PENGGUNAAN VIDEO SELF MODELING UNTUK MENINGKATKAN INISIASI SOSIAL PADA ANAK DENGAN AUTISM SPECTRUM DISORDER - Unika Repository

  DISKUSI

  Penelitian ini membuktikan adanya peningkatan kemampuan inisiasi sosial pada anak dengan ASD setelah menonton Video Self Modeling (VSM) selama tujuh pertemuan. Peningkatan ditunjukkan dengan adanya peningkatan skor inisiasi sosial subjek antara baseline pertama dan baseline kedua. Sebelum intervensi diberikan, subjek hanya menunjukkan sedikit perilaku inisiasi sosial. Setelah pemberian intervensi selama tujuh pertemuan, skor inisiasi sosial maupun bentuk inisiasi sosialnya mengalami peningkatan yang signifikan.

  Sebelum tahap intervensi dimulai, subjek menunjukkan hanya sedikit inisiasi sosial pada lawan bermain dengan tersenyum, tertawa, mendekat pada teman bermain, dan kontak mata. Dari bentuk inisiasi sosial tersebut, yang paling banyak dimunculkan subjek adalah mendekat pada lawan bermain. Selama

  

baseline pertama, ditengah bermain subjek masih sering tidak menghiraukan

teman bermainnya atau mudah beralih perhatian dengan kondisi lingkungan.

  Selama tahap baseline pertama, total skor inisiasi sosialnya 20 (range skor : 0-6). Skor tertinggi, diperoleh subjek pada sesi pertama. Subjek banyak menunjukkan perilaku inisiasi sosial, ketika teman bermain memainkan bola sabun dan piano mainan. Perilaku mendekat pada lawan bermain paling sering muncul selama sesi ini. Pada sesi kedua dan ketiga, skor inisiasi sosialnya menurun bahkan mencapai skor 0. Berdasarkan hasil observasi, nampak bahwa subjek mudah terganggu oleh kondisi lingkungan. Misalnya ketika tengah bermain bola sabun, subjek mendekati teman bermain tetapi tidak lama kemudian subjek menjauhi teman bermain untuk melihat mobil yang melintas sehingga sesi berakhir. Begitu pula ketika ibu subjek berada di sekitar area bermain, subjek lebih memilih mendekat pada ibu daripada mendekat pada teman bermain.

  Dari baseline pertama ini, dapat disimpulkan bahwa kemampuan inisiasi sosial subjek masih rendah dan masih sangat tergantung dengan arahan dari teman bermain maupun ibunya. Selama sesi bermain bebas terlihat bahwa ibu subjek lebih banyak mengarahkan subjek ketika bermain dan juga membiarkan subjek begitu saja. Adanya kecenderungan subjek untuk tertarik pada jenis mainan tertentu seperti piano mainan dan bola sabun juga nampak. Inisiasi sosial lebih banyak muncul pada dua jenis mainan ini.

  Pada penelitian ini jenis video modeling yang digunakan adalah Video

  

Self Modeling (VSM). Pada bentuk video modeling ini, yang menjadi model

  dalam video adalah subjek sendiri, sehingga seolah-olah subjek dapat melakukan perilaku yang diharapkan (Tsui & Rutherford, 2014). Terdapat sepuluh target perilaku yang dinilai pada peneltiian ini, yaitu berbicara, menyapa, memanggil, berkomentar pada teman bermain tersenyum, tertawa, berbagi atau meminta mainan, mendekat pada teman bermain, dan kontak mata.

  Jenis Video Self Modeling (VSM) dipilih untuk memfasilitasi karakteristik anak-anak dengan ASD yang kesulitan terhadap perubahan. Adanya kesamaan antara kondisi model dengan kondisi subjek, akan menarik atensi subjek pada video, sehingga perilaku model dianggap sebagai informasi penting untuk diperhatikan (Bandura, Social Learning Theory, 1971). Selain itu dalam video juga diikutsertakan teman bermain, seorang dewasa dan seorang sepupu subjek.

  Taylor yang dikutip oleh Reagon,dkk (2006) mengungkapkan bahwa dengan mengikutsertakan saudara kandung maupun anggota keluarga lebih menguntungkan terutama pada target perilaku bermain. Pertama, karena ketersediaan waktu yang lebih fleksibel. Kedua, keterlibatan saudara kandung akan mendorong anak dengan ASD untuk terlibat meskipun saudara kandung tidak melakukan secara efektif.

  Tahap intervensi dilakukan dengan penayangan video setiap kali sebelum memulai sesi bermain. Pemutaran video berlangsung selama kurang lebih 1 menit dengan iringan lagu untuk menarik perhatian subjek ketika menonton. Kondisi lingkungan yang digunakan pada video sama dengan kondisi yang digunakan ketika sesi bermain. Pelaksanaan intervensi diberikan setiap hari senin, rabu, kamis, dan jumat pada pukul 10.30. Pemilihan waktu dan jam pelaksanaan menyesuaikan dengan ketersediaan waktu dari subjek dan teman bermain yang telah disepakati sebelumnya.

