BAB. 7 RENCANA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR CIPTA KARYA
BAB. 7
RENCANA PEMBANGUNAN
INFRASTRUKTUR CIPTA KARYA
Rencana pembangunan infrastruktur bidang Cipta Karya mencakup empat sektor
yaitu
pengembangan
permukiman,
penataan
bangunan
dan
lingkungan,
pengembangan air minum, serta pengembangan penyehatan lingkungan permukiman
yang terdiri dari air limbah, persampahan, dan drainase. Penjabaran perencanaan
teknis untuk tiap-tiap sector dimulai dari pemetaan isu-isu strategis yang
mempengaruhi, penjabaran kondisi eksisting sebagai baseline awal perencanaan,
serta permasalahan dan tantangan yang harus diantisipasi.
7.1.
Pengembangan permukiman
Berdasarkan UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman,
permukiman didefinisikan sebagai bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas
lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum,
serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain dikawasan perkotaan atau
perdesaan.
Kegiatan pengembangan permukiman terdiri dari pengembangan permukiman
kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan. Pengembangan permukiman kawasan
perkotaan terdiri dari pengembangan kawasan permukiman baru dan peningkatan
kualitas permukiman kumuh, sedangkan untuk pengembangan kawasan perdesaan
terdiri dari pengembangan kawasan permukiman perdesaan, kawasan pusat
pertumbuhan, serta desa tertinggal.
7.1.1. Arahan kebijakan dan lingkup kegiatan
Arahan kebijakan pengembangan permukiman mengacu pada amanat peraturan
VII-1
perundangan, antara lain:
1.
Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional.
Arahan RPJMN Tahap3 (2015-2019) menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan
hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukung bagi seluruh
masyarakat terus meningkat, sehingga kondisi tersebut mendorong terwujudnya
kota tanpa permukiman kumuh pada awal tahapan RPJMN berikutnya.
2.
Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
Pasal 4 mengamanatkan bahwa ruang lingkup penyelenggaraan perumahan dan
kawasan permukiman juga mencakup penyelenggaraan perumahan (butir c),
penyelenggaraan kawasan permukiman (butir d), pemeliharaan dan perbaikan
(butir e), serta pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan
kumuh dan permukiman kumuh (butir f).
3.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.
Pasal 15 mengamanatkan bahwa pembangunan rumah susun umum, rumah
susun khusus, dan rumah susun Negara merupakan tanggung jawab pemerintah.
4.
Peraturan Presiden No.15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan.
Peraturan ini menetapkan salah satunya terkait dengan penanggulangan
kemiskinan yang diimplementasikan dengan penanggulangan kawasan kumuh.
5.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 14/PRT/M/2010 tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Tata Ruang.
Peraturan ini menetapkan target berkurangnya luas permukiman kumuh di
kawasan perkotaan sebesar 10% pada tahun2 014.
Lingkup kegiatan Direktorat Pengembangan Permukiman adalah:
a.
Menyusun kebijakan teknis dan strategi pengembangan permukiman di
perkotaan dan perdesaan;
VII-2
b. Mengadakan
pembinaan
teknik,
pengawasan
teknik
dan
fasilitasi
pengembangan kawasan permukiman baru di perkotaan dan pengembangan
kawasan perdesaan potensial;
c.
Mengadakan pembinaan teknik, pengawasan teknik dan fasilitasi peningkatan
kualitas permukiman
kumuh
termasuk peremajaan
kawasan dan
pembangunan rumah susun sederhana;
d. Mengadakan pembinaan teknik, pengawasan teknik dan fasilitasi peningkatan
kualitas permukiman di kawasan tertinggal, terpencil, daerah perbatasan dan
pulau-pulau kecil termasuk penanggulangan bencana alam dan kerusuhan sosial;
e.
Melaksanakan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria, serta
pembinaan kelembagaan dan peran serta masyarakat di bidang pengembangan
permukiman;
f.
Melaksanakan tata usaha Direktorat
Isu Strategis Nasional yang berpengaruh terhadap pegembangan permukiman :
Mengimplementasikan konsepsi pembangunan berkelanjutan serta mitigasi dan
adaptasi terhadap perubahan iklim.
Percepatan pencapaian target MDG’s 2020 yaitu penurunan proporsi rumah
tangga kumuh perkotaan.
Perlunya dukungan terhadap pelaksanaan Program-Program Directive Presiden
yang tertuang dalam MP3EI dan MP3KI.
Percepatan
pembangunan
di
wilayah
timur
Indonesia
(Provinsi
NTT,
ProvinsiPapua,dan Provinsi PapuaBarat) untuk mengatasi kesenjangan.
Meminimalisir penyebab dan dampak bencana sekecil mungkin.
Meningkatnya urbanisasi yang berimplikasi terhadap proporsi penduduk
perkotaan yang bertambah, tingginya kemiskinan penduduk perkotaan, dan
bertambahnya kawasan kumuh.
Belum optimalnya pemanfaatan Infrastruktur Permukiman yang sudah dibangun.
Perlunya
kerjasama
lintas sektor untuk mendukung sinergitas dalam
pengembangan kawasan permukiman.
Belum optimalnya peran pemerintah daerah dalam mendukung pembangunan
VII-3
permukiman. Ditopang oleh belum optimalnya kapasitas kelembagaan dan
kualitas sumberdaya manusia serta perangkat organisasi penyelenggara dalam
memenuhi standar pelayanan minimal di bidang pembangunan perumahan dan
permukiman.
Isu strategis Kota Pontianak dapat diidentifikasi seperti yang terlihat pada tebel
berikut :
Tabel 7.1.
ISU-ISU STRATEGIS SEKTOR PENGEMBANGAN PERMUKIMAN KOTA PONTIANAK
Isu Strategis
1. Penguasaan status tanah pada kawasan
permukiman yang berada pada lahan yang
tidak sesuai peruntukan.
Keterangan
Penertiban Kawasan Permukiman
Penataan dan Perbaikan Lingkungan Permukiman
Penyiapan Lokasi untuk Resettlement
Pengembangan Kelembagaan formal pengelola perumahan
Pembangunan Kawasan Permukiman di lokasi baru
3. Memenuhi Kebutuhan perumahan dan
penyediaan perumahan bagi warga
kabupaten yang tidak mampu.
Memperpendek proses pengurusan perijinan
Membuat MOU dengan lembaga keuangan untuk
pengadaan permukiman warga Kota Pontianak
4. optimalisasi kapasitas kelembagaan dalam
memeberikan fasilitas untuk mendapatkan
tempat tinggal yang layak huni bagi warga
KKR.
Pengembangan Lembaga Formal Pengelolaan Perumahan
Revitalisasi Kawasan
5. Pemanfaatan infrastruktur permukiman yang
sudah dibangun dan perlu kerja sama lintas
sektor.
Peningkatan dan Pembangunan Infrastruktur Permukiman
Perkotaan
Peningkatan kerjasama dalam pengelolaan Infrastruktur
Permukiman Perkotaan
6. Memberikan kemudahan bagi pengembang
kawasan permukiman.
Mendorong Realisasi Pembangunan Perumahan sesuai
lahan peruntukan dan ijin lokasi
Memfasilitasi Penyiapan Infrastruktur Perkotaan
Penerapan teknologi tepat guna/ramah lingkungan dalam
pengembangan permukiman dan Infrastrukturnya.
Penerapan Model Management resiko berbasis masyarakat
9. Memelihara permukiman dan infrastruktur
pendukungnya.
Pengembangan Managemen Permukiman dan
Infrastrukturnya berbasis Masyarakat
10. Menguatkan kelembagaan masyarakat dalam
pengelolaan permukiman dan infrastruktur
pendukungnya.
Membangun Jejaring Kerjasama kelembagaan masyarakat
antar kawasan Permukiman
2. Meminimalisir penyebab dampak bencana
dan kawasan kumuh
7. Mengembangkan Permukiman dengan
memanfaatkan teknologi tepat guna/ ramah
lingkungan.
8. Mengembangkan dan mensosialisasikan
managemen adaptasi terhadap bencana dan
perubahan iklim.
VII-4
7.2.
Penataan bangunan dan lingkungan
Penataan bangunan dan lingkungan adalah serangkaian kegiatan yang diperlukan
sebagai bagian dari upaya pengendalian pemanfaatan ruang, terutama untuk
mewujudkan lingkungan binaan, baik di perkotaan maupun di perdesaan, khususnya
wujud fisik bangunan gedung dan lingkungannya.
Undang-undang nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan Peraturan
Pemerintah nomor 36 tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang
nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung serta pelaksanaan lebih detail di
bawahnya mengamanatkan bahwa penyelenggaraan bangunan gedung merupakan
kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan hanya bangunan gedung
negara dan rumah negara yang merupakan kewenangan pusat.
Selain itu, Undang-undang nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman
menggariskan bahwa peningkatan kualitas lingkungan permukiman dilaksanakan
secara menyeluruh, terpadu dan bertahap, mengacu kepada Rencana Tata Bangunan
dan Lingkungan sebagai penjabaran rencana tata ruang wilayah (RTRW).
1.
Strategi Penataan Bangunan dan Lingkungan
Strategi dalam mendukung keberhasilan penataan bangunan dan lingkungan,
antara lain:
a.
Menyelenggarakan penataan bangunan gedung agar tertib, fungsional,
andal dan efisien;
b.
Menyelenggarakan penataan lingkungan permukiman agar produktif
dan berjati diri;
c.
Menyelenggarakan penataan dan revitalisasi kawasan dan bangunan
agar dapat memberikan nilai tambah fisik, sosial dan ekonomi;
d.
Menyelenggarakan
penataan
bangunan
dan
lingkungan
untuk
mewujudkan arsitektur perkotaan dan pelestarian arsitektur bangunan
VII-5
gedung yang dilindungi dan dilestarikan untuk menunjang kearifan
budaya lokal;
e.
Mengembangkan teknologi dan rekayasa arsitektur bangunan gedung
untuk
menunjang
pembangunan
regional/
internasional
yang
berkelanjutan.
2.
Kebijakan Penataan Bangunan dan Lingkungan
Kebijakan penataan bangunan dan lingkungan, yaitu:
a.
Meningkatkan
pembinaan
penyelenggaraan
Bangunan
Gedung,
termasuk bangunan gedung dan rumah negara;
b. Meningkatkan pemahaman, kesadaran dan kemampuan masyarakat
untuk memenuhi persyaratan Bangunan Gedung dan Penataan
Lingkungan Permukiman;
c.
Meningkatkan kapasitas penyelenggara dalam penataan lingkungan dan
permukiman;
d. Meningkatkan kualitas lingkungan untuk mendukung pengembangan
jatidiri dan produktivitas masyarakat;
e.
Mengembangkan kawasan yang memiliki peran dan potensi strategis
bagi pertumbuhan kota;
f.
Mengembangkan kemitraan antara pemrintah, swasta dan lembaga
nasional maupun internasional lainnya di bidang Bangunan Gedung dan
Penataan Lingkungan Permukiman;
g.
