KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA ( 2 )

KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA

Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Komunikasi Antar Budaya

Oleh
Siti Rahayu Hanydar 2014140061
Lingga 2014140069
Ajeng Uma Nuraini 2014140073

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
JAKARTA 2015

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa,
dengan Rahmat, Taufiq, dan hidayah-Nya, penulis telah dapat menyelesaikan
makalah tentang Komunikasi Antar Budaya ini.
Makalah ini terselesaikan sesuai dengan pembelajaran mata kuliah
komunikasi antar budaya.Makalah ini berisikan tentang Komunikasi Antar

Budaya. Kami menyadari sepenuhnya dengan keterbatasan kemampuan
pada diri kami bahwa penulisan ini masih jauh dengan apa yang dikatakan
sempurna. Karena itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran dari para
pembaca demi tercapainya kesempurnaan makalah ini.Kami tak lupakan
menyampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang membantu
terselesaikannya makalah ini.Semoga makalah ini benar-benar bermanfaat
bagi semua pembaca.Amin.
Tangerang, Oktober 2015

Kelompok VI

i

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah…………………………………………………………………1

BAB II PEMBAHASAN
Masyarakat

2.1

Jejaring……………………………………………..

………………………..2
2.2

Ruang

Public…………………………………………………………………...

………....7
2.3

Komodifikasi

Informasi


Di

Era

Digital…………………………………………………11
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan………………………………………………………………...........................15
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kenyataan sosial, manusia tidak dapat dikatakan berinteraksi sosial kalau dia tidak
berkomunikasi.Dapat dikatakan pula bahwa interaksi antar-budaya yang efektif sangat
tergantung dari komunikasi antarbudaya. Maka dari itu kita perlu tahu apa-apa yang menjadi
unsur-unsur dalam terbentuknya proses komunikasi antarbudaya, yang antara lain adalah adanya
komunikator yang berperan sebagai pemrakarsa komunikasi; komunikan sebagai pihak yang
menerima pesan; pesan/simbol sebagai ungkapan pikiran, ide atau gagasan, perasaan yang
dikirim komunikator kepada komunikan dalam bentuk simbol.

Komunikasi Antar Budaya (intercultural communication) adalah proses pertukaran pikiran
dan makna antara orang-orang yang berbeda budaya. Jadi pada dasarnya komunikasi antar
budaya mengkaji bagaimana budaya berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi, apa makna
pesan verbal dan nonverbal menurut budaya-budaya bersangkutan, apa yang layak
dikomunikasikan, kapan mengkomunikasikannya, dan bagaimana cara mengkomunikasikannya
melalu verbal ataupun nonverbal.
Komunikasi itu muncul, karena adanya kontak, interaksi dan hubungan antar warga
masyarakat yang berbeda kebudayaannya.Sehingga “kebudayaan adalah komunikasi dan
komunikasi adalah kebudayaan, begitulah kata Edward T. Hall. Jadi sebenarnya @aka da
komunitas tanpa kebudayaan, dengan kata lain tidak ada komunitas, tidak ada masyarakat, dan
tidak ada kebudayaan tanpa komunikasi. Di sinilah pentingnya kita mengetahui komunikasi
antarbudaya itu.
Sebagai bagian dari tuntutan glabalisasi yang semakin tidak terkendali seperti saat ini,
mendorong kepada kita terjadinya sebuah interaksi lintas budaya, lintas kelompok, serta lintas

sektoral.Belum lagi perubahan-perubahan global lainnya yang semakin deras dan menjadi bukti
nyata bahwa semua orang harus mengerti karakter komunikasi antarbudaya secara mendalam.

1


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 MASYARAKAT JEJARING
A) Konsep Masyarakat Jejaring
Konsep masyarakat jejaring atau network society menurut Manuel Castells (1996)
didekati untuk memahami fenomena sosial dan budaya sebagai sebuah struktur sosial atau
social structures.Dengan adanya network munculah struktur dimana segala prosedur kerja
maupun aktivitas yang pada dasarnya biasa dilakukan oleh manusia, misalnya dalam
transaksi perbankan menjadi tergantikan oleh tekhnologi.Hal itu dimungkinkan karena setiap
titik dalam jaringan saling berkoordinasi dan berdasarkan prosedur yang telah terprogram
untuk mengeksekusi sebuah keputusan atau perintah yang terpusat (de-centralized execution)
sebagai mana yang terjadi dalam struktur sosial di masyarakat.
Berbeda dengan struktur masyarakat, seperti di dalam struktur pemerintahan dimana
masing-masing struktur memiliki mekanisme dan tata cara (birokrasi) tersendiri. Struktur ini
selalu bertingkat dari atas bawah dan sebaliknya dari bawah ke atas. Setiap level yang berada
dibawah harus melewati satu level diatasnya dan begitu seterusnya sampai ia berada di level
teratas, sehingga dalam prakteknya level bawah tidak serta merta bisa berkomunikasi dengan
level teratas. Perbedaan inilah yang dirasakan dalam term network yang terjadi dinternet.
Bahwa network memungkinkan arus komunikasi berjalan kearah mana saja dan pada level

