Realitas Dan Imajinasi Dalam Kumpulan Cerpen Iblis Tidak Pernah Mati Karya Seno Gumira Ajidarma

(1)

REALITAS DAN IMAJINASI

DALAM KUMPULAN CERPEN IBLIS TIDAK PERNAH MATI

KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA

SKRIPSI

Oleh:

EKA DALANTA REHULINA NIM 020701013

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

REALITAS DAN IMAJINASI

DALAM KUMPULAN CERPEN IBLIS TIDAK PERNAH MATI KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA

Oleh

Eka Dalanta Rehulina NIM 020701013

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana sastra dan telah disetujui oleh

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Peraturen Sukapiring, S.U. Drs. Isma Tantawi, M.A.

NIP 130517485 NIP 131570496

Departemen Sastra Indonesia Ketua,

Dra. Nurhayati Harahap, M. Hum NIP 131676481


(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kersarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, Agustus 2008


(4)

REALITAS DAN IMAJINASI

DALAM KUMPULAN CERPEN IBLIS TIDAK PERNAH MATI

KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA

Abstrak

Penelitian ini membahas realitas dan imajinasi dalam kumpulan

cerpen Iblis Tidak Pernah Mati karya Seno Gumira Ajidarma. Tujuan

penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan mengetahui

gambaran realitas sosial dan realitas politik dan peranan imajinasi

pengarang membangun realitas yang baru dalam kumpulan cerpen

Iblis Tidak Pernah Mati. Untuk mencapai tujuan itu telah

dikumpulkan data dari kumpulan cerpen Iblis Tidak Pernah Mati

dengan menggunakan metode pembacaan heuristik dan hermeneutik

dan teknik catat pada kartu data. Setelah data terkumpul data

dianalisis dengan menggunakan teori sosiologi sastra yang

dikemukakan oleh Welek dan Warren (dalam Damono, 1979:3) dan

semiotik sosial yang dikemukakan oleh Hodge. (Hodge,1999:3)

Penelitian ini mendeskripsikan realitas politik dan sosial yang terjadi

di tengah-tengah masyarakat dan peranan imajinasi di dalam

menciptakan sebuah realitas yang baru di dalam kumpulan cerpen

Iblis Tidak Pernah Mati. Realitas yang baru tersebut dikonstruksi dari

realitas-realitas politik dan sosial yang terjadi dalam masyarakat.

Penelitian ini diharapkan bermanfaat memperkaya referensi ilmu

pengetahuan, khususnya ilmu sastra tentang realitas dan imajinasi

dalam kumpulan cerpen Iblis Tidak Pernah Mati.


(5)

PRAKATA

Skripsi ini berjudul Realitas dan Imajinasi dalam Kumpulan Cerpen Iblis Tidak Pernah Mati Karya Seno Gumira Ajidarma. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Dalam meyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mengalami kesulitan dan hambatan, tetapi karena kuatnya dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmatnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Segala pujian dan kemuliaan hanya bagi-Mu.

2. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, PD I Bapak Drs. Aminullah, M.A., Ph.D, PD II Bapak Drs. Samsul Tarigan, dan PD III Bapak Drs. Parlaungan Ritonga, M. Hum.

3. Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum selaku Ketua Departemen dan Ibu Dra. Mascahaya, M.Hum selaku Sekretaris Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dra. Peraturaen Sukapiring, S.U. sebagai Pembimbing I dan Bapak Drs. Isma Tantawi, M.A. sebagai Pembimbing II.

5. Pegawai dan staf pengajar di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara khususnya Departemen Sastra Indonesia.

6. Almarhum papa tersayang yang telah dipanggil Tuhan yang Maha Esa ke pangkuan-Nya. Terima kasih buat cinta yang pernah penulis rasakan.


(6)

7. Mama tersayang yang selalu berusaha mengerti dan memberi perhatian dan cinta. Terima kasih, Ma, sebagai orang tua tunggal, cinta mama selalu penuh, sebagai ibu sekaligus ayah buat penulis.

8. Kakak-kakak dan abang yang selalu mendukung penulis baik dalam doa dan biaya perkuliahan. Terima kasih telah berkali-kali mengingatkan penulis agar segera merampungkan studi.

9. Kawan-kawan di Komunitas Rumah Buku yang selalu mendukung. Kak Eci, Ratni, Liston, Richard, Dian, Ruth, Eka, Andi, dan semua anggota Komunitas Rumah Buku yang tak bosan-bosan ‘mendesak dan menekan’ penulis agar segera merampungkan studi.

10. Teman-teman satu angkatan, Desnita, Susi, Rencus, Rikardo, Siti, dan Lili untuk pesan-pesan kalian yang setidaknya mengingatkan permasalahan-permasalahan yang penulis tunda menuntaskannnya.

11. Teman-teman di pelayanan kaum muda GPdI PNIEL yang juga tak bosan-bosan mengingatkan penulis. Lusi, Nova, Thomas, adik-adik komsel, Bapak Gembala, dan yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

12. Adik-adik di Departemen Sastra Indonesia, Retno, Retna, Reta, Reza, Wanto, Hisyam, David, Nico, dan yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih buat dukungannya. Setidaknya kalian membuatku tidak merasa sendiri. Sendiri, bukankah itu bentuk lain dari keterasingan?

13. Ahmed dan Ahmad buat bantuannya mencari buku dan informasi tentang SGA.


(7)

14. Bang Jufri, Kak Fitri, Bang Sofian, dan semua kawan-kawan di Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan. Terima kasih buat pengertiannya dan kesempatan belajar di PKPA.

15. Kawan-kawan di Luxo Magazine. Terima kasih buat ijin merampungkan skripsi di jam-jam kerja.

Semoga Tuhan meletakkan tangan-Nya di bahu kalian atas budi baik yang telah kalian berikan.

Akhirnya, dengan kebesaran hati, penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran senantiasa penulis harapkan. Mudah-mudahan bermanfaat bagi pembaca.

Medan, Agustus 2008


(8)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN

ABSTRAK

PRAKATA

……… i

DAFTAR ISI

……… iv

BAB I

PENDAHULUAN

……… 1

1.1

Latar Belakang dan Masalah ……… 1

1.1.1

Latar Belakang

……… 1

1.1.2

Masalah

……… 4

1.2

Batasan Masalah

……… 4

1.3

Tujuan dan Manfaat Penelitian

……… 5

1.3.1

Tujuan Penelitian ……… 5

1.3.2

Manfaat Penelitian ……… 5

1.4

Metode dan Teknik Penelitian

……… 6

1.4.1

Metode dan Teknik Pengumpulan Data……… 6

1.4.2

Teknik Pengkajian Data ……… 7

1.5

Landasan Teori

……… 9

BAB II REALITAS DAN IMAJINASI DALAM KUMPULAN

CERPEN ITPM

……….………15

2.1 Realitas dan Imajinasi Sosial dalam Kumpulan

Cerpen ITPM

………15


(9)

2.1.1 Sebelum

………17

2.1.2 Ketika

………29

2.1.3 Sesudah

……….………49

2.1.4 Selamanya ………71

2.2 Realitas dan Imajinasi Politik dalam Kumpulan

Cerpen ITPM

………82

2.2.1 Sebelum

………83

2.2.2 Ketika

………99

2.2.3 Sesudah

………101

2.2.4 Selamanya ………108

BAB III SIMPULAN

………110

Daftar Pustaka

………112

Lampiran


(10)

REALITAS DAN IMAJINASI

DALAM KUMPULAN CERPEN IBLIS TIDAK PERNAH MATI

KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA

Abstrak

Penelitian ini membahas realitas dan imajinasi dalam kumpulan

cerpen Iblis Tidak Pernah Mati karya Seno Gumira Ajidarma. Tujuan

penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan mengetahui

gambaran realitas sosial dan realitas politik dan peranan imajinasi

pengarang membangun realitas yang baru dalam kumpulan cerpen

Iblis Tidak Pernah Mati. Untuk mencapai tujuan itu telah

dikumpulkan data dari kumpulan cerpen Iblis Tidak Pernah Mati

dengan menggunakan metode pembacaan heuristik dan hermeneutik

dan teknik catat pada kartu data. Setelah data terkumpul data

dianalisis dengan menggunakan teori sosiologi sastra yang

dikemukakan oleh Welek dan Warren (dalam Damono, 1979:3) dan

semiotik sosial yang dikemukakan oleh Hodge. (Hodge,1999:3)

Penelitian ini mendeskripsikan realitas politik dan sosial yang terjadi

di tengah-tengah masyarakat dan peranan imajinasi di dalam

menciptakan sebuah realitas yang baru di dalam kumpulan cerpen

Iblis Tidak Pernah Mati. Realitas yang baru tersebut dikonstruksi dari

realitas-realitas politik dan sosial yang terjadi dalam masyarakat.

Penelitian ini diharapkan bermanfaat memperkaya referensi ilmu

pengetahuan, khususnya ilmu sastra tentang realitas dan imajinasi

dalam kumpulan cerpen Iblis Tidak Pernah Mati.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang

Seorang sastrawan hidup dalam ruang dan waktu tertentu dan terlibat dengan beraneka permasalahan. Misalnya masalah masyarakat atau sebuah kondisi sosial, tempat berbagai pranata nilai di dalamnya berinteraksi. “Pengalaman dan pengamatan sastrawan terhadap lingkungan sosialnya tersebut kemudian menginspirasi lahirnya sebuah karya sastra. Sehingga, sastra bukanlah sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, melainkan sesuatu yang terikat erat dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat karya itu dilahirkan.” (Jabrohim, 2001:167)

Sebuah karya sastra dikatakan baik, apabila karya sastra tersebut mencerminkan zaman serta situasi yang berlaku dalam masyarakatnya, setelah melalui proses kreatif pengarang terhadap suatu realitas kehidupan sosial. Karya sastra yang baik juga memiliki sifat-sifat yang abadi dengan memuat kebenaran-kebenaran hakiki yang selalu ada. Hal ini sejalan dengan pernyataan Welek dan Warren (dalam Damono, 1979:3) tentang tiga unsur yang saling terkait dalam sosiologi pada sebuah karya sastra, yakni: sosiologi pengarang, karya sastra, dan permasalahan pembaca serta dampak sosial karya sastra tersebut.

Karya sastra sering dipilih menjadi wadah menampilkan realitas-reaitas karena realitas-realitas yang ada dalam kehidupan bermasyarakat sering sekali tidak mendapat apresiasi karena kepentingan tertentu. Hal ini terjadi karena situasi politik di Indonesia. Sehingga karya sastra mengambil alih peranan untuk mengangkat fakta-fakta. Seperti ditulis Seno Gumira Ajidarma, (Ajidarma,


(12)

2005:1) ”Fakta-fakta bisa diberangus, tetapi kebenaran yang dikandung sastra akan terus hidup.”

Membaca cerita-cerita Seno Gumira Ajidarma (selanjutnya disebut SGA) dalam kumpulan cerpen Iblis Tidak Pernah Mati (selanjutnya disebut ITPM) membawa ingatan pembaca pada berbagai kejadian yang telah menjadi memori bersama sebelum reformasi. Walaupun sebagai pembaca kita tidak dapat segera memperoleh pemaparan fakta atas peristiwa yang kita kenal. Realitas-realitas yang ada tersebut dibangun bukan sekadar sebagai representasi kenyataan atau faktualitas cerita. Kenyataan-kenyataan tersebut ditafsirkan kembali dengan imajinasi-imajinasi.

Karya sastra tidak terlepas dari kreasi imajinatif pengarang, maka karya sastra sebagai dokumen realitas, mesti dimaknai sebagai realitas yang mengalami proses pengendapan di dalam pemikiran pengarang. “Dalam hal ini, pengalaman pengarang yang telah mengalami proses pengamatan, perenungan, penghayatan , dan penilaian kemudian dibaluri dengan kekuatan imajinasi. Hasilnya adalah refleksi realitas imajinatif.” (Mahayana, 2005:359-360)

Imajinasi yang ada di dalam karya sastra berbeda dengan imajinasi dalam kehidupan sehari-hari, yang hanya dianggap sebagai imajinasi semata-mata. Imajinasi dalam karya sastra adalah imajinasi yang juga diimajinasikan kembali oleh seseorang, dalam hal ini adalah seorang kreator, yakni pengarang.

