Pernikahan Sirri : Antara Cita dan Realita - Test Repository

  

PERNIKAHAN SIRRI:

Antara Cita dan Realita

  

Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta,

sebagaimana yang diatur dan diubah dari Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002, bahwa:

Kutipan Pasal 113

(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagai-

mana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak

Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam

  Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Peng guna an Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak

Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam

  Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Peng guna an Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000. 000,00 (satu miliar rupiah).

(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang

dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama

  

10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat

miliar rupiah).

  PERNIKAHAN

SIRRI:

  

Antara Cita dan Realita

Dr. Siti Zumrotun, M.Ag.

  

Editor

Dr. Ilyya Muhsin, M.Si.

GERAKAN ISLAM POLITIK DI PERGURUAN TINGGI UMUM

  Penulis: Dr. Ilyya Muhsin, M.Si.

  Editor: Dr. Siti Zumrotun

  Tata Letak & Rancang Sampul: Bang Joedin

  Penerbit: Trussmedia Grafika

  Jl. Gunungan, Karang RT.03, No.13, Singosaren Banguntapan, Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Phone. 08 222 923 8689, WA. 0857 291 888 25

  Email: one_trussmedia@yahoo.com www.trussmediagrafika.com Cetakan I, Juli 2018 xv + 189 hlm.; 16 x 23 cm

ISBN 978-602-5747-12-0

  

Kata Pengantar

  yukur Alhamdulillah kami panjatkan kepada Allah SWT yang selalu mencurahkan Rahmat dan Hidayah serta

  S

  karunianya kepada Penulis, sehingga buku yang berjudul Pernikahan Sirri: antara cita dan realita, dapat diselesaikan. Shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi agung kita Muhammad SAW yang telah merintis sekaligus mengembangkan tasyri’ Islam, sehingga Islam tampil sebagai agama yang Rahmatan lil’alamiin.

  Sekaligus sebagai uswatun hasanah dalam segala bidang kehidupan baik dalam berkeluarga, bermasyarakat maupun dalam bernegara.

  Buku ini merupakan hasil penelitian tentang fenomena nikah sirri di masyarakat. Buku yang Penulis susun ini dalam semua bab mengkaji tentang pernikahan sirri baik dalam teori maupun praktek di masyarakat. Faktor yang mendorong, proses pernikahan, bentuk pernikahan, persepsi masyarakat serta implikasinya dalam kehidupan yang dialami oleh para pelaku nikah sirri.

  Buku ini menggambarkan secara lengkap tentang pernikahan sirri yang dipraktikkan oleh masyarakat dengan menggambarkan kehidupan keluarga mereka. Bahkan juga kehidupan sosial ke masya- rakatan dan juga hubungannya dengan kehidupan bernegara, ber- dasarkan pada penelitian yang langsung dilakukan oleh penulis.

  Penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh dari sempurna, sehingga masih banyak masukan dan kritik yang sifatnya membangun dari kalangan pembaca, akademisi. Para Kyai dan masyarakat pada umumnya.

  

Pernikahan Sirri: Antara Cita dan Realita

  Kami ucapkan terima kasih kepada para pihak yang telah men dukung terbitnya buku ini. Terutama kepada seluruh sivitas aka- demika IAIN Salatiga, masyarakat pelaku nikah sirri, serta teman- teman yang tidak bisa saya sebut satu persatu. Terima kasih juga saya hutur kan kepada suamiku tercinta dan anak-anakku tersayang. Jazakumullah khairal jaza’.

  Salatiga, 20 Oktober 2017 Penulis Dr. Siti Zumrotun, M.Ag.

  

Pengantar Editor

Pernikahan Sirri Bukan Solusi

  ernikahan merupakan hal yang esensial bagi kehidupan manusia sepanjang hidupnya. Dengan pernikahan atau

  P

  perkawinan manusia bisa membentuk keluarga dalam rangka meneruskan keturuannya. Selain itu pernikahan juga merupakan tuntutan kodrat setiap manusia. Bahkan perkawinan tidak hanya urusan manusia dengan manusia lainnya, akan tetapi juga merupakan urusan manusia dengan Tuhannya. Oleh karena itu semua agama atau bahkan Negara mengatur hal tersebut.

  Islam merupakan agama yang memiliki aturan secara detail terkait dengan pernikahanan dengam tujuan agar manusia bisa men- jalani hidup keluarga secara maslahah dunia dan akhirat. Bukan sebaliknya dengan pernikahan malah menimbulkan kemaf sadatan atau kesengsaraan. Sehubungan dengan hal tersebut bukan hanya agama tapi juga Negara membuat peraturan ataupun undang-undang terkait dengan tata aturan pernikahan.

  UU No 1 Tahun 1974 mengatur mekanisme perkawinan ber- dasarkan aturan yang ada dalam Islam dan disesuaikan dengan per- kem bangan zaman dalam rangka menjaga ketertiban dan per lindu- ngan kepada masyarakat khususnya pihak perempuan. Sebagai- mana tercantum dalam pasal

  Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Pasal 2 Ayat (2) menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Terhadap pasal 2 ayat (2) ini terdapat 2 macam penafsiran, yaitu:

  

Pernikahan Sirri: Antara Cita dan Realita

  Pertama, pendapat yang memisahkan pasal 2 ayat (1) dengan ayat (2), sehingga perkawinan sudah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing dan kepercayaannya, sedangkan pendaftaran hanyalah merupakan syarat administratif. Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan antara orang-orang yang beragama Islam sudah sah apabila telah memenuhi syarat-syarat dan rukunnya.

  Kedua, pendapat yang menyatakan antara pasal 2 ayat (1) dan (2) merupakan satu kesatuan yang menentukan sahnya suatu perkawinan. Pendapat ini didasarkan pada penafsiran sosiologi dan 1 dikaitkan dengan akibat hukum dari perkawinan.

