BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendidikan Kewarganegaraan 1. Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan - LATIF MUHAJIRIN BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendidikan Kewarganegaraan

1. Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan

  Pendidikan Kewarganegaraan merupakan pendidikan yang dikembangkan diseluruh dunia pada tiap-tiap negara. Pendidikan ini dikenal dengan berbagai macam istilah diantaranya Civic Education, Citizenship education dan sebagai Democracy Education. Meskipun dikembangkan diseluruh dunia Pendidikan Kewarganegaraan harus menyesuaikan konteks local di masing-masing negara. Mengacu dari pendapat Haryanto (2011:4) menyatakan bahwa “ Pendidikan ini harus menyesuaikan dengan konteks local di masing- masing negara”. Hal tersebut yang melandasi mengapa Pendidikan Kewarganegaraan memiliki banyak istilah yang berbeda pada tiap-tiap negara.

  Di Indonesia istilah Civic Educatioan diterjemahkan dengan istilah Pendidikan Kewarganegaraan atau Pendidikan Kewargaan. Istilah Pendidikan Kewargaan diwakili oleh Azyumardi Azra dan ICCE (Indonesian Center for Civic Education) UIN Jakarta. Sedangkan Istilah Pendidikan Kewarganegaraan di wakili oleh Zamroni, Muhammad Numan Soemantri, Udin S. Winataputra dan Tim CICED ( Center Indonesia for Civic Education) Merphin Panjaitan, Soedijarto dan pakar lainya. Sebagian ahli menyamakan Civic Education dengan pendidikan demokrasi (Democracy Education) dan Pendidikan HAM.

  Pendidikan Kewargaan identik dengan Pendidikan Kewarganegaraan namun secara substantif Pendidikan Kewargaan tidak hanya mendidik generasi muda menjadi warganegara yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajiban dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara melainkan juga membangun kesiapan warganegara menjadi warga dunia (ICCE: 2008). Walaupun secara substansi Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Kewargaan berbeda keduanya memiliki kesenandaan untuk mempersiapkan warganegara muda untuk menjadi warganegara yang baik (Good of Citizenship).

  Pendidikan Kewarganegaraan memiliki makna yang penting untuk terbentuknya warganegara dalam suatu negara. Karena melalui Pendidikan Kewarganegaraan generasi muda dipersiapkan untuk menjadi pemegang kendali suatu negara di masa yang akan datang. Seperti halnya pendapat Hakim dkk (2016:45) bahwa “Pendidikan Kewarganegaraa mempersiapkan generasi muda sebagai calon pemimpin bangsa, yang pada gilirannya akan mengambil alih kepemimpinan”. Penjelasan tersebut menyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan memiliki peran yang penting dalam pembentukan generasi muda sebagai warga negara yang baik. Seperti pendapat Kerr dikutip Winataputra. dan Dasim (2012:5) yang menyatakan:

  Citizenship or civics education is construed broadly to encompass the preparation of

young people for their roles and responsiblities as citizens and, in particular, the role of

eductioan (trough schooling, teaching, and learning) in that preporatory process.

  Dari pengertian tersebut dapat dijelaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan dirumuskan secara luas untuk mencangkup proses penyiapan genersi muda untuk mengambil peran dan tanggungjawab sebagai warga negara, dan secara khusus, peran pendidikan termasuk dalamnya persekolahan, pengajaran, dan belajar, dalam proses penyiapan warga negara tersebut.

  Pejelasan-penjelasan tersebut menunjukan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan memiliki daya guna dalam mempersiapkan warganegara seperti halnya pendapat Zamroni (TIM ICCE, 2008:7) yang menyatakan Pendidikan Kewarganegaraan adalah:

  Pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokrastis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru, bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat. Demokrasi adalah suatu learning proses yang tidak dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain. Kelangsungan demokrasi tergantung pada kemampuan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi.

  Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan selain mempersiapkan generasi muda sebagai penerus bangsa, Pendidikan Kewarganegaraan dapat memberikan pemahaman demokrasi merupakan learning proses yang tidak dapat meniru begitu saja masyarakat lain. Selain itu Pendidikan Kewarganegaraan dapat mengembangkan

  

Civic Culture suatu negara. Seperti halnya pendapat Mansoer (Haryanto 2011:4) sebagai

  berikut Disamping juga mempersiapkan mereka sebagai warganegara yang berkarakter terbuka, memegang teguh nilai-nilai luhur bangsa, cerdas, bertanggung jawab dan berkeadaban.

  Dalam bahasa latin mengacu pada rumusan Civic Internasional (1995), disepakati behwa pendidikan demokrasi penting untuk perkembangan Civic Culture, untuk keberhasilan pengembangan dan pemeliharaan pemerintahan demokrasi.

  Penjelasan tersebut menggambarkan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan merupakan pendidikan yang penting karena untuk mempersiapkan warganegara muda sebagai generasi penerus suatu negara untuk menjadi good of citizenship bahkan global society tanpa harus menghilangkan identitas bangsanya.

  Sementara itu Hakim dkk (2016:11) menjelaskan “embrio materi Pendidikan Kewarganegaraan adalah berkaitan dengan hak dan kewajiban warganegara.” Lebih lanjut Hakim menjelaskan analisis materi tersebut dilakukan melalui dua kajian yaitu

  Pertama, kajian kronologis, yang meliputi: pengertian hak dan kewajiban,

  latarbelakang timbulnya hak dan kewajiban, pelaksanaannya dan hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan hak dan kewajiban. Kedua, melalui kajian bidang kehidupan, yang meliputi hak dan kewajiban warganegara dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial- budaya, dan pertahanan keamanan (ipolek-sosbudhankam).

  Selain itu Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia merupakan salah satu jenis Pendidikan formal di sekolah. Dalam pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan:

  Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar mejadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegra yang demokratis dan bertanggunag jawab.

