JAS Vol 10 No 2 Menjelajah Gagasan tentang Rakyat Pekerja 03-Editorial

EDITORIAL

Menjelajah Gagasan tentang
RAKYAT PEKERJA

Dinamika perubahan situasi perburuhan yang berkaitan dengan Labour Market
Flexibility (LMF) telah membuat buruh semakin kehilangan posisi tawar. Industri
dengan amat mudahnya mendesentralisasi proses produksinya dari pabrik ke
komuniti. Fenomena ini tidak hanya terjadi di manufaktur, tetapi juga terjadi di
perkebunan. Bahkan fenomena PHK massal juga terjadi di industri-industri
ekstraktif. Pindahnya pabrik ke wilayah yang upah buruhnya lebih murah dan
buruhnya lebih terkendali pun tidak dapat dielakkan. Dalam konteks ini serikat
buruh sedang mengalami proses pelemahan melalui mekanisme restrukturisasi
dan reorganisasi produksi. Lemahnya organisasi buruh membuat posisi tawar
buruh semakin terjepit. Sistem kerja kontrak, fleksibilitas kerja yang tinggi, dan
organisasi yang terbirokratisasi adalah hal-hal yang antara lain menyebabkan
sulitnya pembangunan gerakan dan organisasi buruh yang kuat dan kohesif.
Salah satu indikasinya adalah jumlah keanggotaan kelas pekerja dalam serikatserikat pekerja. Data yang ada menunjukkan bahwa hanya 3% dari seluruh
kelas pekerja Indonesia yang menjadi anggota Serikat Buruh/Pekerja. Keadaan
ini semakin menguatkan betapa rendahnya posisi tawar kelas pekerja
berhadapan dengan kelas pemilik modal, ketika hampir 30% dari angkatan

kerja (data Depnakertrans) tidak memperoleh pekerjaan alias menganggur.I1
Sekalipun semua anggota serikat buruh bergerak untuk mengadakan
perlawanan, pemilik modal tidak akan kesulitan untuk menyingkirkan 3%
pekerja yang "bandel" ini dan menggantikannya dengan orang lain. Masih ada

1 Ken Budha Kusumandaru, 'Krisis Serikat Pekerja', tulisan yang dipublikasikan dalam website PDSO.

www.PDSO.topcities.com

JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL 10 No. 2 OKTOBER 2005

v

MENJELAJAH GAGASAN TENTANG RAKYAT PEKERJA

38 juta orang yang putus asa mencari kerja. Jika ini terjadi, maka para pekerja
baru ini akan lebih "jinak" karena mereka pasti takut kehilangan pekerjaan yang
telah dengan susah-payah mereka dapatkan. Masalah lain adalah sulitnya
menumbuhkan solidaritas antarkelas pekerja. Kondisi ini telah pula memberi
sumbangan dalam melemahkan Serikat Buruh/Pekerja Indonesia.

Dalam

konteks

sejarah,

perlawanan

dan

gerakan

buruh

mencapai

kematangannya karena bergerak dalam koridor yang lebih luas dan membuka
diri bagi dukungan dari elemen-elemen masyarakat yang lain. Keterhubungan
dan interaksi antara kelas buruh dengan elemen masyarakat miskin dan
menengah lainnya pada hakikatnya merupakan wujud dari kehidupan sosial

buruh, sehingga kepentingan dan aksi mereka tidak akan efektif bila
diperjuangkan secara terpisah dari kepentingan elemen masyarakat miskin lain.
Karena buruh tidak hanya terdiri atas mereka yang tergabung dalam serikat
buruh, maka dalam konteks inilah terminologi 'rakyat pekerja' lahir. Konsep
rakyat pekerja digunakan sebagai alat untuk mengorganisasi para pekerja yang
berada dalam sistem produksi subkontrak dan mengorganisasi pekerja yang
mengalami fenomena PHK massal di beberapa kawasan industri. Strategi
gerakan buruh lama yang mengacu pada pola hubungan industrial dirasakan
tidak lagi memadai karena hubungan-hubungan industrial yang terjadi pun
telah mengalami perubahan yang pesat. Basis persoalan buruh tidak lagi
semata-mata berada di pabrik dan bersifat bipartit antara buruh dan pengusaha
di tingkatan lokal, namun sudah meluas dan berkaitan dengan persoalanpersoalan kebijakan di tingkat lokal maupun makro.
Artikel pertama menampilkan Nicolaas Warouw, seorang pengajar dan
pemerhati masalah perburuhan, yang memberikan kemungkinan akan
pengorganisasian buruh menjadi 'new social movement'. Menurutnya, kondisikondisi marginalisasi dan dominasi yang dihasilkan oleh relasi produksi tidak
selalu harus direspons dengan perlawanan dan kritisisme seperti yang
ditemukan dalam gerakan maupun organisasi perburuhan (tradisional) pada
umumnya. Data yang didapatnya dalam sebuah penelitian menunjukkan bahwa
gerakan buruh sendiri saat ini masih sulit mentransformasi diri menjadi sebuah
gerakan rakyat pekerja yang solid. Warouw juga berusaha menunjukkan bahwa