  Selama 21 sesi intervensi, subjek dapat bertahan menonton video hingga selesai. Pada sesi 1-3 intervensi, subjek sangat tertarik dengan lagu pengiring video sehingga subjek memerlukan arahan dari teman bermain dewasa untuk duduk menonton. Ketika video diputar dengan volume yang tinggi, subjek sibuk untuk menari sendiri atau bertepuk tangan sepanjang video. Setelah volume lagu diperkecil, subjek dapat bertahan menonton hingga selesai secara mandiri.

  Dari 21 sesi intervensi, rentang skor inisiasi sosial subjek berkisar 0 sampai dengan 9. Pada beberapa sesi terdapat penurunan skor, seperti pada sesi 2, 5, 9,12,18, dan 20. Penurunan ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain perubahan kondisi lingkungan bermain maupun kondisi emosi subjek saat itu. Perubahan kondisi lingkungan dapat berupa distraksi di sekitar area bermain dengan keberadaan ibu, saudara lain, maupun situasi keramaian di sekitar area bermain. Perubahan aktivitas sehari-hari juga mempengaruhi kondisi emosi subjek. Kondisi ini membuat subjek lebih mudah menangis atau terlalu banyak tertawa dan meninggalkan area bermain.

  Seperti yang terjadi pada sesi pertama dan kedua, skor inisiasi sosial subjek hanya mencapai skor 2 dan 3. Sebelumnya pada sesi terakhir intervensi, skor IN mencapai skor 7. Dari hasil obervasi nampak bahwa keberadaan ibu di sekitar area bermain, mempengaruhi munculnya perilaku inisiasi sosial menjadi kurang optimal. Pada dua sesi ini, ibu subjek banyak membantu subjek dengan mengarahkan ketika bermain. Misalnya dengan memposisikan subjek duduk di dekat teman bermain, mendekatkan mainan, atau memberi instruksi secara verbal. Ketika ibu tidak berada di sekitar area bermain, skor IN kembali naik pada sesi ketiga.

  Kondisi yang dijelaskan sebelumnya, sesuai dengan teori belajar sosial yang diungkapkan oleh Bandura. Pada situasi tersebut, keberadaan orang terdekat subjek mengurangi kesempatan subjek untuk berhasil mengadakan inisiasi sosial dengan teman bermain. Disertai tidak adanya bantuan dari VSM, membuat subjek tidak memiliki pengalaman berhasil menjalin sebuah inisiasi sosial secara mandiri. Hal ini berpengaruh terhadap self efficacy subjek terhadap situasi bermain yang sedang berlangsung. Seperti yang dijelaskan oleh Bandura dalam teorinya mengenai self-efficacy, dimana aspek ini menjadi penentu apakah seseorang terdorong untuk belajar. Self-efficacy sendiri adalah keyakinan seseorang tentang kemampuan mereka untuk menghasilkan tingkat kinerja yang diinginkan yang dipengaruhi oleh berbagai kejadian yang memengaruhi hidup mereka (Bandura, Self-efiicacy defined, 2013).

  Penelitian ini juga menemukan bentuk inisiasi sosial yang dimunculkan IN pada baseline pertama maupun baseline kedua. Dari grafik bentuk inisiasi sosial, nampak bahwa bentuk inisiasi sosial yang muncul merupakan bentuk inisiasi sosial non verbal. Hal ini dikarenakan kondisi subjek yang non verbal. Bentuk inisiasi yang muncul dengan tersenyum, tertawa, meminta mainan, mendekat pada teman bermain, dan kontak mata. Jika dibandingakan antara baseline pertama dan kedua terdapat penambahan bentuk inisiasi sosial yang muncul setelah intervensi yaitu inisiasi sosial dengan meminta mainan. Sebelum pemberian intervensi, bentuk inisiasi sosial ini tidak muncul, di akhir muncul sebanyak empat kali.

  Temuan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menjelaskan dampak positif penggunaan video modeling pada anak dengan ASD. Hal ini diperkuat oleh Cardon dan Wilcox (Cardon & Wilcox, 2011) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa dengan VSM anak-anak lebih cepat menunjukkan perkembangan dalam aspek yang dituju dibandingkan dengan menggunakan pemeran asli. Penayangan video yang hanya memperlihatkan perilaku yang diinginkan, membuat anak-anak dengan ASD hanya fokus pada perilaku yang positif. Buggey (Buggey, 2005) dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa perilaku yang dicontohkan dapat segera dilakukan setelah prosedur dilakukan juga menjadi aspek yang menguatkan penggunaan video modeling.

  Adanya peningkatan kemampuan inisiasi sosial pada subjek, menunjukkan bahwa subjek berhasil melakukan modeling sesuai dengan teori dari Bandura tentang teori belajar sosial. Yang melibatkan empat proses, yaitu atensi, retensi, produksi, dan motivasi (Corbett & Abdullah, 2005). Selain keempat proses tersebut, self-efficacy juga berpengaruh terhadap perilaku modeling (Zimmerman, 2000).