  Terdapat penjelasan secara khusus dari pasal 37 ayat 1 menyatakan bahwa “Pendidikan Kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air”. Dari pasal tersebut dipertegas dalam Peraturan Mentri Pendidikan Nasioanl Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah yang tertulis sebagai berikut :

  Pendidikan Kewarganegaraan dipandang sebagai mata pelajaran yang mefokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD NRI 1945.

  Dari berbagai penjelasan dan aturan yang ada dapat disimpulkan Pendidikan Kewarganegaraan adalah untuk menjadikan warganegara yang baik (good citizen atau good

  

citizenship) yang memahami embrio materi mengenai hak-hak dan kewajiban, menjadikan

  warga negara yang cerdas, terampil dan berkarakter sesuai dengan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai pedoman dalam menjalankan hak dan kewajiban yang harus dilakukan agar dapat mencerminkan karakter atau ciri khas masyarakat Indonesia.

2. Konteks Kelahiran Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia

  Pendidikan Kewarganegaraan mula-mula dipelajari negara Amerika Serikat dan disebut dengan Civics pada tahun 1790. Civics digunakan oleh bangsa Amerika Serikat untuk menyatukan bangsa Amerika Serikat yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa baik dari imigran Asia, Eropa, Afrika maupun Australia yang datang, hidup dan menetap di Amerika Serikat. Istilah menyatukan bangsa Amerika Serikat tersebut dikenal dengan istilah “Theory of Americanization”.

  Sementara secara historis Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia memiliki berbagai perkembangan dan istilah, yakni Civic (1957/1962), Pendidikan Kemasyarakatan yang merupakan integrasi sejarah, ilmu bumi, dan kewarganegaraan (1964), Pendidikan Kewargaan Negara (1968/1969), Pendidikan Kewargaan Negara, Civic dan Hukum (1973), Pendidikan Moral Pancasila atau PMP (1975/1984), dan PPKn (1994). Di tingkat Perguruan Tinggi pernah ada matakuliah Manipol dan USDEK, Pancasila dan UUD 1945 (1960-an), Filsafat Pancasila (1970- sampai sekarang), Pendidikan Kewiraan (1989-1990-an), dan Pendidikan Kewarganegaraan (2000- sekarang). (Tim ICCE, 2008:4)

  Sementara itu menurut Darmadi (2012:3) di Indonesia “Civic diajarkan secara resmi pada tahun 1948 setelah indonesia merdeka”. Tujuan pengajaran Civic untuk menyatukan bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, bangsa, etnis, agama, budaya dan bahasa yang berbeda-beda. Lebih lanjut Darmadi menjelaskan bahwa tahun 1954 Civic diganti dengan “KEWARGANEGARAAN”. Tahun 1961 “KEWARGANEGARAAN” diganti dengan “KEWARGAAN NEGARA” atas usul Prof. Dr. Sahardjo, S.H. sesuai pasal 26 UUD 1945. Karena Civic diganti dengan “KEWARGANEGARAAN”, maka materi Civic “KEWARGANEGARAAN” tidak berlaku lagi sehingga materi Civic diganti dengan materi: Pancasila, UUD 1945, TAP MPRS, dan PBB ditambah dengan ORDE BARU, Sejarah Indonesia dan Ilmu Bumi berdasarkan instruksi Mendikbud/Dirjendikdas No.31/tgl 28 Juni 1967 Tahun 1972 Civic diganti dengan Ilmu KEWARGANEGARAAN sedangkan CIVIC EDUCATION diganti PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) Kurikulim Tahun 1975 PKN diganti PMP, Kurikulum Tahun 1984 PMP tetap PMP, Kurikulum Tahun 1994 PMP diganti PPKn, Kurikulum Tahun 2004, istilah PPKn diganti dengan PKn sampai dengan kurikulum 2006 PKn tetap PKn.

  Sementara menurut Taniredja (2013:11) “ di Indonesia pelajaran Civic, baru dimulai pada tahun 1950. Hal ini terjadi karena sejak 1945-1950 bangsa Indonesia sedang berjuang mempertahaunkan kemerdekaan (revolusi fisik)”. Dalam perjalanan sejarah terdapat perkembangan dan bergantinya pemerintahan berimbas pada cakupan materi dan istilah dari Pendidikan Kewarganegaraan.

  Secara historis menurut Rosyada (Taniredja, 2013:4) dalam tatanan kurikulum pendidikan nasional terdapat mata pelajaran yang secara khusus mengemban misi pendidikan demokrasi di Indonesia yaitu

  Civics (1957/1962), Pendidikan Kemasyarakatan yang merupakan integrasi Sejarah,

  Ilmu Bumi dan Kewargaan Negara (1964), Pendidikan Kewargaan Negara (1968/1969), Pendidikan Kewargaan Negara, Civics dan Hukum (1973), Pendidikan Moral Pancasila atau PMP (1975/1984) dan PPKn (1994).

  Selain itu menurut Winataputra, Udin S. dan Dasim Budimansyah (2012:164) berpendapat bahwa “…civic secara formal tidak dijumpai dalam kurikulum tahun 1957 maupun dalam kurikulum tahun 1948”. Pendapat tersebut menjelaskan istilah civic secara formal belum terdapat dalam bangku sekolah pada muatan kurikulum tahun 1948 maupun kurikulum tahun 1957. Lebih lanjut Winataputra. dan Dasim menjelaskan secara materiil dalam kurikulum SMP dan SMA tahun 1957 terdapat mata pelajaran tata negara dan tata hukum, dan dalam kurikulum 1946 terdapat mata pelajaran pengetahuan umum yang di dalamnya memasukkan pengetahuan mengenai pemerintahan.

