PREVALENSI DAN DERAJAT INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) DAN LIMOUSIN DI KECAMATAN TIKUNG KABUPATEN LAMONGAN

  SKRIPSI PREVALENSI DAN DERAJAT INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) DAN LIMOUSIN DI KECAMATAN TIKUNG KABUPATEN LAMONGAN Oleh:

INDAH KARTIKA SARI

  061011253

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2014

PREVALENSI DAN DERAJAT INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) DAN LIMOUSIN DI KECAMATAN TIKUNG KABUPATEN LAMONGAN

  Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

  Fakutas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga Oleh:

INDAH KARTIKA SARI

  061011253 Menyetujui,

  Komisi Pembimbing

  (Dr. Lucia Tri Suwanti, drh., MP.) (Dr. Suherni Susilowati, drh., M.Kes.)

  Pembimbing Utama Pembimbing Serta

  PERNYATAAN

  Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi berjudul :

PREVALENSI DAN DERAJAT INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) DAN LIMOUSIN DI KECAMATAN TIKUNG KABUPATEN LAMONGAN

  tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

  Surabaya, 15 Juni 2014 Indah Kartika Sari

  NIM 061011253

  ii iii

  Telah dinilai pada Seminar Hasil Penelitian Tanggal: 9 Juni 2014

  KOMISI PENILAI SEMINAR HASIL PENELITIAN Ketua : Dr. Kusnoto, drh., M.Si.

  Sekretaris : Dr. Soeharsono, drh., M.Si. Anggota : Agus Sunarso, drh., M.Sc. Pembimbing I : Dr. Lucia Tri Suwanti, drh., MP. Pembimbing II : Dr. Suherni Susilowati, drh., M.Kes. Telah diuji pada Tanggal: 23 Juni 2014

  KOMISI PENGUJI SKRIPSI Ketua : Dr. Kusnoto, drh., M.Si.

  Anggota : Dr. Soeharsono, drh., M.Si.

  Agus Sunarso, drh., M.Sc. Dr. Lucia Tri Suwanti, drh., MP. Dr. Suherni Susilowati, drh., M.Kes.

  Surabaya, 23 Juni 2014 Fakultas Kedokteran Hewan

  Universitas Airlangga Dekan, Prof. Hj. Romziah Sidik, drh., Ph.D.

  NIP. 195312161978062001

  iv

PREVALENCE AND DEGREES OF WORMS TRACT INFECTION

  Indah Kartika Sari

  ABSTRACT

  This study aims to determine the prevalence and degree of gastrointestinal worm infection in cattle Ongole Crossbreed and Limousin in Sub-district of Tikung, Lamongan Regency. The research was conducted in February 2014 with 100 samples of stool examination in the laboratory of Helmintology Airlangga University Department of Parasitology, were examined by native, sedimentation, floatation techniques, and count the number of worm eggs per gram of feces. On examination it was found some kind of worm eggs, which are: Oesophagustomum spp., Bunostomum spp., Mecistocirrus spp., Trichostrongylus spp., Trichuris spp., and Moniezia benedini. The results of this study showed prevalence of gastrointestinal worms was 59%. In the calculation of worm eggs per gram feces obtained the number of worms that infect the eggs ranges from 0-500 EPG, so mean of degree infection was light.

  Key words: prevalence and degrees of worms, Ongole Crossbreed and Limousin,

  cattle, Lamongan

  v

UCAPAN TERIMA KASIH

  Segala puji bagi Allah, penciptaku, pelindungku, dan cahaya hatiku. Satu- satunya Dzat yang paling mulia, yang menundukkan hatiku senantiasa berada dijalan-Nya. Kepada-Nyalah dan satu-satu-Nyalah penulis menjadikan-Nya tujuan hidup dalam segala urusan. Shalawat dan salam kepada Nabi mulia Muhammad SAW sebagai pembawa cahaya agung pedoman bagi seluruh umat manusia.

  Alhamdulillah, atas rahmat dan kehendak Allah pulalah penulis dapat melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi dengan judul Prevalensi dan

  Derajat Infeksi Cacing Saluran Pencernaan pada Sapi Peranakan Ongole (PO) dan Limousin di Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan.

  Saya mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu setiap langkah penulis dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini, semoga keberkahan dan rahmat tercurah kepada mereka semua. Dengan kerendahan hati penulis sampaikan salam dan ucapan terimakasih kepada:

  Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Prof. Romziah Sidik B., drh., Ph.D., atas kesempatan mengikuti pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.

  Dr. Lucia Tri Suwanti, MP., drh. dan Dr. Suherni Susilowati, M.Kes., drh., selaku dosen pembimbing skripsi atas ilmu, nasehat, dan semangat yang diberikan kepada penulis.

  Dr. Kusnoto, drh., MSi., selaku ketua penguji, Dr. Soeharsono, drh., M.Si., selaku sekretaris penguji dan Agus Sunarso, drh., M.Sc selaku anggota penguji atas ilmu, koreksi, dan waktu yang diberikan.

  vi M. Gandul Atik Yuliani, drh., M.Si., selaku dosen wali atas bimbingan akademik selama menjadi mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga atas wawasan keilmuan selama mengikuti pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.

  Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Lamongan atas ijin yang diberikan untuk melaksanakan penelitian di Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan dan atas bantuannya dalam pengambilan sampel di lapangan.

  Terimakasih yang terdalam kepada Abahku dan Ibuku atas cinta dan keteladanannya serta atas kasih sayang dan doanya. Terimakasih kepada yang tersayang seluruh keluarga besarku; saudara-saudaraku, kakek dan nenekku atas cinta, motivasi dan doanya.