struktur dimanapun tanpa perlu dimediasi atau diwakilkan (La Tour, 1999:15-16 seperti
dikutip Gane and Beer, 2008:30). Sehingga keberadaan individu dalam relasi yang terjadi di

internet menjadi lebih berperan dibandingkan kelompok.Waktu dan tempat menjadi sesuatu
yang tanpa batas dan keleluasaan individu dalam menjalin relasi di dalam network menjadi
faktor pembeda posisi individu didalam kelompok pada media baru.

2
Konsep social network merupakan alat untuk mempelajari struktur sosial (Barry Welman,
1988:4 seperti dikutip Gane and Beer, 2008:24).Dengan demikian konsep ini digunakan
untuk melihat bagaimana relasi yang terjadi diantara setiap unit yang ada didalam struktur
sosial yang ada.Juga dalam memetakan setiap karakteristik atau koneksi dari setiap relasi
(komunikasi) tersebut yang menghubungkan setiap titik (nodes) yang di dalamnya bisa
bermakna individu, grup, korporasi, hingga antarnegara dan kolektivitas yang jauh lebih
besar.Namun relasi yang terjadi di dunia internet (offline) sangat berbeda dengan dunia nyata
(online).Perkembangan tekhnologi internet, baik berupa perangkat keras (hardware) maupun
perangkat lunak (software) serta beragamnya situs-situs yang ada di dunia maya,
memberikan pengaruh yang semakin tinggi terhadap relasi yang terjadi antar-individu
maupun antara individu dengan organisasi (kelompok).
Hal ini mentransformasikan pengertian komunitas dalam sebuah relasi sosial,

sebagaimana dipopulerkan oleh Castells, bahwa yang dimaksud dengan network society
merupakan transisi dari yang bersifat komunal menjadi individual.Individu menjadi jauh
lebih berharga dan memiliki konstribusi dari relasi sosial yang ada dibandingkan dengan
konstribusi komunitas yang selama ini bersifat kelompok dan terkadang meminggirkan peran
individu.Dalam pendekatan Wellman dan Haythornthwaite peran kelompok menjadi sangat
penting.Sebab, selain individu sebagaimana yang di paparkan oleh Castells, kelompok
merupakan salah satu bentuk selain individu yang juga memiliki peran penting dalam relasi
sosial.Bahkan secara tegas dinyatakan bahwa struktur sosial (kelompok) memberikan
kontribusi yang kuat terhadap social production and reproduction, misalnya dalam
pembentukan budaya.

Dengan demikian, social network analysis merupakan representasi dari teori yang
menjelaskan bagaimana relasi yang terjadi di media baru tidak hanya membahas tentang
struktur tekhnologi relasi atau jaringan tersebut, melainkan juga berbicara tentang hubungan
antar-individu yang terhubung melalui nodes (titik-titik jaringan) dari beragam variable,
mulai dari individu sampai negara dan secara global tanpa dibatasi oleh faktor seperti
geografi, suku, agama, ras dan sebagainya.

