REPRESENTASI KARAKTER KONTRIBUTOR BERITA TELEVISI DALAM FILM NIGHTCRAWLER (Analisis Semiotika Peirce) - FISIP Untirta Repository
REPRESENTASI KARAKTER KONTRIBUTOR
BERITA TELEVISI DALAM FILM NIGHTCRAWLER
(Analisis Semiotika Peirce)
SKRIPSI Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Konsentrasi Jurnalistik Program Studi Ilmu Komunikasi
Oleh FRANSISKA AYEL REFTA NIM 6662122442
KONSENTRASI JURNALISTIK
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2016
„Tahan menderita kepahitan hidup sehingga penderitaan menjadi kekayaan, adalah bahagia
- –Buya HAMKA
Hai dunia, kubuktikan pemimpi lebih baik dibanding pemikir. Karena setelah bermimpi aku terbangun untuk mewujudkannya. Sementara langkah pemikir terpaku oleh pikiran-pikirannya sendiri. Maka kupersembahkan skripsi ini untuk semua yang senantiasa menemaniku mewujudkan mimpi- mimpiku. Siapapun kalian, I LOVE YOU ...
ABSTRAK
Fransiska Ayel Refta. NIM 6662122442. Skripsi. Representasi Kontributor
dalam Film Nightcrawler (Analisis Semiotika Peirce). Program Studi Ilmu
Komunikasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa. 2016. Puspita Asri Praceka, M.Ikom.; Darwis Sagita
M.Ikom.Profesi kontributor berita televisi yang dilematis dalam dunia pers menarik keinginan penulis untuk melihat karakternya lebih dekat. Salah satu cara untuk menyimak karakter seseorang yang menggeluti profesi ini yaitu melalui penelitian film yang mengangkat kisah kontributor. Film Nightcrawler menceritakan kehidupan seorang pemuda yang mencintai profesinya sebagai stringer televisi namun tidak menguasai softskill penting yang berhubungan dengan dunia kerja jurnalistik. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui representasi karakter kontributor berita televisi dalam film Nightcrawler. Berdasarkan identifikasi masalah, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana tanda (sign), objeck (object) dan interpretan (interpretant) mengenai karakter kontributor berita televisi dimunculkan dalam film Nightcrawler. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan paradigma konstruktivis. Penelitian ini menggunakan model semiotika Peirce yang terdiri atas sign, object, dan interpretant. Unit analisis yang dipilih merupakan adegan-adegan yang merepresentasikan sosok kontributor. Hasil penelitian menunjukkan sign dalam film berupa perilaku lalai kode etik, dan manipulasi. Object dari penelitian ini ialah tokoh Louis Bloom yang didukung oleh dialog dan perilaku yang diperlihatkan dalam adegan-adegan. Interpretant dalam penelitian ini adalah perilaku yang ditunjukkan oleh Louis Bloom yang menggambarkan karakter oportunis, ambisius dan berorientasi pada uang. Penelitian ini menyimpulkan bahwa film Nightcrawler merepresentasikan karakter kontributor berita televisi yang muncul dalam bentuk dialog, sikap dan perilakunya. Karakter kontributor berita televisi yang ditemukan antara lain oportunis, ambisius dan berorientasi pada uang.
Kata kunci : Representasi, Karakter, Kontributor, Film, Semiotika
ABSTRACT
Fransiska Ayel Refta. NIM 6662122442. Undergraduate Thesis. Representation
of Contributor in Nightcrawler Movie (Peirce Semiotics Analysis).
Communication Studies, Faculty of Social and Political Science. Sultan Ageng
Tirtayasa University. 2016. Puspita Asri Praceka, M.Ikom.; Darwis Sagita
M.Ikom.
A dillematic profession of television news contributor is quite interesting for me to
be scrutinized. One pleasant way to closely see how contributors do their work is
through research on film that has contributor story within. Nightcrawler tells a
story about a guy who loves his profession as a stringer for a television station
but in eventually he is not obediently capable in any urgent softskill of journalistic
accupation. The purpose of this subject of research is to determine the
representation of television news contributor ‟s characters in Nightcrawler moviemeanwhile this research also has the purpose to identify the signs, objects, and
interpretants about characters of television news contributor appearing in this
film. This research uses qualitative method with constructivist paradigm. The
writter use model of semotic Peirce‟s consisting sign, object, and interpretant.
The units of analysis are selected from the scenes that considered to represent
contributor. The result of this research points to the signs about behaviours such
as negligence on code of ethics, and manipulated. Object of this research is
character of Louis Bloom that is supported by dialogue and behaviours which are
shown in some scenes. Interpretant in this research is behaviours that are carried
by Louis Bloom that describe oportunist, ambitious, and money-oriented
characters. This research concludes that Nightcrawler represents contributor that
emerges in dialogue, attitude, and behaviour. Contributor is described as
oportunist, money-oriented, negligence on code of ethics and facts-manipulating.
