Gaya bahasa perbandingan dalam kumpulan Cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma serta implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah

(1)

SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN

BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd)

Oleh

M. Agus Kuswanto NIM 1110013000110

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

DALAM KUMPULAN CERPEN SAKSI MATA KARYA SENO

GUMIRA AJIDARMA SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP

PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI

SEKOLAH

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd)

Oleh

M. Agus Kuswanto NIM 1110013000110

Di bawah Bimbingan

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

(4)

(5)

Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Dosen Pembimbing: Makyun Subuki, M. Hum.2015.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan; 1) Gaya bahasa perbandingan yang digunakan Seno Gumira Ajidarma dalam kumpulan cerpennya Saksi Mata; 2) Implikasi dari hasil gaya bahasa tersebut terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif melalui pendekatan deskriptif, sedangkan paradigma yang digunakan adalah paradigma stilistika. Teknik penelitian yang digunakan adalah teknik simak catat yakni membaca kumpulan cerpen Saksi Mata, kemudian mencatat hasil temuan gaya bahasa perbandingan dalam kumpulan cerpen tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa perbandingan berupa majas simile yang terdapat dalam keseluruhan kumpulan cerpen Saksi Mata

dapat memberikan gambaran seolah-olah semua kejadian dalam cerita yang tadinya bersifat abstrak atau tidak nyata menjadi seperti benar-benar terjadi. Perumpamaan yang digunakan Seno dalam kumpulan cerpen Saksi Mata ini menggambarkan tragedi pembantaian di Timor-Timor. Gaya bahasa perbandingan dalam kumpulan cerpen

Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma dapat diimplikasikan ke dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia kelas X semester 1 dengan kompetensi dasar menganalisis keterkaitan unsur intrinsik suatu cerpen dengan kehidupan sehari-hari.


(6)

ii

Language and Literature, Faculty of Tarbiyah and Teachers Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, Supervisor: Makyun Subuki, M. Hum. 2015.

The purpose of this study is to describe; 1) Comparison language style which is used by Seno Gumira Ajidarma in the short story collection of Saksi Mata; 2) The implications of the results of comparison language style towards learning Indonesian language and literature.

The method used in this study is a qualitative descriptive approach, while the paradigm used is the paradigm Stylistics. Research technique used is simak catat a short story collection of Saksi Mata then record the results in the comparison language style of the short story collection.

Based on the results of this study concluded that stylistic comparisons simile form of figure of speech contained in the overall is short story collection of Saksi Mata can draw a picture if all the abstract events in the story to be like really happened. Seno metaphors used in the short story colletion of Saksi Mata describes the massacres in Timor-Timor. Comparison language style in short story collection of Saksi Mata by Seno GumiraAjidarma can be implicated in learning Indonesian language and literature 10th grade 1st semester students with the basic competence to analyze the linkages of intrinsic elements of a short story with everyday life.


(7)

iii

yang telah direncanakan. Selawat dan salam semoga selalu tercurah kepada baginda Nabi Muhammad SAW, keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Skripsi berjudul “Gaya Bahasa Perbandingan dalam Kumpulan Cerpen Saksi Mata Karya Seno Gumira Ajidarma Serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah” disusun guna memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana pendidikan (S. Pd) pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Proses penulisan skripsi ini tidak luput dari berbagai hambatan, namun dapat dilalui berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Nurlena Rifa‟i, M.A., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Dra. Hindun, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang selalu memberikan kemudahan dan bimbingan kepada penulis;

3. Dona Aji Karunia Putra, M.A. selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang selalu memberikan semangat.


(8)

iv

5. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama perkuliahan;

6. Ayahanda Suparno dan Luluk Mukhayaroh selaku orangtua penulis yang senantiasa mendoakan, memberikan motivasi dan arahan, serta menjadi penasihat terbaik selama perkuliahan hingga proses penyelesaian skripsi ini. Tidak lupa juga Ibunda Siti Alimah (Almh) yang semasa hidupnya banyak memberikan pelajaran berharga kepada penulis.

7. Adik-adik tercinta, Ainur Rokhim, Nur Khabibatul Lailiah, M. Khoirul Anwar, dan M. Faiz Mahbubillah yang selalu memberikan semangat dan mewarnai hari-hari penulis.

8. Nenek tercinta H. Sunah yang selalu memberikan doa, nasihat, dan bimbingan kepada penulis selama perkuliahan hingga proses penyelesaian skripsi ini;

9. Drs. Moh. Yasin, M. Pd., dan Susilawati yang selalu memberikan arahan, motivasi, dan materi selama perkuliahan hingga proses penyelesaian skripsi ini;

10.Teman-teman PBSI angkatan 2010, khususnya PBSI C yang telah menjadi teman belajar selama perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini dan menjadikan suasana di dalam dan luar kelas lebih indah;

11.Teman-teman Sabilussalam angkatan 2012, Hilman Tohari, Arif Azami, dan lainnya yang pernah menjadi bagian dari keluarga penulis dan telah memberikan ilmu kepada penulis;


(9)

v

13.Maisyatul Wasiah, Nurul Aliyah, Rica Dalie, Titiek Muryani, Rizka Argafani, Nurfayerni yang telah menjadi teman berbagi cerita kepada penulis selama perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini;

14.Teman kosan H. Misun, M. Indra Kusuma dan Nur Wakhidurrohman yang telah menjadi keluarga penulis selama menetap di Ciputat dan banyak memberikan bantuan kepada penulis;

15.Berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih atas partisipasi dalam penyelesaian skripsi ini;

Semoga semua bantuan, bimbingan, ilmu, dan doa yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberi sumbangsih bagi penelitian di bidang sastra serta bagi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Penulis juga berharap adanya saran dan kritik membangun terhadap karya tulis ini.

Jakarta, November 2014

Penulis


(10)

vi LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH SURAT PERNYATAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 3

C. Pembatasan Masalah ... 3

D. Perumusan Masalah ... 4

E. Tujuan Penelitian... 4

F. Manfaat Penelitian ... 4

G. Metodologi Penelitian ... 5

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN A. Hakikat Gaya ... 9

1. Stilistika ... 9

2. Pengertian Gaya ... 10

3. Pengertian Majas ... 11


(11)

vii

3. Karakteristik Cerpen ... 15

4. Unsur Intrinsik Cerpen ... 16

C. Pembelajaran Sastra di Sekolah ... 22

D. Penelitian Yang Relevan ... 24

BAB III HASIL PENELITIANDAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data ... 30

B. Analisis Data ... 30

C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ... 61

BAB IV PENUTUP A. Simpulan ... 64

B. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

1

Bahasa merupakan sebuah ungkapan perasaan seseorang terhadap apa yang dialaminya. Bahasa juga bersifat komunikatif yang berfungsi sebagai alat komunikasi antara individu yang satu dengan yang lain. Penggunaan bahasa mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan sosial sehari-hari. Tanpa adanya bahasa, maka komunikasi sosial tidak akan berjalan dengan baik. Dalam hal ini, bahasa sangat berperan dalam menyampaikan gagasan, pikiran, atau perasaan seseorang. Bahasa itu unik, artinya mempunyai ciri khas yang spesifik yang tidak dimiliki oleh yang lain. Lalu, kalau bahasa dikatakan bersifat unik, maka artinya setiap bahasa mempunyai ciri khas sendiri yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya. Ciri khas ini bisa menyangkut sistem bunyi, sistem pembentukan kata, sistem pembentukan kalimat, atau sistem-sistem lainnya.1

Melalui sistem, bahasa membentuk sebuah lambang atau simbol yang mengandung banyak pemaknaan terhadap setiap apa yang diucapkan oleh masing-masing individu. Setiap individu memiliki keterampilan berbahasa, seberapapun tingkat atau kualitas keterampilan tersebut. Saat berkomunikasi itulah seseorang menggunakan keterampilan berbahasa yang dimilikinya. Semakin terampil seseorang berbahasa, semakin jelaslah maksud yang ingin diungkapkannya. Setiap individu juga memiliki keterampilan berbahasa secara optimal, namun ada pula yang sangat lemah keterampilan berbahasanya. Oleh karena itu, diperlukan adanya latihan untuk menunjang keoptimalan berbahasa setiap individu.

Berkenaan dengan peran bahasa sebagai ungkapan perasaan atau pikiran seseorang, maka tak jarang seseorang mengutarakan berbagai macam perasaannya melalui bahasa. Ungkapan perasaan itu dapat berupa

1


(13)

kata-kata atau kalimat yang memiliki makna tersendiri. Kata atau kalimat yang diungkapkan tersebut sangat berbeda bentuknya satu dengan yang lain. Oleh karena itu, setiap seseorang mempunyai gaya penulisan dan ciri khas tersendiri dalam mengungkapkan apa yang ingin mereka sampaikan.

Salah satu pengolahan bahasa yang digunakan seseorang adalah gaya bahasa. Gaya bahasa merupakan cara seseorang mengungkapkan pikiran dan perasaanya melalui bahasa yang khas, yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian pemakaian bahasa. Gaya bahasa memungkinkan seseorang dapat menilai watak, pribadi, dan kemampuan seorang pengarang. Gaya bahasa dapat menambah intensitas perasaan pengarang serta menambah ketajaman penyampaian sikap pengarang.

Gaya bahasa juga mencakup berbagai figur bahasa antara lain metafor, simile, antitesis, hiperbola, dan paradoks. Pada umumnya gaya bahasa adalah semacam bahasa yang bermula dari bahasa yang biasa digunakan dalam gaya tradisional dan literal untuk menjelaskan orang atau objek. Dengan menggunakan gaya bahasa, pemaparan imajinatif menjadi lebih segar dan berkesan. Gaya bahasa juga mencakup arti kata, citra, perumpamaan, serta simbol dan alegori.2

Gaya bahasa yang juga identik dengan gaya khas seseorang dapat digambarkan melalui lisan atau tulisan. Gaya bahasa yang diungkapkan seseorang melalui lisan seperti cara berkomunikasi sehari-hari, yang dapat menunjukkan karakter setiap individu, sedangkan gaya bahasa yang diungkapkan dengan tulisan dapat dituangkan melalui cerita atau pemaparan naratif.

