PERASAAN KEHILANGAN YANG MENDALAM (Sepenggal Biografi Istri Mbah Maridjan) SKRIPSI

PERASAAN KEHILANGAN YANG MENDALAM

  

(Sepenggal Biografi Istri Mbah Maridjan)

SKRIPSI

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

  Program Studi Bimbingan dan Konseling Disusun Oleh :

  

Anang Rujito

  NIM : 081114034

  

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2013

  PERASAAN KEHILANGAN YANG MENDALAM (Sepenggal Biografi Istri Mbah Maridjan) SKRIPSI

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

  Program Studi Bimbingan dan Konseling

  Disusun Oleh: Anang Rujito NIM: 081114034 PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2013

  SKRIPSI PERASAAN KEHILANGAN YANG MENDALAM (Sepenggal Biografi Istri Mbah Maridjan)

  Oleh

  Anang Rujito

  Telah disetujui oleh:

  Pembimbing

Dr. Gendon Barus, M. Si. Tanggal 20 April 2013

  

SKRIPSI

PERASAAN KEHILANGAN YANG MENDALAM

(Sepenggal Biografi Istri Mbah Maridjan)

  Dipersiapkan dan ditulis oleh

  

Anang Rujito

  NIM: 081114034

  

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 20 April 2013 dan

dinyatakan memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap

  Tanda Tangan Ketua : Dr. Gendon Barus, M. Si. ______________

Sekretaris : A. Setyandari, S.Pd., S.Psi., Psi., M.A. ______________

Anggota I : Dr. Gendon Barus, M. Si. ______________

Anggota II : Drs. R. Budi Sarwana, MA ______________

Anggota III : Juster Donal Sinaga, M. Pd. ______________

  Yogyakarta, 20 April 2013 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Dekan ( Rohandi, Ph.D )

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaima karya ilmiah.

  Yogyakarta, 20 April 2013 Penulis

  Anang Rujito NIM: 081114034

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

  “Siapa diri kita, terlihat dari apa yang kita lakukan”

“Persingkatlah waktu yang kita lakukan dalam waktu yang singkat. Agar kita

memiliki sedikit waktu yang lebih dari waktu yang singkat itu

  SKRIPSI ini kupersembahkan kepada:

  Kedua orang tua saya yang tersayang. Ibu yang tak hentinya memberi

semangat untuk menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh. Ayah yang selalu

mengucurkan keringat membanting tulang untuk membiayai pendidikan saya,

kakak- kakak saya yang tak lupa memperhatikan saya “kapan selesai kuliah?”,

pembimbing skripsi saya yang sering memberi pencerahan, dan teman-temanku

yang memiliki keunikan masing-masing.

  

ABSTRAK

PERASAAN KEHILANGAN YANG MENDALAM

(Sepenggal Biografi Istri Mbah Maridjan)

  Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap mengenai subjek Ibu Ponirah yang mengalami guncangan perasaan sepeninggal suami saat melaksanakan tugas sebagai Juru Kunci Gunung Merapi yang telah dipercaya oleh masyarakat dan juga Keraton Yogyakarta. Rasa kehilangan merupakan hal yang tak bisa diingkari oleh manusia begitu juga dengan Ibu Ponirah ini. Guncangan perasaan jika tidak dikelola dengan benar dapat berdampak buruk bagi pelaku dan juga orang sekitarnya.

  Jenis penelitian ini adalah penelitian studi kasus. Studi kasus merupakan studi yang mendalam dan detail mengenai individu serta bersifat alami bebas dari manipulasi. Metode pengumpulan data yang dipakai adalah observasi, kunjungan rumah, dan wawancara informasi. Informasi dan data yang diperoleh, baik melalui subjek langsung maupun beberapa sumber informasi, peneliti gunakan untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang subjek yang pada akhirnya dapat dujadikan bahan kajian pada penelitian ini.

  Hasil penelitian adalah Ibu Ponirah merasa sangat terpukul karena kehilangan suami tercinta saat melaksanakan tugas sebagai juru kunci Gunung Merapi. Beliau tidak menyangka akan kehilangan suami tercinta. Dalam kejadian, Bu Ponirah yakin dengan keselamatannya, namun Mbah Maridjan atau suami tercinta meninggal karena peristiwa tersebut. Ibu Ponirah merasa tidak percaya dengan kejadian tersebut, hatinya penuh dengan penolakan karena kehilangan suami saat melaksanakan tugas. Hati Bu Ponirah terguncang akibat kehilangan suaminya. Seiring berlalunya hari, kehancuran hati Ibu Ponirah beranjak tersembuhkan dengan riuh tawa cucu yang selalu ada dan keluarga yang menemani harinya. Dengan keteguhan hati, Ibu Ponirah mulai menerima kenyataan yang harus dihadapi yaitu kehilangan suami tercinta yang biasa dikenal sosok Mbah Maridjan.

  

ABSTRACT

SENSE OF DEEP LOST

(A Part of Biography of the wife Mbah Maridjan)

  The purpose of this research is to have comprehensive pictures of Mother Ponirah who experienced a sense of deep lost of her husband who died at the eruption of the volcano in Jogyakarta. He was entrusted by the Jogjakarta Palace as key person to take care the active volcano in Jogyakarta. Feeling of terrible lost is humanly experience for everybody including Mother Ponirah. If this experience of lost is not being processed then it can affect her life and the life of people around her.

  The type of his research is case study. Case study is a deeper and comprehensive study on an individual with a particular case and free from manipulation. Methodology of this study is data gathering from observation, home visit and interview with the victim. All informations gathered from either victim or other people around served as source of comprehensive data for this research.