  Kelompok yang berpendapat bahwa pencatatan perkawinan sebagai syarat adminisrasi hanya memandang pada proses ijab qabul yang sudah memenuhi syarat dan rukun secara agama tanpa me- man dang akibat hukumnya dan juga bukan pada pencatatannya. Pen dapat ini dipegangi oleh masyarakat Islam pada umumnya dan juga para ahli hukum di Indonesia.

  Pro dan kontra tersebut hanya terjadi di kalangan pakar hukum ataupun akademisi. Sedangkan masyarakat pada umunya memegangi bahwa pernikahan sudah sah ketika sudah memenuhi syarat dan rukun menurut hukum Islam. Tidak menjadi persoalan apakah pernikahan itu sudah dicatatkan atau belum. Pencatatan di hadapan KUA hanya merupakan syarat adminitratif sehingga tidak mengurangi keabsahan nikah itu sendiri. Pernikahan semacam ini dikenal oleh kalangan masyarakat dengan istilah nikah sirri atau nikah dibawah tangan atau nikah modin.

  Banyak faktor yang mendorong masyarakat untuk melakukan pernikahan secara sirri ini antara lain: faktor agama, pendidikian ekonomi, biologis, ekonomi juga mitos dan lingkungan.

  Tuntunan agama yang didukung dengan adanya pemuka agama yang mau menikahkan para pelaku nikah sirri ini mencari 1 Wasman dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Perbandingan Fiqih dan Hukum Positif, (Yogyakarta: Teras, 2011), h. 46.

  

Pernikahan Sirri: Antara Cita dan Realita

  legitimasi dari sisi agama. Sehingga hubungan biologis mereka men- jadi halal. Fenomena ini menggambarkan betapa faktor ajaran agama memiliki peran yang sangat penting dalam mendorong seseorang untuk melakukan pernikahan. Tetapi sayangnya, para pasangan yang menikah sirri ini sering tidak mengindahkan faktor tersebut, sehingga mereka melaksanakan rukun dan syarat nikah sirri secara setengah-setengah. Dalam Islam pernikahan tidak boleh dilakukan secara diam-diam walau sudah memenuhi syarat dan rukunnya. Islam sangat menganjurkan untuk melakukan perayaan atau walimah sebagai tanda syukur dan kegembiraan atas pernikahan tersebut. Bahkan bukan hanya sekadar pengumuman atau pun persaksian, akan tetapi walimah memiliki fungsi untuk menghindarkan suatu pasangan dari fitnah atau isu negatif.

  Mereka ingin menghalalkan suatu hubungan dengan berupaya menjalankan tuntunan agama, namun pada praktiknya mereka tidak me menuhi unsur penghalalan nikah tersebut. Akibatnya, tujuan utama menikah sirri agar terhindar dari fitnah dan pelabelan negatif pun tidak terwujud, dan bahkan memunculkan pelabelan yang bahkan lebih keras lagi. Ada yang mengatakan perilaku tersebut tidak ber moral, merebut suami orang, hanya ingin mementingkan diri sendiri, dan lain-lain.

  Dengan demikian, hal ini tentu saja kembali berpulang ke- pada pemahaman dan tingkat pendidikan praktik pelaku nikah sirri tersebut terhadap apa hakikat sah dan tidaknya nikah sirri ini. Karena itulah peran pemuka agama atau siapapun tokoh yang merasa mempunyai kemampuan untuk menikahkan pasangan nikah sirri ini sangatlah penting dalam proses adaptasionis yang menyebabkan praktik nikah sirri ini terus lestari.

  Salatiga, 25 Oktober 2017 Editor, Dr. Ilyya Muhsin, M.Si.

  

DAFTAR ISI

  Kata Pengantar ..........................................................................................v Pengantar Editor: Pernikahan Sirri Bukan Solusi ............................. vii Daftar Isi ................................................................................................ xi

  BAB I PERNIKAHAN DALAM BUDAYA MANUSIA .......................1 BAB II PERNIKAHAN SIRRI ............................................................11 A. Pengertian Nikah dan Nikah Sirri .......................................... 11 B. Tujuan Nikah dan Relevansinya dengan Nikah Sirri ........... 19 BAB III PENCATATAN PERNIKAHAN .............................................25 A. Pencatatan Pernikahan antara Syarat Administratif atau Syarat Kumulatif ........................................................................ 25 B. Pencatatan Perkawinan dalam Islam ...................................... 28 C. Pencatatan Perkawinan di Indonesia...................................... 30

  1. Pencatatan Perkawinan dalam UU No 22 Tahun 1946.. 30

  2. Pencatatan Perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 ... 31

  3. PP No 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ..................................... 33

  4. Pencatatan Perkawinan dalam KHI ................................. 35

  5. Pencatatan perkawinan dalam UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan ............................. 35

  

Pernikahan Sirri: Antara Cita dan Realita

  D. Perbedaan Pendapat Tentang Pencatatan Perkawinan ........ 36

  1. Syarat Administratif ........................................................... 37

  2. Syarat Kumulatif ................................................................. 39

  BAB IV BENTUK-BENTUK DAN TIPE-TIPE PERNIKAHAN SIRRI DI MASYARAKAT .................................................................43 A. Profil Keluarga Nikah Sirri ...................................................... 43

  1. Pernikahan Sirri di Usia Senja .......................................... 44

  2. Pernikahan Pada Masa Iddah: Kasus Nt dan Edy .......... 49

  3. Pernikahan Pensiunan: Kasus Kdjh dan Rjmn ............... 51

  4. Pernikahan PNS dengan Janda ......................................... 54

  5. Pernikahan Semi Duda dengan Gadis: Kasus suami ditinggal istri bekerja ke luar negera menjadi TKW, (kasus Ags dan Rhy) ........................................................... 62

  6. Pernikahan Semi Janda dengan Perjaka: Kasus Hnk dan Antk ...................................................................................... 64