3
B) Kehadiran Telecommunity

Teori klasik tentang komunitas salah satunya dikembangkan oleh Emille Durkheim yang
menjelaskan tentang kesadaran kolektif atau conscience collective yang didefinisikan sebagai
“the set of beliefs and sentiments common to the average members of a single society
(which) forms a determinate systmen that has its own life.” Kesadaran kolektif ini salah
satunya adalah nilai-nilai agama yang berlaku secara tradisional dalam masyarakat,
Durkheim menyebutnya sebagai “mechanical societies”. Bagi Durkheim (1982:58),
sebagaimana bahan kajian David Holmes fasilitas yang muncul dari corak struktur
masyarakat yang secara radikal merupakan perwujudan dari bentuk hubungan antar-individu.
Bagi Nikolas Rose (1996:337) “society” dan komunitas dipandang sebagai sebuah
konstruk yang telah mengubah aturan dan menggugurkan pandangan tentang masyarakat
yang terbentuk secara nasional atau dalam sebuah negara.Karena bisa jadi aka nada gerakan
yang tidak terikat oleh tali nasionalisme hanya karena alasan-alasan, misalnya ekonomi
semata. Sebab, keamanan sosial, keadilan sosial, hak-hak sosial serta solidaritas sosial
menjadi basis yang mendasari seseorang dalam berintegrasi .
Sementara term “telecommunity” sendiri ditemukan oleh Alvin Toffler dalam bukunya
The Third Wave (1980) sebuah definisi yang muncul jauh sebelum fenomena internet itu
muncul. Toffler menyatakan bahwa eksistensi tekhnologi merupakan fasilitas umum yang
muncul pada akhir era sosial kapitalis, dimana kehadiran tekhnologi bisa mengubah polapola kerja dan juga komunikasi.Setiap pekerja sekarang bisa melakukan semua pekerjaannya
dirumah sehingga interaksi mereka dengan anggota keluarga dan tetangga menjadi lebih
intens, ini yang disebutnya dengan “selective substitution of communication for


transportation” (1980:382).Holmes (2005:222) menandakan bahwa pada dasarnya kini
untuk berinteraksi dengan seseorang berarti individu itu melakukan interaksi dengan
media.Fenomena ini merupakan ciri khas dari budaya global dan kaum urban.

4
C) Komunitas Virtual
Virtual communitiesatau komunitas virtual adalah kumpulan pengguna/user yang
dibentuk secara online yang masing-masing menggunakan identitas nyatu atau rekaan
(avatar) serta informasi online tertentu untuk melakukan komunikasi atau interaksi secara
terus menerus melalui mediasi jaringan komputer. Saling berinteraksinya para netter didunia
siber pada kenyataannya, disadari maupun tidak, membentuk sebuah komunitas baru, yakni
komunitas virtual (virtual community). Anggota dari komunitas ini tentu saling berinteraksi
dan berkomunikasi yang pada akhirnya dari interaksi inilah muncul sebuah kebuadayaan
siber atau cyber culture.
Kebudayaan ini memiliki hubungan yang signifikan dengan komunitas. Menurut Melville
J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski, segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat
(komunitas) ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri yang
turun temurun dari satu generasi ke genarasi yang lain. Akan hal nya kebudayaan yang ada di
internet, ruang individu yang dikonstruk oleh setiap user dalam interaksi di internet misalnya

dalam newsgroup memiliki aturan, ciri khas, bahkan hierarki yang tidak jauh berbeda dengan
dunia nyata.
Pada dasarnya komunitas virtual bisa dibedakan menjadi dua jenis.Merujuk pada
penjelasan. Tonnies dalam bukunya community and asociation yang terbit tahun 1995
(dikutip David Bell, 2001:94) bahwa komunitas terbagi menjadi Gemeinschaft dan
Gesellschaft, Gemeinschaft merujuk pada jenis komunitas yang berkarakter “total
community” dimana setiap individu maupun aspek-aspek social didalamnya berinteraksi
secara vertikal maupun horizontal, berjalan secara stabil dan dalam waktu yang lama,

merupakan hasil dari adanya kesamaan maupun kebutuhan, terbentuk dari adanya pertukaran
ritual maupun simbol-simbol sebagaimana yang terjadi dalam interaksi social secara nyata
yang dibangun secara face-to-face interaction.
Adapun Gesellschaft adalah kebalikan dari kondisi Gemeinschaft.Ditenggarai oleh
derasnya urbanisasi di kota-kota besar, Tonnies menjelaskan bahwa jenis komunitas ini
terbentuk dari berbagai aspek yang sangat heterogen.Hubungan yang terjadi antar-individu
dalam komunitas ini terjadi sangat dangkal dan lebih bersifat instrument formal belaka.
5
Dalam Gesellschaft, komunitas tidak berkembang secara simultan dan tidak membesar,
meski anggota komunitas yang ada didalamnya secara kuantitas berjumlah besar,
sebagaimana penduduk di ibu kota, dan setaip individu akan bertemu dengan individu

