BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pers a. Pengertian Pers - PERBANDINGAN SISTEM PERS YANG DIANUT INDONESIA DI ERA ORDE BARU DAN ERA REFORMASI (TINJAUAN YURIDIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1982 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERS DAN UNDANG-UNDANG NO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pers a. Pengertian Pers Berdasarkan pendapat ML. Gandhi (1985: 60) menjelaskan

  pengertian Pers Indonesia dipengaruhi oleh proses pembangunan Indonesia. Kedudukan Pers mengikuti perkembangan pembangunan bangsa Indonesia yang dimulai sejak zaman penjajahan yang mendorong terbentuk Pers nasional.

  Pengertian Pers Nasional mengandung pengertian yaitu pengabdian sepenuhnya untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia.

  Sejak zaman penjajahan memproklamirkan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa dan Negara Indonesia dan mengisi kemerdekaan itu untuk kebahagiaan spiritual dan materiil seluruh bangsa Indonesia. Sejarah Pers menegaskan bahwa timbulnya pengertian Pers Nasional adanya sejalan dengan sejarah pembangunan dan pergerakan Nasional Indonesia.

  Pengertian Pers Nasional Indonesia mengandung arti pengabdian sepenuhnya untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia, sejak zaman penjajahan sampai pada mengisi kemerdekaan. Istilah Pers nasional telah digunakan secara yuridis sejak Keputusan Sidang Pleno Komite Nasional Indonesia Pusat di Yogyakarta pada tanggal 15 Desember 1949, di mana dikatakan bahwa Pers Nasional sebagai alat perjuangan perlu mendapat perlindungan pemerintah (ML. Gandhi, 1985: 70).

  Berdasarkan pendapat F.Rachmadi (1990: 7) dalam bukunya yang berjudul “Perbandingan Sistem Pers Analisa Deskriptif Sistem

  

Pers diberbagai Negara” menyatakan bahwa istilah Pers merupakan

  terjemahaan asing. Pengertian Pers ada dua yaitu Pers dalam arti luas dan Pers dalam arti sempit.

  Pers berasal dari bahasa Inggris yaitu Press, dapat mempunyai pengertian luas, Pers mencakup semua media komunikasi massa.

  Dalam pengertian sempit, Pers hanya digolongkan produk-produk penerbitan melalui proses percetakan yang dikenal sebagai media cetak. Pers dalam pengertian luas merupakan manifestasi dari

  

Freedom of Speech , sedangkan dalam pengertian sempit merupakan

  dari Freedom of the Press, yang keduanya tercangkup dalam pengertian Freedom of exression (F. Rachmadi, 1990: 9).

  Oemar Seno Adji (1977: 1) menjelaskan Pengertian Pers menjadi 2(dua) yaitu: 1)

  Pengertian Pers arti luas Memasukan dalam sebuah media mass communikasi yang memancarkan fikiran dan perasaan seseorang baik dalam bentuk tulisan, gambar, dan lisan.

  2) Pers arti sempit

  Memasukan dalam sebuah media komunikasi massa mengandung penyiaran fikiran, gagasan ataupun berita-berita dengan dalam bentuk tertulis.

  Pers dalam arti yang sempit seperti diketahui mengandung penyiar-penyiar pikiran, gagasan atau berita-berita dengan jalan kata tertulis, sebaliknya Pers dalam arti luas memasukkan di dalamnya semua media komunikasi massa yang memancarkan pikiran dan perasaan seseorang baik dengan tertulis maupun dengan kata-kata lisan (Oemar Seno Adji, 1977: 3). Akibat hukum dari perbedaan pengertian Pers dalam arti sempit dan arti luas lebih kepada adanya sensor, historis dan ideologis yang merupakan inti persoalan dalam Pers merdeka.

  a.

  Radio, Film dan Media Cyber Dalam hal perlakuan hukum dampaknya Pers dalam arti sempit tidak membatasi larangan sensor terhadap Pers terhadap pernyataan radio, film dan media cyber. Dalam perlakuan hukum dampaknya lebih besar, karena Pers yang tertulis lebih dalam hal barang bukti.

  b.

  Pers dalam arti luas memunculkan larangan sensor yang dilakukan tidak hanya terhadap Pers (dalam arti yang sempit), juga terhadap pernyataan lebih kecil karena sulitnya menjadi barang bukti apabila Pers dituangkan dalam pernyataan lisan (http//;scribecybercrime.com).

  Pengertian-pengertian Pers yang telah diungkapkan di atas menyimpulkan yaitu Pers merupakan sebuah sistem (Bachsan Mustafa, 1987: 13). Pers merupakan sebagian dari media komunikasi massa, ialah bagian yang tertulis berupa media cetak, yaitu surat-surat kabar harian, majalah-majalah dan media massa yang dicetak lainnya bersifat umum, sebagai sarana untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan gagasan seseorang atau suatu badan kepada umum. Pers merupakan suatu sistem yang sekurang-kurangnya terdiri dari unsur- unsur sebagai berikut: 1)

  Adanya orang atau suatu badan yang menyampaikan atau memberikan suatu pikiran, pesan ataupun gagasan yang dalam kegiatan Pers itu disebut wartawan. 2)

  Adanya berita sebagai hasil pekerjaan wartawan yang diangkat dalam media Pers.

  3) Adanya orang kelompok orang atau masyarakat yang menerima berita tersebut.

  Berdasarkan pendapat ML. Gandhi (1985: 60) menjelaskan pengertian Pers Indonesia dipengaruhi oleh proses pembangunan Indonesia. Kedudukan Pers mengikuti perkembangan pembangunan bangsa Indonesia yang dimulai sejak zaman penjajahan yang mendorong terbentuk Pers Nasional.

  Pengertian Pers Nasional mengandung pengertian yaitu pengabdian sepenuhnya untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia.

  Sejak zaman penjajahan memproklamirkan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa dan Negara Indonesia dan mengisi kemerdekaan itu untuk kebahagiaan spiritual dan materiil seluruh bangsa Indonesia. Sejarah Pers menegaskan bahwa timbulnya pengertian Pers Nasional adanya sejalan dengan sejarah pembangunan dan pergerakan Nasional Indonesia. Pengertian Pers Nasional Indonesia mengandung arti pengabdian sepenuhnya untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia, sejak zaman penjajahan sampai pada mengisi kemerdekaan. Istilah Pers Nasional telah digunakan secara yuridis sejak Keputusan Sidang Pleno Komite Nasional Indonesia Pusat di Yogyakarta pada tanggal 15 Desember 1949, di mana dikatakan bahwa Pers Nasional sebagai alat perjuangan perlu mendapat perlindungan Pemerintah (ML. Gandhi, 1985: 42).

b. Sistem Pers

  Sistem merupakan suatu kesatuan yang tersusun atas bagian- bagian yang saling bergantung. Masing-masing komponen itu juga terdiri dan berfungsi sendiri, namun saling berkaitan demi menciptakan suatu tujuan yang telah ditentukan.