isu non-materialisme adalah mungkin dalam realitas buruh industri di
Indonesia, setidaknya di Tangerang. Penulis juga memperlihatkan bahwa
stigma kemiskinan dan ketidakberdayaan buruh industri dalam kenyataannya

vi

JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL 10 No. 2 OKTOBER 2005

EDITORIAL

dihindari buruh dengan menciptakan identitas modern dan tingkat konsumsi
yang tinggi. Menurutnya, menempatkan negara dan pasar agar bisa sejajar
dengan masyarakat dan individu pada saat ini merupakan persoalan yang sulit
dan menjadi tantangan bagi gerakan sosial baru (new social movement).
Selanjutnya, dari kalangan aktivis, Willy Aditya dari Perhimpunan Rakyat
Pekerja (PRP) mengajak kita untuk menelusuri kembali pemahaman akan
konsep rakyat pekerja dan penempatan politik kelas dalam sejarah Indonesia.
Dalam tulisannya ia menyatakan bahwa terpinggirnya kekuatan politik kelas
dari dinamika politik nasional sekarang bisa diartikan terjadinya kekosongan
secara vertikal dan horisontal antara gerakan politik yang berkembang dengan

rakyat pekerja Indonesia. Penulis melihat bahwa praktik pengorganisasian
rakyat pekerja di Indonesia 20 tahun terakhir bergerak tidak pada tujuan
bagaimana merebut kekuasaan. Pemahaman tentang civil society dihadapkan
dengan political society sehingga membuat kesadaran yang seolah-olah anti
state. Perjuangan politik menjadi ditabukan dan lebih memilih perjuangan
ekonomi. Akibatnya, terlihat bahwa isu buruh hanya diusung kaum buruh
sementara isu politis lainnya cenderung dihindari oleh serikat buruh.
Dengan menggunakan perspektif kelas, Dominggus Octavianus mencoba
menguraikan persoalan-persoalan yang selama ini menghambat persatuan di
antara buruh sendiri. Dengan perspektif kelas, penulis melihat bahwa selama ini
perbedaan yang ada di kalangan buruh atau rakyat miskin umumnya bukanlah
perbedaan yang fundamental. Ia melihat bahwa ada kesamaan kepentingan
yang dapat ditemukan dalam strata sosial ini untuk menjalankan suatu
perjuangan bersama, terutama sebagai kesatuan identitas yang disebut rakyat
pekerja. Melepas perbedaan dan menemukan persatuan merupakan hal yang
harus dilakukan oleh kaum buruh dan rakyat pekerja pada umumnya. Penulis
menyatakan bahwa persatuan dan pembaruan ke dalam komunitas merupakan
salah satu langkah politik untuk menguatkan posisi kelas buruh, sekaligus
memberikan dan mendapatkan dukungan dalam perjuangan pada lingkup yang
lebih khusus.

Selama ini isu normatiflah yang menjadi isu serikat buruh. Bahkan isu mengenai
tuntutan upah setiap tahun selalu menjadi agenda nasional dari serikat buruh.
Yudi Fajar Margono Wahyu mencoba menawarkan perspektif lain yaitu isu
perumahan. Menurut Yudi, perumahan mnerupakan isu yang seharusnya

JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL 10 No. 2 OKTOBER 2005

vii

MENJELAJAH GAGASAN TENTANG RAKYAT PEKERJA

diperjuangkan serikat buruh kerena produktivitas buruh amat ditentukan oleh
tempatnya saat kembali seusai bekerja. Proses reproduksi (biologis maupun
sosial) tidak dapat dipisahkan dari aktivitas produksi formal karena kedua ruang
tersebut akan saling berpengaruh. Penulis ingin memperlihatkan bahwa ada
ruang yang belum dimanfaatkan serikat buruh dan rakyat pekerja di Indonesia.
Pengadaan perumahan bagi buruh mempunyai dua dampak yaitu sebagai
tempat reproduksi tenaga kerja dan pembangunan komunitas. Kerja sama
antara buruh dengan rakyat pekerja diperlukan untuk menghadapi struktur
pembagian kerja yang semakin fleksibel (kepentingan modal) dan menyatukan