Menurut Nyoman Kutha Ratna, dalam bukunya Sastra dan Cultural Studies (2005), sebuah karya sastra tidaklah secara keseluruhan merupakan imajinasi. Meskipun hakikat karya seni adalah rekaan, tetapi karya seni, dalam hal ini karya sastra, dikonstruksi atas dasar kenyataan. Di dalam sebuah karya sastra


(13)

terkandung unsur-unsur tertentu yang memang merupakan fakta objektif. Pada umumnya fakta-fakta tersebut merupakan nama-nama orang, nama-nama tempat (toponim), peristiwa bersejarah, monumen, dan sebagainya. “Apabila sebuah karya sastra terbangun atas imajinasi saja, karya tersebut pada gilirannya tidak akan dapat dianalisis, tidak dapat dipahami secara benar, sebab tidak memiliki relevansi sosial. Karena itu hakikat karya sastra adalah imajinasi dan kreativitas.” (Ratna, 2005:315)

Mekipun imajinasi tersebut didasarkan atas kenyataan, imajinasi tersebut tidaklah sama dengan kenyataan yang dilukiskan. Imajinasi pada gilirannya mengatasi objek-objek, sebagai kualitas transendental. Sifat-sifat transendental ini diperoleh karena imajinasi memiliki kemampuan untuk menampilkan kembali, memplotkan berbagai bentuk yang diperoleh dari berbagai sumber. Apakah itu dari pengalaman praktis sehari-hari, pengalaman teknologis dengan membaca buku dan media massa, dan kemampuan mengadakan kontemplasi.

Inilah yang menjadikan ITPM menarik untuk dianalisis. Membaca ITPM membawa ingatan pembacanya pada berbagai peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di Indonesia. Fakta-fakta yang disajikan dalam ingatan tersebut, tidaklah sama persis dengan kenyataan-kenyataan sejarah. Inilah daya tariknya. Bagaimana realitas dan imajinasi dibangun, bagaimana kenyataan didisain melepaskan diri dari kungkungan faktualitas peristiwa, dan bagaimana mengkomunikasikan keduanya pada satu proses antar hubungan yang bermakna.

Pembahasan terhadap karya-karya SGA telah banyak dilakukan oleh para sastrawan, peneliti, maupun peminat dan pemerhati sastra, terutama karyanya Jazz, Parfum, dan Insiden dan Saksi Mata. Sedangkan penelitian terhadap ITPM


(14)

belum banyak dilakukan. Sejauh yang peneliti ketahui, belum ada penelitian yang mendalam terhadap kumpulan cerpen ITPM. Penelitian sepintas pada salah satu cerpen di dalam ITPM, Kematian Paman Gober, pernah dilakukan oleh Kris Budiman. Oleh karena itu, penulis merasa sangat perlu untuk mengkaji kumpulan cerpen ITPM.

1.1.2 Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang diteliti adalah: 1. Realitas apa saja yang ada di dalam kumpulan cerpen ITPM?

2. Bagaimana peran imajinasi membangun realitas yang baru dalam kumpulan cerpen ITPM?

1.2 Batasan Masalah

Sebuah karya sastra akan sulit diteliti tanpa adanya batasan masalah. Pokok bahasan akan menjadi terlalu luas, dikhawatirkan penelitian akan menyimpang dari tujuan yang hendak dicapai. Suatu penelitian akan mudah dianalisis dengan membatasi masalah pada ruang lingkup penelitian yang akan dibahas. Karena masalah-masalah di atas sangat luas ruang lingkupnya, oleh sebab itu penulis membatasinya sebagai berikut:

1. Realitas sosial yang digambarkan di dalam ITPM dan bagaimana imajinasi kreator (pengarang) membentuk realitas sosial yang baru dalam kumpulan cerpen ITPM.

2. Realitas politik yang digambarkan di dalam ITPM, menyangkut peristiwa-peristiwa politik yang pernah terjadi di Indonesia yang


(15)

diangkat sebagai realitas di dalam ITPM dan bagaimana imajinasi kreator (pengarang) membentuk realitas yang baru dalam kumpulan cerpen ITPM.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mendeskripsikan dan mengetahui gambaran realitas sosial dan politik yang ada dalam kumpulan cerpen ITPM.

2. Untuk mengetahui bagaimana peran imajinasi pengarang membangun realitas yang baru dalam kumpulan cerpen ITPM.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Sebuah penelitian dikatakan berhasil apabila bermanfaat bagi peneliti, ilmu pengetahuan, dan masyarakat. Oleh sebab itu, hasil penelitian ini diharapkan akan dapat bermanfaat:

1. Menambah wawasan pembaca dan peneliti tentang realitas dan imajinasi yang ada dalam kumpulan cerpen ITPM.

2. Memperkaya referensi ilmu pengetahuan, khususnya ilmu sastra tentang realitas dan imajinasi dalam kumpulan cerpen ITPM.

3. Menjadi sumber masukan bagi peneliti berikutnya tentang realitas dan imajinasi dalam karya sastra.

4. Memberikan pemahaman kepada pembaca mengenai perbedaan antara realitas sosial dengan realitas yang ada dalam karya sastra.


(16)

5. Menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat pembaca tentang bagaimana imajinasi seorang pengarang bekerja, mengadaptasikan realitas sosial menjadi realitas yang baru dalam sebuah karya sastra.

1.4 Metode dan Teknik Penelitian

1.4.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini dikumpulkan dari kumpulan cerita pendek (cerpen), yaitu:

Judul : Iblis Tidak Pernah Mati

Kumpulan cerpen ini tersusun atas 15 buah cerpen yang terbagi ke dalam empat subjudul, yaitu “Sebelum” (terdiri dari lima cerita), “Ketika” (terdiri dari dua cerita), “Sesudah” (terdiri dari tujuh cerita), dan “Selamanya” (terdiri dari 1 cerita).

Karya : Seno Gumira Ajidarma Penerbit : Galang Press, Yogyakarta Tebal Buku : 264 Halaman

Cetakan : III, tahun 2004

Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan melalui metode membaca heuristik dan hermeneutik. Membaca karya sastra sebagaimana yang dikemukakan oleh Riffaterre (Jabrohim, 2001:12), “dimulai dengan langkah-langkah heuristik, yaitu pembacaan dengan jalan meniti tataran gramatikalnya dari segi mimetisnya dan dilanjutkan dengan pembacaan retroaktif, yaitu bolak-balik


(17)

sebagaimana yang terjadi pada metode hermeneutik untuk menangkap maknanya.”

Dikatakan dalam Luxemburg (1992:63) bahwa beberapa ahli hermeneutika seperti Emil Staiger (1995), mendukung pendapat mengenai penafsiran. “Seorang juru tafsir ‘yang mempunyai perasaan halus mengenai bahan yang bersangkutan’ dapat mengungkapkan arti sebuah teks seluruhnya karena ia menghayati materinya.”

Hermeneutika yang pada awalnya digunakan untuk memahami agama, maka metode ini dianggap tepat untuk memahami karya sastra. “Karena selain menggunakan bahasa sebagai mediumnya, sastra merupakan kebenaran imajinasi. Sedangkan agama adalah kebenaran keyakinan. Keyakinan dan imajinasi tersebut, keduanya tidak dapat dibuktikan, melainkan harus ditafsirkan.” (Ratna, 2004:46) Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik catat pada kartu data.

Data-data yang diperoleh dari pembacaan heuristik dan hermeneutik tentang situasi-situasi dan kejadian-kejadian yang menyangkut masalah realitas dan imajinasi kemudian dicatat pada kartu data.

1.4.2 Metode dan Teknik Pengkajian Data

Analisis data tidak dilakukan per cerpen, tetapi per butir masalah yang telah dirumuskan sebelumnya. Jadi, analisis data dikerjakan secara utuh dan menyeluruh. Analisis data dilakukan dengan langkah-langkah berikut:

a. Peneliti membaca data yang telah dikumpulkan untuk memahaminya secara keseluruhan.


(18)

b. Peneliti akan mengidentifikasikan dan mengklasifikasikan seluruh data berdasarkan butir masalah, tidak melihat bagian per bagian.

c. Peneliti kembali menafsirkan seluruh data untuk menemukan kepaduan dan hubungan antar data, sehingga diperoleh pengetahuan secara utuh tentang makna karya tersebut.

Teknik pengkajiannya dengan menggunakan kode-kode pada kartu data untuk mempermudah pengklasifikasian data. Data yang telah terkumpul kemudian diinterpretasikan sehingga terjalin antarstruktur yang saling berkaitan. Hasil yang diperoleh berupa uraian penjelasan karena penelitian ini bersifat deskriptif. Analisis deskriptif adalah data-data yang telah diperoleh akan dianalisis, kemudian hasil analisis tersebut akan dideskripsikan. Untuk mempermudah deskripsi, penulis mencantumkan asal data pada penganalisisan data.

Berikut ini contoh pendeskripsian data tentang realitas apa yang dibangun dalam cerpen ITPM:

Data : Maka hari-hari pun berlalu tanpa pergantian pimpinan. Demokrasi berjalan, tapi tidak memikirkan pimpinan, karena memang hanya ada satu pemimpin. Segenap pengurus bisa dipilih berganti-ganti, namun kedudukan Paman Gober tidak pernah dipertanyakan. Para pelajar seperti Kwak, Kwik, dan Kwak menjadi bingung bila membandingkannya dengan sejarah kepemimpinan kota-kota lain. Kota Bebek seolah-olah memiliki pemimpin abadi. Generasi muda yang lahir setelah Paman Gober


(19)

berkuasa bahkan sudah tak mengerti lagi. Apakah pemimpin itu memang bisa diganti. Mereka pikir keabadian Paman Gober sudah semestinya. (dalam cerpen Kematian Paman Gober, Hlm. 10) Analisis :

Ini adalah realitas politik di dalam kumpulan cerpen ITPM, realitas imajinasi pengarang, bahwa di sebuah negeri yang disebut-sebut sebagai Kota Bebek dalam cerita ini, terdapat seorang pemimpin yang kedudukannya seolah-olah abadi dan tidak tergantikan. Pemimpin tersebut sudah memimpin kota tersebut dari generasi ke generasi. Kedudukannya tidak tergantikan, walaupun demokrasi seolah-olah berjalan.

Realitas sesungguhnya :

Realitas politik di dalam kumpulan cerpen ITPM ini diangkat dari sebuah realitas politik di Indonesia. Tentang pemerintahan Orde Baru yang berlangsung selama 32 tahun. Hanya ada satu orang pemimpin yang seolah-olah tidak tergantikan. Walaupun demokrasi seseolah-olah-seolah-olah berjalan karena ada pemilihan umum.

1. 5 Landasan Teori

Dalam sebuah penelitian perlu ada landasan teori yang mendasarinya karena landasan teori merupakan kerangka dasar sebuah penelitian. Landasan teori yang digunakan diharapkan mampu menjadi tumpuan seluruh pembahasan.

Objek karya sastra adalah realitas kehidupan. Apabila realitas itu adalah sebuah peristiwa sejarah, karya sastra mencoba menerjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imajiner dengan maksud memahami peristiwa sejarah tersebut


(20)

menurut kemampuan pengarang. Karya sastra juga dapat menjadi sarana bagi pengarang untuk menyampaikan pikiran, perasaaan, ataupun tanggapannya terhadap peristiwa sejarah.

Seperti disebutkan di atas bahwa objek karya sastra adalah realitas sosial dan realitas yang terdapat dalam kumpulan cerpen ITPM adalah sebuah realitas sosial yang dibaluri dengan imajinasi pengarang, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan sosiologi sastra.

“Sastra adalah lembaga sosial yang menampilkan gambaran kehidupan yang mencakup hubungan antarmasyarakat, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi di dalam batin seseorang.” (Damono, 1979:1)

Selain berfungsi sebagai penyampaian ide, pengalaman, dan sistem berfikir, sastra juga berfungsi sebagai wadah sastrawan untuk menyampaikan aspirasi tentang kehidupan manusia.

Menurut Nyoman Kutha Ratna, ada beberapa alasan mengapa sastra memiliki kaitan yang erat dengan masyarakat dan dengan begitu sastra harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat.

