Kediktatoran tokoh puan tirana sang penguasa yang buta dalam roman negeri senja karangan Seno Gumira Ajidarma - USD Repository

  

KEDIKTATORAN TOKOH PUAN TIRANA SANG PENGUASA

YANG BUTA DALAM ROMAN NEGERI SENJA

KARANGAN SENO GUMIRA AJIDARMA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Sigit Aprianto Nugroho

  

NIM: 024114016

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

2007

  Kepada kekasih yang ikhlas menerima bunga, kelak

  Tersembah demi : ibu, susumu tak kering di segala musim : ibu, kasih tanpa kenal sudah : ibu, adamu tak lekang oleh waktu

  • --tempat pulang penuh sayang. :Ayah, pondasi dan atap kokohmulah tempat kami bersadai

    Dan atas kepercayaan juga kebebasan kalian membiarkan ke mana

    kakiku menuju

    --batas langkahku tak bakal tunai membayar kasih itu.

  

Menuju

(I)

  Ingatkah sering kita mencari bulan di lubang atapatap kamboja lalu menyulam kafan dari pendarnya? Kita selalu berlomba mendapat paling banyak cahaya. Memintalnya pada potongan dahan kering yang baru saja memerosokkan panjatan kita. Sementara gigitan semut tak kuasa membendung semangat kita memilah dahan tumpuan. Ingatkah kita selalu seksama menghindari jegal tonggak demi mengejar kunang yang sembunyi di semak ilalang, kemudian memahat nisan dari ekornya? Senantiasa kita menahan suara ketika menaruhnya pada kantong plastik bawaan kita: bersaing menghitung tangkapan siapa paling banyak. Tanpa sadar darah mengering menjadi garisgaris tanpa aturan di sekujur tubuh, lantaran kita lupa tajamnya daun ilalang. Tapi tiada pernah kita jera juga. Ingatkah kita selalu lelarian menggenggam cahaya di kirikanan tangan kita dan ingin segera menyimpan pada bejana yang kita pajang di teras rumah sambil mengingat berapa jumlahnya? Sementara matamata gerimis terus saja lesakkan nada belasungkawa, dengan irama canda. Kita masih saja lupa pada tabiat jalan pulang. Sehingga berkalikali pula kita jatuh dan, tersungkur di parit depan rumah. Lalu, ingatkah, kau selalu berkata, “Percaya saja pada angin. Ayo lekas hijrah, tanggalkan terompah dari setiap jendela. Biar terbaca catatan dosadosa: itulah keranda!”

  ^Sagan

  

Abstrak

  Nugroho, Sigit Aprianto. Kediktatoran Tokoh Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta dalam Roman Negeri Senja Karangan Seno Gumira Ajidarma. Skripsi.

  Yogyakarta: Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Penelitian ini mengkaji kediktatoran tokoh Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta dalam roman Negeri Senja karangan Seno Gumira Ajidarma. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan struktur penceritaan, khususnya tokoh dan penokohan, dan mendeskripsikan kediktatoran tokoh Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta dalam roman

  Negeri Senja karangan Seno Gumira Ajidarma.

  Penelitian ini menggunakan pendekatan struktural sastra dengan menganalisis unsur tokoh dan penokohan. Unsur tersebut merupakan fakta cerita yang sangat berpengaruh terhadap pokok kajian penelitian ini.

  Penelitian yang menggunakan metode deskriptif ini, mencoba mendeskripsikan sikap-sikap diktator dalam diri Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta dan menginterprestasikannya dengan teori kediktatoran.

  Dari penelitian ini terungkap bahwa tokoh Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta adalah seorang wanita buta yang menguasai Negeri Senja dengan segala kebengisan dan kekejamannya. Kemudian pada bagian akhir, penelitian ini berkesimpulan bahwa dalam menjalankan kediktatorannya, Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta berkecenderungan menggunakan dua sikap diktator, yaitu 1) menggunakan taktik memecah-belah dan melumpuhkan demi bertahan pada kekuasaannya, dan 2) menggunakan teror untuk menyurutkan setiap usaha untuk menggulingkannya. Selain itu, Puan Tirana juga telah melanggar hak asasi manusia sebagaimana tertulis dalam The Universal Declaration of

  

Human Right, terutama pasal lima, sembilan, delapan belas, sembilan belas dan pasal dua

puluh.

  

Abstract

  Nugroho, Sigit Aprianto. Dictatorialess of Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta in the

  roman Negeri Senja by Seno Gumira Ajidarma. Undergraduate thesis. Indonesia Literature Departement of Sanata Dharma University: Yogyakarta.

  This research examines the dictatorialess of Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta in Seno Gumira Adjidarma roman entitles Negeri Senja. The objective of this research is to discribe the structure of the naration, particular character and caracterizations, and to discribe the dictatorialess of Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta in the roman Negeri Senja by Seno Gumira Adjidarma.

  This research use formalistics approach by analyzing characterizations. The element very having represent an effect on story fact to this fundamentaly research. Research using this descriptive method, trying to discribe of dictator attitude of Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta and discribe it with the dictator theory. From this research we know that the figure of Puan Tirana Sang Penguasa yang

  Buta is a blind woman mastering Negeri Senja with all asperity and its cruelty. Later; then at the end, this research have a conclusion to that in running its dictator, Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta have tendency to use two dictator attitude, that is 1) using tactics divide and paralyse for the shake of staying at his power, and 2) using terrorized to withdraw each every effort to overthrow. Besides Tirana have also impinged the human right as written in The Universal Declaration of Human Right, especially section five, nine, eighteen, nineteen and section twenty.