Key words : Representation, Character, Contributor, Film, SemioticKATA PENGANTAR
Puji dan syukur kupersembahkan kepada Allah SWT yang selalu memelukku dalam lindungan kasih sayangnya hingga aku mampu menyelesaikan tugas akhir ini. Shalawat beserta salam kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya.
Skripsi berjudul
“Representasi Karakter Kontributor Berita Televisi dalam Film Nightrawler (Analisis Semiotika Peirce)” ini penulis selesaikan
dengan segenap niat dan usaha sesuai kemampuan yang penulis miliki. Adapun skripsi ini mengangkat makna tanda dalam sebuah film dengan model semiotika yang merupakan salah satu bidang kajian ilmu komunikasi.
Penulis sangat mensyukuri selesainya kewajiban penulis untuk meraih gelar yang penulis dambakan sejak empat tahun lalu. Melalui skripsi ini semoga ada berkah untuk pihak-pihak yang sudah membantu. Pada kesempatan ini penulis sangat berterimakasih kepada:
1. Prof. Sholeh Hidayat, M.Pd selaku Rektor UNTIRTA beserta jajarannya
2. Dr. Agus Sjafari, M.Si selaku dekan FISIP Untirta beserta Wakil Dekan I Rahmawati, M.Si, Wakil Dekan II Imam Mukhroman, M.Si, dan Wakil Dekan III Kandung Sapto Nugroho, M.Si
3. Ketua Prodi Ilmu Komunikasi dan sekretaris, Dr. Rahmi Winangsih, M.Si dan Darwis Sagita M.IKom yang juga selaku dosen pembimbing II penulis
i
4. Puspita Asri Praceka, M.IKom selaku dospem pembimbing I penulis yang sudah memberi banyak bantuan dan bimbingan dalam pengerjaan skripsi ini
5. Papa dan Mama yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk menafkahiku lahir dan batin hingga skripsi ini selesai, tidak pernah ada kata cukup untuk membalas semua jasa dan pengorbanan kalian
6. Kakak yang selalu menjadi penolong saat dibutuhkan sejak penulis masih kecil, sahabat sekaligus musuh kecilku yang selalu kucintai bagaiamanapun keadaanya
7. Dua sahabat seperjuangan terbaikku, Haryati dan Devi Fatmawati yang selalu ada ketika kita tertawa dan ketika kita pura-pura tertawa bersama saat hidup terasa begitu temaram
8. Diah Fitri Pratiwi dan Fuji Larasakti yang sudah menjadi team bersama penulis dalam mengurus kelengkapan daftar sidang
9. Teman-teman seperjuangan kuliah, Rahel Mutia, Nurfaizah, Ardi Purwadi, Awwalludin, Dian Lestari, Yohana, Sarah Humairah dan semua teman Jurnalistik angkatan 2012 yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih untuk beberapa tahun terakhir, menjadi bagian dari kelas jurnalistik bersama kalian menyenangkan
10. Kak Inge, Bang Dika dan Bang Fairus yang telah memberi bantuan, masukan dan saran selama pengerjaan skripsi ini berlangsung
ii
iii
11.Roy Sandy dan Soffal Yahsya yang sudah membantu menemukan berkas kelengkapan daftar sidang penulis yang sempat hilang
12. Tino Prangiosa, atas semangat dan dorongan yang diberikan hingga penulis mampu melewati masa-masa tersulit ketika pengerjaan skripsi ini berlangsung 13. Himakom Sinergi, IMIKI, dan Kovikita sebagai tempat penulis belajar banyak hal selama kuliah
14. Tubagus Bani Fadhil, teman berbagi kasih, minat dan kesukaan tentang MCR, desain grafis dan videografi
15. Pada akhirnya penulis akan berterimakasih kepada dunia dan segenap getaran energi alam yang sangat berkontribusi terhadap suasana hati dan semangat penulis. Akhir kata, kesempurnaan hanya milik Allah SWT dan kesalahan yang ada dalam skripsi ini milik penulis. Penulis berharap skripsi ini berguna untuk diri penulis sendiri dan pihak-pihak lain yang ingin menjadikan skripsi ini bahan referensi untuk berbagai kegiatan akademis kedepan. Penulis tidak menutup kritik dan saran yang membangun untuk kemajuan penulis di kehidupan mendatang. Semoga kita selalu diberi kesempatan untuk terus melakukan kebaikan dan perubahan positif. Aamiin.