  7. Pernikahan Janda dengan Semi Duda ............................. 66

  8. Pernikahan Gadis dengan Pria yang sudah Bersuami ... 69

  9. Pernikahan Perempuan yang masih bersuami dengan laki-laki yang masih bersuami: kasus sgym dan bun. .... 72

  10. Pernikahan Poligami karena Istri Pertama Mandul: Kasus Jnd dan Rbh .............................................................. 76

  11. Pernikahan sirri yang ketiga: Kasus Snph dan Sgng ...... 80

  12. Pernikahan Janda dengan laki yang beristri (kasus Mnh dan Rtn) .............................................................................. 85

  13. Pasangan TKI (Kasus Ztn dan ZD) .................................. 88

  14. Pernikahan Duda dengan Perempuan Semi Janda (Pasangan Bapak Kary dan Ibu Zhrtn) ............................ 89

  15. Pernikahan Sirri Janda Pensiunan dengan Orang yang Tidak Normal ..................................................................... 90

  16. Pernikahan antar negara (Pasangan My dan Bny) ......... 92

  17. Pernikahan Pada Masa Iddah (Kasus Shd Dan Strn) ..... 94

  

Pernikahan Sirri: Antara Cita dan Realita

  B. Model Pernikahan Sirri di Masyarakat .................................. 96

  1. Memenuhi Syarat dan Rukun Pernikahan Menurut Fiqh ..97

  2. Tidak Memenuhi Syarat dan Rukun Pernikahan Menurut Fiqh ...................................................................... 98

  3. Memenuhi Syarat dan Rukun Menurut UUP No.1 Tahun 1974 ................................................................. 99

  4. Tidak Memenuhi Peraturan dalam UUP No.1 Tahun 1974 ................................................................. 99

  5. Walimah ............................................................................. 100

  6. Tidak Ada Walimah.......................................................... 101

  7. Pencatatan .......................................................................... 102

  8. Tempat Pelaksanaan ......................................................... 103

  C. Tipologi Pernikahan Sirri Masyarakat Salatiga ................... 105

  1. Tipologi Pernikahan ......................................................... 105

  D. Persepsi Masyarakat Terhadap Pasangan Nikah Sirri ........ 128

  BAB V FAKTOR-FAKTOR TERJADINYA PERNIKAHAN SIRRI DI MASYARAKAT ...............................................................133 A. Faktor Internal Terjadinya Nikah Sirri Masyarakat .......... 133

  1. Meraih Keuntungan dalam Bidang Ekonomi ............... 133

  2. Dalam Rangka Memenuhi Kebutuhan Biologis ........... 135

  3. Pertimbangan dalam Menjalankan Agama ................... 137

  4. Keuntungan Psikologis..................................................... 139

  5. Umur Sudah Tua .............................................................. 139

  6. Terbentur Aturan Administrasi ...................................... 139

  B. Faktor Eksternal Terjadinya Nikah Sirri ............................. 143

  1. Peraturan Perundang-Undangan .................................... 143

  2. Sosial dan Budaya ............................................................. 144

  3. Karakter Masyarakat ....................................................... 145

  4. Peran Kyai/Tokoh Masyarakat ........................................ 146

  5. Mitos ................................................................................... 147

  6. Lembaga KUA .................................................................. 147

  

Pernikahan Sirri: Antara Cita dan Realita

  7. Tingkat Pengetahuan Masyarakat ................................. 148

  BAB VI IMPLIKASI NIKAH SIRRI DALAM KEHIDUPAN ...........149 A. Implikasi Nikah Sirri dalam Kehidupan Berkeluarga, Ber masyarakat, dan Bernegara ............................................. 149

  1. Implikasi Nikah Sirri dalam Kehidupan Berkeluarga .. 149

  2. Implikasi dalam Kehidupan Bermasyarakat ................. 151

  3. Implikasi dalam Kehidupan Bernegara ......................... 154

  B. Praktik Nikah Sirri dalam Analisis Maqāsid al-Syari’ah .... 158

  BAB VII PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP NIKAH SIRRI ....165 A. Persepsi Tokoh Masyarakat ................................................... 166 B. Persepsi Tokoh Agama ........................................................... 168 C. Persepsi Pejabat Pemerintah ................................................. 170 D. Persepsi dari Kalangan Akademisi ....................................... 175

PENUTUP ..................................................................................179

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................183

BAB I PERNIKAHAN DALAM BUDAYA MANUSIA

  ejarah mencatat beberapa masalah krusial terkait dengan ke hidupan manusia hubungannya dengan seksual. Bahkan

  S

  tidak hanya manusia, binatangpun juga memiliki naluri dalam hubungannya dengan masalah seksual. Karena Allah manciptakan makhluk dengan berpasangan. Demikianlah naluri makhluk, masing-masing memiliki pasangan dan berusaha untuk bertemua dengan pasa ngannya. Tidak ada satu naluri yang lebih dalam dan lebih kuat dorongannya melebihi naluri dorongan pertemuan dua lawan jenis: pria dan wanita, jantan dan betina, positif dan negatif. Itulah ciptaan dan pengaturan ilahi.

  Sebagaimana firman Allah dalam surat adz-Dzariyat: 49

   َنوُرَّكَذَت ْمُكَّلَعَل ِ ْيَجْوَز اَنْق َلَخ ٍءْ َش  ِّ ُك ْنِمَو Artinya: “Segala sesuatu telah Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”.

  Dalam surat Yasin: 36

  َ َ ۡ أ  ۡنِمَو  ُضرۡ َّ ُك َجَٰوۡزَ ۡلٱ َقَلَخ يِ َّلٱ َنٰ َحۡبُس

   ۡمِهِسُفن لٱ  ُتِبنُۢت اَّمِم اَه َ ٣٦ َنوُمَلۡعَي  ل اَّمِمَو

  

Pernikahan Sirri: Antara Cita dan Realita

Artinya: Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan- pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.