KATA PENGANTAR

  Sudah bukan menjadi sesuatu yang mengherankan apabila dalam suatu (bahkan sepanjang) masa hidupnya manusia senantiasa merasa kurang puas terhadap segala sesuatu yang telah diperolehnya. Merasa kurang dengan perolehan yang hanya satu maka manusia berusaha untuk mendapatkan dua, tiga, empat, sepuluh, dan seterusnya hingga mencapai takaran yang dianggap mendekati cukup. Akan tetapi, lebih sering manusia tidak pernah merasa cukup dan membuatnya ingin memperoleh segalanya. Dan inilah yang biasa kita sebut dengan kerakusan manusia: nafsu berkuasa. Kemudian apabila manusia telah merasa mendapatkan kekuasaan maka dengan kesadaran penuh ia akan mempertahankan kekuasaan yang telah digenggamnya. Yang mengagumkan, dalam mempertahankan kekuasaan tersebut sering kali manusia mengalpakan kebutuhan (baca: hak) sesamanya. Maka, tidak jarang terjadi sebuah kekerasan dan bahkan penindasan terhadap kemanusiaan demi tak terenggutnya kekuasaan.

  Berawal dari sebuah ketertarikan terhadap sifat kerakusan manusia jualah tulisan ini bermula. Sifat kerakusan tersebut secara lebih khusus saya temukan pada diri seorang tokoh bernama Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta yang menjadi seorang diktator dalam Negeri Senja—roman karangan Seno Gumira Ajidarma.

  Pergelutan saya dengan roman tersebut mau-tidak-mau memantik rasa penasaran saya untuk harus tahu lebih banyak tentang serbaneka yang ada dalam roman tersebut.

  Demi meredam rasa penasaran saya mencoba mengidentifikasi tokoh Puan Tirana dengan menggunakan teori yang ditawarkan oleh Burhan Nurgiyantoro (2005). Sedangkan untuk mengetahui bagaimana sikap-sikap diktator Puan Tirana, saya sengaja menggunakan pisau teori dari Jules Archer (2004). Dari teori yang ditawarkan oleh kedua tokoh tersebut, saya mendapatkan beberapa perolehan. Pertama, bahwa ternyata di balik kemisteriusannya, tokoh Puan Tirana adalah seorang wanita buta yang menguasai Negeri Senja yang dalam tiap kesempatan selalu muncul dengan jubah dan kerudung hitam yang menutupi seluruh tubuhnya, dan ia juga mengalami luka batin berupa dendam cinta terhadap mantan kekasihnya Guru Besar. Kedua, oleh karena derita cinta yang dialaminya, Puan Tirana melampiaskan dengan cara menindas rakyatnya sehingga membuat dirinya berkecenderungan menjadi seorang diktator. Kemudian mengenai sikap-sikap apa saja yang digunakan Puan Tirana dalam menjalankan kediktatorannya dan sejauh mana kemisteriusan tokoh tersebut, silakan kiranya Anda membaca lebih lanjut tulisan ini.

  • Sebagai seorang penulis mula, tidak berlebihan kiranya apabila pada kesempatan ini saya juga hendak berucap terima kasih kepada beberapa pihak yang dengan antusias membantu saya. Dengan segala kerendahan hati, maka izinkan saya menghaturkan terima kasih kepada Drs. B. Rahmanto, M.Hum. dan S.E. Peni Adji, M.Hum.—yang meski sedikit saja memberikan diskusi, namun memeram banyak arti. Semoga keyakinan dan kepercayaan yang Anda berikan tidak menjadi hal yang sia-sia bagi saya. Berikutnya, yang tak kalah penting adalah orang-orang yang memberi sedikit kontribusi guna penulisan ini, di antaranya orang tua saya yang sedikit-banyak ikut menyumbang kebutuhan finansial saya; pedagang rokok yang dengan bersungut-sungut mengabulkan permohonan utang saya di malam-malam dingin; dan beberapa wanita yang, aduhai, mengajak saya melalaikan tugas ini—terima kasih atas dimensi lain yang kalian
suguhkan. Kebodohan saya adalah, tidak tahu bagaimana caranya berterima kasih kepada Tuhan—maaf dalam kesempatan ini saya tidak berterima kasih kepada-Mu—kecuali mencoba untuk terus, terus dan terus berusaha menjadi lebih baik dengan berkarya.

  Sebelum benar-benar berakhir pengantar ini, saya juga hendak berterima kasih kepada dosen penguji dan para pembaca yang kelak akan memberikan beberapa kritik, saran dan bahkan makian karena saya sadar tulisan ini terlalu berjarak dari kesempurnaan. Meskipun demikian, saya juga memiliki hak untuk berharap agar tulisan ini tidak berakhir di sebuah rak yang berderet di “shopping center”. Semoga.

  Penulis, Sigit Aprianto Nugroho

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

  Yogyakarta, ……………………….., Penulis

DAFTAR ISI

  Halaman HALAMAN JUDUL ………………………………………………… i HALAMAN PERSETUJUAN ………………………………………. ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ……………………………. iii SEKADAR PERSEMBAHAN ………………………………………. iv ABSTRAK …………………………………………………………… vi

  ABSTRACT ............................................................................................ vii

  KATA PENGANTAR ……………………………………………….. viii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……………………………… xi DAFTAR ISI ………………………………………………………….. xii

  BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………

  1

  1.1 Latar Belakang ………………………………………………

  1

  1.2 Rumusan Masalah……………………………………………

  4

  1.3 Tujuan Penelitian ……………………………………………

  4 1.4 Manfaat Penelitian …………………………………………..