“Alasan-alasan tersebut adalah:

1. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat.

2. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.

3. Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan.

4. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat,dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut.


(21)

5. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.” (Ratna 2004:332-333)

Menurut Damono (1979:3-4) bahwa pendekatan sosiologis ini pengertiannya mencakup berbagai pendekatan, masing-masing didasarkan pada sikap dan pandangan teoritis tertentu, namun semua pendekatan ini menunjukkan satu ciri kesamaan, yaitu mempunyai perhatian terhadap sastra sebagai institusi sosial yang diciptakan oleh sastrawan sebagai anggota masyarakat.

Sosiologi dan sastra memiliki kesamaan permasalahan, yakni sama-sama berurusan dengan manusia. Namun demikian, tidak berarti kedua bidang tersebut dapat disamakan begitu saja. Seorang sosiolog hanya dapat melihat fakta berdasarkan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat. Sedangkan sastrawan dengan imajinasinya mampu mengungkapkan keberadaan manusia dalam sebuah kenyataan. Seorang sosiolog hanya mampu mengungkapkan kenyataan dengan apa adanya.

Sosiologi sastra, dengan menggabungkan dua disiplin ilmu yang berbeda, sosiologi dan sastra secara harfiah harus didukung oleh dua teori yang berbeda, yaitu teori-teori sosiologi dan teori-teori sosiologi dan teori-teori sastra, di dalam penelitian sosiologi sastra itu sendiri, karya sastra merupakan objek yang paling dominan, sedangkan ilmu-ilmu lain hanyalah sebagai ilmu bantu. Hal ini sesuai dengan pendapat Ratna (2004:338-339) yang menyatakan bahwa “masalah yang perlu dipertimbangkan adalah dominasinya dalam analisis sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat tercapai secara maksimal.” Dalam sosiologi sastra yang mendominasi jelas adalah teori-teori yang berkaitan dengan sastra, sedangkan teori-teori yang berkaitan dengan sosiologi berfungsi sebagai komplementer (pelengkap).


(22)

Ratna (2004:338) juga mengatakan bahwa “karya sastra sesuai dengan hakikatnya, yaitu kreatifitas dan imajinasi, mampu menghadirkan dunia lain yang berbeda dengan dunia kehidupan sehari-hari.” Inilah aspek sosial karya sastra, di mana karya sastra diberikan kemungkinan yang sangat luas untuk mengakses emosi, obsesi, dan berbagai kecenderungan yang tidak mungkin tercapai dalam kehidupan sehari-hari. Selama membaca karya sastra, pembaca bebas menjadi raja, dewa, perampok, dan berbagai sublimasi lain. Bakhtin (dalam Ratna, 2004:338) menyebutkan ciri-ciri manusia itu sebagai karnaval, manusia berganti rupa melalui topeng. Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik suatu gambaran bahwa kedua ilmu tersebut mempunyai satu objek penelitian yang sama yakni manusia.

Swingewood (dalam Damono, 1979:14) juga mengatakan bahwa dalam melakukan analisis sosiologis terhadap karya sastra, kritikus harus berhati-hati mengartikan slogan sastra adalah cerminan masyarakat. Karena pernyataan ini seringkali melupakan pengarang, kesadaran, dan tujuannya. Swingewood menyadari bahwa sastra diciptakan pengarang dengan menggunakan seperangkat peralatan tertentu, misalnya imajinasi. Imajinasi ini telah mengendapkan realitas yang ditangkap pengarang ke dalamnya, sehingga realitas yang baru tersebut tidaklah mutlak murni realitas masyarakat sesungguhnya.

Penulis memilih teori sosiologi sastra, karena dengan menggunakan teori ini akan diketahui dengan jelas penggambaran suatu masyarakat, realitas di dalam karya sastra. Selain itu, dengan sosiologi sastra, karya sastra dapat dikaji dengan memfokuskan perhatian kepada segi-segi sosial kemasyarakatan, realitas masyarakat dalam karya sastra. Pendekatan terhadap karya sastra yang


(23)

mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatan tersebut oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra. Istilah ini pada dasarnya tidak berbeda penegertiannya dengan sosiosastra, pendekatan sosiologis, atau pendekatan sosiokultural terhadap karya sastra.

Untuk menganalisis realitas dan imajinasi dalam kumpulan cerpen ITPM ini diperlukan juga pemahaman tentang tanda. Pengarang banyak menggunakan tanda-tanda –sebagai rangkaian imajinasi pengarang- untuk melukiskan realitas sosial dan politik masyarakat dalam kumpulan cerpen ITPM. Untuk menemukan makna di balik tanda-tanda tersebut, penelitian ini juga akan menggunakan teori semiotik, yakni semiotik sosial. “Semiotik adalah ilmu tanda. Istilah tersebut berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti tanda. Tanda ada di mana-mana: kata adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera, dan sebagainya.” (Sudjiman, 1996: vii)

Semiotik sebagai ilmu tentang tanda, menganggap bahwa fenomena sosial/ masyarakat dan kebudayaan itu sebagai tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. “Dalam lapangan kritik sastra, penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) wacana mempunyai makna. “ (Preminger, dalam Jabrohim, 2001: 71)

Voloshinov (dalam Hodge: 1999:10) mengatakan bahwa bentuk tanda ditentukan oleh organisasi sosial serta partisipan yang terlibat dan juga oleh kondisi interaksi mereka. Voloshinov menciptakan suatu hubungan yang sangat


(24)

dekat antara semiotik dan studi ideologi. Bahwa segala sesuatu secara ideologis memiliki nilai semiotik.

Dengan menggunakan semiotik sosial, pesan yang hendak disampaikan pengarang tentang realitas dan imajinasi di dalam kumpulan cerpen ITPM dapat dianalisis. Pesan tersebut adalah sesuatu yang dihubungkan dengan dunia yang diacu, dan maknanya diturunkan fungsi mimetik yang terbentuk yang disebut mimetic plane. (Hodge, 1999:3)


(25)

BAB II

REALITAS DAN IMAJINASI DALAM KUMPULAN CERPEN IBLIS TIDAK PERNAH MATI

2.1 Realitas dan Imajinasi Sosial dalam Kumpulan Cerpen ITPM

Karya sastra haruslah memberikan gambaran yang bebas terhadap berbagai kondisi kemasyarakatan yang terjadi. Karya sastra memegang peranan sosial yang besar untuk mengungkapkan nilai-nilai yang bermanfaat bagi penyempurnaan kehidupan manusia. Objek karya sastra adalah realitas kehidupan, meskipun dalam menangkap realitas tersebut, seorang sastrawan mengambilnya secara acak. “Pengarang mengemukakan hal itu berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Namun, hal itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya sekaligus memasukkan unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia” (Nurgiyantoro, 2007:3).

Menurut Semi (1984:2), “Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.” Sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam segi kehidupannya maka ia tidak saja merupakan suatu ide untuk menyampaikan ide, teori, dan sistem berpikir manusia. Sastra harus mampu pula menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan tentang kehidupan manusia.

Apabila realitas itu adalah sebuah peristiwa sejarah, maka karya sastra mencoba menerjemahkan peristiwa itu ke dalam bahasa imajiner dengan maksud memahami peristiwa sejarah menurut kemampuan pengarang. Karya sastra juga


(26)

dapat menjadi sarana bagi pengarang untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan tanggapannya terhadap peristiwa sejarah. Karya sastra dapat menjadi penciptaan kembali peristiwa sejarah dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang.

Menurut Sumardjo dan Saini KM (1991: 9), “Karya sastra merupakan pantulan atau cermin dari realitas kehidupan sosial masyarakat. Sebuah karya sastra yang baik memiliki sifat-sifat yang abadi dengan memuat kebenaran-kebenaran hakiki yang selalu ada selama manusia ada.”

Karya sastra merupakan gambaran sosial yang ada dalam pikiran pengarang dan didukung oleh proses kreatif dan imajinasi. Karya sastra merupakan proses kreatif pengarang terhadap realitas dan kehidupan sosial masyarakatnya. “Walaupun kenyataan di dalam karya sastra tidak selalu sama dengan kenyataan yang ada di tengah masyarakat, hal tersebut merupakan sebagian proses kreatif pengarang. Beberapa ahli mendefenisikan bahwa sastra adalah pengungkapan dari apa yang dilihat dan dirasakan manusia tentang kehidupan.” (Hardjana, 1981:10)

Di dalam kumpulan cerpen ITPM ini realitas kehidupan masyarakat yang ditampilkan adalah realitas sosial dan realitas politik. Realitas-realitas yang diangkat di di dalam kumpulan cerpen ini merangkum peristiwa-peristiwa sosial dan politik yang terjadi di Indonesia sebelum reformasi terjadi, saat reformasi terjadi yakni tahun 1999, dan setelah reformasi terjadi.

Perangkaian cerpen-cerpen dalam ITPM ditulis secara linear kronologis. Sub-sub judulnya menunjukkan hal ini, yakni “Sebelum”, “Ketika”, “Sesudah”, dan “Selamanya”. Pengurutan sub-sub judul ini menjadi dasar pertanyaan untuk mencari tahu peristiwa apakah yang disodorkan kepada pembaca sebagai sebuah


(27)

kenyataan. Sebab kalau sudah ada “Sebelum” dan “Sesudah” pastilah ada “Ketika”-nya, yakni terjadinya sebuah peristiwa. Peristiwa apakah tersebut dan peristiwa apa pula yang “Selama”-nya terjadi?

Jawaban pertanyaan tersebut ada pada pembacaan cerpen “Jakarta Suatu Ketika” yang terdapat dalam subbab “Ketika”. Cerpen ini merujuk kepada dunia di luar dirinya dengan cara literal-representasional, yakni kepada peristiwa kerusuhan rasial yang terjadi di Jakarta yang dikenal sebagai Peristiwa Mei 1998.

Setelah membaca cerpen “Jakarta Suatu Ketika” pembaca baru menyadari bahwa peristiwa yang ingin disodorkan kepada pembaca adalah Peristiwa Mei 1998. Peristiwa ini merupakan rangkaian peristiwa menyusul lengsernya Soeharto, yakni kerusuhan, penjarahan, dan pemerkosaan massal. Jadi cerpen-cerpen yang dimuat pada bagian “Sebelum” adalah cerpen-cerpen-cerpen-cerpen yang mengisahkan beberapa peristiwa pralengsernya Soeharto dan “Sesudah” merupakan peristiwa pasca kerusuhan, pada bulan-bulan berikutnya.

Realitas sosial yang ingin diangkat di dalam kumpulan cerpen ITPM adalah kondisi-kondisi sosial masyarakat pada masa tersebut, sebelum, saat, dan sesudah reformasi. Realitas-realitas yang ada di dunia nyata tersebut disajikan pengarang menjadi sebuah realitas yang baru dalam karya sastra.

2.1.1 Sebelum

Subbab “Sebelum” terdiri dari lima buah cerpen. Yakni “Kematian Paman Gober”, “Dongeng Sebelum Tidur”, “Sembilan Semar”, “Pada Suatu Hari Minggu”, dan “Taksi Blues”. Cerpen-cepen pada bagian ini menceritakan situasi sosial yang terjadi di Indonesia sebelum reformasi.


(28)

a. Sistem Pendidikan yang Buruk

Pendidikan seharusnya mencerdaskan kehidupan bangsa. Paolo Fraire menyebutnya sebagai pendidikan yang membebaskan. Membebaskan manusia dari kebodohan dan eksploitasi dari pihak-pihak lain. Di dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia ditulis bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara Indonesia.

Salah satu permasalahan sosial yang ditampilkan sebagai realitas sosial di dalam kumpulan cerpen ITPM ini adalah tentang bobrok nya sistem pendidikan di Negeri Bebek, latar tempat terjadinya peristiwa tersebut. Negeri Bebek adalah sebuah negeri, tempat para tokoh utama Donal, Paman Gober, dan keponakan-keponakan Donal, Kwak, Kwik, dan Kwek tinggal. Kisah ini hipogramnya adalah salah satu karya Walt Disney.