kepentingan (melalui tuntutan fasilitas konsumsi kolektif) kepada pemerintah
daerah/pusat. Perdebatan antara tuntutan kenaikan upah dan hidup layak
menjadi pilihan-pilihan yang harus direnungkan dan didiskusikan bersama.
Memang benar bahwa buruh hanya menghabiskan sebagian waktunya di pabrik.
Waktu selebihnya dihabiskan di lingkungan tempat tinggal untuk reproduksi
(bagi buruh berkeluarga) dan aktivitas kesehariannya sebagai anggota
masyarakat pada umumnya. Oleh karenanya, menarik untuk melihat
bagaimana dinamika kehidupan buruh di luar pabrik. Maria Dona dan Selly
Riawanti menuliskannya dengan melihat bahwa buruh di komuniti memiliki
beragam identitas. Identitas buruh di kota yang notabene adalah pendatang
memunculkan jurang antara mereka dengan warga komuniti lainnya yang
merupakan

warga

asli

wilayah

yang


didiami

buruh.

Kenyataan

ini

memperlihatkan bahwa ada banyak identitas yang memunculkan kesadaran
kelas baik di pabrik maupun di komuniti. 'Bendera organisasi' seperti yang
diperlihatkan oleh serikat buruh bukan bentuk akhir kesadaran kelas dan
jawaban atas persoalan buruh. Penulis mencoba mempertanyakan, jika
gagasan pengorganisasian menggunakan pengertian 'rakyat pekerja', apakah
strategis jika kejamakan identitas tersebut kemudian dibuat menjadi tunggal
dengan sebutan 'rakyat pekerja'?
Dalam ruang metodologi, Ika Wahyu mencoba merefleksikan masalah
metodologi yang digunakan peneliti dan kalangan aktivis. Tulisan ini berangkat
dari pengalaman di lapangan, baik di kalangan akademis maupun di kalangan
aktivis. Kontradiksi pandangan mengenai cara suatu masyarakat berubah

menjadi perdebatan di antara kalangan aktivis dan LSM. Penulis memandang
bahwa hubungan antara peneliti dan aktivis gerakan sosial seharusnya
diusahakan untuk — meminjam istilah Gramsci — ‘diberi kerangka kembali'

viii

JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL 10 No. 2 OKTOBER 2005

EDITORIAL

(reframe) pada kenyataan sosial yang kompleks dan melihat perbedaan sebagai
ketegangan yang perlu ditangani ketimbang diabaikan. Sama halnya dengan
tulisan sebelumnya, selayaknya peneliti dan aktivis melepas perbedaan dan
menemukan kesamaan bagaimana memberdayakan kaum marginal dengan
caranya masing-masing.
Resensi buku berjudul Fast Forward: Work, Gender and Protest in A
Changing World, karya Dickinson dkk. ini menguraikan persoalan kerja dan
maknanya dalam dunia yang terus berubah. Buku ini penting untuk dibaca dan
dibahas dalam rangka memahami gerakan sosial. Karena buku ini digunakan
untuk memahami gerakan sosial, sangatlah penting untuk memahami

perubahan kerja dan konteks kultural di mana gerakan sosial itu terjadi.
Meluasnya gerakan buruh menjadi gerakan perempuan, gerakan mencari
keadilan, dan gerakan demokrasi telah membuka ruang protes yang luas dan
melibatkan banyak institusi lain di luar serikat buruh. Dalam konteks keIndonesiaan, membaca buku ini membuat kita bisa melihat lagi akan peran
negara dan kondisi pekerja informal kita.

Selebihnya, menjadi renungan kita bersama apakah pengorganisasian buruh an
sich (dalam pengertian lama) masih diperlukan di tengah dunia yang berubah.
Ketika hidup buruh tidak lagi terbatas pada kegiatan organisasinya, di mana
peran serikat buruh bisa masuk dalam salah satu ruang hidup buruh? Persoalan
akankah gerakan buruh bisa meluas dan menjadi sebuah gerakan sosial
bersama merupakan pekerjaan rumah yang harus dipikirkan bersama. Semoga
kajian yang disajikan kali ini bisa menggugah pemikiran dan wacana yang lebih
luas mengenai persoalan perburuhan dan pemberdayaan buruh.

[Redaksi]

JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL 10 No. 2 OKTOBER 2005

ix