  5

  1.5 Tinjauan Pustaka/Landasan Teori ……………………………

  5

  1.5.1 Tinjauan Pustaka ……………………………………

  5

  1.5.2 Landasan Teori …………………………………… 9

  1.5.2.1 Teori Struktural ………………………………

  9

  1.5.2.1.1 Tokoh …………………………………

  10

  1.5.2.1.2 Penokohan……………………………. 11 1.5.2.2 Sosiologi Sastra ……………………………...

  12 1.5.2.1 Pengertian Diktator ………………………….

  13

  1.6 Metode Penelitian dan Pendekatan ……………………………

  15

  1.6.1 Metode Penelitian……………………………………

  15 1.6.2 Pendekatan…………………………………………...

  15

  1.6.3 Sumber Data …………………………………………

  17 1.7 Sistematika Penyajian ……………………………………….

  17 BAB II TOKOH DAN PENOKOHAN PUAN TIRANA SANG PENGUASA YANG BUTA ………………………………………

  18

  48

  58 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………

  4.2 Saran ………………………………………………………………

  55

  55 4.1 Kesimpulan ………………………………………………………..

  53 BAB IV PENUTUP …………………………………………………………

  3.3. Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Dilakukan Puan Tirana…

  3.2. Teror Kepada Gerakan Perlawanan ……………………………

  2.1 Rangkaian Peristiwa Penting dalam Roman Negeri Senja ……

  41

  39 3.1. Taktik Memecah Belah dan Melumpuhkan …………………..

  34 BAB III KEDIKTATORAN TOKOH PUAN TIRANA SANG PENGUASA YANG BUTA SERTA BERBAGAI PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA IKUTANNYA ……………………….

  2.4 Teknik Penyajian Tokoh ………………………………………

  28

  2.2 Berkenalan dengan Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta …. 24 2.3 Menyingkap Misteri Jati Diri Tokoh Tirana ………………….

  19

  60

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Salah satu—sekadar tidak mengatakan satu-satunya—dari sekian banyak permasalahan dalam karya sastra yang tidak pernah kering untuk dibahas adalah keterkaitan atau hubungan hakiki antara sastra dengan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan, antara lain disebabkan oleh: karya sastra dihasilkan oleh pengarang, sementara pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat, yang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan kemudian hasil karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat (Ratna, 2006: 60).

  Oleh karena itu, karya sastra dapat dikatakan sebagai suatu cerminan kehidupan nyata, realitas sehari-hari. Berbeda dengan karya ilmiah dan karya filsafat, karya sastra— dengan berbagai genrenya—cenderung mengajak pembaca bukan sekadar untuk memahami dunia, melainkan mengalaminya kembali. Karya sastra berkecenderungan untuk me(re-)presentasikan kehidupan daripada mengkonseptualisasikannya (Faruk, 2004).

  Para pencipta sastra, sastrawan, dapat dikatakan sebagai mediator dalam menghadirkan dunia (baru) di hadapan pembaca. Dunia (baru) tersebut hadir bukan semata tanpa dasar apa-apa, melainkan melalui berbagai rentetan peristiwa yang tengah terjadi di masyarakat sehingga menjadi pemantik (inspirator) bagi sastrawan untuk menuliskannya dalam bentuk karya sastra. Lantaran itu karya sastra dapat dipahami apabila pembaca dapat “membaca” peristiwa sosial di saat karya sastra tersebut ditulis. Ini berkesesuaian dengan pendapat Damono (1978) yang mengatakan, karya sastra mengandung gagasan yang dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan mencetuskan peristiwa sosial tertentu. Hal tersebut dapat dinikmati dan dipahami, jika pembaca mampu memahami pesan terselubung di dalam karya sastra.

  Sastrawan yang dengan lihai menghadirkan kembali kenyataan sosial ke dalam karya, salah satunya adalah Seno Gumira Ajidarma (selanjutnya disingkat, SGA).

  Melalui karya puisi, cerita pendek (cerpen), dan novel SGA mampu menggelarkan berbagai tragedi kemanusiaan. Sastrawan, wartawan, fotografer, dan juga doktor susastra ini telah mengalami bermacam pergelutan dengan kenyataan sehari-hari yang terus menerus menekan kediriannya.

  Pada saat SGA berdiri pada profesi kewartawanan, tidak banyak yang bisa ia lakukan karena karya jurnalistik selalu menemui kendala ketika akan menyampaikan kebenaran. Karenanya, SGA memilih mengatakan kebenaran tersebut melalui karya sastra. Hal ini sejalan dengan pengakuannya (Ajidarma, 1997), bahwa ketika jurnalisme dibungkam sastra harus bicara. Karena bila jurnalisme bicara dengan fakta (yang sering dimanipulasi) sastra bicara dengan kebenaran, dan kebenaran dan kesusastraan menyatu bersama udara, tak tergugat dan tak tertahankan. Dengan menutupi kebenaran, adalah perbuatan bodoh yang dilakukan sepanjang sejarah manusia.

  Oleh alasan ingin menyebarkan kebenaran maka karya-karya SGA hampir selalu tidak bisa dilepaskan dari pengaruh peristiwa-peristiwa di mana SGA berdomisili (: Indonesia). Dalam masa hidup di tengah-tengah masyarakatnya, agaknya SGA banyak menjumpai peristiwa-peristiwa yang merendahkan (ke)manusia(an). SGA merefleksikan peristiwa yang ia dengar, lihat, dan rasakan tersebut ke dalam karyanya, untuk memberikan penilaian kepada berbagai hal yang melenceng dari kepatutan. Hal ini, salah satunya, dapat ditemukan pada karya romannya, Negeri Senja.

