuk dijadikan sebagai alat bukti tentang suatu
peristiwa dan ditandatangani.
Dalam pelaksanaan perjanjian kredit ini tidak selamanya debitur dapat
melaksanakan prestasinya dengan baik, namun ada kalanya yang diterimanya
mengalami kemacetan. Faktor penyebab nasabah debitur tidak melaksanakan
kewajibannya adalah karena kondisi ekonomi nasabah yang rendah, kemauan debitur
untuk membayar utangnya sangat rendah, nilai jaminan lebih kecil dari jumlah utang
pokok

dan

bunga,

usaha

nasabah

bangkrut,

kredit

yang

terima

nasabahdisalahgunakan, manajemen usaha nasabah sangat lemah dan pembinaan
kreditur terhadap nasabah sangat kurang. 20
Bisnis bank adalah kepercayaan, dan pendapatan bank yang terbesar adalah
berasal dari sektor kredit, maka risiko yang mungkin timbul yaitu gagalnya
pengembalian sebagian kredit yang diberikan dan menjadi kredit bermasalah bahkan
20

H. Salim H.S danErlies Septiana Nurbani,Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di
Indonesia, Buku Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 2-3.

menjadi kredit macet. 21 Hal tersebut dapat terjadi dalam bisnis perbankan di mana
hampir mustahil bahwa semua kredit disalurkan atau diberikan akan menjadi 100 %
(seratus persen) berjalan lancar, sehingga sedikit atau banyak bank akan menghadapi
kredit bermasalah (non performing loan/NPL).
Risiko tersebut disebabkan adanya kemungkinan tidak dilunasikredit oleh
debitur pada akhir masa (jatuh tempo) kredit itu. Banyak hal yang menyebabkan
kredit itu tidak dapat dilunasi nasabah pada waktunya. Tidak ada keputusan
pemberian kredit tanpa risiko. Tidak ada bank yang mampu memgembangkan
bisnisnya jika bank tersebut selalu menghindar dari risiko. Tetapi tidak semua risiko
dapat diterima. Risiko yang dapat diterima adalah risiko yang dapat diukur secara
tepat. 22 Dalam hukum perjanjian risiko adalah kewajiban memikul kerugian yang
disebabkan karena suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak. Dengan
demikian persoalan risiko itu berpokok pangkal pada kejadian yang dalam hukum
perjanjian dinamakan keadaan memaksa. Persoalan risiko adalah buntut dari suatu
keadaan memaksa, sebagaimana ganti rugi adalah buntut dari wanprestasi. 23
Dalam KUH Perdata dapat dilihat Pasal 1237 yang berbunyi “Dalam hal
adanya perikatan untuk memberikan sesuatu barang tertentu, maka barang itu
semenjak perikatan dilahirkan adalah atas tanggungan si berpiutang”. Dari kata
tanggungan atau risiko dalam pasal tersebut di atas dapat terlihat bahwa dalam

21

Kredit Macet merupakan bagiandari kredit bermasalah. Kredit Bermasalah ialah kredit yang
berhubungan dengan kolektibilitas kredit, yaitu berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No
7/2/PBI/2005, kredit yang tergolong kredit dalam perhatian khusus (tunggakan 1 sampai 90 hari),
kurang lancar (tunggakan 90 sampai 120 hari), kredit yang diragukan (tunggakan 120 sampai 180
hari), dan kredit macet (tunggakan di atas180 hari).
22
Herman Darmani, Manajemen Perbankan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 104.
23
R.Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa,2005), h. 59.