lainnya setiap waktu namun hubungan yang terjalin hanyalah parsial dan sementara.
Dua jenis komunitas yang di sodorkan oleh Tonnies ini pada dasarnya mewakii jenis
komunitas yang ada diruang siber. Namun, pilihan apakah individu itu akan menjadi
Gemeinschaft dan Gesellschaft itu tergantung dari pilihan individu itu sendiri, bukan
dibentuk oleh kebiasaan yang terjadi dalam kehidupan sosial yang dibentuk dalam waktu
yang lama sebagaimana di kehidupan nyata. Ia bisa menjadi individu yang aktif dalam
komunitas virtual, memiliki jalinan antar-anggoa forum yang kuat dan membagi nilai-nilai
kebersamaan. Tetapi di lain sisi dia juga bisa sekedar menjadi kaum urban yang bergerak dari
kehidupan nyata atau offline ke online-selayaknya kaum urban di kota besar- dengan tidak
melibatkan diri lebih jauh di komunitas virtual tersebut. Sekedar melihat ada topic diskusi
yang menarik atau mencari kebutuhan offline dan jika kebutuhan tersebut terpenuhi, maka
komunitas virtual itu pun di tinggalkan.
Contoh dari Komunitas Virtual :
1. E – mail
Kata e-mail terdiri dari dua suku kata yaitu ‘e’ dan ‘mail’. ‘e’ berarti electronic, dan
‘mail’ berarti surat. Sehingga e-mail dapat dikatakan mengirim surat melalui media
elektronik internet. Karena pada dasarnya e-mail sama dengan surat biasa (snail mail) yang
harus melewati beberapa kantor pos sebelum sampai ke tujuannya. Dalam hal ini e-mail
termasuk jenis komunikasi asynchronous communication, artinya pengirim pesan dan
penerima pesan tidak berada pada tempat dan waktu yang bersamaan. E-mail sendiri terdiri

atas dua jenis e-mail yang didasarkan pada keperluan atau kepentingan interaksi yang
diinginkan, yaitu e-mail person to person (poin to point) merupakan e-mail dari satu orang ke
satu orang lainnya, serta e-mail dalam bentuk kelompok (point to multi point) merupakan email dari satu orang ke sekelompok orang dan sebaliknya. Jenis yang kedua ini disebut juga
sebagai e-mail groups (e-groups ) atau mailing list.
2. Chatting
Chatting merupakan salah satu fasilitas yang diberikan internet, dimana kita dapat berkomunikasi
secara interaktif dengan satu orang atau lebih secara on-line. Dalam hal ini chatting termasuk
jenis komunikasi synchronous communication, artinya komunikasi melalui internet dengan
interaksi yang bersamaan waktunya.
3. Web
Web dapat diartikan sebagai tempat memajang informasi secara on line & bersifat virtual (maya)
yang memiliki kaitan (link) informasi tidak terbatas. Berdasarkan informasi yang disampaikan,
web dapat dibedakan menjadi tiga macam :
1. Informasi umum (berita on line, info pelayanan umum dan sebagainya)
misalnya : kompas.com, liputan6.com
2. Informasi khusus (web dengan isi informasi tentang suatu lembaga, atau informasi dalam
berbagai kategori)
misalnya : deplu.co.id, depkominfo.go.id
3. Informasi komersial
misalnya : kapanlagi.com
Menurut jenisnya web dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu official web (website resmi yang
dimiliki oleh lembaga), dan unofficial web (web tidak resmi yang dimiliki secara personal atau
perorangan, seperti “blog”).
MANFAAT DARI KOMUNITAS VIRTUAL


Bermain musik di dunia virtual

Musik merupakan hal yang tak asing lagi untuk di perbincangkan. Semua orang yang normal
pasti suka mendengarkan ataupun hampir semua orang pernah memainkan alat musik.
Bermain musik di dunia virtual secara sederhana dapat dengan mudah dipelajari.Dengan
membunyikan tuts-tuts nada dan menghapal nya,atau kita dapat memainkan lagu sesuai dengan
irama sebagai mana aslinya di dunia nyata.


Komunikasi bisa terjalin dengan baik

Karena kesibukan masing-masing maka komunitas virtual bisa berkomunikasi dengan lancar
melewati internet.


Dengan ditemukannya berbagai teknologi oleh para penciptanya, maka kehidupan
manusia saat ini sudah banyak dimudahkan.



Sharing pengetahuan, pengalaman, dll.



Dari pertemuan dalam dunia maya, banyak pengetahuan yang diperoleh.



Pebisnis dapat mengiklankan produknya dan bahkan melakukan transaksi melalui
komunitas ini.