  Laki-laki dan perempuan sebagai pasangan manusia harus hidup bekerja sama dan hidup harmonis. Salah satu bentuk kerja sama dan perwujudan dari kehidupan harmonis itu adalah pernikahan. Sebelum perwujudan hidup kerjasama dalam bentuk pernikahan sebagai mana yang dikenal sekarang ini ada bentuk-bentuk pe nyatu an antara laki-laki dan perempuan dalam menyalurkan naluri seksualnya. Misalnya jika dipelajarai tentang adat istiadat sebeluam Islam.

  Dalam bidang hukum, Mushthafa Sa’id Al-Khinn sebagaimana dikutip Jaih Mubarok menyebutkan bahwa bangsa Arab pra-Islam menjadikan adat sebagai hukum dengan berbagai bentuknya. Dalam perkawinan mereka mengenal beberapa macam perkawinan, antara lain sebagai berikut:

  1. Istibdha, pernikahan untuk mencari keuntungan, yaitu seorang suami meminta kepada istrinya untuk berjimak dengan pria yang dipandang mulia atau memiliki kelebihan tertentu, seperti keberanian dan kecerdasan. Selama istri berjimak dengan laki- laki tersebut, suami menahan diri dengan tidak berjimak dengan istrinya sebelum terbukti bahwa istrinya hamil. Jika istri sudah hamil dengan laki-laki terhormat tresebut maka suami kembali menjimaki istrinya. Tujuan perkawinan samacam ini adalah agar istri melahirkan anak yang memiliki sifat yang dimiliki oleh laki- laki yang menjimakinya yang tidak dimiliki oleh sifat suaminya. Salah satu contohnya adalah seorang suami merelakan istrinya berjimak dengan raja hingga terbukti hamil agar memperoleh anak yang berasal dari bangsawan atau orang-orang terhormat.

  2. Poliandri, yaitu beberapa laki-laki berjimak dengan seorang wanita. Biasa nya wanita semacam ini memasang bendera di depan rumahnya sebagai tanda bahwa wanita itu bisa dikenali. Setelah per empuan itu hamil dan melahirkan anak, perempuan

Bab I: Pernikahan dalam Budaya Manusia

  tersebut memanggil semua laki-laki yang pernah menjimaknya untuk berkumpul di rumahnya. Setelah semuanya hadir, per- empu an tersebut memberitahukan bahwa ia telah dikaruniai anak hasil hubungan dengan mereka, kemudian sang perempuan menunjuk salah satu dari semua laki-laki tersebut untuk menjadi bapak dari anak yang dilahirkannya. Sedangkan laki-laki yang ditunjuk tidak boleh menolak. Yang dijadikan dasar untuk menentukan siapa bapak dari anak tersebut adalah tanda-tanda distinktif serta wajah anak, yang ditentukan oleh ahli nujum dan para fisiognomis. Selanjutnya para fisiognomis itu menyatakan pandangannya mengenai anak siapakah bayi itu. Wanita semacam 1 ini bisa dikatakan sekarang sama dengan pelacur.

  3. Maqtha Yaitu seorang laki-laki menikahi ibu tirinya setelah bapak nya meninggal dunia. Jika seorang anak ingin mengawini ibu tirinya dia melemparkan kain kepada ibu tirinya sebagai tanda bahwa ia menginginkannya. Sementara ibu tirinya tidak memiliki kewenangan untuk menolak. Jika anak laki-laki tersebut masih kecil, ibu tiri diharuskan menunggu sampai anak tersebut dewasa. Setelah dewasa, anak tersebut berhak memilih untuk menjadikannya sebagai istri atau melepaskannya.

  4. Badal, Yaitu tukar-menukar istri tanpa bercerai terlebih dahulu dengan tujuan untuk memuaskan jimak dan terhindar dari kebosanan.

  5. Shighar, yaitu seorang wali menikahkan anak atau saudara atau 2 saudara perempuannya kepada seorang laki-laki tanpa mahar.

  Selanjutnya berkembang bentuk-bentuk perkawinan yang ter- kenal dan berlaku dalam masyarakat tradisional bisa dikla sifi kasikan 1 Murtadha Muthahhari, The Rights of Women in Islam, Terj. M. Hashem, Hak-hak Wanita Dalam Islam (Jakarta: Lentera Basritama, 2000), hlm. 208. 2 Mushthafa Sa’id Al-Khinn, 1984: 18-19, yang dikiutip oleh Jaih Mubarok,

Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam,(Bandung: Remaja Rosda Karya:2000),

  hlm. 20-21.

  

Pernikahan Sirri: Antara Cita dan Realita

  menjadi dua, yaitu monogamy, poligini dan poliandri. Sedangkan dalam masyarakat modern pada umumnya hanya mengenal bentuk perkawinan monogami.

  Monogami merupakan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan pada suatu saat tertentu. Bentuk ini dikenal oleh umum dan dapat ditemukan dalam setiap masyarakat, bahkan dikalangan penganut agama Kristen bentuk ini merupakan sebuah keharusan. Monogami merupakan bentuk perkawinan yang paling alami. Dalam monogami terdapat semangat eksklusif yang 3 khusus, yakni perasaan saling memiliki secara khusus dan individual. Dalam monogami, istri dan suami memandang perasaan, kasih sayang, dan keuntungan seksual sebagai milik dan hak timbal balik.

  Poligini atau poligami merupakan bentuk jamak tunggal. Poligami ini bisa diklasifikasikan menjadi tiga tipe, yaitu poigini, 4 poliandri, conogami : a. Poligini, merupakan perkawinan antara seorang laki-laki dengan lebih dari satu wanita dalam waktu yang sama. Sebenarnya setiap manusia ini mempunyai kecenderungan untuk melakukan poligini, akan tetapi karena adanya nilai-nilai dan kaidah-kaidah dalam masyarakat, maka kecenderungan untuk berpoligini dapat dikekang.

  Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya poligini, antara lain: (1) Faktor kebudayaan, perang misalnya mengurangi jumlah laki-laki sehingga terjadi ketidakseimbangan antara jumlah laki-laki dan perempuan sehingga memungkikan adanya poligini. (2) Lingkungan sosial, seperti penyakit yang memperkecil jumlah 3 kaum laki-laki.