Serang, Oktober 2016 Fransiska Ayel Refta
DAFTAR ISI
HALAMAN MUKA LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PENGESAHAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ABSTRAK ABSTRACTKATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................ vii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 9
1.3 Identifikasi Masalah ............................................................................. 9
1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................. 10
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teoritis ................................................................................. 11
2.1.1 Film sebagai Komunikasi Massa ................................................ 11
2.1.2 Film ............................................................................................ 12
2.1.3 Representasi ............................................................................... 16
2.1.4 Karakter dan Tokoh ................................................................... 18
2.1.5 Kontributor ................................................................................. 22
2.1.6 Berita Televisi ............................................................................ 29
2.1.7 Hati Nurani, Idealisme dan Kode Etik ....................................... 30
iv
v
4.1 Deskripsi Objek Penelitian .................................................................. 59
5.1 Kesimpulan .......................................................................................... 97
BAB V PENUTUP
4.3.2 Film sebagai Sarana Edukasi tentang Karakter Kontributor .... 95
4.3.1 Konstruksi Realitas Karakter Kontributor Berita Televisi dalam film Nightcrawler ..................................................................... 94
4.3 Pembahasan ......................................................................................... 94
Nightcrawler ............................................................................ 93
4.2.2 Representasi Karakter Kontributor Berita Televisi dalam Film
4.2.1 Film Nightcrawler dalam Pemaknaan Semiotika Peirce ......... 64
4.2 Deskripsi Hasil Penelitian .................................................................... 64
4.1.2 Sinopsis dan Penokohan Film .................................................. 60
4.1.1 Profil Film ................................................................................ 59
BAB IV HASIL PENELITIAN
2.1.8 Konstruksi Realitas Sosial .......................................................... 34
3.7 Jadwal Penelitian ................................................................................. 57
3.6 Teknik Analisis Data ........................................................................... 55
3.5 Teknik Pengumpulan Data .................................................................. 53
3.4 Instrumen Penelitian ............................................................................ 52
3.3 Unit Analisis ........................................................................................ 48
3.2 Paradigma Penelitian ........................................................................... 47
3.1 Jenis Penelitian .................................................................................... 46
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
2.3 Penelitian Terdahulu ............................................................................ 41
2.2 Kerangka Berpikir ............................................................................... 40
2.1.9 Semiotika Peirce ......................................................................... 37
5.2 Saran .................................................................................................... 99
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 100
LAMPIRAN RIWAYAT HIDUPvi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu .............................................................. 43Tabel 3.1 Unit Analisis ........................................................................... 49Tabel 3.2 Jadwal Penelitian .................................................................... 57Tabel 4.2 Scene 1 ................................................................................... 65Tabel 4.3 Scene 2 ................................................................................... 67Tabel 4.4 Scene 3 ................................................................................... 71Tabel 4.5 Scene 4 ................................................................................... 75Tabel 4.6 Scene 5 ................................................................................... 79Tabel 4.7 Scene 6 ................................................................................... 83Tabel 4.8 Scene 7 ................................................................................... 88vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 (Triangle Meaning) ............................................................ 40Gambar 2.2 Kerangka Berpikir .............................................................. 40Gambar 4.1 Louis Bloom ...... ................................................................ 62Gambar 4.2 Nina Romina ....................................................................... 62Gambar 4.3 Rick .................................................................................... 63Gambar 4.4 Joe Loder ............................................................................ 63Gambar 4.5 Frank .................. ................................................................ 64Gambar 4.6 Analisis scene 1 .................................................................. 66Gambar 4.7 Analisis scene 2 ................................................................ 69Gambar 4.8 Analisis scene 3 .................................................................. 73Gambar 4.9 Analisis scene 4 .................................................................. 77Gambar 4.10 Analisis scene 5 ................................................................ 80Gambar 4.11 Analisis scene 6 ................................................................ 86Gambar 4.12 Analisis scene 7 ................................................................ 89viii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Jika ada pekerjaan mulia yang dilematis mungkin jawabannya adalah kontributor. Kontributor di Indonesia merupakan sebutan untuk wartawan yang bukan pegawai tetap sebuah lembaga pers dan bekerja secara kontrak. Di Amerika pekerjaan ini disebut stringer namun keduanya memiliki jobdesk serupa hanya
1
saja kontributor di Indonesia bekerja di daerah. Di Amerika maupun di Indonesia, lazimnya kontributor/stringer memiliki ciri umum yang sama, antara lain pekerja kontrak atau tidak tetap sebagai penyumbang hasil liputan dan dibayar per-liputan yang tayang.
Kontributor berita televisi merupakan pekerjaan yang dilematis. Dilema ini berawal dari kebutuhan informasi yang begitu luas membuat profesi wartawan terbuka lebar. Tidak seperti profesi dokter, menjadi kontributor terbuka bagi siapa saja. Ia ibarat profesi yang bisa didapatkan bukan berdasarkan bakat tetapi pelatihan terus menerus. Jumlah ledakan lembaga pers seperti televisi dan jumlah wartawan di Indonesia membuka peluang yang luas untuk masyarakat mengisi kekosongan tenaga kerja di sana. Keterbukaan profesi ini memberikan ruang bagi 1 masyarakat untuk menjadi kontributor.
Penyebabnya ialah media Indonesia yang Jakartasentris, di mana menjamurnya media swasta
yang berkantor pusat di Jakarta dan siaran secara nasional. S.K Menpen No:04A/Kep/Menpen/1993, sejak tahun 1993 stasiun televisi swasta diizinkan untuk mengudara secara nasional, baik dengan menggunakan jaringan terestrial, kabel atau serat optik, maupun melalui satelit komunikasi.