Komunikasi yang terjadi, tidak menggunakan biaya yang mahal, untuk
mendapatkan informasi yang banyak.



Menemukan teman/relasi baru, bahkan sebagai biro jodoh.

6

2.2. RUANG PUBLIC
A. Teknologi dan Redefensi Ruang Publik
Kemajuan teknologi internet, ditambah dengan karakter-karakteristik media baru (new
media), menyebabkan fenomena kebebasan bersuara atau ruang public virtual (virtual
sphere) berkembang semakin pesat.Misalnya melalui fenomena citizen journalism atau
jurnalisme warga.Kehadiran warga dalam citizen journalism untuk motif-motif yang
diinginkan, mulai dari ekonomi atau politik (pencitraan diri).
Fenomena citizen journalism merupakan fenomena yang membawa perubahan kepada
kultur. Mulai dari kultur dalam mengakses media informasi, kultur berinteraksi serta
pengungkapan diri (self disclosure) atau pencitraan diri, dan bagaimana kultur professional
journalis cum perusahaan media dalam memosisikan khalayak. Bahwa selama ini khalayak
merupakan sasaran terpaan informasi media dan bersifat pasif, kehadiran media citizen
journalism membawa pada perubahan yang bisa dikatakan cukup drastis dalammemandang
posisi khalayak. Inilah yang disebut Deuze bahwa dalam era perkembangan citizen
journalism diperlukan kerja sama antara professional media dan khalayak dalam menjalani
perubahan kultur, terutama kultur di dalam bidang jurnalisme.
B. Mendefinisikan Citizen Journalism
Term citizen journalism atau jurnalisme warga merupakan salah satu kata yang dipakai
untuk menjelaskan keterlibatan warga (audiences) dalam memproduksi dan mendistribusikan
berita. Beberapa literature menyebutkan bahwa aktivits warga dalam memplubikasikan
informasi tersebut bisa diwakili oleh term seperti public journalism, civic journalism,
grassroots journalism, participatory journalism, street journalism hingga audience journalism.

7

Kata citizen journalism, atau variannya, berasal dari istilah jurnalistik yang selama
digunakan untuk menyebutkan bagaimana aktivitas warga yang terlibat dalam pelaporan dan
penulisan sebuah peristiwa untuk dipublikasikan. Fenomena citizen journalism juga
menyertakan fungsi-fungsi media massa pada umumnya, misalnya sebagai penghibur
(Rolnicki, et.al., 2008), memberikan informasi (McQuail, 1987), melakukan pendidikan
(McQuail, 1987), propaganda (Baran dan Davis, 2009), penentuan agenda-setting (Severin
dan Tankard, 2005), gerakan sosial politik (hiebert, 1995), pengawasan Negara/pemerintahan
(watchdog) (Vivian, 2008), media dalam perubahan budaya (Bourdieu, 1993) dan
sebagainya.
Pengertian dan penggunaan istilah tentang citizen journalism, yakni sebagai “aktivitas
jurnalistik yang dilakukan oleh warga, baik amatir maupun professional, dalam
mempublikasikan dan mendistribusikan, dan mengembangkan informasi melalui media
tradisional maupu media baru secara lebih interaktif”. Penambahan kata “pengembangan”
dan “interaktif” dari definisi tersebut bukan tanpa alasan; bahwa media citizen journalism
terutama di internet, bisa berupa portal atau situs jejaring sosial, memungkinkan proses
interaksi antarwarga ini terjadi.
C. Kebangkitan Warga Di Ruang Publik Virtual
Keterlibatan warga dalam citizen journalism memberikan implikasi pada kebangkitan
warga dalam memproduksi dan mendistribusikan informasi. Jika selama ini warga
merupakan khalayak pasif dalam mnerimaa terpaan berita, kehadiran media citizen
journalism menurut Bowman an Willis dalam We Media (2003: 47-52) memberikan
kesempatan bagi warga untuk memproduksi berita secara bebas dan tanpa adanya
pertarungan kepentingan yang biasa terjadi di Indonesia media tradisional.
Didalam praktik citizen journalism nilai-nilai yang berasal dari eksternal menjadi
tersamarkan bahkan hilang.Struktur organisasi redaksional dalam media tradisional dan
pengaruh yang mungkin muncul dari keberadaan struktur tersebut menjadi hilang di media
citizen journalism.Sebab, salah satunya dalam citizen journalism tidak diperlukan adanya
struktur mekanisme produksi berita dimana sebelum dipublikasikan sebuah peristiwa yang
ditulis, misalnya harus melalui penyuntingan demi penyuntingan.
8

