Evaluasi Pemulihan Koleksi Pasca Gempa di Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sumatera Barat

BAB II
KAJIAN TEORITIS

2.1 Konsep Pelestarian Bahan Pustaka
2.1.1 Pelestarian Bahan Pustaka
Istilah preservasi sudah tidak asing lagi di dalam dunia perpustakaan. Kata
ini berasal dari bahasa Inggris yaitu preservation. Menurut Sudarsono (2006, 14)
menyebutkan pelestarian adalah kegiatan yang mencakup semua usaha
melestarikan bahan pustaka dan arsip termasuk di dalamnya kebijakan
pengelolaan, keuangan, ketenagakerjaan, metode dan teknik penyimpanannya.
Selanjutnya Departemen Pendidikan (2004, 46) pelestarian adalah upaya untuk
menyimpan kandungan informasi sebuah perpustakaan dalam bentuk pustaka
aslinya atau dengan cara ahli media dan Martoadmodjo (1993, 10) pelestarian
adalah mengusahakan agar bahan yang dikerjakan tidak cepat mengalami
kerusakan. Dari beberapa pendapat tersebut maka dapat dinyatakan bahwa
pelestarian merupakan tindakan usaha untuk menjaga dan melestarikan
kandungan informasi agar tidak mengalami kerusakan dengan cara alih media.
2.1.2 Tujuan Pelestarian Bahan Pustaka
Tujuan pelestarian atau preservasi tidak akan lepas dari tujuan
kebijaksanaan pelestarian dan kaitannya dengan bahan pustaka. Menurut
Clements (1990, 2) tujuan kebijaksanaan pelestarian dirumuskan sebagai berikut:

(a) melestarikan kandungan informasi ilmiah yang direkam dan dialihkan pada
media lain; (b) melestarikan bentuk fisik asli bahan pustaka dan arsip sehingga
dapat digunakan dalam bentuk seutuh mungkin. Sedangkan menurut Sulistyo-

6
Universitas Sumatera Utara

Basuki (1991, 271) tujuan pelestarian bahan pustaka adalah melestarikan
kandungan informasi bahan pustaka dengan alih bentuk menggunakan media lain
atau melestarikan bentuk aslinya selengkap mungkin untuk dapat digunakan
secara optimal.
Pendapat lain juga dinyatakan oleh Martoatmodjo (1993, 5) yang
mengatakan bahwa tujuan pelestarian adalah:
(a) menyelamatkan nilai informasi dokumen;
(b) menyelamatkan fisik dokumen;
(c) mengatasi kendala kekurangan ruang;
(d) mempercepat perolehan informasi, dokumen yang tersimpan
dalam CD (Compact Disc) sangat mudah untuk diakses, baik
dari jarak dekat maupun jarak jauh, bahkan pemakaian
bersama (sharing). Sehingga pemakaian dokumen atau bahan

pustaka menjadi optimal.
Berdasarkan buku Petunjuk Teknis Pelestarian Bahan Pustaka (1995, 20)
tujuan utama pelestarian adalah mengusahakan agar koleksi selalu tersedia dan
siap pakai. Dari beberapa uraian tersebut, dapat dinyatakan bahwa dengan
pelestarian yang baik, diharapkan bahan pustaka dapat berumur lebih panjang.
Dengan adanya kegiatan pelestarian bahan pustaka yang baik, ini juga
menandakan bahwa adanya peningkatan kinerja ke arah yang lebih baik.
2.1.3 Fungsi Pelestarian
Kegiatan pelestarian bahan pustaka memiliki fungsi yang sangat penting.
Fungsi pelestarian adalah menjaga agar koleksi peprustakaan tidak diganggu oleh
orang yang tidak bertanggung jawab, serangga atau jamur yang merajalela pada
buku-buku yang ditempatkan di ruang yang lembab. Jika disimpulkan maka
fungsi pelestarian menurut Martoatmodjo (1993, 6) meliputi:

7
Universitas Sumatera Utara

(1) fungsi melindungi: bahan pustaka dilindungi dari serangan
serangga, manusia, jamur, panas matahari, air, dan sebagainya.
Dengan pelestarian yang baik serangga dan binatang kecil

tidak akan dapat menyentuh dokumen. Manusia tidak akan
salah dalam menangani dan memakai bahan pustaka. Jamur
tidak akan sampai tumbuh, dan sinar matahari serta
kelembapan udara di perpustakaan mudah dikontrol;
(2) fungsi pengawetan: dengan dirawat baik-baik, dokumen
menjadi awet, bisa lebih lama dipakai, dan diharapkan lebih
banyak pembaca dapat mempergunakan dokumen tersebut;
(3) fungsi kesehatan: dengan pelestarian yang baik, bebas dari
debu, jamur, binatang perusak, sumber dan sarang dari
berbagai penyakit, sehingga pemakai maupun pustakawan
menjadi tetap sehat. Pembaca lebih bergairah membaca dan
memakai perpustakaan;
(4) fungsi pendidikan: pemakai perpustakaan dan pustakawan
sendiri harus belajar bagaimana cara memakai dan merawat
bahan pustaka atau dokumen. Mereka harus menjaga, disiplin,
tidak membawa makanan dan minuman ke dalam
perpustakaan, tidak mengotori bahan pustaka maupun ruangan
perpustakaan. Mendidik pemakai serta pustakawan sendiri
untuk berdisplin tinggi dan menghargai kebersihan;
(5) fungsi kesabaran: merawat dokumen ibarat merawat bayi atau