Dilema lain dari pekerjaan ini ialah pendidikan formal kejurnalistikan tidak menjadi syarat mutlak untuk kontributor. Joseph Pulitzer (New York) hingga Max Weber (Munich) sudah membicarakan tentang pendidikan wartawan sebagai ukuran jurnalisme bermutu pada akhir abad ke 19 dan awal abad 20.
Dalam diskusi yang sulit itu terdiri dari dua kubu. Kubu Pulitzer berpendapat bahwa wartawan perlu pendidikan jurnalisme. Kubu kedua berpendapat wartawan tidak perlu belajar sekolah secara khusus. Jurnalisme adalah keahlian pertukangan. Wartawan sebaiknya belajar dari berbagai disiplin ilmu. Soal keahlian jurnalisme itu sendiri diajarkan melalui magang. Kubu ini termasuk para dosen dari Universitas Harvard yang mendirikan Nieman Foundation on
2 Journalisme pada 1939.
Di Amerika banyak sekolah wartawan bermutu di mana wartawan diajari berbagai macam keterampilan dalam jurnalisme sekaligus belajar ilmu lain yang menarik minat mereka. Pulitzer sendiri memberikan uang untuk mendirikan Columbia Graduate School of Journalism pada 1902. Di Indonesia, ada 69 sekolah jurnalisme dari D1 hingga S-3 tetapi 80 persen berada di Pulau Jawa dan Medan. Ada ketimpangan besar antara jurnalisme di Jawa dan di Medan serta kota-kota di Indonesia Timur. Sementara tenaga kontributor diperlukan di daerah- daerah untuk memperoleh informasi secara lebih merata. Media pendidikan jurnalisme kita masih terhambat oleh kurikulum nasional. Selain itu tidak ada interaksi antara pendidikan jurnalisme dengan industri media.
2 Andreas Harsono, Agama Saya Adalah Jurnalisme, Kanisius, Bandung, 2010, hal. 33
Permasalahannya, jika pekerjaan ini terbuka sangat luas dan tidak mengharuskan pekerjanya memiliki latar belakang pendidikan formal apakah kontributor bisa bekerja selaras dengan idealisme? Idealisme seorang pekerja pers merupakan nilai berharga yang harus dikantongi. Idealisme berarti menggunakan hati nurani. Sebagai bentuk tanggung jawab bisikan hati nurani para pekerja pers seharusnya mematuhi etika profesinya. Pentingnya kontributor mendengar hati nuraninya sendiri, dijelaskan pada elemen ke sembilan Bill Kovach. Semua wartawan seyogyanya punya pertimbangan pribadi tentang etika dan tanggung jawab sosial. Wartawan, kontributor atau reporter membangun karirnya dari standar kode etik yang telah ditetapkan di tempat ia bekerja.
Setiap profesi memiliki kode etik masing-masing sebagai pedoman agar bekerja secara etis. Kode etik dirumuskan berdasarkan hasil diskusi-diskusi para ahli di bidangnya. Untuk etika jurnalisme secara global di seluruh penjuru dunia poin paling penting ialah kebenaran. Kebenaran merupakan yang paling utama pada poin-poin kode etik jurnalisme di negara manapun. Seperti Bill Kovach dan Tom Rosenstiel yang menempatkan kebenaran sebagai elemen pertama dalam sembilan elemen jurnalisme.
Pertanyaan yang sering menjadi masalah muncul, apakah kontributor sudah mengambil tanggung jawabnya untuk memegang sisi idealisme ketika bekerja? Munculnya delik-delik pers mulai dari pelanggaran kode etik hingga kekerasan yang menimpa wartawan dirasa seperti indikasi bahwa ada yang tidak beres dari dunia pers. Seperti koin yang memiliki dua mata sisi minimnya tangguna jawab sosial, pelanggaran kode etik, munculya delik pers dan kekerasan terhadap wartawan tidak bisa dilihat hanya dari satu perspektif, yakni dari sisi wartawan saja. Sisi lain yang perlu diperhatikan adalah nuansa manajemen lembaga pers yang terkadang justru menaruh porsi bisnis lebih banyak dibanding porsi tanggung jawab sosial. Tidak adanya keseimbangan antara idealisme dan komersialisme ini menuai dilema lainnya bagi kontributor. Padahal dalam tritunggal jurnalistik, wartawan dikatakan profesional jika ia bisa menyeimbangkan tanggung jawab idealisme dan kebutuhan komersial.
Di banyak stasiun televisi di Indonesia, kehidupan para kontributor memprihatinkan. Mereka bukan pegawai tetap, hanya karyawan kontrakan, tidak digaji perbulan, tidak memiliki jaminan kesehatan dan tunjangan-tunjangan
3
lainnya. Dilema lain bagi kontributor untuk memaksimalkan kemungkinan naik tayang liputan yang telah ia buru. Informasi yang cenderung membawa dampak besar seolah-olah seperti patokan jenis berita apa yang akan mereka liput.