  Teman-teman penelitian Itsna, Marisa, dan Pipit atas semangat dan kerjasamanya, serta Mas Yoga atas bantuannya di Laboratorium Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Sahabat-sahabat tersayang Yeni, Cita, Ririn, Alim, Bastian, Vina, Ika, Mbak Cita, Dek Rinda, Mas Faris, dan Mbak Hesty atas bantuan, semangat, doa, motivasi, dan inspirasinya. Tidak lupa juga kepada semua teman-teman di Fakultas Kedokteran Hewan sebagai rekan dalam menimba ilmu.

  Surabaya, 2 Juni 2014 Penulis

  vii

  DAFTAR ISI

  Halaman HALAMAN JUDUL ................................................................................ i HALAMAN PERNYATAAN ........................................................... ii HALAMAN IDENTITAS ................................................................. iii ABSTRACT ...................................................................................... v UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................... vi DAFTAR ISI ..................................................................................... viii DAFTAR TABEL .................................................................................... x DAFTAR GAMBAR ........................................................................ xi DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xii SINGKATAN DAN ARTI LAMBANG .......................................... xiii

  BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................. 1

  1.1. Latar Belakang .................................................................... 1

  1.2. Rumusan Masalah ............................................................... 4

  1.3. Landasan Teori .................................................................... 5

  1.4. Tujuan Penelitian ................................................................ 6

  1.5. Manfaat Penelitian .............................................................. 6

  1.6. Hipotesis. ............................................................................. 7

  BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................... 8

  2.1. Cacing Saluran Pencernaan pada Sapi Potong ................... 8

  2.1.1. Etiologi Cacing Saluran Pencernaan ...................... 8

  2.1.2. Morfologi Cacing Saluran Pencernaan. ................. 8

  2.1.3. Siklus Hidup Cacing Saluran Pencernaan .. ........... 11

  2.1.3.1. Siklus H idup Cacing Trematoda… ........... 11

  2.1.3.2. Siklus Hidup Cacing Nematoda. ............... 12

  2.1.3.3. Siklus Hidup Cacing Cestoda.................... 14

  2.1.4. Patogenesa Cacing Saluran Pencernaan ................. 15

  2.1.5. Diagnosa Cacing Saluran Pencernaan .................... 17

  2.1.6. Pengendalian Cacing Saluran Pencernaan ............ 18

  2.1.6.1. Pencegahan Cacing Saluran Pencernaan.. . 18

  2.1.6.2 Pengobatan Cacing Saluran Pencernaan . . 19

  2.2. Tinjauan geografis .............................................................. 21

  2.3. Gambaran Umum Sapi Potong ........................................... 21

  2.4. Menentukan Umur Sapi. ..................................................... 22

  BAB 3 MATERI DAN METODE ................................................. 24

  3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................ 24

  3.2. Jenis dan rancangan penelitian ........................................... 24

  3.3. Materi Penelitian ................................................................ 24

  3.3.1. Sampel Penelitian ..................................................... 24

  3.3.2. Bahan dan perlatan Penelitian .................................. 25

  viii

  3.4. Metode Penelitian............................................................... 25

  3.4.1. Pengambilan Sampel ................................................ 25

  3.4.2. Pemeriksaan Sampel ................................................ 26

  3.4.2.1. Metode Sederhana (Natif). .......................... 26

  3.4.2.2. Metode Sedimentasi ................................... 26

  3.4.2.3. Metode Pengapungan .................................. 27

  3.4.2.4. Penghitungan TCPGT ................................. 28

  3.4.2.5. Standar Keparahan Helminthiasis Berdasarkan TCPGT ................................... 29

  3.5. Analisis Data ...................................................................... 30

  3.6. Skema Alir Penelitian ........................................................ 31

  BAB 4 HASIL PENELITIAN ....................................................... 32 BAB 5 PEMBAHASAN ................................................................ 41 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ......................................... 49

  6.1. Kesimpulan ........................................................................ 49

  6.2. Saran .................................................................................. 50 RINGKASAN .................................................................................... 51 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 54 LAMPIRAN ....................................................................................... 59

  ix

  DAFTAR TABEL Tabel Halaman

  3.1 Sampel Feses yang Digunakan dalam

  25 Penelitian………………………………………………...

  4.1 Jenis Telur Cacing yang Menginfeksi Sapi PO di Kecamatan Tiku

  32 ng, Kabupaten Lamongan………………

  4.2 Jenis Telur Cacing yang Menginfeksi Sapi Limousin di

  33 Kecamatan Tikung, Kabupaten Lamongan……………..

  4.3 Prevalensi Cacing Saluran Pencernaan pada Sapi PO dan Limousin di Kecamatan Ti

  38 kung, Kabupaten Lamongan…

  x

  DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman

  2.1 Telur Cacing Saluran Pencernaan pada Sapi

  10 (Sumber: Soulsby: 1986)…………………………………

  2.2 Penentuan Umur Sapi Dilihat dari Susunan Gigi

  23 (Sumber: Sudarmono dan Sugeng, 2008)………………..

  3.1

  31 Skema Alir Penelitian…………………………………..

  4.1 Telur Oesophagustomum spp.

  35 (Metode Apung; perbesaran 400×)……………………… 4.2 Telur Bunostomum spp.

  (Metode Apung; pe rbesaran 400×)……………………… 35

  4.3 Telur Mecistocirrus spp.

  (Metode Apung; perbesaran 400×)……………………… 36 4.4 Telur Trichostrogylus spp. (Metode Apung; perbesaran 400×)……………………… 36 4.5 Telur Trichuris spp. (Metode Apung; perbesaran 400×)……………………… 37

  4.6 Telur Moniezia benedini (Metode Apung; perbesaran 400×)……………………… 37

4.7 Analisis Regresi Pohon………………………………….. 40

  xi

  DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman

  1. Data dan Hasil Pemeriksaan Sampel Cacing Saluran Pencernaan pada Sapi PO dan Limousin di Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan……………………………....

  59

  2. Keadaan Ternak di Kecamatan Tikung, Kabupaten

  62 Lamongan…………………………………………………...

  63 3. Peta Kecamatan Tikung, Kabupaten Lamongan…………….