  Dalam Negeri Senja, roman yang pernah mendapat Katulistiwa Literary Award untuk kategori fiksi (Kompas, 13 Oktober 2004), ini digambarkan betapa seorang wanita buta (: Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta) menguasai sebuah negeri, yang selalu dalam keadaan senja, selama dua ratus tahun dengan kediktatorannya. Pelanggaran hak asasi manusia, yang dilakukan Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta—selanjutnya lebih sering disebut Tirana—, bukan menjadi barang aneh. Berbagai bentuk kekerasan menjadi makanan sehari-hari penduduk Negeri Senja, yang hidup dalam kemiskinan. Selain itu, penduduk juga tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mencoba bertahan dalam kemiskinan, kebisuan, dan ketegangan; meskipun ada juga yang melakukan pemberontakan, namun selalu dapat digagalkan karena bahkan Tirana mampu membaca pikiran orang. Selama pemerintahan Puan Tirana, tidak seorang pun diizinkan menolak perintah/kebijakannya.

  (1) “…Tirana bagaikan Tuhan yang Jahat di Negeri Senja, yakni berkuasa seperti Tuhan tapi tanpa sifat-sifat kebaikan sama sekali, dan ia seperti menakdirkan kehidupan di Negeri Senja harus berlangsung seperti kehendaknya.” (hlm. 171)

  Demikianlah betapa kediktatoran Puan Tirana beserta aparatur pemerintahannya tak tergoyahkan. Intensitifitas saya dalam menggauli Negeri Senja, telah memaksa saya untuk menggelarkan sifat-sifat diktator tokoh Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta dalam tulisan ini.

  Tulisan ini hanya akan mendeskripsikan sejauh mana kediktatoran Tirana, karena itu tulisan ini mengonsentrasikan diri pada salah satu unsur instrinsik semata yakni tokoh dan penokohan. Sementara mengenai latar, alur, tema, dan unsur instrinsik lainnya tidak merupakan dokumen sosio-budaya sehingga sesuatu unsur di dalamnya dapat diambil terlepas dari hubungannya dengan unsur yang lain. Namun demikian tulisan ini tidak akan mengaitkan Negeri Senja dengan keadaan Indonesia pascapemerintahan sebuah rezim otoriter, hasil tulisan ini diharapkan dapat menyoroti sikap pemerintahan diktator secara universal.

  1.2 Rumusan Masalah

  1. Bagaimana tokoh dan penokohan Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta dalam Negeri Senja?

  2. Sifat-sifat diktator apa saja yang Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta lakukan dalam menjalankan pemerintahannya?

  1.3 Tujuan Penelitian

  1. Mendeskripsikan tokoh dan penokohan Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta.

  2. Menggelarkan sikap-sikap diktator Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta beserta pelanggaran hak asasi yang dilakukannya.

  1.4 Manfaaat Penelitian

  Berbagai bentuk kajian sastra, baik akademik maupun non akademik, telah banyak dilakukan oleh orang yang menggemari bidang ini. Sebesar atau sekecil apa pun hasil kajiannya, tentu telah memberikan sumbangsih yang bermanfaat bagi peminat, penikmat, dan pemerhati sastra. Demikian halnya dengan kajian yang akan saya lakukan, diharapkan menyodorkan bermacam manfaat, antara lain:

  1. memperkaya khazanah pustaka dalam kancah penelitian sastra, 2. menambah wawasan mengenai sikap diktator, serta sifat-sifatnya,

  3. memberikan peluang sebagai titik tolak penginterpretasian karya sastra, khususnya mengenai roman Negeri Senja. Dengan begitu, akan muncul sebuah landasan pacu dalam menginterpretasikan roman tersebut sehingga dapat menolak atau mungkin mendukung tulisan ini.

1.5 Tinjauan Pustaka/Landasan Teori

1.5.1 Tinjauan Pustaka

  Karya-karya SGA acap kali mendedah masalah kekerasan beserta pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masyarakat, baik yang dilakukan oleh individu-individu atau bahkan oleh tangan penguasa. Kritik SGA terhadap kekuasaan yang mengancam eksistensi (ke)manusia(an), dapat dengan mudah dijumpai dalam karya prosanya— terutama cerpen.

  Oleh karenanya tulisan-tulisan yang membahas karya SGA bukan tidak banyak. Sebut saja Budiawan (1994), misalnya. Dalam esai bertajuk Kritik Terhadap Militerisme

  

dalam Sastra: Kasus Tiga Cerita Pendek Seno Gumira Ajidarma tentang “Penembak(an)

Misterius” ia berkesimpulan bahwa karya cerita pendek SGA (: Grhhh, Bunyi Hujan di

Atas Genting, dan Keroncong Fantasi) merupakan sebuah gugatan terhadap petrus

  (akronim dari Penembak Misterius). Ia mengatakan ini sebagai gugatan karena ketiga cerpen—Budiawan menyebutnya trilogi—tersebut memperlihatkan bahwa pembantaian penjahat, atau tertuduh penjahat, justru menimbulkan ketidakamanan, bahkan kekacauan.

  Satu per satu trilogi tersebut dibedah oleh Budiawan. Cerpen Bunyi Hujan di Atas

  

Genting dibacanya sebagai kritik terhadap sikap masyarakat tentang “petrus” yang bukan

  hanya permisif, tetapi suportif terhadapnya. Sikap masyarakat yang mendukung “petrus” itu dipandang sebagai semacam pemupukan benih-benih kekerasan oleh aparat negara.

  Dalam budaya kekerasan inilah pelampiasan kebencian termanifestasikan secara liar sehingga manusia yang dibenci itu tidak dipandang sebagai manusia lagi, dan ini merupakan sebuah penghancuran nilai-nilai kemanusiaan. Pada titik inilah Budiawan mendapati nurani yang dibungkam.