perikatan untuk memberi sesuatu barang tertentu tadi, jika barang ini sebelum
diserahkan, musnah karena suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak,
kerugian harus dipikul oleh si berpiutang, yaitu pihak yang berhak menerima barang
itu.
Kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) dapat disebabkan oleh
adanya risiko kredit yang antara lain disebabkan oleh: 24
1. Risiko Usaha
Berbagai jenis usaha, masing-masing mempunyai risiko yang berbeda-beda.Secara
umum jenis usaha yang tingkat keuntungannya tinggi, biasanya mengandung
risiko yang tinggi pula (high return high risk). Sebaliknya jenis usaha yang
keuntungannya rendah, maka risikonya pun rendah (low return low risk).
2. Risiko Geografis
Risiko geografis dari suatu jenis usaha erat kaitannya dengan bencana alam,
misalnya perkebunan, peternakan, pabrik/industri yang berlokasi berdekatan
dengan gunung berapi atau di dekat muara sungai yang sering banjir, akan sangat
berisiko terkena bencana (semburan lahar panas dari gunung berapi atau
tergenang luapan air karena banjir). Demikian juga jenis usaha yang berada di
lingkungan pemukiman penduduk namun mengganggu dan mencemarkan
lingkungan baik karena bising, atau adanya limbah beracun dan lain sebagainya,
bisa saja usahanya diprotes penduduk sehingga harus ditutup. Termasuk risiko
geografis adalah apabila lokasi usaha berada di tempat tertentu yang sering kali
terganggu oleh kerumunan massa yang berunjuk rasa, sehingga langganan menjadi
tidak nyaman akibat kemacetan lalu lintas, susah memarkir kendaraan dan lain
sebagainya.
3. Risiko Keramaian/keamanan/tawuran/perkelahian
Jelas sekali bahwa situasi keramaian yang tidak kondusif akan sangat mengganggu
jalannya perusahaan. Situasi keamanan yang buruk dapat dipercontohkan dengan
adanya tawuran/perkelahian, peperangan atau pembunuhan, jelas akan berdampak
negatif pada lancarnya usaha yang pada gilirannya akan mengganggu kelancaran
pengembalian kredit.
4. Risiko Politik
Banyak terjadi kegagalan kredit yang disebabkan oleh gagalnya usaha debitur
sebagai akibat dari tidak konsistennya kebijakan/ketentuan-ketentuan pemerintah
serta tidak adanya kestabilan politik.
5. Risiko Ketidakpastian (uncertainty)

24

H. Racmat Firdaus dan Maya Ariyanti, Manajemen Perkreditan Bank Umum, Teori,
Masalah, Kebijakan dan Aplikasinya Lengkap Dengan Analisis Kredit, (Bandung: Alfabeta, 2009), h.
35-36.

Masa yang akan datang adalah masa yang tidak pasti. Salah satu unsur kredit
adalah adanya tenggang waktu antara pemberian kredit dengan waktu pembayaran
kembali sehingga risiko ketidakpastian setiap kredit selalu melekat (inherent).
Pepatah selalu mengatakan bahwa: “Sejumlah uang tunai (cash) yang ada
ditangan saat sekarang jauh lebih berharga dibandingkan dengan sejumlah uang
yang sama di masa yang akan datang”.
6. Risiko Inflasi
Secara umum inflasi dapat didefinisikan bahwa naiknya harga barang-barang dan
jasa pada umumnya sebagai akibat dari jumlah uang (permintaan) lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah barang-barang atau jasa yang tersedia (jumlah
penawaran). Sebagai akibat dari inflasi adalah turunnya nilai uang. Walupun kredit
bank berjalan lancar di mana utang pokok dan bunga telah dibayar, namun dengan
berjalannya waktu, nilai uang tetap turun karena inflasi, maka daya beli uang
tersebut menjadi lebih rendah dibandingkan dengan sebelumnya yaitu pada saat
kredit diberikan. Apalagi kalau kreditnya tidak berjalan lancar (bermasalah).
7. Risiko Persaingan/kebijakan pemerintah
Bank harus benar-benar selektif dalam memberikan kreditnya yaitu hanya
memberikan kepada calon-calon debitur/pengusaha yang
benar dapat
memenangkan persaingan atas perusahaan sejenis. Kalau tidak, maka kredit tidak
bakal kembali akibat perusahaan debitur menurun volume usahanya dan
menderita rugi akibat langganan-langganannya pindah ke perusahaan pesaingpesaingnya. Persaingan saat ini sudah sangat ketat hampir di setiap bidang usaha
baik di lingkup nasional, maupun regional dan internasional. Lebih-lebih lagi
dipacu dengan terwujudnya globalisasi dan blok-blok perdagangan seperti Asean
Free Trade Area (AFTA), Asia Pacific Economic Community (APEC) dan World
Trade Organization (WTO).
Indonesia dilihat dari letak geografis merupakan negara yang rawan akan
bencana alam. Seperti diketahui, permukaan bumi terdiri dari beberapa lapisan yang
disebut lempeng-lempeng. Lempeng-lempeng ini selalu bergerak sepanjang masa.
Tumbukan dari lempeng inilah yang mengakibatkan gempa bumi. Getaran tidak
hanya terasa di permukaan bumi saja, tetapi juga permukaan air laut juga akan
bergerak berdasarkan bentuk lekukan dan gundukan di dasar laut, sehingga bisa
menimbulkan gelombang yang sangat besar yakni tsunami. Di samping itu, banyak
daerah di wilayah Indonesia yang memiliki gunung berapi yang masih aktif dan
berpotensi untuk menimbulkan bencana letusan gunung berapi dan mengeluarkan