  F. Rachmadi (1990: 9) menjelaskan Sistem merupakan himpunan dari hubungan fungsional berbagai komponen yang mengubah masukan (input) menjadi keluaran (output) melalui suatu proses menurut aturan dan saluran yang telah ditentukan. Ciri inti sistem bahwa ia bertujuan menciptakan atau mencapai suatu yang berharga, suatu yang mempunyai nilai, ciri tersebut antara lain: a.

  Adanya interdepensi, artinya komponen-komponen itu saling berkaitan, berinteraksi secara keseluruhan.

  b.

  Keseluruhan (output) sesuai dan konsisten dengan tujuan yang direncanakan.

  c.

  Eksistensinya kesatuan (totalitas) itu dipengaruhi oleh komponen- komponennya, sebaliknya eksistensi masing-masing komponen itu dipengaruhi oleh kesatuannya.

  d.

  Sebagai salah satu kesatuan yang mempunyai masukan dan keluaran atau tujuan tertentu.

  Sistem merupakan kesatuan yang terbentuk dari satu atau banyak keadaan, kejadian yang saling berkaitan satu sama lainnya. Sistem adalah kumpulan atau kesatuan yang terbentuk oleh dari satu atau banyak keadaan, kejadian atau benda yang saling berkaitan, dimana semua bagian yang membentuk kesatuan atau kumpulan tersebut selalu saling mempengaruhi. Sehingga salah satu tercipta keseimbangan atau homeo statis pada sebuah sistem.

  Pers merupakan salah satu bentuk sistem, karena Pers terdiri dari beberapa unsur-unsur pembentuk. Unsur-unsur tersebut diantaranya adalah berita, wartawan dan masyarakat. Sistem Pers adalah rangkaian nilai dasar, paham dan fiksi yang menjadi kerangka acuan dan harus dihayati secara refleksi, kritis bagi mereka yang bekerja pada lembaga Pers. Dalam perkembangannya sistem Pers dipengaruhi sistem politik yang sedang dijalankan atau berlaku pada suatu negara, dimana keduanya saling mempengaruhi (Jacob Oetama, 1987: 261).

  Pers merupakan bagian (subsistem) dari sistem komunikasi, pada umumnya Pers dikaitkan dengan bentuk sistem sosialnya, dan selalu dihubungkan dengan sistem pemerintah suatu negara yang ada atau bentuk negara dimana sistem Pers itu berada. Sistem Pers memang tidak terlepas hubungannya dengan sistem sosial dan politik dari suatu masyarakat atau bangsa. Karena hubungan Pers itu adalah dengan pemerintah dan masyarakat, dimana hubungannya atau interaksinya itu tidak bisa dihilangkan. Jadi sistem Pers yang berlaku pada suatu negara itu tidak terlepas dari pengaruh pemikiran atau filsafat yang mendasari sistem masyarakat dan sistem pemerintah, di mana sistem Pers itu berada dan beroperasi (F. Rachmadi, 1990: 14).

  Fred Siebert, Wilbur Schramm, dan Theodore Peterson (1959: 201) dalam bukunya Four Theories of The Press mengamati setidak- tidaknya ada 4 (empat) kelompok besar teori sistem Pers. Dimana untuk melihat perbedaan-perbedaan sistem tersebut, orang harus melihat ada sistem-sistem masyarakat dimana Pers itu berfungsi.

  Untuk melihat sistem-sistem sosial dalam kaitannya yang sesungguhnya dengan Pers, orang harus melihat keyakinan-keyakinan dalam asumsi dasar yang dimiliki oleh masyarakat itu antara lain: hakikat manusia, hakikat masyarakat dan negara, hubungan antara manusia dengan negara, hakikat pengetahuan dan kebenaran. Jadi pada akhirnya perbedaan antara sistem-sistem Pers merupakan perbedaan filsafat yang terkandung di dalamnya.

  Wikrama Iryans Abidin (2005: 71) menjelaskan 4 (empat) teori Pers yaitu sebagai berikut: 1.

  Teori atau sistem Pers otoriter Teori atau sistem Pers otoriter dikenal sebagai sistem tertua, yang berkembang pertama kali di Inggris. Teori atau sistem Pers otoriter lahir sekitar abad XV-XVI, yaitu pada masa pemerintahan absolute.

  Dalam sistem Pers otoriter berfungsi sebagai penunjang negara (kerajaan) untuk memajukan rakyat. Pemerintah menguasai sekaligus mengawasi media. Berbagai kejadian yang akan diberitakan dikontrol pemerintah karena kekuasaan raja sangat mutlak. Negara dengan raja sebagai kekuatan adalah pusat segala kegiatan. Oleh karena itu, individu tidak penting yang lebih penting adalah Negara sebagai tujuan akhir individu (Nurudin, 2004: 72).

  Permasalahan yang dihadapi sistem Pers otoritarian adalah pembatasan dan pengawasan terhadap media swasta secara efektif.

  Salah satunya adalah dengan adanya “Pemberian izin khusus” yang lebih dikenal dengan “Paten” yang diberikan kepada orang- orang pilihan untuk terlibat dalam “Seni dan Misteri” cetak mencetak. Pemberian izin khusus dimaksudkan agar pengawasan terhadap media lebih mudah, karena pihak-pihak tertentu saja sebagai pelaku media.

  Unit komunikasi harus mendukung dan mengembangkan kebijaksanaan pemerintah yang berkuasa, sehingga pemerintah dapat mencapai tujuannya. Dalam masa awal berkembangnya media massa, dalam aspek negatifnya hal ini dilaksanakan melalui pengawasan-pengawasan yang berusaha menghilangkan usaha- usaha Intervensi terhadap tujuan bangsa. Di masa-masa berikutnya, dapat dilihat adanya kebijaksanaan yang lebih positif. Di bawah kebijaksanaan ini negara secara lebih aktif berpartisipasi dalam proses komunikasi dan menggunakan media massa untuk mencapai tujuan-tujuannya (Putu Laksman Sanjaya Pandit, 1986: 20).

2. Sistem Pers Liberal

  Sistem Pers liberal berkembang pada abad XVII-XVIII sebagai akibat munculnya revolusi industri, dan adanya tuntutan kebebasan pemikiran di Negara Barat (aufklarung) atau pencerahan. Sistem Pers liberal berkembang pertama kali pada Negara Amerika Serikat.