Mewujudkan
arsitektur
perkotaan
yang
memperhatikan/
mempertimbangkan khasanah arsitektur lokal dan nilai tradisional;
h. Menjaga kelestarian nilai-nilai arsitektur Bangunan Gedung yang
dilindungi dan dilestarikan serta keahlian membangun (seni dan
budaya);
i.
Mendorong upaya penelitian dan pengembangan teknologi rekayasa
arsitektur Bangunan Gedung melalui kerjasama dengan pihak-pihak
yang kompeten.
3. Program/Kegiatan Penataan Bangunan dan Lingkungan
VII-6
Program/ kegiatan penataan bangunan gedung dan lingkungan yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut:
a.
Kegiatan Pembinaan Teknis Bangunan dan Gedung
1) Kegiatan diseminasi peraturan perundang-undangan penataan
bangunan dan lingkungan;
2) Peningkatan dan pemantapan kelembagaan bangunan dan gedung;
3) Pengembangan sistem informasi bangunan gedung dan arsitektur;
4) Pelatihan teknis tenaga pendata bangunan gedung dan keselamatan
gedung;
5) Pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara;
6) Pembinaan teknis pembangunan gedung negara;
7) Penyusunan Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK);
8) Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) Bangunan
Gedung;
9) Percontohan pendataan bangunan gedung;
10) Percontohan aksesibilitas pada bangunan gedung dan lingkungan;
11) Rehabilitasi bangunan gedung negara;
12) Dukungan prasarana dan sarana Pusat Informasi Pengembangan
Permukiman dan Bangunan (PIPPB).
b. Kegiatan Penataan Lingkungan Permukiman
1) Penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL);
2) Bantuan teknis pengelolaan Ruang terbuka Hijau (RTH);
3) Pembangunan prasarana dan sarana peningkatan lingkungan
permukiman kumuh dan nelayan;
4) Pembangunan
prasarana
dan
sarana
penataan
lingkungan
permukiman tradisional;
c.
Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat di Perkotaan
1) Bantuan teknis penanggulangan kemiskinan di perkotaan;
2) Bantuan penanggulangan kemiskinan terpadu (PAKET) dan
Replikasi.
4.
Kebijakan Penataan Bangunan Gedung dan Lingkungan di Kota Pontianak
VII-7
Kebijakan Pemerintah Kota Pontianak dalam penataan gedung dan lingkungan
didasarkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Pontianak, yaitu untuk:
a.
Mewujudkan pemanfaatan ruang daerah yang serasi dan optimal sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan daya dukung lingkungan serta
sesuai dengan kebijaksanaan pembangunan nasional dan daerah yang
berkelanjutan.
b.
Mewujudkan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan dalam
pengelolaan kawasan, untuk menjamin tetap berlangsungnya konservasi
air dan tanah, menjamin tersedianya air tanah dan permukaan serta
penanggulangan banjir.
c.
Mengembangkan perekonomian wilayah yang produktif, efektif dan
efisien
berdasarkan
karakteristik
wilayah,
bagi
terciptanya
kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan dan pembangunan yang
berkelanjutan.
Strategi pemanfaatan ruang daerah merupakan pelaksanaan kebijakan penataan
ruang daerah yang meliputi:
a.
Mendorong terselenggaranya pengembangan kawasan yang berdasar
atas keterpaduan antar perkotaan dan perdesaan sebagai satu kesatuan
wilayah perencanaan;
b.
Mendorong terselenggaranya pembangunan kawasan yang dapat
menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah, menjamin
tersedianya air tanah dan air permukaan serta penanggulangan banjir
dengan
mempertimbangkan
daya
dukung
lingkungan
yang
berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan.
c.
Mendorong pengembangan perekonomian wilayah yang produktif,
efektif dan efisien berdasarkan karakteristik wilayah bagi terciptanya
kesejahteraan masyarakat dan pembangunan yang berkelanjutan.
VII-8
Indikator program dan kegiatan pokok yang akan dilakukan yaitu:
1
2
3
Indikator Program
Uraian
Tingkat kesesuaian
peruntukan lahan dan
bangunan dengan RTRW,
RDTR dan RTBL
Satuan
%
Kegiatan Pokok
1 Penyusunan kebijakan dan sosialisasi
\tentang penyusunan rencana tata ruang
2 Penetapan kebijakan tentang RDTRK, RTRK,
dan RTBL
Jumlah pelanggaran
terhadap RTRW, RDTR dan
RTBL
kasus
Jumlah pelanggaran
terhadap RTRW, RDTR dan
RTBL yang ditindaklanjuti
kasus
3 Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah
4 Penyusunan Rencana Detail dan rencana
teknis Tata Ruang Kawasan
5 Penyusunan Rencana Tata Bangunan dan
Lingkungan
6 Penyusunan rancangan peraturan daerah
tentang RTRW
7 Fasilitasi peningkatan peran serta
masyarakat dalam perencanaan tata ruang
8 Revisi rencana tata ruang
9 Pelatihan aparat dalam perencanaan tata
ruang
10 Survey dan pemetaan
11 Koordinasi dan fasilitasi penyusunan
rencana tata ruang lintas
4
Jumlah kebijakan tentang
pemanfaatan ruang yang
berhasil disusun
buah
11 Penyusunan dan sosialisasi kebijakan
perizinan dan pengendalian pemanfaatan
ruang
12 Penyusunan norma, standar, dan kriteria
pemanfaatan ruang
5
Tingkat kesesuaian
pemanfaatan ruang dengan
peruntukannya
%
13 Fasilitasi peningkatan peran serta
masyarakat dalam pemanfaatan ruang
14 Survey dan pemetaan
15 Pelatihan aparat dalam pemanfaatan ruang
VII-9
Indikator Program
Uraian
Satuan
Kegiatan Pokok
16 Koordinasi dan fasilitasi penyusunan
pemanfaatan ruang lintas
6
Tingkat pemenuhan
kebutuhan sarana dan
prasarana rumah
sederhana sehat
%
17 Penetapan kebijakan, strategi, dan
program perumahan
18 Penyusunan Norma, Standar, Pedoman,
dan Manual (NSPM)
19 Koordinasi penyelenggaraan
pengembangan perumahan
20 Sosialisasi peraturan perundang-undangan
di bidang perumahan
21 Koordinasi pembangunan perumahan
dengan lembaga/badan usaha
22 Fasilitasi dan stimulasi pembangunan
perumahan masyarakat kurang
23 Pembangunan sarana dan prasarana
rumah sederhana sehat
7
Prosentase jumlah daerah
kumuh yang telah ditata
dengan baik
%
24 Koordinasi pengawasan dan pengendalian
pelaksanaan kebijakan tentang
8
Prosentase kawasan
permukiman yang sudah
memiliki sistem drainase
yang baik
%
25 Penyediaan sarana air bersih dan sanitasi
dasar terutama bagi masyarakat
9
Jumlah rumah tangga yang
telah terlayani air bersih
RT
27 Pengendalian dampak resiko pencemaran
lingkungan
1
0
Terpenuhinya kebutuhan
perumahan dan sanitasi
yang layak dan sehat
%
28 Menetapan kebijakan dan strategi
penyelenggaraan keserasian kawasan dan
lingkungan hunian berimbang
26 Penyuluhan dan pengawasan kualitas
lingkungan sehat perumahan
VII-10
7.2.1. Permasalahan dan potensi
Permasalahan yang dihadapi adalah belum ada rencana tata ruang wilayah
perdesaan dan kota kecamatan. Pertumbuhan permukiman berlangsung secara
spontan. Belum dilakukan pengaturan letak bangunan dan fasilitas umum yang dapat
menciptakan lingkungan sehat, aman dan nyaman.
Rendahnya kepadatan dan
tersedianya lahan memberikan peluang untuk dapat menata permukiman menjadi
lebih baik. Tata ruang dapat dibuat sebelum permukiman tumbuh menjadi sangat
padat dan mengkonsumsi semua ruang terbuka yang ada.
7.2.2. Rencana pemecahan masalah dan rekomendasi
Aspek Teknis
Perlu disusun tata ruang wilayah perdesaan dan kota kecamatan yang disesuaikan
dengan karakteristik wilayah. Tata ruang juga harus sesuai dengan karakteristik
wilayah. Selain tata ruang juga diperlukan perangkat aturan untuk mengatur tata cara
membangun, apa saja yang harus disediakan oleh setiap orang yang membangun
rumah atau perumahan (fasilitas pembuangan dan pengolahan air kotor, fasilitas
pengolahan sampah, hidran, ruang terbuka), batas-batas bangunan (garis sempadan
bangunan, jarak antar angunan yang aman terhadap bahaya kebakaran).
Aspek Pendanaan
Dana investasi pengembangan permukiman dapat bersumber dari APBN, APBD
Provinsi dan Kabupaten. Dana digunakan untuk menyusun rencana tata ruang,
peraturan daerah tentang tata ruang dan membuat model-model percontohan
permukiman yang layak huni, sehat, aman dan nyaman. Dana tersebut juga dapat
diinvestasikan untuk perbaikan permukiman yang sudah ada.
Aspek Kelembagaan
Masyarakat perlu mendapatkan informasi secara lengkap mngenai rencana tata
ruang dan manfaat mengikuti aturan tata ruang bagi kehidupan. Penyampaian
informasi dilakukan melalui kampanye rencana tata ruang dan peraturan tentang tata
VII-11
ruang. Lembaga pemerintah yang mengawasi rencana tata ruang dan bagaiman
aturan mengenai tata ruang dijalankan perlu mendapatkan penguatan. Tujuannya
agar aturan tata ruang dapat dijalankan dan tidak menjadi korban berbagai
kepentingan terutama kepentingan ekonomi.
7.3.
Sistem penyediaan air minum
Pelayanan air minum merupakan komponen yang strategis dalam pembangunan dan
merupakan
salah
satu
entry
point
dalam
penanggulangan
kemiskinan.
Pengembangan dan pelayanan air minum adalah untuk meningkatkan pelayanan air
minum di perdesaan maupun perkotaan, khususnya bagi masyarakat miskin di
kawasan rawan air dan meningkatkan keikutsertaan swasta dalam investasi
pembangunan prasarana dan sarana air minum di perkotaan.
Penyusunan rencana program investasi infrastruktur Sub Bidang Pengembangan Air
Minum harus memperhatikan Rencana Induk Pengembangan Sistem Penyediaan Air
Minum (RI-SPAM) sebagai acuan/pedoman dalam perencanaan dan pelaksanaan
pengembangan air minum pada suatu daerah. Pemerintah Kota Pontianak saat ini
telah menyelesaikan Studi Identifikasi Sumber Air Baku Potensial sehingga
diharapkan dapat menjadi acuan/pedoman dalam penyediaan air untuk berbagai
keperluan termasuk air minum baik di kawasan perkotaan dan perdesaan
Beberapa desa di Kota Pontianak sudah memiliki sistem penyediaan air bersih
perdesaan. Pada beberapa lokasi sistem ini juga sudah dilengkapi dengan bangunan
pengolahan sederhana. Transmisi dan distribusinya dilakukan dengan saluran
tertutup (pipa) dan bangunan pengambilan umumnya berupa bangunan penangkap
mata air (broncaptering).