  The result of this study showed that Mother Ponirah, the wife of Mbak Maridjan experience severe lost because of the death of her husband when the eruption of the Volcano. She never thinks of losing her husband. When the eruption happened she was sure for her safety as well as her husband but in reality her husband died. She could not believe this happened to her husband. It was difficult for her to accept the death of her husband when the eruption came because her husband should take cares that volcano. Her life was shaken and her heart was broken because of the dead of her husband. But as the days pass she began to accept, recovered and healed because of the laughter and joy of her children and grand children who accompanied her. With courage she began to accept the reality of the death of her husband who was well known as Mbah Maridjan.

KATA PENGANTAR

  Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang selalu melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  Peneliti menyadari bahwa skripsi ini berhasil disusun berkat adanya bantuan dari berbagai pihak yang telah memberikan masukan yang berharga. Untuk itu, peneliti mengucapkan terima kasih kepada: 1.

  Dr. Gendon Barus, M. Si., selaku Kepala Program Studi Bimbingan dan Konseling sekaligus pembimbing skripsi yang selalu memperhatikan kemajuan penulisan skripsi dan memberikan masukan yang sangat berharga.

  2. Ibu Ponirah (Istri alm Mbah Maridjan) yang telah bersedia menjadi subjek penelitian yang dalam keramahan dan keluguannya telah banyak bercerita tentang luka-luka batin yang dialaminya sepeninggal suami tercinta.

  3. Kepada Bapak Asih (Anak Ibu Ponirah) yang telah membantu memberikan informasi penting yang butuhkan dalam penelitian ini.

  4. Dr. G. Budi Subanar, S.J. yang telah memberi banyak masukan untuk konstruksi skripsi dan organisasi bahan penulisan ini.

  5. Dr. Gendon Barus, M. Si., Drs. R. Budi Sarwana, MA., dan Juster Donal Sinaga, M. Pd. sebagai penguji skripsi yang telah member pencerahan.

  6. Bapak dan Ibu dosen yang telah memberi begitu banyak ilmu, masukan, dan menambah pengalaman yang nantinya dapat peneliti gunakan sebagaimana mestinya dengan baik di dunia Bimbingan dan Konseling.

  7. Semua pihak yang telah membantu peneliti untuk mendapatkan informasi selama penelitian.

  8. Teman seperjuangan peneliti saat menuntut ilmu yang telah ikhlas berbagi suka dan duka, dan semua yang terlibat yang tidak dapat peneliti sebutkan satu per satu.

  Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan dunia pendidikan khususnya Bimbingan dan Konseling.

  Yogyakarta, 20 April 2013

  DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING. .................................................. ii HALAMAN PENGESAHAN. .............................................................................. iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA. .............................................................. iv HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN. .................................................. v ABSTRAK. ........................................................................................................... vi ABSTRACT. ......................................................................................................... vii KATA PENGATAR. ............................................................................................ viii DAFTAR ISI. ........................................................................................................ x

  BAB I. PENDAHULUAN. ................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah. .................................................................... 1 B. Fokus dan Pertanyaan Penelitian........................................................ 4 C. Tujuan Penelitian................................................................................ 4 D. Manfaat Penelitian.............................................................................. 4

  E.

  Batasan istilah. ................................................................................... 5

  BAB II. KAJIAN PUSTAKA. .............................................................................. 8 A. Perasaan. .......................................................................................... 8 1. Pengertian Perasaan. ................................................................ 8 2. Bentuk-bentuk Perasaan. ......................................................... 9 3. Faktor yang Mempengaruhi Perasaan dalam Penerimaan Diri. ....................................................................... 10 4. Aspek-Aspek Perasaan. ........................................................... 13 5. Perasaan Kehilangan yang Mendalam dan Pengalaman Traumatik. ............................................................ 14 B. Seputar Bencana Merapi. ................................................................. 15 1. Bencana Letusan Gunung Merapi. ........................................... 15 2. Korban Letusan Gunung Merapi Secara Umum. ..................... 19 3. Dampak Sosial, Ekonomi, Psikologis Bencana Gunung Merapi bagi para korban. ............ 21 4. Mengenal tokoh “Mbah Maridjan”. .......................................... 26 5. Dampak kematian Mbah Maridjan bagi masyarakat. ............... 27 6. Dampak kematian Mbah Maridjan terhadap Ibu Ponirah dan keluarga. ............................................................................. 28 C.

  Kilas balik Peristiwa Kehidupan Mbah Maridjan. ........................... 30 D.

  Dampak Perasaan (trauma) yang tak Terkendali. ............................ 33

  E.

  Penerimaan Diri. .............................................................................. 35

  BAB III. METODE PENELITIAN....................................................................... 38 A. Jenis Penelitian. ............................................................................. 38 B. Sumber Data. ................................................................................. 40 C. Metode Pengumpulan Data. .......................................................... 40 D. Langkah-langkah Pengumpul dan Analisa Data. .......................... 43 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. .................................... 45 A. Laporan Hasil Penelitian. .............................................................. 45 B. Pembahasan. .................................................................................. 50 BAB V. KESIMPULAN. ...................................................................................... 55 A. Kesimpulan .................................................................................... 55 B. Keterbatasan .................................................................................. 57 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 58

BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini disajikan latar belakang masalah, fokus dan pertanyaan

  penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, dan deskripsi kasus yang diteliti.