  Esensi dasar sistem Pers liberal adalah memandang manusia mempunyai hak asasi dan meyakini bahwa manusia akan bisa mengembangkan pemikirannya secara baik jika diberi kebebasan. Manusia dilahirkan sebagai makhluk bebas yang dikendalikan akal dan bisa mengatur sekelilingnya untuk tujuan yang mulia.

  Pers liberal dikaitkan dengan sistem politik demokrasi liberal, Pers diberikan kebebasan dalam pemberitaan dengan batasan etika dan hukum. Hidup dan matinya Pers tidak ditentukan oleh penguasa, tetapi oleh masyarakat atau pasar yang mendukungnya. Jika ia kredibel dan bermanfaat bagi masyarakat maka ia akan tetap hidup, sebaliknya jika isinya tidak bisa dipercaya dan tidak bermanfaat bagi khalayaknya, maka ia akan ditinggalkan dan mati.

  Putu Laksman Sanjaya Pendit (1986: 84) menjelaskan bahwa asumsi bagi sistem Pers libertarian adalah beberapa informasi yang mencapai publik bisa salah dan beberapa opini bisa tidak sehat. Namun negara tidak berhak untuk membatasi hal-hal yang dianggapnya salah dan tidak baik. Penganut libertarian menentang monopoli pemerintah dalam jalur-jalur komunikasi. Tujuan media adalah untuk menolong menentukan kebenaran, membantu penyelesaian masalah-masalah politik sosial dengan menengahkan semua bentuk bukti dan opini sebagai dasar pembentukan keputusan. Secara umum konsep libertarian fungsi media komunikasi masa antara lain: a.

  Untuk memberi informasi Fungsi memberikan informasi merupakan fungsi utama media, media berkedudukan untuk menyamakan tujuan warga negara.

  Tugas media adalah melayani sistem politik dengan menyediakan informasi, diskusi, dan perdebatan tentang masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.

  b.

  Menghibur c. Melakukan pengawasan terhadap pemerintah

  Pemerintah tidak mempunyai hak dalam mencampuri pengajuan-pengajuan argumentasi, adanya penghilangan fungsi Pers sebagai lembaga politik. Pers diberi tugas menjaga jangan sampai pemerintah melangkah keluar garis wewenangnya (menjadi penjaga hak-hak orang perseorangan dengan bertindak sebagai anjing penjaga yang mengawasi pemerintah). d.

  Pendukung ekonomi dengan tujuan ketidaktergantungan finansial.

  Melayani sistem ekonomi dengan mempertemukan pembeli dengan penjual barang atau jasa melalui medium periklanan.

  Mengusahakan sendiri biaya finansial, demikian rupa sehingga bebas dari tekanan-tekanan orang-orang yang mempunyai kepentingan tertentu.

3. Sistem Pers Komunis (Totaliter Soviet)

  Sistem Pers komunis (Totaliter Soviet) berkembang karena munculnya Negara Uni Soviet yang berpaham komunis pada abad ke XX.Sistem ini dipengaruhi oleh Karl Marx tentang perubahan sosial yang diawali oleh Dialektika Hegel.

  Dielektika Hegel mengatakan bahwa tidak ada bidang-bidang pengetahuan yang teriosolisasi (berdiri sendiri). Semua saling terikat dalam satu gerak penyangkalan dan pembenaran. Sesuatu itu hanya benar apabila dilihat dengan seluruh hubungan.

  Hubungan-hubungan tersebut saling membentuk rantai yang saling mempengaruhi (Nurudin, 2004: 73).

  Sistem Pers komunis mempunyai kedudukan untuk melayani kepentingan organ partai yang berkuasa.Media tidak diizinkan mengajukan kritik yang dianggap bertentangan dengan ideologi partai. Sistem komunis terikat dengan sistem politik komunis yang pada dasarnya tidak mengizinkan kemerdekaan Pers. Pers berkembang dibatasi dengan adanya kritik terbatas yang diberlakukan bagi para insan Pers. (Nurudin, 2004: 74).

  Pers dalam sistem ini merupakan alat pemerintah atau partai dan menjadi bagian dari integral negara. Pers menjadi alat atau organ partai yang berkuasa. Kritik diizinkan sejauh tidak bertentangan dengan ideologi partai. Pers harus melayani kepentingan partai. Fungsi Pers adalah indoktrinasi massa, pendidikan atau bimbingan massa yang dilancarkan partai (Nurudin, 2004: 75).

4. Sistem Pers tanggung jawab sosial (Social Respondibility)

  Pers tanggung jawab sosial muncul pada awal abad ke XX sebagai protes terhadap kebebasan mutlak yang mengakibatkan kemorosotan moral masyarakat. Pers tanggung jawab sosial mempunyai kelemahan karena jelas menjabarkan kepada siapa Pers bertanggung jawab.

  Dasar pemikiran sistem ini adalah sebebas-bebasnya Pers harus bertanggung jawab kepada masyarakat tentang apa yang diaktualisasikan sebagai wujud kewajiban bertanggung jawab kepda masyarakat guna melaksanakan tugas pokok yang dibebankan kepada komunikasi massa. Menurut Peterson menjelaskan bahwa “kebebasan Pers harus disertai kewajiban untuk bertanggung jawab kepada masyarakat guna melaksanakan tugas pokok yang dibebankan kepada komunikasi massa dalam masyarakat. Sistem ini lebih menekankan kepada kepentingan umum dibanding dengan kepentingan pribadi (Nurudin, 2004: 74).

  Putu Laxman Sanjaya Pendit (1986: 84) menjelaskan Teori Pers tanggung jawab sosial menganjurkan sebuah arah pemikiran tentang kebebasan Pers. Dengan ketentuan pemerintah harus membatasi kapasitasnya untuk campur tangan, mengatur atau menekan suara-suara Pers, atau memanipulasi data yang akan menjadi dasar penilaian masyarakat. Teori ini merupakan awal pembentukan Dewan Pers yang pertama lahir yaitu di Negara Inggris dengan tujuan menumbuhkan rasa tanggung jawab sosial dalam melayani masyarakat melalui Pers. Secara umum teori ini menempatkan kedudukan Pers dalam tugas-tugasnya antara lain: a.

  Menerima peran Pers dalam melayani sistem politik (fungsi tersebut tidak dilaksanakan secara sempurna).

  b.

  Memberi penerangan kepada masyarakat.

  c.

  Menjaga hak-hak perorangan.

  d.

  Menerima peran Pers dalam melayani sistem ekonomi dalam hal mendukung proses demokrasi atau memberikan penerangan dalam masyarakat. e.

  Menerima peran Pers dalam menyajikan hiburan, denga syarat hiburan tersebut harus “baik”.

  f.