4. Alat yang Digunakan pada Penelitian………………………. 64

  xii

SINGKATAN DAN ARTI LAMBANG

  xiii

  % = persentase °C = derajat celcius cm = centimeter dkk. = dan kawan kawan EPG = Egg Per Gram

  et al. = et alii

  Ha = hektar kg = kilogram km = kilometer m = meter µm = mikrometer ml = mililiter mm = milimeter PCV = Packed Cell Volume PO = Peranakan Ongole sp. = spesies spp. = spesiesis TCPGT = Telur Cacing Per Gram Tinja

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Indonesia merupakan negara agraris dengan mata pencaharian penduduknya sebagian besar pada sektor pertanian, salah satunya adalah usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong (Arbi, 2009). Menurut Priyanto (2011), kebutuhan akan daging sapi di Indonesia menunjukkan trend yang meningkat setiap tahun.

  Peningkatan kebutuhan sapi potong tersebut disebabkan tuntutan masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan daging sapi sebagai sumber protein hewani (Yusuf, 2010). Sementara itu laju peningkatan kebutuhan tersebut belum diimbangi dengan peningkatan produksi sapi potong (Subagyo, 2009). Direktorat Jenderal Peternakan menyebutkan bahwa pada tahun 2007 peningkatan populasi sapi potong hanya sebesar 4,23%. Kondisi tersebut menyebabkan jumlah pasokan sapi potong terhadap produksi daging nasional rendah, sehingga terjadi kesenjangan yang signifikan antara permintaan dan produksi daging sapi (Mersyah 2005; Santi 2008). Dalam menangani permintaan daging yang terus meningkat pemerintah mengambil langkah kebijaksanaan, yaitu meningkatkan produksi daging sapi dalam negeri (Bambang, 2002).

  Kabupaten Lamongan merupakan salah satu sentra unggulan pengembangan ternak sapi potong di Jawa Timur. Secara umum budidaya ternak sapi potong di Kabupaten Lamongan dikembangkan dengan pembibitan dan penggemukan. Salah satu Kecamatan di Kabupaten Lamongan yang memiliki populasi besar adalah Kecamatan Tikung. Populasi di Kecamatan Tikung mencapai 7.945 ekor,

  1 dari total populasi di Kabupaten Lamongan 117.788 ekor pada bulan April 2013, dengan jumlah produksi daging sapi rata-rata per tahun 235.577 kg (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Lamongan 2013).

  Faktor yang mempengaruhi keberhasilan dari usaha tersebut adalah pakan dan pengendalian penyakit. Penyakit yang menjadi masalah menahun di negara tropis seperti Indonesia salah satunya adalah penyakit cacing saluran pencernaan. Jenis cacing yang sering menginfeksi adalah cacing dari kelas Trematoda, Cestoda dan Nematoda (Raza et al., 2012). Setiyono (2007) menyatakan bahwa angka prevalensi cacing saluran pencernaan pada sapi potong di Kabupaten Jombang adalah 59,3%. Menurut Yulianto (2007), penyebaran infeksi cacing terjadi cukup tinggi pada daerah tropis yang lembab dan panas, sehingga mendukung kelangsungan hidup cacing tersebut. Menurut Raza et al. (2012), manajemen pemeliharaan ternak terutama sanitasi kandang dan kebersihan kandang yang kurang baik merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi prevalensi penyakit cacingan. Selain itu, menurut Raza et al. (2012) sejumlah faktor intrinsik yang juga mempengaruhi infeksi cacingan, diantaranya adalah umur, jenis kelamin, dan bangsa sapi. Sapi muda terutama yang berumur satu sampai tiga bulan rentan terinfeksi cacing Toxocara vitulorum, karena kolostrum dari induk tidak memberikan perlindungan untuk melawan infeksi terhadap cacing tersebut (Koesdarto dkk., 2007). Reaksi daya tahan tubuh terhadap infeksi cacing pada sapi dewasa lebih baik daripada sapi muda. Selain itu, jenis crossbreed dari Bos indicus lebih resisten terhadap paparan cacing terutama dibandingkan jenis sapi

  purebreed yang berada di kondisi daerah tropis (Alencar et al., 2009). Di

  Kecamatan Tikung, Kabupaten Lamongan jenis sapi crossbreed yang telah banyak dipelihara penduduk adalah sapi PO dan sapi Limousin. Sebagian besar penduduk di Kecamatan Tikung masih memelihara sapi dengan cara tradisional, kandang sapi potong berada di belakang rumah dengan bangunan semi permanen dan tidak terdapat saluran pembuangan feses dan urin ternak, sehingga sanitasi kandang tidak terjaga. Kecamatan Tikung secara geografis sebagian besar wilayahnya dikelilingi oleh waduk, yang merupakan dataran rendah dan sering terlanda banjir ketika musim hujan, yang mana air merupakan media perkembangbiakan yang baik bagi cacing saluran pencernaan dan media transport telur cacing.

  Kerugian-kerugian akibat penyakit cacing saluran pencernaan, antara lain penurunan berat badan, penurunan kualitas daging, kulit, jerohan, penurunan produktivitas ternak, penurunan produksi susu pada ternak perah dan bahaya penularan pada manusia atau zoonosis (Gasbarre et al., 2001). Penyakit cacing saluran pencernaan pada hewan merupakan penyakit yang dapat mempengaruhi produktivitas ternak dan umumnya tidak menimbulkan kematian, tetapi bersifat menahun yang dapat mengakibatkan kekurusan, lemah dan turunnya daya produksi. Infeksi cacing ringan sampai sedang tidak selalu menampakkan gejala klinis yang nyata, sedangkan infeksi berat dari cacing dewasa dapat menyebabkan gangguan pencernaan dan terhambatnya pertumbuhan pada hewan ternak muda (Subekti dkk, 2011). Oleh karena itu diperlukan suatu tindakan pencegahan dan pemberantasan sebagai usaha pengendalian penyakit cacing saluran pencernaan untuk menghindari kerugian yang lebih besar (Mustika dan Riza, 2004).