  Murtadha Muthahhari, The Rights of Women in Islam, Terj. M. Hashem, Hak-hak Wanita Dalam Islam (Jakarta: Lentera Basritama, 2000), hlm. 206. 4 Siti Norma & Sudarso, Pranata Keluarga., hlm. 230.

Bab I: Pernikahan dalam Budaya Manusia

  (3) Untuk mendapatkan status dalam masyarakat, karena makin banyak istri, maka statusnya makin tinggi dalam masyarakat. (4) Untuk tujuan ekonomi, karena makin banyak istri maka makin banyak yang membantu untuk mengolah sawahnya atau mencari rezeki. (5) Ingin mendapatkan keturunan karena istri yang pertama 5 tidak dapat memberi keturunan.

  b. Poliandri, seorang wanita, dalam waktu yang sama, mempunyai lebih dari seorang suami. Will Durant menulis, ”Praktik seperti ini dapat ditemukan pada suku Tuda dan beberapa suku di Tibet”. Bentuk poliandri ini sekarang sudah tidak dikenal oleh masyarakat. Hal ini disebabkan karena ayah dari anak tidak dikenal. Dalam jenis hubungan perkawinan ini, hubugan antara 6 ayah dan ananknya tidak pasti. masyarakat menganggap hal ini sebagai sesuatu yang luar biasa dan merupakan bentuk 7 perkawinan yang tidak diakui.

  c. Conogami, merupakan perkawinan dari dua atau lebih laki-laki 8 dengan dua atau lebih wanita dalam perkawinan kelompok.

  Dalam perkawinan ini tidak ada pria yang mempunyai hubungan eksklusif dengan seorang wanita tertentu, dan tidak ada wanita yang terpaut secara eksklusif pada seorang pria tertentu. Will 9 Durant menyebutnya dengan istilah ”perkawinan kelompok”.

  Dalam ilmu antropologi dikenal ada dua jenis perkawinan poligami yang menyebabkan sikap istri berbeda-beda dalam menerimanya. Yaitu poligami yang dasarnya romantic love marriage dan poligami yang disarnya economic marriage. Poligami model pertama (romantic love marriage) akan berlangsung sangat alot. 5 6 Ibid., hlm. 231. 7 Murtadha Muthahhari, Hak-hak Wanita Dalam Islam, hlm. 208-209. 8 Khoiruddin, Sosiologi Keluarga, hlm. 24. 9 Siti Norma & Sudarso, Pranata Keluarga, hlm. 231.

  

Murtadha Muthahhari, Hak-hak Wanita Dalam Islam, hlm. 206.

  

Pernikahan Sirri: Antara Cita dan Realita

  Poligami model ini banyak berahir dengan perceraian. Biasa seorang istri bersikeras untuk tidak mau dipoligami. Bahkan mengajukan opsi lebih baik dicerai dari pada dipoligami. Jika akhirnya istri bisa menerima poligami ini, maka dalam model ini keadaan keluarga akan terus menerus ditimpa masalah yang memicu pada perang dingin antara suami dan istri. Namun jika istri bisa mentranformasikan situasi dengan mengambil manfaat untuk menyenagkan diri sendiri dan anak-anaknya sehingga suami tak lebih hanya sapi perahan maka perkawinan poligami ini mungkin bias bertahan.

  Dalam model ini romantic love marriage, penerimaan istri atas poligami sering didasarkan atas pertimbangan untuk mem per- tahan kan sebuah keyakinan bahwa rumah tangganya telah dibangu n berdasarkan cinta.perceraian bagi mereka hampir bukan pilihan karena perceraian merupakan penghancuran atas seluruh bangunan keyakinan atas keluarga yang selama telah dibangun atas dasar cinta dan ke setiaan. Tak heran misalnya ada perempuan yang menerima per- kawin an poligami meskipun secara finansial mereka cukup mandiri.

  Berbeda dengan model economic marriage, poligami yang dilakukan dalam model ini disebabkan kebutuhan ekonomi. Poli- gami model ini harus bisa diterima dan dirasionalisasikan. Praktek model ini biasanya terjadi pada masyarakat agraris, dalam kleuarga petani-petani pegunungan atau para pedagang nomaden. Ini juga penjelasan yang bisa rasional untuk praktek poligami dan konon bisa 10 harmonis.

  Dari berbagai bentuk perkawinan tersebut melahirkan bentuk-bentuk keluarga yang bisa dibedakan menjadi dua, yakni keluarga batih (Conjugal family atau Basik family) adalah keluarga 11 yang terdiri suami, isteri dan anak-anak mereka yang belum kawin. 10 Faqihuddin Abdul qadir, Memilih monogamy, Pembacaan Atas Al- Qur’an dan Hadis Nabi, (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara:2005), hlm.Ii-Iii. 11 Siti Norma & Sudarso, Pranata Keluarga, hlm. 231.

Bab I: Pernikahan dalam Budaya Manusia

  Keluarga kerabat atau besar (Exentended family atau Consanguine family atau joint family) adalah keluarga yang tidak hanya terdiri dari suami, istri, dan anak-anak mereka, melainkan termasuk juga orang-orang yang ada hubungan darah dengan mereka, 12 misalnya kakek, nenek, paman,  bibi, keponakan dan sebagainya.

  Mengenai consanguine family, lebih jauh dapat dibedakan lagi menjadi dua bentuk, yaitu: pertama, consanguine family yang matrilineal yaitu bahwa yang masuk keluarga adalah kelompok dari saudara-saudara perempuan dan laki-laki dengan anak-anak dari saudara perempuan tersebut. Sehingga di sini terdapat keadaan laki- laki yang telah kawin seakan-akan tidak termasuk dalam keluarga si istri beserta anak-anaknya, dan suami tersebut tetap bersama keluarganya sendiri. Sedang istri berkeluarga dengan anak-anaknya dan saudara-saudara perempuanya dan saudara-saudara laki-lakinya beserta anak-anak dari saudara-saudara perempuannya. Kedua, consanguine family yang patrilineal yang merupakan kebalikannya dari consanguine family yang matrilinial yaitu istri tidak termasuk keluarga suaminya. Suami berkeluarga dengan saudara-saudara perempuan dengan anak-anaknya sendiri dan saudara-saudaranya laki-laki beserta anak-anak dari saudara-saudara laki-laki tersebut.