Salah satu penggunaan gaya bahasa melalui tulisan adalah seperti yang digambarkan Seno Gumira Ajidarma dalam kumpulan cerpennya

Saksi Mata. Dalam kumpulan cerpen Saksi Mata tersebut, Seno banyak menggunakan berbagai macam gaya bahasa yang menunjukkan kekhasan sosok Seno Gumira Ajidarma. Gaya bahasa tersebut adalah berupa

2

Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 51-52


(14)

penggunaan majas perbandingan yang terdiri atas simile, metafora, personifikasi, dan depersonifikasi. Dengan penggunaan majas perbandingan dalam kumpulan cerpen tersebut, Seno berusaha membandingkan dan menganalogikan dua hal yang berbeda makna, tetapi memiliki kesamaan yang dapat dihubungkan satu sama lain.

Berdasarkan uraian di atas, timbul ketertarikan peneliti untuk mengetahui secara mendalam mengenai penggunaan gaya bahasa dalam kumpulan cerpen. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengangkat permasalahan dari fakta di atas menjadi sebuah skripsi yang berjudul Gaya Bahasa Perbandingan dalam Kumpulan Cerpen Saksi Mata Karya Seno Gumira Ajidarma serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesiadi Sekolah.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut.

1. Kurangnya pengetahuan siswa mengenai penggunaan gaya bahasa dalam karya sastra, khususnya cerpen.

2. Secara keseluruhan, kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma menarik untuk dikaji karena di dalamnya sangat banyak menggunakan unsur gaya bahasa (majas), sehingga perlunya pemahaman lebih mendalam mengenai cerita tersebut.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi yang telah diuraikan di atas, maka untuk menghindari pembahasan yang terlalu luas peneliti tidak akan membahas mengenai gaya (style) penulis, atau pun diksi. Namun, peneliti akan memfokuskan pembahasan pada penggunaan gaya bahasa berupa majas perbandingan (majas simile) yang terdapat dalam kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma tersebut. Oleh karena itu, peneliti dapat mengangkat permasalahan tersebut menjadi sebuah skripsi yang


(15)

berjudul Gaya Bahasa Perbandingan dalam Kumpulan Cerpen Saksi Mata Karya Seno Gumira Ajidarma serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah.

D. Perumusan Masalah

Untuk mencapai hasil penelitian yang maksimal dan terarah, maka diperlukan perumusan masalah dalam sebuah penelitian. Adapun perumusan masalah dama penelitian ini sebagai berikut.

1. Bagaimana penggunaan gaya bahasa perbandingan dalam kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma?

2. Bagaimana implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah?

E. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui penggunaan gaya bahasa perbandingan dalam kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma

2. Mengetahui implikasi penggunaan majas perbandingan tersebut dalam pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah

F. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoretis

Secara teoretis, hasil penelitian ini dapat menambah khazanah keilmuan dalam pengajaran di bidang bahasa dan sastra Indonesia, khususnya mengenai penggunaan gaya bahasa perbandingan dan pembelajaran sastra.

b. Manfaat Praktis, antara lain:

1. Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat menjadi jawaban dari masalah yang dirumuskan. Selain itu, dapat menjadikan motivasi bagi penulis untuk mengadakan penelitian lain yang lebih baik. 2. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan


(16)

gaya bahasa (majas) tidak hanya dalam kajian ilmu sastra, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu yang lain.

3. Bagi siswa, hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan acuan dalam pembelajaran bahasa dan sastra, khususnya mengenai majas perbandingan dalam cerpen.

4. Bagi institusi, hasil penelitian ini sebagai sumbangan penelitian mengenai majas perbandingan. Dan diharapkan dapat menjadi pedoman atau acuan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.

G. Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian merupakan cara pemecahan masalah penelitian yang dilaksanakan secara terencana dan cermat dengan maksud mendapatkan fakta dan simpulan agar dapat memahami, menjelaskan, meramalkan, dan mengendalikan keadaan.3 Berkut ini bagan yang digunakan dalam metodologi penelitian ini:

3

Syamsudin dan Vismaia S. Damaianti, Metode Penelitian Pendidikan Bahasa,

(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), h. 14

Metodologi Penelitian

Teknik Metode

Paradigma

Stilistika Kualitatif dengan Analisis isi

Simak Catat

Majas (figure of speech)


(17)

1. Paradigma Penelitian

Paradigma adalah cara pandang umum seseorang (peneliti) terhadap fenomena atau realitas. Dengan kata lain, paradigma adalah cara kita melihat suatu realitas, misalnya fenomena berbahasa.4 Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan aspek stilistika karena peneliti berusaha mendeskripsikan penggunaan gaya bahasa yang berwujud majas perbandingan yang terdapat dalam kumpulan cerpen Saksi Mata

karya Seno Gumira Ajidarma.

2. Metode Penelitian

Metode adalah cara menerapkan teknik yang digunakan dalam penelitian. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik simak, yakni yang berusaha menyimak penggunaan bahasa dalam kumpulan cerpen Saksi Mata. Setelah menyimak penggunaan bahasa, peneliti menggunakan teknik catat untuk mencatat dan menandai kalimat yang mengandung gaya bahasa perbandingan yang ada dalam kumpulan cerpen tersebut.

Selanjutnya, metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, yakni memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikannya dalam bentuk deskripsi. Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan kontens keberadaannya.5

Metode penelitian kualitatif yang digunakan penulis yaitu analisis isi. Menurut teori Ratna, metode analisis isi ini menekankan pada isi pesan. Oleh karena itulah, metode analisis isi dilakukan dalam dokumen-dokumen yang padat isi. Dalam karya sastra, misalnya, dilakukan untuk meneliti gaya tulisan seorang pengarang.6

4

Muhammad, Metode Penelitian Bahasa, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 14 5

Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 46

6


(18)

Jadi, penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan analisis isi yang berusaha menjelaskan setiap majas perbandingan yang terdapat dalam dokumen, yang dalam hal ini adalah kumpulan cerpen

Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik simak karena cara yang digunakan untuk memperoleh data dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa.7 Selanjutnya, dalam teknik catat ini dapat dilakukan dengan menggunakan teknik catat sebagai gandengan teknik simak bebas libat cakap, yaitu mencatat beberapa bentuk yang relevan bagi penelitiannya dari penggunaan bahasa secara tertulis tersebut.8

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik simak catat, yaitu dengan cara data tersebut dibaca dan diteliti, kemudian pengumpulan data dilakukan dengan menandai dan mencatat kalimat atau hal yang mengandung majas perbandingan dalam kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma.

Dalam menjalankan teknik, diperlukan adanya data. Data itu diperoleh dari berbagai macam sumber yang terdiri dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Berikut adalah sumber data yang digunakan dalam penelitian ini.

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer merupakan sumber data yang diambil langsung dari karya sastra itu sendiri. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah gaya bahasa perbandingan yang terdapat dalam kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma yang diterbitkan oleh Bentang tahun 2010.

7

Mahsun, Metode Penelitian Bahasa: Tahapan, Strategi, dan Tekniknya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h.92

8


(19)

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah kajian lain atau hasil penelitian lain yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini dari beberapa aspek untuk melihat persamaan dan perbedaan. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber lain atau berupa hasil penelitian tentang jenis gaya dan fungsinya dalam kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma.

4. Objek Penelitian

Objek adalah sesuatu yang diteliti. Dalam hal ini berupa bahasa dalam sebuah karya sastra. Objek dalam penelitian ini adalah penggunaan majas perbandingan yang terdapat dalam kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma.

5. Prosedur Penelitian

a. Membaca kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma

b. Mencermati kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma yang di dalamnya terdapat gaya bahasa perbandingan. c. Menandai kata atau kalimat yang termasuk ke dalam gaya bahasa

perbandingan.

d. Menganalisis gaya bahasa perbandingan dalam kumpulan cerpen

Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma.

e. Memberikan simpulan tentang jenis gaya bahasa perbandingan yang ada dalam kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma.


(20)

9 BAB II

LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN

A. Hakikat Gaya Bahasa 1. Stilistika

Secara etimologis stylitics berkaitan dengan style (bahasa inggris). Style artinya gaya, sedangkan stylistics, dengan demikian dapat diterjemahkan sebagai ilmu tentang gaya.1Menurut Ratna, stilistika adalah ilmu yang berkaitan dengan gaya dan gaya bahasa. Tetapi pada umumnya lebih banyak mengacu pada gaya bahasa. Jadi, dalam pengertian yang paling luas, stilistika sebagai ilmu tentang gaya, meliputi berbagai cara yang dilakukan dalam kegiatan manusia.2

Selanjutnya, Peter Barry mengungkapkan bahwa stilistika adalah pendekatan kritis yang menggunakan metode dan temuan ilmu linguistic dalam analisis teks sastra.Yang dimaksud linguistik di sini lebih pada kajian ilmiah tentang bahasa dan struktur-strukturnya, ketimbang pembelajaran bahasa-bahasa individu.3

Atar Semi juga mengungkapkan bahwa pendekata stilistika beranggapan bahwa kemampuan sastrawan mengeksploitasi bahasa dalam segala dimensi merupakan suatu puncak kreativitas yang dinilai sebagai akibat. Aplikasi dari pendekatan ini tidak hanya tertuju pada analisis pemakaian gaya bahasa yang indah dan menarik, tetapi juga terhadap keandalan penulis dalam mengekspresikan gagasan lewat bahasa secara kreatif.4

Jadi secara umum stilistika adalah kajian tentang gaya bahasa yang digunakan dalam karya sastra. Gaya bahasa di sini mencakup

1

Jabrohim, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 2002), h. 163

2

Nyoman Kutha Ratna, Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 167

3

Peter Barry. Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya. (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 235

4


(21)

penggunaan berbagai macam bahasa di dalam sebuah karya sastra yang menghasilkan pemaknaan baik dari kata, kalimat, atau wacana yang digunakan pengarang.

2. Pengertian Gaya

Istilah gaya diangkat dari istilah style yang berasal dari bahasa Latin stilus dan mengandung arti leksikal „alat untuk menulis‟.5Gaya bahasa atau style adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau pemakai bahasa.6 Menurut Nikolas Coupland, stylistic analysis is the analysis of how style resource are put to work ceratively. Analiysing linguistic style again needs to include an aesthetic dimension.7

Dengan kata lain, gaya adalah pribadi pengarang itu sendiri. Wahyudi dalam bukunya berpendapat bahwa gaya adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.