  Sejarah dari berbagai pandangan tersebut menegaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan memiliki cerita yang panjang di Indonesia. Awalmula Pendidikan Kewarganegaraan diselenggarakan adalah ketika Indonesia merdeka dan secara materil Pendidikan Kewarganegaraan ada pada tahun 1946. Jika dilihat dari istilah Pendidikan Kewarganegaraan sempat mengalami perubahan istilah atau nama beberapa kali diantaranya,

  

Civic (1957/1962), Pendidikan Kemasyarakatan yang merupakan integrasi sejarah, ilmu

  bumi, dan kewarganegaraan (1964), Pendidikan Kewargaan Negara (1968/1969), Pendidikan Kewargaan Negara, Civic dan Hukum (1973), Pendidikan Moral Pancasila atau PMP (1975/1984), dan PPKn (1994). Di tingkat Perguruan Tinggi pernah ada matakuliah Manipol dan USDEK, Pancasila dan UUD 1945 (1960-an), Filsafat Pancasila (1970- sampai sekarang), Pendidikan Kewiraan (1989-1990-an), dan Pendidikan Kewarganegaraan (2000- sekarang).

  Perubahan yang terjadi pada Pendidikan Kewarganegaraan baik istilah maupun cakupan materi karena terjadinya perubahan peraturan dari pemerintah yang ada. Dengan kata lain pemerintahan yang berkuasa sangat berpengaruh terhadap istilah dan cakupan materi dari Pendidikan Kewarganegaraan yang ada dalam suatu negara.

3. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Kewarganegaraan

  Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan merupakan arah atau maksud dilaksanakanya

  Atmawarni

  Pendidikan Kewarganegaraan. Menurut (2015:145) Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan untuk: Pembelajaran bagi segenap warga negara Indonesia untuk menanamkan pemahaman tentang hak dan kewajiban sebagai warganegara berdasarkan hukum yang berlaku dalam negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila.

  Penjelasan tersebut menggambarkan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan memiliki tujuan untuk menanamkan pemahaman tentag hak dan kewajiban sesuai dengan hukum yang ada di Indonesia. Pada dasarnya negara Indonesia merupakan negara hukum. Negara hukum dalam prospektif Pancasila sebagai ciri atau karakter negara hukum Indonesia.

  Selain itu Pendidikan Kewarganegaraan merupakan kajian yang mengembangkan misi nasional seperti pendapat Zuriah (2015:325) menyatakan: PKn adalah bidang kajian yang mengemban misi nasional mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia melalui koridor “value-based education” (cerdas, terampil dan berkarakter) dan pendidikan demokrasi (civic education for democracy) , yang mengkaji demokrasi, hak- hak asasi manusia, dan menempatkan hukum diatas segala-galanya (supremacy of law/rule of

  law)….

  Penjelasan tersebut dapat memberikan pemahaman bahwa Pendidikan Kewarganegaraan selain mengkaji dalam aspek demokrasi dan hak asasi manusia, Pedidikan Kewarganegaraan juga mengkaji tentang menempatkan hukum diatas segala-galanya (supremacy of law/rule of law).

  Sementara Rejekiningsih (2015:800) menyatakan bahwa “ pendidikan yang terintegrasi dengan pembentukan kesadaran hukum dapat dilakukan melalui Pendidikan Kewarganegaraan”. Lebih lanjut :

  Untuk menselaraskan antara pendekatan komperhensif pendidikan moral dengan pendidikan Kewarganegaraan, maka dapat dilakukan melalui pengembangan kompetensi hukum kewarganegaraan. Pendidikan kewarganegaraan menekankan pada upaya terbentuknya warganegara yang lebih mandiri dalam memahami dan mencari solusi terhadap masalah yang dihadapi , serta mengambil keputusan-keputusan yang terbaik bagi dirinya, lingkungan serta masyarakat.

  Dari uraian tersebut memberikan kesimpulan tujuan dari Pendidikan Kewarganegaraan antara lain menanamkan pemahaman tentag hak dan kewajiban sesuai dengan hukum yang ada di Indonesia, menempatkan hukum diatas segala-galanya (supremacy of law/rule of law) dan dapat mendorong warganegara memiliki kesadaran terhadap hukum karena Pendidikan kewarganegaraan menekankan pada upaya terbentuknya warganegara yang lebih mandiri dalam memahami dan mencari solusi terhadap masalah yang dihadapi , serta mengambil keputusan-keputusan yang terbaik bagi dirinya, lingkungan serta masyarakat.

B. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

1. Hakikat Pembelajaran PKn

  Pembelajaran merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan di dalam Pendidikan formal atau sekolah. Melalui pembelajaran seseorang dapat mengembangkan potensi yang dimiliki. Menurut Komalasari pembelajaran dipandang dari dua sudut yaitu pembelajaran sebagai suatu sistem dan pembelajaran dipandang sebagai suatu proses.

  Pembelajaran dipandang sebagai suatu sistem, pembelajaran terdiri dari sejumlah komponen yang terorganisasi antara lain tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, strategi dan metode pembelajaran, media pembelajaran/ alat peraga, pengorganisasian kelas, evaluasi pembelajaran, dan tindak lanjut pembelajaran (remidial dan pengayaan). (Komalasari, 2010:3).

  Sependapat dengan hal tersebut Hamruni (2012:11) menyatakan bahwa: pembelajaran merupakan suatu sistem intruksional yang mengacu pada seperangkat komponen yang saling bergantung satu sama lain untuk mencapai tujuan. Sebagai sebuah sistem pembelajaran meliputi suatu komponen antara lain, tujuan, bahan, peserta didik, guru, metode, situasi, dan evaluasi.

  Sementara menurut Syaiful dan Azwan (2010:41) sebagai suatu sistem tentu saja kegiatan belajar mengajar mengendung sejumlah komponen yang meliputi “tujuan, bahan pelajaran, kegiatan belajar mengajar, metode, alat dan sumber, serta evaluasi”.

  Selain itu komponen pembelajara menurut Pupuh dan Sobry (2010:13) yaitu meliputi “tujuan, bahan pelajaran, kegiatan pelajaran, kegiatan belajar mengajar, metode, alat dan sumber, serta evaluasi”.