A. Latar Belakang Masalah

  Kehidupan di Desa Kinahrejo sangat menakjubkan, asri, indah, sejuk, menyegarkan, dan menyenangkan. Masyarakat di sana hidup bahagia dengan kehidupan yang begitu indah. Tidak hanya warga sekitar menjadi penikmat keindahan alam pegunungan di sana, melainkan para wisatawan yang berkunjung ke sana mulai dari wisatawan domestik hingga wisatawan mancanegara terpesona menikmati pemandangan di pelataran Gunung Merapi yang menakjubkan.

  Jelang senja di satu hari, pesona keindahan Merapi mendadak berubah ketika erupsi Gunung Merapi yang dahsyat terjadi pada tanggal 26 Oktober 2010. Prahara ini mengakibatkan keadaan masyarakat dan keindahan di sana menjadi sangat kontras dengan sebelumnya. Erupsi adalah suatu aktivitas yang terjadi di mana gunung berapi mengeluarkan material panas berupa lava pijar serta awan panas (dalam istilah jawa disebut wedus gembel) berbentuk gumpalan awan hitam yang bersuhu tinggi yang dapat merusak apa saja yang dilewatinya. Erupsi Gunung Merapi sudah merupakan siklus antara 4-5 tahunan, namun erupsi yang terakhir ini menyebabkan tatanan kehidupan di wilayah sekitar Merapi mengalami perubahan besar, di mana pada masa sebelumnya kehidupan masyarakat teratur, menjadi kacau dan berubah kontras. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya masyarakat yang kehilangan anggota keluarga, tempat tinggal, lahan pertanian, ternak, dan mata pencarian penduduk di daerah tersebut, karena tersapu oleh sang wedus gembel.

  Sejak bencana itu melanda, masyarakat daerah Kinahrejo banyak bergantung dari para donatur, bantuan pemerintah, dan juga para pengunjung atau wisatawan.

  Melihat situasi masyarakat yang seperti itu timbul rasa empati dari peneliti, sehingga peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian pada daerah dan masyarakat di sana. Begitu banyak yang kehilangan anggota keluarga mereka diantaranya ayah, ibu, dan saudara kandung mereka. Dalam situasi panik dan kehilangan daya bahkan ada salah satu keluarga yang akhirnya harus meninggalkan salah satu anggota keluarganya (tidak mau dibawa untuk mengungsi) karena sesuatu hal.

  Di antara sekian banyak korban, ada seseorang yang sungguh sangat spesial di mata peneliti, yaitu Ibu Ponirah. Ibu Ponirah sebagai sosok sentral dalam kajian ini berumur 74 tahun, beragama Islam adalah istri Mbah Marijan, Sang tokoh spiritual, yang memiliki kemampuan khusus dan kesetiaannya pada pengabdian terhadap Raja Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Mbah Maridjan yang lahir 05 Februari 1927 dengan nama kecil Gusti Raden Mas Dorodjatun yang diberi kepercayaan oleh Raja Yogyakarta sebagai juru kunci Gunung Merapi turut menjadi korban dan meninggal dunia pada saat mengemban tugas pada saat erupsi Merapi yang dicintai yang telah setia menemaninya selama ini. Beliau sangat terpukul sepeninggal suaminya yang rela berkorban karena pengabdian dan tanggung jawab yang ia emban. Bencana itu membuat Bu Ponirah menjadi orang yang kesepian secara fisik dan batin, merasa terguncang, merasa kehilangan yang mendalam, hancur dan sekurang-kurangnya beberapa saat merasa kehilangan makna hidup. Perasaan kehilangan yang mendalam inilah yang ingin peneliti jadikan fokus dalam penelitian dengan judul “Perasaan kehilangan yang mendalam (Sepenggal Biografi Istri Mbah Maridjan)”.

  Semasa hidup bersama sang suami (Mbah Maridjan), Bu Ponirah hidup dengan bahagia, namun setelah bencana erupsi Merapi pada hari Selasa tanggal 26 Oktober 2010 tersebut semua berubah dengan drastis. Hal itu membuat Ibu Ponirah stress, kecewa, hampa dan kehilangan makna yang begitu dalam. Hatinya terkoyak karena beliau kehilangan sosok suami yang selalu setia menemani hidupnya sehari- hari. Sungguh berat bagi Ibu Ponirah untuk menghilangkan rasa traumanya, menghilangkan rasa kehilangan yang begitu mendalam, luka batin yang begitu berat dihadapi. Ibu Ponirah merasakan hari-hari yang sepi tak bermakna dalam menghadapi kehidupannya. Lantas seberapa dalam hatinya luka? Trauma seperti apa yang tampak dari perasan kehilangan yang mendalam? Bagaimana ia menyikapi saat-saat sepi dan rasa kehilangan dalam kehidupannya? Lalu, bagaimana ia bangkit dari penderitaan? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang ingin disorot dalam kajian ini.

B. Fokus dan Pertanyaan Penelitian

  Penelitian ini bermaksud untuk menjawab : 1. Bagaimana perasaan Bu Ponirah terhadap peristiwa kehilangan suami tercinta yang meninggal dunia saat melaksanakan tugas sebagai juru kunci Gunung

  Merapi? 2. Trauma seperti apakah yang terlihat pada diri Bu Ponirah? 3. Bagaimana Bu Ponirah menyikapi keadaan tersebut? 4.

  Bagaimana keseharian Bu Ponirah menjalani hidup sepeninggal suami? C.

   Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengungkapkan perasaan Bu Ponirah sebagai akibat dari rasa kehilangan yang mendalam sepeninggal suami (Mbah Maridjan) sebagai orang yang terkenal dan cukup disegani tersebut.