orang tua, jadi harus sabar. Bagaimana kita bisa menambal
buku berlubang, membersihkan kotoran binatang kecil dan tahi
kutu buku dengan baik kalau kita tidak sabar. Menghilangkan
noda dari dokumen memerlukan tingkat kesabaran yang tinggi;
(6) fungsi sosial: pelestarian tidak bisa dikerjakan seorang diri.
Pustakawan harus mengikutsertakan pembaca untuk tetap
merawat bahan pustaka dan perpustakaan. Rasa pengorbanan
yang tinggi harus diberikan oleh setiap orang demi
kepentingan dan keawetan dokumen;
(7) fungsi ekonomi: dengan pelestarian yang baik, bahan pustaka
dapat tetap awet. Hal ini dapat menghemat keuangan.
(8) fungsi keindahan, dengan penataan bahan pustaka yang rapi,
perpustakaan akan terlihat lebih indah untuk dipandang oleh
penggunanya sehingga hal tersebut menambah daya tarik pengguna
untuk datang kembali ke perpustakaan.

2.1.4 Unsur-unsur Pelestarian
Bahan pustaka merupakan modal utama perpustakaan, oleh karena itu
daya tahan serta kelestariannya perlu diperhitungkan secara matang agar koleksi


8
Universitas Sumatera Utara

yang tersedia dapat didayagunakan secara optimal. Dari uraian tersebut maka
menurut Martoatmodjo (1993, 7) beberapa unsur penting yang perlu diperhatikan
dalam pelestarian adalah:
(1) manajemennya, perlu diperhatikan siapa yang bertanggung
jawab dalam pekerjaan ini. Bagaimana prosedur pelestarian
yang harus diikuti. Bahan pustaka yang akan diperbaiki harus
dicatat dengan baik, apa saja kerusakannya, apa saja alat dan
bahan kimia yang diperlukan dan sebagainya;
(2) tenaga yang merawat bahan pustaka dengan keahlian yang
mereka miliki. Mereka yang mengerjakan pelestarian ini
hendaknya mereka yang telah memiliki ilmu atau
keahlian/keterampilan dalam bidang ini. Paling tidak mereka
sudah pernah mengikuti penataran dalam bidang pelestarian;
(3) laboratorium, suatu ruang pelestarian dengan berbagai
peralatan yang diperlukan, misalnya alat penjilidan, lem, alat
laminasi, alat untuk fumigasi, berbagai sikat untuk
membersihkan debu dan sebagainya. Sebaiknya setiap

perpustakaan memiliki ruang laboratorium sebagai “bengkel”
atau gudang buat dokumen yang perlu dirawat atau diperbaiki;
(4) dana untuk keperluan kegiatan ini harus diusahakan dan
dimonitor dengan baik, sehingga pekerjaan pelestarian tidak
akan mengalami gangguan. Pendanaan ini tentu tergantung
dari lembaga tempat perpustakaan bernaung. Kalau tidak
mungkin menyelenggarakan bagian pelestarian sendiri,
dianjurkan diadakan kerja sama dengan perpustakaan lain. Ini
dapat menghemat biaya yang besar.
2.1.5 Faktor-faktor yang Dipertimbangkan dalam Pelestarian
Sebelum melakukan kegiatan pelestarian bahan pustaka, pustakawan
terlebih dahulu harus mengetahui faktor yang dipertimbangkan agar tidak
menghilangkan nilai informasi yang dikandungnya. Adapun faktor-faktor yang
dipertimbangkan dalam pelestarian bahan pustaka menurut buku Petunjuk Teknis
Pelestarian Bahan Pustaka (1995, 18) adalah:
(1) nilai bahan pustaka yang dimiliki, apakah koleksi yang
dimiliki mempunyai nilai sejarah, nilai estetika atau koleksi
langka;