  Berdasarkan latar belakang di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang prevalensi dan derajat infeksi penyakit cacing saluran pencernaan pada sapi potong PO dan Limousin di Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan. Dengan mengetahui jenis cacing yang menginfeksi maka segera dapat dilakukan pengobatan dengan jenis obat antiparasit yang tepat, sehingga pengobatannya menjadi lebih efektif. Data kejadian penyakit cacing yang diperoleh diharapkan bisa dimanfaatkan dalam usaha pemberantasan penyakit cacing, dalam rangka pengembangan peternakan sapi potong dan mengurangi kerugian yang ditimbulkan.

1.2 Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1) Jenis telur cacing apa yang menginfeksi saluran pencernaan sapi PO dan Limousin di Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan? 2) Berapakah prevalensi infeksi cacing saluran pencernaan sapi PO dan

  Limousin di Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan? 3) Apakah jenis kelamin berpengaruh terhadap infeksi cacing saluran pencernaan pada sapi PO dan Limousin di Kecamatan Tikung

  Kabupaten Lamongan? 4) Apakah umur berpengaruh terhadap infeksi cacing saluran pencernaan pada sapi PO dan Limousin di Kecamatan Tikung

  Kabupaten Lamongan?

  5) Apakah ras berpengaruh terhadap infeksi cacing saluran pencernaan pada sapi PO dan Limousin di Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan?

1.3 Landasan Teori

  Kejadian penyakit cacing ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya kondisi lingkungan, manajemen pakan, dan iklim setempat. Menurut Andrade et al. (2001) infeksi cacing dapat dipengaruhi oleh sanitasi dan kondisi lingkungan yang kurang baik. Penularan penyakit yang disebabkan parasit ini mencakup tiga faktor yaitu sumber infeksi, cara penularan dan adanya hewan yang peka yang dapat bertindak sebagai hewan karier sehingga dapat merupakan sumber infeksi (Brown, 1983). Menurut Galloway (1974) penyebaran penyakit cacing dipengaruhi oleh musim, keadaan lingkungan, tata laksana dan pakan.

  Sedangkan menurut Tizard (1988) menyatakan bahwa infeksi cacing dipengaruhi oleh faktor dari dalam tubuh inang yaitu umur, jenis kelamin dan bangsa sapi.

  Tindakan yang dapat dilakukan untuk menekan atau mengurangi jumlah infeksi cacing pada sapi potong yaitu dengan memperhatikan lingkungan sekitar kandang, sehingga pakan dan minuman yang diberikan terhindar dari pencemaran feses atau kontaminasi kotoran yang mengandung larva infektif (Soulsby, 1986).

  1.4 Tujuan Penelitian

  Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut : 1) Mengetahui jenis cacing saluran pencernaan sapi PO dan Limousin di Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan.

  2) Menghitung prevalensi infeksi cacing saluran pencernaan sapi PO dan Limousin di Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan.

  3) Menganalisis pengaruh jenis kelamin terhadap infeksi cacing saluran pencernaan pada sapi PO dan sapi Limousin di Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan. 4) Menganalisis pengaruh umur terhadap infeksi cacing saluran pencernaan pada sapi PO dan sapi Limousin di Kecamatan Tikung

  Kabupaten Lamongan. 5) Menganalisis pengaruh ras terhadap infeksi cacing saluran pencernaan pada sapi PO dan sapi Limousin di Kecamatan Tikung Kabupaten

  Lamongan.

  1.4 Manfaat Penelitian

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai prevalensi dan derajat infeksi cacing saluran pencernaan serta jenis telur cacing yang menginfeksi sapi PO dan Limousin di Kecamaatan Tikung Kabupaten Lamongan, sehingga bermanfaat bagi usaha pencegahan, pemberantasan dan pengobatan penyakit cacing. Penelitian ini diharapkan juga menjadi informasi pengetahuan dan bahan pustaka bagi para mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan dan semua pihak yang berkepentingan.

1.5 Hipotesis Penelitian

  Hipotesis pada penelitian ini adalah : 1) Jenis kelamin berpengaruh terhadap infeksi cacing saluran pencernaan pada sapi PO dan Limousin di Kecamatan Tikung Kabupaten

  Lamongan. 2) Umur berpengaruh terhadap infeksi cacing saluran pencernaan pada sapi PO dan Limousin di Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan.

  3) Jenis ras berpengaruh terhadap infeksi cacing saluran pencernaan pada sapi PO dan Limousin di Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Cacing Saluran Pencernaan

  2.1.1 Etiologi Cacing Saluran Pencernaan

  Soulsby (1986) menyebutkan jenis cacing saluran pencernaan yang sering menyerang tenak sapi berasal dari kelas Nematoda, Cestoda, dan Trematoda. Jenis cacing yang berasal dari kelas Nematoda antara lain Bunostomum spp., Trichuris spp., Strongyloides papillosus, Toxocara vitulorum, Gaigeria spp., spp. Trichostrongylus spp., Cooperia spp, dan Mecistocirrus

  Oesophagostomum digitatus. Jenis cacing yang berasal dari kelas Cestoda adalah Moniezia benedini.

  Sedangkan jenis cacing yang berasal dari kelas Trematoda antara lain Fasciola spp., Paramphistomum cervi, Cotylophoron cotylophorum, Eurytrema

  

pancreaticum dan Gastrothylax crumenifer (Soulsby, 1986 ; Tarmuji, 1988).