Sering sekali pemberitaan di televisi yang berasal dari kontributor (daerah)
4
cenderung hasil dari praktek trivialisasi. Ini terjadi karena media yang bersangkutan lebih mengedepankan peluang bisnis. Sama halnya dengan kontributor itu sendiri, jika liputan yang ia dapat tidak naik tayang maka ia tidak memperoleh penghasilan apa-apa. Tidak lain dan tidak bukan ujung-ujungnya adalah soal keuntungan dan urusan kantong baik bagi kontributor maupun media bersangkutan.
3 4 Ade Armando, Op.cit., hal. 25 Trivialisasi ialah ketika seks dan kekerasan menjadi hal yang utama dalam pemberitaan atau tayangan. Tayangan trivialisasi yang mengedepankan sensasionalitas masih terus bertahan
bahkan semakin berkembang ketika aspek emosi mendominasi berbagai informasi. Segi rasional
serta merta tergerus. Baca: Tim Redaksi LP3ES, Jurnalisme Liputan 6, Jakarta. Hal. 180 & 195Dalam sebuah film berjudul Nightcrawler (2014) yang mengangkat tema media dan jurnalisme karakter sentral dalam film ini bekerja sebagai kontributor (stringer di Amerika). Di Amerika media massa film menjadi sajian yang cukup masif dikonsumsi masyarakatnya. Sepanjang tahun 2015 jumlah tiket film
5 Amerika yang terjual sebanyak 1,340,992,463 tiket. Film Amerika diproduksi di
Hollywood. Film yang dibuat di Hollywood ini membanjiri pasar global dan mempengaruhi sikap, perilaku dan harapan orang-orang di belahan dunia.
Hollywood sudah banyak membuat film, terutama film yang diambil dari kisah nyata yang bertema jurnalistik.
Brian McNair, dalam bukunya Journalists in Film: Heroes and Villains menggambarkan bagaimana sosok jurnalis dari 72 film yang diproduksi tahun 1997-2008. McNair mengatakan, secara umum ada dua karakter yang sangat bertolak belakang dari film-film yang menggambarkan para wartawan tersebut: wartawan sebagai pahlawan (hero), atau wartawan sebagai penjahat (villain). Sebagai pahlawan, ada empat tipologi lebih jauh terhadap diri wartawan, yaitu dalam rupa sebagai ‟anjing penjaga‟ (watchdog), sebagai saksi peristiwa (witness), sebagai sosok pemberani dalam masyarakat, dan sebagai tokoh dalam masyarakat. Beberapa dari film bertema jurnalisme jenis ini ialah All
The President‟s Men, The Hunting Party, Veronica Guerin, dan lain-lain.
Di luar segala puja-puji, sosok wartawan di layar kaca juga dilihat dari kacamata negatif sebagai villain, terutama ketika wartawan tersebut 5 menyalahgunakan fungsi dan kekuasaan yang mereka miliki. Perilaku negatif ini
muncul dalam rupa mereka yang menurunkan kualitas jurnalisme, berbohong, dan membesar-besarkan fakta serta mereka yang memiliki pengaruh besar dalam masyarakat (king maker). Contoh film di mana wartawan merupakan villain ialah , Shattered Glass, dan lain-lain.
Paparazzi
Di tahun 2014 dirilislah film Nightcrawler arahan Dan Gilroy. Film ini muncul sebagai senggolan Gilroy terhadap kapitalisme media massa, khususnya pada televisi di Amerika. Nightcrawler mengangkat kisah seorang stringer di salah satu stasiun televisi di Los Angeles. Keterangan Gilroy dalam sebuah wawancara oleh media online Amerika:
“They‟re (stringers) trying to remain neutral, they do a very professional job and they do supplying a service, so I see them as a cog in a much larger machine .... Lou is coutionary tale. Lou is capitalism gone amok ”.
Mereka (kontributor) mencoba untuk netral, mereka melakukan pekerjaan yang profesional. Saya melihat mereka sebagai roda dalam sistem yang lebih besar ... Lou merupakan kisah yang memprihatinkan. Lou adalah kapitalisme yang jadi gelap mata.
Dalam keterangannya Gilroy yang juga menulis langsung naskah
Nightcrawler menegaskan bagaimana sosok Lou sebagai karakter sentral dalam
film tersebut. Louis Bloom merupakan tokoh utama yang bekerja sebagai stringer (kontributor). Gilroy menekankan bahwa kontributor adalah roda kecil penggerak sebuah sistem yang lebih besar. Pada keterangan berikutnya dalam kalimat “Lou
is capitalsm gone amok
”, Gilroy memberi penegasan bahwa sistem yang dimaksud ialah kapitalisme.
Menurutnya kapitalisme dalam pers mempengaruhi cara kerja seorang (kontributor), menjadikan mereka sebagai roda penggerak kapitalisme
stringer
dalam pers. Dalam kata lain kontributor yang bekerja dalam sistem seperti ini sudah melakukan pekerjaannya dengan profesional dan bersikap netral sesuai arahan produser atau news director. Namun Gilroy sendiri menolak jika
Nightcrawler diciptakan sebagai kritiknya terhadap pers Amerika.
yang dibuat berdasarkan pengalaman personal Gilroy sendiri
Nightcrawler
adalah bentuk konstruksi realitas dari apa yang pernah Gilroy alami. Apakah yang diinternalisasikan Gilroy mengenai kapitalisme media yang mempengaruhi bagaimana kontributor bekerja sesuai dengan kenyataan yang ada? Hal ini bisa dijawab dengan mudah.