9

Universitas Sumatera Utara

(2) jenis bahan pustaka, ada bahan pustaka yang lebih cepat rusak
dari pada yang lainnya. Hal ini akan membawa efek apakah
bahan pustaka tersebut akan dilestarikan bentuk fisiknya saja
dan kandungan informasinya dialihkan ke media lain seperti
bentuk mikro film/mikrofis;
(3) kebutuhan pengguna jasa perpustakaan, apakah ada bahan
pustaka yang terlalu sering digunakan atau sering dipinjam
oleh pengguna jasa perpustakaan, sehingga selain ada bentuk
mikronya perlu dibuatkan fotokopinya untuk memenuhi
kebutuhan;
(4) tersedianya dana untuk program pelestarian.
2.1.6 Kebijakan dalam Pelestarian
Menurut Subandiyah (1993, 146) “kebijakan merupakan hasil pemikiran
manusia yang harus didasarkan pada hukum-hukum tertentu sebagai landasan”.
Kebijakan atau policy juga merupakan landasan atau pedoman untuk menyusun
kebutuhan. Kebijakan setidaknya tercantum secara jelas baik tugas, fungsi, dan
tujuan dari adanya kebijakan tersebut yaitu sebagai landasan hukum yang
konsideran (Suwarno 2007, 40). Dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah hasil

pemikiran manusia yang tercantum secara jelas baik tugas, fungsi, dan tujuan dari
kebijakan tersebut.
Dalam kerangka preservasi, kebijakan digunakan sebagai pedoman
pelaksanaan kegiatan preservasi. Sehingga kebijakan pelestarian merupakan suatu
dokumen yang berisi maksud-maksud pelestarian secara terinci dan prosedur yang
terkandung di dalamnya sebagaimana yang terdapat pada buku Petunjuk Teknis
Pelestarian Bahan Pustaka (1995, 17-18). Kebijakan harus bisa menyatakan
bahwa suatu kebijakan preservasi pada pokoknya adalah menjabarkan apa yang
harus dipreservasi dan dengan cara yang mana untuk mempreservasi kelompok
bahan pustaka atau materi tertentu. Kebijakan preservasi menurut Harvey (1993,

10
Universitas Sumatera Utara

211) adalah “masalah manajemen dan harus dipertimbangkan hubungannya
dengan kebijakan manajemen perpustakaan”. Maka dari itu kebijakan preservasi
sebagai suatu dokumen tertulis (formal) yang berisi maksud-maksud pelestarian
secara terperinci dan prosedural yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemahaman
keadaan lokal dan konsep fungsi lembaga perpustakaan tersebut. Ini berarti bahwa
kebijakan preservasi tergantung dari kebijaksanan manajemen perpustakaan itu

sendiri. Jadi kegiatan preservasi merupakan sebuah kegiatan manajemen untuk
melakukan pelestarian bahan pustaka di perpustakaan.
2.1.7 Kebijakan Pelestarian di Perpustakaan
Pelestarian koleksi perpustakaan mencakup unsur-unsur pengelolaan dan
keuangan, termasuk cara menyimpan dan alat-alat dalam pelestarian bahan
pustaka, tingkat keterampilan dan tenaga kerja yang diperlukan serta teknik dan
metode yang diterapkan untuk melestarikan bahan-bahan pustaka dan informasi
yang terdapat di dalamnya. Secara umum, pelestarian termasuk dalam aspek
manajemen serta pengambilan keputusan terhadap kebijakan tertentu yang
berkaitan dengan pelestarian. Agar kegiatan pelestarian dapat berjalan dengan
lancar, perlu ditetapkan suatu kebijakan sebagai langkah awal untuk
melaksanakan kegiatan pelestarian perpustakaan dalam rangka mencapai tujuan
dari perpustakaan. Kebijakan tersebut ditetapkan sebagai hasil dari rangkaian
proses yang melibatkan unsur-unsur terkait untuk terlibat dan ikut bertanggung
jawab secara moral dan teknis operasional untuk melaksanakan kegiatan
pemeliharaan serta pelestarian semua sumber informasi yang terdapat pada suatu
perpustakaan (Sutarno, 2006:153).

11
Universitas Sumatera Utara


Dalam menjaga kelestarian bahan pustaka diperlukan kebijakan
pelestarian, hal tersebut bertujuan untuk mengoordinasi kegiatan pelestarian bahan
pustaka. Razak (1995, 19-20) mengungkapkan jenis kebijakan pelestarian bahan
pustaka sebagai berikut:
(1) kebijakan dalam menyimpan dan mengatur kondisi
lingkungan;
(2) kebijakan dalam pengamanan dan kesiapan menghadapi
bencana alam;
(3) kebijakan dalam akuisisi, penggunaan dan pengawasan;
(4) kebijakan dalam penanganan, membuat salinan, peminjaman
dan pameran;
(5) kebijakan dalam perawatan, pengawetan, perbaikan dan
reproduksi;
(6) kebijakan yang lain dalam penerapan metode pelestarian
bahan
pustaka
seperti
adanya
penelitian