  Bungkamnya hati nurani ini, lagi-lagi, Budiawan temukan dalam Keroncong

  

Pembunuhan. Olehnya, cerpen ini dipandang sebagai sebuah gugatan yang langsung

  menukik pada masalah eksistensi (ke)manusia(an) yang secara serius terancam oleh sebuah proyek kekuasaan yang berambisi menegakkan apa yang diyakini sebagai “kewibawaan bangsa dan negara”, yakni dengan pemberian predikat “petrus” sebagai “penghianat bangsa dan negara”.

  Sementara cerpen Grhhh dibaca Budiawan sebagai kritik terhadap kegagalan, dan efek samping yang ditimbulkan, “petrus”. “Petrus” dikatakan telah menciptakan efek lingkaran setan kekerasan pada masyarakat.

  Bentuk-bentuk kekerasan lainnya juga mengemuka pada cerpen SGA lainnya. Hal ini dapat ditelusur dari hasil analisis kritik(us) sastra akademik, Tempo. Dalam skripsinya, Tempo (2005) menemukan bentuk-bentuk kekerasan tersebut dalam cerpen- cerpen SGA. Tempo mendasarkan penelitiannya atas teori kekerasan menurut Johan Galtung, yakni kekerasan personal, kekerasan yang sifatnya dinamis dan mudah diamati karena kekerasan ini bertitik berat pada realisasi jasmani aktual; dan kekerasan struktural, yang lebih bersifat statis dan tidak tampak dikarenakan bertitik tolak pada ketidaksamaan dalam struktur sosial.

  Atas dasar pisau teori kekerasan dari Galtung tersebut, Tempo mengupas tujuh cerpen dalam kumpulan cerpen Iblis Tak Pernah Mati-nya SGA. Dalam kumpulan cerpen tersebut, simpul Tempo, ada dua cerpen yang didominasi oleh kekerasan struktural, yaitu cerpen Dongeng Sebelum Tidur dan Anak-anak Langit. Kemudian cerpen yang dimayoritasi kekerasan personal adalah cerpen Taksi Blues dan Jakarta Suatu Ketika. Sementara cerpen Clara, Partai Pengemis, dan Eksodus menurutnya mengandung unsur kekerasan personal dan kekerasan struktural sekaligus (Tempo, 2005: 87).

  Dalam pada itu, pelanggaran hak-hak sipil otomatis terjadi di hampir seluruh cerpen dalam kumpulan Iblis Tak Pernah Mati. Hal ini setidaknya pernah diungkapkan oleh Sriyani (2000). Dalam skripsinya, ia membahas delapan cerpen dalam kumpulan cerpen tersebut. Melalui tokoh-tokoh yang berlakuan dalam cerpen-cerpen yang dianalisis, ia berpendapat telah terjadi pelanggaran hak terhadap kebebasan bergerak seseorang dalam cerpen Jakarta Suatu Ketika, Clara, Kisah Seorang Penyadap Telepon, dan Taksi Blues. Sementara itu, pelanggaran hak atas kepemilikan harta benda dan pelanggaran atas larangan penyiksaan terdapat dalam cerpen, Partai Pengemis, Clara, dan Jakarta Suatu Ketika. Dengan demikian, lanjut Sriyani, pelanggaran hak-hak sipil terjadi di hampir seluruh cerpen yang ada di Iblis Tak Pernah Mati.

  Penelitian yang dilakukan Sriyani ini didasarkan pada definisi hak sipil oleh Hasan Shadily (1980: 1207), yakni hak-hak yang menyatakan bahwa semua orang adalah sama di mata negara dan di mata hukum. Hak-hak sipil itu meliputi: hak hidup, kebebasan, dan keamanan pribadi; larangan perbudakan; larangan penganiayaan; larangan penangkapan; penahanan, atau pengasingan yang sewenang-wenang; hak atas pemeriksaan pengadilan yang jujur; hak atas kebebasan bergerak; dan hak atas harta benda (Baehr, 1998: 6).

  Dari uraian ketiga kritik(us) di atas, dapat dikatakan karya-karya SGA— kebanyakan—memang bernuansa kritik terhadap kemanusiaan. Kritik senada juga dapat ditemui dalam Negeri Senja. Namun begitu bukan lantas telah banyak yang mengkaji roman ini. Sepanjang pengamatan saya, belum pernah ada penelitian yang membahas novel Negeri Senja, baik itu penelitian struktural atau penelitian dengan disiplin dan atau multidisiplin lainnya. Meskipun demikian, saya menyadari sisi kemanusiaan saya, sehingga tidak menutup kemungkinan ada penelitian yang sudah membahas Negeri Senja baik dalam resensi buku atau kajian lainnya, yang kalis dari pengamatan saya.

1.5.2 Landasan Teori

  Sebagaimana umumnya kajian (sastra), tentu saja bisa berjalan jika kajiannya didasarkan pada teori-teori suatu disiplin ilmu. Teori-teori tersebut nantinya akan menentukan arah tujuan dan hasil kajian. Dalam tulisan ini, saya menggunakan teori struktural untuk mengenali tokoh dan penokohan. Hal ini dikarenakan karya sastra merupakan karya yang berdiri sendiri sehingga layak untuk dilihat dari dalam (instrinsik).

  Teori berikutnya adalah sosiologi sastra. Kedudukan teori ini sangat penting karena sosiologi sastra dapat menjadi jembatan untuk memahami gejala sosial yang ada dalam karya sastra.