Di negeri yang disebut sebagai Negeri Bebek tersebut, terdapat satu tokoh yang sangat berpengaruh dan berkuasa. Bukan karena perangainya yang sangat baik, melainkan karena kekuasaan dan kekayaannya. Tokoh tersebut adalah Paman Gober. Ia sangat pelit dan rakus, namun justru dijadikan sebagai teladan baru bagi generasi muda. Riwayat hidupnya ditulis dan dibaca di sekolah-sekolah. Bahkan otobiografinya dijadikan bacaan wajib bagi para bebek yang ingin sukses. Padahal dalam setiap bab tersebut yang diceritakan adalah bagaimana kisah Paman Gober memburu kekayaan.

“Kalimat semacam itu masuk dalam buku otobiografinya, Pergulatan Batin gober Bebek, yang menjadi bacaan wajib bebek-bebek yang ingin sukses. Hampir tiap bab dalam buku itu mengisahkan bagaimana Paman Gober memburu kekayaan. Mulai dari harta karun bajak laut, pulau emas, sampai sayuran yang membuat bebek-bebek giat bekerja, meski tidak diberi upah tambahan.” (Kematian Paman Gober, ITPM:7)


(29)

Paman Gober benar-benar dijadikan idola dan dielu-elukan. Semua dilakukannya dianggap sebagai sebuah kebenaran, meskipun sebagai seorang paman ia bukanlah paman yang baik bagi Donal. Donal sering diperas tenaganya, ditahan haknya. Sebagai warga masyarakat, Paman Gober tidak peduli kepada orang lain. Sebagai sorang pemimpin ia memeras tenaga buruh. Tetapi justru figur seperti inilah yang dijadikan teladan. Ditulis kisahnya, dijadikan bacaan wajib, dan dicintai kanak-kanak sedunia. Inilah yang sangat memprihatinkan Nenek Bebek, sesepuh Kota Bebek.

Sistem pendidikan sudah sedemikian buruknya. Seolah-olah tidak ada figur lain yang lebih pantas diteladani. Sistem pendidikan yang semakin modern seharusnya mencerdaskan dan memanusiakan manusia. Kekhawatiran Nenek Bebek adalah generasi-generasi muda nantinya ingin menjadi seperti Paman Gober.

“Dan itulah celakanya –kanak-kanak mencintai Paman Gober. Riwayat hidup Paman Gober dibikin komik dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Bebek terkaya yang sangat pelit dan rakus ini menjadi teladan baru. Nenek Bebek tidak habis pikir, mengapa pendidikan, yang mestinya semakin canggih, membolehkan pekerti seperti ini. Generasi muda ingin meniru Paman Gober,menjadi bebek yang sekaya-kayanya, kalau bisa paling kaya di dunia.” (Kematian Paman Gober, ITPM:10)

Realitas di dalam kumpulan cerpen ini diangkat dari pendidikan masyarakat Indonesia sebelum terjadinya reformasi. Tokoh Paman Gober mengingatkan kita pada mantan presiden RI, Soeharto. Pada masa kekuasaan rezim Orde Baru (Orba) Soeharto begitu dipuja-puja. Namanya tercatat sebagai seorang pembuat sejarah. Pemegang amanah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Namanya juga ditulis dalam buku-buku sejarah bacaan anak-anak sekolah sebagai pahlawan dalam peristiwa pemberontakan G30S/PKI.


(30)

Sejarah telah ditulis. Buku-buku bacaan wajib di dunia pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan para penguasa. Kebohongan-kebohongan sejarah terjadi. Fakta-fakta sejarah banyak yang diputarbalikkan. Tujuannya untuk melanggengkan kekuasaan. Goenawan Mohammad dalam tulisannya di Majalah Tempo edisi 5 tahun reformasi mencatat bahwa rezim Orba mirip sebuah mania untuk mengarahkan. Segala sesuatu sudah ditentukan dari atasan. Dari atasanlah ditentukan siapa yang akan duduk di Mahkamah Agung, Pimpinan ABRI, politik, organisasi buruh, wartawan, kamar dagang, termasuk dalam hal sejarah dan materi dunia pendidikan.

Menurut Sejarawan Taufik Abdullah (dalam Majalah Tempo Edisi 25 Mei 2003) buku Sejarah Nasional Indonesia jilid I-IV yang telah ditulis sejak 28 tahun silam adalah buku sejarah yang didominasi oleh semangat pembenaran para penguasa dan sangat Jawasentris, isinya pun dipertentangkan kebenarannya.

Realitas dunia pendidikan di Indonesia ini dikemas dengan menjadikan komik Walt Disney sebagai hipogramnya. Tokoh Paman Gober yang selama ini memberi kesan lucu sewaktu membaca komiknya, kini menjadi sebuah ironi. Dipertanyakan ulang, kenapa harus menggemari Paman Gober yang notabene sangat pelit, arogan, egois, dan tak layak menjadi teladan. Lewat imajinasinya SGA membangun sebuah realitas baru dalam cerpen “Kematian Paman Gober”. Soeharto diimajinasikan sebagai Paman Gober.

Lebih jauh SGA mempertanyakan kebenaran sejarah dalam dunia pendidikan. Bagaimana dunia pendidikan telah membangun image pahlawan (hero) pada seorang tokoh lewat kebohongan-kebohongan sejarah sesuai


(31)

kepentingan penguasa (otobiografi Paman Gober yang dijadikan bacaan wajib di sekolah).

b. Dekadensi Moral

Dekadensi moral atau kemerosotan moral adalah kondisi masyarakat yang tidak lagi memperhatikan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Baik norma sosial, norma adat, dan norma agama.

Potret sosial yang juga ditampilkan di dalam kumpulan cerpen ITPM sebelum reformasi adalah terjadinya penurunan kualitas moral masyarakat. Masyarakat kota, yang menjadi tempat terjadinya peristiwa, yakni Jakarta mengalami dekadensi moral. Norma-norma menjadi tidak lagi penting. Perselingkuhan menjadi hal yang biasa. Bahkan perselingkuhan dengan seorang rekan bisnis, wanita bersuami menjadi sebuah prestasi bagi kehidupan modern kota. Problem sosial ini merupakan gejala abnormal, penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma sosial. SGA menyebut penyimpangan-penyimpangan tersebut sebagai “gemblung”

“Jadi yang naksir aku tuan-tuan mereka?” “Iya!”

“Hmmhh! Orasudi!”

“Lho, siapa yang bilang harus sudi?”

“Apa mereka tidak tahu aku ini punya suami?” “Lha, itu makanya!”

“Makanya kenapa?” “Malah kepingin.” “O, dasar gemblung!”

“Orang Jakarta kan memang gemblung nyonya.” (Dongeng Sebelum Tidur, ITPM: 15-16)

Dalam cerpen “Taksi Blues” SGA menggambarkan ketidakpahamannya terhadap pemikiran orang-orang kota dengan sebuah pertanyaan “siapakah yang betul-betul kita kenal di kota ini? Apakah yang betul-betul bisa kita pahami di


(32)

sini?” Masyarakat kota adalah masyarakat yang tidak dapat dipahami. Tidak ada yang benar-benar dapat dikenali. Kehidupan di kota besar hanyalah seperti bayang-bayang malam. Tidak terpahami, sebuah ketidakpastian. Namun setiap mereka yang tinggal di sana sudah terbiasa dengan kondisi tersebut. Seperti berikut ini:

“Ketika kuputar taksiku, kulihat mereka bertiga memandangi rumah mewah itu, sebelum akhirnya melangkah ke sana. Malam begitu sepi, begitu kelam. Aku tidak terlalu salah. Kota ini isinya orang-orang misterius. Siapakah yang betul-betul bisa kita kenal di kota ini? Apakah yang betul-betul bisa kita pahami di sini? Malam hanyalah bayang-bayang. Tapi aku suka bayang-bayang-bayang. Aku suka masuk ke balik kelam.” (Taksi Blues, ITPM: 73)

Realitas sosial dalam kumpulan cerpen ini berangkat dari realitas sosial masyarakat kota Jakarta. Sudah tidak menjadi rahasia lagi, bagi masyarakat kota seperti Jakarta, kawin-cerai adalah hal yang lumrah. Perselingkuhan juga hal yang dimaklumi. Sehingga sekitar tahun 2000 istilah SII (Selingkuh Itu Indah) begitu populer.

Peristiwa ini diangkat menjadi sebuah peristiwa yang baru dalam kumpulan cerpen ITPM dengan imajinasi pengarang. Kehidupan kota yang tidak terpahami, penuh dengan ketidakpastian tersebut diimajinasikan sebagai bayang-bayang malam. Sebuah kehidupan di balik kelam. Budaya selingkuh di masyarakat kota tersebut dituturkan oleh seorang supir kepada majikan (nyonyanya). Menggambarkan betapa budaya selingkuh tersebut telah menjadi rahasia umum.

c. Penggusuran

Penggusuran adalah tindakan yang dilakukan oleh pemerintah kota atau daerah untuk memindahkan bangunan-bangunan dan pemukiman penduduk yang


(33)

dianggap tidak sesuai dengan rencana tata kota atau dibangun di tanah milik negara.

Banyaknya terjadi penggusuran adalah sebuah realitas yang terjadi di Jakarta pada tahun-tahun menjelang terjadinya reformasi di Indonesia. Penggusuran warga-warga dari tanah negara mewarnai tahun-tahun sebelum reformasi. Realitas inilah yang diangkat di dalam kumpulan cerpen ini.

Kenyataan baru dalam cerpen ini dimulai dari kisah pengakuan seorang ibu. Seorang ibu yang tergusur dari tempat tinggalnya. Tempat ia, keluarga, dan anak-anak cucunya telah tinggal selama 31 tahun. Walaupun tanah tersebut adalah tanah negara, si ibu telah tinggal sangat lama dan merasa tempat tersebut adalah kampung halaman baginya dan bagi anak cucunya. Apalagi si ibu bukanlah warga liar. Ia mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan rajin membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) seperti halnya warga negara.

Rumah mereka dibongkar dan dibakar. Hasil kerja keras selama berpuluh tahun turut terbakar bersama rumah mereka, tidak banyak yang dapat diselamatkan. Ganti rugi yang mereka dapatkan hanya Rp. 400.000,- Jumlah yang tidak cukup untuk jaminan kehidupan satu bulan atau sekadar untuk kontrak rumah. Mereka menuntut keadilan. Warga yang digusur rumahnya marah dan melawan.

“Ibunya menghela nafas. Di manakah batas antara dongeng dan kenyataan?

“Dengarlah Sari, cerita ini dimulai dengan pengakuan seorang ibu.” Lantas ibunya membaca berita itu.

Saya sudah tinggal di sini sejak usia delapan tahun sampai memiliki tiga anak dan seorang cucu. Tiba-tiba saja, pada usia yang ke-39 sekarang ini – jadi setelah 31 tahun hidup di sini, setelah saya makin merasa bahwa inilah kampung halaman saya, kampung halaman anak-anak dan cucu saya- saya dipaksa pindah dan hanya diberi uang Rp. 400.000. Siapa yang tidak marah diperlakukan seperti itu? Adilkah ganti rugi dengan nilai


(34)

sekecil itu? Saya bersama suami saya memang tinggal di atas tanah negara. Tapi saya punya KTP, taat membayar PBB dan tak pernah melawan pemerintah. Kini, setelah rumah saya terbakar dan dibongkar, setelah barang-barang kami rusak semua, kami tidak memiliki apa-apa lagi. Seharusnya mereka tidak membiarkan kami seperti ini, kami juga tidak tahu harus ke mana setelah ini. Apa yang bisa saya lakukan sekarang hanyalah mengungsikan sebagian anak-anak saya. Saya kini menunggu kepastian. Uang Rp 400.000 untuk kontrak sebuah keluarga yang layak, sangat tidak cukup. Uang sebesar ini hanya bisa dipakai untuk kontrak rumah ala kadarnya selama tiga bulan. Ini pun kalau belum naik, dan jika uang itu hanya dipakai untuk kontrak rumah saja. Bagaimana jika kami harus menyewa truk untuk mengangkat sisa barang kami? Saya juga meragukan bisa tinggal di rumah susun. Untuk membayangkan saja belum pernah, apalagi mempercayai janji bahwa kami bisa hidup lebih baik di rumah susun itu nanti.” (Dongeng Sebelum Tidur, ITPM: 19-21)

Membaca cerpen “Dongeng Sebelum Tidur” ini menggoda kita untuk mencari referensi atau acuan di luar cerita yakni di dunia nyata, peristiwa-peristiwa historis di luar teks. Cerpen ini mengajak kita pergi kepada teks lain. Yakni surat kabar, yang pada gilirannya mengacu pada sebuah peristiwa aktual (dunia ekstra-tekstual), peristiwa penggusuran di Bendungan Hilir (Benhil) pada tahun 1994. Kutipan kisah pengakuan dari ibu tersebut juga diangkat SGA dari sebuah surat kabar harian Nasional Republika, Minggu 16 Oktober 1994, halaman 2, “Mereka Bicara Soal Benhil”.