Citizen journalism memungkinkan satu warga pun untuk membuat media citizen journalism
sekaligus

langsung

memproduksi

dan

mendistribusikan

peristiwa

sesuai

dengan

keinginannya. Tidak ada nilai dan aturan yang membentuk warga dalam memilah dan
memilih peristiwa yang akan dipublikasikan; dalam kondisi tertentu, tidak ada kode etik yang
mengikat warga utuk mempublikasikan segala sesuatu yang bisa menimbulkan konflik atau
ketegangan antara agama, ras, maupun suku karena warga bisa bersembunyi di dalam
identitas virtual yang palsu atau anonymity (Wood and Smith 2005:63). Sehingga baik buruk
sebuah peristiwa dan keberpihakan yang disajikan dan terkandung dalam konten berita
ditentukan sepenuhnya oleh warga.
Dengan demikian, penulis melihat ada semacam pergeseran kultur media berkaitan
dengan warga sebagai audience. Selama ini warga yang ditempatkan sebagai konsumen pasif
dari media, kehadiran internet dan gerakan citizen journalism telat menmpatkan warga
sebagai produsen berita sekaligus sebagai narasumber berita.Hal ini jelas berbada dengan
jurnalis tradisional yang menempatkan jurnalis dan narasumber menjadi dua posisi yang
berbeda.Jika selama ini sebuah karya jurnalistik berupa pemberitaan medi dikerjakan oleh
jurnalis disebuah institusi resmi media, kini pemberitaan dan atau laporan sebuah peristiwa
tersebut bisa dilakukan oleh warga, peorangan maupun komunitas. Keterlibatan warga dalam
citizen journalism dan kemajuan fasilitas internet pada akhirnya membuka peluang bagi
distribusi informasi yang tidak hanya bersifat alternatif, melainkan juga lebih berimbang, apa
adanya dan bahkan mengaburkan kategori karya jurnalistik, misalnya dengan memasukkan
opini penulis didalamnya atau bahkan karya fiksi.

9

D. Warga Sebagai Audiens Global
Media tradisional memiliki target konsumen media (audiences) yang sangat spesifik.
Spesifikasi audiences setidaknya terjadi karena
1. tipe dari konten media
2. keluasan jangkauan distribusi media
3. jumlah produk yang dihasilkan dan
4. batasan geografis tempat media itu berada.
Keterbatasan ini menyebabkan jangkauan media tradisional terbatas dibandingkan media
citizen journalism dalam jaringan (Daring) atau online.
Selanjutnya pola internet yang menghubungkan atau network entitas baik berupa
perangkat komputer maupun pengguna (user) secara global di seluruh dunia menyebabkan
akses audiences terhadap media citizen journalism menjadi jauh lebih luas dan tanpa batas.
Namun, citizen journalism memiliki pendekatan yang berbeda. Meski di Negara yang
bersangkutan memiliki system pers yang otoriter dan media sangat dikontrol oleh pemerintah
dalam menyiarkan informasi, tetapi melalui beragam media warga bisa mempublikasikan apa
yang terjadi dan audiences yang tidak hanya berasal dari Negara tersebut melainkan dari
seluruh dunia bisa mengetahuinya. Laporan warga dalam tragedi penembakan oleh tentara
terhadap protes yang dilakukan oleh kalangan biksu di Myanmar pada tahun 2010 bisa
dijadikan contoh bagaimana laporan citizen journalism memperoleh akses warga secara
global.