  Sementara itu untuk menemukan kesepahaman konsep diktator, selain merujuk pada Kamus Umum Bahasa Indonesia, tulisan akan mengacu pada pengertian diktator yang ditawarkan oleh Jules Archer. Hal tersebut saya lakukan semata demi tidak terjadi kerancuan pengertian diktator dalam tulisan ini.

1.5.2.1 Teori Struktural

  Suatu percobaan interpretasi karya sastra tidak dapat dimulai tanpa memahami bagian-bagiannya (unsur instrinsik). Karya sastra dapat terpahami melalui unsur-unsur pembentuknya, karena sastra merupakan suatu karya otonom (Teeuw, 1989: 123). Oleh karena itu, pemahaman unsur-unsur pembangun cerita (struktur), yakni tata hubungan antara bagian-bagian suatu karya sastra yang menjadi kebulatannya, dapat membantu usaha untuk memahami cerita (Sudjiman, 1986: 72).

  Namun demikian, dalam konteks tulisan ini, hubungan antara unsur-unsur tersebut akan diambil terpisah dari keberhubungannya dengan unsur lainnya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Umar Yunus (1986:4) yang mengatakan karya sastra merupakan dokumen sosio-budaya sehingga sesuatu unsur di dalamnya dapat diambil terlepas dari hubungannya dengan unsur yang lain. Pada ranah tulisan ini, unsur yang akan “dicomot” itu adalah tokoh dan penokohan. Di sini dimaksudkan untuk memperjelas pendeskripsian sikap diktator tokoh Puan Tirana.

1.5.2.1.1 Tokoh

  Cerita terdiri dari berbagai karakter, salah satunya yang paling menonjol adalah tokoh. Untuk mendapatkan kejelasan maksud cerita kita dapat melakukannya dengan mengenal watak tokoh. Pengenalan terhadap tokoh tersebut dapat dilakukan dengan meneliti apa yang dilakukannya, dikatakannya, sikapnya dalam menghadapi persoalan, dan bagaimana penilaian tokoh lain atas dirinya (Sumarjo, 1984: 56). Dalam pada itu, pengertian tokoh lebih kompleks daripada aktor atau pelaku, yang hanya berkaitan dengan fungsi seseorang dalam teks naratif atau drama. Tokoh dapat dihidupkan berdasarkan sejumlah konvensi yang diketahui pembaca (Hartoko, 1986: 144).

  Sudjiman (1988, 16-23) mengatakan, tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam cerita. Watak ialah kualitas tokoh, kualitas nalar, dan jiwa yang membedakan dengan tokoh lain.

  Sejalan dengan itu, Nurgiyantoro (2005: 165), yang mengutip pendapat Abrams, mengatakan bahwa orang(-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu yang diekspresikan dalam tindakan dan ucapannya disebut dengan tokoh cerita.

  Pembedaan tokoh yang satu dengan yang lain lebih ditentukan oleh kualitas pribadi daripada dilihat secara fisik.

1.5.2.1.2 Penokohan

  Istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh dan perwatakan sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan sekaligus pelukisannya dalam sebuah certita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2005: 166).

  Akan tetapi, masalah penokohan dalam sebuah karya tak semata-mata hanya berhubungan dengan masalah pemilihan jenis dan perwatakan para tokoh cerita saja, melainkan juga bagaimana melukiskan kehadiran dan penghadirannya secara tepat sehingga mampu menciptakan dan mendukung tujuan artistik karya yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2005: 194).

  Selanjutnya Nurgiyantoro (2005: 195) memberikan masukan beberapa teknik pelukisan tokoh, yakni teknik pelukisan langsung (teknik ekspositori) dan teknik pelukisan tidak langsung (teknik dramatik). Pada teknik ekspositori, atau sering disebut teknik analitis, pelukisan tokoh dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Tokoh cerita hadir dan dihadirkan oleh pengarang tidak secara berbelit-belit, melainkan berupa sikap, sifat, watak, tingkah laku, atau bahkan ciri fisiknya.

  Sementara, penampilan tokoh dalam teknik dramatik dilakukan secara tak langsung. Artinya, pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Para tokoh cerita menunjukkan kediriannya sendiri melalui berbagai aktifitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat kata maupun nonverbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang terjadi. Penampilan tokoh lewat teknik ini dapat dilakukan melalui beberapa teknik, antara lain teknik cakapan, teknik tingkah laku, teknik pikiran dan tingkah laku, teknik arus kesadaran, teknik reaksi tokoh, teknik reaksi tokoh lain, teknik pelukisan latar, dan teknik pelukisan fisik (Nurgiyantoro, 2005: 198-211).

  Lebih lanjut Sudjiman (1986: 61) membagi tokoh berdasarkan fungsinya menjadi dua, yakni tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral adalah tokoh yang terlibat langsung dalam perkembangan cerita. Kedudukan tokoh sentral sangat mempengaruhi jalan cerita. Grimes (via Sudjiman, 1988: 19) menyarankan untuk menentukan kriteria tokoh utama, bukan berdasarkan frekuensi kemunculan tokoh itu dalam cerita, melainkan intensitas keterlibatan tokoh dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita.

  1.5.2.2 Sosiologi Sastra

  Karya sastra memuat peristiwa di dalam masyarakat, menjadi suatu keseluruhan karya (Luxemburg, 1986: 38). Demikianlah kedirian karya sastra tidak bisa dilepaskan dari pengaruh sosial. Antara masyarakat dan sastra memiliki hubungan yang hakiki. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan, antara lain disebabkan oleh: (i) karya sastra dihasilkan oleh pengarang, (ii) pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat, dan (iii) pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, kemudian (iv) hasil karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat (Ratna, 2006: 60).