  2.1.2 Morfologi Telur Cacing Saluran Pencernaan Telur Fasciola sp. berbentuk ovoid dan dilengkapi dengan operculum.

  Ukuran telur 120

  • –160 x 63–90 µm. Telur Oesophagustomum spp. mempunyai lapisan atau selaput tipis. Bentuk permukaan telur elips. Telur yang dikeluarkan sudah mengandung 8-16 sel dan berukuran 73-89 x 34-45 µm. Telur Bunostomum spp. mempunyai ukuran telur 79-97 x 47-50 µm. Telur berbentuk bulat lonjong dengan ujung tumpul dan berisi sel embrio. Warna telur lebih gelap dari genus lain sehingga lebih mudah dibedakan dari telur cacing lainnya. Telur Gaigeria

  pachyscelis berukuran besar yaitu 105-129 x 50-55 µm. Bentuk telur tumpul pada

  8 kedua ujungnya. Telur Trichostrongylus spp. disebut juga telur lambung. Ukuran telur 79-101 x 39-47 µm. Telur berbentuk oval dengan salah satu ujungnya terlihat lancip. Telur Mecistocirrus spp. berukuran 95-120 x 56-60 µm. Telur ini berwarna lebih gelap dari Haemonchus. Banyak ditemukan di Indonesia pada ternak ruminansia besar. Telur Trichuris spp. berwarna coklat berbentuk seperti buah lemon dengan kedua ujungnya mempunyai sumbat transparan. Panjang telur 70-80 x 30-42 µm. Telur Strongyloides papillosus memiliki panjang 40

  • –60 × 20– 26 µm, saat dikeluarkan sudah mengandung larva dengan dinding telur yang tipis. Telur Toxocara vitulorum berbentuk sub globular dikelilingi lapisan albumin yang tebal dan ukurannya 75-95 x 60-75 µm. Telur Paramphistomum cervi mempunyai operculum dan panjang 147
  • – 176 µm. Telur Cotylophoron cotylophorum mempunyai ukuran panjang
  • –135 × 61–68 µm. Telur Cooperia punctata yang berbentuk elips berukuran 67
  • –85 µm. Telur Moniezia sp. berbentuk segitiga untuk dan berbentuk segi empat untuk Moniezia benedini dan

  Moniezia expansa

  mengandung pyriform aparantus serta mempunyai ukuran 56

  • –57 µm (Subekti dkk, 2010).

  A D C E B F G H

  I Gambar 2.1 Telur Cacing Saluran Pencernaan pada Sapi, (A) Parampistomum cervi ., (B) Strogyloides papillosus., (C) Trichuris spp., (D) Moniezia benedini ., (E) Fasciola sp., (F) Trichostrogylus spp., (G) Bunostomum spp., (H) Oesophagustomum spp. dan (I) Cotyloporon cotyloporum. (Soulsby, 1986).

2.1.3 Siklus Hidup Cacing Saluran Pencernaan

2.1.3.1 Siklus Hidup Cacing Trematoda Siklus hidup dari cacing Trematoda membutuhkan induk semang antara.

  Telur yang dikeluarkan bersama tinja induk semang pada keadaan lingkungan yang sesuai akan dikeluarkan menjadi larva mirasidium. Temperatur yang paling baik untuk penetasan telur adalah 22°C

  • – 26°C, sedangkan dibawah 10°C telur Fasciola sp. tidak menetas tapi dapat bertahan lama serta dapat menetas kembali apabila keadaan lingkungan baik (Koesdarto dkk., 2007; Hall, 1977). Di atas suhu

  26°C telur Fasciola sp. menetas dalam waktu dua sampai tiga hari. Selanjutnya mirasidium berenang mencari siput air sebagai inang perantara. Sebagai inang perantara cacing Fasciola sp. adalah jenis siput dari genus lymnea, sedangkan cacing famili paramphistomatidae sebagai inang perantara adalah genus Bulinus,

  Indoplanorbis, Planorbis, Cleopatra (Subekti dkk., 2010). Mirasidium

  mengadakan penetrasi pada tubuh siput dan berkembang menjadi sporokista selama 12 jam untuk famili Paramphistomatidae. Tiap sporokista berkembang menjadi lima sampai delapan redia, selanjutya redia berkembang menjadi serkaria yang memiliki ekor yang lebih panjang dari badannya. Serkaria keluar dari tubuh siput apabila ada rangsangan sinar dan berenang dalam air. Apabila serkaria tidak segera mendapatkan inang definitif maka serkaria akan menempel pada rumput.

  Serkaria memiliki kelenjar untuk membentuk dinding kista dan ekor serkaria dilepaskan untuk membentuk metaserkaria. Infeksi terjadi bila induk semang definitif memakan rumput atau minum air tercemar oleh serkaria atau metaserkaria (Subekti dkk., 2010; Koesdarto dkk., 2007).

2.1.3.2 Siklus Hidup Cacing Nematoda

  Siklus hidup cacing Nematoda terdiri dari telur, empat stadium larva, dan dewasa (Levine, 1990). Habitat cacing Nematoda dewasa di dalam saluran gastrointestinal inang definitif. Telur yang diproduksi oleh cacing betina dewasa keluar bersama tinja. Telur berembrio akan menetas di luar tubuh inang menjadi stadium larva stadium 1 (L ) yang berkembang dan ekdisis menjadi larva stadium

  1

  2 (L ). Selanjutnya larva stadium 2 (L ) mengalami ekdisis menjadi larva stadium

  2

  

2

  3 (L ) namun kutikulanya tidak dilepas setelah ekdisis sebelumnya sehingga larva

  3

  stadium 3 (L ) memiliki kutikula rangkap (Soulsby 1982, Levine 1990). Larva

  3

  infektif dapat masuk ke tubuh ruminanisia melalui beberapa cara diantaranya yaitu lewat pakan, minum, atau penetrasi kulit. Pada genus Haemonchus,