  Ketika subjek dipertontonkan video self modeling inisiasi sosial, subjek tertarik untuk menonton video sampai selesai. Tahap ini oleh Bandura disebut sebagai tahap atensi, karena video dirinya dianggap sebagai informasi yang penting sehingga menarik perhatian subjek. Setelah video yang dipertontonkan menarik perhatian subjek, maka perilaku dalam video akan diingat oleh subjek. Proses ini disebut tahap retensi, ketika video dianggap sebagai informasi yang penting lalu masuk ke dalam memori. Kedua tahap ini berlangsung ketika subjek menonton video modeling tentang inisiasi sosial yang diberikan.

  Saat subjek mulai bermain dengan teman bermain, tahap berikutnya dalam teori belajar sosial juga berlangsung. Proses yang berlangsung adalah produksi, yang merupakan proses pengulangan perilaku seperti dalam video. Pada penelitian ini, proses produksi berlangsung dalam setting bermain. Dari hasil penelitian terlihat bahwa subjek dapat mengulang perilaku inisiasi sosial dalam video ke setting bermain yang sebenarnya walaupun tidak secara konsisten dan utuh. Proses produksi pada subjek tidak berlangsung secara utuh, karena tidak semua perilaku inisiasi sosial model muncul pada tiap sesi bermain.

  Proses keempat adalah motivasi, yang memungkinkan subjek mengulang kembali perilaku model dalam video. Pada penelitian ini, motivasi diberikan lewat respon dari lawan bermain terhadap inisiasi sosial yang dilakukan subjek. Misalnya ketika subjek mendekat, teman bermain merespon dengan bertanya “kenapa IN?” atau “IN mau coba?” atau dengan memberikan mainan pada subjek. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah self-efficacy. Adanya pengalaman berhasil mengadakan inisiasi sosial dengan teman bermain, mendorong subjek untuk kembali mengadakan inisiasi sosial.

  Dari hasil penghitungan statistik, peningkatan skor yang ditunjukkan oleh subjek tergolong signifikan (p = 0,05, standart p < 0,05). Berarti pemberian VSM untuk mengajarkan inisiasi sosial selama 7 pertemuan dapat meningkatkan kemampuan yang dilatih. Dari grafik masih nampak adanya penurunan pada beberapa sesi di pengukuran akhir, yang berarti pengaruh pemberian VSM masih belum konsisten. Adanya perubahan situasi bermain maupun respon dari teman bermain dapat mempengaruhi munculnya perilaku inisiasi sosial IN.

  Meskipun terdapat peningkatan bentuk inisiasi sosial yang dimunculkan oleh subjek, namun skor inisiasi sosialnya tidak konsisten. Berdasarkan penghitungan statistik dapat disimpulkan bahwa kemampuan inisiasi sosial subjek mengalami peningkatan, hanya saja belum secara konsisten kemunculannya. Berdasarkan hasil observasi, kemunculan perilaku inisiasi sosial subjek lebih banyak muncul ketika bermain dengan bola sabun dan piano.

  Perubahan skor yang lebih fluktuatif pada pengukuran baseline kedua, menunjukkan bahwa pemberian VSM selama 7 pertemuan kurang efektif bagi subjek.

  Kondisi ini bertentangan dengan penelitian lain sebelumnya, yang menyebutkan bahwa dengan pemberian VSM kemampuan yang diajarkan dapat bertahan hingga tahap generalisasi. Apple dan Schawatsz pada 2005, menemukan adanya peningkatan sebesar 71% selama proses intervensi dan meningkat sebanyak 58% pada akhir pengukuran. Begitu pula penelitian yang dilakukan oleh Buggey tahun 2005, dimana salah satu aspek yang menjadi fokus adalah insiasi sosial, juga menunjukkan perkembangan sebesar 87% selama intervensi dan terus menetap sampai setelah intervensi selesai diberikan (Bellini & Akullian, 2007).

  Dilihat dari bentuk inisiasi sosial yang dimunculkan oleh IN selama proses penelitian, bentuk inisiasi sosial yang muncul bukan merupakan inisiasi sosial verbal. Inisiasi yang muncul berupa tersenyum, tertawa, meminta, mendekat pada teman bermain, dan kontak mata. Dari semua bentuk inisiasi sosial tersebut, masih tergolong dalam inisiasi sosial tingkat rendah. Hauck, dkk (Hauck, Fein, Waterhouse, & Feinstein, 1995) dalam penelitiannya tentang inisiasi sosial pada anak-anak dengan ASD, membagi bentuk-bentuk inisiasi sosial dalam beberapa kategori, yaitu inisiasi positif, inisiasi negatif, inisiasi tingkat rendah, inisiasi mencari perhatian, dan menghindar. Jika dilihat dari kategori yang disampaikan oleh Hauck, dkk perilaku melihat ke arah teman bermain dikategorikan bentuk inisiasi sosial tingkat rendah, sedangkan perilaku meninggalkan area bermain termasuk bentuk inisiasi sosial menghindar.