Ada tiga masalah yang erat hubungannya dengan pembicaraan masalah gaya. Pertama, masalah media berupa kata dan kalimat. Kedua, masalah hubungan gaya dengan makna dan keindahan. Terakhir, seluk-beluk ekspresi pengarangnya sendiri yang akan berhubungan erat dengan masalah individual kepengarangan, maupun konteks sosial-masyarakat yang melatarbelakanginya.

Dari beberapa pengertian tentang gaya di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa gaya bahasa atau gaya seorang dengan yang lain jelas berbeda, baik dari segi komposisi bahasa, struktur kalimat, dan penggunaan ejaan.

5

Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, (Bandung: Sinar Baru, 1987), h. 72 6

Abdul Chaer, Bahasa Jurnalistik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h. 87 7

Nikolas Coupland, Style: Language Variation and Identity, (New York: Cambridge University Press, 2007), h. 3


(22)

3. Pengertian Majas

Pada hakikatnya majas (figure of speech) adalah suatu bentuk pernyataan dengan cara memakai sesuatu untuk mengatakan tentang sesuatu yang lain. Pemakaian sesuatu untuk sesuatu yang lain sering kali (jika tidak boleh dikatakan: selalu) berupa pengedepanan suatu ide secara tidak langsung melalui analogi. Dengan demikian, di samping mampu mengonkretkan dan menghidupkan bahasa, majas juga sering lebih ringkas daripada padanannya yang terungkap dalam kata biasa.8

Majas, kiasan, atau „figure of speech‟ adalah bahasa kias, bahasa indah yang dipergunakan untuk meninggikan serta meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta memperbandingkan sutau benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Pendek kata, penggunaan majas tertentu dapat merubah serta menimbulkan nilai rasa atau konotasi tertentu.9

Sementara itu, Nurgiantoro mengatakan bahwa pemajasan (figure

of speech) merupakan teknik pengungkapan bahasa,

penggayabahasaan, yang maknanya tak menunjuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang tersirat. Jadi ia merupakan gaya yang sengaja mendayagunakan penuturan dengan memanfaatkan bahasa kias.10

4. Majas Perbandingan

Dilihat dari jenisnya, majas (yang secara salah kaprah sering pula disebut gaya bahasa, perhiasan bahasa, atau bahasa kiasan itu) dapat dikelompok dalam tiga golongan; (1) majas perbandingan, (2) majas pertentangan, dan (3) majas pertautan. Namun, dalam praktiknya tidak

8

Agus Sri Danardana, Anomali Bahasa, (Pekanbaru: Palagan Press, 2011), h. 12-13 9

Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Semantik, (Bandung: Angkasa, 1993), h. 112 10

Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2013) h. 297


(23)

jarang orang menggunakan dua-tiga majas sekaligus dalam sebuah tuturan.11

Menurut Henry Guntur Tarigan, ragam majas dibagi menjadi empat macam: 1) Majas perbandingan yang meliputi perumpamaan (simile), metafora, pesonifikasi, 2) Majas pertentangan yang meliputi hiperbola, litotes, ironi, oksimoron, paronomasia, paralipsisi, zeugma, 3) Majas pertautan yang meliputi metonimia, sinekdoke, kilata (alusi), eufimisme, ellipsis, inversi, gradasi. 4) Majas perulangan yang meliputi aliterasi, antanaklasis, kiasmus, repetisi. Dalam hal ini, penulis akan memfokuskan pada majas perbandingan yang digunakan oleh Tarigan. Berikut penjelasannya:

1. Simile (perumpamaan)

Yang dimaksud dengan perumpamaan di sini adalah padanan kata simile dalam bahasa Inggris. Kata simile berasal dari bahasa latinyang bermakna „seperti‟. Perumpamaan adalah perbandingan dua hal yang pada hakekatnya berlainan dan yang sengaja kita anggap sama. Perbandingan itu secara eksplisit dijelaskan oleh pemakaian kata seperti, sebagai, ibarat, umpama, baka, laksana, dan sejenisnya.12Dalam penuturan bentuk ini, sesuatu yang disebut pertama dinyatakan mempuyai persamaan sifat dengan sesuatu yang disebut belakangan.13Contoh: Wajahnya

laksana bulan purnama, rumahnya ramai bak pasar malam.

2. Metafora

Tarigan berpendapat bahwa metafora adalah sejenis gaya bahasa perbandingan yang paling singkat, padat, tersusun rapi. Di dalamnya terlihat dua gagasan: yang satu adalah suatu kenyataan, sesuatu yang dipikirkan, yang menjadi obyek; dan yang satu lagi merupakan pembanding terhadap kenyataan tadi; dan kita

11

Sri Danardana, Op. Cit., h. 12-13 12

Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa 1986), h. 9-10 13


(24)

menggantikan yang belakang itu menjadi yang terdahulu tadi.14Contoh: Ayah menjaditulang punggung keluarga, perpustakaan adalah gudang ilmu.

3. Personifikasi

Nurgiantoro berpendapat bahwa personifikasi merupakan bentuk pemajasan yang member sifat benda mati dengan sifat-sifat kemanusiaan.Artinya, sifat-sifat yang diberikan itu sebenarnya hanya dimiliki oleh manusia.Maka majas ini juga disebut sebagai majas pengorangan, sesuatu yang diorangkan, seperti halnya orang. Sifat-sifat itu dapat berupa ciri fisik, sifat karakter, tingkah laku verbal dan nonverbal, berpikir, berperasaan, bersikap, dan lain-lain yang hanya manusia yang memiliki atau dapat melakukannya..benda-benda laian yang bersifat nonhuman, termasuk makhluk-makhluk tertentu, binatang, dan fakta alam yang lain tidak memilikinya.15Contoh: Pohon nyiur melambai-lambai, ombak yang memakan manusia itu.

4. Depersonifikasi

Gaya bahasa depersonifikasi atau pembendaan adalah kebalikan dari gaya bahasa personifikasi atau penginsanan. Kalau

personifikasi, menginsankan atau memanusiakan benda-benda, maka depersonifikasi justru membendakan manusia atau insan. Biasanya gaya bahasa depersonifikasi ini terdapat dalam kalimat pengandaian yang secara eksplisit memanfaatkan kata kalau dan sejenisnya sebagai penjelas gagasan atau harapan.16 Contoh: Kalau

dikau menjadi bunga, maka Aku kumbangnya, Andai kamu menjadi langit, maka dia menjadi tanah.

14

Tarigan, Op. Cit., h. 15 15

Nurgiantoro, Op. Cit., h. 401-402 16


(25)

B. Hakikat Cerpen

1. Asal Mula Cerita Pendek Indonesia

Genre cerita pendek di Indonesia, secara resmi diakui baru muncul pada tahun1930-an. Muhammad Kasim mengumpulkan cerpen-cerpennya dalam buku Teman Duduk pada tahun 1936, kemudian Suman Hs. Menerbitkan cerpennya pada tahun 1938 dengan judul Kawan Bergelut. Keduanya diterbitkan oleh penerbit pemerintah colonial, Balai Pustaka.Sementara itu genre cerpen ini telah ditemukan lebih tua dalam bahasa Sunda, yakni dengan terbitnya buku kumpulan cerpen pengarang G.S. yang berjudul Dogdog Pangrewong (Selingan Belaka) pada tahun 1930.17

2. Pengertian Cerpen

Cerpen (cerita pendek sebagai genre fiksi) adalah rangkaian peristiwa yang terjalin menjadi satu yang di dalamnya terjadi konflik antartokoh atau dalam diri tokoh itu sendiri dalam latar dan alur.Peristiwa dalam cerita berwujud hubungan antartokoh, tempat, dan waktu yang membentuk satu kesatuan.18

Selanjutnya Ellery Sedgwik dalam Tarigan mengatakan bahwa “cerita pendek adalah penyajian suatu keadaan tersendiri atau suatu kelompok keadaan yang memberikan kesan yang tunggal pada jiwa pembaca. Cerita pendek tidak boleh dipenuhi dengan hal-hal yang tidak perlu atau “a short-story must not be cluttered up with

irrelevance”.

Dari beberapa pendapat tentang pengertian cerpen di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa cerita pendek adalah cerita yang panjangnya minimal 4-5 halaman dan habis dibaca sekali duduk. Di

17

Jakob Sumarjo, Kesustraan Melayu-Rendah Masa Awal, (Yogyakarta: Galang Press, 2004), h. 103

18

Heru Kurniawan dan Sutardi, Penulisan Sastra Kreatif, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 59


(26)

dalam cerpen juga harus terdapat tokoh, penokohan, dan inti dari cerita (tidak berbelit-belit ceritanya).

3. Karakteristik Cerpen

Tarigan membagi ciri-ciri khas cerpen sebagai berikut:

a. Ciri-ciri utama cerita pendek adalah singkat, padu, dan intensif. b. Unsur-unsur utama cerita pendek adalah adegan, tokoh, dan gerak. c. Bahasa cerita pendek haruslah tajam, sugestif, dan menarik

perhatian.

d. Cerita pendek harus mngandung interpretasi pengarang tentang konsepsinya mengenai kehidupan, baik seara langsung maupun tidak langsung.

e. Sebuah cerita pendek harus menimbulkan suatu efek dalam pikiran pembaca.

f. Cerita pendek harus menimbulkan perasaan pada pembaca bahwa jalan ceritalah yang pertama menarik perasaan, dan baru kemudian menarik pikiran.

g. Cerita pendek mengandung detail-detail dan insiden-insiden yang dipilih dengan sengaja, dan yang bisa menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran pembaca.

h. Dalam sebuah cerita pendek, sebuah insiden yang terutama menguasai jalan cerita.

i. Cerita pendek harus mempunyai seorang pelaku utama.

j. Cerita pendek harus mempunyai satu efek atau kesan yane menarik.

k. Cerita pendek bergantung pada satu situasi. l. Cerita pendek memberikan impresi tunggal. m. Cerita pendek memberikan suatu kebulatan efek. n. Cerita pendek menyajikan satu emosi.