  Oleh karenanya, karya satra mengandung gagasan yang dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu. Hal tersebut dapat dinikmati dan dimanfaatkan, apabila pembaca mampu memahami pesan yang terselubung di dalam karya sastra. Untuk memahami pesan karya sastra tersebut, diperlukan suatu disiplin sosiologi sastra, yakni pendekatan terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (Damono, 1979: 2).

  1.5.2.3 Pengertian Diktator

  Dalam pengertian paling sederhana, diktator adalah seorang penguasa yang mencari dan mendapatkan kekuasaan mutlak pemerintahan tanpa (biasanya) memperhatikan keinginan-keingainan nyata dari rakyatnya. Oleh karena itu, diktator biasanya bertindak memaksakan kemauan politiknya. Ia tidak membutuhkan dasar hukum, tidak mengupayakan dukungan parlemen sebagai representasi demokrasi, dan tidak juga melibatkan keinginan pemangku kepentingan (Hukum online, 2006). Diktator bukanlah seorang pewaris tahta. Dia sama sekali tidak memiliki hak waris semacam itu; rakyat atau kaum bangsawan tidak mengenalinya dari pandangan seperti itu.

  Istilah diktator berasal dari bahasa latin dictare yang artinya ‘berkata, bersabda’. Kata ini pertama kali digunakan pada tahun 501 SM, ketika dua orang konsul daerah bagian Republik Roma terpaksa tidak dapat hadir pada saat yang bersamaan di Roma, karena sedang memimpin tentara di medan pertempuran, mereka mengangkat seorang wakil dengan kekuasaan penuh atas namanya. Dari situlah istilah diktator menjadi berkembang, dan dilekatkan pada penguasa yang menyalahgunakan kekuasaannya (abuse

  

of power) (Archer, 2004: 11-13). Dengan demikian, diktator dapat diartikan sebagai

  pemegang kakuasaan mutlak karena dapat diasumsikan peran seorang diktator adalah sebagai pejabat tertinggi, hakim agung sekaligus panglima.

  Sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Purwodarminto (1984), diktator diartikan sebagai (i) ‘orang yang memegang kekuasaan pemerintahan dengan tidak terbatas’ dan (ii) ‘orang yang menggunakan kekuasaannya dengan sekehendak hati’.

  Lebih jauh, Archer (2004: 19) memaparkan lima sikap utama diktator. Pertama, sebagian besar diktator menyembunyikan nafsu berkuasanya di balik sikap sebagai pendobrak dengan motif dan alasan-alasan yang luhur. Kedua, diktator secara terang- terangan menggunakan teror untuk menyurutkan setiap usaha untuk menggulingkannya.

  Ketiga, diktator menggunakan taktik memecah belah dan melumpuhkan, demi bertahan pada kekuasaannya. Keempat, diktator selalu memelihara pertentangan golongan di bawah payung nasional sehingga mereka tidak mampu menggabungkan kekuatan dan kemudian menyerangnya. Dan, diktator selalu mencari peluang untuk meyakinkan rakyat dengan berusaha menentang kekuatan-kekuatan besar di dunia.

  Berlabuh dari paparan Arche di atas, seorang diktator dalam pemerintahannya dapat dipastikan melakukan kesewenang-wenangan terhadap rakyat yang dipimpinnya.

  Bentuk kesewenangan itu salah satunya dengan melakukan pelanggaran hak-hak asasi manusia, yakni setiap perbuatan seseorang atau sekelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang (UU No. 39 Tahun 1999).

1.6 Metode Penelitian dan Pendekatan

  1.6.1 Metode Penelitian

  Metode merupakan cara dan prosedur yang akan ditempuh oleh peneliti dalam rangka mencari pemecahan masalah (Santosa, 2004: 8). Tulisan ini menggunakan metode deskriptif analisis. Metode ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Dalam hal ini analisis tidak semata-mata menguraikan, melainkan juga memberikan penjelasan dan pemahaman secukupnya (Ratna, 2006: 53).

  1.6.2 Pendekatan

  Sebagaimana telah disinggung di muka, bahwa tulisan ini berusaha untuk menemukan kondisi sosial dalam karya sastra dengan kecenderungan sosial dalam masyarakat, khususnya mengenai sikap diktator seorang kepala pemerintahan. Karenanya, diperlukan suatu disiplin sosiologi sastra untuk memahami (pesan) hubungan sastra dengan masyarakat. Telaah sosiologi sastra sendiri memiliki dua kecenderungan utama. Pertama, pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin sosial-ekonomis belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra; sastra hanya berharga dalam hubungannya dengan faktor- faktor di luar sastra itu sendiri. Dalam pendekatan ini teks sastra hanya merupakan

  

epiphenomenon (gejala kedua). Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra

  sebagai bahan penelaahan. Metode yang digunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya, kemudian dipergunakan untuk memahami lebih dalam lagi gejala sosial di luar sastra (Damono, 1979: 2-3).

  Dari kedua kecenderungan yang dipaparkan Damono, tulisan ini mengambil kecenderungan yang kedua, yakni analisis terhadap teks untuk dicarikan hubungannya dengan gejala di luar sastra. Akan tetapi, pendekatan yang Damono tawarkan tadi tidak serta-merta saya gunakan dalam tulisan ini. Pendekatan tersebut akan dielaborasikan dengan pendapat Umar Junus (1986:4) yang mengatakan karya sastra merupakan dokumen sosio-budaya sehingga sesuatu unsur di dalamnya dapat diambil terlepas dari hubungannya dengan unsur yang lain. Berdasar pada hal tersebut, maka dalam rangka analisis teks tidak akan dicarikan keberhubungan antar unsur dalam karya sastra sebagai satu kesatuan. Analisis teks ini semata untuk mengetahui salah satu unsur dalam karya demi melihat hubungan karya sastra dengan gejala sosial di luar sastra. Gejala sosial di luar sastra tersebut, dalam tulisan ini, adalah sikap kediktatoran.