  Nikopoulos dan Keenan juga mengadakan penelitian tentang video modeling dan dampaknya pada kemampuan inisiasi sosial membuktikan bahwa pemberian video modeling mampu meningkatkan kemampuan inisiasi sosial pada anak dengan ASD. Pada penelitian yang dilakukan pada 2003, terdapat dua aspek yang diukur yaitu waktu yang diperlukan untuk mengadakan inisiasi sosial, dan lamanya waktu bermain. Inisiasi sosial yang dinilai pada penelitian ini adalah bentuk inisiasi sosial yang terjadi dalam waktu 25 detik sejak waktu bermain dimulai. Nikopoulos dan Keenan juga menggunakan video self modeling sebagai media intervensinya yang diberikan pada 7 anak dengan ASD. Pada aspek inisiasi sosial, meskipun menunjukkan adanya peningkatan namun beberapa subjek menunjukkan peningkatan hanya pada mainan yang sama dalam video. Dari tujuh subjek yang berpartisipasi pada penelitiannya, terdapat dua subjek yang tidak berhasil meningkat inisiasi sosialnya. Hal ini disebabkan subjek yang tidak dapat bertahan untuk menonton video yang diberikan (Nikopoulos & Keenan, 2003).

  Yang membedakan penelitian ini dan penelitian dari Nikopoulos dan Keenan adalah aspek pengukuran dan prosedur penelitian yang dipakai. Pada penelitian Nikopoulos dan Keeanan, terdapat dua aspek yang diukur yaitu waktu yang diperlukan untuk mengadakan inisiasi sosial dan lamanya waktu bermain. Dalam penelitian ini yang diukur hanya bentuk inisiasi sosial yang dimunculkan oleh subjek. Prosedur penelitian yang dilakukan oleh Nikopoulos dan Keenan melibatkan 3 proses yaitu pemberian video, pelatihan, dan generalisasi; sedangkan pada penelitian ini hanya melibatkan dua proses yaitu pemberian video dan pelatihan.

  Faktor lain yang kemungkinan mempengaruhi hasil penelitian adalah kemampuan imitasi subjek. Imitasi menjadi dasar untuk mempelajari ketrampilan yang lain dan mengajarkan atensi lewat model memfasilitasi pengembangan imitasi yang lebih kompleks serta penggunaan teman sebaya sebagai sumber informasi di lingkungan sekolah dan sosial (Weiss, 2012). Imitasi mempengaruhi proses belajar anak-anak dengan autisme, karena keterbatasan mereka untuk belajar secara mandiri serta untuk memahami informasi abstrak (Otsimo, 2016).

  Kemampuan ini berhubungan dengan sistem di otak yang disebut mirror

  

neuron system, dimana sistem ini bekerja ketika seseorang mengamati perilaku

  orang lain sehingga dapat dipahami melalui simulasi atas kegiatan model (Mullen, 2010). Sistem ini berhubungan pula dengan sistem limbik, yang berhubungan dengan kemampuan sosial dan perasaan seseorang. Adanya kerusakan apda sebagain amygdala juga memengaruhi kemampuan anak-anak dengan ASD untuk mengenali wajah dan ekspresi seseorang. Kondisi ini mengakibatkan anak-anak dengan ASD kesulitan memahami persepsi sosial seperti menghubungkan kejadian satu dengan yang lain serta mengingat urutan kejadian. Selain itu adanya permasalahan pada hipokampus mengakibatkan adanya kesulitan untuk menignat sebuah informasi dalam jangka waktu yang lama (Dawson, Meltzoff, Osterling, & Rinaldi, 1998).

  Secara neurologis belum ditemukan bukti yang menggambarkan pengaruh pemberian VSM terhadap perubahan kondisi neuronpsikologis anak- anak dengan ASD. Hal ini menjadi salah satu kelemahan pada penelitian ini. Penelitian yang dilakukan oleh Ralph Axel Muller (Akhgarnia, 2011) menyebutkan bahwa anak-anak dengan ASD cenderung mengembangkan terlalu banyak sinaps, namun hubungan antar sinapsnya tidak terlalu kuat. Kondisi ini membuat anak-anak dengan ASD sensitif terhadap perubahan situasi di sekitarnya.

  VSM menjadi fasilitas bagi anak-anak dengan ASD yang cenderung

  

visual learner. Selain itu pemutaran video yang berulang dengan urutan kejadian

  yang sama secara terus menerus membantu anak-anak dengan ASD untuk mengembangkan sinaps secara lebih efektif. Sinaps yang sebelumnya mengalami kerusakan, membentuk jalur baru untuk mencapai target perilaku seperti yang dilakukan oleh model (Doidge, 2010).

  VSM menjadi fasilitas bagi subjek menonton sebuah video dirinya memeragakan perilaku yang diinginkan tanpa kesalahan tujuannya untuk mengubah perilaku yang negatif menjadi positif sesuai dengan target perilaku yang diinginkan (Al-Salahat, 2016). Perubahan permainan yang digunakan oleh teman bermain berbeda dengan video yang ditampilkan selama intervensi membuat subjek kesulitan untuk melakukan generalisasi walaupun situasi permainan masih sama.