  Jika ditinjau dari tempat tinggal atau pemukiman keluarga bisa dibedakan menjadi: pertama, patrilokal adalah pasangan suami istri, tinggal bersama atau dekat dengan keluarga sedarah suami. Kedua, matrilokal adalah pasangan suami istri, tinggal bersama atau dekat 13 dengan keluarga satu istri. Ketiga, neolokal adalah pasangan suami istri, tinggal jauh dari keluarga suami maupun istri. Berdasarkan penelitian yang pernah penulis lakukan ada satu lagi tipe keluarga berdasarkan pemukiman yaitu mediolokal, keluarga yang tinggal dekat dengan keluarga suami dan dekat dengan keluarga istri, karena pernikahan tersebut dilakukan dengan saudara dan tinggal dalam 12 13 Ibid., hlm. 232.

  Ibid., hlm. 233.

  

Pernikahan Sirri: Antara Cita dan Realita

  satu kampung. 14 Dalam melaksanakan peran suami dan istri dalam keluarga bisa dibedakan menjadi tiga yaitu: patriakal adalah keluarga yang dominan dan memegang kekuasaan dalam keluarga adalah dipihak ayah atau suami. Matriakal adalah keluarga yang dominan dan memegang kekuasaan dalam keluarga adalah pihak ibutau istri.

  Equalitarium adalah keluarga yang memegang kekuasaan adalah ayah atau suami dan ibu atau istri. 15 Berbagai tipologi keluarga yang dalam ilmu sosiologi tersebut memiliki berbagai fungsi. 16 Adapun fungsi-fungsi keluarga tersebut antara lain: a. Fungsi pengaturan keturunan, keluarga menjamin keberlang- su ngan reproduksi. Karena fungsi reproduksi ini merupakan hakikat untuk kelangsungan hidup manusia dan sebagai dasar kehidupan sosial manusia, dan bukan hanya sekedar kebutuhan biologis saja. Fungsi ini didasarkan atas pertimbangan sosial, misalnya dapat melanjutkan keturunan, dapat mewariskan harta, serta pemeliharaan pada hari tua. Pada umumnya masyarakat mengatakan bahwa perkawinan tanpa menghasilkan anak merupakan suatu kemalangan karena bisa menimbulkan hal- hal yang negatif. Bahkan ada yang berpendapat semakin banyak anak semakin banyak rizqi.

  b. Fungsi sosialisasi atau pendidikan. Fungsi ini adalah untuk mendidik anak mulai dari awal sampai pertumbuhan anak hingga terbentuk personality-nya. Anak-anak itu lahir tanpa bekal sosial, agar bisa berpartisipasi maka harus disosialisasi oleh orangtuanya tentang nilai-nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Anak harus 14 Hasil penelitian Siti Zumrotun, Pola Perkembangan Perkawinan

  

Endogami: Studi Kasus di Dusun Jembangan, Desa Sruwen, Kecamatan Tengaran,

Tahun 2015. 15 Siti Norma & Sudarso, Pranata Keluarga, hlm.233. 16 Ibid., hlm. 234-236.

Bab I: Pernikahan dalam Budaya Manusia

  diajari norma-norma yang baik yang berlaku dan norma-norma jelak yang seharusnya dijauhi dan tidak dilaksanakan. Dengan demikian keluarga merupakan perantara diantara masyarakat luas dan individu. Kepribadian seseorang diletakkan pada waktu uang sangat muda sedangkan yang sangat berepengaruh dalam kepribadian ini adalah seorang ibu.

  c. Fungsi ekonomi atau unit produksi. Fungsi keluarga ini meliputi pencarian nafkah, perencanaan dan pembelanjaannya. Pelak- sana anya dilakukan oleh dan untuk semua anggota keluarga, sehingga akan menambah saling mengerti, solidaritas dan tang- gung jawab bersama. Fungsi ini menggambarkan bahwa keluarga bisa berfungsi sebagai lembaga ekonomi yang masing-masing ang gotanya memiliki peran dan hubungan dalam bekerja. Se- hingga tidak hanya suami yang berperan dalam bidang ekonomi. Hubungan suami istri dan anak-anak bisa dipandang sebagai teman dalam bekerja.

  d. Fungsi Pelindung. Fungsi ini lebih menitikberatkan dan mene- kankan kepada rasa aman dan terlindungi apabila anak merasa aman dan terlindungi barulah anak dapat bebas melakukan penjajaan terhadap lingkungan.

  e. Fungsi Penentuan status. Jika dalam masyarakat terdapat per- bedaan status yang besar, maka kleuarga akan mewariskan statusnya pada tiap-tiap anggota atau individu sehingga tiap- tiap anggota keluarga mempunyai hak-hak istimewa. Perubahan status ini biasanya melalui perkawinan. Hak-hak istimewa keluarga, misalnya menggunakan hak milik tertentu. Jadi status dapat diperoleh melalui assign status maupun ascribed status.

  f. Fungsi Pemeliharaan. Keluarga pada dasarnya berkewajiban untuk memelihara anggota-anggota yang sakit, menderita, dan tua.