  Berdasarkan beberapa penjelasan mengenai pembelajaran dapat diartikan bahwa pembelajaran merupakan sebuah sistem yang dimana terdapat beberapa komponen yang harus saling ada keterkaitan komponen satu dengan komponen yang lain. Komponen tersebut diantaranya adalah materi pembelajaran, metode pembelajaran, media pembelajaran, sumber pembelajaran, evaluasi pembelajaran dan pendidik sebagai penunjuk arah agar tercapainya tujuan pembelajaran serta situasi sebagai faktor pendukung.

  Komponen tersebut harus dapat berjalan secara maksimal antara satu dan lainnya dikarnakan sebuah sistem tidak akan berjalan baik apa bila salah satu komponen terdapat masalah. Sama halnya dengan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Komponen tersebut juga harus dapat berjalan dengan baik dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan agar tercapai tujuan dari pembelajaran tersebut. Berikut merupakan penjelasan dari berbagai komponen pembelajaran tersebut

2. Komponen Pembelajaran PKn

  a. Guru Pembelajaran

  Guru merupakan orang yang menjalankan komponen-komponen pembelajaran di dalam kelas. Peran guru sangat penting karena dalam proses pembelajaran di dalam kelas, guru memiliki tanggung jawab yang besar dalam tercapainya tujuan pembelajaran. Pudjosumedi dkk (2015:77) berpendapat bahwa “guru mempunyai tanggung jawab untuk melihat segala sesuatu yang terjadi dalam kelas, yang terjadi pada diri sendiri, siswa…”.

  Selain itu guru memiliki tugas dalam pembelajaran. Seperti pendapat Pudjosumedi dkk (2015:79) menjelaskan bahwa “pembelajaran adalah upaya pendidik untuk membantu agar siswa melakukan kegiatan belajar”. Pemahaman tersebut memberikan gambaran bahwa guru harus dapat mengupayakan pembelajaran agar dapat mendorong siswa belajar.

  Urian tersebut menggambarkan bahwa guru selain memiliki tanggung jawab agar tercapainya proses pembelajaran, guru juga harus dapat mendorong siswa agar belajar melalui proses pembelajaran yang dilakukannya. Oleh karena itu gurumemiliki peran yang penting dalam menjalankan komponen-komponen pembelajaran agar dapat mendorong siswa belajar dan tercapainya tujuan pembelajaran.

  b. Materi Pembelajaran

  Materi pembelajaran dapat disebut sebagai bahan pembelajaran. Komalasari (2013:28) berpendapat bahwa materi pembelajaran (instructional materials) adalah “bahan yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dikuasai siswa dalam rangka memenuhu standar kompetensi yang di tetapkan”.

  Sementara Pupuh,dan Sobry (2010:14) bahan/materi merupakan medium untuk mencapai tujuan pengajaran yang “dikonsumsi” oleh peserta didik. Bahan ajar merupakan materi yang terus berkembang secara dinamis seiring dengan kemajuan dan ketentuan perkembangan masyarakat.

  Dari penjelasan tersebut memberi gambaran materi pembelajaran merupakan bahan yang harus ada untuk pembelajaran. Syaiful dan Azwan (2010:43) berpendapat materi pembelajaran adalah “substansi yang akan disampaikan dalam proses belajar mengajar”. Lebih lanjut Syaiful dan Azwan berpandangan terdapat dua persoalan dalam penguasaan bahan pelajaran ini, yaitu penguasaan bahan pelajaran pokok dan bahan pelajaran pelengkap.

  Bahan pelajaran pokok adalah bahan pelajaran yang menyangkut bidang studi yang dipegang oleh guru sesuai dengan profesinya (disiplin keilmuannya). Sedangkan bahan pelajarn pelengkap atau penunjang adalah bahan pelajaran yang dapat membuka wawasan seorang guru agar dalam mengajar dapat menunjang penyampaian bahan pelajaran pokok.

  Dari beberapa pendapat tersebut menjelaskan materi pembelajaran adalah bahan yang bersubstansi diperlukan untuk dikonsumsi siswa dalam membentuk pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dikuasai siswa dalam rangka memenuhu standar kompetensi yang di tetapkan. Oleh karna itu materi pembelajaran memiliki posisi yang sangat penting agar pelaksanaan pembelajaran dapat mencapai tujuan atau sasaran. Yang dimaksud dalam sasaran atau tujuan pembelajaran adalah tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar yang tercantum dalam kurikulum.

  Materi pembelajaran yang termuat dalam kurikulum merupakan materi esensi dalam suatu ilmu yang harus dimiliki oleh siswa. Menurut Karhami yang dikutip Komalasari (2013:28) mengemukakan beberapa kriteria materi esensi dari suatu ilmu yang dimuat dalam kurikulum sekolah antara lain :

  (1) materi yang mengungkapkan gagasan kunci dari ilmu, (2) materi sebagai struktur pokok suatu mata pelajaran, (3) materi menerapkan penggunaan metode inquiry secara tepat pada setiap mata pelajaran, (4) konsep dan prinsip memuat pandangan global secara luas dan lengkap terhadap dunia, (5) keseimbangan antara materi teoritis dengan materi praktis; dan (6) materi yang mendorong imajinasi peserta didik.

c. Metode Pembelajaran

  Model pembelajaran adalah cara dalam penyampaian materi pembelajaran. Syaiful dan Azwan (2010:46) berpendapat “metode adalah suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.”

  Lebih lanjut Winanro Surakhman (Syaiful dan Azwan, 2010:46) mengemukakan terdapat lima faktor yang mempengaruhi penggunaan metode mengajar, yakni:

  1. Tujuan dengan berbagai jenis dan fungsinya;

  2. Anak didik dengan berbagai tingkatkematangannya;

  3. Situasi berlainan keadaannya;

  4. Fasilitas berfariasi secara kualitas dan kuantitas 5. Kepribadian dan kompetensi guru yang berbeda beda. Sementara menurut Komalasari (2013:56) “metode pembelajaran dapat diartikan cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana pembelajaran yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran”. Lebih lanjut Komalasari berpendapat terdapat beberapa metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan strategi pembelajaran diantaranya: (1) ceramah, (2) demonstrasi, (3) diskusi, (4) simulasi, (5) laboratorium, (6) pengalaman lapangan, (7) branstroming, (8) Debat, (9) simposium, dan sebagainya.