(27)

o. Jumlah kata-kata yag terdapat dalam cerita pendek biasanya di bawah 10.000 kata, tidak boleh lebih dari 10.000 kata (atau kira-kira 33 halaman kuarto spasi rangkap.19

Dari beberapa pendapat tentang ciri-ciri atau karakteristik cerpen, maka dapat disimpulkan bahwa ciri utama cerpen adalah padat dan singkat, terdapat tokoh dan penokohan yang jelas, serta bahasa yang digunakan menarik.

C. Unsur-unsur Intrinsik Cerpen

Prosa fiksi yang terdiri dari cerpen dan novel, keduanya mempunyai unsur-unsur pembangun yang sama. Unsur-unsur itu meliputi tokoh, penokohan, alur, sudut pandang, dan amanat. Oleh karena itu, cerpen dan novel dapat dianalisis menggunakan unsur-unsur yang sama. Berikut akan dipaparkan penjelasan mengenai unsur intrinsik cerpen. 1. Tema

Istilah tema menurut Scharbach berasal dari bahasa Latin yang berarti „tempat meletakkan suatu perangkat‟.Disebut demkian karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehinga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya.20

Brooks dan Warren dalam Tarigan mengatakan bahwa tema adalah dasar atau makna suatu cerita atau novel. Sementara Brooks, Purser, dan Warren dalam buku lain mengatakan bahwa tema adalah pandangan hidup tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra.21

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa tema adalah gagasan atau ide yang mendasari suatu cerita.Ide atau gagasan

19

Tarigan, Op Cit., h. 180-181 20

Aminuddin, Op. Cit., h. 91 21


(28)

tersebut digunakan oleh pengarang untuk membuat atau menuliskan sebuah cerita agar pembaca dapat mengetahui inti cerita tersebut.

2. Tokoh dan Perwatakan

Aminuddin dalam Siswanto mengatakan bahwa tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan.Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu.Pemberian watak pada tokoh suatu karya oleh sastrawan disebut perwatakan.22

Lubis dalam Tarigan mengemukakan bahwa ada beberapacara yang dapat dipergunakan oleh pengarang unuk melukiskan rupa, watak, atau pribadi para tokoh tersebut, antara lain:

a. Physical description (melukiskan bentuk lahir dari pelakon)

b. Portrayal of thought stream or of conscious thought (melukiskan jalan pikiran pelakon atau apa yang terlintas dalam pikirannya) c. Reaction to events (melukiskan bagaimana reaksi pelakon itu

terhadap kejadian-kejadian)

d. Direct author analysis (pengarang dengan langsung menganalisis watak pelakon)

e. Discussion of environment (pengarang melukiskan keadaan sekitar pelakon )

f. Reaction of others about/ to character (pengarang melukiskan bagaimana pandangan-pandangan pelakon lan dalam suatu cerita terhadap pelakon utama itu)

g. Conversation of other about character (pelakon-pelakon lainnya dalam suatu cerita memperbincangkan keadaan pelakon utama,

22

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 142-143


(29)

dengan demikian maka secara tidak langsung pembaca dapat kesan tentang segala sesuatu yang mengenai pelakon utama itu).23

3. Plot atau alur

Pengertian alur dalam cerpen atau dalam karya fiksi adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.24Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita.25

Selanjutnya, Abrams dalam Siswanto mengatakan bahwa alur ialah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.Sudjiman juga mengungkapkan dalam Siswanto bahwa alur sebagai jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu.Jalinannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal (waktu) dan oleh ubungan kausal (sebab akibat).26

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa alur adalah rangkaian cerita yang terjalin secara utuh dan padu yang dibentuk melalui tahapan-tahapan cerita.

Aminuddin dalam Siswanto membagi tahapan-tahapan peristiwa dalam cerita sebagai berikut.

1. Pengenalan adalah tahap peristiwa dalam suatu cerita rekaan atau drama yang memperkenalkan tokoh-tokoh atau latar cerita. Yang dikenalkan dari tokoh ini misalnya nama, asal, ciri fisik, dan sifatnya.

2. Konflik atau tikaian adalah ketegangan atau pertentangan antara dua kepentingan atau kekuatan di dalam cerita rekaan. Pertentangan ini dapat terjadi dlam diri satu tokoh, antara dua

23

Tarigan, Op. Cit., h. 133-134 24

Aminuddin, Op. Cit., h. 83 25

Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 26 26


(30)

tokoh, antara tokoh dan masyarakat atau lingkungannya, antara tokoh dan alam, serta antara tokoh dan tuhan. Ada konflik lahir dan konflik batin.

3. Komplikasi atau rumitan adalah bagian tengah alur cerita rekaan atau drama yang mengembangkan tikaian. Dalam tahap ini, konflik terjadi semakin tajam karena berbagai sebab dan berbagai kepentingan yang berbeda dari setiap tokoh.

4. Klimaks adalah bagian alur cerita rekaan yang melukiskan puncak ketegangan, terutama dipandang dari segi tanggapan emosional pembaca. Klimaks merupakan puncak rumitan yang diikuti oleh krisis atau titik balik.

5. Krisis adalah bagian alur yang mengawali penyelesaian. Saat dalam alur yang ditandai oleh perubahan alur cerita menuju selesainya cerita.

6. Leraian adalah bagian struktur alur sesudah tercapai klimaks. Pada tahap ini peristiwa-peristiwa yang terjadi menunjukkan perkembangan lakuan ke arah selesaian.

7. Selesaian adalah tahap akhir suatu cerita rekaan. Dalam tahap ini semua masalah dapat diuraikan, kesalahpahaman dijelaskan, dan rahasia dibuka.27

4. Latar (Setting)

Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu.Abrams dalam Aminuddin mengemukakan latar cerita adalah tempat umum (general locale), waktu kesejarahan (historical time), dan kebiasaan masyarakat (social circumstances) dalam setiap episode atau bagian-bagian tempat.28Berikut ini akan dijelaskan unsur-unsur latar.

27

Siswanto, Loc. Cit.,

28


(31)

1. Latar tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertenttu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. 2. Latar waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.Pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap waktu sejarah itu kemudian dipergunakan untuk mencoba masuk ke dalam suasana cerita.Pembaca berusaha memahami dan menikmati cerita berdasarkan acuan waktu yang diketahuinya yang berasal dari luar cerita yang bersangkutan.

3. Latar sosial

Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yng diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiasat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual seperti dikemukakan sebelumnya. Selain itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atas.29

29


(32)

5. Sudut Pandang

Sudut pandang/ titik pandang adalah tempat sasrtrawan memandang ceritanya.Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu, dengan gayanya sendiri.30Seorang pencerita dapat dikatakan sebaga pencerita akuan apabila pencerita tersebut dalam bercerita menggunakan kata ganti orang pertama: aku atau saya. Pencerita akuan dapat menjadi salah seorang pelaku atau disebut narrator acting. Sebagai narrator acting, ia bisa mengetahui semua gerak fisik maupun psikisnya. Narrator acting yang demikian ini biasanya bertindak sebagai pelaku utama yang serba tahu.Tidak semua narrator acting sebagai pencerita yang serba tahu.Terdapat kemungkinan narrator acting ini hanya mengetahui gerak-gerik fisik dari para pelaku yang bertindak sebagai pelaku bawahan.

Di samping bertindak sebagai pencerita yang terlibat atau

narrator acting, seorang pencerita juga bisa bertindak sebagai pengamat.Pencerita semacam ini biasanya disebut pencerita

diaan.Pencerita diaan dalam bercerita biasanya menggunakan kata ganti orang ketiga. Adapun penunjuk kebahasaan yang digunakan biasanya: dia, ia, atau mereka.

Narrator pengamat ini dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu narrator pengamat yag serba tahu dan narrator pengamat terbatas atau objektif. Narrator pengamat serba tahu merupakan suatu teknik penceritaan dengan cara pencerita menuturkan ceritanya melalui satu atau lebih tokoh-tokohnya.Sedangkan narrator pengamat terbatas adalah pengarang menuturkan ceritanya melalui kesan-kesan atau impresi dari satu tokoh. Pengetahuan pencerita tentang apa yang terjadi dalam cerita terbatas pada apa yang dapat dilihat, didengar melalui gerak fisik saja.31

30

Siswanto, Op. Cit., h. 151 31

Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis,(Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 115-116


(33)

6. Amanat

Nilai-nilai yang ada di dalam cerita rekaan bisa dilihat dari diri sastrawan dan pembacanya.Dari sudut sastrawan, nilai ini bisa disebut amanat.Amanat gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar.Di dalam karya sastra modern, amanat ini biasanya tersirat; di dalam karya sastra lama pada umumnya amanat tersurat.32

D. Pembelajaran Sastra di Sekolah

Pendidikan sastra adalah pendidikan yang mencoba untuk mengembangkan kompetensi apresiasi sastra, kritik sastra, dan proses kreatif sastra. Kompetensi apresiasi yang diasah dalam pendidikan ini adalah kemampuan menikmati dan menghargai karya sastra.Dengan pendidikan semacam ini, peserta didik diajak untuk langsung membaca, memahami, menganalisis, dan menikmati karya sastra secara langsung.

Pendidikan sastra yang mengapresiasi prosa rekaan akan mengembangkan kompetensi anak untuk memahami dan menghargai keindahan karya sastra yang tercermin pada setiap unsur prosa rekaan dengan secara langsung membaca karya sastranya.33Dan salah satu pembelajaran prosa rekaan adalah pembelajaran cerpen di sekolah.

Pengajaran sastra akan membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi 4 manfaat, yaitu: membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjung pembentukan watak.

1. Membantu keterampilan berbahasa

Mengikutsertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berarti akan membantu siswa berlatih keterampilan membaca, dan mungkin ditambah sedikit keterampilan menyimak, wicara, dan menulis yang masing-masing erat hubungannya. Dalam pengajaran sastra, siswa

32

Siswanto, Op. Cit., h. 162 33Ibid.,


(34)

dapat melatih keterampilan menyimak dengan mendengarkan suatu karya yang dibacakan oleh guru, teman, atau lewat pita rekaman. 2. Meningkatkan pengetahuan budaya

Sastra berkaitan erat dengan semua aspek manusia dan alam dengan keseluruhannya.Apabila kita dapat merangsang siswa-siswa untuk memahami fakta-fakta dalam karya sastra, lama-kelamaan siswa itu akan sampai pada realisasi bahwa fakta-fakta itu sendiri tidak lebih penting disbanding dengan keterkaitannya satu sama lain sehingga dapat saling menopang dan memperjelas apa yang ingin disampaikan lewat karya sastra itu.