  Penelitian dengan menggunakan video modeling juga berkembang dengan menggabungkan video modeling dengan teknik intervensi lain. Litras, Moore, dan Anderson, menggunakan video self modeling social story untuk mengajarkan keterampilan sosial pada anak dengan autisme. Pada penelitian ini video yang digunakan menggambarkan 3 scene dengan bantuan boneka gajah dan harimau sebagai peraga untuk menceritakan scene dalam video melalui dialog antara kedua karakter tersebut. Penggunaan social story, dipilih karena kesukaan subjek membaca buku cerita, sehingga lebih menarik perhatian subjek untuk mengikuti perilaku pada video. Perilaku yang menjadi target dalam penelitian ini adalah memberi salam, mengajak bermain, dan keseusaian respon.

  Dari penelitian ini diperoleh hasil adanya peningkatan pada tiap aspek yang diukur. Perilaku memberi salam meningkat hingga 100% sampai tahap followup, perilaku mengajak bermain meningkat hingga 75%, dan kesesuaian respon meningkat hingga 82% pada tahap followup (Litras, Moore, & Anderson, 2010).

  Adapula peneltiian lain yang membandingkan antara penggunaan video modeling dan Reciprocal Imitation Training (RIT) untuk melatih kemampuan imitasi pada anak-anak dengan ASD. Tujuan dari penelitian ini untuk menentukan apakah kedua intervensi yaitu RIT dan video modeling efektif untuk melatih kemampuan imitasi pada anak-anak dengan ASD. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Cardon dan Wilcox pada tahun 2011 pada enam anak dengan ASD dan 3 anak tipikal, dinyatakan bahwa teknik RIT maupun video modeling efektif untuk melatih kemampuan imitasi pada anak-anak ASD.

  Lebih jauh lagi, penelitian ini juga menemukan hasil bahwa partisipan pada penelitian yang mendapatkan intervensi dengan video modeling menunjukkan perkembangan kemampuan imitasi yang lebih cepat dibandingkan yang menggunakan RIT. Hasil ini juga tetap bertahan hingga 1-3 minggu followup (Cardon & Wilcox, 2011).

  Meskipun ditemukan adanya peningkatan kemampuan inisiasi sosial IN dengan menggunakan VSM, namun hasilnya masih kurang optimal dengan perolehan skor yang fluktuatif pada akhir baseline kedua. Kondisi ini menjadi kelemahan pada penelitian ini, karena pelaksanaan waktu baseline maupun intervensi yang singkat sehingga ketrampilan baru yang diajarkan masih belum konsisten dan tergeneralisasi.

  KESIMPULAN

  Berdasarkan pemaparan hasil diatas, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan video self modeling (VSM) dapat meningkatkan kemampuan inisiasi subjek setelah mendapatkan 7 pertemuan intervensi. Selain peningkatan kemampuan inisiasi sosial, bentuk inisiasi sosial subjek juga meningkat dibandingkan sebelum permberian VSM. Di akhir baseline kedua, bentuk inisiasi sosial subjek muncul dalam bentuk tersenyum, tertawa, meminta mainan, mendekat pada lawan bermain, dan mengadakan kontak mata pada lawan bermain. Pengukuran secara neuropsikologis yang menggambarkan perubahan struktur otak pada anak-anak ASD setelah mendapatkan intervensi melalui VSM, juga dapat diberikan sebagai penguat efektivitas VSM.

  SARAN

  1. Bagi penelitian sejenis yang menggunakan video self modeling (VSM) maupun video modeling secara umum, disarankan waktu pemberian intervensi yang lebih panjang guna mendapatkan hasil yang lebih konsisten.

  2. Bagi penelitian selanjutnya, peneliti sebaiknya melakukan pengukuran terhadap kemampuan imitasi subjek sebelum pelaksanaan intervensi.

  Kemampuan imitasi yang cukup, akan memadai bagi pelaksanaan intervensi ini.

  3. Bagi penelitian selanjutnya dapat dipaparkan mengenai efek pemberian

  VSM terhadap perubahan struktur otak pada anak-anak dengan ASD terutama yang berhubungan dengan kemampuan inisiasi sosial. Absalom, Y. (2017, Juni 25). Kesehatan: Kompasiana. Dipetik Januari 3, 2018, Diakses dari : https://www.kompasiana.com/yos08/anak-autisme- tersisih_58eb4717af7a61ec1378f3e7

  Akhgarnia, G. (2011, Mei 26). Overconnectivity in Brain Found in Autism :

  Findings from SDSU's Brain Development Imaging Laboratory differ from current brain connectivity theories. Dipetik Januari 3, 2018, dari SDSU

  News Center: http://newscenter.sdsu.edu/sdsu_newscenter/news_story.aspx?sid=73005

  Al-Salahat, M. M. (2016). Using of Video Modeling in Teaching a Simple Meal Preparation Skill for Pupils of Down Syndrome. Journal of Education and

  Practice , 82-90. Diakses dari :

  https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ1095812.pdf APA, A. P. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Fifith Edition. Washington DC: American Psychiatric Publishing.