Dalam prinsip ekonomi, ketika berbisnis diperlukan modal yang seminim mungkin guna mendapat hasil yang maksimal. Kontributor merupakan wartawan tidak terikat status kepegawaian yang diberi honor per-liputan naik tayang. Tentu saja ini akan mengurangi beban biaya yang ditanggung media bersangkutan untuk memberi gaji tetap, memberikan tunjangan-tunjangan dan bonus, dan lain lain. Selain itu, kontributor akan memaksimalkan hasil liputan berdasarkan kemauan direktur berita agar kerjanya diupahi.
Kenyataannya, ada saja direktur berita televisi menginginkan liputan yang mampu menahan penonton menatap layar kaca selama mungkin, agar bisa memancing rating tinggi. Melihat sikap Rosiana Silalahi kala menjabat sebagai
6
pemred Liputan 6 SCTV yang menjadikan era global sebagai alasan untuk media bersaing secara bisnis. Strateginya yaitu membuat program yang mampu menahan mata pemirsa untuk terus menatap layar dan menyantap apa yang disajikan 6 televisi. Lalu, apa yang membuat pemirsa mampu tahan berlama-lama
Tim Redaksi LP3ES, Jurnalisme Liputan 6, Pustaka LP3ES, Jakarta, 2006, hal. 206 mengonsumsi berita yang disiarkan sebuah program? Berita sensasional yang mampu membuat pemirsa tercengang, terheran-heran hingga memutar balikkan akal sehatnya adalah jurus jitu.
Seperti lingkaran setan, jika disambung-sambungkan hal di atas merupakan jawaban mengapa kontributor cenderung memburu berita sensasional.
Pada akhirnya media dengan prinsip kotor seperti ini bisa meraup keuntungan yang berlipat-lipat. Kelakuan manajemen media yang teracuni prinsip kapitalisme ini hanya akan memberdayakan pegawainya melakukan pekerjaan dengan orientasi keuntungan dan uang. Padahal bekerja sebagai wartawan seyogyanya tidak melupakan hati nurani.
Dilematika yang tidak berujung membuat penulis bertanya-tanya, karakter seperti apa yang mampu membuat kontributor mampu mengemban pekerjaannya.
Di Indonesia sendiri film yang mengangkat cerita tentang kontributor sangatlah minim. Namun film Nightcrawler cukup memberikan gambaran yang jelas bagaimana dan seperti apa karakter kontributor ditampilkan dalam layar lebar.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma konstruktivis. Penelitian kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan
7
sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Untuk membantu penulis mengetahui tanda-tanda karakter kontributor dalam film tersebut, peneliti menganalisis dengan metode analisis semiotika. Dari beberapa model semiotika, penulis menggunakan model semiotika yang dikemukakan 7 Charles Sanders Peirce untuk menganalisis makna yang terkandung di dalam film
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2006Nightcrawler
. Peneliti akan menginterpretasi karakter kontributor melalui segitiga makna atau Triangle Meaning meliputi objek, tanda dan interpretan.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti film Nightcrawler untuk mengamati dan menginterpretasi karakter kontributor berita televisi dalam film Nightcrawler.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana karakter kontributor berita televisi direpresentasikan dalam film Nightcrawler?
1.3 Identifikasi Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dapat disimpulkan identifikasi penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Bagaimana tanda (sign) mengenai karakter kontributor berita televisi dimunculkan dalam film Nightcrawler?
2. Bagaimana objek (object) mengenai karakter kontributor berita televisi dimunculkan dalam film Nightcrawler?
3. Bagaimana interpretan (interpretant) mengenai karakter kontributor berita televisi dimuculkan dalam film Nightcrawler?
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian identifikasi masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui tanda (sign) mengenai karakter kontributor berita televisi yang dimunculkan dalam film Nightcrawler
1 Mengetahui objek (object) mengenai karakter kontributor berita televisi yang dimunculkan dalam film Nightcrawler
2 Mengetahui interpretan (interpretant) mengenai karakter kontributor berita televisi yang dimuculkan dalam film Nightcrawler
1.5 Manfaat Penelitian Manfaat teoritis
Pada manfaat teoritis penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya wawasan tentang representasi karakter kontributor berita televisi yang terkandung dalam sebuah film.
Manfaat Praktis
1. Penelitian ini berguna untuk penelitian selanjutnya yang membahas tentang berbagai hal yang berkenaan dengan karakter kontributor berita televisi.
2. Memberikan pemahaman tentang representasi karakter kontributor berita televisi dalam film Nightcrawler
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teoritis
2.1.1 Film sebagai Komunikasi Massa
Definisi komunikasi massa (mass communication) menurut Effendy yaitu komunikasi melalui media massa modern yang meliputi surat kabar yang mempunyai sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi yang ditunjukkan kepada umum, dan film yang dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop. Everet M.