3. Mengembangkan cipta dan rasa

Dalam hal pengajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah kecakapan yang bersifat indra; yang bersifat penalaran; yang bersifat afektif; dan yang bersifat sosial; serta dapat ditambah lagi yang bersifat religius. Karya sastra, sebenarnya dapat memberikan peluang-peluang untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan semacam itu. Oleh karena itu, dapatlah ditegaskan, pengajara sastra yang dilakukan dengan benar akan dapat menyediakan kesempatan untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan tersebut lebih dari apa yang disediakan oleh mata pelajaran yang lain, sehingga pengajaran sastra tersebut dapat lebih mendekati arah dan tujuan pengajaran dalam arti yang sesungguhnya.

4. Menunjang pembentukan watak

Dalam nilai pengajaran sastra, ada dua tuntutan yang dapat diungkapkan sehubungan watak.Pertama, pengajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan yang lebih tajam.Dibanding pelajaran-pelajaran lainnya, sastra mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk mengantar kita mengenal seluruh rangkaian kemungkinan hidup manusia seperti kebahagiaan, kebebasan, kesetiaan, kebanggaan diri sampai pada kelemahan, kekalahan, keputusasaan, kebencian, perceraian, dan kematian.


(35)

Tuntutan kedua sehubungan dengan pembinaan watak ini adalah bahwa pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian siswa yang antara lain meliputi ketekunan, kepandaian, pengimajian, dan penciptaan.34

Pembelajaran cerpen selalu diajarkan di sekolah baik tingkat dasar, menengah, atau tingkat atas.Bahkan di perguruan tinggi pun, pembelajaran cerpen masih diterapkan.Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran karya sastra di semua jenjang sangat dibutuhkan guna meningkatkan kreativitas dan keterampilan siswa dalam kegiatan berbahasa dan bersastra.

Berhubungan dengan pengajaran cerpen di sekolah, hendaknya seorang guru memiliki metode atau teknik yang digunakan agar siswa mampu mencapai kompetensi yang diinginkan.Rahmanto mengungkapkan, salah satu metode yang dapat digunakan adalah membaca ekstensif yang cocok untuk berbagai bahan bacaan seperti novel dan cerpen yang memungkinkan adanya praktik latihan membaca cepat serta berlangsung terus menerus dengan minat sendiri.Bahan-bahan bacaan ekstensif ini cocok untuk diberikan sebagai aktivitas membaca di rumah.Tujuan akhir dari pembinaan membaca ekstensif ini dimaksudkan untuk membina minat baca siswa berdasarkan motivasi dari dalam, sehingga siswa dapat memiliki kesenangan (hobi) membaca tanpa paksaan satau dorongan dari guru.35

E. Penelitian yang Relevan

Hasil penelitian sebelumnya yang dapat dijadikan acuan dan masukan dalam penelitian ini antara lain penelitian yang dilakukan oleh Alfian Rokhmansyah dalam skripsinya yang berjudul “Jenis Gaya dan Fungsinya dalam Cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma (Sebuah Kajian Stilistika). Dalam penelitian tersebut, ditemukan beberapa

34

B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 16-25 35Ibid.,


(36)

gaya bahasa berupa majas, antara lain: majas repetisi, hiperbola, simile, klimaks, sarkasme, personifikasi, antithesis, dan majas retoris. Gaya bahasa yang ditemukan tersebut juga mempunyai fungsi masing-masing terhadap penggambaran cerita.

Penelitian lain dilakukan oleh Nur Saputri Puji Lestari dengan judul “Gaya Bahasa dalam Kumpulan Cerpen Sepasang Maut Karya Moh. Wan Anwar dan Alternatif Pembelajarannya di SMK, IKIP PGRI, Semarang”. Dalam kesimpulannya, di dalam kumpulan cerpen itu terdapat berbagai macam gaya bahasa antara lain: gaya bahasa tak resmi, gaya bahasa percakapan, hiperbola, simile, repetisi epizeukis. Berikut ini akan diberikan contoh beberapa kutipan:

1. Gaya bahasa tak resmi, seperti pada kutipan:

“Aku baca juga sajak itu semata – mata agar aku tak kehilangan jejakmu.Agar aku bisa menjawab kalau suatu hari kau bertanya lagi tentang laut di matamu.Tetapi anehnya aku semakin tak mengerti apakah laut dan bagaimana merumuskannya.Bagaimana pula yang dianggap sebagai rahang laut dalam sajak yang kau berikan itu.Aku tahu sajak itu berlatar laut.Aku memang melihat gambaran laut dalam sajak itu”.

2. Gaya bahasa percakapan, seperti pada kutipan:

“Laut telah berubah, pasir mungkin akan segera gelap.” Sejenak saja!

“Laut telah meninggalkanku.” Kapan kita bisa bertemu lagi? “tidak tahu.”

Minggu depan!

“Ya, kalau aku belum dijemput peri –peri dari laut.”

Peri dari laut?Apa maksudmu? Jangan kau buat aku dungudihadapanmu! Tapi kau keburu ngeloyor pergi meninggalkankuyang ternganga seperti rahang laut dalam sajak yang pernah kauberikan padaku.Aku memang tak pernah bisa memahamimu,tetapi sekali – kali kau tuduh aku tak pernah mencintaimu.


(37)

“Tetapi pada suatu sore tiba – tiba saja kau sudah duduk di kursi beranda rumahku.Rambutmu kusut, parasmu kisut, senyummu kecut, dan matamu, ah, matamu, bola matamu itu mulai surut.Sore memang tidak seredup kehadiranmu”. Langit bersih, awan cuma tipis, dan lembayung memuncratkan emas ke seluruh penjuru angkasa.Kuseduh teh hangat agar lenyap segala pucat dan hasrat meloncat dari tatapmu.Tapi kau Cuma mengucap terima kasih dan mengatakan bahwa kau mampir hanya sekejap.

4. Simile, seperti pada kutipan:

“Andai kukira seandainnya uang dan tenagamu sanggup untuk mengitari seluruh laut dimuka bumi, kau akan melakukannya. Laut bagimu seperti takdir, kemanapun kau beringsut laut akan bertau. Ke manapun kau mengalir laut selalu hadir”.

5. Repetisi epizeukis, seperti pada kutipan:

“Setiap kau bicara tentang laut, pengalamanmu bersentuhan dengan laut, kerinduanmu tentang laut, aku bahkan kadang melihat laut bergemuruh dimatamu. Sekali waktu, ketika kau mengungkapkan pergulatanmu dengan laut membentang bening di bola matamu”.

“Entah sudah berapa ribu kali aku mengamati bola matamu, kelopak matamu, bulu matamu, alismu, tulang disekitar matamu, dan aku selalu merasa bertemu laut. Tetapi getar apa yang ada di bola matamu, lengkung alismu, deretan bulu matamu, lekuk tulang di sekitar matamu, sungguh aku tak pernah bisa menangkapnya”.

Selanjutnya, penelitian lain juga dilakukan oleh Novita Rihi Amalia yang berjudul “Analisis Gaya Bahasa dan Nilai-nilai Pendidikan Novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata”, Universitas Sebelas Maret,

Surakarta. Dalam penelitiannya diperoleh beberapa gaya bahasa, antara lain: majas perbandingan, majas perulangan, dan majas pertentangan. Akan tetapi, majas yang paling dominan adalah majas personifikasi. Di bawah ini akan diberikan contoh beberapa kutipannya:


(38)

a. Hiperbola. Seperti pada kutipan:

“Kami bertiga baru saja berlari semburat, pontang panting

lupa diri karena dikejar-kejar seorang tokoh paling antagonis”.

“Pak Mustar merenggut kerah bajuku, menyentakkan dengan keras sehingga seluruh kancing bajuku putus.Kancing-kancing itu berhamburan ke udara, berjatuhan gemerincing. Aku

meronta-ronta dalam genggamannya, menggelinjang, dan terlepas!.

b. Personifikasi. Seperti pada kutipan:

“Dataran ini mencuat dari perut bumi laksana tanah yang dilantakkkan tenaga dahsyat kataklismik.Sedangkan di belahan yang lain, semburat ultraviolet menari-nari di atas permukaan

laut yang bisu berlapis minyak”.

“Kapitalis itu meliuk-liuk pergi seperti dedemit dimarahi raja

hantu”.

“Jantungku berayun-ayun seumpama punchbag yang dihantam beruntun beruntun seorang petinju”.

“Pancaran matahari menikam lubang-lubang dinding papan

seperti batangan baja stainless, dan menciptakan pedang cahaya, putih berkilauan, tak terbendung melesat-lesat

menerobos sudut-sudut gelap yang pengap”.

c. Simile. Seperti pada kutipan:

“Pemimpin para siswa yang berkelakuan seperti sirkus itu tak

lain Arai!”.

“Wajah Arai laksana patung muka yang dibuat mahasiswa baru seni kriya yang baru pertama kali menjamah tanah liat,

pencet sana, melendung sini”.

Laksana terumbu karang yang menjadi rumah ikan di dasar

laut, gubuk itu akan segera menjadi sarang luak, atapnya akan menjadi lumbung, telur burung kinantan, dan tiang-tiangnya

akan menjadi istana liang kumbang”.

2. Majas pertentangan

a. Litotes, seperti pada kutipan: “Mata Mak Cik berkaca-kaca. Seribu terima kasih seolah tak cukup baginya”.


(39)

“Dada Pak Mustar turun naik menahan marah tapi Pak Balia

terlanjur jengkel”.

“Mereka yang kuat tenaga dan kuat nyalinya siang malam

mencedok pasir gelas untuk mengisi tongkang”.

“Terbukti banyak sekali wanita cantik sehat walafiat jiwa raganya, rela diusir keluarganya gara-gara jatuh cinta setengah

mati pada pemain gitar”.