  2. Menggambarkan trauma yang timbul dari kejadiaan yang dialami Bu Ponirah.

  3. Melihat sikap Bu Ponirah setelah kepergian Suami tercinta Mbah Maridjan.

  4. Melihat aktivitas Bu Ponirah sehari-hari setelah ditinggal suami.

D. Manfaat Penelitian

  Penelitian ini memiliki dua manfaat, yaitu : 1. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan pembaca sebagai dampak ditinggal suami sebagai seorang juru kunci Gunung Merapi yang sangat tersohor.

2. Secara praktis, penelitian ini akan membuat kita memahami proses terapi yang diberikan bagi seseorang yang mengalami kehilangan yang mendalam.

  a.

  Bagi Ibu Ponirah, perlu ketegaran hati yang luar biasa ketika ditinggalkan oleh belahan jiwa yang setia menemani hidupnya. Dalam situasi siap atau tidak siap lahir dan batin, Ibu Ponirah sudah menghadapinya dengan hati yang besar.

  b.

  Bagi peneliti, mendapat pengalaman yang luar biasa dapat berbincang langsung dengan Istri alm Mbah Maridjan dan keluarganya sekaligus belajar memahami bagaimana situasi kehilangan sosok suami tercinta yang terkenal dalam mengemban tugas mulia.

  c.

  Bagi peneliti lain, dalam situasi yang tidak mudah seperti ini, peneliti harus mampu memahami subjek, keluarga, lingkungan sekitar, dan membaca situasi yang ada pada saat itu. Jangan berbincang atau berperilaku yang sedikit atau bahkan menyimpang dari situasi karena dapat berdampak tidak baik untuk subjek, keluarga , dan peneliti itu sendiri.

E. Batasan istilah

  Dalam peristiwa penderitaan mendalam, ada protes. Dalam kesedihan ada lebih banyak kepasrahan dan tanpa harapan. (Paul Ekman,2009) dalam penderitaan mengalami penderitaan mendalam tampak tidak mempunyai tujuan ketika tak ada yang bisa dilakukan sama sekali untuk memperbaiki kembali rasa kehilangan tersebut. Kita bisa melihat dari wajahnya, tapi kita tidak bisa lari dari suara sebuah emosi. Kita mengajarkan pada anak-anak kita untuk mencegah suara-suara tidak menyenangkan yang dihubungkan dengan beberapa emosi, khususnya tangisan memilukan dari rasa putus asa dan penderitaan yang mendalam.

  Kesedihan merupakan salah satu emosi yang berlangsung lebih lama. Setelah sebuah periode penderitaan yang mendalam yang disertai ungkapan protes, biasanya ada sebuah periode menghentikan kesedihan, yang didalamnya orang merasa tidak berdaya dan kemudian yang protes yang mulai muncul kembali dalam usaha untuk memulihkan rasa kehilangan sesuatu yang sangat berharga yang diikuti oleh kesedihan, kemudian penderitaan yang mendalam dan begitu seterusnya. Ketika emosi menjadi lembut atau bahkan melunak, emosi tersebut mungkin berlansung sama singkatnya dengan beberapa detik, atau bisa berlangsung beberapa menit sebelum emosi yang lain terasa. Dalam kehilangan yang berat seperti itu, mungkin akan ada sebuah latar belakang suasana hati sedih atau depresi (dysphoric), sampai seiring dengan waktu suasana hati itu mulai menghilang saat proses dukacita tersebut berakhir.

  Dalam dukacita yang hebat seperti itu, ada momen ketika emosi-emosi yang lain juga dirasakan. Seseorang yang berdukacita mungkin mempunyai peristiwa kemarahan dalam kehidupan: pada Tuhan, pada orang lain, atau hal-hal yang orang yang berdukacita takut akan kenyataan bagaimana dia akan hidup tanpa sang almarhum, juga takut bahwa dia tidak akan pernah mampu bangkit kembali dari keterpurukan akibat kehilangan tersebut. Ketakutan seperti itu mungkin berganti- ganti dengan perasaan tidak mampu untuk mendapatkan kembali kehidupan setelah kehilangan seperti itu.

  Dukacita adalah proses mengalami reaksi psikologis, sosial, dan fisik terhadap kehilangan yang dipersepsikan. (estepede.blogspot.com) respons ini termasuk keputusasaan, kesepian, ketidakberdayaan, kesedihan, rasa bersalah, dan marah. Berkabung adalah proses yang mengikuti suatu kehilangan dan mencakup berupaya untuk melewati dukacita. Proses dukacita dan berkabung bersifat mendalam, internal, menyedihkan, dan berkepanjangan.

  Kesedihan akibat kematian orang yang dikasihi, kerap disusul dengan perasaan datar, membuat individu yang berduka terlihat “normal” menjalani perkabungan. Namun yang sebenarnya terjadi justru sebaliknya. (historia.co.id) pada saat perkabungan atau pemakaman, di mana kesedihan, hingga level tertentu, menjadi aktivitas publik sesuai aturan budaya, ritual, dan kepercayaan masing-masing, dukacita menyeret setiap orang untuk menjalaninya dalam kesunyian dan kesendirian.

  Namun perubahan dalam diri seseorang yang berduka akan menggerogoti dirinya dan mempengaruhi orang-orang di sekitarnya.

BAB II KAJIAN PUSTAKA Dalam bab ini disajikan pengertian perasaan, bencana seputar Gunung Merapi, dampak perasaan (trauma) yang tidak terkendali, dan penerimaan diri. A. Perasaan 1. Pengertian Perasaan Kata emosi berasal dari bahasa latin yaitu emovere, yang berarti bergerak

  menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut Daniel Goleman (1996:411) emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak.

  Biasanyamerupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh, emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis (Ekman 2003).

  Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku intensional manusia.

2. Bentuk-bentuk Perasaan

  Beberapa tokoh mengemukakan tentang (belajarpsikologi.com) antara lain Descartes, (1995:34), emosi terbagi atas:

  desire (hasrat), hate (benci), sorrow (sedih/duka), wonder (heran), love (cinta)

  dan joy (kegembiraan). Sedangkan J B Watson (1913) mengemukakan tiga macam emosi, yaitu : fear (ketakutan), rage (kemarahan), love (cinta). Daniel Goleman (1996:411) mengemukakan beberapa macam emosi yang tidak berbeda jauh dengan kedua tokoh di atas, yaitu: a.

  Amarah: beringas, mengamuk, benci, jengkel b.

  Kesedihan: pedih, sedih, murah, suram, melankolis, mengasihi diri, putus asa c. Rasa takut: cemas, gugup, khawatir, was-was, waspada, tidak tenang, ngeri d.

  Kenikmatan: bahagia, gembira, riang, puas, senang, terhibur, bangga e. Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat dan kemesraan f.

  Terkejut: tersiap, terkejut g.

  Jengkel: hina, jijik, muak, tidak suka h. Malu: malu hati, kesal

  Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa semua emosi menurut Goleman (1996:411) pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang ada. Dalam The Nicomachea Ethics pembahasan Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup yang benar, tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan.

  Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, (Goleman, 1996:16) masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan.

  Menurut Mayer (Goleman, 1996:65) orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mereka, yaitu: sadar diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang dijalani menjadi sia-sia.

  Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa adalah suatu perasaan yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.

3. Faktor yang Mempengaruhi Perasaan dalam Penerimaan Diri

  Hurlock (1974) mengemukakan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perasaan dalam penerimaan diri adalah: a.

  Adanya pemahaman tentang dirinya sendiri Hal ini timbul karena adanya kesempatan seseorang untuk mengenali kemampuan dan ketidakmampuan. Individu yang dapat memahami dirinya sendiri tidak akan hanya tergantung dari kemampuan intelektualnya saja, tetapi juga pada kesempatannya untuk penemuan diri sendiri, maksudnya semakin orang dapat mamahami dirinya, maka semakin dapat menerima dirinya.

  b.

  Adanya hal yang realistik Jika individu menentukan sendiri harapannya yang disesuaikan dengan pemahaman terhadap kemampuannya dan bukan diarahkan orang lain dalam mencapai tujuannya, serta memiliki harapan yang realistis, maka akan semakin besar kesempatan tercapainya harapan itu. Tercapainya harapan akan menimbulkan kepuasan diri yang merupakan hal penting dalam penerimaan diri.

  c.

  Tidak adanya hambatan di dalam lingkungan Walaupun seseorang sudah memiliki harapan yang realistis, tetapi jika lingkungan disekitarnya tidak memberikan kesempatan atau bahkan menghalangi, maka harapan individu tersebut akan sulit tercapai.

  d.

  Sikap-sikap anggota masyarakat yang menyenangkan Tidak timbul prasangka, karena adanya penghargaan terhadap kemampuan sosial orang lain dan kesedian individu mengikuti kebiasaan lingkungan.

  e.

  Pengaruh keberhasilan yang dialami, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

  Keberhasilan yang dialami individu akan dapat menimbulkan penerimaan diri dan sebaliknya, jika kegagalan yang dialami individu akan dapat mengakibatkan adanya penolakan.

  f.

  Identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik Individu yang mengidentifikasikan dirinya dengan individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik akan dapat membangun sikap- sikap yang positif terhadap diri sendiri dan bertingkah laku dengan baik yang menimbulkan penilaian diri yang baik dan penerimaan diri yang baik.

  g.

  Adanya perspektif diri yang luas Yaitu memperhatikan pandangan orang lain tentang perspektif yang luas ini diperoleh melalui pengalaman dan belajar. Dalam hal ini usia dan tingkat pendidikan memegang peran penting bagi seseorang untuk mengembangkan perspektif dirinya.

  h.

  Pola asuh anak di masa kecil yang baik Seorang anak yang diasuh secara demokratis akan cenderung berkembang sebagai individu yang dapat menghargai dirinya sendiri. i.

  Konsep diri yang stabil Individu yang tidak memiliki konsep diri yang stabil, akan sulit menunjukkan pada orang lain, siapa ia yang sebenarnya.

4. Aspek-Aspek Perasaan

  Berikut aspek-aspek perasaan menurut beberapa tokoh:

  a. Maslow (Schultz,1991) berpendapat bahwa individu yang memiliki kemampuan menerima diri sendiri dan orang lain, mampu mengekspresikan dirinya sendiri terhadap kualitas-kualitas yang lebih baik, yang merupakan sarana untuk membangun kepribadian penerimaan diri dan orang lain terhadap diri.

  b. Jersild (Hurlock,1974) mengatakan bahwa individu yang menerima dirinya sendiri yakin akan pengakuan terhadap dirinya tanpa terpaku pada pendapat orang lain dan memiliki perhitungan akan keterbatasan dirinya serta tidak melihat dirinya sendiri secara irasional. Individu yang menerima dirinya menyadari aset diri yang dimilikinya, dan merasa bebas untuk menarik atau melakukan keinginannya serta menyadari kekurangannya tanpa menyalahkan diri sendiri.

  c. Sheere (Sutadipura,1984) menyebutkan aspek-aspek penerimaan diri yaitu: a) Kepercayaan atas kemampuan untuk dapat menghadapi hidupnya.

  b) Menganggap dirinya sederajat dengan orang lain.

  c) Tidak menganggap dirinya sebagai orang hebat atau abnormal dan tidak mengaharapkan bahwa orang lain mengucilkannya. e) Mengikuti standar pola hidupnya dan tidak ikut-ikutan.

  f) Menerima pujian atau celaan secara objektif.