semburan lahar panas yang sangat membahayakan. Oleh sebab itu, gempa paling
sering terjadi di negara Indonesia dari dulu sampai sekarang, juga letusan gunung
berapi. 25 Puluhan juta orang di Indonesia hidup dekat dengan gunung berapi, bahkan
beberapa kota besar terletak di kawasan yang dekat dengan gunung berapi dan sangat
berbahaya. Salah satu alasan utama mengapa begitu banyak orang tinggal di dekat
gunung berapi adalah tanah di sekitar gunung berapi sangat subur dan baik untuk
pertanian. Alasan lain adalah keterbatasan tempat yang membuat orang tidak
memiliki pilihan lain sebagai tempat tinggal. Selain itu banyak kota didirikan
sebelum orang-orang menyadari bahaya gunung berapi, seperti Kota Yogyakarta
(Daerah Istimewa Yogyakarta), Kota Kediri (Jawa Timur), Kota Ternate (Maluku
Tenggara), Kota Bukit Tinggi (Sumatera Barat), Kota Berastagi dan Kabanjahe
(Sumatera Utara) dan kota-kota lainnya. Setelah bencana alam seperti gempa,
tsunami dan longsor datang silih berganti, kini banjir mengintai kehidupan manusia,
seperti yang terjadi di Jakarta, Menado dan daerah lainnya di Indonesia. Bahkan di
beberapa daerah seperti di Kabupaten Bandung Jawa Barat,banjir sudah
menenggelamkan ribuan rumah, prasarana transportasi, sawah, tambak, dan
menewaskan puluhan nyawa manusia.
Begitulah fenomena yang terjadi setiap menyambut musim penghujan.
Ironisnya, bencana alam tersebut bukannya malah berkurang baik frekuensi maupun
intensitasnya. Akibat dari bencana alam tersebut akan membawa dampak terhadap
korban manusia, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana serta dampak
sosial ekonomi yang ditimbulkan. Bencana alam tersebut juga membawa dampak
25

Reportase Eksklusif Harian Singgalang, Gempa Dahsyat Sumatera Barat, (Padang: Genta
Singgalang Press, 2010), h. 313.

terhadap dunia perbankan dalam bidang perkreditan, di mana masyarakat sebagai
debitur bank tidak dapat membayar angsuran kreditnya atau melunasi kreditnya
kepada bank. Dalam hal ini debitur belum dapat dikatakan wanprestasi 26karena pada
saat terjadinya peristiwa bencana debitur belum jatuh tempo waktu kreditnya tetapi
debitur tidak mampu lagi membayar atas kreditnya kepada kreditur/bank. Debitur
merupakan korban dari bencana tersebut atau telah terjadi suatu peristiwa keadaan
memaksa atau force majeure, sehingga debitur tidak dapat melunasi kreditnya kepada
bank. Dalam hal ini unsur kesalahan tidak berada pada debitur serta debitur tidak
dapat dikatakan ingkar janji karena adanya suatu keadaan yang menyebabkan debitur
tidak dapat melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi suatu prestasi.
Kredit macet seperti yang disebutkan terakhir di atas yang diakibatkan
bencana alam, merupakan unsur ketidaksengajaan yang diartikan debitur mau
membayar tetapi tidak mampu. Hal ini disebabkan keadaan memaksa (force majeure)
atau disebut juga overmacht. Dalam keadaan memaksa ini terjadi peristiwa yang tidak
terduga yang terjadi di luar kesalahan debitur setelah penutupan perjanjian, peristiwa
ini menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya sebelum dinyatakan lalai dan