3. Majas penegasan yang terdapat dalam penelitian Novita adalah majas repetisi. Seperti pada kutipan berikut:

“Oh, aku melambung tinggi, tinggi sekali”.

“Maka aria adalah seorang pemimpi yang sesungguhnya seorang pemimpi sejati”.

“Dan selama bertahun-tahun itu pula, tak pernah lagi—tak pernah walau sekali—orang melihat Laksmi tersenyum

Persamaan dari ketiga penelitian di atas dengan penelitian yang penulis lakukan adalah sama-sama menganalisis tentang gaya bahasa, sedangkan perbedaannya adalah jika penelitian Alfian Rokhmansyah menganalisis tentang bentuk gaya bahasa dan fungsinya dalam kumpulan cerpen Saksi Mata, sedangkan penulis hanya berfokus pada majas perbandingan saja, yakni pada majas simile. Objek yang digunakan oleh penelitian Alfian sama dengan objek yang digunakan oleh peneliti, yakni kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma.

Selanjutnya, perbedaan lainnya adalahpenelitian Nur Saputri yang berjudul “Gaya Bahasa dalam Kumpulan Cerpen Sepasang Maut Karya Moh.Wan Anwar dan Alternatif Pembelajarannya di SMK. Penelitian ini membahas tentang keseluruhan gaya bahasa secara umum, tetapi yang paling dominan adalah gaya bahasa repetisi. Gaya bahasa repetisi yang terlihat di antaranya adalah pada kata laut, matamu,yang menegaskan tentang suatu kehidupan seorang manusia yang hanya bergantung pada laut, dan seluruh hidupnya dihabiskan dengan menyelami sebuah laut.

Serta penelitian Novita Rihiyang juga membahas tentang gaya bahasa dan nilai-nilai pendidikan dalam novel. Dalam penelitian yang dilakukan Novita, gaya bahasa dijelaskan secara rinci mulai dari gaya


(40)

bahasa perbandingan, pertentangan, penegasan, dan perulangan, tetapi gaya bahasa yang paling dominan adalah personifikasi, ditambah dengan penelitian tentang nila-nilai pendidikan. Majas personifikasi dalam penelitian novita berfungsi untuk memberikan gambaran pada cerita yang seolah-olah dapat dirasakan dengan nyata.


(41)

30

Sumber data yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma. Cerpen tersebut secara keseluruhan menceritakan tentang insiden pembantaian yang terjadi di Kota Dili, Timor-Timor. Sedangkan data yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah kutipan kalimat yang mengandung majas perbandingan dalam keseluruhan cerpen yang ada dalam kumpulan cerpen Saksi Mata. Dalam hal ini, majas perbandingan yang akan dianalisis adalah majas simile atau perumpamaan.

Penelitian ini akan membahas tentang bagaimana majas simile (perumpamaan) yang digunakan oleh pengarang dalam kumpulan cerpen

Saksi Mata ini jika dihubungkan dengan kejadian-kejadian pembanataian masa lalu yang terjadi di Kota Dili Timor-Timor. Penelitian ini menggunakan pendekatan stilistika karena peneliti berusaha mendeskripsikan majas perbandingan yang ada dalam kumpulan cerpen

Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma.

B. Analisis Data

Berdasarkan hasil membaca dan menyimak keseluruhan cerpen yang terkumpul dalam buku kumpulan cerpen berjudul Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma, yang terdiri dari 16 cerpen yakni Saksi Mata, Telinga, Manuel, Maria, Salvador, Rosario, Listrik, Pelajaran Sejarah, Misteri Kota Ningi, Klandestin, Darah Itu Merah, Jenderal, Seruling Kesunyian, Salazar, Junior, Kepala di Pagar Da Silva, dan Sebatang Pohon di Luar Desa, ditemukan 47 majas simile atau perumpamaan yang terdapat dalam keseluruhan cerpen. Berikut analisisnya:


(42)

(1) “Dari lubang pada bekas tempat kedua matanya mengucur darah yang begitu merah bagaikan tiada warna merah yang lebih merah dari merahnya darah yang mengucur perlahan-lahan dan terus-menerus dari lubang itu.” (SM: 8)

Data no.1 menggambarkan keadaan tokoh Saksi Mata yang bersaksi di persidangan tanpa kedua matanya. Dari lubang kedua matanya mengalir darah berwarna merah yang mengucur terus-menerus secara perlahan. Darah yang mengalir dari lubang kedua mata Saksi Mata tersebut seolah-olah berwarna lebih merah dari darah yang biasa mengalir dalam tubuh manusia. Dan darah tersebut seolah mengalahkan warna merah yang lain selain warna darah yang keluar dari lubang kedua mata Saksi Mata.

Penggambaran warna darah dalam kutipan tersebut digambarkan pengarang seolah-olah di ruang pengadilan tidak ada warna merah lain yang dapat menggambarkan darah yang mengalir dari lubang kedua mata tokoh Saksi Mata. Pengarang menggunakan perumpamaan warna darah yang seolah-olah tidak ada warna merah selain darah yang mengalir tersebut karena ingin menggambarkan bahwa kejadian yang dialami oleh Saksi Mata terjadi begitu kejam dan sadis. Penggambaran warna darah tersebut juga digambarkan pengarang untuk memberikan penekanan dan penjelasan bahwa darah yang mengalir dari kedua mata Saksi Mata itu menjadi saksi kekejaman para penjahat yang dengan sadis tega mencongkel kedua mata tokoh Saksi Mata tersebut.

Pada data no. 1 tersebut juga dapat menggambarkan unsur intrinsik cerita berupa suasana yang mengerikan yang dialami oleh tokoh Saksi Mata. Hal itu dibuktikan dengan kalimat “mengucur darah yang begitu merah bagaikan tiada warna merah yang lebih merah dari merahnya darah” yang menggambarkan bahwa pada lubang kedua matanya mengucur darah yang begitu deras. Hal itu juga dapat


(43)

menggambarkan bahwa kejadian pembantaian terjadi begitu kejam dan sadis, tanpa memerdulikan satu sama lain.

(2) “Ruang pengadilan jadi riuh kembali. Seperti

dengungan seribu lebah.”(SM: 10)

(3) “Lagi-lagi hadirin ribut dan saling bergunjing seperti di warung kopi.”(SM:10)

Data no. 2 menggambarkan tentang keadaan ruang persidangan yang ramai dan riuh oleh suara para hadirin yang mendengarkan kesaksian tokoh Saksi Mata di ruang pengadilan. Para hadirin menjadi ramai dan bersuara ketika tokoh Saksi Mata mengungkapkan kejadian yang dialaminya sampai kedua matanya hilang dan mengeluarkan darah. Pada data no. 2, pengarang menganalogikan suara para hadirin seperti dengungan seribu lebah yang mengaung-ngaung. Kegaduhan yang terjadi di dalam ruang persidangan sangat ramai sekali sekali sampa tidak jelas apa yang sedang para hadirin gaduhkan.

Data no. 3 yang masih menggambarkan keadaan yang sama di ruang pengadilan. Para hadirin langsung berbicara sendiri satu sama lain yang membuat suasana persidangan semakin panas. Hal itu karena para hadirin telah mendengar kesaksian tokoh Saksi Mata yang menurut para hadirin dan Pak Hakim tidak masuk akal. Pada data no. 3 lagi-lagi pengaranag menggambarkan keadaan ramai itu dengan perumpamaan beberapa orang yang sedang bergunjing di warung kopi. Pengarang menggunakan perumpamaan itu karena biasanya di warung kopi terdapat beberapa orang yang sedang asyik mengobrol serta mengumbar pembicaraan mengenai orang lain. Dari data no. 2 dan 3 tersebut kita dapat mengetahui keadaan yang terjadi di ruang persidangan ketika tokoh Saksi Mata bersaksi untuk mencari keadilan. Akan tetapi, para hadirin seolah tidak dapat menerima alasan dan cerita dari tokoh Saksi Mata karena tidak masuk akal dan dianggap hanya kebohongan belaka. Selanjutnya, pada data no. 2 dan 3 tersebut juga


(44)

dapat menggambarkan unsur intrinsik cerita berupa latar tempat dalam cerita yakni di ruang pengadilan.

(4) “Darah masih menetes perlahan-lahan, tapi terus-menerus dari lubang hitam bekas mata Saksi Mata yang berdiri seperti patung di ruang pengadilan.”

(SM: 11)

Data no. 4 menggambarkan tentang keadaan tokoh Saksi Mata yang bersaksi di ruang persidangan dengan kondisi kedua matanya hilang dan mengalir darah dari kedua mata tersebut. Saksi Mata bersaksi di persidangan seorang diri tanpa ditemani siapapun. Dan ia berdiri di tengah-tengah ruang persidangan dalam keadaan berdiri dan tenpa bergerak sedikitpun. Saksi Mata itu bersaksi di ruang pengadilan dengan berdiri dan diam tanpa menoleh yang diibaratkan seperti patung yang disertai dengan keluarnya darah yang masih terus menetes dari lubang kedua matanya. Saksi Mata dengan keadaan kedua matanya yang hilang menjadi sebab pergerakannya tidak bebas atau tidak leluasa bergerak, bahkan berjalan-jalan. Hal itu dikarenakan tokoh Saksi Mata tidak mempunyai kedua matanya sehingga ia tidak bisa melihat keadaan di sekelilingnya. Oleh karena itu, pengarang menggambarkan keadaan Saksi Mata itu seperti patung yang diam membisu tanpa gerak apapun.

Patung yang digunakan pengarang untuk menggambarkan tokoh Saksi Mata pada dasarnya adalah sebuah benda mati yang sengaja dibuat orang untuk dijadikan sebagai suatu pemandangan. patung hanyalah benda mati yang tidak bisa bergerak karena hanya digunakan sebagai hiasan dan keindahan. Pengarang menggunakan perumpamaan patung itu karena tokoh Saksi Mata masih mampu bersaksi walaupun dalam keadaan kedua matanya hilang, tetapi pergerakannya terbatas.