10

2.3. KOMODIFIKASI INFORMASI DI ERA DIGITAL
A. Ruang Virtual Produksi Budaya
Dalam perspektif cultural studies, internet merupakan ruang dimana kultur yang terjadi
itu diproduksi,di distribusikan dan di konsumsi. Sebagaimana sifat dasar perspektif ini yang
mengaburkan kelas-kelas sebagai sebuah strata yang ada di tengah masyarakat, cultury
studies memberikan semacam perlawanan dari satu kemapanan strukturasi kelas sosial.
Gerakan sosial seperti feminism menandakan bahwa sebuah kultur tidak hanya diciptakan
oleh kelas tertentu, dalam teori Marx klasik misalnya oleh mereka yang menguasai alat-alat
produksi dan memiliki modal, namun bisa di hasilkan oleh masyarakat bahkan induvidu yang
merupakan agen sosial (mosco,1996;251) jika memakai term ekonomi politik, maka kultur
merupakan komonitas yang di produksi. Artinya , pendekatan kultural cultural studies dalam
melihat budaya siber yang ada di internet memberikan arah untuk melihat bagaimna proses
komunikasi itu terjadi di ruang virtual ; dengan tentu saja mengabaikan kajiannya
berdasarkan perbedaan kelas hingga hubungan pekerja pemodal sebagaimana hal ini menjadi
central awal dikursus tentang politik ekonomi (hlm.252) jika politik ekonomi mengawali
pembahasannya melalui “macrosocial organization of power” atau organisasi kekuasaan,
maka cultural studies mendekatinya melalui” local organization of power” di mana
kekuasaan itu berada di dalam diri subjek atau individual itu sendiri (intersubjective). Bagi
mosco, focus dari cultural studies terletak pada teks sebagai salah satu titik awal untuk
melihat bagaimana fenomena soaial itu terjadi.
McQuail menegaskan bahwa ada hubungan antara politik ekonomi dan budaya di media.
Aspek politik ekonomi memainkan peran dari pengaturan produksi budaya yang terjadi di
industry media massa sebagai “industry dengan kesadaran”.
Media pada dasarnya merupakan institusi yang disetir oleh logika ekonomi sampai pada
perubahan budaya. aspek penting dalam pemikiran McQuail ini adalah komodifikasi budaya
dalam bentuk “perangkat lunak” yang diproduksi oleh dan untuk “perangkat keras”
komunikasi yang keduanya dijual dalam pasar yang lebih luas (2011:124).

11

Terkait dengan komodifikasi yang terjadi di media, mosco memformulasikan tiga bentuk
komodifikasi, yakni komodifikasi isi, komodifikasi khalayak, dan komodifikasi pekerja.
Pertama , komodifikasi isi (content) menjelaskan bagaimana konten atau isis media yang
di produksi merupakan komoditas yang ditawarkan. Proses komodifikas ini berawal dengan
mengubah data-data menjadi system makna oleh palaku media menjadi sebuah produk yang
akan dijual kepada konsumen,khalayak maupun perusahaan pengiklanan (1996,146-147).
Artinya media tidak hanya berhenti pada proses pembentukan kultur semata melalui konten
yang di distribusikan, melainkan juga menjadikan budaya itu sebagai sebuah komoditas yang
bisa di jual. Sejalan dengan konteks ini, adorno dan hokheimer menyodorkan tesis tentang
industry budaya. Bahwa media dan hiburan yang disajikan melalui media massa pada
dasarnya telah menjadi industry di era kapitalisme pasca-perang dunia II baik dalam
mensirkulasikan komoditas budaya maupun dalam memanipulasi kesadaran manusia
(Hokheimer dan Adorno, 1972 dalam agger,2009;180) industry budaya pada dasarnya juga
menjelaskan bagaimana budaya menjadi sesuatu yang manipulasi kesadaran manusia.
Budaya pop, sebagaimana di contohkan hokheimer dan adorno; bukanlah menjadi media
akhir

dan paling tinggi yang bisa di gunkan untuk melakukan perlawanan terhadap

hegemoni capitalism sebagaimana diulas oleh Marx, melainkan budaya pop itu sendiri
mengandung iklan kedok untuk menutupi aktivitas kapital melalui media massa (hlm. 182183).
Kedua, komodifikasi khalayak.Dengan memakai wacana yang dipopulerkan oleh Smyte
(1977) dalam the audience commodity, komodifikasi khalayak ini menjelaskan bagaimana
sebenarnya khalayak tidak secara bebas hanya sebagai penikmat dan konsumen dari budaya
yang didistribusikan melalui media.
Ketiga, komodifikasi pekerja (labour). Bahwa perusahaan media massa pada
kenyataannya tak berbeda dengan pabrik-pabrik. Para pekerja tidak hanya memproduksi
konten dan mendapatkan penghargaan terhadap upaya menyenangkan khalayak melalui
konten tersebut, melainkan juga menciptakan khalayak sebagai penkerja yang terlibat dalam
mendistribusikan konten sebagai sebuah komoditas (Mosco, 1996:158).