26

Mengenai perumusan “wanprestasi” itu sendiri, sekalipun ada perbedaan
dalam
caramerumuskannya, pada umumnya (secara garis besar) menurut J. Satrio, para sarjana merumuskan
sebagai berikut: wanprestasi adalah suatu peristiwa atau keadaan, di mana debitur tidak telahmemenuhi
kewajiban prestasi perikatannya dengan baik, dan debitur punya unsur salah atasnya. Bandingkan
Subekti, wanprestasi atau dikenal dengan istilah ingkar janji yaitu kewajiban dari debitur untuk
memenuhi sesuatu prestasi, jika dalam melaksanakan kewajiban bukan terpengaruh karena keadaan,
maka dianggap telah melakukan ingkar janji. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yaitu
berarti prestasi buruk (Bandingkan: wanbeheer yang berarti pengurusan buruk, wanddad berarti
perbuatan buruk). Berkenaan dengan wanprestasi, dalam Pasal 1243 KUH Perdata dinyatakan bahwa
penggantian biaya rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, baru mulai diwajibkan
apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya tetap melalaikannya, atau jika
sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dapat dibuat dalam tenggang
waktu yang telah dilampauinya.

karena debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak menanggung risiko atas peristiwa
tersebut.
Dalam praktiknya, masyarakat berhubungan dengan bank dalam transaksinya
didasarkan kepada sebuah perjanjian. Perjanjian bank dengan nasabahnya dilandasi
kata sepakat dan mengikat kedua belah pihak bagaikan undang-undang. Jadi nasabah
dalam berhubungan dengan bank tunduk pada perjanjian yang telah dibuatnya.
Demikian juga dalam pemberian kredit oleh bank kepada nasabah dilakukan dengan
perjanjian kredit yang dibuat secara tertulis baik yang dibuat dengan perjanjian kredit
di bawah tangan dalam bentuk standar artinya telah dibuat dalam bentuk formulir
baku oleh bank maupun perjanjian kredit yang dibuat oleh notaris.
Perjanjian kredit bank dibuat dengan klausul-klausul yang baku pula, bahkan
perjanjian kredit yang dibuat oleh notaris, pihak bank telah mempersiapkan klausulklausul baku yang dituangkan oleh notaris dalam akta autentik. Hal ini
mengakibatkan klausul-klausul menjadi berat sebelah dan tidak seimbang. Klausulklausul dalam perjanjian kredit ini hanya atau mencantumkan hak-hak salah satu
pihak saja (yaitu pihak yang mempersiapkan perjanjian standar/baku tersebut) tanpa
mencantumkan apa yang menjadi kewajiban-kewajiban pihak lainnya, sedangkan apa
yang menjadi hak-hak pihak lainnya itu tidak disebutkan. Tidak jarang dijumpai
perjanjian kredit yang demikian.
Salah satu klausul perjanjian kredit tersebut adalah keadaan memaksa (force
majeure). Dalam praktiknya hampir semua perjanjian kredit

bank tidak

mencantumkan klausul keadaan memaksa (force majeure) dalam perjanjian kredit
dan kalaupun ada klausul tersebut selalu memberatkan pihak nasabah debitur karena

pihak bank dalam klausul tersebut mensyaratkan dengan persyaratan-persyaratan
yang

memberatkan

nasabah

bank.

Persyaratan

itu

diantaranya

kewajiban

memberitahukan secara tertulis oleh debitur kepada bank baik pada saat dan/atau
setelah peristiwa bencana alam itu terjadi, bahkan keterlambatan pemberitahuan itu
mengakibatkan tidak diakuinya peristiwa tersebut sebagai force majeure oleh bank.
Klausul keadaan memaksa (force majeure) yang ditambahkan persyaratan demikian
memberatkan debitur untuk mengurus hal-hal yang demikian, karena debitur
mempunyai kesulitan karena keadaan debitur masih disibukkan situasi bencana yang
sedang dialaminya dan dokumen-dokumen debitur bank yang rusak dan hilang
bahkan administrasi pemerintahan di daerah bencana seringkali tidak berfungsi.
Akibat debitur lalai memberitahukan kejadian tersebut secara tertulis dalam jangka
waktu yang telah ditentukan dalam klausul, maka debitur tidak dapat lagi
menggunakan klausul peristiwa bencana alam

akibat keadaan memaksa (force

majeure) sebagai alasan keterlambatan pelaksanaan atau pembebasan dari kewajiban
debitur berdasarkan perjanjian kredit.
Pemberian kredit dalam perbankan memang merupakan kegiatan yang
mengandung risiko tinggi, karena walaupun bank telah menganalisis kelayakan suatu
permohonan kredit dan meminimalkan risiko 27 yang terkandung dalam pemberian
kredit tersebut tetapi faktor di luar dugaan atau keadaan memaksa (force majeure)