  Fungsi pemeliharaan ini pada setiap masyarakat berbeda-beda, akan tetapi sebagian masyarakat membebani keluarga dengan pertanggungjawaban khusus terhadap anggotanya bila mereka

  

Pernikahan Sirri: Antara Cita dan Realita

  tergantung pada masyarakat. Seiring dengan perkembangan masyarakat yang makin dan modern dan komplek, sebagian dari pelaksanaan fungsi pemeliharaan ini lambat laun mulai banyak diambil alih dan dilayani oleh lembaga-lembaga masyarakat, misalnya rumah sakit, rumah-rumah yang khusus melayani orang jompo.

  g. Fungsi Afeksi. Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan kasih sayang atau rasa dicintai. Sejumlah studi telah menunjukkan bahwa kenakalan yang serius adalah satu ciri khas dari anak yang sama sekali tidak pernah mendapatkan perhatian atau merasakan kasih sayang. Di sisi lain, ketiadaan afeksi juga akan menggerogoti kemampuan bayi untuk bertahan hidup.

  Keluarga dengan berbagai fungsinya tersbut maka kehidupan manusia akan terus berlangsung dan masing-masing pasangan bisa memiliki peran dan fungsi dalam mendidik anak dalam membangun masyarakat sesuai dengan tanggung jawab masing-masing.

BAB II PERNIKAHAN SIRRI A. Pengertian Nikah dan Nikah Sirri

  ewasa ini fenomena nikah sirri menjadi isu menarik untuk diperbincangkan secara serius, bukan karena

  D

  nikah sirri tersebut dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan menuai kontroversi di kalangan ahli hukum di Indonesia, melainkan nikah sirri tersebut sudah menjadi perilaku yang tidak tabu baik di kalangan pejabat, selebriti, praktisi politik atau bahkan tokoh agama dan juga tokoh masyarakat maupun rakyat biasa. Selain itu juga realitas praktik nikah sirri di masyarakat menimbulkan banyak masalah yang tidak sederhana dalam menjalani kehidupan keluarga. Mulai dari masalah ekonomi, sosial, budaya sampai pada masalah hukum dan pendidikan.

  Untuk memposisikan secara proporsional, masalah nikah sirri harus dimaknai secara seragam terlebih dahulu. Sehingga tidak muncul berbagai interpretasi yang berbeda-beda. Secara etimologi nikah sirri dalam bahasa Arab disebut nikāh al-sirr yaitu pernikahan yang dilakukan secara rahasia, sembunyi-sembunyi, tanpa publikasi 17 atau tanpa walîmah. 17 Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia

  

(Yogya karta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan PP Al-Munawwir,

  

Pernikahan Sirri: Antara Cita dan Realita

  Dalam konteks Indonesia, ada ragam pengertian dan praktik nikah sirri yang dipersepsikan masyarakat, yang bisa dibedakan menjadi tiga kategori. Yaitu nikah tanpa wali, nikah di bawah tangan 18 dan nikah tanpa walimah.

  Nikah tanpa wali adalah nikah yang dilakukan tanpa hadirnya 19 seoarang wali, bahkan keluarganyapun tidak mengetahuianya.

  Nikah di bawah tangan adalah nikah yang dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukunnya tetapi tidak atau belum dicatatkan 20 ke PPN. Sedangkan nikah tanpa walimah adalah nikah yang sudah tercatat akan tetapi tidak diadakan perayaan atau walimah.

  Walaupun tidak hanya satu definisi nikah sirri di kalangan para ulama, namun definisi yang melekat di kalangan masyarakat di Indonesia tentang nikah sirri adalah nikah yang dilangsungkan menurut ketentuan fiqh (telah memenuhi syarat dan rukunnya), tetapi masih bersifat intern keluarga dan belum dicatatkan ke Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Nikah semacam ini disebut dengan nikah yang ”tidak dicatat” atau disebut juga nikah ”di bawah tangan”. Nikah semacam ini tidak mendapatkan bukti autentik berupa Akta Nikah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Selain dikenal dengan kata nikah sirri, masyarakat juga sering menyebutnya dengan nikah modin, kyai, atau nikah secara agama. :

  Nikah sirri dalam tinjauan sosial ada dua bentuk pertama, pernikahan yang dilangsungkan antara mempelai lelaki dan per- empuan tanpa kehadiran wali dan saksi-saksi, atau dihadiri wali tanpa 1984), hlm. 667. 18 Naqiyah Mukhtar, “Mengurai Nikah Sirri Dalam Islam”, al Manahij, vol.

  VI, APIS, 2012, , hlm. 257. 19 Saifudin Zuhri, Sanksi Pidana Bagi Pelaku Nikah Sirri dan Kumpul Kebo (Semarang: Bima Sakti, tt), hlm.3. 20 Siti Musawwamah dkk, Akseptabilitas Regulasi Kriminalisasi Pelaku

Kawin Sirri menurut Pemuka Masyarakat Madura (Jakarta: Kementerian Agama

Republik Indonesia, 2012), hlm. 50.

Bab II: Pernikahan Sirri

  saksi-saksi, kemudian mereka saling berwasiat untuk merahasiakan pernikahan tersebut. Jenis pernikahan ini batil (tidak sah), karena tidak memenuhi persyaratan-persyaratannya, yaitu unsur wali dan saksi-saksi dan kedua, pernikahan yang berlangsung dengan rukun- rukun dan syarat-syaratnya yang lengkap, seperti ijab kabul, wali dan saksi-saksi, akan tetapi mereka itu (suami, istri, wali dan saksi- saksi) satu kata untuk merahasiakan pernikahan dari pengetahuan 21 masyarakat atau sejumlah orang.

  Neng Djubaidah dalam bukunya Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat..., menerangkan bahwa perkawinan ”tidak dicatat” berbeda dengan perkawinan ”tidak dicatatkan”. Pada istilah ”perkawinan tidak dicatat” bermakna bahwa perkawinan itu tidak mengandung unsur ”dengan sengaja” yang mengiringi iktikad atau niat seseorang untuk tidak mencatatkan perkawinannya. Adapun istilah ”perkawinan tidak dicatatkan” terkandung iktikad atau niat buruk dari suami khususnya yang bermaksud perkawinannya 22 memang ”dengan sengaja” tidak dicatatkan. Dari nikah yang tidak dicatat atau tidak dicatatkan inilah kemudian muncul istilah nikah sirri.