5. Perasaan kehilangan yang mendalam dan pengalaman traumatik Ibu Ponirah.

  Pengalaman trauma Ibu Ponirah berulang kali terjadi yaitu saat menemani suami berada di Kinahrejo setiap kali Gunung Merapi bergejolak yang terjadi hampir setiap 4-5 tahunan itu. Ibu Ponirah sebagai orang biasa, tetap merasakan takut dan was-was saat berada di sana. Karena dalam situasi tersebut sang Suami (Mbah Maridjan) enggan untuk diajak turun Gunung. Beliau lebih dan selalu memilih untuk tinggal dirumahnya sendiri dari pada ikut mengungsi bersama warga yang lain. Beliau tetap tinggal dirumahnya karena beralasan menjaga Gunung Merapi dan menjaga warga sekitar Gunung Merapi secara khusus dan seluruh warga Yogyakarta secara umum. Ia mendapat titah untuk itu dan sama sekali tidak mau meninggalkan apa yang sudah menjadi tanggung jawabnya.

  Karena hal itulah, Ibu Ponirah selalu cemas dan menjadi trauma batin dengan keselamatannya. Akhir dari trauma Ibu Ponirah yaitu ketika Gunung Merapi meletus 26 Oktober Tahun 2010 lalu yang merenggut nyawa Mbah Maridjan (Juru Kunci Gunung Merapi) atau Suami Ibu Ponirah, beberapa warga yang tidak mampu menyelamatkan diri dan mengakibatkan kerusakan yang tidak sedikit di daerah yang tersapu oleh awan panas dan tertimbun material panas Gunung Merapi. Kematian Mbah Maridjan meninggalkan duka yang teramat dalam bagi keluarga, warga sekitar, dan terutama bagi Ibu Ponirah itu sendiri.

  Ibu Ponirah sangat kehilangan sosok suami yang dicintainya. Terlintas “kenapa harus dengan cara itu bapak meninggal?” tetapi jiwa yang besar Ibu Ponirah membuatnya tabah dengan keadaan yang harus dihadapi ini. Ibu Ponirah akhirnya rela dan pasrah menerima kenyataan harus ditinggal Suami saat mengemban tugas sebagai Juru Kunci Gunung Merapi.

B. Seputar Bencana Merapi 1.

  Bencana Letusan Gunung Merapi

  a. Mitos awan “Mbah petruk”, isyarat jaga lingkungan Ternyata mitos yang sebagian masih dipercaya warga sekitar Gunung

  Merapi, ada yang unik. Penunggu Gunung Merapi, disebut-sebut sebagai sosok “Mbah Petruk”, tokoh punakawan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong) dalam pewayangan yang hingga kini menjadi mitos di masyarakat. Salah seorang masyarakat menuturkan melihat tokoh “petruk”, Sebelum Gunung tersebut meletus pada Selasa (26/10/10) yang lalu. Petruk atau mbah petruk bagi sebagian orang dipercaya sebagai jelmaan dari Sabdo Palon Naya Genggong, salah satu penasihat Prabu Brawijaya V yang pernah disia-siakan kerajaan Demak. Akibatnya, ia mengasingkan diri ke Gunung Lawu. Sedang penasihatnya mengasingkan diri ke Gunung Merapi. Sabdo Palon atau yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama “Mbah petruk” itu, bersumpah suatu saat akan menagih janji pada penguasa tanah Jawa (Kedaulatan Rakyat, 02 Nov 2010).

  Apa penampakannya? Menurut warga setempat, pagi hari sebelum Gunung itu meletus, seorang penduduk melihat awan yang menyembul dari Gunung Merapi tersebut menyerupai bentuk kepala Mbah Petruk, lelaki berhidung panjang. Sugiharto (40) warga Dusun Sudimoro, Desa Pucang Anom, Kecamatan Srumbung melihat kejadian unik tersebut. Diceritakan, saat ia melihat Gunung Merapi, betapa kagetnya ia menyaksikan gumpalan awan yang menyumbul di atas Gunung itu menyerupai Mbah Petruk. Menggunakan camera poket, ia potret gambar awan yang menyerupai kepala petruk. Munculnya gumpalan awan yang menyerupai bentuk kepala tersebut, semakin meyakinkan warga bahwa letusan Gunung Merapi akan besar. Kemunculan awan tersebut mereka maknai sebagai pertanda dan peringatan agar warga berhati-hati. Mereka menganggap letusan Merapi ini menandakan peringatan Tuhan pada manusia. Sifat manusia yang selalu ingin mengusai dan serakah. Terlepas benar atau tidak, tetapi mitos tersebut masih ada, sarat pesan agar warga waspada senantiasa menjaga keseimbangan lingkungan.

  b. Puncak Gunung Merapi tertutup kabut terdengar suara gemuruh Warga yang tinggal di lereng Gunung Merapi, Desa Balerante dan

  Sidorejo Kecamatan, Kemalang Klaten Senin (11/10/10) mendengar suara gemuruh. Karena sudah terbiasa mendengar suara seperti itu, warga tidak terkejut. Suara gemuruh diperkirakan berasal dari guguran material Gunung

  Merapi. Ny Jainu, warga Desa Balerante Senin (11/10/10) mengemukakan, sekitar pukul 10.00 WIB mendengar suara gemuruh, namun ia tidak melihat adanya luncuran lava pijar “kira-kira pukul sepuluh terdengar suara gemuruh,” jelas Ny Jainu.