  Sebagai lembaga yang bebas secara financial, dengan ketentuan dalam keadaan tertentu media tertentu dapat memasuki pasaran.

c. Sejarah Pers Nasional Sebelum Era Orde Baru

  Sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada Tahun 1856 di zaman Hindia Belanda, sudah muncul peraturan pertama mengenai Pers yang diatur dalam reglement of de Drukwerken in

  nederlandsch indiei . Di dalam peraturan tersebut ditentukan bahwa

  karya cetak, sebelum diterbitkan satu eksemplar harus dikirim terlebih dahulu kepada kepala pemerintahan setempat dan pejabat Justisi.

  Apabila ketentuan tersebut tidak dilaksanakan maka karya cetak tersebut dapat disita dan percetakan disegel (Krisna Harahap, 2003: 26).

  Politik hukum tentang kemerdekaan Pers di Indonesia sudah ada sejak sistem politik kolonial Belanda menjajah Indonesia. Politik hukum tersebut lebih menitik beratkan pada pembatasan kemerdekaan terhadap Pers. Politik hukum kemerdekaan Pers dimulai dengan pratik pembatasan terhadap kegiatan jurnalistik surat kabar Javasche Court (JC), yang merupakan kelanjutan dari Bataviasche Coloniale Courant terbit pada awal abad ke-XIX. JC adalah penerbit kolonial Belanda dan mengibarkan bendera kemerdekaan Pers sebagai program utamanya (Krisna Harahap, 2003: 26).

  Sikap mengkritisi dan oposisi JC tercermin melalui politik redaksional JC yang bercita-cita mencantumkan kemerdekaan Pers.

  Akibat politik redaksi JC tersebut maka pemerintahan kolonial melakukan upaya pembatasan, sensor, dan pembelengguan Pers (Wikrama Iryans Abidin, 2005: 1).

  Pada tahun 1945 terjadi perubahan bentuk Negara Indonesia dari kesatuan menjadi federasi dan Undang-undang Dasar 1945 diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Serikat 1949 (RIS 1949). Namun tidak berlangsung lama karena pada tahun 1950 Undang- undang Republik Indonesia Serikat 1949 dinyatakan tidak berlaku dan diganti dengan Undang-undang sementara 1950. Kedua Undang- undang tersebut memberikan perlindungan hukum bagi setiap orang yang mempunyai dan mengeluarkan pendapat (JCT. Simorangkir, 1980: 10).

  JCT. Simorangkir (1980: 19) menjelaskan Adanya pengakuan dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat dan Undang- undang dasar sementara Tahun 1950 mengenai hak setiap orang dalam berpendapat. masing-masing terdapat dalam Pasal 19 yang menyatakan bahwa :

“setiap orang berhak atas kebebasan mengeluarkan pendapat” .

  Media merupakan sarana setiap orang bebas mempunyai dan mengeluarkan pendapat pada saat itu. Pengaturan tentang kebebasan berpendapat sebagai pelindungnya, Undang-undang Dasar yang telah mengalami perubahan dari Undang-undang Dasar 1945 menjadi Undang-undang Dasar Sementara 1950 telah mengatur tentang kebebasan Pers.

  Sebelum Dekrit Presiden Tahun 1959 Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) telah menunjukkan perjuangannya yaitu memperjuangkan kemerdekaan atau kebebasan Pers (JCT.

  Simorangkir, 1980: 19). Salah satu Keputusan Konggres di Denpasar pada Tahun 1953, berbunyi:

  

“Menuntut kepada pemerintah supaya segera mengeluarkan

Undang-undang Pers, yang bersumber pada hak kemerdekaan

berfikir dan kebebasan mempunyai serta mengeluarkan pendapat,

sesuai yang tercantum dalam Undang-undang Dasar Sementara”.

  Bahwa sesungguhnya salah satu perwujudan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Oleh sebab itu kemerdekaan pers wajib dihormati oleh semua pihak.

  Mengingat Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum, seluruh wartawan Indonesia menjunjung tinggi konstitusi dan menegakkan kemerdekaan pers yang bertanggung jawab, mematuhi norma-norma profesi kewartawanan, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta memperjuangkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial berdasarkan Pancasila.

  Maka atas dasar itu, demi tegaknya harkat, martabat, integritas, dan mutu kewartawanan Indonesia serta bertumpu pada kepercayaan masyarakat, dengan ini Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menetapkan Kode Etik Jurnalistik yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh seluruh wartawan Indonesia yaitu :

  Pasal 1 Wartawan Indonesia beriman dan bertaqwa kepada tuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila, taat kepada undang-undang Dasar Negara RI, kesatria, menjunjung harkat, martabat manusia dan lingkungannya, mengabdi kepada kepentingan bangsa dan negara serta terpercaya dalam mengemban profesinya.

  Pasal 2 Wartawan Indonesia dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan negara, persatuan dan kesatuan bangsa, menyinggung perasaan agama, kepercayaan atau keyakinan suatu golongan yang dilindungi oleh undang-undang.

  Pasal 3 Wartawan Indonesia pantang menyiarkan karya jurnallistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang menyesatkan memutar balikkan fakta, bersifat fitnah, cabul serta sensasional.

  Pasal 4 Wartawan Indonesia menolak imbalan yang dapat mempengaruhi obyektivitas pemberitaan. Pasal 5 Wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan kecermatan dari kecepatan serta tidak mencampur adukkan fakta dan opini sendiri. Karya jurnalistik berisi interpretasi dan opini wartawan, agar disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya.

  Pasal 6 Wartawan Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi kehidupan pribadi dengan tidak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang merugikan nama baik seseorang, kecuali menyangkut kepentingan umum.

  Pasal 7 Wartawan Indonesia dalam memberitakan peristiwa yang diduga menyangkut pelanggaran hukum atau proses peradilan harus menghormati asas praduga tak bersalah, prinsip adil, jujur, dan penyajian yang berimbang.

  Pasal 8 Wartawan Indonesia dalam memberitakan kejahatan susila (asusila) tidak merugikan pihak korban. Pasal 10 Wartawan Indonesia dengan kesadaran sendiri secepatnya mencabut atau meralat setiap pemberitaan yang kemudian ternyata tidak akurat, dan memberi kesempatan hak jawab secara proporsional kepada sumber atau obyek berita.

  Pasal 11 Wartawan Indonesia meneliti kebenaran bahan berita dan memperhatikan kredibilitas serta kompetensi sumber berita. Pasal 12 Wartawan Indonesia tidak melakukan tindakan plagiat, tidak mengutip karya jurnalistik tanpa menyebut sumbernya.

  Pasal 13 Wartawan Indonesia harus menyebut sumber berita, kecuali atas permintaan yang bersangkutan untuk tidak disebut nama dan identitasnya sepanjang menyangkut fakta dan data bukan opini.