27

R.Subekti,dalam bukunya Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa,2005), h. 59,
menyebutkan risiko dalam hukum perjanjian ialah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan
karena sesuatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak. Persoalan risko itu berpokok pangkal pada
terjadinya suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang mengadakan perjanjian. Dengan kata
lain berpokok pangkal pada kejadian yang dalam hukum perjanjian dinamakan: keadaan memaksa.
Persoalan risiko adalah buntut dari suatu keadaan memaksa, sebagaimana ganti rugi adalah buntut dari
wanprestasi.

tidak dapat dihindarkan, seperti halnya adanya peristiwa bencana alam. Hal ini akan
menimbulkan tingginya kredit macet pada bank-bank di wilayah bencana tersebut.
Gempa bumi tanggal 28 Maret 2005 berkekuatan 8,7 skala richter memporakporandakan Kepulauan Nias, menelan korban jiwa dan melumpuhkan perekonomian.
Gempa itu memberatkan pikiran dan fisik pelaku-pelaku ekonomi yang memiliki
utang. Transaksi perekomomian ikut terhenti total, tidak ada toko atau pabrik yang
buka, karena rumah-rumah yang dijadikan tempat berusaha ikut rusak. Sebagaimana
diketahui, meningkatnya kredit macet pada bank yang terdapat di Kepulauan Nias
(Sumatera Utara) pasca gempa bumi April 2005 sedikit banyaknya dipengaruhi akibat
bencana alam. Hal ini terlihat NPL di wilayah Kabupaten Nias pasca gempa bumi
2005 pada triwulan II dari sebesar 4,65 %(Rp 2.262.000.000,-) meningkat pada
triwulan III menjadi sebesar 12,70 % (Rp10.964.000.000,-) dan pada triwulan IV
menjadi sebesar 20,44% (Rp 29.205.000.000,-). Selanjutnya dapat dilihat tabel data
kredit macet dan NPL di wilayah Nias pasca terjadinya gempa bumi, sebagai berikut:

Tabel 1
Data Kredit Macet dan NPL Wilayah Nias(Nominal Dalam Rp. Juta)
TAHUN

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

TRI
WULAN

KUALITAS

TOTAL
KREDIT

Lancar

Dalam
Perhatian
Khusus

Kurang
Lancar

Diraguka
n

Macet

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

NPL

TW-I

72.198

3.425

279

301

181

76.384

1,00%

TW-II

143.011

5.867

2.357

1.107

660

153.002

2,70%

TW-III

151.037

7.702

1.564

1.489

1.482

163.274

2,78%

TW-IV

169.314

7.100

2.980

1.181

2.063

182.638

3,41%

TW-I

151.180

19.929

3.001

3.082

2.264

179.456

4,65%

TW-II

130.892

25.437

3.400

8.380

10.964

179.073

12,70%

TW-III

133.495

15.840

5.419

3.736

29.205

187.695

20,44%

TW-IV

152.840

11.014

3.718

1.190

8.473

177.235

7,55%

TW-I

156.203

20.264

1.938

2.211

7.800

188.416

6,34%

TW-II

168.676

16.458

1.375

2.327

8.070

196.906

5,98%

TW-III

209.534

12.513

3.283

1.442

1.656

228.428

2,79%

TW-IV

213.323

13.122

2.892

1.946

2.647

233.930

3,20%

TW-I

208.846

26.023

7.644

3.702

3.013

249.228

5,76%

TW-II

235.821

18.090

10.951

2.695

5.106

272.663

6,88%

TW-III

276.022

12.377

8.947

3.527

6.884

307.757

6,29%

TW-IV

260.782

20.018

5.195

2.479

2.885

291.359

3,62%

TW-I

263.059

11.472

15.749

1.481

4.567

296.328

7,36%

TW-II

308.422

15.229

8.260

6.550

7.893

346.354

6,55%

TW-III

349.435

21.279

4.892

3.439

13.643

392.688

5,60%

TW-IV

347.922

16.048

3.862

3.210

1.866

372.908

2,40%

TW-I

361.516

27.271

9.779

4.111

5.615

408.292

4,78%

TW-II

446.957

20.261

8.410

6.700

9.437

491.765

4,99%

TW-III

501.841

27.124

2.668

2.421

16.905

550.959

3,99%

TW-IV

529.040

26.010

1.701

1.134

12.060

569.945

2,61%

TW-I

529.322

33.488

8.081

2.941

12.570

586.402

4,02%

TW-II

566.954

39.806

3.998

3.397

16.454

630.609

3,78%

TW-III

626.352

34.518

3.009

3.633

19.074

686.586

3,75%

TW-IV

636.536

28.183

1.714

4.481

20.855

691.769

3,91%

TW-I

638.308

41.760

2.355

1.667

27.440

711.530

4,42%

TW-II

709.048

30.171

5.413

4.305

23.542

772.479

4,31%

TW-III

751.327

34.496

1.757

2.096

29.525

819.201

4,07%

TW-IV

747.199

36.573

781

1.664

28.338

814.555

3,78%

TW-I

712.578

45.257

1.639

1.166

33.834

794.474

4,61%

TW-II

774.102

33.643

2.713

3.134

34.633

848.225

4,77%

TW-III

853.945

35.184

2.222

1.857

35.793

929.001

4,29%

TW-IV

879.127

30.647

725

2.514

35.555

948.568

4,09%

Sumber: Bank Indonesia Perwakilan IX MedanTahun2013.

Data kredit macet di wilayah kepulauan Nias di atas pasca bencana alam
gempa bumi menunjukkan tingginya kredit macet bank yang telah mencapai di atas 5
% (lima persen). Hal ini berarti bahwa bencana alam merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi terjadinya kredit macet pada bank akibat ketidakmampuan
debitur untuk membayar utang kreditnya.
Ketidakmampuan ini bukan kemauan debitur dan jumlahnya tidak kecil,
mencapai ratusan debitur yang tersebar di Bank BRI, Bank BNI dan Bank Sumut.Di
tengah kegalauan terkena musibah, pihak bank lewat selembar surat melayangkan
tagihan kredit kepada masyarakat korban bencana gempa yang menjadi debitur bank.
Bukannya menghapuskan tagihan kredit, melainkan surat dari bank yang terima
debitur dari bank merupakan utang yang harus dibayar ditambah bunga dan denda
keterlambatan, padahal debitur korban gempa sudah angkat tangan untuk membayar
utang maupun bunga pinjaman ke bank.
Pasca gempa bumi di Nias tersebut, ratusan korban yang rumahnya ambruk,
barang-barang yang dijadikan modal usaha ikut hancur, bahkan ada debitur yang
sudah meninggal dunia masih dimintakan melunasi utangnya oleh bank kepada
ahliwarisnya. Banyak warga yang merasa tidak mampu dan tertekan dengan sikap
bank yang tidak mau kompromi. Korban gempa bumi di Nias masih ditagih utang
oleh bank karena utang debitur tidak dapat diputihkan. Bank terus menagih utang
terhadap korban bencana

disertai bunga dan denda, walaupun debiturnya telah

meninggal dunia tetapi pihak bank tetap meminta ahliwaris debitur untuk melunasi
kredit orangtua debitur. Ada juga debitur yang kreditnya digunakan untuk
membangun rumah, tetapi akibat gempa bumi rumah yang telah selesai dibangun