untuk
mengembangkan teknik konservasi atau perlu adanya standar
nasional tentang pelestarian;
(7) kebijakan dalam meningkatkan sumber daya manusia dengan
melaksanakan penyuluhan teknis pelestarian bahan pustaka.
Kebijakan pelestarian bahan pustaka mencakup segala tindakan mulai dari
pencegahan sampai perbaikan kembali koleksi dari bahaya bencana. Semua
tindakan tersebut dilakukan untuk melindungi aset yang dimiliki perpustakaan.
Razak (1995, 21-22) mengungkapkan kebijakan pelestarian tersebut mencakup:
(a) tindakan pencegahan atau preventif untuk mengurangi potensi
kerusakan;
(b) pemeliharaan, seperti pembersihan rutin untuk menghindari
debu;
(c) program pelatihan dan penyuluhan kepada sumber daya
manusia;
(d) perencanaan kesiapan menghadapi bencana;
(e) pembuatan kotak pelindung, penjilidan dan pembungkus
koleksi;
(f) program alih media ke dalam bentuk mikro dan foto repro;
(g) program perawatan, pengawetan dan perbaikan;
(h) menyisihkan atau weeding koleksi yang sudah tidak
dipergunakan setelah melalui program reproduksi;
(i) prosedur pameran atau peminjaman.

12
Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan

penjabaran

sebelumnya,

dapat

dinyatakan

bahwa

perpustakaan perlu menyiapkan kebijakan pelestarian bahan pustaka untuk
melindungi diri dari berbagai macam ancaman seperti banjir, gempa, binatang
pengerat dan lain sebagainya. Kebijakan pelestarian tersebut mencakup segala
tindakan untuk menjaga kelestarian bahan pustaka, termasuk di dalamnya
kesiagaan dalam menghadapi bencana.
2.1.8 Kategori Kerusakan
Untuk dapat memberikan perlakuan terhadap bahan pustaka yang tepat
agar terhindar dari kerusakan, perlu memahami kategori kerusakan terlebih
dahulu. Adapun kategori kerusakan menurut Harvey (1993, 25) adalah:
(1) Kerusakan yang disebabkan ketidakstabilan yang melekat di
dalam bahan. Kerusakan kategori pertama adalah kerusakan
yang disebabkan sifat asam beberapa jenis kertas dan sifat
peka cahaya perak yang melekat pada gambar/foto;
(2) Kerusakan yang disebabkan oleh kegiatan di luar bahan.
Kerusakan yang termasuk kategori kedua adalah kerusakan
yang dipengaruhi perubahan suhu (panas, lembap), aktivitas
mikroorganisme (jasad renik seperti serangga), aktivitas
binatang pengerat, polusi atmosfer, dan polusi yang
disebabkan oleh aktivitas manusia.
Pendapat lain menurut Martoatmodjo (1993, 36) “kategori kerusakan
secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi: faktor kimia (internal), misalnya
zat-zat kimia, keasaman, oksidasi; faktor eksternal meliputi faktor biologi, fisika,
dan faktor lainnya”. Dari beberapa pendapat tersebut dapat dinyatakan bahwa
kategori kerusakan berasal dari bahan pustaka itu sendiri (internal) dan dari luar
(eksternal).

13
Universitas Sumatera Utara

2.1.8.1 Faktor Internal
Faktor internal merupakan faktor perusak bahan pustaka yang disebabkan
kandungan asam dalam kertas yang dapat mempercepat kerusakan bahan pustaka.
Menurut Martoatmodjo (1993, 46) faktor internal yaitu kerusakan bahan pustaka
yang disebabkan oleh faktor buku itu sendiri, yaitu bahan kertas, tinta cetak,
perekat dan lain-lain. Terjadinya reaksi oksidasi dan hidrolis menyebabkan
susunan kertas yang terdiri atas senyawa-senyawa kimia itu akan terurai. Oksidasi
pada kertas yang terjadi karena adanya oksigen dari udara menyebabkan jumlah
gugusan karbonat dan korboksil bertambah dan diikuti dengan memudarnya
warna kertas.
2.1.8.2 Faktor Eksternal
Faktor eksternal merupakan kerusakan bahan pustaka yang secara garis
besar dapat disebabkan oleh lingkungan. Adapun beberapa faktor eksternal
menurut Martoatmodjo (1993, 36) yaitu: faktor biologi, misalnya serangga (rayap,
kecoa, kutu buku), binatang pengerat, jamur; faktor fisika, misalnya cahaya,
udara/debu, suhu dan kelembaban; faktor-faktor lain, misalnya banjir, gempa
bumi, kebakaran, dan manusia.
2.1.9 Pemulihan Koleksi
2.1.9.1 Bentuk-bentuk Metode Perlindungan
Pemulihan terhadap perlindungan bahan pustaka merupakan pekerjaan
perencanaan yang memerlukan kehati-hatian dan kecermatan dari penanggung
jawab. Menurut Ira Penn yang disitir oleh Krihanta (2014, 7.6) bentuk-bentuk
perlindungan tersebut adalah:

14
Universitas Sumatera Utara

(1) Duplikasi
Duplikasi atau penggandaan merupakan salah satu cara untuk
membuat salinan serta mengantisipasi keberadaan bahan
pustaka yang hilang. Duplikasi juga dapat dilakukan dalam
bentuk media lain selain kertas, seperti microfilm, dan rekaman
magnetik. Ketika melakukan duplikasi juga perlu
mempertimbangkan waktu yang tepat dan berapa kali duplikasi
dalam rangka pemutakhiran.
(2) Pemencaran
Cara pemencaran dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya
bencana yang mengakibatkan kerusakan bahan pustaka.
Organisasi perlu menyiapkan lokasi penyimpanan bahan
pustaka dengan membuat duplikasi dan selanjutnya disimpan
pada lokasi yang berjauhan.
2.1.9.2 Rencana Pencegahan dan Pemulihan Bencana
Rencana pencegahan dan pemulihan bencana harus memiliki sasaran yang
jelas (Sulistyo-Basuki, 2003:249). Sasaran umumnya mencakup hal-hal berikut:
(1) Adanya metode yang efektif dan efisien dalam pencegahan
kerusakan bahan pustaka. Setiap prosedur yang dibuat
organisasi bertujuan supaya pencapaian tujuan dapat berjalan
secara efektif dan efisien. Demikian pula ketika penyusunan
mengenai pencegahan dan pemulihan bahan pustaka, metode
yang efektif dan efisien diharapkan mampu meminimalkan
biaya yang dikeluarkan;
(2) Adanya koordinasi dalam melakukan pemulihan pasca
bencana, koordinasi ini diharapkan dapat mencegah adanya
kesimpangsiuran bukti kepemilikan asset organisasi dengan
penduduk sekitar lokasi bencana;
(3) Meminimalkan adanya gangguan bencana terhadap kegiatan
rutin. Pada saat melakukan pemulihan maka sebelumnya
organisasi sudah harus memastikan bahwa kegiatan ini tidak
ada gangguan baik itu adanya bencana susulan maupun
gangguan dari penduduk sekitar yang pada waktu bersamaan
ingin memperoleh perlindungan sebagai korban bencana;
(4) Membatasi perluasan kerusakan dan mencegah terjadinya
bencana yang lebih luas. Prioritas dalam melakukan pemulihan
adalah bagaimana mencegah terjadinya bencana yang lebih
luas. Sasaran pemulihan harus memberi prioritas terhadap
kegiatan ini sehingga mampu membatasi jumlah kerusakan;
(5) Menyusun operasi alternatif. Menyusun suatu perencanaan
harus dibantu dengan program perencanaan yang lain karena

15
Universitas Sumatera Utara

(6)

(7)

(8)

(9)

(10)

biar bagaimanapun antisipasi terhadap suatu rencana yang tidak
sesuai perlu didukung rencana lain sehingga sasaran akhir dari
kegiatan pemulihan dapat berlangsung;
Menyediakan jasa dan operasi pemulihan yang cepat dan
lancar. Bagi organisasi yang besar, kegiatan pemulihan dapat
memakai jasa organisasi lain. Penggunaan jasa ini diharapkan
organisasi memperoleh hasil yang lebih baik karena
keseluruhan pekerjaan dilakukan secara profesional sesuai
dengan kemampuan dan keahliannya meskipun membutuhkan
biaya yang lebih besar;
Mencegah luka terhadap personel yang melakukan pemulihan,
faktor keselamatan kerja menjadi bagian yang tidak terpisahkan
bagi personel yang melakukan pekerjaan tersebut. Rasa aman
terhadap bahaya dari kegiatan akan mempercepat personel
untuk bekerja lebih maksimal;
Mencegah kerusakan terhadap harta dan asset organisasi.
Antisipasi terhadap penyebaran kerusakan bahan pustaka yang
berimbas kepada asset organisasi ataupun harta benda lainnya
harus diperhatikan mengingat bukan tidak mungkin upaya
pemulihan justru menjadi penyebab kerusakan asset organisasi
yang lain;
Meminimalkan dampak ekonomi. Semua kegiatan pemulihan
tetap mengacu kepada faktor minimal dampak ekonomi bagi
penduduk sekitar lokasi bencana, dampak ekonomi yang
berlebihan dan berimbas kepada penduduk membuat program
pemulihan tidak memperoleh dukungan sehingga akan
menyulitkan apabila melakukan pemulihan dalam skala besar;
Menjamin kelangsungan organisasi akibat terjadinya bencana.
Sasaran akhir dari kegiatan pemulihan adalah membantu
organisasi dalam mencapai tujuan sesuai dengan rencana. Oleh
karena itu, proses pemulihan harus memberi jaminan bahwa
semua bahan pustaka yang direkonstruksi itu nantinya tetap
menjadi acuan keberlangsungan operasional organisasi.