Beberapa dusun dan desa menyediakan sistem air bersihnya secara swadaya dengan
menggunakan material lokal seperti bambu untuk penyaluran air bersih. Kondisi
topografi yang bergelombang dan berkontur tajam menyediakan beda tinggi yang
cukup untuk menyalurkan air menggunakan gaya gravitasi.
VII-12
Sasaran pengembangan air bersih adalah:
1. Perluasan pelayanan air bersih perdesaan melalui pemanfataan sumbersumber air baru dan perluasan jaringan transmisi/distribusi.
2. Penambahan kapasitas pelayanan sehingga selain dapat memenuhi
kebutuhan minimum per orang juga dapat menambah jumlah orang yang
dapat dilayani. Penambahan kapasitas pelayanan juga berarti perluasan
kawasan yang dapat dilayani dengan sistem penyediaan air bersih.
3. Pembangunan instalasi air bersih di kota-kota pusat pertumbuhan baru.
4. Membangun sarana pengolahan air bersih di setiap wilayah kecamatan
sehingga
air dari
sumber
dapat ditingkatkan
kualitasnya
sebelum
didistribusikan ke penduduk.
5. Menyediakan pelayanan air bersih yang andal baik dari segi kualitas, kuantitas
maupun kontinuitas.
Permasalahan yang dihadapi adalah ancaman kelestarian sumber-sumber air.
Perubahan penggunaan lahan (tata guna lahan) yang tidak terkendali akan
mengancam kelestarian sumber-sumber air seperti mata air pegunungan, sungai dan
air tanah (dalam maupun dangkal). Penataan kawasan dan pengaturan penggunaan
lahan dalam bentu Peraturan Daerah Tata Ruang Kabupaten mutlak diperlukan untuk
melindungi dan menjamin kelestarian sumber-sumber air.
Potensi ketersediaan air di Kota Pontianak cukup besar, hanya saja belum
dimanfaatkan sepenuhnya karena sebagian besar kawasan masih terisolir. Oleh
karena itu pembukaan jalan poros akan membantu percepatan penyediaan sarana air
bersih. Potensi cadangan air tawar yang besar pada daerah yang bergelombang dan
memiliki topografi tajam dapat dimanfaatkan untuk menyediakan air berih secara
murah. Murah karena air mengalir menggunakan gaya gravitasi tanpa memerlukan
pompa. Artinya pasokan energi dari luar dalam proses penyediaan air bersih dapat
dikurangi, hanya terbatas pada unit pengolahan dan pada titik-titik simpul distribusi
pemukiman.
VII-13
Permasalahan dan rekomendasi yang disampaikan adalah sebagai berikut :
Aspek Teknis
Rancangan sistem penyediaan air bersih harus dibuat dengan mengutamakan
penggunaan bahan lokal sehingga biaya transportasi bahan dapat ditekan (terkait
dengan keterisolasian daerah). Selain itu sistem pengoperasian dan perawatannya
harus sesederhana mungkin sehingga masyarakat dapat melakukannya sendiri.
Karena sifat pemukiman yang terpencar dengan kerapatan penduduk rendah, maka
sistem individual atau sistem cluster dapat dipertimbangkan sebagai pengganti
sistem terpusat. Sistem terpusat di daerah yang kepadatannya rendah dengan
perumahan/pemukiman terpencar memerlukan jaringan transmisi dan distribusi
yang panjang. Akibatnya biaya pembangunan dan pemeliharaan akan menjadi mahal.
Aspek Pendanaan
Dana pembangunan sistem penyediaan air bersih dapat bersumber dari APBN, APBD
Provinsi dan Kabupaten. Dana dapat dibagi untuk perencanaan dan pelaksanaan
konstruksi. Bila sistem penyediaan air bersih memerlukan bangunan air yang besar
(bendung, waduk) dengan pipa transmisi yang panjang, maka dapat dilakukan
pembangunan secara bertahap. Pembangunan bertahap dapat artinya bangunan air
terlebih dahulu kemudian pipa transmisi dan distribusi secara bertahap.
Dapat juga digunakan skema campuran antara dana pemerintah dan swadaya.
Bangunan air dan pipa transmisi dibangun dengan dana pemerintah. Sedangkan
sistem distribusi (sambungan rumah) dibangun swadaya oleh masyarakat.
Aspek Kelembagaan
Masyarakat desa dan masyarakat adat dapat dilibatkan dalam pelestarian sumbersumber air. Caranya dengan mengangkat aturan adat yang melindungi kelestarian
lingkungan. Selain itu masyarakat dapat dilatih dan difasilitasi untuk membentuk
lembaga berupa Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) Pengelola Air Bersih Desa (PAB
Desa). BUM Desa ini menjalankan sistem penyediaan air bersih dengan mengambil
keuntungan dalam jumpah tertentu. Keuntungan ini digunakan untuk merewat dan
meluaskan sistem, termasuk untuk melatih serta menggaji petugas yang
VII-14
mengoperasikan bangunan pengambilan dan pengolahan air bersih. Lembaga yang
dibentuk juga bertanggung jawab pada pengawasan kelestarian sumber air. Lebih
jauh lagi lembaga tersebut dapat menjadi wirausaha (enterpreneur) di bidang air
bersih dengan melakukan perluasan usaha penyediaan air bersih ke desa/dusun lain
Bila skema ini dapat berjalan maka upaya perluasan penyediaan air bersih akan
terbantu karena tidak lagi tergantung pada dana dan bantuan pemerintah.
7.4.
Penyehatan lingkungan permukiman
7.4.1. Persampahan
Semua Program/ Kegiatan bidang Persampahan bertujuan untuk mencapai
masyarakat hidup sehat dan sejahtera dalam lingkungan yang bersih dari sampah,
dan mengacu pada kebijakan dan strategi yang dituangkan dalam Rencana strategis
(Renstra) di Pusat maupun Provinsi dan sesuai dengan kebutuhan dan prioritas
pengembangan daerah.
Kebijakan Pemerintah Kota Pontianak dalam pengelolaan persampahan diarahkan
pada pengelolaan persampahan yang dapat dipergunakan untuk lintas wilayah,
dengan didukung ketersediaan tempat pembuangan sementara (TPS), tempat
pembuangan akhir (TPA) dan armada angkut serta sumber daya manusianya.
Pengembangan sistem prasarana pengelolaan persampahan di Kota Pontianak,
meliputi:
a.
Kerja sama antar wilayah kecamatan dalam penanggulangan masalah
sampah, terutama di wilayah perkotaan;
b. Penempatan
tempat
pembuangan
akhir
(TPA)
sesuai
dengan
persyaratan teknis dengan memperhatikan daya dukung lingkungan;
c.
Pengembangan pengelolaan persampahan dengan teknologi ramah
lingkungan.
Sampah padat umumnya belum diolah. Setiap rumah tangga di desa/dusun
umumnya membakar atau menimbun sampah padat yang mereka hasilkan. Di kotakota kecamatan sampah dikumpulkan kemudian diangkut ke tempat pembuangan
VII-15
akhir. Di tempat pembuangan akhir ini sampah dan air lindi umumnya belum dikelola.
Sampah organik dibiarkan membusuk dan sampah non organik dibiarkan hancur
karena sebab alami atau dimusnahkan dengan cara dibakar.
Sasaran pengembangan prasarana sampah adalah:
1. Menyiapkan lahan untuk pengolahan persampahan dan membuat instalasi
pengolahan sampah terpadu.
2. Menciptakan peluang untuk berusaha dari pengolahan sampah yang
berwawasan lingkungan dengan menerapkan konsep usaha daur ulang
sampah, pemanfaatan kembali sampah, energy recovery (pemulihan energi)
dari sampah dan pengomposan berbahan baku sampah.
3. Mengurangi sampah semaksimal mungkin dimulai dari sumbernya.
4. Mengedepankan peran dan partisipasi aktif masyarakat sebagai mitra dalam
pengelolaan sampah.
5. Memperkuat kapasitas lembaga pengelola persampahan.
6. Mengembangkan kemitraan dengan swasta dalam pengelolaan sampah.
Permasalahan yang dihadapi adalah belum ada rencana induk pengelolaan sampah
padat terpadu yang mampu menyelesaikan persoalan sampah dari sumber sampai
pengolahan akhir. Saat ini belum tersedia Tempat Pembuangan Sampah Sementara
(TPS) dan Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) yang layak secata teknik dan
sosial. Armada kendaraan pengangkut sampah dari TPS ke TPA masih terbatas.
Karena jumlah penduduk masih sedikit dan kepadatannya rendah, maka sampah
padat belum merupakan masalah yang besar. Budaya desa juga berdampak langsung
pada pola konsumsi dan sampah padat yang dihasilkan. Di pedesaan umumnya setiap
orang atau setiap rumah tangga menghasilkan lebih sedikit sampah padat. Komposisi
sampah didominasi oleh sampah organik.
Rencana dan rekomendasi yang akan disampaikan adalah sebagai berikut :
Aspek Teknis
Perlu dilakukan perencanaan prasarana sampah yang dapat menjawab permasalahan
sampah padat sejak dari sumber sampai ke tempat pembuangan akhir. Permasalahan
VII-16
sampah adalah permasalahan yang memiliki banyak sisi dimana masalah budaya,
pendidikan dan ekonomi berperan penting selain masalah teknik. Oleh karena itu
perencanaan yang dimaksudkan adalah perencanaan yang mencakup masalah teknik
dan non teknik (sosial, ekonomi, budaya, pendidikan). Bentuk perencanaan yang
dimaksud adalah rencana induk penanganan sampah perkotaan atau perdesaan.
Selain rencana induk juga dibuat rancangan teknik prasarana sampah yang
disesuaikan dengan karakteristik wilayah.
Aspek Pendanaan
Dana pembangunan prasarana sampah dapat bersumber dari APBN, APBD Provinsi
dan Kabupaten. Dana dapat dibagi untuk perencanaan dan pelaksanaan rencana
pengelolaan (termasuk pengadaan peralatan dan pelatihan kepada masyarakat).
Prasarana sampah dapat dibagi menjadi pembuatan TPS dan TPA, penyediaan
peralatan (mobil pengangkut sampah dan insenerator) serta pelatihan (pelatihan
daur ulang sampah).
Aspek Kelembagaan
Masyarakat dapat dilibatkan dalam pengelolaan sampah padat dengan cara mendidik
mereka untuk mengurangi sampah, menggunakan kembali bahan yang sudah
terpakai atau mendaur ulang. Masyarakat dapat diberdayakan melalui program
pemberian nilai ekonomi pada sampah. Jika volume sampah padat masih kecil dan
kemampuan alam untuk membersihkannya masih cukup (kasus pada daerah dengan
jumlah penduduk kecil dan kepadatan rendah) maka masyarakat diajak serta dengan
cara memberikan pelatihan pemusnahan/pengolahan sampah yang aman.