  Mecistocirrus, Trichostrongylus, Trichuris, Oesophagostomum dan Toxocara vitulorum larva infektif ini masuk ke dalam tubuh hewan melalui pakan dan

  minum (Subekti dkk., 2011). Pada genus Haemonchus dan Mecistocirrus setelah larva stadium 3 (L ) masuk dalam saluran pencernaan kemudian melepaskan

  3

  selubungnya dan migrasi ke abomasum. Di dalam abomasum larva stadium 3 (L )

  3

  mengalami perkembangan lebih lanjut menjadi larva stadium 4 (L ) dalam waktu

  4

  2 hari setelah infeksi, selanjutnya larva berpredileksi pada lamina propria selaput lendir abomasum. Pada cacing Trichostrongylus, larva stadium 3 (L ) masuk ke

  3

  dalam saluran pencernaan dengan menembus mukosa usus halus kemudian berdiam diri selama 7 hari dan mengalami pergantian kulit menjadi larva stadium 4 (L ), selanjutnya larva keluar dari mukosa usus halus ke lumen usus dan

  4

  menjadi dewasa. Pada cacing Trichuris, setelah larva stadium 3 (L ) masuk

  3

  bersama pakan selanjutnya larva akan menetas di dalam usus. Kemudian larva menuju sekum dan menempel pada bagian mukosa sekum untuk berkembang menjadi dewasa. Pada cacing Oesophagostomum, larva stadium 3 (L ) menembus

  3

  mukosa usus halus dan usus besar sampai pada lapisan muskularis usus dan membentuk kapsul, larva stadium 3 (L ) akan menjadi larva stadium 4 (L ) dan

  3

  4

  hidup dalam kista dan akan menaglami demineralisasi, sedang sebagian keluar dari kista masuk ke dalam lumen sekum dan kolon berkembang menjadi larva stadium 5 (L ), selanjutnya berkembang dan menempel pada mukosa sekum serta

  5

  kolon menjadi dewasa. Cacing Toxocara vitulorum telur infektif mengandung larva stadium 2 (L ). Pada kondisi optimal diluar tubuh host stadium infektif dapat

  2

  dicapai 3-6 hari. Bila telur infektif termakan bersama pakan atau minum, setelah sampai di usus larva stadium 2 (L ) masuk dinding usus halus dan tinggal di usus

  2

  sampai menjadi larva stadium 4 (L ), kemudian menuju mukosa dan lumen usus,

  4

  larva stadium 5 (L ) dicapai pada minggu keenam kemudian akan menjadi cacing

  5 dewasa dan menghasilkan telur setelah 74 hari infeksi (Subekti dkk., 2010).

  Cacing Gaigeria pachyscelis, penularannya hanya melalui kulit. Selanjutnya larva mencapai paru-paru melalui sistem pembuluh darah dan megalami eksidisis yang ketiga, pada paru-paru larva akan tinggal selama ± 13 hari. Selanjutnya Larva stadium 4 (L ) migrasi ke bronki, trakhea, dan faring kemudian ditelan mencapai

  4

  saluran pencernaan, selanjutnya terjadi eksidisis ke-4 dan berkembang menjadi dewasa ± 10 minggu pasca infeksi. Pada genus Bunostomum larva infektif masuk ke tubuh inang definitif selain secara per oral (melalui pakan dan minum) juga melalui penetrasi kulit. Melalui kedua cara infeksi tersebut, kemudian larva mengadakan lung migration, di dalam jaringan paru-paru terjadi moulting atau pengelupasan kulit ketiga kemudian larva menuju bronki dan trakea. Selanjutnya larva stadium 4 (L ) yang sudah mempunyai bukal kapsul mencapai saluran

  4 pencernaan (usus halus) setelah 11 hari dan terus tumbuh menjadi cacing dewasa.

  (Subekti dkk., 2010).

2.1.3.3 Siklus Hidup Cacing Cestoda

  Siklus hidup dari parasit cacing Cestoda membutuhkan induk semang antara, apabila telur termakan induk semang antara maka oncosfer dan embriofor akan hancur oleh aktivitas enzim saluran pencernaan induk semang antara, oncosfer menembus dinding usus menuju pembuluh darah dan ikut aliran darah ke tempat predileksi. Sapi akan terinfeksi bila memakan rumput yang terdapat mites (tungau) yang mengandung sistiserkoid yang infektif (Koesdarto dkk., 2007).

  Moniezia expansa , siklus hidup cacing ini memerlukan induk semang perantara

  berbagai jenis tungau dari famili Oribatidae dengan genus Galumna, Oribatula,

  Teloribates, Protoscheoribates, Scheloribates, Scutovertex dan Zigoribatula

  (Subekti dkk., 2010). Telur ditularkan bersama tinja induk semang satu persatu atau dalam keadaan berkelompok dalam segmen yang terlihat seperti butiran beras. Apabila segmen mature termakan oleh famili Oribatidae maka dindingnya akan sobek dan telur akan keluar, lalu oncosfer akan tumbuh membesar setelah 4 bulan akan membentuk sisterkoid (Urquhart et al., 1988). Infeksi terjadi pada hewan bila memakan rumput yang terdapat tungau yang terinfeksi oleh sisterkoid.

2.1.4 Patogenesa Cacing Saluran Pencernaan

  Infeksi dari kelas Trematoda merupakan parasit yang sangat penting pada ternak sapi karena dapat menyebabkan kondisi tubuh ternak menurun dan merupakan predisposisi terhadap penyakit lain (Hariyanto dkk., 1986). Kejadian infeksi ini dapat berlangsung akut maupun kronis tergantung derajat infeksinya (Soulsby, 1986). Infeksi dari Fasciola sp. berjalan kronis. Akibat adanya cacing dewasa dalam jumlah banyak akan menyebabakan kerusakan epitel saluran empedu dan jaringan hati sehingga akan terjadi foki nekrotik serta diikuti dengan pembentukan jaringan fibrosa yang berlebihan. Adanya jaringan fibrosa menyebabkan perubahan salauran empedu sehingga akan mengalami pengapuran (Coles, 1986 ; Urquhart et al., 1988). Selain itu cacing dewasa akan menyebabkan hewan kekurangan darah. Infeksi dari Paramphistomum spp. dapat menyebabkan reaksi keradangan, penebalan dan pada mukosa usus tampak hemoragi. Cacing dewasa kurang patogen tetapi dalam jumlah besar bisa menyebabkan pelepasan papilla rumen (Kusumamihardja, 1985; Koesdarto dkk., 2007).