  Pasal 14 Wartawan Indonesia menghormati ketentuan embargo, bahan latar belakang, dan tidak menyiarkan informasi yang oleh sumber berita tidak dimaksudkan sebagai bahan berita serta tidak menyiarkan keterangan "off the record".

  Pasal 15 Wartawan Indonesia harus dengan sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Jurnalistik PWI (KEJ-PWI) dalam melaksanakan profesinya.

  Pasal 16 Wartawan Indonesia menyadari sepenuhnya bahawa penaatan Kode Etik Jurnalistik ini terutama berada pada hati nurani masing-masing. Pasal 17 Wartawan Indonesia mengakui bahwa pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran Kode Etik Jurnalistik ini adalah sepenuhnya hak organisasi dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan PWI.

  Perlindungan hukum terhadap kebebasan Pers dari pemerintah dibatasi dengan adanya Surat Izin Terbit (SIT) yang pada awal dibentuknya bersifat sementara. Sejarah lisensi penerbitan Pers dimulai pada Tahun 1958 dengan latar belakang pembentrokkan diberbagai daerah yang memaksa pemerintah memberlakukan keadaan militer. Surat Izin Terbit (SIT) pada waktu itu diberlakukan untuk mengontrol pemberitaan Pers khusus untuk wilayah Jakarta (Eduard Depari, 1995: 14).

  Surat Izin Terbit (SIT) merupakan alat kontrol terhadap kehidupan Pers, dengan memberlakukan mekanisme pemberian dan pencabutan Surat Izin Cetak (SIC) yang kemudian berubah nama menjadi Surat Izin Terbit (SIT). Keberadaan SIT merupakan lisensi yang efektif untuk menerbitkan penerbitan Pers yang dinilai terlalu keras dalam mengkritik kekuasaan, dengan kata lain untuk mengeliminir implementasi kebebasan Pers sehingga tidak menjadi faktor ancaman bagi kepentingan-kepentingan kekuasaan (Agus Sudibyo, 1994: 80).

  Pada awal pemerintahan demokrasi liberal Pers Indonesia sangat liberal. Pers bredel Ordonantie 1931 yang merupakan peninggalan pemerintah kolonial Belanda belum dicabut karena bertentangan dengan Pasal 19 dan Pasal 33 Undang-undang Serikat 1950. Pada masa demokrasi terpimpin sistem Pers harus harus tunduk pada Peraturan Penguasa Tertinggi (PEPERTI) Nomor 10 Tahun 1960. Peraturan Penguasa Tertinggi dalam Pasal 1 melarang penerbitan surat kabar dan majalah tanpa mendapatkan ijin terlebih dahulu dari penguasa. Kemerdekaan Pers di masa demokrasi liberal tidak dijamin secara tegas dalam Undang-undang Serikat Tahun 1950 karena Kemerdekaan Pers tidak diatur secara eksplisit dalam Pasal-pasal Undang-undang Serikat 1950. Hal tersebut terlihat dalam Pasal 19 Undang-undang Serikat 1950, yang berbunyi “Setiap orang

  

mempunyai kebebasan atas mengeluarkan pendapat ”. Sebagai faktor

penyebab lahirnya sistem Pers Liberal, sistem multi partai.

  Persoalanya, peran Pers lebih dominan sebagai terompet partai politik yang saling mengintai kelemahan lawan politiknya. Gejala Pers sebagai partisipan partai politik dengan sendirinya mengurangi makna independensi Pers (Wikrama Iryans Abidin, 2005: 18).

d. Fungsi Pers

  Pers menjalankan fungsi ganda yaitu sebagai saluran komunikasi pemerintah dan saluran komunikasi masyarakat dalam melakukan fungsi kritik. Sebagai saluran komunikasi pemerintah kepada masyarakat, Pers menyebarkan informasi mengenai tindakan dan kebijakan pemerintah, membentuk pendapat umum yang sehat, serta membiarkan dorongan masyarakat ikut berpartisipasi dalam program- program nasional dan melakukan fungsi kritik yang konstruktif terhadap tindakan-tindakan pemerintah dan aparatur pemerintah, serta mencerminkan pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam masyarakat (F. Rachmadi, 1990: 2).

  F. Rachmadi (1990: 20) menjelaskan Pers dalam perkembangannya memiliki fungsi utama dan fungsi tambahan.

  Penyebaran informasi atau pemberitaan kepada khalayak pembaca/masyarakat yang merupakan fungsi utama dari Pers. Fungsi utama Pers juga memilki fungsi-fungsi lain didalam masyarakat, yaitu fungsi mendidik, fungsi menghubungkan, fungsi sebagai penyalur dan pembentuk pendapat umum dan fungsi kontrol sosial. Penjelasan tentang fungsi Pers tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Fungsi mendidik Fungsi media sebagai sarana mendidik dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, hal tersebut ditentukan adanya bantuan yang disampingkan oleh media dalam menunjang pendidikan masyarakat. Oleh karena itu pemerintah menonjolkan fungsi mendidik sebagai fungsi yang penting walaupun dalam teori tentang Pers bukan merupakan fungsi utama, tetapi hanya sebagai tambahan.

  2. Fungsi menghubungkan Media menyelenggrakan suatu hubungan sosial (social contack) antara warga negara yang satu dengan warga negara lainnya.

  3. Fungsi sebagai penyalur dan pembentuk pendapat umum Media tidak hanya menyajikan berita atau informasi tetapi juga memuat pikiran-pikiran, pandangan atau pendapat (opinion) orang, sehingga mempunyai dua sifat sebagai organ of public information

  

and opinion. Media akan mengajak pembacanya berpikir sesuai

pola yang dinginkan.

  4. Fungsi kontrol sosial Kontrol sosial merupakan salah satu fungsi Pers yang paling penting, di negara yang menerapkan sistem pemerintahan yang demokratis. Kekuatan utama dalam media masa sebagai kontrol sosial terletak pada fungsinya sebagai pengawas lingkungan.

  Pelaksanaan fungsi kontrol sosial oleh Pers sebagian besar ditunjukan kepada pemerintah dan aparaturnya.

  Pemberitaan Pers pada umumnya adalah penyampaian informasi, namun disela-sela itu terdapat kritikan-kritikan yang disampaikan baik secara langsung ataupun tidak langsung yang ditujukan pada kekuasaan yang dianggap mengesampingkan keadilan bagi pihak- pihak tertentu yang dirugikan dengan adanya penyalah gunaan kewenangan yang didudukinya. Suatu pemberitaan disebut mengandung sebuah kritik apabila isi pemberitaan yang dimuat/dipaparkan tersebut menyebutkan suatu opini yang mengungkapkan suatu das sollen yang berbeda dengan das sein (Denis Mc Quail, 1991: 89).