7.4.2. Air limbah
Air limbah yang dimaksud adalah air limbah permukiman (municipal wasterwater)
yang terdiri atas air limbah domestik (rumah tangga) yang berasal dari air sisa mandi,
cuci, dapur dan tinja manusia dari lingkungan permukiman serta air limbah industri
rumah tangga yang tidak mengandung Bahan Beracun dan Berbahaya (B3). Air limbah
permukiman ini perlu dikelola agar tidak menimbulkan dampak seperti mencemari
VII-17
air permukaan dan air tanah, di samping sangat beresiko menimbulkan penyakit,
seperti: diare, thypus, kolera dan lainnya.
Kota maupun desa yang ada di Kota Pontianak belum memiliki prasarana pengolahan
air limbah yang baik. Pengolahan air limbah baru dilakukan untuk air buangan dari
WC. Teknologi pengolahan yang digunakan umumnya adalah pemisahan lumpur
dalam air limbah menggunakan septic tank. Penggunaan septic tank juga terbatas
hanya pada rumah-rumah yang dibangun di perkotaaan saja. Septic tank yang
digunakan umumnya belum memenuhi ketetentuan teknik yang benar sehingga
belum mampu menghasilkan buangan (effluent) yang memenuhi baku mutu
lingkungan. Selain septic tank, rumah-rumah juga ada yang menggunakan sistem
cubluk. Di perdesaan umumnya tidak dilakukan pengolahan air limbah. Air limbah
dari rumah-rumah di perdesaan dibuang langsung ke tanah atau badan air.
Septic tank atau cubluk hanya digunakan untuk mengolah black water saja,
sedangkan grey water dari dapur, mandi dan cuci umumnya tidak diolah. Air buangan
yang tergolong grey water dibuang langsung ke tanah atau badan air tanpa
pengolahan. Tidak ada saluran pembuang dari rumah-rumah yang dilengkapi dengan
bak pengendap, bak penangkap lemak dan minyak atau saringan sampah padat.
Permasalahan yang dihadapi adalah belum tersedia sistem drainase yang melayani
seluruh kawasan sebabagi satu unit drainase. Lebih jauh lagi drainase belum
terintegrasi dengan sistem pengolahan air kotor. Drainase umumnya bercampur
antara sistem pembuang air hujan dengan sistem pembuang air kotor. Akibatnya air
luapan dari drainase sangat kotor, berpotensi mencemari lingkungan dan dapat
menjadi vektor penyakit.
Karena faktor topografi wilayah (bergelombang sampai berbukit), maka sistem
drainase kawasan dapat menggunakan sistem gravitasi. Sistem ini relatif murah dan
mudah dalam pengoperasiannya.
Rencana pemecahan masalah dan rekomendasi yang diberikan adalah :
VII-18
Aspek Teknis
Perlu disiapkan rancangan teknik septic tank yang mampu mengolah air limbah
hingga menghasilkan buangan sesuai baku mutu. Cubluk perlu ditingkatkan hingga
menjadi septic tank. Septic tank dilengkapi dengan sumur atau bidang resapan. Untuk
grey water digunakan sistem pengolahan sederhana berupa susunan saringan, bak
pengendap atau penangkap lemak dan sumur atau bidang resapan. Karena
pemukiman di wilayah Kota Pontianak sebagian besar terpencar dengan kepadatan
rendah maka sebaiknya digunakan sistem pengolahan air limbah terpisah. Setiap
rumah atau kelompok rumah yang berdekatan memiliki sistem pengolahan air limbah
masing-masing. Sistem pengolahan limbah terpusat pada daerah dengan kepadatan
rendah dan pemukiman terpencar memerlukan biaya investasi yang besar untuk
saluran, pipa dan pompa. Disamping itu bila sistem pengolahan air limbah memiliki
jaringan pipa yang terlalu panjang akan menyebabkan biaya perawatan dan resiko
kegagalan bertambah besar.Sistem pengolahan dapat menggunakan sistem biologi
yang relatif lebih murah dan sesuai dengan kondisi biofisik kawasan.
Aspek Pendanaan
Dana pembangunan prasarana air limbah dapat bersumber dari APBN, APBD Provinsi
dan Kabupaten. Dana dapat dibagi untuk perencanaan dan pelaksanaan konstruksi.
Pembangunan prasarana air limbah dapat dilakukan untuk sistem individual (setiap
rumah) baru kemudian menjadi sistem komunal dengan pusat pengolahan air limbah
kawasan.
Aspek Kelembagaan
Masyarakat dapat dilibatkan dalam pembangunan prasarana air limbah khususnya
pada sistem individual. Peran serta masyarakat dimulai dengan memberikan
pendidikan akan pentingnya lingkungan sehat bebas dari gangguan akibat air limbah
yang tidak diolah. Juga perlu diberikan penjelasan mengenai berbagai resiko
kesehatan akibat pembuangan air limbah tanpa pengolahan. Untuk sistem individual,
setelah dibangun perawatannya dapat diserahkan kepada setiap pemilik rumah.
VII-19
7.4.3. Drainase
Pertumbuhan penduduk dan kepadatan penduduk di perkotaan yang cepat
menimbulkan tekanan terhadap ruang dan lingkungan untuk kebutuhan perumahan,
kawasan jasa perdagangan, industri yang selanjutnya menjadi kawasan terbangun.
Kawasan perkotaan yang terbangun memerlukan adanya dukungan prasarana dan
sarana perkotaan yang baik dan menjangkau kepada masyarakat berpenghasilan
menengah dan rendah.
Dalam penyusunan rencana program investasi infrastruktur Sub Bidang drainase ini
mengacu pada Keputusan Menteri Pekerjaan Umum nomor: 239/KPTS/1987 tentang
Fungsi Utama Saluran Drainase sebagai drainase kota dan fungsi utama sebagai
pengendalian banjir. Selain itu harus memperhatikan keterpaduan pelaksanaannya
dengan prasarana dan sarana kota lainnya (persampahan, air limbah, perumahan dan
tata bangunan serta jalan kota), sehingga dapat meminimalkan biaya pelaksanaan,
biaya operasional dan pemeliharaan.
Penanganan drainase perlu memperhatikan fungsi drainase perkotaan sebagai
prasarana kota yang dilandaskan pada konsep drainase yang berwawasan lingkungan.
Berlainan dengan paradigma lama yang prinsipnya mengalirkan limpasan air hujan ke
badan air penerima secepatnya, tetapi prinsipnya agar air hujan yang jatuh ditahan
dulu agar lebih banyak yang meresap ke dalam tanah melalui bangunan resapan
buatan/ alamiah, seperti: kolam tandon, waduk, sumur resapan, penataan landscape
dll.
Isu-isu strategis dan permasalahan dalam penanganan drainase perkotaan, antara
lain:
-
Kecenderungan perubahan iklim;
-
Perubahan fungsi lahan basah;
-
Belum adanya ketegasan fungsi sistem drainase;
-
Kelengkapan perangkat peraturan;
-
Penanganan drainase belum terpadu;
-
Pengendalian debit puncak.
VII-20
Arah kebijakan Pemerintah Kota Pontianak dalam pengelolaan drainase perkotaan
adalah melindungi kawasan perkotaan dari kerusakan lingkungan yang merugikan,
seperti banjir yang terjadi akibat buangan air hujan dari arah perbukitan, limpasan air
dari kawasan yang lebih tinggi maupun limpasan air hujan di dalam kawasan
perkotaan sendiri.
Sasaran pengembangan air drainase adalah:
1. Memperbaiki kualitas lingkungan dengan meniadakan genangan yang
berpotensi menjadi tempat berbiaknya vektor penyakit atau dapat menjadi
sumber pencemar atau yang dapat menjadi tempat transmisi penyakit.
2. Mencegah terjadinya banjir di wilayah pemukiman penduduk.
3. Memperbaiki jaringan, memperluas jaringan dan merawat jaringan.
4. Meningkatkan mutu jarigan drainase menuju sistem drainase yang lebih
sehat. Misalnya dengan pemisahan antara saluran air hujan dan saluran air
kotor, penggunaan saluran tertutup untuk air kotor dan konstruksi saluran
yang lebih baik sehingga mengurangi kontaminasi air tanah oleh air kotor dari
dalam saluran.
Permasalahan yang dihadapi adalah belum tersedia sistem drainase yang melayani
seluruh kawasan sebagai satu unit drainase. Lebih jauh lagi drainase belum
terintegrasi dengan sistem pengolahan air kotor. Drainase umumnya bercampur
antara sistem pembuang air hujan dengan sistem pembuang air kotor. Akibatnya air
luapan dari drainase sangat kotor, berpotensi mencemari lingkungan dan dapat
menjadi vektor penyakit.
Karena faktor topografi wilayah (bergelombang sampai berbukit), maka sistem
drainase kawasan dapat menggunakan sistem gravitasi. Sistem ini relatif murah dan
mudah dalam pengoperasiannya.
Rencana pemecahan masalah dan rekomendasi adalah sebagai berikut :
Aspek Teknis
VII-21
Rancangan sistem drainase harus dibuat dengan mengutamakan penggunaan bahan
lokal sehingga biaya transportasi bahan dapat ditekan (terkait dengan keterisolasian
daerah). Selain itu sistem pengoperasian dan perawatannya harus sesederhana
mungkin sehingga masyarakat dapat melakukannya sendiri. Karena sifat pemukiman
yang terpencar dengan kerapatan penduduk rendah, maka sistem cluster dengan
beberapa titik pembuangan ke badan air dapat dipertimbangkan sebagai pengganti
sistem terpusat. Sistem terpusat di daerah yang kepadatannya rendah dengan
perumahan/pemukiman terpencar memerlukan saluran drainase yang panjang.
Akibatnya biaya pembangunan dan pemeliharaan akan menjadi mahal.
Aspek Pendanaan
Dana pembangunan sistem drainase dapat bersumber dari APBN, APBD Provinsi dan
Kabupaten. Dana dapat dibagi untuk perencanaan dan pelaksanaan konstruksi.
Pembangunan sistem drianase dapat dilakukan secara bertahap berdasarkan skala
kebutuhan penangan genangan/banjir. Pembangunan bertahap artinya dimulai dari
daerah yang paling memerlukan untuk kemudian diperluas hingga melayani seluruh
kawasan kota/desa/dusun.
Aspek Kelembagaan
Masyarakat dapat dilibatkan dalam pemeliharaan sistem drainase melalui pendidikan
akan pentingnya lingkungan sehat bebas dari genangan. Selain itu melalui
penyadaran bahwa lahan yang bebas dari genangan akan semakin tinggi nilai
ekonominya, maka masyarakat akan secara sadar dengan swadaya mereka berusaha
merawat dan menjaga sistem drianase yang sudah dibangun.