  Menuru Pupuh dan Sobry (2010:15) metode merupakan “suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan”. Dalam kegiatan belajar mengajar, metode sangat diperlukan oleh guru karena dapat membantu tercapainya tujuan pembelajaran.

  Berbagai penjelasan tentang metode pembelajaran dapat memberi gambaran bahwa penggunaan metode pembelajaran sangat ditentukan dari beberapa faktor dalam pembelajaran. Factor tersebut diantaranya tujuan pembelajaran, kemampuan siswa yang berbeda, situasi, fasilitas pendukung dan keperibadian guru. Pemilihan metode pembelajaran yang tepat berdasarkan faktor tersebut sangat penting karena dapat membantu mempermudah guru dalam menyampaikan materi pembelajaran.

d. Media Pembelajaran

  Komponen berikutnya adalah media pembelajaran. Media sebenarnya bersalan dari kata latin yang merupakan bentuk jamak dari “medium” yang secara harifah berarti perantara atau pengantar. Munurut Komalasari (2013:111) media memiliki makna umumnya yaitu “segala yang dapat menyalurkan informasi dari sumber informasi kepada penerima informasi”.

  Menurut Syaiful dan Azwan (2010:47) alat adalah “segala sesuatu yang dapat digunakan dalam rangka mencapat tujuan pengajaran”. Dari pemahaman tersebut menunjukan bahwa media pembelajaran adalah alat yang dapat menjadi perantara untuk penyampaian materi pembelajaran.

  Sementara menurut Pupuh dan Sobry (2010:15) alat dapat dibagi menjadi dua macam, “yaitu alat verbal dan alat bantu non verbal”. Alat verbal berupa suruhan, printah, larangan, dan sebagainya. Sebagai alat bantu non verbal berupa globe, papan tulis, batu tulis, batu kapur, gambar, diagram, slide, video dan sebagainya.

  Lebih lanjut Syaiful dan Azwan berpendapat terdapat alat atau media pembelajaran lain yaitu “alat material dan alat nonmaterial”. Alat meterial termasuk alat bantu audiovisual.

  Sebagai alat material (audiovisual) mempunyai sifat sebagai berikut:

  1. Kemampuan untuk meningkatkan persepsi;

  2. Kemampuan untuk meningkatkan pengertian;

  3. Kemampuan untuk meningkatkan transper (pengalihan) belajar;

  4. Kemampuan untuk memberikan penguatan (reinforcement)atau pengetahuan hasil yang dicapai;

  5. Kemampuan untuk mengingatkan retensi (ingatan). Uraian tersebut menjelaskan bahwa media pembelajaran adalah alat yang dapat membantu pembelajaran. Media pembelajaran dapat berupa audio, visual, atau perpaduan diantaranya. Melalui media pembelajaran Sebagai alat material (audiovisual) mempunyai sifat sebagai, kemampuan untuk meningkatkan persepsi, pengertian, pengalihan belajar, memberikan penguatan dan untuk meningkatkan ingatan.

  e. Sumber Pembelajaran

  Pada hakikatnya alam semesta merupakan sumber belajar. Menurut Association for

  

Education Communication and Technology (AECT), sumber belajar adalah segala sesuatu

  atau daya yang dapat dimanfaatkan oleh guru, baik secara terpisah maupun dalam bentuk gabungan, untuk kepentingan belajar mengajar, dengan tujuan meningkatkan efektifitas dan efisiensi tujuan pembelajaran. Komponen sumber belajar meliputi pesan, orang, bahan, peralatan, teknik, dan lingkungan/latar.

  Ditinjau dari tipe atau asal usulnya AECT (Komalasari : 109) membedakan sumberbelajar menjadi dua

  1. Sumber belajar yang dirancang (learning resources by design) yaitu sumber belajar yang memang sengaja dibuat untuk tujuan pembelajaran. Sumber pembelajaran ini sering disebut bahan pembelajaran. Contohnya adalah : buku pelajaran, modul, program audio, program slide suara, transparansi (OHT).

  2. Sumber belajar yang sudah tersedia dan tinggal dimanfaatkan (learning resources by utilization), yaitu sumberbelajar yang tidak secara khusus dirancang untuk keperluan pembelajaran namun dapat ditemukan, dipilih, dan dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran. Contohnya: pejabat pemerintah, tenaga ahli, pemuka agama, olahragawan, kebun binatang, waduk, museum, film, sawah, terminal, surat kabar, siaran televisi, dan masih banyak lagi. Sementara menurut Udin Saripudin Winataputra dan Rustana Ardiwinata (Syaiful dan

  Azwan, 2010:49) berpendapat terdapat lima sumber belajar, yaitu:

  a. Manusia

  b. Buku/perpustakaan

  c. Media massa

  d. Alam lingkungan

  1. Alam lingkungan terbuka

  2. Alam lingkungan sejarah atau peninggalan sejarah

  3. Alam lingkungan manusia e. Media pendidikan. Penjelasan tersebut memberikan gambaran bahwa sumber pembelajaran dapat di peroleh dari manapun. karena sumber belajar sangat luas maka penting bagi guru untuk mennggunakan sumber belajar yang tepat agar dapat mendukung tercapainya tujuan pembelajaran.

  f. Evaluasi Pembelajaran Pembelajaran membutuhkan evaluasi karena evaluasi menempati kedudukan yang penting dan merupakan bagian utuh dari proses dan tahapan kegiatan pembelajaran. Menurut Komalasari (2013:147) menjelaskan evaluasi pembelajaran merupakan penilaian terhadap keseluruhan program pendidikan mulai dari perencanaan program, pelaksanaan program (termasuk didalamnya penilaian), serta hasil-hasil yang dicapai oleh program pendidikan. Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penepatan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidik.