Pemulihan koleksi merupakan kegiatan setelah terjadinya bencana yang
bertujuan untuk mengembalikan kondisi fisik koleksi, minimal mampu
menyajikan dan menyediakan fisik dan informasi koleksi seperti keadaan semula.
2.1.9.3 Tim Penanggulangan Bencana
Tim penanggulangan bencana dibentuk dalam rangka memulihkan dan
menyelamatkan bahan pustaka yang terkena bencana (Krihanta, 2014:7.18). Tim

16
Universitas Sumatera Utara

ini terdiri dari beberapa sub tim yang berfungsi untuk melancarkan kegiatan
pemulihan, seperti:
(1) Tim administrasi, menyiapkan segala pendukung pelaksanaan
dari kegiatan pemulihan, mulai dari kebutuhan perizinan,
sarana perlengkapan maupun akomodasi, termasuk juga
mempersiapkan administrasi keuangan bagi seluruh personel.
Prinsipnya segala kebutuhan di luar non teknis yang diperlukan
oleh tim-tim lain sudah disiapkan oleh tim administrasi;
(2) Tim penunjang, merupakan tim khusus yang mempublikasikan
segala kegiatan pemulihan. Tim ini berperan sebagai
penghubung antara organisasi dengan masyarakat, organisasi
dengan pihak luar, maupun organisasi dengan media masa yang
meliput program pemulihan. Segala aktivitas pemulihan perlu
didokumentasikan dan disebarluaskan kepada publik, baik itu
perkembangan maupun hambatan-hambatan selama proses
pekerjaan.
(3) Tim pelaksana, merupakan tim inti dari kegiatan pemulihan.
Tim ini dipilih tergantung dari jenis kerusakan dan rencana
pemulihan. Apabila jenis bahan pustaka berupa media kertas
maka sebagian besar personel dalam tim ini merupakan orangorang yang berkompeten dalam restorasi. Apabila pemulihan
membutuhkan back-up dalam bentuk elektronik maka personel
dalam tim ini terdiri dari orang-orang yang menguasai software
dan hardware.
(4) Tim pengamanan, dibentuk dalam rangka menjamin
pengamanan bahan pustaka tetap dalam lingkup internal
organisasi.
2.1.9.4 Metode Pemulihan terhadap Media Kertas
Adapun bentuk-bentuk metode pemulihan dengan media kertas (Krihanta,
2014:7.19) yaitu:
(1) Vacuum Freeze Drying (VFD)
Merupakan proses yang dilalui bahan-bahan (kertas) untuk
dibekukan dan dikeringkan dalam ruang yang bersuhu tinggi.
Proses ini memerlukan sarana yang khusus dan langka. Sarana
ini terbatas dan baru dimiliki oleh 4 negara termasuk Jepang.
Sarana milik Jepang ini yang dipinjam oleh Indonesia untuk
melakukan proses pemulihan. Pengoperasian mesin ini
dilakukan pada ruang hampa dan suhu panas yang tinggi
sehingga dapat melarutkan Kristal-kristal es/cairan yang
melekat pada kertas menjadi uap air. Ketika bahan pustaka

17
Universitas Sumatera Utara

dipindahkan dari ruang pembekuan hampa udara, maka bahan
pustaka itu akan mengering dan selanjutnya ditempatkan dalam
ruang kelembaban tinggi untuk proses penyesuaian dengan
kondisi iklim dan lingkungan, membutuhkan waktu sebulan
dalam proses pengeringan tersebut;
(2) Vacuum Drying
Merupakan sarana untuk memproses kertas-kertas basah yang
tidak ditempatkan dalam sebuah ruangan yang memungkinkan
munculnya cairan/embun. Metode ini sebenarnya tidak
dianjurkan mengingat lebih rentan terhadap kerusakan fisik;
(3) Freezing
Dalam proses pembekuan, kertas yang basah dimasukkan ke
ruangan yang bersuhu di bawah titik beku dan dibiarkan
membeku dalam beberapa lama. Pada suhu di bawah titik beku,
jamur tidak akan tumbuh. Cara pembekuan ini digunakan untuk
mengurangi bahaya kerusakan akibat adanya partikel es;
(4) Air Drying
Pengeringan udara hanya dapat dilakukan dalam kondisi
lingkungan yang stabil sehingga mampu mencegah
pertumbuhan lumut. Lingkungan yang ideal untuk pengeringan
udara ini adalah 10-12 derajat celcius dan kelembaban relatif
antara 25-35%.
Pada prinsipnya dalam melakukan dan menetapkan metode perlindungan
yang menggunakan media kertas perlu diantisipasi tidak hanya ketika setelah
terjadinya bencana, tetapi juga mengantisipasi sebelum terjadinya bencana.
Kegiatan ini dimaksudkan agar tidak mengalami kehancuran dan kemusnahan
yang lebih fatal lagi.
2.1.9.5 Metode Pemulihan terhadap Media Non Kertas
Selain pemulihan terhadap media kertas, hal yang juga tidak kalah
pentingnya melakukan pemulihan terhadap media non kertas. Sitepu dkk (2009,
20) menyatakan bentuk-bentuk metode pemulihan itu seperti:
(1) Foto, slide, mikrofis/microfilm
Mikrofilm, mikrofis, atau slide berwarna tidak boleh dibekukan
kecuali jika dapat dikeringkan secara profesional (ditangani
oleh ahli konservasi dan menggunakan alat yang sesuai). Jika
bahan-bahan tersebut harus dibekukan, harus dilakukan secepat