  Bandura, A. (2013, Februari 16). Self-efiicacy defined. Dipetik Oktober 10, 2017, dari http://samples.jbpub.com/9781449689742/Chapter2.pdf Bandura, A. (1971). Social Learning Theory. New York City: General Learning

  Press. Diakses dari : http://www.asecib.ase.ro/mps/Bandura_SocialLearningTheory.pdf Beighley, J. S. (2013, 05 02). Communication Deficits in Babies and Infants with

  Autism and Pervasive Developmental Disorder

  • – Not Otherwise Specified (PDD-NOS). Dipetik 11 24, 2017, dari Louisiana State University LSU

  Digital Commons: https://digitalcommons.lsu.edu/cgi/viewcontent.cgi?referer=https://www.goo gle.co.id/&httpsredir=1&article=4039&context=gradschool_theses

  Bellini, S., & Akullian, J. (2007). A Meta-Analysis of Video Modeling and Video Self- Modeling Interventions for Children and Adolescents With Autism Spectrum Disorder. Exceptional Children , 264-287. Diakses dari : http://vsmproject.pbworks.com/f/videometa.pdf

  Birtwell, K. B., Willoughby, B., & Nowinski, L. (2016). Social, Cognitive, and Behavioral Development of Children and Adolescents with Autism Spectrum Disorder. Dalam C. J. McDougle, Primer On:Autism Spectrum

  Disorder (hal. 19). New York: Oxford University Press. Diakses dari :

  https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=G1Q2CwAAQBAJ&oi=fnd& pg=PP1&dq=C.+J.+McDougle,+Primer+On:Autism+Spectrum+Disorder&ot s=kCpSwdZN9G&sig=rUTJ5hMThHauE6Sc_4y43adDJiE&redir_esc=y#v= onepage&q&f=false

  Buggey, T. (2005). Video Self-Modeling Applications With Students With Autism Spectrum Disorder in a Small Private School Setting. Focus on Autism and

  Other Developmental Disabilities , 20, 52-63. Diakses dari :

  http://vsmproject.pbworks.com/f/vsm%20in%20small%20private.pdf Cardon, T. A., & Wilcox, M. J. (2011). Promoting Imitation in Young Children with

  Autism : A Comparison of Reciprocal Imitation Training and Video Modeling. Journal of Autism Deviant Disorder , 654-666. Diakses dari : https://link.springer.com/article/10.1007/s10803-010-1086-8

  Corbett, B. A., & Abdullah, M. (2005). Video Modelling: Why Does It Work for Children with Autism? JEIBI , 2-8. Diakses dari : https://www.researchgate.net/publication/26456245_Video_Modeling_Why _does_it_work_for_children_with_autism Dawson, G., Meltzoff, A. N., Osterling, J., & Rinaldi, J. (1998).

  Neuropsychological Correlates of Early Symptoms of Autism. Child Dev , 1276-1285. Diakses dari : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4084601/

  Delano, M. E. (2007). Video Modeling Interventions for Individuals with Autism.

  Remedial and Special Education , 33-42. Diakses dari :

   Doidge, N. M. (2010). The Brain That Changes Itself. Carlton North, Vic: Scribe

  Publications. Diakses dari : https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ve d=0ahUKEwjpw5L8u- bZAhVDtI8KHYXtBhYQFggnMAA&url=http%3A%2F%2Ftaisa.si%2Fwp%2 Fwp-content%2Fuploads%2F2013%2F12%2FThe-Brain-That-Changes- Itself-by-Norman-Doidge- M.D..pdf&usg=AOvVaw0f0VOQLM2UltrYlGmFFCXm

  Grosberg, D., & Charlop, M. (2014). Teaching Persistence in Social Initiation Bids to Children with Autism Through a Portable Video Modeling Intervention (PVMI). Journal of Development Physical Disabilities , 527-541. Diakses dari

  : https://www.researchgate.net/publication/259635152_Teaching_Persistenc e_in_Social_Initiation_Bids_to_Children_with_Autism_Through_a_Portable _Video_Modeling_Intervention_PVMI Hauck, M., Fein, D., Waterhouse, L., & Feinstein, C. (1995). Social Initiations by Autistic Children to Adults and Other Children. Journal of Autism and

  Developmental Disorder , 25 (No.6), 579-595. Diakses dari :

   Kabashi, L. (2012). The Efficacy of Video Self Modeling for Promoting Social

  Initiation Skills for Children with Autism Spectrum Disorders (ASD) to Peers. Pittsburgh: UMI Disertation Publishing. Diakses dari : http://d-

  scholarship.pitt.edu/13811/1/LKabashi_Dissertation.pdf Koegel, R. L., Vernon, T. W., & Koegel, L. K. (2009). Improving Social Initiations in Young Children with Autism Using Reinforcers with Embedded Social

  Interactions. Journal of Autism and Developmental Disorder , 1240-1251. Diakses dari : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2727363/

  Kouo, J. L. (2016). The Effectiveness of Point-of-View Video Modeling in

  Teaching Social Initiation Skills to Children with Autism Spectrum Disorders. Michigan: Proquest. Diakses dari:

  https://drum.lib.umd.edu/bitstream/handle/1903/18226/Kouo_umd_0117E_ 16960.pdf?sequence=1

  LaCava, P. (2010). Steps for Implementation : Video Modeling. National Professional Developmenter Center on Autism Spectrum Disorder , 1-6.