  Akibat infeksi cacing Nematoda pada saluran pencernaan sapi banyak sekali menimbulkan kerusakan pada dinding abomasum dan usus halus, selain itu kerusakan juga dapat disebabkan dari perjalanan daur hidup larva ke organ lain. Adaya penebusan larva cacing kedalam mukosa usus halus menimbulkan iritasi dan peradangan dinding mukosa usus halus yang disertai dengan adanya lesi, ulsera, perdarahan dan diare, bahkan apabila semakin parah bisa terjadi ruptura (Subekti dkk., 2010). Soulsby (1986) menyatakan bahwa infeksi dari Ostertagia spp. ditandai nodul pada permukaan mukosa abomasum. Infeksi dari cacing

  Trichostrogylus spp. dan Nematodirus walaupun tidak menghisap darah tetapi

  dapat menimbulkan luka dan disertai perdarahan sebagai akibat penembusan larva ke dalam mukosa usus halus. Cacing dari genus Cooperia, Nonustomum dan

  Strongyloides selain menghisap darah juga bentuk larvanya dapat menembus

  mukosa sehingga menimbulkan reaksi keradangan yang disetai perdarahan pada hewan akan mengalami anemia. Infeksi Bonustomum yang berat hewan selain menderita anemia juga hipoproteinemia yang akhirnya menimbulkan oedema dibawah kulit, pada kasus yang kronis bisa menyebabkan bottle jaw. Cacing dewasa dari genus Mecistocirrus yang hidup di lumen abomasum dan di duodenum akan merusak mukosa dengan cara memasukkan dorsal lansetnya untuk menghisap darah. Cacing ini juga mengeluarkan zat anti pembekuan darah ke dalam luka yang ditimbulkan sehingga mukosa tersebut menjadi teriritasi.

  Cacing tersebut menghisap darah induk semang dalam jumlah yang cukup besar (Subekti dkk., 2010). Infeksi cacing dari genus Trichuris akan menimbulkan radang mukosa sekum, nekrose, haemoragi, oedema mukosa sekum pada sejumlah cacing dewasa. Cacing dari genus Oesophagustomum apabila menginfeksi pada ternak akan terjadi reaksi keradangan lokal dikelilingi larva sehingga terjadi penggumpalan sel eosinofil, limfosit, makrofag, dan sel raksasa mengelilingi larva sehingga terbentuk nodul, kemudian pada pusat nodul terjadi pengejuan dan pengapuran serta diluarnya terbentuk kapsul dari fibroblas. Larva dapat bertahan dalam nodul kurang lebih tiga bulan dan apabila nodul sudah megalami pengejuan dan pengapuran maka larva akan mati (Soulsby, 1986). Cacing dewasa dari genus Chabertia hidupnya menempel pada membran mukosa dari kolon dengan menggunakan bukal kapsul, cacing ini menghisap pembuluh darah sehingga menyebabkan pecahnya pembuluh darah (Soulsby, 1986).

  Infeksi cacing Moniezia sp. dapat menimbulkan iritasi pada usus sehingga terjadi gangguan pencernaan (Kusumamihardja, 1993). Infeksi ringan menyebabakan gangguan pencernaan dan pertumbuhan, sedangkan infeksi berat berhubungan erat dengan tungau yang ada di padang rumput (Soulsby, 1986; Koesdarto dkk., 2007).

2.1.5 Diagnosa Cacing Saluran Pencernaan

  Parasitisme baru memperlihatkan gejala klinis bila keseimbangan hubungan antara hospes dengan parasit terganggu, yang mungkin disebabkan oleh kepekaan hospes yang menurun dan atau oleh peningkatan jumlah parasit yang patogen di dalam tubuh hospes. Sehingga, perlu adanya pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosa. Pemeriksaan yang biasanya dilakukan adalah pemeriksaan feses (Subronto, 2007). Sedangkan menurut Soulsby (1986) untuk melakukan diagnosis ternak sapi terhadap kemungkinan terkena infeksi cacing saluran pencernaan dapat dilakukan dengan melihat gejala klinis yang tampak seperti menurunnya nafsu makan, diare, anemia, bulu kotor, dan suram, menurunnya berat badan dan lambatnya pertumbuhan pada sapi muda. Cara yang lebih tepat dan sering digunakan untuk diagnosis adalah dengan melakukan pemeriksaan secara mikroskopis terhadap adanya telur cacing pada tinja sapi.

  Telur cacing Nematoda akan keluar dari tubuh hewan bersama feses, sehingga dengan pemeriksaan feses akan mudah diketahui apakah hewan tersebut terinfeksi cacing (Kosasih, 2001).

2.1.6 Pengendalian Cacing Saluran Pencernaan

2.1.6.1 Pencegahan Cacing Saaluran Pencernaan

  Pencegahan dilakukan untuk menekan jumlah infeksi parasit cacing pada saluran pencernaan hewan ternak sapi dapat dilakukan dengan beberapa tindakan.

  Sapi-sapi yang dikandangkan hendaknya diberi pakan dan minum yang bebas dari kontaminasi tinja atau kotoran yang mengandung larva infektif dari cacing (Soulsby, 1986). Kandang harus tetap bersih dan dijaga agar tetap kering, kotoran kandang yang berasal dari sapi hendaknya dibuang sesering mungkin (Levine, 1990). Menghindari kepadatan ternak yang berlebihan, sapi muda dan sapi dewasa hendaknya dipisahkan karena sapi yang lebih tua sering kali merupakan sumber infeksi bagi sapi (Levine, 1990).