18
Universitas Sumatera Utara

mungkin. Segel film negatif hitam putih dan yang tercetak
dalam tas polyethylene tempatkan dalam kotak non logam.
Kemudian, rendam dalam air bersih dan sejuk sampai bahan
tersebut dikirim. Bahan-bahan tersebut dapat ditinggalkan
dalam kondisi ini selama lebih dari 3 hari sebelum proses
emulsi yang akan memisahkan bahan tersebut dari lapisan film
bagian belakang. Untuk pembersihan dan pengeringan, bahanbahan dapat ditangani oleh perusahaan yang menyediakan
pelayanan tersebut dalam waktu 48 jam. Bahan-bahan tersebut
sebaiknya dikirim ke laboratorium dalam air dingin, untuk
perjalanan yang membutuhkan waktu beberapa jam sebaiknya
ditambahkan es ke dalam air untuk menjaga air agar tetap
dingin;
(2) Rekaman gramofon (phonograph records)
Keluarkan piringan hitam dari jaketnya yang basah atau rusak.
Selalu pegang piringan pada pinggirnya. Usap piringan secara
perlahan dengan kain yang lembut dan letakkan pada sebuah
rak untuk mengeringkannya di dalam ruangan yang tidak
berdebu. Jika piringan berlumpur, cuci dengan air bersih secara
perlahan (dalam suhu kamar atau sejuk) tanpa tambahan sabun.
Keringkan dengan diangin-anginkan, jangan gunakan handuk
kertas. Jaga agar label-label piringan tidak hilang atau rusak;
(3) Pita kaset audio dan video (audio and video tapes)
Bilas tanah dan lumpur pada pita kaset, keringkan dalam waktu
48 jam jika kotak kertas dan label basah. Selain itu, bahanbahan ini dapat kering setelah beberapa hari. Jangan dibekukan
dan jangan menyentuh media magnet dengan tangan telanjang.
Tangani gulungan terbuka pada bagian tengah pita kaset,
kemudian kering-anginkan. Setelah dapat dioperasikan
kembali, jika memungkinkan maka gandakan dan jagalah agar
label tidak hilang atau rusak;
(4) Disket (floppy disks)
Hindari menyentuh permukaan magnetik disket. Jaga agar tetap
kering dan susun segera secara vertikal dalam kotak plastik
atau kayu dan kering-anginkan secepat mungkin.

2.2. Manajemen Keadaan Darurat
Emergency atau keadaan daurat merupakan suatu kejadian yang

mengakibatkan kerugian organisasi yang terjadi dengan tidak terduga, di mana
diharapkan pegawai melakukan tindakan untuk menyelamatkan asset organisasi
serta menjaga kegiatan organisasi agar dapat terus berjalan. Ira Penn, dkk yang

19
Universitas Sumatera Utara

disitir oleh Krihanta (2014, 4.3) memberikan contoh-contoh keadaan darurat
tersebut, seperti:
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)

pecahnya pipa air;
ledakan bom yang menghancurkan gedung beserta isinya;
badai hebat yang merusak sarana dan prasarana;
fluktuasi arus listrik menyebabkan data hilang dalam komputer;
banjir bandang;
peralatan radar militer dan bandara;
kecerobohan;
tumpahan secangkir kopi dapat menyebabkan sebuah
komputer rusak;
(9) virus komputer yang dapat menyebabkan kerusakan data
secara luas;
(10) vandalisme;
(11) kebakaran yang memusnahkan suatu fasilitas;
(12) angin tornado atau badai besar.
Kemungkinan bencana dapat terjadi kapan saja dan dimana saja, maka
perlindungan terhadap bahan pustaka harus dilaksanakan untuk menjamin
keberadaan bahan pustaka.
2.2.1 Tipe-tipe Bencana
Dari berbagai bencana yang dapat terjadi sebelumnya, maka dapat dibagi
bencana tersebut untuk penerapan emergency management yang tepat. Menurut
Gerard Hoetmer yang disitir oleh Krihanta (2014, 4.4) menyatakan bahwa
terdapatnya 3 tipe bencana yaitu:
1. bencana alam meliputi gempa bumi, angin rebut (hurriance),
angin topan (tornado), dan banjir. Berbeda daerah, berbeda pula
bencana yang sering menerpa. Beberapa Negara seperti Jepang
merupakan negara yang kerap dilanda gempa karena struktur
alam dan geografinya. Kemajuan teknologi juga membantu
manusia meramal bencana yang akan terjadi. Namun, sampai
saat ini belum ada teknologi yang dapat meramal kapan dan di
mana gempa akan terjadi, seperti gempa besar di Aceh yang
diikuti oleh tsunami pada akhir tahun 2004;
2. bencana teknologi merupakan kejadian yang disebabkan oleh
kesalahan manusia (human error ), seperti kecelakaan pesawat