Ketidakadilan yang dialami warga di daerah Bendungan Hilir inilah yang diangkat SGA. Padahal sebenarnya dalam undang-undang pertanahan, walaupun tinggal di tanah negara, sudah berpuluh tahun dan taat membayar pajak, mereka tidak dapat digusur dengan semena-mena. Apalagi dengan ganti rugi yang tidak layak.

Realitas ini disajikan SGA dengan menjadikannya sebagai sebuah dongeng pengantar tidur seorang ibu kepada anaknya bernama Sari. Awalnya dongeng yang dikisahkan si ibu setelah membaca sebuah berita di surat kabar ini,


(35)

hanya karena si ibu kehabisan stok cerita. Dongeng yang disampaikan kali ini sangat berbeda dengan dongeng yang biasa diceritakannya. Bukan tentang sebuah negeri khayalan di mana ada seorang puteri cantik, seorang pangeran tampan, dan selalu diakhiri dengan klausa “dan mereka pun hidup bahagia selamanya”.

Hari itu, ibu Sari bercerita tentang kenyataan. Kenyataan yang membuat Sari terperangah dan tidak dapat tidur. Kenyataan yang baru tentang penderitaan masyarakat yang tergusur. Kenyataan yang menyesakkan. Setelah selesai bercerita Ibu Sari merasa habis berlari lama sekali sehingga ia terengah-enggah. (hlm. 22) Membuatnya bertanya di dalam hati, “Dimanakah batas antara dongeng dan kenyataan?”

“Dongeng-dongeng sebelum tidur yang diceritakan ibunya biasanya sangat romantis, indah, dan membayangkan suatu alam yang tenang. Tapi kini debu mengepul dalam bayangan sari, buldozer menggasak tembok-tembok rumah penduduk, dalam waktu singkat satu kampung menjadi rata dengan tanah. Ibu-ibu diseret, anak-anak menangis, dan bapak-bapak berkelahi melawan para petugas. Sari memejamkan mata, namun ibunya terus bercerita tentang kebakaran yang berkobar-kobar, jeritan orang-orang yang kehilangan rumah, dan terik matahari yang seakan menjadi lebih menyengat dari biasanya.” (Dongeng Sebelum Tidur, ITPM: 21) Situasi yang menyesakkan tersebut digambarkan dengan terik matahari yang seakan lebih menyengat dari biasanya. Imajinasi pembaca dibawa kepada imajinasi pengarang. Melihat realitas yang ditampilkan di dalam teks tentang penggusuran, perlawanan warga, jerit tangis, dan air mata orang-orang yang kehilangan tempat tinggalnya.

d. Mental “Bebek” Masyarakat

Mental “bebek” masyarakat adalah sikap sosial masyarakat yang tidak memiliki integritas. Masyarakat tidak berani mengambil sikap dan tindakan terhadap setiap keputusan pemimpinnya, meskipun tidak sesuai dengan cita-cita


(36)

ideal mereka. Masyarakat di Kota Bebek adalah masyarakat tanpa prinsip. Inilah kenyataan di dalam kumpulan cerpen ITPM.

“Kwek!” Hanya itu yang bisa dikatakan Kwek. Dasar bebek. (Kematian Paman Gober, ITPM:6)

Tidak ada yang berani melawan. Tidak ada yang berani bicara, semua warga Kota Bebek hanya diam dan menunggu. Menunggu tibanya hari kematian Paman Gober yang entah kapan akan terjadi. “Dasar Bebek!” Penekanan, betapa tidak berdayanya menjadi bebek, seolah-olah ketidakberdayaan, ketidakmampuan tersebut adalah sebuah takdir.

Realitas inilah yang terjadi di Indonesia pada 32 tahun pemerintahan Soeharto. Selama 32 tahun, masyarakat tidak berani angkat bicara. Tidak ada perubahan, tidak ada yang melakukan perubahan walau semua orang diam-diam merindukan perubahan. Masyarakat Indonesia seperti warga Kota Bebek. Tak ada yang bisa dikatakan, hanya “Kwek!” Kata bermakna ketidakberdayaan dan kelemahan.

Realitas tersebut disajikan dengan mengimajinasikan masyarakat Indonesia sebagai warga kota bebek. Bebek secara semiotik mengacu kepada keadaan masyarakat yang suka ikut-ikutan. Tidak berani, tidak percaya diri, mengikuti apa yang sudah diarahkan oleh pemimpin di atasnya.

e. Masyarakat yang Teralienasi

Penduduk kota-kota besar di Indonesia mengalami pelbagai tekanan. Tekanan-tekanan dari luar (lingkungan, teman sejawat, dan teman seorganisasi) dan tekanan-tekanan dari dalam jiwanya sendiri. “Tekanan tersebut dapat terjadi karena tidak adanya penghargaan yang cukup serta ketidakmampuan mengatur


(37)

kehidupan sedemikian rupa sehingga tenaga yang digunakan untuk melaksanakan pekerjaan tidak dapat diimbangi oleh istirahat (rekreasi) yang menyehatkan jiwanya.” (Soekanto, 1982:380)

Tekanan-tekanan tersebut menyebabkan keterasingan eksistensi diri seseorang di tengah-tengah masyarakat. Inilah yang disebut sebagai masyarakat yang teralienasi. Anggota masyarakat yang merasa sendiri di tengah-tengah keramaian.

Kehidupan masyarakat modern adalah keterasingan di tengah-tengah keramaian, di tengah hiruk-pikuknya kehidupan kota. Realitas inilah yang ditampilkan di bagian “sebelum” kumpulan cerpen ITPM.

“Lelaki itu ingat pekerjaannya sekarang sebagai akuntan. Setiap hari hanya menghitung uang masuk dan uang keluar. Bukan uangnya sendiri. Kehidupanya sudah terjamin. Memang tidak kaya, tapi terjamin. Kalau sudah umur 55 nanti ia harus berhenti. Mendapat pesangon yang cukup untuk makan nasi tiga kali sehari dengan lauk ikan asin, tampe, atau tahu. Masih cukup kalau mau ditambah dengan sayur lodeh, sayur asam atau sayur bening. Barangkali masih cukup juga ditambah sambal terasi, kerupuk udang, dan pisang ambon. Kadang-kadang bolehlah diseling dengan puyunghai, gurami asam manis, atau ayam goreng Mbok Berek.” (Pada Suatu Hari Minggu, ITPM: 44)

Seorang lelaki yang bekerja sebagai seorang akuntan pada suatu hari minggu sedang berpikir tantang pekerjaan sebagai akuntan yang telah dijalaninya selama puluhan tahun. Ia mulai merasa bosan dan memikirkan masa depannya. Masa depan memang terjamin, dalam arti cukup. Jumlah dana pensiun yang cukup untuk hidup yang sederhana. Tetapi pemikiran itu menganggu ketenangannya. Ia mulai berfikir. Hidup terasa sangat membosankan. Terjebak dan terasing di tengah-tengah rutinitas kerja setiap hari. Bahkan ia berpikir, mengapa ia berpikir di hari Minggu. Hari Minggu adalah satu-satunya hari yang


(38)

tenang dan dapat dinikmati. “Kenapa aku harus berpikir? Bukankah ini hari Minggu?” (Pada Suatu Hari Minggu, ITPM: 45)

Dalam perenungannya tersebut, akhirnya si lelaki menyadari bahwa sebenarnya hidup sangat indah. Hidup dapat dinikmati dengan cara sederhana. Mulai mencoba melihat hal-hal kecil dan menikmatinya sebagai pesona kehidupan. “Setelah seribu tahun, baru disadarinya bukan hanya bunga, tapi juga daun bisa begitu indah.” (Pada Suatu Hari Minggu, ITPM: 52)

Realitas yang ditampilkan di dalam cerpen ini adalah gambaran realitas masyarakat modern di kota-kota besar semisal Jakarta. Masyarakatnya adalah masyarakat yang teralienasi. Masyarakat yang terjebak dalam keterasingan. Terjebak dalam rutinitas kerja sehari-hari. Manusia dituntut bekerja keras, demi obsesi dan pemenuhan kebutuhan hidup, yang bagi masyarakat menengah ke bawah pas-pasan.

Keterasingan manusia ini menurut Soekanto (1982:61-62) salah satunya adalah karena kurangnya kontak dan komunikasi untuk mewujudkan interaksi sosial. Kehidupan yang terasing ini ditandai dengan ketidakmampuan mengadakan interaksi sosial dengan pihak-pihak lain.

Banyak faktor penyebab keterasingan ini. Tetapi pada masyarakat modern, keterasingan dapat terjadi karena pengaruh perbedaan ras, kebudayaan, perbedaan kelas, ketidakmampuan berinteraksi (karena tidak ada waktu dan lain-lain) yang menyebabkan timbulnya prasangka. Prasangka tersebut akhirnya membangun batas pemisah interaksi sesama manusia modern.

Realitas ini dikemas dalam kumpulan cerpen ITPM dengan dibalut imajinasi pengarang. Mengambarkan betapa hal sepele pun sebenarnya dapat


(39)

membuat hidup manusia lebih bermakna. Ketika manusia tersebut berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, dengan alam, manusia pun bahkan dapat menikmati indahnya kehidupan. “Setelah seribu tahun, baru disadarinya bukan hanya bunga, tapi juga daun bisa begitu indah.” (Pada Suatu Hari Minggu, ITPM: 52)

Setelah seribu tahun, pengumpamaan tentang waktu yang panjang untuk melahirkan kesadaran manusia modern. Mereka terlalu disibukkan dengan pekerjaan sehingga tidak ada waktu lagi untuk menikmati kehidupan dari hal-hal kecil. Akibatnya mereka menjadi tertekan. Ketertekanan ini membuat masyarakat merasa terasing di tengah-tengah modernisasi masyarakat.

Bahwa bukan saja bunga, tetapi daun juga begitu indah. Inilah gambaran yang digunakan SGA melukiskan keadaan masyarakat tersebut. Keterasingan masyarakat ini juga digambarkan sebagai lagu blues, kesendirian dan malam, lagu sendu yang mengalun di kesendirian menembus malam. Begitu melankolik, begitu sendiri dan terasing. Kudengar lagu blues –aku masih sendirian menembus malam. (Taksi Blues, ITPM: 73)

2.1.2 Ketika

Subbab ketika ini terdiri dari dua buah cerpen, yakni “Jakarta Suatu Ketika” dan “Clara”. Subbab ini menceritakan peristiwa sosial yang terjadi di Indonesia pada saat reformasi berlangsung. Peristiwa-peristiwa sosial yang melatarbelakangi reformasi yang terjadi di Indonesia pada Mei 1998.


(40)

a. Kerusuhan dan Penjarahan

Kerusuhan dan penjarahan massal adalah huru-hara, kekacauan, keributan, dan perampokan atau pencurian yang dilakukan masyarakat secara massal. Pelaku kerusuhan tersebut adalah masyarakat banyak. Sehingga sulit untuk mencari tahu siapakah dalang kerusuhan tersebut.