  Beberapa tindakan pencegahan dan pengendalian penyakit nematodosis secara umum menurut Subekti dkk. (2011), yaitu: (1) mengurangi sumber infeksi dengan tindakan terapi; (2) pengawasan sanitasi air, makanan, keadaan tempat tinggal dan sampah; dan (3) pemberantasan inang perantara dan vektor.

  Parasit gastrointestinal pada umumnya masuk kedalam tubuh hospes definitif melalui pakan yang tercemar larva. Pedet yang baru lahir dapat tertular oleh larva yang terdapat di dalam kolostrum atau menempel pada puting. Selain itu, penularan dengan menembus kulit pada hewan muda juga banyak terjadi (Subronto, 2007).

2.1.6.2 Pengobatan Cacing Saluran Pencernaan pada Sapi Potong

  Menurut Sasnita dkk (1991) dan Koesdarto dkk (2007) selain melakukan tindakan pencegahan, pengobatan juga dilakukan dalam menanggulangi lebih lanjut adanya infeksi parasit cacing. Dalam menentukan obat yang digunakan harus mempunyai toksisitas terhadap semua jenis cacing dan semua stadium tetapi tidak membahayakan bagi hewan dan manusia, cara pemberianya mudah, harganya murah serta mudah didapat.

  Pengendalian penyakit cacing pada ternak umumnya dilakukan dengan menggunakan obat cacing, diantaranya adalah benzimidazol, levamisol, dan ivermectin (Haryuningtyas dan Beriajaya 2002, dikutip Mustika dan Ahmad, 2004).

  Anthelmintik dapat digunakan untuk mencegah bahaya banyaknya telur cacing mencapai tanah sehingga mengurangi infeksi pada ternak yang peka (Williamson dan Payne, 1993). Beberapa anthelmintika yang dapat digunakan adalah avermectin, mebendazole, thiabendazole, methyridine, cuper sulfat dan hexacholorophene.

  Avermectin pada saraf tepi memperkuat peranan GABA (Gama Amino Butiric Acid) dalam proses transmisi sehingga cacing mati dalam keadaan paralisis. Dosis yang efektif terhadap larva dan Nematoda saluran pencernaan sapi adalah 50-200 mg/kg BB (Soulsby, 1986).

  Cuper sulfat efektif terhadap cacing Cestoda terutama Moniezia spp. dengan dosis 10-100 ml (larutan 1%) atau campuran cuper sulfat dan nicotine sulfate diberikan rata- rata 1,8 gram tiap ekor hewan infektif. Hexacholorophene efektif terhadap cacing Trematoda. Pada cacing Fasciola spp. pemberian dosis 15 mg/kg BB diberikan secara per oral efektif untuk cacing dewasa dan dosis 40 mg/kg BB dapat membunuh cacing muda umur empat minggu. Sedangkan pada spp., Cotylophoron spp., Gastrothylax spp., dan Gigantocotyl

  Paramphistomum

  spp. diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB. Mebendazole efektif untuk cacing dewasa dan cacing yang belum masak (immature) dan mempunyai efektifitas 85- 90 % terhadap Oesophagostomum spp. dan Chabertia spp. serta 60-80 % terhadap

  Trichuris spp. Dosis pemakaiannya adalah dosis 12,5 mg/ kg BB. Methyridine

  diberikan dengan dosis 200 mg/kg BB sangat efektif terhadap larva dan cacing dewasa dari genus Trichostrongylus Nematodirus, Oesophagostomum, Chabertia,

  Strongyloides, Trichuris dan Cooperia. Pemberikan melalui suntikan di bawah

Dokumen yang terkait

STATUS NUTRISI SAPI PERANAKAN ONGOLE DI KECAMATAN BUMI AGUNG KABUPATEN LAMPUNG TIMUR

3 24 45

STATUS NUTRIEN SAPI PERANAKAN ONGOLE DI KECAMATAN TANJUNG BINTANG KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

2 28 61

PREVALENSI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA KAMBING PERANAKAN ETAWA (PE) DI KELOMPOK TANI KECAMATAN GEDONG TATAAN KABUPATEN PESAWARAN LAMPUNG

0 2 6

NILAI HTC (Heat Tolerance Coefficient) PADA SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) BETINA DARA SEBELUM DAN SESUDAH DIBERI KONSENTRAT DI DAERAH DATARAN RENDAH

1 1 11

RESPON KECEPATAN TIMBILNYA ESTRUS DAN LAMA ESTRUS PADA BERBAGAI PARITAS SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) SETELAH DUA KALI PENYUNTIKAN PROSTAGLANDIN F

0 0 9

PREVALENSI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA KAMBING PERANAKAN ETAWA (PE) DI KELOMPOK TANI KECAMATAN GEDONG TATAAN KABUPATEN PESAWARAN LAMPUNG PREVALENCE OF GASTROINTESTINAL WORMS ON ETTAWA CROSSBRED GOAT IN FARMERS GROUP OF GEDONG TATAAN DISTRICT PESAWARAN

0 0 6

POTENSI DAN KERAGAMAN SUMBERDAYA GENETIK SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO)

0 0 9

SKRIPSI IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI CACING PADA SALURAN PENCERNAAN IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sanguineus) DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA BRONDONG LAMONGAN JAWA TIMUR

0 0 56

IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI ENDOPARASIT PADA SALURAN PENCERNAAN IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA BRONDONG, LAMONGAN - JAWA TIMUR

0 4 69

SKRIPSI IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI CACING PADA SALURAN PENCERNAAN IKAN SALEM (Scomber japonicus) DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN MUARA ANGKE JAKARTA UTARA

0 0 47