hancur dan bank tanpa pertimbangan apapun tetap menagih pembayaran kredit yang
diterima debitur.
Pasca bencana alam gempa bumi di Kepualauan Nias masih dirasakan
masyarakat. Bekas-bekas dapat dirasakan dengan memporak-porandanya bangunan
rumah dan tempat usaha, tetapi persoalan utang tetap harus dituntaskan. Bank masih
terus mendesak dan memaksa debitur membayar angsuran bulanan diikuti acaman
menyita tanah dan bangunan yang menjadi agunan. Perlakuan perbankan korban
bencana gempa di Kepulauan Nias yang dipaksa membayar angsuran bulanan serta
tetap memberlakukan bunga berjalan tidak pernah kunjung berhenti. Tabungan para
nasabah/debitur dicekal serta tidak bisa ditarik. 28
Para debiturkorban bencana yang tidak lagi mampu membangun usahanya dan
berjuang sendiri untuk menyelesaikan permasalahan utang kredit yang sudah tidak
membayar kembali kepada bank akibat dampak bencana alam gempa yang terjadi,
bahkan tidak sedikit debitur dibantu serta difasilitasi pihak ketiga seperti Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) Elsaka 29 yang melalui suratnya tanggal 12 Juni 2006
kepada Gubernur Bank Indonesia juga meminta pemerintah dalam hal ini Bank
Indonesia untuk memberikan perlakukan khusus berupa pemutihan atas kredit yang
bermasalah akibat bencana alam. LSM Elsaka mewakili 150 debitur korban bencana
gempa Nias dengan total kredit Rp 17.200.000.000,- (tujuh belas milyar dua ratus juta
rupiah). Hal itu tetap tidak terealisasi dan tidak mendapat perhatian dan jalan keluar
dari Pemerintah, baik Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat.
28

Hasil wawancara dengan Bapak One Man Halawa, Kordinator LSM Elsaka Nias pada hari
Sabtu, tanggal 20 Juni 2015 di gedung Museum Kota Gunungsitoli.
29
LSM Elsaka merupakan lembaga advokasi dan kebijakan dalam bidang kemanusian dan
sosial dan politik.

Dalam kenyataaan dapat dilihat bagaimana bank tetap menagih debitur untuk
melunasi utangnya pada bank dengan ancaman penyitaan agunan, walaupun
debiturnya telah meninggal dunia atau usaha debitur sudah tidak ada lagi akibat
bencana gempa di Nias, sehingga kemampuan untuk membayar dan melunasi utang
kredit sudah tidak mungkin lagi dapat dilakukan oleh debitur, hal itu seperti yang
dialami oleh Suryani Zebua yang orangtuanya Fauziah (almarhumah) dan Haji Yusri
Zebua sebagai debitur Bank BRI Cabang Gunungsitoli, dengan meningkatnya total
nilai utang Rp 125.000.000, (seratus dua puluh lima juta rupiah) dan sejak bulan
Desember 2005terus ditagih untuk melunasi utang orangtuanya kepada Suryani
sebagai ahliwaris oleh bank. Ketika terjadi gempa bumi pada tanggal 28 Maret 2005,
Fauziah berserta suami dan dua anaknya tewas. Tidak hanya itu, rumah empat lantai
yang ditinggali Fauziah berserta keluarganya pun hancur dan hanya menyisakan
puing-puing setinggi 1,5 meter. Suryani anak almarhum Fauziah yang masih hidup
selaku ahliwaris telah menulis surat ke Bank BRI yang menyatakanketidaksanggupan
membayar utang itu dengan melampirkan surat keterangan kematian dan kehancuran
usaha orangtuanya. Balasan surat dari Bank BRI sangat tidak diduga oleh Suryani,
Bank BRI Cabang Gunungsitoli tetap meminta Suryani melunasi tagihan utang
almarhum ibunya Fauziah, namun bukan kabar keringanan atas musibah
menyebabkan usaha orangtuanya kandas. bahkan dalam surat balasan Bank Rakyat
Indonesia tersebut disertai dengan perintah membayar pinjaman sebesar Rp
125.000.000, (seratus dua puluh lima juta rupiah) ditambah denda serta bungasebesar
Rp 14.000.000,- (empat belas juta rupiah) dan

ancaman dari pihak bank yang

mendatangi Suryani Zebua bila tidak melunasi pinjaman orangtuanya tanah agunan
tempat usahayang bangunnya telah hancur akan disita. 30
Nurhijrah Tanjung seorang guru di salah satu Sekolah Menengah Atas Negeri
di Gunungsitoli yang juga sebagai debiturBank BNI Cabang Gunung Sitoli. Nurhijrah
Tanjung