VII-22
RENCANA PEMBANGUNAN
INFRASTRUKTUR CIPTA KARYA
Rencana pembangunan infrastruktur bidang Cipta Karya mencakup empat sektor
yaitu
pengembangan
permukiman,
penataan
bangunan
dan
lingkungan,
pengembangan air minum, serta pengembangan penyehatan lingkungan permukiman
yang terdiri dari air limbah, persampahan, dan drainase. Penjabaran perencanaan
teknis untuk tiap-tiap sector dimulai dari pemetaan isu-isu strategis yang
mempengaruhi, penjabaran kondisi eksisting sebagai baseline awal perencanaan,
serta permasalahan dan tantangan yang harus diantisipasi.
7.1.
Pengembangan permukiman
Berdasarkan UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman,
permukiman didefinisikan sebagai bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas
lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum,
serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain dikawasan perkotaan atau
perdesaan.
Kegiatan pengembangan permukiman terdiri dari pengembangan permukiman
kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan. Pengembangan permukiman kawasan
perkotaan terdiri dari pengembangan kawasan permukiman baru dan peningkatan
kualitas permukiman kumuh, sedangkan untuk pengembangan kawasan perdesaan
terdiri dari pengembangan kawasan permukiman perdesaan, kawasan pusat
pertumbuhan, serta desa tertinggal.
7.1.1. Arahan kebijakan dan lingkup kegiatan
Arahan kebijakan pengembangan permukiman mengacu pada amanat peraturan
VII-1
perundangan, antara lain:
1.
Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional.
Arahan RPJMN Tahap3 (2015-2019) menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan
hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukung bagi seluruh
masyarakat terus meningkat, sehingga kondisi tersebut mendorong terwujudnya
kota tanpa permukiman kumuh pada awal tahapan RPJMN berikutnya.
2.
Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
Pasal 4 mengamanatkan bahwa ruang lingkup penyelenggaraan perumahan dan
kawasan permukiman juga mencakup penyelenggaraan perumahan (butir c),
penyelenggaraan kawasan permukiman (butir d), pemeliharaan dan perbaikan
(butir e), serta pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan
kumuh dan permukiman kumuh (butir f).
3.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.
Pasal 15 mengamanatkan bahwa pembangunan rumah susun umum, rumah
susun khusus, dan rumah susun Negara merupakan tanggung jawab pemerintah.
4.
Peraturan Presiden No.15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan.
Peraturan ini menetapkan salah satunya terkait dengan penanggulangan
kemiskinan yang diimplementasikan dengan penanggulangan kawasan kumuh.
5.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 14/PRT/M/2010 tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Tata Ruang.
Peraturan ini menetapkan target berkurangnya luas permukiman kumuh di
kawasan perkotaan sebesar 10% pada tahun2 014.
Lingkup kegiatan Direktorat Pengembangan Permukiman adalah:
a.
Menyusun kebijakan teknis dan strategi pengembangan permukiman di
perkotaan dan perdesaan;
VII-2
b. Mengadakan
pembinaan
teknik,
pengawasan
teknik
dan
fasilitasi
pengembangan kawasan permukiman baru di perkotaan dan pengembangan
kawasan perdesaan potensial;
c.
Mengadakan pembinaan teknik, pengawasan teknik dan fasilitasi peningkatan
kualitas permukiman
kumuh
termasuk peremajaan
kawasan dan
pembangunan rumah susun sederhana;
d. Mengadakan pembinaan teknik, pengawasan teknik dan fasilitasi peningkatan
kualitas permukiman di kawasan tertinggal, terpencil, daerah perbatasan dan
pulau-pulau kecil termasuk penanggulangan bencana alam dan kerusuhan sosial;
e.
Melaksanakan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria, serta
pembinaan kelembagaan dan peran serta masyarakat di bidang pengembangan
permukiman;
f.
Melaksanakan tata usaha Direktorat
Isu Strategis Nasional yang berpengaruh terhadap pegembangan permukiman :
Mengimplementasikan konsepsi pembangunan berkelanjutan serta mitigasi dan
adaptasi terhadap perubahan iklim.
Percepatan pencapaian target MDG’s 2020 yaitu penurunan proporsi rumah
tangga kumuh perkotaan.
Perlunya dukungan terhadap pelaksanaan Program-Program Directive Presiden
yang tertuang dalam MP3EI dan MP3KI.
Percepatan
pembangunan
di
wilayah
timur
Indonesia
(Provinsi
NTT,
ProvinsiPapua,dan Provinsi PapuaBarat) untuk mengatasi kesenjangan.
Meminimalisir penyebab dan dampak bencana sekecil mungkin.
Meningkatnya urbanisasi yang berimplikasi terhadap proporsi penduduk
perkotaan yang bertambah, tingginya kemiskinan penduduk perkotaan, dan
bertambahnya kawasan kumuh.
Belum optimalnya pemanfaatan Infrastruktur Permukiman yang sudah dibangun.
Perlunya
kerjasama
lintas sektor untuk mendukung sinergitas dalam
pengembangan kawasan permukiman.
Belum optimalnya peran pemerintah daerah dalam mendukung pembangunan
VII-3
permukiman. Ditopang oleh belum optimalnya kapasitas kelembagaan dan
kualitas sumberdaya manusia serta perangkat organisasi penyelenggara dalam
memenuhi standar pelayanan minimal di bidang pembangunan perumahan dan
permukiman.
Isu strategis Kota Pontianak dapat diidentifikasi seperti yang terlihat pada tebel
berikut :
Tabel 7.1.
ISU-ISU STRATEGIS SEKTOR PENGEMBANGAN PERMUKIMAN KOTA PONTIANAK
Isu Strategis
1. Penguasaan status tanah pada kawasan
permukiman yang berada pada lahan yang
tidak sesuai peruntukan.
Keterangan
Penertiban Kawasan Permukiman
Penataan dan Perbaikan Lingkungan Permukiman
Penyiapan Lokasi untuk Resettlement
Pengembangan Kelembagaan formal pengelola perumahan
Pembangunan Kawasan Permukiman di lokasi baru
3. Memenuhi Kebutuhan perumahan dan
penyediaan perumahan bagi warga
kabupaten yang tidak mampu.
Memperpendek proses pengurusan perijinan
Membuat MOU dengan lembaga keuangan untuk
pengadaan permukiman warga Kota Pontianak
4. optimalisasi kapasitas kelembagaan dalam
memeberikan fasilitas untuk mendapatkan
tempat tinggal yang layak huni bagi warga
KKR.
Pengembangan Lembaga Formal Pengelolaan Perumahan
Revitalisasi Kawasan
5. Pemanfaatan infrastruktur permukiman yang
sudah dibangun dan perlu kerja sama lintas
sektor.
Peningkatan dan Pembangunan Infrastruktur Permukiman
Perkotaan
Peningkatan kerjasama dalam pengelolaan Infrastruktur
Permukiman Perkotaan
6. Memberikan kemudahan bagi pengembang
kawasan permukiman.
Mendorong Realisasi Pembangunan Perumahan sesuai
lahan peruntukan dan ijin lokasi
Memfasilitasi Penyiapan Infrastruktur Perkotaan
Penerapan teknologi tepat guna/ramah lingkungan dalam
pengembangan permukiman dan Infrastrukturnya.
Penerapan Model Management resiko berbasis masyarakat
9. Memelihara permukiman dan infrastruktur
pendukungnya.
Pengembangan Managemen Permukiman dan
Infrastrukturnya berbasis Masyarakat
10. Menguatkan kelembagaan masyarakat dalam
pengelolaan permukiman dan infrastruktur
pendukungnya.
Membangun Jejaring Kerjasama kelembagaan masyarakat
antar kawasan Permukiman
2. Meminimalisir penyebab dampak bencana
dan kawasan kumuh
7. Mengembangkan Permukiman dengan
memanfaatkan teknologi tepat guna/ ramah
lingkungan.
8. Mengembangkan dan mensosialisasikan
managemen adaptasi terhadap bencana dan
perubahan iklim.
VII-4
7.2.
Penataan bangunan dan lingkungan
Penataan bangunan dan lingkungan adalah serangkaian kegiatan yang diperlukan
sebagai bagian dari upaya pengendalian pemanfaatan ruang, terutama untuk
mewujudkan lingkungan binaan, baik di perkotaan maupun di perdesaan, khususnya
wujud fisik bangunan gedung dan lingkungannya.
Undang-undang nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan Peraturan
Pemerintah nomor 36 tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang
nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung serta pelaksanaan lebih detail di
bawahnya mengamanatkan bahwa penyelenggaraan bangunan gedung merupakan
kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan hanya bangunan gedung
negara dan rumah negara yang merupakan kewenangan pusat.
Selain itu, Undang-undang nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman
menggariskan bahwa peningkatan kualitas lingkungan permukiman dilaksanakan
secara menyeluruh, terpadu dan bertahap, mengacu kepada Rencana Tata Bangunan
dan Lingkungan sebagai penjabaran rencana tata ruang wilayah (RTRW).
1.
Strategi Penataan Bangunan dan Lingkungan
Strategi dalam mendukung keberhasilan penataan bangunan dan lingkungan,
antara lain:
a.
Menyelenggarakan penataan bangunan gedung agar tertib, fungsional,
andal dan efisien;
b.
Menyelenggarakan penataan lingkungan permukiman agar produktif
dan berjati diri;
c.
Menyelenggarakan penataan dan revitalisasi kawasan dan bangunan
agar dapat memberikan nilai tambah fisik, sosial dan ekonomi;
d.
Menyelenggarakan
penataan
bangunan
dan
lingkungan
untuk
mewujudkan arsitektur perkotaan dan pelestarian arsitektur bangunan
VII-5
gedung yang dilindungi dan dilestarikan untuk menunjang kearifan
budaya lokal;
e.
Mengembangkan teknologi dan rekayasa arsitektur bangunan gedung
untuk
menunjang
pembangunan
regional/
internasional
yang
berkelanjutan.
2.
Kebijakan Penataan Bangunan dan Lingkungan
Kebijakan penataan bangunan dan lingkungan, yaitu:
a.
Meningkatkan
pembinaan
penyelenggaraan
Bangunan
Gedung,
termasuk bangunan gedung dan rumah negara;
b. Meningkatkan pemahaman, kesadaran dan kemampuan masyarakat
untuk memenuhi persyaratan Bangunan Gedung dan Penataan
Lingkungan Permukiman;
c.
Meningkatkan kapasitas penyelenggara dalam penataan lingkungan dan
permukiman;
d. Meningkatkan kualitas lingkungan untuk mendukung pengembangan
jatidiri dan produktivitas masyarakat;
e.
Mengembangkan kawasan yang memiliki peran dan potensi strategis
bagi pertumbuhan kota;
f.
Mengembangkan kemitraan antara pemrintah, swasta dan lembaga
nasional maupun internasional lainnya di bidang Bangunan Gedung dan
Penataan Lingkungan Permukiman;
g.