  Belajar dari bencana Merapi 2006, kondisi dari Balerante cukup memprihatinkan, tidak tersentuh oleh pemerintah setempat. Bahkan untuk transportasi, warga harus mengadakan secara swadaya. Hal itu diharapkan sebagai referensi bagi pemerintah Kabupaten Klaten dalam antisipasi bencana Gunung Merapi sekarang ini dan selanjutnya. “tahun 2006, pengungsi dari Balenrante kurang tersentuh. Warga Balerante bahkan harus swadaya transportasi, belum lagi kendala administrasi saat akan berada di pengungsian Manisrenggo,” jelasnya (Kedaulatan Rakyat, 12 Des 2010).

  Lain halnya pengakuan dari Sugini (46) yang tinggal di Balong Pakembinangun Pakem Sleman, ia menuturkan suara gemuruh Gunung Merapi terdengar seminggu sebelum letusan pertama terjadi. Suara gemuruh terdengar siang malam sampai pada puncaknya Gunung Merapi meletus.

  “saya setiap saat ditelepon anak saya yang bekerja di luar kota menanyakan keadaan saya, ngungsi ti dak, mengungsi dimana bu?”. Suara gemuruh dibarengi tanah yang bergetar seperti gempa, bahkan 2 hari sebelum meletus besar tanah bergetar sangat terasa sampai isi rumah semua bergetar, jelasnya sambil menangis. c. Saat Merapi meletus malam Sabtu tanah bergetar, api menyembur Saat Merapi meletus Sabtu (30/10/10) dini hari,warga di beberapa kawasan kaki Gunung Merapi melihat kilatan api saat terjadi letusan kemudian awan hitam sudah menggantung di atas desanya. Wargapun langsung mengungsi dengan sepeda motornya, dan kendaraan lain, sehingga arus lalu lintas Blabak-Sawangan padat, kata Kapolsek Sawangan AKP Sugimin. Jumlah pengungsipun mendadak bertambah di setiap tempat pengungsian. Warga Selo, Boyolali, juga melihat semburan api membumbung tinggi dari puncak Merapi kemudian api menyembur ke segala arah, termasuk Selo. Sebelum api menyembur, tanah dan rumah bergetar keras. Sehingga banyak warga Kecamatan Selo, Boyolali, ketakutan dan mengungsi (Kedaulatan Rakyat, 30 Okt 2010).

  Hal yang sama juga terjadi di Desa Balerante Kecamatan Kemalang Klaten yang termasuk Kawasan Rawan Bencana (KRB) III, di mana warga yang pulang ke rumah langsung lari turun dengan kendaraan bak terbuka dan roda dua ke lokasi pengungsian. Hampir semua daerah yang hanya berjarak sekitar enam kilometer dari puncak Merapi itu tertutup abu vulkanik dengan ketebalan satu sentimeter. Meski demikian, ada beberapa warga pulang untuk mengurusi ternak. “ Sekarang tidak berani lama-lama di rumah. Kalau ternak sudah diberi makan, saya ditemani anak langsu ng turun”, kata seorang warga di pengungsian. Kepala Desa Balerante Sukono mengatakan, puluhan warga di tempatnya pulang untuk memberi makan ternak. Setidaknya ada 1.300 ternak di Desa Balerante.

2. Korban Letusan Gunung Merapi Secara Umum

  a. Diterjang banjir lahar, tiga jenazah hanyut Tiga kuburan di pemakaman umum Dusun Cepit Hargobinangun

  Pakem, hanyut terkena banjir lahar dingin di aliran sungai Boyong, Senin (29/11/10) malam. Satu jenazah berhasil ditemukan setelah tersangkut batu nisan dan langsung dimaka mkan kembali oleh warga. “dua jenazah lainnya sampai saat ini masih dilakukan pencarian. Kami juga sudah berkoordinasi dengan polsek di bawahnya untuk melakukan pencarian,” kata kepolsek Pakem AKP Harijanto dikonfirmasi semalam. Dijelaskan, pemakaman dusun tersebut memang sangat dekat dengan aliran sungai Boyong. Sehingga saat banjir menerjang, tiga kuburan di pemakaman setempat tergerus dan hanyut. Satu jenazah ditemukan tidak jauh dari lokasi pemakaman. Kapolsek memperkirakan, dua jenazah lain yang belum ditemukan telah hanyut jauh dari lokasi kejadian (Kedaulatan Rakyat, 30 Nov 2010).

  Banjir lahar juga menerjang sejumlah jembatan yang dilalui sungai yang berhulu Merapi. Air bercampur material vulkanik seperti pasir, batu serta batangan pohon ukuran besar yang ikut terbawa arus deras membuat beberapa jembatan terendam. Polisi dibantu SAR dan TNI langsung menutup ruas jalan yang menuju sejumlah jembatan-jembatan yang dilalui banjir lahar.

  b. Sekitar 3.600 warga Umbulharjo mengungsi di Wukirsari rentan terkena awan panas Sekitar 3.600 pengungsi di barak Umbulharjo, Sabtu (30/10/10) dinihari, pindah ke barak pengungsian di Wukirsari, Cangkringan. Sebab, kondisi barak Umbulharjo tidak memungkinkan dan berbahaya terkena awan panas. Hamid, koordinator barak pengungsian Wukirsari mengatakan, lokasi barak pengungsian di Umbulharjo setelah letusan Gunung Merapi, Sabtu (30/10/10) malam, tidak aman dan dikhawatirkan awan panas akan mancapai lokasi barak. Untuk itu, setelah kejadian semua warga langsung pindah mengungsi ke barak Wukirsari (Kedaulatan Rakyat, 31 Okt 2010).