  Sedangkan kata nikah itu sendiri dalam bahasa Arab ber-

  • makna al wathî’ dan al dammu wa al-tadãkhul. Terkadang juga

  disebut dengan al-d}ammu wa al-jam’u atau ’ibãrat ’an al-wathî’ wa 23 al-’aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.

  Perkawinan atau pernikahan dalam fiqh sering disebut dengan kata nikah dan zawaj. Kata-kata na-ka-ha banyak terdapat dalam al Qur’an yang berarti kawin, sebagaimana dalam Q.S. An- 21 Thriwaty Arsal, “Nikah Sirri dalam Tinjauan Demografi”, Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, Vol. 06, No. 02, I September 2012, hlm. 160. 22 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat

Menurut Hukum Tertulis Di Indonesia dan Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika

  Offset, 2010), hlm.153. 23 Wahbah Al Zuhaily, al-Fiqh al-Islãmi Wa ‘Adillatuhu, Juz VII (Damsyiq; Dãr al-Fikr, 1989), hlm .29.

  

Pernikahan Sirri: Antara Cita dan Realita

  Nisa:3 yang artinya:

  Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak- hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), : Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil,Maka (kawinilah) seorang saja,atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

  Demikian pula banyak kata za-wa-ja dalam al Qur’an yang ber- arti kawin. Sebagimana dalam Q.S. al-Ahzab:37. Secara bahasa nikah berarti “bergabung”, “hubungan kelamin” dan juga berarti “akad”. Makna bahasa ini terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah:230 yang artinya:

  Ayat tersebut mengandung arti hubungan kelamin dan bukan hanya sekedar akad nikah karena ada petunjuk dari hadis Nabi bahwa setelah akad nikah dengan laki-laki kedua perempuan itu belum boleh dinikahi oleh mantan suaminya kecuali suami yang kedua telah meraskan nikmatnya hubungan kelamin dengan perempuan tersebut.

  Meskipun ada dua kemungkinan arti kata na-ka-ha itu namun mana di antara dua kemungkinan tersebut yang mengandung makna sebenarnya terdapat perbedaan pendapat di antara ulama. Golongan Syafiiyah berpendapat bahwa kata nikah itu berarti akad dalam arti yang sebenarnya (hakiki) bisa juga dimakani hubungan 24 kelamin dalam arti yang tidak sebenarnya (majazi). Sedangkan golongan hanafiah nikah menurut makna hakiki adalah bersetubuh dan menurut makna majazi suatu akad yang menjadikannya halal berhubungan kelamin antara laki-laki dan wanita. Ulama lain seperti Abu Qasim Al-Zajjad, Imam Yahya, Ibnu Hazm dan sebagian ulama Hanafiyah nikah bermakna berserikat antara akad dengan bersetubuh. Adapun ulama ahli fiqh memaknai nikah adalah akad 24 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, antara Fiqh

  

Munakaht dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media Group:2006),

h.36-37.

Bab II: Pernikahan Sirri

  yang diatur oleh agama untuk memberikan kepada laki-laki hak memiliki farji (kemaluan) wanita dan seluruh tubuhnya untuk 25 penimatan sebagai tujuan primer.

  Menurut Muhammad Abu Zahrah di dalam kitabnya al-ahwal al-syakhsiyyah, mendefinisikan nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum berupa halalnya melakukan persetubuhan antara laki- laki dan perempuan, saling tolong menolong serta menimbulkan 26 hak dan kewajiban di antara keduanya.

  Imam Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Kifayat al Akhyar mendefinisikan nikah sebagai al wat’ yaitu akad yang masyhur yang terdiri dari rukun dan syarat dan yang dimaksud dengan al wat’ 27 adalah bersetubuh.

  Berangkat dari makna secara etimologis tersebut para fuqaha beragam dalam mendefinisikan nikah secara terminologi. Wahbah al-Zuhaily mendefinisikan nikah adalah: ”Akad yang telah ditetapkan oleh syar’i agar seseorang laki-laki dapat mengambil manfaat untuk 28 melakukan istimta’ dengan seorang wanita atau sebaliknya”.

  Abû Zahrah di dalam kitabnya al-Ahwãl al-Syakhs}iyyah, men definisikan nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum berupa halalnya melakukan persetubuhan antara laki-laki dengan per empuan, saling tolong menolong serta menimbulkan hak 29 dan kewajiban.

  Hazairin menyatakan bahwa inti dari pernikahan adalah hubungan seksual. Menurutnya tidak ada nikah bila tidak ada hubu- 25 Ibrahim Husen,Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, (Jakarta:Pustaka

  Firadaus, 2003) 26 Muhammad Abu Zahrah, al-ahwal al-syakhsiyyah, (Qahirah: Dar al Fikr al-Arabiyyah,tt), h. 19. 27 Taqiyuddin An-Nabhani Kifayat al Akhyar, (Bandung: Al Maarif: t.t), juz II, h. 36 28 29 Ibid.

  Muhammad Abû Zahrah, al Ahwal Al-Syakhsiyyah (Qahirah: Dãr al- Fikr al-‘Arabi, 1957), 19.

  30 Pernikahan Sirri: Antara Cita dan Realita

  ngan seksual. Senada dengan Hazairin, Mahmud Yunus men- definisikan pernikahan sebagai hubungan seksual. Begitu juga Ibrahim Hosen mendefinisikan pernikahan sebagai akad yang 31 dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita.

  Definisi nikah dalam kitab-kitab fiqh tersebut di atas nampak- nya para ulama dalam mendefinisikan kata nikah semata-mata dalam konteks hubungan biologis. Di mana definisi tersebut belum sepenuhnya menggambarkan hakikat perkawinan itu sendiri. Selain terkesan sangat berorientasi pada biologis definisi menurut ulama fiqh terkesan sangat bias gender yang menempatkan perempuan dalam posisi yang subordinat. Perempuan ditempatkan sebagai objek 32 kenikmatan bagi laki-laki