Mewujudkan
arsitektur
perkotaan
yang
memperhatikan/
mempertimbangkan khasanah arsitektur lokal dan nilai tradisional;
h. Menjaga kelestarian nilai-nilai arsitektur Bangunan Gedung yang
dilindungi dan dilestarikan serta keahlian membangun (seni dan
budaya);
i.
Mendorong upaya penelitian dan pengembangan teknologi rekayasa
arsitektur Bangunan Gedung melalui kerjasama dengan pihak-pihak
yang kompeten.
3. Program/Kegiatan Penataan Bangunan dan Lingkungan
VII-6
Program/ kegiatan penataan bangunan gedung dan lingkungan yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut:
a.
Kegiatan Pembinaan Teknis Bangunan dan Gedung
1) Kegiatan diseminasi peraturan perundang-undangan penataan
bangunan dan lingkungan;
2) Peningkatan dan pemantapan kelembagaan bangunan dan gedung;
3) Pengembangan sistem informasi bangunan gedung dan arsitektur;
4) Pelatihan teknis tenaga pendata bangunan gedung dan keselamatan
gedung;
5) Pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara;
6) Pembinaan teknis pembangunan gedung negara;
7) Penyusunan Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK);
8) Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) Bangunan
Gedung;
9) Percontohan pendataan bangunan gedung;
10) Percontohan aksesibilitas pada bangunan gedung dan lingkungan;
11) Rehabilitasi bangunan gedung negara;
12) Dukungan prasarana dan sarana Pusat Informasi Pengembangan
Permukiman dan Bangunan (PIPPB).
b. Kegiatan Penataan Lingkungan Permukiman
1) Penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL);
2) Bantuan teknis pengelolaan Ruang terbuka Hijau (RTH);
3) Pembangunan prasarana dan sarana peningkatan lingkungan
permukiman kumuh dan nelayan;
4) Pembangunan
prasarana
dan
sarana
penataan
lingkungan
permukiman tradisional;
c.
Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat di Perkotaan
1) Bantuan teknis penanggulangan kemiskinan di perkotaan;
2) Bantuan penanggulangan kemiskinan terpadu (PAKET) dan
Replikasi.
4.
Kebijakan Penataan Bangunan Gedung dan Lingkungan di Kota Pontianak
VII-7
Kebijakan Pemerintah Kota Pontianak dalam penataan gedung dan lingkungan
didasarkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Pontianak, yaitu untuk:
a.
Mewujudkan pemanfaatan ruang daerah yang serasi dan optimal sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan daya dukung lingkungan serta
sesuai dengan kebijaksanaan pembangunan nasional dan daerah yang
berkelanjutan.
b.
Mewujudkan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan dalam
pengelolaan kawasan, untuk menjamin tetap berlangsungnya konservasi
air dan tanah, menjamin tersedianya air tanah dan permukaan serta
penanggulangan banjir.
c.
Mengembangkan perekonomian wilayah yang produktif, efektif dan
efisien
berdasarkan
karakteristik
wilayah,
bagi
terciptanya
kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan dan pembangunan yang
berkelanjutan.
Strategi pemanfaatan ruang daerah merupakan pelaksanaan kebijakan penataan
ruang daerah yang meliputi:
a.
Mendorong terselenggaranya pengembangan kawasan yang berdasar
atas keterpaduan antar perkotaan dan perdesaan sebagai satu kesatuan
wilayah perencanaan;
b.
Mendorong terselenggaranya pembangunan kawasan yang dapat
menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah, menjamin
tersedianya air tanah dan air permukaan serta penanggulangan banjir
dengan
mempertimbangkan
daya
dukung
lingkungan
yang
berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan.
c.
Mendorong pengembangan perekonomian wilayah yang produktif,
efektif dan efisien berdasarkan karakteristik wilayah bagi terciptanya
kesejahteraan masyarakat dan pembangunan yang berkelanjutan.
VII-8
Indikator program dan kegiatan pokok yang akan dilakukan yaitu:
1
2
3
Indikator Program
Uraian
Tingkat kesesuaian
peruntukan lahan dan
bangunan dengan RTRW,
RDTR dan RTBL
Satuan
%
Kegiatan Pokok
1 Penyusunan kebijakan dan sosialisasi
\tentang penyusunan rencana tata ruang
2 Penetapan kebijakan tentang RDTRK, RTRK,
dan RTBL
Jumlah pelanggaran
terhadap RTRW, RDTR dan
RTBL
kasus
Jumlah pelanggaran
terhadap RTRW, RDTR dan
RTBL yang ditindaklanjuti
kasus
3 Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah
4 Penyusunan Rencana Detail dan rencana
teknis Tata Ruang Kawasan
5 Penyusunan Rencana Tata Bangunan dan
Lingkungan
6 Penyusunan rancangan peraturan daerah
tentang RTRW
7 Fasilitasi peningkatan peran serta
masyarakat dalam perencanaan tata ruang
8 Revisi rencana tata ruang
9 Pelatihan aparat dalam perencanaan tata
ruang
10 Survey dan pemetaan
11 Koordinasi dan fasilitasi penyusunan
rencana tata ruang lintas
4
Jumlah kebijakan tentang
pemanfaatan ruang yang
berhasil disusun
buah
11 Penyusunan dan sosialisasi kebijakan
perizinan dan pengendalian pemanfaatan
ruang
12 Penyusunan norma, standar, dan kriteria
pemanfaatan ruang
5
Tingkat kesesuaian
pemanfaatan ruang dengan
peruntukannya
%
13 Fasilitasi peningkatan peran serta
masyarakat dalam pemanfaatan ruang
14 Survey dan pemetaan
15 Pelatihan aparat dalam pemanfaatan ruang
VII-9
Indikator Program
Uraian
Satuan
Kegiatan Pokok
16 Koordinasi dan fasilitasi penyusunan
pemanfaatan ruang lintas
6
Tingkat pemenuhan
kebutuhan sarana dan
prasarana rumah
sederhana sehat
%
17 Penetapan kebijakan, strategi, dan
program perumahan
18 Penyusunan Norma, Standar, Pedoman,
dan Manual (NSPM)
19 Koordinasi penyelenggaraan
pengembangan perumahan
20 Sosialisasi peraturan perundang-undangan
di bidang perumahan
21 Koordinasi pembangunan perumahan
dengan lembaga/badan usaha
22 Fasilitasi dan stimulasi pembangunan
perumahan masyarakat kurang
23 Pembangunan sarana dan prasarana
rumah sederhana sehat
7
Prosentase jumlah daerah
kumuh yang telah ditata
dengan baik
%
24 Koordinasi pengawasan dan pengendalian
pelaksanaan kebijakan tentang
8
Prosentase kawasan
permukiman yang sudah
memiliki sistem drainase
yang baik
%
25 Penyediaan sarana air bersih dan sanitasi
dasar terutama bagi masyarakat
9
Jumlah rumah tangga yang
telah terlayani air bersih
RT
27 Pengendalian dampak resiko pencemaran
lingkungan
1
0
Terpenuhinya kebutuhan
perumahan dan sanitasi
yang layak dan sehat
%
28 Menetapan kebijakan dan strategi
penyelenggaraan keserasian kawasan dan
lingkungan hunian berimbang
26 Penyuluhan dan pengawasan kualitas
lingkungan sehat perumahan
VII-10
7.2.1. Permasalahan dan potensi
Permasalahan yang dihadapi adalah belum ada rencana tata ruang wilayah
perdesaan dan kota kecamatan. Pertumbuhan permukiman berlangsung secara
spontan. Belum dilakukan pengaturan letak bangunan dan fasilitas umum yang dapat
menciptakan lingkungan sehat, aman dan nyaman.
Rendahnya kepadatan dan
tersedianya lahan memberikan peluang untuk dapat menata permukiman menjadi
lebih baik. Tata ruang dapat dibuat sebelum permukiman tumbuh menjadi sangat
padat dan mengkonsumsi semua ruang terbuka yang ada.
7.2.2. Rencana pemecahan masalah dan rekomendasi
Aspek Teknis
Perlu disusun tata ruang wilayah perdesaan dan kota kecamatan yang disesuaikan
dengan karakteristik wilayah. Tata ruang juga harus sesuai dengan karakteristik
wilayah. Selain tata ruang juga diperlukan perangkat aturan untuk mengatur tata cara
membangun, apa saja yang harus disediakan oleh setiap orang yang membangun
rumah atau perumahan (fasilitas pembuangan dan pengolahan air kotor, fasilitas
pengolahan sampah, hidran, ruang terbuka), batas-batas bangunan (garis sempadan
bangunan, jarak antar angunan yang aman terhadap bahaya kebakaran).
Aspek Pendanaan
Dana investasi pengembangan permukiman dapat bersumber dari APBN, APBD
Provinsi dan Kabupaten. Dana digunakan untuk menyusun rencana tata ruang,
peraturan daerah tentang tata ruang dan membuat model-model percontohan
permukiman yang layak huni, sehat, aman dan nyaman. Dana tersebut juga dapat
diinvestasikan untuk perbaikan permukiman yang sudah ada.
Aspek Kelembagaan
Masyarakat perlu mendapatkan informasi secara lengkap mngenai rencana tata
ruang dan manfaat mengikuti aturan tata ruang bagi kehidupan. Penyampaian
informasi dilakukan melalui kampanye rencana tata ruang dan peraturan tentang tata
VII-11
ruang. Lembaga pemerintah yang mengawasi rencana tata ruang dan bagaiman
aturan mengenai tata ruang dijalankan perlu mendapatkan penguatan. Tujuannya
agar aturan tata ruang dapat dijalankan dan tidak menjadi korban berbagai
kepentingan terutama kepentingan ekonomi.
7.3.
Sistem penyediaan air minum
Pelayanan air minum merupakan komponen yang strategis dalam pembangunan dan
merupakan
salah
satu
entry
point
dalam
penanggulangan
kemiskinan.
Pengembangan dan pelayanan air minum adalah untuk meningkatkan pelayanan air
minum di perdesaan maupun perkotaan, khususnya bagi masyarakat miskin di
kawasan rawan air dan meningkatkan keikutsertaan swasta dalam investasi
pembangunan prasarana dan sarana air minum di perkotaan.
Penyusunan rencana program investasi infrastruktur Sub Bidang Pengembangan Air
Minum harus memperhatikan Rencana Induk Pengembangan Sistem Penyediaan Air
Minum (RI-SPAM) sebagai acuan/pedoman dalam perencanaan dan pelaksanaan
pengembangan air minum pada suatu daerah. Pemerintah Kota Pontianak saat ini
telah menyelesaikan Studi Identifikasi Sumber Air Baku Potensial sehingga
diharapkan dapat menjadi acuan/pedoman dalam penyediaan air untuk berbagai
keperluan termasuk air minum baik di kawasan perkotaan dan perdesaan
Beberapa desa di Kota Pontianak sudah memiliki sistem penyediaan air bersih
perdesaan. Pada beberapa lokasi sistem ini juga sudah dilengkapi dengan bangunan
pengolahan sederhana. Transmisi dan distribusinya dilakukan dengan saluran
tertutup (pipa) dan bangunan pengambilan umumnya berupa bangunan penangkap
mata air (broncaptering).