  Ciri-ciri utama kritik adalah adanya pemberian perhatian kepada penanganan dan pembagian kekuasaan yang tidak adil dalam masyarakat serta pemanfaatan pandangan kelas tertindas, bukannya pandangan pelaksana media atau masyarakat pada umumnya (Denis Mc Quail, 1991: 104).

  Perkembangan Pers pada Era Reformasi tidak terbatas pada upaya mengurangi kejelekan masyarakat, tetapi juga negara.

  Munculnya pemerintahan yang bobrok dan otoriter adanya pemikiran anti individualisme dalam Pers era reformasi diuraikan sebagai salah satu fungsi Pers.

  Fungsi kontrol dan pengawasan Pers digunakan untuk mengurangi kejelekan masyarakat dan negara dalam menciptakan masyarakat dan negara yang sehat dalam kehidupan sosial dan ketatanegaraan Indonesia. Formulasi tentang pentingnya kemerdekaan Pers untuk memerangi keboborokan masyarakat dan negara kedalam batang tubuh Undang-undang Dasar 1945 ternyata tenggelam ditengah kuatnya arus pemikiran anti Individualisme-Liberalisme yang menolaknya. Pengaturan tentang kemerdekaan Pers tidak terdapat dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945. Pasal yang diharapkan dapat menjamin dan sekaligus melindungi praktik kemerdekaan Pers untuk mencegah lahirnya pemerintah yang bobrok dan otoriter ini muncul dengan Pasal karet dan banci karena kemerdekaan Pers tidak diatur secara eksplisit. Masalah praktik kemerdekaan Pers diserahkan kepada Undang-undang yang dibuat sesuai dengan selera dan kepentingan penguasa (Wikrama Iryans Abidin, 2005: 15).

e. Peran Pers

  Pada perkembangannya Pers mempunyai peran sebagai penghubung kebijakan pemerintah kepada masyarakat. Peran Pers lebih menunjuk pada peran yang “membangun”. Untuk memberi informasi, mendidik dan menggerakkan masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan. Di samping itu Pers mempunyai peran penting yaitu sebagai alat perubahan sosial dan pembaruan masyarakat. Pers dituntut memberikan kontribusi dalam pembentukkan watak masyarakat, dan mampu untuk merubah keadaan masyarakat kearah pembaruan yang lebih baik (Wikrama Iryans Abidin, 2005: 5).

  Media dapat berperan apabila media digunakan secara terencana untuk menimbulkan perubahaan dengan menerapkan dalam program pembangunan. Peranan tersebut dalam memperluas pendidikan publik dan meningkatkan inovasi berbagai masalah sosial dan ekonomi.

  Dalam hal ini media digunakan dalam kampanye untuk perubahan sosial (Denis Mc Quail, 1991: 97).

  Peranan Pers selain melakukan pemberitaan yang obyektif kepada masyarakat, juga berperan dalam pembentukan pendapat umum dan sebagai “agen perubahan”. Pers mampu menciptakan suasana membangun yaitu dengan menggunakan media untuk menyebarluaskan informasi kepada masyarakat.

  F. Rachmadi (1990: 17) menjelaskan Pers sebagai agen perubahan sosial memiliki berbagi tugas yang dapat dilakukan untuk menunjang sebagai salah satu tempat terjadinya pembaruan dan perubahan sosial. Tugas-tugas tersebut antara lain: a.

  Pers dapat memperluas pandangan cakrawala.

  b.

  Pers dapat memusatkan perhatian khalayak dengan pesan-pesan yang dituliskannya.

  c.

  Pers mampu menumbuhkan aspirasi, dengan penguasaan media, suatu masyarakat dapat mengubah kehidupan mereka dengan cara meniru apa yang disampaikan oleh media tersebut.

  Pers atau surat kabar dapat berperan dalam penyampaian kebijaksanaan dan program pembangunan kepada masyarakat.

  Pemerintah melalui Pers dapat memberikan informasi tentang kebijakan-kebijakan yang diambil bagi kepentingan masyarakat.

  Masyarakat pun dapat menggunakan Pers sebagai penyalur aspirasi dan pendapat serta kritik atau kontrol sosial. Ia berperan sebagai salah satu penghubung yang kreatif antara pemerintah dan masyarakat. Pers

  Indonesia juga mempunyai peranan sebagai alat perjuangan bangsa sejak zaman pra kemerdekaan, bahkan sejak masa pergerakan nasional yang mendorong tumbuhnya kesadaran nasional. Pada masa kemerdekaan Pers dituntut sebagai social controls yang aktif (Eduard Depari, 1995: 30).

  Eduard Depari dan Colin Mac Andrew (1995: 44) mengungkapkan pendapat Wilbur Schamm tentang peran masa media dalam pembangunan nasional. Menurutnya secara umum media tidak dapat lepas dari masalah sosial politik.

  Secara umum peranan media masa antara lain memperluas cakrawala, mempusatkan perhatian, menumbuhkan aspirasi, menciptakan suasana membangun, mengembangkan dialog tentang hal-hal yang berhubungan dengan masalah-masalah politik, mengenal norma-norma sosial, sebagai pendidik, mengubah sifat lemah menjadi kuat dan menumbuhkan selera masyarakat (Eduard Depari dan Colin Mac Andrew, 1995: 48).

f. Hak dan Kewajiban Pers a. Hak Pers

  Hak Pers diakui Undang-undang sebagai salah satu Hak Asasi Manusia yang yang keberadaannya wajib mendapatkan perlindungan hukum. Hak terpenting bagi Pers adalah penerbitan Pers yaitu hak untuk menerbitkan dalam rangka menyampaikan informasi kepada khalayak pembaca. Suatu sikap ideal, apabila pejabat-pejabat yang berwenang untuk mengurangi kebebasan Pers dengan mengadakan sensor ataupun bredel itu mengambil tindakan-tindakan yang tak menyinggung hak asasi tersebut (Oemar Seno Adji, 1977: 14).

  Adanya suatu permintaan kepada Pers untuk menjauhi pemberitaan-pemberitaan tertentu, merupakan suatu kewajiban bagi hukum Pers untuk menyerahkan segala pemberitaan kepada sensor sebelum publikasi berita. Sensor secara tidak langsung merupakan salah satu sarana pembatasan dalam menyampaikan informasi dalam media (Oemar Seno Adji, 1977: 24).