(45)

Pada data no. 4 tersebut juga dapat menggambarkan unsur intrinsik cerita yakni penokohan atau watak tokoh Saksi Mata. Hal itu dibuktikan walaupun dengan keadaan yang dialaminya, ia masih berani bersaksi di ruang pengadilan dalam keadaan diam dan berdiri seperti patung. Hal ini ditunjukkan dengan kegigihan tokoh Saksi Mata yang bersaksi di pengadilan walaupun ia sudah tidak memiliki kedua matanya dan darah masih terus menetes dari lubang kedua matanya.

(5) “Saudara masih ingat bagaimana mereka menembak dengan serabutan dan orang-orang tumbang seperti pohon pisang ditebang?” (SM: 13)

Data no. 5 masih menggambarkan bagaimana Pak Hakim sedang menginterogasi tokoh Saksi Mata atas kejadian yang dialaminya. Saksi Mata itu bersaksi bahwa di dalam mimpinya orang-orang ditembaki dengan silang-silang dari semua arah sehingga korban langsung berjatuhan. Pengarang menggunakan perumpamaan seperti pohon pisang yang ditebang karena para korban yang tertembak seolah-olah langsung tumbang atau ambruk dan berjatuhan satu per satu sehingga para korban dapat dikatakan langsung meninggal pada saat itu juga. Pengarang juga menyamakan keadaan itu dengan tumbangnya pohon pisang yang ditebang karena seolah-olah kejadian penembakan itu dilakukan dengan sadis dan tanpa perikemanusiaan. Oleh karena itu pengarang menyamakan kejadian itu dengan pohon pisang yang ditebang.

Dari data no. 5 tersebut juga terdapat penggambaran latar suasana mencekam dalam cerita yakni yang terdapat pada kalimat “orang-orang tumbang seperti pohon pisang ditebang” yang menggambarkan seolah-olah kejadian penembakan itu terjadi dengan kejam dan sadis karena korban langsung berjatuhan satu per satu yang diumpamakan seperti tumbangnya pohon pisang ketika ditebang.


(46)

(6) “Dewi kadang-kadang juga merasa telinga itu seperti masih hidup, dan bergerak-gerak, bagaikan masih mampu mendengar suara-suara di sekitarnya.” (SM: 18)

(7) “Telinga itu bagaikan antena yang mampu menangkap pesan apa pun yang bertebaran di udara.” (SM: 18)

Data no. 6 menggambarkan tentang seorang Dewi yang memiliki kekasih yang ditugasi bekerja di medan perang untuk mencari seseorang yang dianggap sebagai mata-mata musuh. Dewi sering mendapat kiriman telinga dari kekasihnya sebagai kenang-kenangan dari medan perang dan sebagai bukti ucapan rindu bahwa ia sedang berjuang di tempat ia bekerja. Kiriman telinga itu berasal dari telinga seseoran yang dicurigai sebgai mata-mata musuh.

Pada data no. 6 menggambarkan bahwa Dewi yang kadang memandangi telinga kiriman dari kekasihnya itu melihat seolah-olah telinga itu masih dapat bergerak, padahal telinga itu sudah terpotong dari anggota badan lainnya. Akan tetapi, Dewi yang memandangi telinga itu seolah-olah masih hidup dan dapat bergerak layaknya belum terpotong dengan anggota badan lainnya. Tidak hanya itu, telinga yang sudah tidak berfungsi itu bahkan seolah-olah juga masih dapat mendengar dan menangkap pesan apapun yang ada di sekelilingnya. Perumpamaan telinga yang masih hidup dan dapat mendengar itu digambarkan pengarang karena telinga itu memang berasal dari telinga seseorang yang dicurigai sebagai mata-mata musuh sehingga pengarang menggambarkannya seperti masih hidup.

Begitu juga dengan data no. 7 yang masih menggambarkan telinga yang dapat bergerak, dan bahkan pengarang menggunakan perumpamaan bagaikan antena yang dapat menangkap sinyal pembicaraan apapun yang ada di sekelilingnya. Pengarang menggunakan perumpamaan antena karena antena memiliki fungsi


(47)

untuk menangkap sinyal apapun yang ada di sekelilingnya. Telinga yang disamakan dengan antena dianggap oleh pengarang akan dapat menangkap segala apa yang ada di sekelilingnya dari pembicaraan orang lain. Dan dari data no. 6 dan 7 tersebut juga terdapat penggambaran latar suasana aneh dan mengerikan dalam cerita karena telinga yang sudah terpotong dan tidak berfungsi lagi digambarkan seperti masih hidup dan mampu menangkap pesan apa pun yang ada di sekitarnya.

(8) “Ketika kami sampai di luar kota, hari sudah senja. Kuingat langit senja yang temaram kemerah-merahan itu, bagaikan menenggelamkan kehidupan kami yang sebelumnya selalu riang ke dalam kegelapan pekat malam yang sesekali diterangi cahaya roket yang ditembakkan untuk memusnahkan kami.” (SM: 25) Data no. 8 menggambarkan keadaan Manuel yang membayangkan senja sore itu seakan-akan mendatangkan semua kesedihan dan penindasan yang telah dialaminya selama ini. Manuel yang menjadi korban dalam tragedi penembakan itu menjadi teringat kembali dengan masa lalunya yang begitu tragis. Senja yang kemerah-merahan itu merupakan penggambran bahwa waktu menjelang malam yang digambarkan pengarang seolah-olah seperti kehidupan Manuel yang dahulu bahagia dan riang menjadi hilang.

Dan pada data no. 8 di atas, pengarang mengumpamakan senja sore sebagai cerminan kehidupan masa lalu Manuel yang sangat tragis. Senja yang tenggelam digambarkan pengarang seolah-olah langit yang senja kemerah-merahan itu seperti dapat menghilangkan semua kenangan indah bersama keluarganya sehingga yang muncul dalam pikirannya adalah kenangan pahit masa lalu yang telah ia rasakan. Hal itu diperkuat pula dalam data no. 8 tersebut bahwa masa lalu yang


(48)

dialami Manuel penuh dengan tembakan dari atas langit yang dilancarkan untuk membunuh para korban.

Selanjutnya, pada data no. 8 tersebut juga dapat menggambarkan suasana atau kondisi batin Manuel yang teringat kejadian masa lalunya. Penggambaran langit senja yang kemerah-merahan itu digambarkan pengarang seolah-olah dapat mengubah suasana hati Manuel yang telah menghilangkan kenangan indah masa lalunya. Akan tetapi dengan penggambaran langit itu justru mengingatkan kembali semua ingatan Manuel akan kejadian masa lalunya dan membuat hati manuel terasa sedih.

(9) “Kami, rombongan pengungsi yang beribu-ribu orang itu, kacau balau bagaikan semut yang ketakutan.” (SM: 25)

Data no. 9 menggambarkan tentang keadaan para warga yang mendapat serangan penembakan dan penyerbuan. Pada data tersebut, digambarkan bahwa ada beberapa rombongan warga yang sedang mengungsi di suatu tempat, tetapi penyerbuan itu masih terus datang. Dalam keadaan genting, rombongan pengungsi itu pun akhirnya bingung mencari tempat yang aman untuk bersembunyi dari teror serbuan musuh.

Rombongan pengungsi yang kebingungan itu digambarkan pengarang seperti semut yang ketakutan. Perumpamaan itu digunakan pengarang untuk menyatakan keadaan pengungsi pada waktu itu yang kacau balau karena datangnya penyerbuan itu. Selain itu pula yang disampaikan pengarang melalui perumpamaan semut yang ketakutan,

mengandung arti bahwa orang-orang pada waktu itu berlarian berhamburan tak tentu arah. Pengarang menggunakan perumpamaan “semut yang ketakutan” karena biasanya yang kita lihat adalah semut berjalan dengan cepat dan berbeda arah. Hal itulah yang ingin


(49)

digunakan pengarang untuk menggambarkan kondisi para pengungsi yang berhamburan ke sana ke mari tak tentu arah karena adanya serangan penyerbuan terhadap para pengungsi. Dan pada data no. 9 tersebut juga menggambarkan suasana genting atau darurat karena para rombongan pengungsi berlarian kacau balau tak tentu arah yang diumpamakan seperti semut yang ketakutan.

(10) “Dihadapan Maria bersimpuh seorang pemuda, tapi Maria tidak mengenalnya. Kepalanya penuh pitak

seperti hutan gundul, dengan cukuran yang tidak teratur.” (SM: 35)

(11) “Evangelista memeluk Maria dari belakang. Keduanya memandang lelaki itu bagaikan memandang sesosok makhluk dari planet lain.” (SM: 37)

Data no. 10 menggambarkan tentang keadaan seorang Ibu bernama Maria yang kehilangan anaknya, Antonio. Antonio menjadi korban pembantaian dalam penyerbuan yang terjadi di tempatnya. Maria berharap-harap Antonio segera kembali ke rumah dalam keadaan sehat, tetapi yang terjadi adalah Antonio kembali ke rumah dalam keadaan yang tidak dikenali.

Sebagaimana yang digambarkan pengarang dalam data no. 10 bahwa Antonio pulang ke rumah dalam keadaan kepala penuh pitak seperti seorang yang habis disiksa. Maria pun sampai tidak dapat mengenali bahwa yang datang adalah Antonio. Kepala Antonio yang penuh pitak digambarkan pengarang dengan perumpamaan seperti hutan gundul karena hutan yang gundul karena ditebang biasanya masih terdapat sedkit pepohonan di sana sini. Sama halnya dengan penggambaran rambut Antonio yang seperti hutan gundul karena masih terdapat banyak pitak dari hasil potongan-potongan rambut yang tidak teratur.


(50)

Data no. 11 masih menggambarkan tentang keluarga Maria yang menunggu kedatangan Antonio untuk pulang ke rumah. Evangelista, kakak Antonio juga terperanjat kaget ketika melihat kedatangan Antonio yang berubah kondisi badannya. Evangelista dan Maria tidak percaya bahwa yang datang itu adalah Antonio. Hal itu pula yang membuat Evangelista langsung memeluk mamanya dari belakang. Sebagaimana yang digambarkan pada data no. 11 bahwa Evangelista langsung memeluk Maria dari belakang seolah-olah ia kaget melihat keadaan sesosok pemuda yang berada di depannya. Evangelista melihat Antonio seperti yang digambarkan pada data no. 11 bahwa Antonio seperti bukan manusia pada umumnya. Antonio digambarkan pengarang dengan perumpamaan seperti makhluk yang berasal dari planet luar bumi. Penggambaran itulah yang seolah-olah membuat deskripsi bahwa Antonio mendapat perlakuan yang kejam dan tragis atas pembantaian yang telah dialaminya.