Beberapa dusun dan desa menyediakan sistem air bersihnya secara swadaya dengan
menggunakan material lokal seperti bambu untuk penyaluran air bersih. Kondisi
topografi yang bergelombang dan berkontur tajam menyediakan beda tinggi yang
cukup untuk menyalurkan air menggunakan gaya gravitasi.
VII-12
Sasaran pengembangan air bersih adalah:
1. Perluasan pelayanan air bersih perdesaan melalui pemanfataan sumbersumber air baru dan perluasan jaringan transmisi/distribusi.
2. Penambahan kapasitas pelayanan sehingga selain dapat memenuhi
kebutuhan minimum per orang juga dapat menambah jumlah orang yang
dapat dilayani. Penambahan kapasitas pelayanan juga berarti perluasan
kawasan yang dapat dilayani dengan sistem penyediaan air bersih.
3. Pembangunan instalasi air bersih di kota-kota pusat pertumbuhan baru.
4. Membangun sarana pengolahan air bersih di setiap wilayah kecamatan
sehingga
air dari
sumber
dapat ditingkatkan
kualitasnya
sebelum
didistribusikan ke penduduk.
5. Menyediakan pelayanan air bersih yang andal baik dari segi kualitas, kuantitas
maupun kontinuitas.
Permasalahan yang dihadapi adalah ancaman kelestarian sumber-sumber air.
Perubahan penggunaan lahan (tata guna lahan) yang tidak terkendali akan
mengancam kelestarian sumber-sumber air seperti mata air pegunungan, sungai dan
air tanah (dalam maupun dangkal). Penataan kawasan dan pengaturan penggunaan
lahan dalam bentu Peraturan Daerah Tata Ruang Kabupaten mutlak diperlukan untuk
melindungi dan menjamin kelestarian sumber-sumber air.
Potensi ketersediaan air di Kota Pontianak cukup besar, hanya saja belum
dimanfaatkan sepenuhnya karena sebagian besar kawasan masih terisolir. Oleh
karena itu pembukaan jalan poros akan membantu percepatan penyediaan sarana air
bersih. Potensi cadangan air tawar yang besar pada daerah yang bergelombang dan
memiliki topografi tajam dapat dimanfaatkan untuk menyediakan air berih secara
murah. Murah karena air mengalir menggunakan gaya gravitasi tanpa memerlukan
pompa. Artinya pasokan energi dari luar dalam proses penyediaan air bersih dapat
dikurangi, hanya terbatas pada unit pengolahan dan pada titik-titik simpul distribusi
pemukiman.
VII-13
Permasalahan dan rekomendasi yang disampaikan adalah sebagai berikut :
Aspek Teknis
Rancangan sistem penyediaan air bersih harus dibuat dengan mengutamakan
penggunaan bahan lokal sehingga biaya transportasi bahan dapat ditekan (terkait
dengan keterisolasian daerah). Selain itu sistem pengoperasian dan perawatannya
harus sesederhana mungkin sehingga masyarakat dapat melakukannya sendiri.
Karena sifat pemukiman yang terpencar dengan kerapatan penduduk rendah, maka
sistem individual atau sistem cluster dapat dipertimbangkan sebagai pengganti
sistem terpusat. Sistem terpusat di daerah yang kepadatannya rendah dengan
perumahan/pemukiman terpencar memerlukan jaringan transmisi dan distribusi
yang panjang. Akibatnya biaya pembangunan dan pemeliharaan akan menjadi mahal.
Aspek Pendanaan
Dana pembangunan sistem penyediaan air bersih dapat bersumber dari APBN, APBD
Provinsi dan Kabupaten. Dana dapat dibagi untuk perencanaan dan pelaksanaan
konstruksi. Bila sistem penyediaan air bersih memerlukan bangunan air yang besar
(bendung, waduk) dengan pipa transmisi yang panjang, maka dapat dilakukan
pembangunan secara bertahap. Pembangunan bertahap dapat artinya bangunan air
terlebih dahulu kemudian pipa transmisi dan distribusi secara bertahap.
Dapat juga digunakan skema campuran antara dana pemerintah dan swadaya.
Bangunan air dan pipa transmisi dibangun dengan dana pemerintah. Sedangkan
sistem distribusi (sambungan rumah) dibangun swadaya oleh masyarakat.
Aspek Kelembagaan
Masyarakat desa dan masyarakat adat dapat dilibatkan dalam pelestarian sumbersumber air. Caranya dengan mengangkat aturan adat yang melindungi kelestarian
lingkungan. Selain itu masyarakat dapat dilatih dan difasilitasi untuk membentuk
lembaga berupa Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) Pengelola Air Bersih Desa (PAB
Desa). BUM Desa ini menjalankan sistem penyediaan air bersih dengan mengambil
keuntungan dalam jumpah tertentu. Keuntungan ini digunakan untuk merewat dan
meluaskan sistem, termasuk untuk melatih serta menggaji petugas yang
VII-14
mengoperasikan bangunan pengambilan dan pengolahan air bersih. Lembaga yang
dibentuk juga bertanggung jawab pada pengawasan kelestarian sumber air. Lebih
jauh lagi lembaga tersebut dapat menjadi wirausaha (enterpreneur) di bidang air
bersih dengan melakukan perluasan usaha penyediaan air bersih ke desa/dusun lain
Bila skema ini dapat berjalan maka upaya perluasan penyediaan air bersih akan
terbantu karena tidak lagi tergantung pada dana dan bantuan pemerintah.
7.4.
Penyehatan lingkungan permukiman
7.4.1. Persampahan
Semua Program/ Kegiatan bidang Persampahan bertujuan untuk mencapai
masyarakat hidup sehat dan sejahtera dalam lingkungan yang bersih dari sampah,
dan mengacu pada kebijakan dan strategi yang dituangkan dalam Rencana strategis
(Renstra) di Pusat maupun Provinsi dan sesuai dengan kebutuhan dan prioritas
pengembangan daerah.
Kebijakan Pemerintah Kota Pontianak dalam pengelolaan persampahan diarahkan
pada pengelolaan persampahan yang dapat dipergunakan untuk lintas wilayah,
dengan didukung ketersediaan tempat pembuangan sementara (TPS), tempat
pembuangan akhir (TPA) dan armada angkut serta sumber daya manusianya.
Pengembangan sistem prasarana pengelolaan persampahan di Kota Pontianak,
meliputi:
a.
Kerja sama antar wilayah kecamatan dalam penanggulangan masalah
sampah, terutama di wilayah perkotaan;
b. Penempatan
tempat
pembuangan
akhir
(TPA)
sesuai
dengan
persyaratan teknis dengan memperhatikan daya dukung lingkungan;
c.
Pengembangan pengelolaan persampahan dengan teknologi ramah
lingkungan.
Sampah padat umumnya belum diolah. Setiap rumah tangga di desa/dusun
umumnya membakar atau menimbun sampah padat yang mereka hasilkan. Di kotakota kecamatan sampah dikumpulkan kemudian diangkut ke tempat pembuangan
VII-15
akhir. Di tempat pembuangan akhir ini sampah dan air lindi umumnya belum dikelola.
Sampah organik dibiarkan membusuk dan sampah non organik dibiarkan hancur
karena sebab alami atau dimusnahkan dengan cara dibakar.
Sasaran pengembangan prasarana sampah adalah:
1. Menyiapkan lahan untuk pengolahan persampahan dan membuat instalasi
pengolahan sampah terpadu.
2. Menciptakan peluang untuk berusaha dari pengolahan sampah yang
berwawasan lingkungan dengan menerapkan konsep usaha daur ulang
sampah, pemanfaatan kembali sampah, energy recovery (pemulihan energi)
dari sampah dan pengomposan berbahan baku sampah.
3. Mengurangi sampah semaksimal mungkin dimulai dari sumbernya.
4. Mengedepankan peran dan partisipasi aktif masyarakat sebagai mitra dalam
pengelolaan sampah.
5. Memperkuat kapasitas lembaga pengelola persampahan.
6. Mengembangkan kemitraan dengan swasta dalam pengelolaan sampah.
Permasalahan yang dihadapi adalah belum ada rencana induk pengelolaan sampah
padat terpadu yang mampu menyelesaikan persoalan sampah dari sumber sampai
pengolahan akhir. Saat ini belum tersedia Tempat Pembuangan Sampah Sementara
(TPS) dan Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) yang layak secata teknik dan
sosial. Armada kendaraan pengangkut sampah dari TPS ke TPA masih terbatas.
Karena jumlah penduduk masih sedikit dan kepadatannya rendah, maka sampah
padat belum merupakan masalah yang besar. Budaya desa juga berdampak langsung
pada pola konsumsi dan sampah padat yang dihasilkan. Di pedesaan umumnya setiap
orang atau setiap rumah tangga menghasilkan lebih sedikit sampah padat. Komposisi
sampah didominasi oleh sampah organik.
Rencana dan rekomendasi yang akan disampaikan adalah sebagai berikut :
Aspek Teknis
Perlu dilakukan perencanaan prasarana sampah yang dapat menjawab permasalahan
sampah padat sejak dari sumber sampai ke tempat pembuangan akhir. Permasalahan
VII-16
sampah adalah permasalahan yang memiliki banyak sisi dimana masalah budaya,
pendidikan dan ekonomi berperan penting selain masalah teknik. Oleh karena itu
perencanaan yang dimaksudkan adalah perencanaan yang mencakup masalah teknik
dan non teknik (sosial, ekonomi, budaya, pendidikan). Bentuk perencanaan yang
dimaksud adalah rencana induk penanganan sampah perkotaan atau perdesaan.
Selain rencana induk juga dibuat rancangan teknik prasarana sampah yang
disesuaikan dengan karakteristik wilayah.
Aspek Pendanaan
Dana pembangunan prasarana sampah dapat bersumber dari APBN, APBD Provinsi
dan Kabupaten. Dana dapat dibagi untuk perencanaan dan pelaksanaan rencana
pengelolaan (termasuk pengadaan peralatan dan pelatihan kepada masyarakat).
Prasarana sampah dapat dibagi menjadi pembuatan TPS dan TPA, penyediaan
peralatan (mobil pengangkut sampah dan insenerator) serta pelatihan (pelatihan
daur ulang sampah).
Aspek Kelembagaan
Masyarakat dapat dilibatkan dalam pengelolaan sampah padat dengan cara mendidik
mereka untuk mengurangi sampah, menggunakan kembali bahan yang sudah
terpakai atau mendaur ulang. Masyarakat dapat diberdayakan melalui program
pemberian nilai ekonomi pada sampah. Jika volume sampah padat masih kecil dan
kemampuan alam untuk membersihkannya masih cukup (kasus pada daerah dengan
jumlah penduduk kecil dan kepadatan rendah) maka masyarakat diajak serta dengan
cara memberikan pelatihan pemusnahan/pengolahan sampah yang aman.