  Diakses dari : http://www.autisminternetmodules.org/up_doc/VideoModelingSteps.pdf Latipun. (2002). Psikologi Eksperimen. Malang: UMM Press. Litras, S., Moore, D. W., & Anderson, A. (2010). Using Video Self-Modeled Social

  Stories to Teach Social Skills to a Young Child with Autism. Autism

  Research and Treatment , 1-17. Diakses dari :

  https://www.researchgate.net/publication/230769971_Using_Video_Self- Modelled_Social_Stories_to_Teach_Social_Skills_to_a_Young_Child_with _Autism

  Loftin, R. L., Odom, S. L., & Lantz, J. F. (2008). Social Interaction and Repetitive Motor Behaviors. Journal of Autism and Developmental Disorders , 1-13.

  Diakses dari : https://www.researchgate.net/publication/5782830 Macpherson, K., & Charlop, M. H. (2014). Using Portable Video Modeling

  Technology to Incrase the Compliment Behaviors of Children with Autism During Athletic Group Play. Journal of Autism and Developmental Disorder , 1-11. Diakses dari : https://www.researchgate.net/publication/260395082

  Margaretha, S. (2012, Juli 10). Video Modeling Autisme Indonesia. Dipetik Januari 3, 2018, dari Google Web site: http://lib.ui.ac.id

  Mastrangelo, S. (2009). Play and the Child With Autism Spectrum Disorder: From Possibilities to Practice. International Journal of Play Therapy , 13-30.

  Diakses dari : https://www.researchgate.net/publication/232525127 McCoy, K., & Hermansen, E. (2007). Video Modeling for Inidviduals with Autism:

  A Review of Model Types and Effects. Education and Treatment of

  Children , 30 (4), 183-213. Diakses dari :

  http://www.freepatentsonline.com/article/Education-Treatment- Children/172179740.html

  McLeod, D. S., Malatino, K. W., & Lucci, D. (2016). Social Skills Training for Autism Spectrum Disorder. Dalam C. J. McDougle, Primer On Autism

  Spectrum Disorder (hal. 369). New York: Oxford University Press. Diakses

  dari : https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=G1Q2CwAAQBAJ&oi=fnd& pg=PP1&dq=C.+J.+McDougle,+Primer+On:Autism+Spectrum+Disorder&ot s=kCpSwdZN9G&sig=rUTJ5hMThHauE6Sc_4y43adDJiE&redir_esc=y#v= onepage&q&f=false

  Mullen, G. (2010). Mirror Neurons : Our Current Understanding. Student

  Psychology Journal Volume

  II . Diakses dari :

  http://psychology.tcd.ie/spj/past_issues/issue02/Reviews/(8)%20Georgina %20Mullen.pdf

  NHS, C. C. (2015, March 20). Social Communication Difficulties and Autistic

  Spectrum Disorder. Dipetik November 24, 2016, dari

  www.cambscommunityservices.nhs.uk: https://www.cambscommunityservices.nhs.uk/docs/default-source/leaflets--

  • community-paediatrics/0044---social-communication-difficulties-and- autistic-spectrum-disorders.pdf?sfvrsn=2

  Nikopoulos, C. K., & Keenan, M. (2003). Promoting Social Initiation in Children with Autism using Video Modelling. Behavior Intervention , 18, 87-108.

  Diakses dari : http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/bin.129/epdf?r3_referer=wol&trac king_action=preview_click&show_checkout=1&purchase_referrer=www.go ogle.co.id&purchase_site_license=LICENSE_DENIED

  Nikopoulos, C. K., & Keenan, M. (2007). Using Video Modeling to Teach Complex Social Sequences to Children with Autism. Journal of Autism and

  Developmental Disorder , 678-693. Diakses dari :

  https://core.ac.uk/download/pdf/334024.pdf Nikopoulos, C. K., & Michael, K. (2004). Effects of Video Modeling on Social

  Initiations by Children with Autism. Journal of Applied Behavior Analysis ,

  93-96. Diakses dari : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1284483/pdf/15154221.pdf Nikopoulos, C., & Keenan, M. (2006). Video Modelling and Behaviour Analysis A

  Guide for Teaching Social Skills to Children with Autism. London: Jessica Kingsley Publishers.

  Otsimo. (2016, November 16). Importance of Imitation Skills in Autism. Dipetik Februari 7, 2018, dari OTSIMO Web Site: https://otsimo.com/en/importance-imitation-skills-autism/

  Reagon, K. A., Higbee, T. S., & Endicott, K. (2006). Teaching Pretend Play Skills to a Student with Autism Using Video Modeling with a Sibling as Model and Play Partner. Education and Treatment of Children , 1-12. Diakses dari : http://old.sper.usu.edu/ASSERT/Higbee_Reagon_Endicott_2006.pdf

  Rocha, M. L. (2016, September 27). http://e- resources.perpusnas.go.id:2071/docview/870025152?pq-origsite=summon.