Kerusuhan dan penjarahan massal adalah salah satu realitas yang digambarkan pengarang. Mengacu kepada dunia di luar karya sastra (ITPM) yakni kerusuhan dan penjarahan massal yang terjadi di Jakarta pada Mei 1998. Ini jelas terlihat pada kutipan berikut:

“Semua orang tidak menjadi dirinya sendiri. Pembakaran dirayakan seperti seperti sebuah pesta tahunan. Asap hitam mengepul di mana-mana membuat langit menjadi gelap. Belum pernah aku melihat asap yang mengalir ke luar gedung seperti aliran sungai, tapi asap itu kemudian membubung ke atas. Api menghanguskan setiap benda hasil kerja manusia selama berpuluh-puluh tahun. Aku berada di tengah-tengah para penjarah. Mereka memasuki gedung-gedung yang terbakar dengan keberanian luar biasa. Mereka masuk menembus asap. Mereka masuk menembus api dan keluar lagi dengan barang-barang jarahan. Sebagian masuk dan tak pernah keluar lagi.” (Jakarta Suatu Ketika, ITPM: 83)

Kutipan di atas menggambarkan kenyataan di dalam cerpen ini (sebagai realitas dalam karya sastra) bahwa pada telah terjadi peristiwa pembakaran besar-besaran yang dilakukan secara massal. Orang-orang merayakannya dengan antusias seperti sebuah pesta tahunan. Pembakaran berlangsung terus-menerus sehingga asap mengalir ke mana-mana dan langit menjadi gelap. Orang-orang berbondong-bondong dan berlomba-lomba menjarah hasil kerja keras orang lain yang bukan milik mereka. Memanfaatkan situasi kacau-balau untuk mengambil sesuatu yang bukan hak mereka. Orang-orang tersebut akhirnya banyak juga menjadi korban, terjebak dalam kebakaran. Kutipan berikut ini mempertegas kondisi yang terjadi dalam kerusuhan itu.


(41)

“Long Shot. Tabrakan beruntun. Tiga mobil bertabrakan di perempatan karena panik. Belum sempat saling memaki, massa sudah tiba. Para pengemudinya disuruh keluar. Ketiga mobil itu dibakar sekaligus.

Long Shot. Asap bergulung-gulung, hitam, tebal, dan menakutkan. Langit

sungguh muram. Angin berbau sangit. Orang-orang mulai melempar dinding-dinding kaca. Para satpam yang bisanya patentengan lari lintang pukang. Batu-batu berterbangan diiringi suara kaca pecah berantakan.

Close Up. Dinding-dinding kaca pecah. Close Up. Dinding-dinding kaca pecah. Long Shot. Gedung terbakar.

Long Shot. Gedung terbakar. Mengapa ia menuang bensin, menyalakan

korek api, dan membakar gedung itu?” (Jakarta Suatu Ketika, ITPM: 79-80)

Terjadi kerusuhan yang melibatkan massa. Pembakaran mobil dan gedung-gedung terjadi. Kaca-kaca gedung-gedung dilempari dan dipecahkan dengan batu. Tidak banyak yang bisa dilakukan sekalipun untuk pembelaan diri. Kendaraan-kendaraan dicegat, disuruh berhenti dan dibakar. Petugas keamanan pun tak berkutik bahkan melarikan diri demi keselamatan. Inilah gambaran kerusuhan massal yang terjadi di dalam cerpen Jakarta Suatu Ketika.

“Langit kelabu di atas Jakarta. Asap kebakaran membubung di mana-mana. Aku berdiri di puncak sebuah gedung, memandang berkeliling, dari saat ke saat meletup asap hitam yang baru, membubung dan membubung bagaikan gumpalan dendam yang meruyak, membebaskan dirinya dari pasungan.” (Jakarta Suatu Ketika, ITPM:77)

Banyak orang yang menjadi korban dalam pembakaran dan kerusuhan massa ini. Orang-orang yang terjebak di dalam gedung menjadi korban dan terbakar. Tidak ada yang dapat dilakukan para pemilik toko. Mereka menyembah-nyembah agar toko mereka tidak dibakar. Banyak juga segera menuju bandara, melarikan diri ke luar negeri.

“Mereka terjebak di tengah api. Seorang ibu memeluk kedua anaknya. Mereka menjadi hangus dan lengket. Aku berlari keluar. Kulihat orang-orang mulai membakar toko-toko di sepanjang jalan. Para pemilik toko tidak bisa berbuat apa-apa. Sebagian memohon dan menyembah-nyembah agar tokonya jangan dibakar, sebagian besar hanya pasrah saja. Sebagian


(42)

lagi lari ketakutan, langsung ke bandar udara.” (Jakarta Suatu Ketika, ITPM: 84)

Orang-orang yang melakukan penjarahan seperti kesetanan. Api dibiarkan terus menyala dan berkobar. Tidak ada yang berusaha memadamkan api, tidak juga petugas pemadam kebakaran. Penjarahan dilakukan seperti terorganisir. Ada yang bertugas melempar barang-barang jarahan dari atas gedung, ada yang mengumpulkan dalam karung-karung rami, ada yang mengangkut barang-barang jarahan tersebut. Tidak ada di antara orang-orang tersebut yang mau ketinggalan melakukan penjarahan.

“Long Shot. Seratus orang terjebak di dalam gedung. Orang-orang berlari

keluar mengangkut barang jarahan. Dari lantai atas orang-orang melempar barang dari dalam kardus ke bawah. Di bawah orang-orang menangkap dengan sigap, memasukkannya ke dalam karung-karung rami, lantas menumpuknya di tepi jalan.

Tiada pemadam kebakaran. Banyak orang tetapi tak seorangpun menyiram api. Semua orang takut tidak kebagian. Semua orang tidak ingin ketinggalan melakukan penjarahan.” (Jakarta Suatu Ketika, ITPM: 85)

Realitas yang ditampilkan tersebut juga berangkat dari realitas yang terjadi pada saat terjadinya reformasi (ketika). Pada saat reformasi berlangsung, terjadi kerusuhan massa besar-besaran. Penjarahan dan pembakaran gedung-gedung, pusat perekonomian terjadi di Jakarta. Ribuan orang menjadi korban dan kerugian materi mencapai triliunan. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) telah mencatat 1200 orang tewas terbakar, 8.500 bangunan dan kendaraan gosong menjadi abu. (Tempo, edisi 25 Mei 2003).

Kerusuhan yang terjadi pada Mei 1998 tersebut diwarnai dengan berbagai peristiwa.. Majalah Tempo, edisi 25 Mei 2003 mencatat, kerusuhan diawali dengan demonstrasi yang dilakukan mahasiswa-mahasiswa yang juga memakan korban. Pada 12 Mei 1998 ribuan mahasiswa menggelar mimbar bebas di


(43)

Universitas Trisakti. Di luar kampus massa telah menumpuk. Aparat keamanan membubarkan mimbar bebas tersebut, tembakan meletus, dan situasi menjadi chaos. Empat orang mahasiswa tewas menjadi korban, yakni Hafidin Roiyan, Hery Hartanto, Hendriawan, dan Elang Mulya Lesmana.

Pada 13 Mei 1998 massa dan mahasiswa yang berbelasungkawa di Trisakti. Massa yang entah terdiri dari siapa saja juga menumpuk di Tanah Abang, Jakarta dan di Parung, Jawa Barat. Di Jakarta Selatan massa yang dihalau aparat merusak pos polisi.

Massa yang ada di Trisakti tersebut bergerak dari Jalan K.H. Hasyim Asyari ke Jalan Kyai Tapa, perempatan Roxy Mas, Jalan K.H. Moch. Mansur, dan Bendungan Hilir. Dari sana massa lalu bergerak ke Jembatan Sempit Angke, Jembatan Dua, Jembatan Tiga, Jembatan Lima, dan Jembatan Besi.

Pada sore harinya massa kemudian menyebar ke Cengkareng dan Glodok. Di wilayah Jakarta Barat dan Pusat sudah mulai terjadi perusakan dan pembakaran gedung pertokoan. Pada malam harinya di semua titik penumpukan massa terjadi dan terjadilah kerusuhan, penjarahan, dan pembakaran.

Taggal pada 14 Mei 1998, massa di Glodok kembali melakukan penjarahan dan perusakan. Sebagian bergerak ke Mangga Dua, mendekati Ancol. Di Jakarta Selatan, muncul titik kerusuhan baru di Goro, Pasar Minggu. Di Jakarta Barat massa menyebar ke Jalan Hayam Wuruk dan Salemba, Jakarta Pusat.

Kerusuhan di Jakarta Selatan, massa di sekitar Goro, Pasar Minggu mulai menjarah dan membakar pertokoan. Dari sinilah kerusuhan menyebar ke sejumlah titik, memicu kerusuhan di Pasar Cipete, Kebayoran Lama, Jalan Sultan Iskandar


(44)

Muda, Jalan Kyai Maja, Pasar Rumput, dan Jalan Ir. H. Juanda. Massa di Jakarta Pusat merusak pertokoan di Jalan Letjen Suprapto.

Kerusuhan di Jakarta Timur, massa terkonsentrasi di Jalan Pemuda, dekat Kawasan Industri Pulo Gadung. Massa didrop dengan truk kontainer atau kendaraan bermotor dan memancing orang-orang untuk melakukan penjarahan. Kerusuhan menyebar ke pul DLLAJR dan Plaza Arion.

Pada sore harinya di Jakarta Selatan, massa mulai membakar bangunan di Jalan Kyai Maja, Jalan Sultan Iskandar Muda, Kebayoran Baru, dan Pos Pangumben. Di Jakarta Timur, massa membakar Yogya Departement Store. Pembakaran ini merembet ke Cempaka Putih. Perusakan dan pembakaran di Jakarta Timur menyebar ke pertokoan Poncol Jakarta, Matraman.

Selanjutnya perusakan dan penjarahan menyebar di dua lokasi. Di Jakarta Timur ada di Kramat Jati dan di Jakarta Selatan di Jalan D.I. Panjaitan, Kebayoran Baru, dan Pancoran. Kerusuhan masih terus berlanjut hingga 15 Mei 1998. Berakhir dengan pembakaran pos polisi Pulomas, Jakarta Timur. Terjadi pula penjarahan susulan oleh para pemulung.

Inilah realitas yang terjadi di Indonesia, Jakarta khususnya pada saat berlangsungnya reformasi. Beberapa waktu sebelum lengsernya Soeharto. Seperti sebuah kesaksian korban peristiwa Mei ini yang di muat di Tempo edisi 25 Mei 2003.

“Namanya Eng Liong Woen. Suatu hari lima tahun silam, dia memacu sepeda motor dengan hati galau. Sore itu langit Jakarta diselimuti asap hitam. Sepanjang jalan, dari Glodok ke arah Senen, api telah melalap gedung pertokoan. Sejumlah mobil melintang di jalan, ringsek hangus seperti arang. Batu bercampur pecahan kaca berantakan di aspal. Hari itu, 14 Mei 1998, huru-hara menelan ibu kota. Tujuan eng Liong satu: selekas mungkin tiba di rumahnya di Johar Baru, Jakarta Pusat.


(45)

Tapi Eng sedang sial. Di depan STM Poncol, Senen, pegawai toko elektronik di Glodok itu dicegat sekelompok orang. Mencium gelagat buruk, Eng mencoba kabur. Tapi usahanya gagal. Motornya terjengkang ke tanah, dan gerombolan lelaki beringas itu pun menghajarnya sampai mandi darah. Di ambang sadar, dia mendengar suara berat,” Kami akan menghabisi Cina di Jakarta.”

Masih merintih di atas aspal, Eng diguyur bensin. Lalu seorang dari kawanan itu memantik mancis. Dan… wuuus! Tubuh Eng pun menyala-nyala. Api menjalar dari rambut sampai paha. Badannya kelenjotan sebentar, sebelum ia pingsan. Untunglah, di saat genting itu, seorang warga Poncol, Haji Harun menolongnya. Tubuh gosong itu segera digotong ke Rumah Sakit Islam Cempaka Putih. Nyawa Eng selamat. Tapi lelaki 33 tahun itu kini menanggung cacat berat. Sekujur kulit badan dan mukanya rusak. Jemarinya buntung dan bengkak.” (Mei 1998: Kala Amuk Menjarah Jakarta, Majalah Tempo: 154)

Realitas yang terjadi di Ibu Kota tersebut disajikan menjadi realitas yang baru dalam kumpulan cerpen ITPM. Realitas disajikan SGA lewat cerita seorang reporter yang menyaksikan secara langsung peristiwa kerusuhan dan penjarahan besar-besaran tersebut. Tokoh cerita terlibat di dalamnya. Meliput dan merekam setiap kejadian.