7.4.2. Air limbah
Air limbah yang dimaksud adalah air limbah permukiman (municipal wasterwater)
yang terdiri atas air limbah domestik (rumah tangga) yang berasal dari air sisa mandi,
cuci, dapur dan tinja manusia dari lingkungan permukiman serta air limbah industri
rumah tangga yang tidak mengandung Bahan Beracun dan Berbahaya (B3). Air limbah
permukiman ini perlu dikelola agar tidak menimbulkan dampak seperti mencemari
VII-17
air permukaan dan air tanah, di samping sangat beresiko menimbulkan penyakit,
seperti: diare, thypus, kolera dan lainnya.
Kota maupun desa yang ada di Kota Pontianak belum memiliki prasarana pengolahan
air limbah yang baik. Pengolahan air limbah baru dilakukan untuk air buangan dari
WC. Teknologi pengolahan yang digunakan umumnya adalah pemisahan lumpur
dalam air limbah menggunakan septic tank. Penggunaan septic tank juga terbatas
hanya pada rumah-rumah yang dibangun di perkotaaan saja. Septic tank yang
digunakan umumnya belum memenuhi ketetentuan teknik yang benar sehingga
belum mampu menghasilkan buangan (effluent) yang memenuhi baku mutu
lingkungan. Selain septic tank, rumah-rumah juga ada yang menggunakan sistem
cubluk. Di perdesaan umumnya tidak dilakukan pengolahan air limbah. Air limbah
dari rumah-rumah di perdesaan dibuang langsung ke tanah atau badan air.
Septic tank atau cubluk hanya digunakan untuk mengolah black water saja,
sedangkan grey water dari dapur, mandi dan cuci umumnya tidak diolah. Air buangan
yang tergolong grey water dibuang langsung ke tanah atau badan air tanpa
pengolahan. Tidak ada saluran pembuang dari rumah-rumah yang dilengkapi dengan
bak pengendap, bak penangkap lemak dan minyak atau saringan sampah padat.
Permasalahan yang dihadapi adalah belum tersedia sistem drainase yang melayani
seluruh kawasan sebabagi satu unit drainase. Lebih jauh lagi drainase belum
terintegrasi dengan sistem pengolahan air kotor. Drainase umumnya bercampur
antara sistem pembuang air hujan dengan sistem pembuang air kotor. Akibatnya air
luapan dari drainase sangat kotor, berpotensi mencemari lingkungan dan dapat
menjadi vektor penyakit.
Karena faktor topografi wilayah (bergelombang sampai berbukit), maka sistem
drainase kawasan dapat menggunakan sistem gravitasi. Sistem ini relatif murah dan
mudah dalam pengoperasiannya.
Rencana pemecahan masalah dan rekomendasi yang diberikan adalah :
VII-18
Aspek Teknis
Perlu disiapkan rancangan teknik septic tank yang mampu mengolah air limbah
hingga menghasilkan buangan sesuai baku mutu. Cubluk perlu ditingkatkan hingga
menjadi septic tank. Septic tank dilengkapi dengan sumur atau bidang resapan. Untuk
grey water digunakan sistem pengolahan sederhana berupa susunan saringan, bak
pengendap atau penangkap lemak dan sumur atau bidang resapan. Karena
pemukiman di wilayah Kota Pontianak sebagian besar terpencar dengan kepadatan
rendah maka sebaiknya digunakan sistem pengolahan air limbah terpisah. Setiap
rumah atau kelompok rumah yang berdekatan memiliki sistem pengolahan air limbah
masing-masing. Sistem pengolahan limbah terpusat pada daerah dengan kepadatan
rendah dan pemukiman terpencar memerlukan biaya investasi yang besar untuk
saluran, pipa dan pompa. Disamping itu bila sistem pengolahan air limbah memiliki
jaringan pipa yang terlalu panjang akan menyebabkan biaya perawatan dan resiko
kegagalan bertambah besar.Sistem pengolahan dapat menggunakan sistem biologi
yang relatif lebih murah dan sesuai dengan kondisi biofisik kawasan.
Aspek Pendanaan
Dana pembangunan prasarana air limbah dapat bersumber dari APBN, APBD Provinsi
dan Kabupaten. Dana dapat dibagi untuk perencanaan dan pelaksanaan konstruksi.
Pembangunan prasarana air limbah dapat dilakukan untuk sistem individual (setiap
rumah) baru kemudian menjadi sistem komunal dengan pusat pengolahan air limbah
kawasan.
Aspek Kelembagaan
Masyarakat dapat dilibatkan dalam pembangunan prasarana air limbah khususnya
pada sistem individual. Peran serta masyarakat dimulai dengan memberikan
pendidikan akan pentingnya lingkungan sehat bebas dari gangguan akibat air limbah
yang tidak diolah. Juga perlu diberikan penjelasan mengenai berbagai resiko
kesehatan akibat pembuangan air limbah tanpa pengolahan. Untuk sistem individual,
setelah dibangun perawatannya dapat diserahkan kepada setiap pemilik rumah.
VII-19
7.4.3. Drainase
Pertumbuhan penduduk dan kepadatan penduduk di perkotaan yang cepat
menimbulkan tekanan terhadap ruang dan lingkungan untuk kebutuhan perumahan,
kawasan jasa perdagangan, industri yang selanjutnya menjadi kawasan terbangun.
Kawasan perkotaan yang terbangun memerlukan adanya dukungan prasarana dan
sarana perkotaan yang baik dan menjangkau kepada masyarakat berpenghasilan
menengah dan rendah.
Dalam penyusunan rencana program investasi infrastruktur Sub Bidang drainase ini
mengacu pada Keputusan Menteri Pekerjaan Umum nomor: 239/KPTS/1987 tentang
Fungsi Utama Saluran Drainase sebagai drainase kota dan fungsi utama sebagai
pengendalian banjir. Selain itu harus memperhatikan keterpaduan pelaksanaannya
dengan prasarana dan sarana kota lainnya (persampahan, air limbah, perumahan dan
tata bangunan serta jalan kota), sehingga dapat meminimalkan biaya pelaksanaan,
biaya operasional dan pemeliharaan.
Penanganan drainase perlu memperhatikan fungsi drainase perkotaan sebagai
prasarana kota yang dilandaskan pada konsep drainase yang berwawasan lingkungan.
Berlainan dengan paradigma lama yang prinsipnya mengalirkan limpasan air hujan ke
badan air penerima secepatnya, tetapi prinsipnya agar air hujan yang jatuh ditahan
dulu agar lebih banyak yang meresap ke dalam tanah melalui bangunan resapan
buatan/ alamiah, seperti: kolam tandon, waduk, sumur resapan, penataan landscape
dll.
Isu-isu strategis dan permasalahan dalam penanganan drainase perkotaan, antara
lain:
-
Kecenderungan perubahan iklim;
-
Perubahan fungsi lahan basah;
-
Belum adanya ketegasan fungsi sistem drainase;
-
Kelengkapan perangkat peraturan;
-
Penanganan drainase belum terpadu;
-
Pengendalian debit puncak.
VII-20
Arah kebijakan Pemerintah Kota Pontianak dalam pengelolaan drainase perkotaan
adalah melindungi kawasan perkotaan dari kerusakan lingkungan yang merugikan,
seperti banjir yang terjadi akibat buangan air hujan dari arah perbukitan, limpasan air
dari kawasan yang lebih tinggi maupun limpasan air hujan di dalam kawasan
perkotaan sendiri.
Sasaran pengembangan air drainase adalah:
1. Memperbaiki kualitas lingkungan dengan meniadakan genangan yang
berpotensi menjadi tempat berbiaknya vektor penyakit atau dapat menjadi
sumber pencemar atau yang dapat menjadi tempat transmisi penyakit.
2. Mencegah terjadinya banjir di wilayah pemukiman penduduk.
3. Memperbaiki jaringan, memperluas jaringan dan merawat jaringan.
4. Meningkatkan mutu jarigan drainase menuju sistem drainase yang lebih
sehat. Misalnya dengan pemisahan antara saluran air hujan dan saluran air
kotor, penggunaan saluran tertutup untuk air kotor dan konstruksi saluran
yang lebih baik sehingga mengurangi kontaminasi air tanah oleh air kotor dari
dalam saluran.
Permasalahan yang dihadapi adalah belum tersedia sistem drainase yang melayani
seluruh kawasan sebagai satu unit drainase. Lebih jauh lagi drainase belum
terintegrasi dengan sistem pengolahan air kotor. Drainase umumnya bercampur
antara sistem pembuang air hujan dengan sistem pembuang air kotor. Akibatnya air
luapan dari drainase sangat kotor, berpotensi mencemari lingkungan dan dapat
menjadi vektor penyakit.
Karena faktor topografi wilayah (bergelombang sampai berbukit), maka sistem
drainase kawasan dapat menggunakan sistem gravitasi. Sistem ini relatif murah dan
mudah dalam pengoperasiannya.
Rencana pemecahan masalah dan rekomendasi adalah sebagai berikut :
Aspek Teknis
VII-21
Rancangan sistem drainase harus dibuat dengan mengutamakan penggunaan bahan
lokal sehingga biaya transportasi bahan dapat ditekan (terkait dengan keterisolasian
daerah). Selain itu sistem pengoperasian dan perawatannya harus sesederhana
mungkin sehingga masyarakat dapat melakukannya sendiri. Karena sifat pemukiman
yang terpencar dengan kerapatan penduduk rendah, maka sistem cluster dengan
beberapa titik pembuangan ke badan air dapat dipertimbangkan sebagai pengganti
sistem terpusat. Sistem terpusat di daerah yang kepadatannya rendah dengan
perumahan/pemukiman terpencar memerlukan saluran drainase yang panjang.
Akibatnya biaya pembangunan dan pemeliharaan akan menjadi mahal.
Aspek Pendanaan
Dana pembangunan sistem drainase dapat bersumber dari APBN, APBD Provinsi dan
Kabupaten. Dana dapat dibagi untuk perencanaan dan pelaksanaan konstruksi.
Pembangunan sistem drianase dapat dilakukan secara bertahap berdasarkan skala
kebutuhan penangan genangan/banjir. Pembangunan bertahap artinya dimulai dari
daerah yang paling memerlukan untuk kemudian diperluas hingga melayani seluruh
kawasan kota/desa/dusun.
Aspek Kelembagaan
Masyarakat dapat dilibatkan dalam pemeliharaan sistem drainase melalui pendidikan
akan pentingnya lingkungan sehat bebas dari genangan. Selain itu melalui
penyadaran bahwa lahan yang bebas dari genangan akan semakin tinggi nilai
ekonominya, maka masyarakat akan secara sadar dengan swadaya mereka berusaha
merawat dan menjaga sistem drianase yang sudah dibangun.
VII-22