Rogers dalam Effendy menyatakan bahwa selain media massa modern, ada pula
8 media massa tradisional seperti teater rakyat, juru dongeng keliling, dan lain-lain.
Ardianto menyimpulkan bahwa komunikasi massa harus menggunakan media massa, sekalipun komunikasi itu disampaikan kepada khalayak yang banyak, seperti rapat akbar di lapangan luas yang dihadiri banyak orang jika tidak
9
menggunakan media massa, itu bukan komunikasi massa. Salah satu media dalam komunikasi massa adalah film karena ciri dan karakteristik film memenuhi karakteristik media massa seperti khalayaknya yang heterogen, proses komunikasinya yang berlangsung satu arah, dan lain-lain.
Menurut Effendy film merupakan salah satu media massa yang ampuh sekali. Sebab, film bukan hanya sekedar untuk hiburan, tetapi juga berfungsi 8 untuk penerangan dan pendidikan. Film banyak digunakan sebagai alat bantu
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, Citra Adya Bakti, Bandung, 2003,
9 hal. 79 Elvianto Ardianto, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Simbosa Rekatama Media, Bandung, 2007, hal.310
pendidikan untuk memberikan penjelasan. Effendy juga menyimpulkan bahwa film yang dipertunjukkan di gedung bioskop mempunyai persamaan dengan
11
televisi dalam hal sifatnya yang audio visual. Maka dari itu, film dikategorikan sebagai media massa. Ciri khas fungsi film bersifat refreatif-edukatif dan persuasif. Sementara proses komunikasinya bersifat non-elektronik atau mekanik.
2.1.2 Film
2.1.2.1 Definisi Film
Film ialah bentuk dominan dari komunikasi massa visual di belahan
12
dunia. Seperti halnya televisi siaran, tujuan khalayak untuk menonton film terutama adalah ingin memperoleh hiburan. Akan tetapi dalam film dapat terkandung fungsi informatif maupun edukatif, bahkan persuasif. Fungsi edukasi dapat tercipta jika film yang diproduksi film sejarah yang objektif atau dokumenter dan film yang diangkat dari kehidupan sehari-hari secara
13 berimbang.
Singkatnya, film adalah gambar bergerak. Film atau motion pictures
14 ditemukan dari hasil pengembangan prinsip-prinsip fotografi dan proyektor.
Film yang ditayangkan di gedung bioskop dikategorikan sebagai film teatrikal. Pengertian film teatrikal ialah film yang diproduksi secara khusus untuk dipertunjukkan di gedung pertunjukkan atau bioskop. Kemudian Effendy juga
10 11 Ibid, hal. 209 12 Ibid, hal. 315 13 Elvianto Ardianto, Op.Cit., hal. 143 14 Ibid, hal. 145 Ibid, hal. 143 mengklasifikan film salah satunya film cerita, yaitu film yang mengandung suatu
15 cerita yang lazim dipertunjukkan di gedung bioskop dengan bintang film tenar.
Film yang pertama kali dipertunjukkan kepada publik Amerika Serikat ialah The Life of an American Fireman dan film The Great Train Robbery yang dibuat oleh Edwin Porter pada tahun 1903. Tahun 1906 merupakan periode paling penting dalam sejarah perfileman di Amerika Serikat. Apabila pada permulaannya merupakan film bisu, maka pada tahun 1927 di Broadway
16 Amerika Serikat muncul film bicara yang pertama meskipun belum sempurna.
Oey Hong Lee dalam Sobur memaparkan bahwa film mencapai puncaknya di antara perang dunia I dan PD II karena permulaan sejarahnya film dengan lebih mudah menjadi alat komunikasi yang sejati. Kala itu film tidak mengalami unsur teknik, politik, ekonomi, sosial dan demografi yang merintangi kemajuan surat kabar pada massa pertumbuhannya dalam abad ke-18 hingga permulaan abad ke-18. Namun masa puncak kejayaan film merosot tajam setelah tahun 1945
17 seiring dengan munculnya medium televisi.
Film umumnya dibangun dengan banyak tanda di mana tanda-tanda tersebut termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek yang diharapkan. Sistem semiotika dalam film menggunakan tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan
18 sesuatu.
15 16 Onong Uchjana Effendy, Op.Cit., hal. 201 - 211 17 Elvianto Ardianto, Op.Cit., hal. 144 18 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004, hal. 126 Lop.Cit.
Realitas yang ditampilkan film, seluruhnya atau sebagian, tidak hanya
19 mirip, tetapi juga memiliki keterkaitan dengan realitas kita.
2.1.2.2 Karakteristik Film
Ada beberapa faktor yang dapat menunjukkan karakteristik film, antara lain:
1. Layar yang luas dan lebar. Kelebihan film dibanding siaran televisi ialah layarnya yang jauh lebih luas dan lebar walau kini ada televisi berlayar lebar yang diproduksi.