  Kelemahan utama dalam cara mengkritik yang penuh kehati- hatian menjadikan substansi kritik justru akan kabur dan menimbulkan teka-teki, sehingga bisa menjadi sebuah kritik terhadap kekuasaan justru ditafsirkan sebagai dukungan yang tersembunyi. Menurut Tjipta Lesmana menjelaskan. “Kritik

  

disublimasikan secara luar biasa halusnya; demikian halusnya,

sehingga mungkin hanya pengasuhnya saja yang bisa mengklaimnya kritik (Agus sudibyo (ed), 1994: 62).

b. Kewajiban Pers

  Pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan Pers maka menurut kode etik jurnalistik dan ketentuan hukum, melalui penggunaan hak jawab, jika pelaksanaan hak jawab dinilai tidak memuaskan, persoalan yang sama dapat diadukan ke Dewan Pers.

  Mekanisme itu diatur sepenuhnya dalam Undang-undang Pers.

  Tentang hak jawab seperti juga hak koreksi dari anggota atau kelompok masyarakat yang mengeluhkan atau mengadukan suatu pemberitaan lazimnya dimuat atau disiarkan satu kali dalam media yang bersangkutan. Pemuatan atau penyiaran dapat berupa ralat atau surat kepada redaksi, atau berita baru yang dapat dimuat atau disiarkan dalam publik yang bersangkutan atau ditempat yang relevan untuk itu (Pernyataan Dewan Pers Nomor 20/PDP/III/2003).

2. Sistem Pers di Era Orde Baru (Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok Pers)

  Periode awal Era Orde Baru pemerintahan sangat berperan dalam pembangunan infrakstruktural media, pemerintahan Orde Baru menggunakan Pers sebagai bagian dari pengembangunan. Peristiwa G 30 S PKI yang menjadikan hampir semua penerbitan cetak dilarang terbit, maka pada Era Orde Baru pemerintah memprakasai diterbitnya media cetak pendukung Orde Baru, seperti Harian AB, Berita Yudha, dan Harian

  

Kami. Setelah itu beberapa lainnya diizinkan terbit, seperti Kompas, Suara

Karya, Berita Indonesia, Sinar Harapan, Harian abadi, dan Nusantara.

  Fasilitas diberikan dalam bentuk subsidi dan kredit investasi. Subsidi juga diberikan dalam bentuk pengurangan harga kertas korandan pengurangan ongkos angkutan udara ke daerah, atau meresmikan proyek (Oemar Seno Adji, 1977: 4).

  Dalam Pasal 1 angka (13) Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok Pers menyebutkan: 1)

  Setiap penerbit Pers yang diselenggarakan oleh perusahaan Pers memerlukan Surat Izin Usaha, penerbitan Pers selanjutnya disingkat SIUPP yang dikeluarkan oleh pemerintah. Ketentuan-ketentuan SIUPP akan diatur oleh pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers. 2)

  Media periklanan merupakan salah satu unsur penunjang yang penting dalam pengembangan usaha Pers. Ketentuan-ketentuan mengenai media periklanan akan diatur oleh pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers.

  Media menjadi agent of government karena sebagian besar dari inisiatif dan pelaksanaan pembangunan dilakukan oleh pemerintah.

  Pemerintah mempunyai wewenang untuk mengganti susunan anggota pimpinan redasi media. Bringfing dengan pemimpin redaksi secara rutin dilakukan setiap minggu atau sewaktu-waktu oleh berbagai pihak untuk membuat suatu masalah menjadi lebih jelas, dan agar kebijakan pemerintah mengenai suatu topik atau isu tertentu dipahami. Semua hal masih berdasarkan kesepakatan atau consensus tanpa memprioritaskan undang-undang. Jika media bersangkutan setuju untuk patuh dan mendukung semua kebijakan kegiatan pembangunan pemerintah, ia akan diberi ijin dan diperbolehkan untuk terbit (Dedi N Hidayat, 2000: 226).

  Praktik-praktik peningkatan terhadap kebebasan Pers banyak terjadi pada Era Orde Baru. Tidak sedikit surat kabar, buku, majalah, dan berbagai bentuk penerbitan lainnya yang dilarang terbit. Dasar pelarangan tersebut antara lain karena melanggar prinsip-prinsip “Pers yang bebas dan bertanggung jawab”, yang maknanya hanya boleh ditafsiran oleh penguasa pada saat itu. Dengan dalih melanggar prinsip tersebut, pemerintah melalui Menteri Penerangan dapat mencabut SIT atau dibatalkan SIUPP berbagai media masa (Wikrama Iryans Abidin, 2005: 3).

  Peraturan Nomor 1 Tahun 1984 merupakan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 yang berwatak represif terhadap kemerdekaan Pers Indonesia. Pasal 1 huruf (a) Peraturan Menteri Penerangan Nomor 1 Tahun1984 ini mempertegas bahwa yang dimaksud dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) di dalam Undang- undang Nomor 21 Tahun 1982 adalah Surat Ijin yang diberikan kepada Menteri Penerangan kepada perusahaan penerbit Pers untuk menyenggarakan penerbitan Pers. Tanpa SIUPP, tidak mungkin ada penerbitan Pers (Dedi N Hidayat, 2000: 228).

  Pers sebagai media komunikasi politik menempati peran yang sangat strategis dalam mendorong dinamika politik menuju kehidupan demokratis, Hal ini mendorong pemerintah Orde Baru menjadikan pembangunan Pers sebagai bidang yang perlu diperhatikan. Salah satunya dengan adanya dua kali perubahan dari yang pertama Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 dan perubahan yang kedua dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers (Goenawan Mohamad, 1999: 41).

  Dalam Pasal 1 angka (13) Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok Pers menyebutkan ketentuan Pasal 1 ayat (5) diubah sehingga berbunyi:

  “Organisasi Pers ialah organisasi wartawan, organisasi

  perusahaan Pers, organisasi grafik Pers dan organisasi media periklanan, yang disetujui oleh pemerintah”.

  Pemerintah yang mengajukan Rancangan Undang-undang Pers Nomor 21 Tahun 1982 kepada Dewan Perwakilan Rakyat dilatar belakangi oleh opini memilih alternatif yakni dengan penambahan, pengurangan, dan penyempurnaan terhadap Undang-undang 11 Tahun 1966 sebagai landasan hukum bagi perkembangan Pers Nasional, pembentukan Undang-undang sepakat bahwa hal-hal yang diperlukan diubah dalam istilah-istilah yang tidak sesuai lagi dengan tingkatan perkembangan masyarakat, ketentuan yang mengatur Surat Izin Terbit (SIT), adanya tuntutan perkembangan zaman yaitu majunya teknologi di bidang informasi, komunikasi, dan media massa (ML. Gandhi, 1985: 47).

  Surat Ijin Terbit (SIT) dalam Undang-undang yang lahir diawal Orde Baru merupakan simbol kekalahan Pers. Pers senantiasa berada diujung tanduk, karena lisensi tersebut bagaikan sebagai pedang yang sewaktu- waktu dapat digunakan untuk membunuh penerbitan Pers.