Citra visual yang disampaikan pengarang dalam cerpen ini sangat filmis. Sehingga membaca cerpen ini membuat pembaca seperti menonton sebuah film dokumenter. Hal ini karena pemilihan format cerpen yang meniru sebuah shotlist atau shooting script walaupun tidak sama persis. Tetapi keterangan-keterangan teknis shot untuk peristiwa yang direkam menunjukkan hal tersebut.

“Tele shot. Seorang pemuda mulutnya menganga danmengepalkan tinju.

Siapakah namanya? Mengapa ia berteriak? Mengapa ia mengepalkan tinju? Mengapa ia mengikat kepalanya dengan kain? Kami tidak akan pernah berjumpa lagi.

Tele shot. Seorang wanita berlari dengan panik tanpa sepatu. Wajahnya

ketakutan. Akankah kami berjumpa lagi?

Tele shot. Para pelajar SMA menyandera sebuah bis kota. Sopirnya


(46)

dan lenyap dalam banjir massa. Mereka naik ke atap dan meneriakkan yel. Mungkinkah kelak salah seorang di antaranya akan menjadi menteri? Tak pernah jelas apakah aku akan berjumpa lagi dengan salah satu di antaranya. Siapa penulis skenario nasib?” (Jakarta Suatu Ketika, ITPM: 78-79)

Citra visual yang filmis mempermudah pembaca membayangkan dunia yang tengah dibangun pengarang di dalam cerpen ini.

b. Pemerkosaan Massal

Pemerkosaan adalah pemaksaan dengan kekerasan untuk melakukan persetubuhan. Pemerkosaan massal adalah pemerkosaan yang dilakukan terhadap satu orang korban yang dilakukan secara massa (beramai-ramai).

Pemerkosaan massal adalah salah satu realitas sosial yang terjadi di dalam kumpulan cerpen ITPM pada bagian “Ketika”. Banyak perempuan-perempuan keturunan Tionghoa yang menjadi korban pemerkosaan. Seperti yang dialami Clara, tokoh dalam cerpen “Clara”. Ia diperkosa dalam perjalanan pulang ke rumahnya. Di tengah-tengah kerusuhan, Clara dijegat segerombolan laki-laki, dipaksa keluar dari mobil, digeranyangi, diremas-remas tubuhnya oleh puluhan laki-laki tak dikenal, lalu diperkosa secara bergantian.

“Aaaahhhh! Tolongngng!” saya menjerit. Mulut saya dibungkam dengan telapak kaki berdaki. Wajah orang yang menginjak mulut saya itu nampak dingin sekali. Berpuluh-puluh tangan menggeranyangi dan meremas-remas tubuh saya. Lumpur yang sudah mengering.

“Diem lu cina!”

Rok saya sudah lolos. Celana dalam saya direnggut sampai robek…” (Clara, ITPM: 104)

“Saya mau beranjak, tapi tiba-tiba selangkangan saya terasa sangat perih. Bagai ada tombak dihujamkan di antara kedua paha saya. O, betapa pedihnya hati saya tidak bisa saya ungkapkan. Saya tidak punya kata-kata untuk itu. Saya tidak punya bahasa. Saya hanya tahu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris untuk urusan bisnis. Kata orang bahasa Cina sangat kaya dalam hal menggambarkan perasaan, tapi saya tidak bisa bahasa Cina


(47)

sama sekali dari dialek manapun, kecuali yang ada hubungannya dengan harga-harga.” (Clara, ITPM: 106)

Clara memang perempuan keturunan Tinghoa. Inilah realitasnya, bahwa yang menjadi korban pemerkosaan massal pada peristiwa ini adalah perempuan-perempuan keturunan Cina. Walaupun mereka lebih merasa diri mereka sebagai orang Indonesia, walaupun mereka lebih fasih berbahasa Indonesia dibandingkan bahasa Cina sendiri.

Realitas yang ada dalam kumpulan cerpen ini mengacu pada peristiwa pemerkosaan massal yang tejadi pada perempuan-perempuan keturunan Cina pada saat kerusuhan Mei 1998 terjadi. Di tengah-tengah penjarahan terhadap toko-toko dan pusat-pusat perekonomian milik warga keturunan Cina, perempuan-perempuan keturunan Cina pun banyak yang menjadi korban pemerkosaan.

Tim Gabugan Pencari Fakta (TGPF) menyimpulkan lebih dari 90 wanita Tionghoa diperkosa dan dilecehkan. Seorang purnawirawan, disebut-sebut bernama Bambang memberikan kesaksian tentang pemerkosaan terhadap perempuan keturunan Tionghoa kala amuk massa terjadi pada Mei 1998.

”Bambang kalut. Massa makin menyemut. Tak lama kemudian mereka mulai menjarah pertokoan. Jelas tampak olehnya, yang mula-mula membongkar pintu adalah kawanan berbadan kekar yang tadi memprovokasi massa. Makin sore, aksi mereka makin menggila. Bangunan mulai dibakar. Tak tahan, Bambang dan anak buahnya berusaha mencegah. Kalah jumlah, Bambang terpaksa mundur.

Menjelang malam, para perusuh seperti kerasukan setan. Dengan mata kepalanya sendiri, Bambang menyaksikan seorang perempuan Tionghoa di tarik ke dalam sebuah toko oleh belasan orang, dan menjerit-jerit minta tolong. “Saya yakin, wanita Cina itu diperkosa. Saya sangat syok,” Bambang menerawang.” (Mimpi Buruk Sang Opsir, Majalah Tempo: 160) Majalah Tempo juga menulis sejumlah kesaksian dari seorang dokter, beberapa korban pemerkosaan, dan sejumlah pendamping yang membantu


(48)

pemulihan kondisi psikis para korban Mei 1998 tersebut. Walaupun pemerintah menutup mata dan mengingkari terjadinya pemerkosaan massa tersistematis di Mei 1998, sejumlah orang membenarkannya.

”Berbagai fakta itu membuat Ester Yusuf, pengacara yang kini menjadi Sekretaris Tim Ad Hoc penyelidikan kasus Mei 1998, heran atas penyangkalan banyak pejabat Republik atas pemerkosaan Mei. Ester sendiri mengaku pernah langsung mendampingi tiga korban. “Dua orang menghilang setelah Ita terbunuh (seorang relawan pendamping korban yang kematiannya sempat menggegerkan-Red). Yang seorang lagi, saya sempat bertemu tahun lalu,” katanya.

Hal senada diutarakan Ita Nadia, anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, yang juga pernah menolong belasan korban pemerkosaan. Dia meyakini aksi bejat itu bukan semata ekses dari amuk massa, tapi merupakan bagian dari teror sistematis.” (Hidup yang Terenggut, Majalah Tempo: 169)

“Saat itu saya menjadi relawan di Kalyanamitra. Saya bertemu dengan beberapa relawan yang juga mendampingi korban. Dari berbagai pengalaman dan diskusi, kami melihat ada pola yang sama. Pada umumnya korban adalah perempuan yang memiliki ciri-ciri fisik etnis Tionghoa: berkulit putih dan bermata sipit. Lokasinya selalu di kawasan tempat banyak keturunan Tionghoa tinggal, misalnya Sunter, Kota, dan Pantai Indah kapuk. Pelakunya pun rata-rata lebih dari satu. Karena itu kami yakin pemerkosaan Mei adalah upaya terorganisasi.” (Lie A. Dharmawan: Ada yang Telah Melahirkan Bayinya, Majalah Tempo: 170) Menyajikan realitas tersebut dalam kumpulan cerpen ITPM ini, SGA telah membalurinya dengan imajinasi. Pemerkosaan massa yang terjadi ditulis sebagai laporan seorang petugas kepolisian, dalam bentuk tuturan seorang juru catat kepolisian atas laporan seorang wanita Cina yang mengaku telah diperkosa secara bergantian. Clara adalah perempuan keturunan Tionghoa korban pemerkosaan massa tersebut. Clara menceritakan apa yang telah ia alami. Termasuk pikiran-pikiran Clara yang pada awalnya merasa tidak perlu khawatir, karena ia merasa warga negara Indonesia. Ia juga berupaya menyelamatkan bisnis orang tuanya tanpa perlu memecat ratusan karyawan yang adalah orang Indonesia, ia merasa


(49)

bagian dari Indonesia. Tetapi Clara menjadi korban. Apa yang salah dengan Cina? Itulah yang dipertanyakan.

c. Kerusuhan Rasial

Kerusuhan rasial adalah kerusuhan yang terjadi karena adanya perbedaan ras. Perbedaan kelas dan status sosial sering sekali menjadi pemicu terjadinya konflik atau pertentangan dalam masyarakat. Apalagi perbedaan tersebut sangat mencolok karena perbedaan rasial. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat menjadi pertentangan rasial. Soekanto (1982:98) menulis bahwa pertentangan rasial terjadi karena pihak-pihak yang bertentangan menyadari adanya perbedaan-perbedaan antara mereka yang sering kali menimbulkan pertentangan. Seperti pertentangan antara Negro dengan orang berkulit putih di Amerika Serikat.

Sumber pertentangan ini sebenarnya tidak hanya terletak pada perbedaan badaniah (ciri-ciri fisik), tetapi juga karena perbedaan-perbedaan kepentingan dan kebudayaan. Jurang pemisah semakin dalam karena adanya kelompok yang lebih mayoritas dan perbedaan status sosial.

Pertentangan rasial ini juga terdapat di dalam kumpulan cerpen ITPM. Pertentangan rasial ini menyebabkan terjadinya kerusuhan rasial. Dalam kumpulan cerpen ini, kerusuhan rasial yang terjadi di Jakarta, tempat terjadinya cerita adalah kerusuhan rasial antara masyrakat asli (pribumi) Indonesia dengan masyarakat Indonesia keturunan Tionghoa (Cina).

Perbedaan kelas dan kecemburuan sosial telah memicu terjadinya konflik sehingga pecahlah kerusuhan rasial. Orang-orang Cina dibantai. Toko-toko masyarakat Tionghoa menjadi sasaran massa. Wanita-wanita keturunan Tionghoa menjadi sasaaran pemerkosaan. Mereka diserang beramai-ramai dan tidak sedikit


(50)

yang menjadi korban. Beberapa yang masih sempat kabur segera melarikan diri ke luar negeri.

“Buka jendela,” kata seseorang. Saya buka jendela.

“Cina!” “Cina!”

Mereka berteriak seperti menemukan intan berlian. Belum sempat berpikir, kaca depan BMW itu sudah hancur kena gebukan. Aduh, benarkah sebegitu bencinya orang-orang ini kepada Cina? Saya memang Cina, tapi apa salah saya dengan lahir sebagai Cina? (Clara, ITPM: 101-102)

“Selangkangan saya sakit, tapi saya tau itu akan segera sembuh. Luka hati saya, apakah harus saya bawa sampai mati? Siapakah kirnya yang akan membela kami? Benarkah kami hanya dilahirkan untuk dibenci?” (Clara, ITPM: 107)

Masyarakat peribumi begitu benci kepada warga keturunan Cina. Amuk massa tidak terbendung. Sehingga menemukan orang Cina yang menjadi sasaran kemarahan seperti menemukan intan berlian. Masyarakat pribumi merasa bahwa Cina bukan bagian dari mereka. Cina adalah kelompok yang berbeda yang harus ‘dihabisi’. Cina bukan bagian dari Indonesia. Seperti kutipan berikut: “Sialan! Mata lu sipit begitu ngaku-ngaku orang Indonesia!” (Clara, ITPM: 102). Kutipan berikut juga memperllihatkan betapa Cina dibenci sehingga memicu terjadinya kerusuhan rasial. Kebencian yang lama tertahan meruyak ke permukaan.

“Saya tidak bisa bergerak sampai seorang ibu tua datang terbungkuk-bungkuk. Dia segera menutupi tubuh saya dengan kain.

“Maafkan anak-anak kami,” katanya, “Mereka memang benci dengan Cina.” (Clara: ITPM: 107)

Kebencian dan kerusuhan rasial ini terjadi karena perbedaan status sosial yang begitu mencolok. Masyarakat Cina memegang peranan penting dalam perekonomian dan perdagangan. Akibatnya terjadi kecemburuan sosial. Masyarakat pribumi mulai merasa terusik dan terganggu keperntingannya.