12

Kemajuan teknologi informasi merupakan contoh bagaimana tanpa sadar khalayak juga
mentransformasikan dirinya tidak sekadar menjadi konsumen atau objek komoditas kepada
pengiklan, melainkan juga sudah menjadi produsen dalam industry budaya.
B. Informasi Sebagai Komoditas
Teoris cybercultural seperti Manuel Castells menegaskan bahwa perkembangan teknologi
internet pada dasarnya melahirkan apa yang disebut sebagai “informational capitalism”
(1996/2010:18). Bahwa teknologi dan entitas yang berada di dalamya seperti produsen
(perangkat keras maupun lunak), distributor, pengiklan, maupun pengguna merupakan model
ekonomi baru yang melandaskan produk atau komoditasnya pada informasi. Namun patut
dicatat, bagi Castells teknologi informasi tidaklah serta merta merubah kultur yang ada di
tengah masyarakat dan jika ada perubahan kultur pun dikarenakan oleh interkasi yang terjadi
antara keduanya (Castells, 2010:5). Informasi menjadi komoditas yang diperebutkan baik
oleh pekerja, pemilik perusahaan, maupun melibatkan Negara. Dengan kata ain, siapa yang
bisa menguasai cum memanipulasi informasi, maka dianggap akan memenangi persaingan
global sebagaimana yang disebut Castells sebagai “dot.com businesses”. Juga individu
sebagai entitas secara otomastis memosisikan dan diposisikan sebagai pekrja yang telah
terprogram atau “self-programmable”.
Terkait dengan media baru dan komoditas, dalam pandangan Miller (2010) media baru
memberikan sarana bagi aktivitas menulis tentang diri di jurnal elektronik. Blogging pada
dasarnya merupakan kegiatan menampilkan citra diri atau memproduksi konten (informasi)
yang terpusat pada diri; meminjam istilah yang dipopulerkan Giddens, Miller menyebutnya
sebagai konsep “individualization” disandarkan pada sebuah proses di mana komunitas
danhubungan personal di dalamnya, bentuk-bentuk kelompok sosial dan komitmen terhadap
kelompok tersebut semakin berkurang karena faktor-faktor seperti sejarah, tempat dan atau
tradisi.

13

Pada saat itulah individu membebaskan dirinya dari ruang, tradisi, pengaruh globalisasi,
maupun sejarah dan pada akhirnya individu akan memosisikan dirinya sesuai dengan konteks
kebutuhan saat itu, membentuk diri serta mengkonstruksikan diri sebebas-bebasnya; dalam
pandangan Giddens, sebagaimana dikutip Willey, bahwa hubungan yang murni (pure)
terbangun secara sadar dan sukarela. Selanjutnya hubungan tersebut akan semaki erat apabila
diantara individu pancaran identitas diri di antara individu tersebut merefleksikan hal yang
sama, saling menyadari adanya kebutuhan, dilandasi rasa kepercayaan, serta adanya
pengungkapan diri (self-disclosure) untuk meraih kepercayaan.
Inilah yang menjadi perhatian miller tentang informasi diri yang didistribusikan melalui
media baru dan aktivitas blogging. Konten yang dihasilkan oleh individu pada dasarnya
memuat informasi tentang dirinya dan informasi itu menjelma sebagai komoditas yang
digunakan untuk membangun dan merawat hubungan dengan individu lain. Konsep produksi
informasi diri tersebut bbagi Miller merupakan salah sattu karakteristik dari entitas dalaman
jejaring, sebagaimaa dijelaskan oleh Castells (2000,2006), dan menjadi semacam “database”,
dalam pandangan Manovich (2001), yang bisa dikonsumsi oleh entitas lainnya.
Inilah mengapa di internet individu menjadi entitas yang selain mengonsumsi juga
menghasikan produk. Sebagaimana telah diternagkan oleh Castells, sifat internet yang
menghubungkan antar entitas melaui perantaraan perangkat komputer pada akhirnya
menciptakan perangat tersebut sebagai pabrik dalam memproduksi produk informasi; proses
ini disebut Boellstorff sebagai “creationist capitalism”. Informasi atau konten yang ada di
dunia virtual pada dasarnya merupakan produk kreatif dari entitas itu sendiri.

14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Konsep masyarakat jejaring atau network society menurut Manuel Castells (1996)
didekati untuk memahami fenomena sosial dan budaya sebagai sebuah struktur sosial atau
social structures.Dengan adanya network munculah struktur dimana segala prosedur kerja
maupun aktivitas yang pada dasarnya biasa dilakukan oleh manusia.

15

DAFTAR PUSTAKA
Nasrullah, Rulli. 2012. Komunikasi Antar Budaya Di Era Budaya Cyber.Jakarta. Kencana
Pernada Media Grup
https://komunitasvirtual.wordpress.com/