  Evaluasi memiliki tujuan yaitu tujuan secara umum dan tujuan secara khusus. Tujuan umum dari evaluasi yaitu:

  1. Mengumpulkan data-data yang membuktikan taraf kemajuan murid dalam mencapai tujuan yang diharapkan.

  2. Memungkinkan pendidik/guru menilai aktifitas pengalaman yang didapat.

  3. Menilai metode mengajar yang dipergunakan Dan tujuan khusus dari evaluasi yaitu :

  1. Merangsang keiatan siswa

  2. Menemukan sebab-sebab kemajauan atau kegagalan

  3. Memberikan bimbingan yang sesuai dengan kebutuhan, perkembangan dan bakat siswa yang bersangkutan

  4. Memperoleh bahan laporan tentang perkembangan siswa yang diperlukan orang tua dan lembaga pendidikan

  5. Untuk memperbaiki mutu pelajaran/cara belajar dan metode mengajar. Abu ahmadi dan widodo supriyono (Syaiful, B. D. dan Azwan Zain , 2010: 51) Berdasarkan pada tujuan evaluasi maka pelaksanaan evaluasi mempunyai manfaat berkaitan dengan proses belajar mengajar. Evaluasi proses menurut W.S Winkel (Pupuh dan

  Sobry, 2010 :17) mengatakan bahwa “suatu evaluasi yang diarahkan untuk menilai bagaimana kerjasama setiap komponen pengajaran yang telah dilakukan dan apakah dalam proses itu ditemukan kendala sehingga tujuan kurang tercapai secra optimal”. Sedangkan evaluasi produk lebih lanjut dijelaskan adalah “suatu evaluasi yang diarahkan untuk mengetahui bagaimana hasil belajar siswa, dan bagaimana penguasaan siswa terhadap bahan/materi pelajaran yang telah guru berikan ketika proses belajar mengajar berlangsung”.

  Ketika evaluasi dapat memberikan manfaat bagi guru serta siswa, maka evaluasi mempunyai fungsi menurut Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono (Syaiful dan Azwan, 2010:52) sebagai berikut:

  1. Untuk memberikan umpan balik (feed back) kepada guru sebagai dasar umtuk memperbaiki proses belajar mengajar, serta mengadakan perbaikan program bagi murid

  2. Untuk memberikan angka yang tepat tetang kemajuan atau hasil belajar dari setiap murid. Antara lain digunakan dalam rangka pemberian laporan kemajuan belajar murid kepada orang tua, penentuan kenaikan kelas, serta penentuan lulus tidaknya seorang murid.

  3. Untuk menentukan murid didalam situasi belajar mengajar yang tepat, sesuai dengan tingkat kemampuan (dan karakteristik lainnya) yang dimiliki oleh murid

  4. Untuk mengenal latar belakang (psikologis, fisik, dan lingkungan) muurid yang mengalami kesulitan-kesulitan belajar, nantinya dapat dipergunakan sebagai dasar dalampemecahan kesulitan-kesulitan belajar yang timbul.

  Sementara Anurrahman (2014:209) berpendapat bahwa evaluasi merupakan kegiatan pengumpulan data untuk mengukur sejauh mana tujuan telah tercapai. Dari berbagai pemahaman terkait evaluasi pembelajaran dapat ditarik kesimpulan bahwa evaluasi pembelajaran adalah tolak ukur atau alat ukur yang dapat di gunakan untuk mengukur sejauh mana tujuan pembelajaran telah tercapai.

C. Kompetensi Kewarganegaraan

1. Hakikat Kompetensi Kewarganegaraan Arti kata kompetensi adalah kemampuan yang harus dikuasai oleh seseorang.

  Kompetensi kewarganegaraan merupakan misi Pendidikan Kewarganegaraan. Hakim dkk (2016:10) berpendapat bahwa “Pendidikan Kewarganegaraan mengemban misi dalam mempersiapkan bangsa Indonesia yang memiliki kompetensi kognisi (civic knowledge), Psikomotor (civic skills) dan karakter pribadi (civic desposition) yang berkontribusi bagi negara dan bangsanya”. Senada dengan pendapat Haryanto (2013:7) berpendapat mengenai kompetensi kewarganegaran sebagai berikut :

  Pertama, pengetahuan kewargaan (civic knowledge) yaitu kemempuan dan kecakapan yang terkait dengan materi inti (Civic Education) yaitu demokrasi, hak asasi manusia, dan masyarakat madani. Kedua kompetensi sikap kewargaan (civic dispositions) yaitu kemampuan dan kecakapan yang terkait dengan kesadaran dan komitmen warga negara antara lain kesetaraan gender, toleransi, kemajemukan, dan lain-lain. Ketiga, kompetensi keterampilan kewargaan (civic skill) yaitu kemampuan dan kecakapan mengartikulasikan keterampilan kewargaan seperti berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan publik, melakukan kontrol terhadap penyelanggaraan negara dan pemerintahan.

  Selaras dengan pendapat Branson dalam Winataputra dan Dasim (2012:199) bahwa “terdapat tiga komponen utama yang perlu dikembangkan dalam PKn yaitu civic knowledge,

  

civic skill, dan civic disposition”. Ketiga kompetensi tersebut merupakan saling keterkaitan

satu sama lain untuk mendorong terbentuknya kompetensi kewarganegaraan.

2. Pengetahuan Kewarganegaraan (Civic Knowledge)

  Pengetahuan kewarganegaraan adalah berkaitan dengan apa yang seharusnya diketahui oleh warga negara mengenai hubungan antara warga negara dengan negara atau mengenai hak dan kewajiban sebagai warga negara. Aspek ini berkaitan tentang kemampuan akademik- keilmuan yang dikembangkan dari teori atau konsep politik, hukum dan moral. Dengan demikian, mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah bidang kajian multidisipliner. Dari beberapa teori jika diperinci materi pengetahuan kewarganegaraan meliputi pengetahuan tentang hak dan tanggung jawab warganegara, hak asasi manusia, prinsip-prinsip demokrasi, lembaga pemerintah dan non-pemerintah, identitas nasional, pemerintahan berdasar hukum (rule of law) dan peradilan yang bebas dan tidak memihak, konstitusi, serta nilai-nilai dan norma-norma dalm masyarakat.