2. Pengambilan gambar. Pengambilan gambar atau shot dalam film bioskop memungkinkan dari jarak jauh atau extreme long shot untuk memberi kesan artistik dan suasana sesungguhnya.
3. Konsentrasi penuh Khalayak dalam gedung bioskop terbebas dari gangguan hiruk pikuknya suara di luar karena biasanya ruangan kedap suara sementara pikiran dan perasaan tertuju pada alur cerita.
4. Identifikasi psikologis Pengaruh film terhadap jiwa manusia (penonton) tidak hanya sewaktu atau selama duduk di gedung bioskop, tetapi terus sampai waktu yang cukup lama, misalnya peniruan terhadap cara berpakaian atau model rambut. Efek kurang baik dari pengaruh psikologis film ialah ketika khalayak meniru gaya hidup yang tidak
20 sesuai dengan norma budaya Indonesia.
19 20 Ibid, hal. 167 Elvianto Ardianto, Op.Cit., hal. 145-147
Dampak film yang ditayangkan di bioskop memberikan efek afektif sebab proses komunikasinya yang mendukung kondisi penerimaan pesan yang berkesan seperti layar yang lebar, suara yang jelas, dan ruang yang gelap.
2.1.2.3 Unsur-unsur Pembentuk Film
Secara umum film dibagi atas dua unsur pembentuk. Kedua unsur itu ialah unsur naratif dan unsur semantik. Keduanya saling berinteraksi dan berkesinambungan satu sama lain untuk membentuk sebuah film. Masing-masing unsur tidak akan membentuk sebuah film jika berdiri sendiri. Pratista menganalogikan narasi sebagai materi dan sinematografi sebagai gaya mengolahnya.
Unsur naratif berhubungan dengan aspek cerita atau tema film karena setiap film cerita tidak mungkin lepas dari unsur naratif. Setiap cerita memiliki unsur seperti tokoh, masalah, konflik, lokasi, waktu dan lain-lain. Semua elemen tersebut membentuk naratif secara keseluruhan. Sementara unsur sinematik terbagi atas empat elemen yaitu: mise-en-scene, sinematografi, editing, dan
21 suara.
2.1.2.4 Jenis-jenis Film
Secara umum film dibagi atas tiga jenis, yaitu: a.
Film Dokumenter. Film dokumenter berhubungan dengan orang- orang, tokoh peristiwa dan lokasi yang nyata.
21 HImawan Pratista, Memahami Film, 2008, hal. 2
b.
Film Fiksi. Film Fiksi terikat oleh plot, menggunakan cerita rekaan di luar kejadian nyata serta memiliki konsep pengadeganan yang telah dirancang sejak awal.
c.
Film Eksperimental. Film ekperimental umumnya bekerja di luar industri film utama (mainstream) dan bekerja pada studio independen
22 atau perorangan.
2.1.3 Representasi
Marcel Danesi mendefinisikan representasi sebagai proses merekam ide, pengetahuan, atau pesan dalam beberapa cara fisik disebut representasi. Ini dapat didefinisikan lebih tepat sebagai kegunaan dari tanda yaitu untuk menyambungkan, melukiskan, meniru sesuatu yang dirasa, dimengerti,
23 diimajinasikan atau dirasakan dalam beberapa bentuk fisik.
Representasi adalah proses pengkodekan (encoding) dan memperlihatkan (display) bentuk-bentuk simbolik yang mencerminkan posisi ideologis. Dalam Saiful Totona, Tim O`Sullivan membedakan istilah representasi pada dua pengertian. Pertama, representasi sebagai suatu proses dari representing. Kedua, representasi sebagai produk dari proses sosial representing sehingga pada tatanan pertama merujuk para proses, sedangkan yang kedua merujuk kepada produk dari
24 perbuatan tanda yang mengacu pada sebuah makna.
22 23 Ibid, hal. 4-7 24 Marcel Danesi, Understanding Media Semiotics, Arnold, London, hal. 3
Saiful Totona, Miskin itu Menjual: Representasi Kemiskinan sebagai Komodifikasi Tontonan,
2010, hal 277Hall dalam bukunya Representation: Cultural Representation and
Signifyig Practices: “Representation connects meaning and language to culture….
Representation is an essential part of the process by which meaning is produced and exchanged between members of culture”
Dapat dikatakan bahwa, representasi secara singkat adalah salah satu cara untuk memproduksi makna. Representasi bekerja melalui sistem representasi yang
25 terdiri dari dua komponen penting, yakni konsep dalam pikiran dan bahasa.
Menurut Stuart Hall, ada tiga pendekatan representasi : 1.
Pendekatan Reflektif, bahwa makna diproduksi oleh manusia melalui ide, media objek dan pengalaman-pengalaman di dalam masyarakat secara nyata.
2. Pendekatan Intensional, bahwa penutur bahasa baik lisan maupun tulisan yang memberikan makna unik pada setiap hasil karyanya.
Bahasa adalah media yang digunakan oleh penutur dalam mengkomunikasikan makna dalam setiap hal-hal yang berlaku khusus yang disebut unik.