20
Universitas Sumatera Utara

udara, kesalahan konstruksi yang mengakibatkan tidak
berfungsinya suatu gedung sehingga terjadi kebakaran, banjir,
atau pipa pecah;
3. bencana yang disebabkan oleh masyarakat/sipil (civil disaster )
merupakan kegiatan masyarakat yang sifatnya destruktif atau
yang dapat mengakibatkan kerugian, kecelakaan dan bahkan
kematian. Civil disaster dapat terjadi dalam skala kecil (lokal)
maupun besar dan dapat terjadi di mana saja serta kapan saja.
Bencana akibat ulah manusia ini meliputi kegiatan pencurian,
vandalism, teroris, dan kerusuhan.
Untuk menghadapi bencana-bencana tersebut, maka dibutuhkan emergency
management agar selalu siap ketika datangnya bencana.

2.2.2 Tahapan dalam Manajemen Keadaan Darurat
Pakar dalam emergency management Virginia yang disitir oleh Krihanta
(2014, 4.15) terdapat 4 fase tahapan, yaitu:
1. tahap pencegahan, ini merupakan tahapan pertama dalam
manajemen keadaan darurat. Pencegahan kerusakan meliputi
pengurangan tingkat risikoyang panjang dari ancaman alamdan
manusia. Tahapan ini meliputi: melaksanakan proses
manajemen risiko, analisis dampak terhadap organisasi, serta
rancangan pencegahan bencana;
2. tahap persiapan, kegiatan pada tahapan ini adalah
mengembangkan kemampuan untuk merespon suatu keadaan
darurat. Kegiatan utama preparedness adalah mempersiapkan
rancangan manajemen keadaan darurat untuk bahan pustaka
yang meliputi persiapan, pelaksanaan, kemutakhiran dan respon
terhadap suatu keadaan darurat. Rancangan keadaan darurat
bertujuan member dasar tindakan yang sistematis dalam
menghadapi ancaman terhadap organisasi;
3. tahap tindakan merupakan kegiatan yang diambil sebelum,
selama atau setelah keadaan darurat untuk meminimalkan
kerusakan atau memperbaiki bahan pustaka. Kegiatankegiatannya meliputi: pengenalan terhadap bencana,
menghubungi pihak terkait, melaksanakan rencana yang sudah
dibuat, penilaian kerusakan, keamanan, dan kegiatan yang
mungkin dapat dilakukan (contingency);
4. tahap pemulihan merupakan pelaksanaan kegiatan dalam
jangka pendek. Kegiatannya meliputi: penilaian kerusakan,

21
Universitas Sumatera Utara

stabilisasi,
kegiatan.

restorasi (perbaikan), dan

memulai

kembali

2.2.3 Keuntungan Rancangan Manajemen Keadaan Darurat
Rancangan yang komprehensif dari emergency management memberikan
keuntungan dalam pengeloaan, informasi dan asset organisasi jika terjadi bencana.
Keuntungan-keuntungan tersebut menurut Krihanta (2014, 4.7) meliputi:
(a) memulai kembali kegiatan secara cepat. Jika organisasi
menerapkan rancangan emergency management, melatih
pegawai serta melaksanakan tahapan persiapan maka mereka
dapat menangani keadaan darurat dan dapat kembali
beroperasi dengan cepat.
(b) memperbaiki tingkat keselamatan. Jika terjadi bencana dan
mengakibatkan luka atau korban jiwa, pengadilan akan dapat
menuduh perusahaan mengabaikan keselamatan dan meyalahi
aturan jika tidak menerapkan emergency management.
(c) melindungi asset vital organisasi. Tujuan utama dari
manajemen keadaan darurat adalah melindungi dan
menyelamatkan asset dan informasi vital organisasi.
(d) mengurangi biaya asuransi. Asuransi yang tidak memadai akan
lebih memakan biaya dan tidak efektif. Penerapan manajemen
keadaan darurat yang baik akan mengurangi biaya asuransi.
(e) memperbaiki tingkat keamanan. Manajemen keadaan darurat
sangat berkaitan dengan rancangan keamanan. Dalam
manajemen keadaan darurat faktor keselamatan dan prosedur
keselamatan menjadi tinjauan khusus.

22
Universitas Sumatera Utara