  Selain itu jika di jabarkan terdapat lima pertanyaan untuk dapat mewujudkan komponen pengetahuan kewarganegaraan. Menurut Winataputra dan Dasim, (2012:199) lima pertanyaan tersebut adalah

  (1) Apa kehidupan kewarganegaraan, politik, dan pemerintahan?; (2) Apa dasar-dasar sistem politik Indonesia?; (3) Bagaimana pemerintahan yang dibentuk oleh konstitusi mengejewantahkan tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip demokrasi Indonesia?; (4) Bagaimana hubungan antara Indonesia dengan negara-negara lain di dunia?; dan (5) Apa peran warganegara dalam demokrasi Indonesia?

  Dalam pertanyaan pertama mengenai “apa kehidupan kewarganegaraan, politik, dan pemerintah?” melalui pertanyaan tersebut dapat membantu warganegara melakukan pertimbanagan yang matang mengenai hakikat bernegara terkait mengenai kehidupan kewarganegaraan, politik, dan pemerintahan. Pertanyaan kedua “apa dasar-dasar sistem politik Indonesia?” dalam pertanyaan tersebut dapat memberikan jawaban mengenai dasar sejarah dan filsafat dari sistem politik Indonesia. Pertanyaan ketiga “bagaimana pemerintah yang didirikan berdasarkan konstitusi menjewantahkan tujuan, nilai, prinsip demokrasi Indonesia?” jawaban dari pertanyaan tersebut dapat membentu warganegara memahami dan mengevaluasi pemerintahan terbatas yang didirikan serta pembagian kekuasaan yang dilakukan.

  Pertanyaan keempat “bagaimana hubungan Indonesia dengan negara-negara lain di dunia dan posisinya mengenai masalah-masalah internasional?” pertanyaan tersebut sangat penting karena Indonesia bagian dari dunia dan warganegara perlu memahami elemen- elemen penting hubungan internasional dan masalah-masalah dunia yang mempengaruhi kehidupan mereka. Pertanyaan kelima “apakah peran warganegara dalam demokrasi Indonesia?” melalui pertanyaan ini hendaknya warganegara memahami bahwa melalui keterlibatan mereka dalam kehidupan bernegara, mereka dapat membantu meningkatkan kualitas hidup dilingkungan sekitar bahkan untuk seluruh bangsa.

3. Kecakapan Kewarganegaraan (Civic Skill)

  Keterampilan Kewarganegaraan (civic skills) adalah keterampilan yang dikembangkan berdasarkan pada pengetahuan-pengetahuan kewarganegaraan, hal ini bertujuan agar pengetahuan-pengetahuan yang telah didapatkan menjadi sesuatu yang bermakna. Disamping itu juga dapat dimanfaatkan dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan berbangsa dan bernegara.

  Civic skill merupakan komonen esensial dalam masyarakat demokratis. Karena di

  dalam Civic skills mencakup keterampilan intelektual dan keterampilan partisipasi. Seperti pendapat Winataputra dan Dasim (2012:208) menyatakan “kecakapan-kecapakan intelektual meliputi identifying and describing; explaining and analyzing; and evaluating, taking,

  

defeding position on public issues”. Sementara untuk kecakapan-kecakapan partisipatoris

mencangkup “interacting, monitoring, and influencing”.

  Keterampilan kewarganegaraan (Civic skills) yang dijelaskan tersebut merupakan hal yang harus dimiliki oleh warganegara. Agar warganegara dapat menjalankan dengan benar terkait mengenai hak dan kewajibannya.

  Selain itu kecakapan kewrganegaraan dapat dilihat ketika warganegara memecahkan masalah dalam berbangsa dan bernegara. Cagon dalam Hakim dkk (2016:10) berpendapat bahwa warga negara yang baik harus memiliki kemampuan untuk (1) menjawab tantangan global; (2) bekerja sama dengan orang lain; (3) menerima dan toleransi terhadap perbedaan budaya; (4) berfikir kritis dan sistematis (5) menyelesaikan konflik tanpa kekerasan; (6) mengubah gaya hidup konsumtif guna melindungi lingkungan; (7) kepekaan terhadap hak asasi manusia; (8) partisipasi dalam pemerintahan local, nasional, dan global.

  Beberapa pernyataan yang telah diuraikan pada dasarnya kecakapan kewarganegaraan mencangkup kecakapan intelektual dan kecakapan partisipasi. Kecakapan intelektual adalah keterampilan berfikir kritis meliputi keterampilan mengidentifikasi, menggambarkan/ mendeskripsikan, menjelaskan, menganalisis, mengevaluasi, menentukan dan mempertahankan pendapat yang berkenaan dengan masalah-masalah publik. Sementara keterampilan partisipasi meliputi keterampilan berinteraksi, memantau, dan mempengaruhi.

  Dengan warganegara memiliki keterampilan tersebut dapat mendukung warganegara dalam menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan aturan yang ada di dalam negaranya.

4. Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)

  Watak kewarganegaraan merupakan kecakapan kewarganegaraan yang berkembang secara perlahan sebagai akibat apa yang telah dipelajari dan dialami oleh warganegara di rumah, sekolah, komunitas, dan organisasi-organisasi di sekelilingnya. Winataputra dan Dasim (2012:205) berpendapat bahwa “watak kewarganegaraan mengisyaratkan pada karakter publik dan karakter privat yang penting bagi pemeliharaan dan pengembanangan demokrasi konstitusional”.