  Sementara barak pengungsian di Kepuharjo tidak pindah karena lokasinya memang telah lebih dari 10 km dari puncak Merapi. “kalau barak Kepuharjo ini jaraknya sudah lebih dari 10 km dari puncak Gunung Merapi, sedangkan untuk yang masalah warga di KRB I dan II juga harus turun, sampai saat itu belum ada perintah resmi,” kata Kepala Desa Kepuharjo, Heri Suprapto.

3. Dampak Sosial, Ekonomi, Psikologis Bencana Merapi bagi para korban

  a. Sebanyak 79 Pengungsi Alami Gangguan jiwa Dari survey terhadap 227 pengungsi korban banjir lahar dingin di empat lokasi pengungsian di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sebanyak

  79 pengungsi mengalami gangguan jiwa. Dua orang bahkan harus dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa Prof Dr Soeroyo Magelang. Penaggung jawab tim peduli tanggap bencana, Noviandy Radhika Budi, menuturkan, Rabu (26/1), survey dilakukan pada 17-20 Januari 2011 di Tempat Penampungan akhir (TPA) Tanjung Balai Desa Sriwedari, Lapangan Jumoyo, dan SD Sriwedari.

  Gejala yang ditunjukkan oleh pengungsi yang mengalami gangguan jiwa adalah tegang, cemas, dan khawatir menghadapi hari-hari selanjutnya.

  Sebagian besar pengungsi itu rumahnya rusak, bahkan ada yang hanyut terbawa banjir. Hal itu membuat mereka gelisah dan susah tidur. Untuk mengatasi dampak yang lebih berat, tim terus mendampingi dan memberikan konseling kepada 77 orang yang mengalami gangguan jiwa ringan. Banjir lahar dingin merusak 442 rumah di tujuh kecamatan di Magelang. Tingkat kerusakannya dari ringan sampai berat. Sejumlah pengungsi di TPA Tanjung tampak kebingungan. “Saya tak bisa kemana-mana lagi. Rumah dan toko saya terbawa banjir,” kata Srini, warga Dusun Salakan, Desa Sirahan, Salam.

  Warga lain, Rahmat, mengaku pasrah. “Mau dipindahkan kemana saja saya

  manut

  (menurut). Saya tidak punya pilihan. Rumah saya tinggal fondasi,” b. Perekonomian warga terpukul Letusan Gunung Merapi tak hanya merenggut korban manusia.

  Ratusan ekor sapi perah di Kecamatan Cangkringan, Sleman, mati, dan bergelimpungan di kandang maupun halaman rumah warga setelah diterjang awan panas. Bangkai sapi tersebut sudah menebarkan aroma tak sedap dan berpotensi menjadi sumber penyakit. Tim yang terdiri atas relawan, petugas

  search and rescue, petugas lapangan Pemerintah Kabupaten Sleman, serta

  anggota TNI mulai bahu-membahu mengevakuasi bangkai sapi perah di Dusun kaliadem, Dusun Kinahrejo, Dusun Pelemsari, dan Dusun Ngrangkah. Proses evakuasi bangkai sapi diperkirakan berlangsung selama berhari-hari (Kompas, 29 Okt 2010).

  Pada kamis (28/10), tim evakuasi ternak sapi ini mulai bergerak untuk membersihkan bangkai sapi. Warga Dusun Kaliadem, Kepuharjo, Cangkringan, Sleman Adi Sihono, mengaku rugi puluhan juta rupiah karena tujuh ekor sapi perah mati seketika. Bangkai sapi tersebut bergelimpangan di kandang dan halaman rumah. Menurut Adi, seekor sapinya sempat ditawar Rp 16 juta sebelum erupsi terjadi. Dalam sehari, tiap ekor sapi bisa memproduksi 15 liter susu dengan harga per liter Rp 3000. Dengan demikian, setiap peternak sapi kehilangan sumber pendapatan utama keluarga. Warga Kaliadem, Surati, berharap, pemerintah bisa memberi bantuan ternak agar perekonomian bisa pulih. Sebagian ternak sapi yang menghirup udara panas dan badan melepuh. Di Dusun Kaliadem saja setidaknya ada 80 sapi yang mati.

  Sebanyak 20 ternak yang berada di Pelemsari dan Ngrangkah, dua dusun di Desa Umbulharjo, Cangkringan, yang terletak paling atas dari puncak Merapi, bisa diselamatkan. Ternak yang mati, yakni 285 ekor, langsung dikubur di dekat kandang. Dengan truk tim membawa ternak- ternak yang masih selamat ini untuk dievakuasi menuju tanah kas Desa Umbulharjo. Sejauh ini, prioritas utama evakuasi ternak ialah pada sapi perah. Kondisi sapi-sapi itu memprihatinkan karena nyaris sekujur tubuhnya melepuh, terpanggang akibat terjangan awan panas. Beberapa bagian tubuh sapi juga terluka dan mengeluarkan darah segar. Seekor sapi bahkan tidak bisa berdiri, hanya bisa sesekali mengeluh pelan sembari sekuat tenaga mengejang-ngejangkan tubuh. Petugas menyemprotkan obat antiinfeksi dan antiseptik ke tubuh hewan-hewan itu.