1.6.3 Sumber Data

  Judul : Negeri Senja Pengarang : Seno Gumira Ajidarma Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Tahun terbit : Agustus 2003 Tebal : xx + 224 halaman

1.7 Sistematika Penyajian

  Hasil penelitian ini akan disajikan dalam urutan bab per bab. Bab pertama berisi pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode dan pendekatan, dan sistimatika penyajian. Bab kedua berisi analisis tokoh dan penokohan. Setelah mendapat gambaran mengenai tokoh dan penokohan Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta, sikap- sikap kediktatoran tokoh itu akan digelarkan pada bab ketiga. Selanjutnya kesimpulan dan saran akan disajikan dalam bab keempat.

BAB II TOKOH DAN PENOKOHAN PUAN TIRANA SANG PENGUASA YANG BUTA Pada hakikatnya keberlangsungan cerita tidak dapat dilepaskan dari kehadiran tokoh. Cerita dapat berjalan karena adanya tokoh-tokoh yang berlakuan di dalamnya. Melalui perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan karakterisasinya, tokoh-tokoh dalam

  cerita memiliki andil yang besar untuk membawa/mengarahkan cerita. Mustahil suatu cerita dapat mengalir lancar tanpa adanya tokoh. Sekalipun itu sebuah fabel, tetap memerlukan tokoh untuk menghidupkan cerita. Bahkan puisi, juga bergantung pada hadirnya tokoh. Demikianlah tokoh cerita kedudukannya sangat vital dalam karya sastra.

  Akan ke mana dan bagaimana akhir sebuah cerita sehingga pembaca dapat menangkap maksud cerita, semua bergantung pada tokoh cerita.

  Mengingat kevitalannya itu, maka pengkajian terhadap sebuah karya sastra hendaknya tidak meninggalkan tokoh dan penokohan. Oleh karena itu, bagian ini secara khusus akan membahas tokoh dan penokohan Tirana: bagaimana jati diri dan sifat- sifatnya, dan bagaimana pengarang menyajikannya ke hadapan pembaca?

  Sengaja saya hanya memfokuskan pada seorang tokoh karena, seperti sudah dikatakan di muka, keseluruhan tulisan ini membahas kediktatoran tokoh Tirana.

  Persoalan bagaimana dengan kedudukan dan bahkan keberkaitan tokoh lainnya terhadap kedirian Tirana, akan saya bahas sekilas saja. Itu pun jika tokoh tersebut bersinggungan langsung dengan Tirana.

  Namun begitu, sebelum lebih jauh, tidak salah kiranya jika melihat kembali pengertian tokoh. Nurgiyantoro (2005: 165), yang mengutip pendapat Abrams, mengatakan bahwa orang(-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu yang diekspresikan dalam tindakan dan ucapannya disebut dengan tokoh cerita.

  Di pihak lain, jati diri seorang tokoh ditentukan oleh peristiwa-peristiwa yang menyertainya, dan sebaliknya, peristiwa-peristiwa itu sendiri merupakan pelukisan tokoh (Henry James via Nurgiyantoro, 2005). Sementara Foster (via Pradopo, 2002: 79) mengatakan perbuatan-perbuatan yang dilakukan tokoh yang sesuai dengan wataknya akan menimbulkan peristiwa-peristiwa; rangkaian peristiwa yang berdasarkan sebab akibat ini menimbulkan alur.

2.1 Rangkaian Peristiwa Penting dalam Roman Negeri Senja

  Oleh karena jati diri seorang tokoh sangat berkaitan dengan peristiwa-peristiwa, maka berikut ini akan digelarkan berbagai peristiwa yang terjadi dalam keseluruhan roman Negeri Senja. Akan tetapi dalam rangka penggelaran peristiwa-peristiwa tersebut tidak akan berujung pada penilaian jenis alurnya. Apakah roman ini beralur progresif atau

  

flash back (?), tidak akan dijelaskan. Semata-mata ini hanyalah garis besar dari tiap-tiap

  bagian roman. Dalam kaitan ini, plot sekadar merupakan sarana untuk memahami perjalanan kehidupan tokoh (Nurgiyantoro, 2005: 172). Berikut adalah peristiwa- peristiwanya.

  

Prolog Pada bagian ini diceritakan bagaimana awal mulanya “aku” masuk ke

  Negeri Senja. Ada peristiwa ketika “aku” disangka sebagai Penunggang Kuda dari Selatan.

  Bagian I Bagian ini diisi oleh beberapa sub bagian lagi. Pertama, Penunggang Kuda dari Selatan, di sini mulai diperkenalkan siapa yang dimaksud

  penduduk Negeri Senja sebagai Penunggang Kuda dari Selatan: orang yang sudah ditentukan oleh takdir untuk membebaskan penduduk Negeri Senja. Dari sini terlihat bagaimana konflik mulai diperkenalkan. Kedua,

  Peristiwa di Kedai, menceritakan keadaan orang Negeri Senja yang terlalu mudah diadu domba sehingga mereka saling bunuh terhadap sesamanya.

  Ketiga, Penginapan Para Leluhur yang mengisahkan siapa saja yang pernah menginap di penginapan tempat “aku” tinggal. Ada bagian yang mengisahkan seorang gadis cantik sekaligus cerdas yang telah diperkosa. Gadis ini kelak akan diduga sebagai Puan Tirana. Keempat, Rumah Bordil