  Pemahaman tersebut menjelaskan bahwa watak kewarganegaraan terdiri dari karakter publik dan karakter privat yang dimana kedua hal tersebut sangat penting dalam pengembanagn demokrasi konstitusional bagi suatu negara. Contoh karakter privat adalah tangung jawab, disiplin diri dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dari setiap individu. Sementara untuk karakter publik adalah di contohkan mengenai kepedulian sebagai warganegara, kesopanan, mengindahkan aturan main, berfikir kritis, dan kemampuan untuk mendengar, bernegosiasi dan berkompromi merupakan karakter yang diperlukan agar demokrasi berjalan dengan baik.

  Winataputra dan Dasim (2012:205-206) menjelaskan secara singkat karakter publik dan privat sebagai berikut : a. Menjadi anggota masyarakat yang independen. Karakter ini meliputi kesadaran secara pribadi untuk bertanggung jawab sesuai dengan ketentuannya, bukan dikarenakan keterpaksaaan atau pengawasan dari luar, menerima tanggung jawab akan konsekuensi dan tindakan yang diperbuat dan memenuhi kewajiban moral dan legal sebagai anggota masyarakat demokratis. Jadi dalam hal ini seseorang dituntut untuk memiliki rasa teguh akan pendiriannya dan bertanggung jawab atas apa yang dilakukan serta konsekuensinya tanpa pengawasan dari siapapun. b. Memenuhi tanggung jawab personal kewarganegaraan di bidang ekonomi dan politik. Tanggung jawab ini meliputi memelihara atau menjaga diri, mengasuh dan mendidik anggota keluarga, termasuk juga mengikuti isu-isu politik serta mengikuti kegiatan kemasyarakatan.

  c. Menghormati harkat dan martabat kemanusiaan tiap individu. Menghormati orang lain dapat diartikan dalam mendengarkan pendapat mereka, bersikap sopan santun , menghargai kepentingan-kepentingan dan hak-hak sesama warganegara serta menaati peraturan yang telah dibuat secara mayoritas.

  d. Berpartisipasi dalam urusan kewarganegaraan secara efektif dan bijaksana.

  Dalam hal partisipasi ini dalam urusan kewarganegaraan, seseorang tersebut harus memiliki kebijaksanaan. Dimana kebijaksanaan ini dapat dirasakan ketika seseorang tersebut mengikuti berbagai urusan kewarganegaraan untuk memilih maupun menjadi pemimpin. Serta mengetahui kapan saatnya kepentingan pribadi sebagai warganegara dikesampingkan dan kapan saatnya kewajiban sebagai warganegara dapat menolak tuntutan-tuntutan kewarganegaraan tertentu. Karakter kewarganegaraan sangat penting bagi warganegara. Karena melalui karakter public seperti kepedulian sebagai warganegara, kesopanan, mengindahkan aturan main (rule

  

of law), berfikir kritis, dan kemauan untuk mendengar serta bernegisiasi adalah bekal

  warganegara yang penting. Selain itu karakter privat berupa tanggung jawab moral, disiplin diri dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia merupakan karakter yang sangat diperlukan agar demokrasi berjalan baik.

5. Kompetensi Kewarganegaraan Siswa SMA

  Indonesia memiliki peraturan tentang pendidikan terumasuk Pendidikan kewarganegaraan. Hal ini diatur dalam PP No. 19/2005 adalah berkenaan dengan kedalaman muatan kurikulum. Dalam pasal 8 PP No. 19/2005 ditegaskan bahwa :

  Kedalaman muatan kurikulum pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam kompetensi pada setiap tingkat/atau semester sesuai dengan Standar Nasional Kompetensi sebagaimana dimaksud terdiri atas strandar kompetensi dan kompetensi dasar.

  Dengan merujuk Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 Kompetensi lulusan SMA dalam mata pelajara Pendidikan Kewarganegaraan meliputi: 1) Memahami hakikat Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); 2) Menampilkan sikap positif terhadap sistem hukum dan peradilan nasional; 3) Menampilkan peranserta dalam upaaya pemajuan, penghormatan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM); 4) Menganalisis hubungan dasar negara dengan konstitusi; 5) Menghargai persamaan kedudukan warganegara dalam berbagai aspek kehidupan; 6) Menganalisis sistem politik Indonesia; 7) Menganalisis budaya politik Indonesia; 8) menganalisis budaya demokrasi menuju masyarakat madani; 9) Menampilkan sikap keterbukaan dan keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; 10) Menganalisis hubungan internasional dan organisasi internasioanal; 11) Menganalisis sistem hukum dan peradilan internasional; 12) Menampilkan sikap positif terhadap Pancasila sebagai ideologi terbuka; 13) mengevaluasi berbagai sistem pemerintahan; 14) Mengevaluasi peran pers dalam masyarakat demokrasi 15) Mengevaluasi dampak globalisasi. Poin tersebut merupakan kompetensi kewarganegaraan siswa SMA.

  Terdapat penjelasan secara rinci mengenai Standar Kompetensi Lulusan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan jenjang SMA oleh Permen Diknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang standar isi sebagai berikut:

Tabel 2.1 Kompetemsi Kewarganegaraan Siswa SMA Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006

  Kelas Butir kompetensi dasar Kewarganegaraan

  Kelas X

  15. Menganalisis kedudukan pembukaan UUD 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia

  4. Menampilkan peran serta budaya politik partisipan

  3. Mendeskripsikan pentingnya sosialisasi pengembanagan budaya politik

  2. Menganalisis tipe-tipe budaya politik yang berkembang dalam masyarakat Indonesia

  1. Mendeskripsikan pengertian budaya politik

  XI

  22. Menampilkan peran serta dalam sistem politik di Indonesia

  21. Mendeskripsikan perbedaan sistem politik di berbagai negara

  20. Mendeskripsikan suprastruktur dan infrastruktur politik di Indonesia

  19. Menghargai persamaan kedudukan warga negara tanpa membedakan ras, agama, gender, golongan, budaya, dan suku