mengaku tidak bisa tenang karena Bank Negara Indonesia terus

menagihpembayaran kredit yang dia terima. Kredit dari Bank yang Rp 50.000.000,(lima puluh juta rupiah) itu digunakan untuk membangun rumah, tetapi rumah baru
yang selesai dibangun terjadi gempa bumi yang menghancurkan seluruh bangunan
rumah dan Nurhijrah Tanjung sekeluarga terpaksa harus menumpang di rumah
saudara. 31
Dalam kasusVeronika, suaminya Ivan Fredy S (almarhum) sebagai debitur
PT. Bank BNI Cabang Gunungsitoli. Veronica isteri dari almarhum Ivan Fredy S
meninggal dunia karena gempa bumi memiliki kredit rekening koran di Bank BNI
Cabang Gunungsitoli sebesar Rp 105.000.000,- (seratus lima juta rupiah) ditambah
bunga dan denda kredit membengkak menjadi Rp 190.000.000,- (seratus sembilan
puluh juta rupiah). Veronika juga kehilangan anaknya V Widya Anggraini (4 tahun)
karena gempa. Pada saat sebelum gempa bumi terjadi suaminya mempunyai usaha
toko sembako, namun akibat gempa toko tersebut hancur karena gempa. Veronika
kini tidak mempunyai usaha lagi dan menumpang kepada adiknya. Veronika berniat

30
31

2015.

Hasil wawancara dengan Suryani Zebua di Kota Gunungsitoli, Selasa, tanggal 8 Mei 2012.
Hasil wawancara dengan Nurhijrah Tanjungdi Kota Gunungsitoli, Sabtu, tanggal 20 Juni

membayar utangnya dengan mencicil dan berharap bunganya diputihkan, akan tetapi
bank menolaknya dan meminta Veronika melunasi utang suaminya pada bank. 32
Hal yang sama juga terjadi pada Emilia Dachi sebagaidebitur PT Bank BRI
Cabang Gunungsitoli. Emelia Dachi mengambil pinjaman kredit pada Bank BRI
sebesar Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) yang digunakan modal usaha
tokonya. Empat bulan setelah dana digunakan untuk membeli barang, tokonya hancur
karena gempa. Pinjaman kredit Emilia Dachi membengkak menjadi Rp 370.000.000,(tiga ratus tujuh puluh juta rupiah). Emelia Dachi memohon keringanan supaya dana
bisa dikembalikan dalam 5 sampai 6 tahun, tetapi bank tetap minta Emelia Dachi
untuk segera melunasi utang pada bank. 33
Mesrawati Larosa 41 tahun, yang telah mengambil kredit di Bank Sumut
untuk membuka usaha fotocopy dan menjual alat tulis kantor berlokasi di jalan Gomo
Gunungsitoli. Namun pada kejadian bencana gempa tempat usahanya serta seluruh
peralatan di dalamnya hancur total. Mesrawati tidak mampu lagi membayar
pinjaman tersebut karena tempat maupun usahanya telah hancur total. Mesrawati
bersuara lantang dan keras kepada pemerintah untuk tidak diskriminasi terhadap
korban gempa di Nias di mana kredit korban bencana di Yogyakarta dapat dilakukan
pemutihan, seluruh debitur korban gempa di Nias menunggu walau tidak pasti
keputusan pemerintah agar dapat berlaku adil melakukan pemutihan utang para
korban gempa. 34

32

Hasilwawancara dengan Veronika di Kota Gunungsitoli, Sabtu, tanggal 20 Juni 2015.
Harian Kompas, Jumat tanggal 14 Desember 2007.
34
Harian Waspada, Rabu tanggal 8 November 2006.
33

Permohonan dan aksi protes oleh debitur korban bencana gempa di Nias yang
difasilitasi oleh LSM Elsaka telah dilakukan kepada Pemerintah. Harapan kepada
pemerintah agar kredit para debitur akibat korban bencana di Kepulauan Nias dapat
diputihkan karena usaha maupun tempat usaha mereka sudah hancur saat gempa
menjadi alasan utamanya. Intinya, para debitur di beberapa bank di Kepulauan Nias
tidak mampu lagi membayar pinjamannya. Para debitur mendesak pemerintah
melakukan pemutihan utang seperti yang diatur dalam Peraturan pemerintah Nomor
14 Tahun 2005 tentang tata cara penghapusan piutang negara/daerah.
Surat permo