  Kenyataan menunjukan Pers mempunyai indikasi otonomi Pers. Adanya berbagai peringatan pemerintahan Orde Baru terhadap Pers sebagai akibat kepedulian Pers terhadap kepentingan masyarakat.

  Pembatalan tiga penerbit (Tempo, Editor, Detik) satunya yang dipicu oleh semangat Pers untuk memelihara otonominya meskipun pada akhirnya terbentuk oleh kekuasaan negara.

3. Sistem Pers di Era Reformasi (Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999)

  Pada Era Reformasi sistem Pers Indonesia mengalami perubahan dari keadaan terkekang oleh penguasa menjadi memiliki kebebasan, sesuai dengan arah sistem pemerintahan yang mengalami reformasi total yaitu dimulai sejak diberhentikannya Presiden Soeharto dari jabatannya.

  Mengingat landasan konstitusional tentang kebebasan mengemukakan pendapat semakin menguatkan landasan kebebasan Pers di Indonesia. Ditengah-tengah kebebasan Pers Indonesia terdapat permasalahan yang muncul dapat menjadi semacam media pengontrol yang represif terhadap Pers dimasa mendatang (Dedy N. Hidayat, 2000: 28).

  Adanya penggunaan aturan yang bersifat umum dan penyelesaian sengketa Pers diantaranya pengunaan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) oleh Pengadilan dalam menyelesaikan kasus-kasus terkait masalah Pers dan tidak efektifnya penggunaan hak jawab dalam menanggapi pemberitaan yang merugikan (Wikrama Abidin, 2005: 5).

  Dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan: “Perusahaan Pers wajib mengumumkan nama, alamat, dan

  penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan, khususnya untuk penerbitan Pers ditambah nama dan alamat percetakan”.

  Pada Era Reformasi perubahan dalam bidang Pers terjadi sangat menonjol. Yang ditandai setelah pimpinan Departemen Penerangan dijabat oleh seorang tokoh Reformis yaitu Let. Jen M. Yunus Perubahaan tersebut lebih nampak pada penerbitan surat kabar dan majalah yang lebih dipermudah. Perusahaan penerbitan dapat melakukan usaha penerbitan media yaitu dengan memenuhi syarat dimilikinya Surat Bukti Pendirian Perusahaan penerbit oleh Notaris, nama pimpinan redaksi serta pemimpin umum, dan diberikan secara terbuka kepada mereka yang memenuhi syarat teknis dan sumber dana (Dedy N. Hidayat, 2000: 228).

  Pasal 28 Undang-undang 1945 yang telah dilupakan oleh rezim Orde Baru, kemudian menjadi pedoman dalam merumuskan produk hukum

  

responsive dalam bidang Pers, yaitu Undang-undang Nomor 40 Tahun

  1999 telah menghidupkan kembali isi Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 tentang pentingnya kemerdekaan Pers yang terkubur melalui Nomor

  21 Tahun 1982.

  Dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan: 1)

  Setiap warga Negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan Pers.

2) Setiap perusahaan Pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.

  Pencabutan yuridis belenggu kemerdekaan Pers Orde Baru tersebut, pada kenyataannya menimbulkan euphoria atau pesta pora kemerdekaan Pers. Hal itu terjadi karena setiap orang bebas mendirikan penerbitan, tanpa harus memiliki Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), serta dijamin tidak ada sensor dan pembredelan. Dampaknya, penerbitan Pers tumbuh bagi jamur dimusim hujan. Hal ini memungkinkan bagi setiap warga masyarakat profesional maupun amatir dapat mendirikan penerbitan Pers. Pembebasan kegiatan Pers dari belenggu rezim Orde Baru di Era Reformasi (Dedy N. Hidayat, 2000: 128).

  Pembebasan kegiatan Pers dari belenggu rezim Orde Baru di Era Reformasi ada tali temalinya dengan realitas produk hukum represif dan konfigurasi politik otoriter yang dirasakan sangat pahit selama tiga puluh dua tahun Orde Baru. Berbagai penyempurnaan, penghapusan, dan pembuatan nilai-nilai baru yang relevan dengan nilai-nilai demokrasi dan hukum represif merupakan antitesis dari keadaan sebelumnya yang membelenggu Pers Indonesia (Wikrama Iryans Abidin, 2005: 96).

  Inti persoalan yang dihadapi Pers adalah pada kebebasan Pers disebabakan adanya perkembangan atau situasi-situasi yang terjadi dan tumbuh dalam masyarakat modern dan perluasan kebebasan Pers perlu dikemukakan. Rule of Law, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia (HAM) akan sulit ditegakkan jika tidak ada lembaga kebebasan Pers. Kebebasan Pers adalah kontrol eksternal yang merupakan tonggak tegaknya Rule of Law , demokrasi dan HAM (Sunardin Wirodono, 1994:143).

Dokumen yang terkait

TEKANAN DUNIA INTERNASIONAL TERHADAP ISU DEFORESTASI DI INDONESIA PADA ERA ORDE BARU

0 5 42

PERAN POLITIK PERS MAHASISWA TAHUN 19982008(Studi Pada Lembaga Pers Mahasiswa di Kota Malang)

0 20 3

ANALISIS YURIDIS KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN JAKSA AGUNG DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

1 18 17

ANALISIS YURIDIS TUNTUTAN PEMBAYARAN GANTI RUGI AKIBAT PENGHINAAN DAN PENCEMARAN NAMA BAIK OLEH PERS MELALUI DEWAN PERS NASIONAL (Studi Putusan Dewan Pers No.26/PPR-DP/IX/2004)

0 4 105

KAJIAN YURIDIS PERIODE JABATAN KEPALA DESA DI INDONESIA (PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAH DAERAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA)

0 6 23

PENANAMAN MODAL ASING DI INDONESIA (STUDI KOMPARATIF TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 78 TAHUN 1958 , UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1967 DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007)

0 15 52

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK PERLINDUNGAN KONSUMEN PENGGUNA JASA PENERBANGAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN - Perlindungan Hak Konsumen atas Pengguna Jasa Pene

0 0 29

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALANG PERKAWINAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Mansur Nursiah Moh. Yunus Ashar Ridwan Abstrak - TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALANG PERKAWINAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTA

0 0 16

TINJAUAN FIQH JINAYAH TENTANG PENGHALANGAN PENGAMBILAN INFORMASI OLEH PERS ( UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 1999) - eprint UIN Raden Fatah Palembang

0 0 74

SINKRONISASI PENGATURAN HAK MEREK DAN NAMA DOMAIN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DAN UNDANG-UNDANG NO 11 TAHUN 2008 JUNCTO UNDANG-UNDANG NO 19 TAHUN 2016 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK - UNS

0 0 90