Pada data no. 10 dan 11 tersebut juga dapat menggambarkan suasana dalam cerita yakni suasana kaget dan aneh. Hal itu dapat digambarkan melalui kedatangan Antonio tidak seperti apa yang diharapkan oleh keluarga. Selain itu, kondisi Antonio yang disamakan dengan hutan gundul dan Ibunya seperti memandang makhluk dari planet lain.

(12) “Dari gurun terdengar bunyi seperti siulan yang panjang dan angin berubah menjadi badai pasir yang mengerikan.” (SM: 43)

Data no. 12 menggambarkan tentang keadaan ketika mayat Salvador dibawa ke tempat keramaian. Mayat Salvador digiring ke lapangan atau gerbang kota karena dianggap mencuri ayam. Salvador diikat dan dibiarkan berdiri di gerbang kota dengan bertuliskan “maling ayam”. Pada saat itu pula keadaan angin juga sangat kencang


(51)

yang membuat kondisi badan dan wajah Salvador menjadi kotor karena debu.

Pada data no. 12 tersebut menggambarkan keadaan angin ketika mayat Salvador berada di gerbang kota untuk ditawan. Angin yang datang dari gurun itu terasa sangat kencang dan seolah terdengar seperti bunyi siulan. Pengarang menggambarkan angin seperti bunyi siulan yang panjang seolah-olah angin itu terasa sangat kencang dan mengerikan yang membuat semua orang menjadi ketakutan. Bunyi siulan panjang yang diumpamakan pengarang juga dapat menjadikan angin berubah menjadi badai pasir yang terbang perlahan dan terus-menerus, yang membuat suasana menjadi mencekam dan mengerikan.

Pada data no. 12 terebut tersebut juga dapat menggambarkan latar suasana yang menegangkan. Hal itu dapat terlihat dari kondisi angin yang datang dari gurun disertai badai pasir yang mengerikan serta angin dari gunung yang menimbulkan bunyi-bunyian seperti siulan yang membuat suasana terasa semakin tegang. Kondisi angin itu yang mengiringi keberadaan mayat Salvador yang berada di tengah gerbanag kota.

(13) “Apakah engkau mengira rosario ini seperti pil yang bisa menyembuhkan masalahmu sehingga engkau menelannya?” (SM: 48)

(14) “Dipandanginya foto rontgen perut Fernando. Rosario itu melingkar seperti ular tidur.” (SM: 49)

Data no. 13 dan 14 menggambarkan tentang keadaan Fernando yang menjadi korban pembantaian itu. Fernando terkena tembakan yang dilancarkan oleh musuh. Ia pun merasa ada penyakit aneh yang melanda dirinya selama 20 bulan. Dokter berusaha menggunakan rontgen untuk mendetekdi penyakit yang ada dalam dirinya. Ternyata peluru yang ditembakkkan ke Fernando masih mengapung dengan bentuk melingkar di dalam perutnya. Tetapi Fernando masih bisa


(52)

bertahan hidup dengan keadaan peluru yang berada di dalam perutnya selama 20 bulan. Hingga pada akhirnya Fernando pun tidak dapat menceritakan hal yang terjadi selama 20 bulan yang lalu kepada dokter yang menyembuhkannya.

Pada data no. 13 tersebut terdapat kata Rosario yang merupakan gambaran seperti tasbih yang melingkar dengan bentuk lonjong. Rosario itu digambarkan pengarang seperti sebuah pil atau obat yang dapat menyembuhkan segala macam penyakit. Pengarang menggunakan perumpamaan Rosario itu seperti pil karena melihat keadaan Fernando yang masih dapat bertahan hidup walaupun dengan peluru yang ada di dalam perutnya. Sama halnya dengan orang yang menelan pil atau obat ketika sakit. Maka penyakit itu akan dipastikan dapat hilang. Sedangkan pada data no. 14, Fernando memandangi hasil rontgen dan ia melihat bahwa Rosario yang selama 20 bulan di perutnya itu berbentuk melingkar dan bulat. Pada data no. 14, pengarang menggunakan perumpamaan seperti ular tidur karena Rosario yang ada di dalam perut Fernando itu berbentuk bulat dan melingkar yang terlihat hampir mirip dengan seekor ular yang sedang tidur.

Dari data no. 13 dan 14 dapat menggambarkan kutipan suasana kaget dan aneh karena melihat ada Rosario atau semacam peluru di dalam perut Fernando. Apalagi dengan keadaan peluru yang melingkar di perutnya yang diumpamakan seperti ular tidur.

(15) “Ia teringat ketika pertama kali Fernando datang padanya. Fernando bagaikan muncul dari balik malam di ruang praktiknya…” (SM: 48)

(16) “… dan berbicara seperti seorang pemain drama.”

(SM: 48)

(17) “Di matanya masih terbayang orang-orang roboh seperti pohon pisang ditebang.” (SM: 50)


(53)

Data no.15 menggambarkan seorang Dokter muda yang berusaha menyembuhkan penyakit Fernando dan sekaligus menjadi penenang bagi Fernando. Dokter itu teringat mimpinya akan kemunculan Fernando di ruang praktiknya yang meminta tolong untuk diobati. Fernando seolah meminta tolong dengan berkata-kata kepada dokter muda itu. Pengarang menggambarkan kemunculan Fernando dalam mimpi dokter muda itu seperti seorang makhluk yang tiba-tiba muncul dari balik malam di ruang kerja dokter itu. Fernando yang datang dalam mimpi dokter itu seolah terlihat menyeramkan karena datang secara tiba-tiba dan langsung meminta tolong kepada dokter muda itu.

Selain itu, pada data no. 16 tersebut juga masih terdapat perumpamaan lain yang digunakan pengarang yaitu kedatangan Fernando yang diumpamakan seperti pemain drama. Pengarang menggunakan perumpamaan berbicara seperti pemain drama karena Fernando yang datang langsung berbicara dan meminta tolong atas apa yang sedang dirasakannya. Fernando digambarkan pengarang seperti sedang memainkan peran dengan berbicara sendiri seperti orang yang kesakitan dan merintih meminta tolong.

Dari data no 15 dan 16 dapat menggambarkan suasana kaget karena secara tiba-tiba Fernando muncul di balik malam lalu berbicara sendiri seperti ingin meminta bantuan kepada orang lain, serta kalimat kedua yang menggambarkan suasana mencekam karena Fernando masih teringat akan kejadan masa lalunya.

Selanjutnya, data no. 17 yang juga masih menggambarkan keadaan Fernando yang trauma akan kejadian yang menimpanya. Fernando masih membayangkan bagaimana orang-orang berlarian untuk menghindar dari kecaman musuh, tetapi tetap saja terkena hantaman tembakan dari musuh. Orang-orang pun seketika itu pula langsung berjatuhan di tempat.


(54)

Pada data no. 17 tersebut diperlihatkan bahwa orang-orang yang terkena tembakan musuh langsug berjatuhan yang digambarkan pengarang seperti pohon pisang sedang ditebang. Begitu sadisnya penggambaran Seno tentang para korban yang seketika itu pula langsung tewas di tempat. Seno menggunakan perumpamaan seperti pohon pisang ditebang karena ia ingin menggambarkan bahwa serangan yang dilakukan terhadap para korban terjadi begitu sadis sehingga para korban itu langsung berjatuhan.

(18) “Kadang-kadang mayat yang berlubang-lubang karena berondongan peluru itu mereka dudukkan seperti orang hidup, dipasangi topi, dan diberi rokok pada mulutnya ….” (SM: 70)

Data no. 18 menggambarkan kejadian ketika Guru Alfonso mengajarkan sejarah kepada murid-muridnya. Ia teringat kejadian mengerikan pada masa lalu. Guru Alfonso mencoba menceritakan kejadian pembantaian yang memakan banyak korban. Dari data no. 17 tersebut dapat diketahui bahwa para korban yang telah tewas akibat penembakan para serdadu itu seolah dipermainkan oleh para musuh. Hal itu terlihat pada gambaran perumpamaan yang digunakan pengarang yakni seperti orang hidup. Seno menggunakan perumpamaan para korban yang telah tewas itu dengan orang yang masih hidup karena ia ingin menunjukkan bahwa kekejaman para serdadu tidak hanya pada penembakan saja, tetapi setelah penembakan juga masih terjadi. Para serdadu dengan enaknya memperlakukan para korban yang tewas seperti manusia masih hidup yakni dengan cara didudukkan, memasangi topi dan diberi rokok pada mulutnya.

Pada data no. 18 tersebut Seno ingin menggambarkan bahwa ketidakwajaran dan kekonyolan yang dilakukan oleh para serdadu terhadap mayat yang sudah tewas itu tidak layak untuk dilakukan


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

BIODATA PENULIS

M. Agus Kuswanto atau yang akrab disapa Wawan ini lahir di Jombang, tanggal 14 Juli 1992. Pendidikan formalnya ditempuh di MI (Madrasah Ibtidaiyah) dan MTs (Madrasah Tsanawiyah) Miftahul Ulum Jarak Kulon Jogoroto Jombang, dan pendidikan SMA nya ditempuh d MA (Madrasah Aliyah) Al- Anwar Pacul Gowang Diwek Jombang. Hingga pada akhirnya, penulis menempuh pendidikan S1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Putra pertama dari pasangan Suparno dan Siti Alimah ini semenjak di bangku sekolah sudah tertarik dengan dunia pendidikan. Selain itu, penulis juga gemar dengan kegiatan membaca. Dan setelah lulus dari bangku sekolah, penulis memantapkan untuk melanjtukan pendidikan di bidang keguruan yakni di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Penulis selain aktif di kegiatan perkuliahan, juga mendapat kesempatan untuk menjadi tenaga pengajar di sebuah lembaga pendidikan bimbingan belajar alumni (BTA 8) sebagai tenaga pengajar bahasa Indonesia sampai sekarang. Selain itu, ia juga berkesempatan melakukan kegiatan Praktik Profesi Keguruan Terpadu (PPKT) di SMP Negeri 3 Kota Tangerang Selatan.