(51)

“Pastilah dia seorang wanita yang kaya. Mobilnya saja BMW. Seorang wanita eksekutif. Aku jugai ngin jadi kaya, tapi meskipun sudah memeras dan menerima sogokan di sana sini, tetap begini-begini saja dan tak pernah bisa kaya. Naik BMW saja aku belum pernah. Aku memang punya sentimen kepada orang-orang kaya- apalagi kalau dia Cina. Aku benci sekali. Yeah… Kainnya melorot, dan tampaklah bahunya yang putih.” (Clara, ITPM: 109)

Realitas yang terjadi dalam kumpulan cerpen ini mengacu kepada dunia di luar teks. Peristiwa kerusuhan rasial yang terjadi pada Mei 1998 di Jakarta. Pada waktu itu, massa merajalela, 8500 bangunan dan kendaraan menjadi abu, 1200 orang menjadi korban, dan sedikitnya 90 wanita keturunan Cina diperkosa. Toko-toko keturunan Tionghoa menjadi sasaran warga. Seperti dikutip Majalah Tempo edisi 25 Mei 2003. “Dan rusuh pun mulai. Para “pelajar” itu lalu melempari pertokoan di pinggir jalan, dan sambil mengacung-acungkan pentungan mereka berteriak-teriak, “Jarah Yogya! Serbu…! Itu punya Cina!”. Yoga adalah salah satu departement store, pusat perbelanjaan di Jakarta.

Kerusuhan rasial ini, kebencian yang meletup-letup terhadap warga keturunan Tionghoa di dalam kumpulan cerpen ITPM tampak pada pemilihan kata Cina, bukan Tionghoa. Berdasarkan nilai rasa bahasa, menyebut Cina untuk masyarakat keturunan ini terasa lebih kasar dari pada Tionghoa. Pemilihan kata ini menegaskan pertentangan rasial yang telah terjadi. Sebuah kebencian yang telah lama mengakar. “Maafkan anak-anak kami,” katanya, “Mereka memang benci dengan Cina.” (Clara: ITPM: 107)

Perbedaan ini ditampilkan SGA tidak hanya dari sudut pandang masyarakat pribumi tetapi juga dari masyarakat keturunan Tionghoa korban kerusuhan rasial tersebut. SGA lewat tokoh-tokohnya mempertanyakan apa yang salah dengan Cina? Apakah menjadi Cina adalah dosa sehingga mereka layak


(52)

untuk dibenci? “Saya memang Cina, tapi apa salah saya dengan lahir sebagai Cina?” (Clara, ITPM: 101-102)

Mereka memang warga keturunan Cina, tetapi mereka warga negara Indonesia. Bagian dari Indonesia. Mereka bahkan lebih fasih berbahasa Indonesia ketimbang bahasa Cina sendiri. Pemikiran inilah yang disampaikan SGA dalam kumpulan cerpen ITPM menanggapi realitas sosial kerusuhan Mei 1998 di Jakarta.

c. Kecemburuan Sosial

Kecemburuan sosial adalah kecemburuan yang terjadi karena adanya pelapisan sosial (kedudukan sosial) dalam masyarakat. “Kedudukan sosial diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam satu kelompok sosial, sehubungan dengan orang-orang lainnya dalam kelompok sosial tersebut.” (Soekanto, 1982:233)

Dalam kehidupan bermasyarakat selalu akan ada kelompok-kelompok yang akan dihargai, tergantung kepada ukuran masyarakat terhadap apa yang mereka hargai. Sesuatu yang dihargai tersebut dapat berupa uang atau benda yang bernilai ekonomis, tanah, kekuasaan, keturunan atau keluarga terhormat, ataupun ilmu pengetahuan. Apa yang dihargai masyarakat tersebut akan menjadi bibit yang menumbuhkan lapisan sosial dalam masyarakat. Perbedaaan yang mencolok antara lapisan sosial tersebut menjadi pemicu terjadinya kecemburuan sosial.

Realitas sosial yang lain, yang terjadi di dalam kumpulan cerpen ITPM adalah kecemburuan sosial. Kecemburuan sosial terjadi karena perbedaan kelas atau status sosial. Adanya jurang pemisah antara kelas sosial yang berbeda, kurangnya interaksi, dan pengkotak-kotakan kelompok sosiallah yang memicu


(53)

kecemburuan sosial. Kecemburan sosial ini jelas terlihat pada cerpen “Jakarta Suatu Ketika”. Perbedaan kelas sosial antara Bagyo (pemuda tanggung yang bekerja di rumah keluarga Sari agar dapat bersekolah), keluarga Sari, dan pemuda pengangguran belasan tahun yang rambutnya dicat merah serta sibuk mengatur lalu lintas.

Realitas ini diperlihatkan oleh sosok Bagyo, pelajar yang bekerja di rumah keluarga Sari untuk membantu perekonomian keluarganya agar dapat bersekolah. Bagyo biasa bekerja di rumah keluarga Sari, mengurus kebun, membersihkan bak, mengganti air kolam renang, dan pekerjaan lainnya. Bagyo juga biasa berangkat sekolah sore dari rumah keluarga Sari. Tetapi kemudian Bagyo dipecat oleh Ayah Sari.

Pasalnya, suatu hari, Ayah Sari melihat Bagyo membuka lemari es dan mengambil es krim. Ayah Sari menganggap Bagyo mencuri. Ia tidak ingin memelihara pencuri. Tetapi Sari membela dan mengatakan Bagyo biasa mengambil es krim karena Sari yang memberi izin. Ayah Sari tetap tidak mau terima. Ia menganggap Bagyo ngelunjak. “Berapa sih harga es krim?” tanya Ayah Sari retorik. Menggambarkan betapa murahnya harga es krim bagi orang kaya seperti Ayah Sari, tetapi tidak bagi Bagyo, karena semua penghasilannya ia serahkan kepada orang tuanya. Es krim yang tidak mahal harganya bagi keluarga Sari menjadi penyebab Bagyo kehilangan pekerjaan. Tanpa tawar-menawar Bagyo dipecat.

“Bagyo tak pernah datang lagi. Biasanya ia mengurus kebun, membersihkan bak, mengganti air kolam renang dan banyak lagi. Meski ia tidak tinggal di sana, ibu menyediakan sebuah kamar kecil untuk tidur siang. Bagyo sekolah sore, dan biasa berangkat dari rumah itu. Apakah Bagyo masih bersekolah setelah dikeluarkan? Ibu tak berani memikirkannya.” (Jakarta Suatu Ketika, ITPM:88)


(1)

kenyataan, tetapi sebagai wilayah kemungkinan berbaurnya hal-hal yang faktual-realistis dengan yang imajiantif. Sengkarut antara realitas dan imajinasi.

Ketika realitas yang terjadi tidak dapat diungkapkan secara gamblang ke permukaan, sastra mengambil peranan. Sastra sebagai penjelajah imajinasi, pada gilirnnya membuktikan betapa tidak gampang membunuh imajinasi. Seperti halnya iblis, maka imajinasi pun tidak akan pernah mati.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Ajidarma, Seno Gumira. 2005. Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus

Bicara. Yogyakarta: Bentang

Budiman, Kris. 2005. Pelacur dan Pengantin adalah Saya. Yogyakarta: Pinus Burhan, Nurgiyantoro. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada

University Press

Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikud

Hardjana, Andre. 1981. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Hodge, Robert dan Gunther Kress. 1999. Semiotika Sosial (Edisi Ringkas).

Padang: Breeuw Print

Http: //id.wikipedia.org / wiki / 2008. Semar Http: //id.wikipedia.org/wiki/ 2008. Paman Gober

Isjwara, F. 1982. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Bina Cipta

Jabrohim. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia

Alwi, Hasan (Pemred). 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi

Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka

Luxemburg, Jan Van dkk. 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia

Mahayana, Maman S. 2005. 9 Jawaban Sastra Indonesia. Jakarta: Bening Publishing

Patria, Nezar dan Andi Arief. 1999. Antonio Gramsci Negara dan Hegemoni. Jakarta: Bening Publishing

Pradopo, Rachmat Djoko. 2003a. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan

Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

_____________________. 2003b. Prinsip-prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2005. Pengkajian Sastra. Jakarta: Gramedia Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar


(3)

___________________. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

__________________ . 2005. Sastra dan Cultural Studies. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press Semi, Atar. 1984. Metode Penelitian Sastra. Jakarta: Gramedia

Sudjiman, Panuti dan Aart Van Zoest (Peny.). 1996. Serba-serbi Semiotik. Jakarta: Gramedia

Sumarjo, Jacob dan Saini KM. 1991. Apresiasi Kesusasteraan. Jakarta: Gramedia Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia


(4)

Lampiran

Riwayat Hidup Pengarang

Seno Gumira Ajidarma lahir di Boston, U.S.A. pada 19 Juni tahun 1958, kemudian pindah ke Indonesia ketika berusia empat tahun. Ia adalah salah satu penulis cerita pendek yang produktif dan patut dipertimbangkan. Lulus dari Institut Kesenian Jakarta pada tahun 1992, melanjutkan studinya pada tahun 1999 pada Jurusan Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, dan memperoleh gelar doktor Ilmu Sastra di Universitas Indonesia.

Ia bekerja sebagai seorang wartawan dan penulis. Sebagai wartawan, ia bekerja di Majalah Mingguan Jakarta-Jakarta, yang kemudian dilarang terbit karena menerbitkan laporan peristiwa St. Cruz di Timor Timur. Saat itulah kemudian ia memasukkan pemikiran-pemikirannya dalam kumpulan cerita pendek (terdiri dari 13 buah cerpen) yang tergabung dalam antologi yang diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh ITT Imprint Sidney dengan judul Eyewitness pada tahun 1995.

Pada awalnya ia banyak menulis puisi, kemudian bergerak ke cerita pendek, kemudian mencoba menulis novel yang kemudian diserialkan di surat kabar. Buku cerita pendek pertamanya adalah “Manusia Kamar” (1988), diikuti “Penembak Misterius” (1993), dan enam kumpulan cerita pendek lainnya. Kemudian pada tahun 2000, karyanya berjudul ”Matinya Seorang Penari Telanjang” diterbitkan.

Umumnya cerita-cerita pendeknya berkarakter surealistik, berdasarkan pada peristiwa yang sebenarnya di dalam suatu masyarakat yang disebabkan oleh kerusuhan (pertentangan melawan preman, orang yang menindas orang lain, dan


(5)

kekejaman pihak yang berkuasa). Hasil karyanya menunjukkan bagaimana kehidupan kadang-kadang hampir sama dengan khayalan, bagaimana kehidupan yang mungkin terjadi tanpa khayalan, bagaimana manusia dapat hidup penuh dengan khayalan, dan bagaimana ia mengambil keuntungan khayalan dari kehidupan nyata.

Karyanya antara lain: Kumpulan Puisi

1. Mati Mati Mati (1975) 2. Bayi Mati (1978)

3. Catatan-catatan Mira Sato (1978)

4. Cinta dalam Telepon Genggam (belum terbit)

Kumpulan Cerita Pendek 1. Manusia Kamar (1988) 2. Penembak Misterius (1993) 3. Saksi Mata (1994)

4. Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995) 5. Negeri Kabut (1996)

6. Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996) 7. Iblis Tak Pernah Mati (1999)

8. Atas Nama Malam (1999)

9. Matinya Seorang Penari Telanjang (2000) 10. Kematian Donny Osmond (2001)

11. Dunia Sukab (2001)


(6)

Roman dan Novel

1. Jazz, Parfum, dan Insiden (1996) 2. Wisanggeni Sang Buronan (2000)

3. Drupadi, Perempuan Poliandris (belum terbit) 4. Negeri Senja (2003)

5. Kitab Omong Kosong (2004) 6. Kalatidha (2007)

Non Fiksi

1. Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara (1997)

2. Layar Kata; Menegok 20 Skenario Pemenang Citra FFI 1973-1992 (2000)

Komik

1. Jakarta 2039 (2001, bersama Asnar Zacky) 2. Taxi Blues (2001, bersama Erwin Prima Arya)

3. Sukab Intel Melayu I: Misteri Harta Cendana (2001, bersama Asnar Zacky)

Kumpulan Naskah Drama

1. Mengapa Kau Culik Anak Kami? (2001)