  Dipetik Juni 1, 2012, dari e-resources.perpusnas.go.id: https://e- resources.perpusnas.go.id:2171/docview/1018383790?accountid=25704 Samson, F., Mottron, L., Soulieres, & Zeffiro, T. A. (2012). Enhanced Visual

  Functioning in Autism: An ALE Meta-Analysis. Human Brain Mapping , 1553-1581. Diakses dari : http://www.academia.edu/1643987/Enhanced_visual_functioning_in_autis m_An_ALE_meta-analysis

  Strain, P. S., & Schwartz, I. (2001). ABA and the Development of Meaningful Social Relations for Young Children with Autism. Focus on Autism and Other Developmental Disabilities , 16, 120-128.

  Vaiouli, P., & Schertz, H. (2012). Promoting Social Engagement for Young Children with Autism: a Music Therapy Approach. Proceeding of the 12th

  International Conference on Music Perception and Cognition and the 8th Triennial Conference of the European Society for the Cognitivve Sciences of Music (hal. 1-5). Thessaloniki, Greece: Department of Curriculum and

  Instruction, Special Education, Indiana University Blooington. Diakses dari : http://icmpc-escom2012.web.auth.gr/files/papers/1044_Proc.pdf Weiss, M. J. (2012, 11 07). Basic Components of Social Skills. Dipetik 12 14 ,

  2017, dari Behavior Analytic Interventions for Developing Social Skills inIndividuals with Autism: http://archive.brookespublishing.com/documents/Gerhardt_social-skills.pdf

  Widajati, W., & Alfinina, B. (2013). Penggunaan Media Visual dalam Pembelajaran Anak Autis. Jurnal Pendidikan Luar Biasa , 26-34.

  Zimmerman, B. J. (2000, 1 4). Self-Efficacy: An Essential Motive to Learn. Dipetik 9 29, 2017, dari Contemporary Educational Psychology: https://ac.els- cdn.com/S0361476X99910160/1-s2.0-S0361476X99910160- main.pdf?_tid=d9466e63-5889-4466-94d6- 642d7e06e87c&acdnat=1520951920_ce7e8251ffb90b11b3b51de2ac1620 a3

Dokumen yang terkait

PENGARUH PENGGUNAAN TERAPI MUSIK TERHADAP PEMAHAMAN EMOSI ANAK AUTISM DI PUSAT TERAPI TERPADU A-PLUS MALANG

1 7 22

PELATIHAN KOMPETENSI SOSIAL UNTUK MENINGKATKAN SELF DISCLOSURE SANTRIWATI

3 13 28

KETERAMPILAN SOSIAL PADA ANAK ATTENTION DEFICIT HIPERACTIVE DISORDER (ADHD)

0 25 12

DYNAMIC SPECTRUM ACCESS (DSA) DENGAN MEKANISME SPECTRUM SENSING BERBASIS PENDETEKSIAN KANAL DAN BANDWIDTH UNTUK EFISIENSI SPEKTRUM

1 5 49

PENGGUNAAN TEKNIK MODELING DALAM KONSELING KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN KEBIASAAN BELAJAR PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 9 METRO TAHUN PELAJARAN 2014/2015

3 18 71

1 DESIGNING EDUcards AS VISUAL AIDS OF PROCEDURE TEXTS FOR STUDENTS WITH AUTISTIC SPECTRUM DISORDER

1 1 8

PENGARUH MODELING VIDEO TERHADAP PERILAKU IBU DALAM MELATIH TOILET TRAINING PADA ANAK USIA 1-3 TAHUN DI DUSUN SANGGRAHAN CONDONGCATUR NASKAH PUBLIKASI - PENGARUH MODELING VIDEO TERHADAP PERILAKU IBU DALAM MELATIH TOILET TRAINING PADA ANAK USIA 1-3 TAHUN D

0 1 14

KEEFEKTIFAN TEKNIK MODELING AND ROLE PLAYING UNTUK MENINGKATKAN SELF LEADERSHIP PESERTA DIDIK KELAS X SMA BATIK 2 SURAKARTA TAHUN AJARAN 2017/2018 - UNS Institutional Repository

0 0 17

TEKNIK MODELING BERBASIS VIDEO UNTUK MENINGKATKAN MINAT BERWIRAUSAHA PADA PESERTA DIDIK KELAS X SMK NEGERI 5 SURAKARTA TAHUN AKADEMIK 2016/ 2017 - UNS Institutional Repository

0 0 18

PENGARUH VIDEO SELF MODELLING BERPAKAIAN TERHADAP KEMANDIRIAN BERPAKAIAN PADA ANAK TUNAGRAHITA DI SEKOLAH LUAR BIASA BUDI ASIH GOMBONG - Elib Repository

0 0 76