JAS Vol 10 No 2 Menjelajah Gagasan tentang Rakyat Pekerja 05-Pekerja Industri

BAHASAN UTAMA

PEKERJA INDUSTRI INDONESIA,
GERAKAN BURUH, DAN
NEW SOCIAL MOVEMENT:
MERAJUT SEBUAH KEMUNGKINAN
Nicolaas Warouw

1

Abstract
The resignation of the Soeharto's regime in 1998 once built up the optimism
towards the future of the labor movement in Indonesia. The new regime post
Soeharto's finally has to adopt the ILO convention no.87 which admits the rights
of labors to involve themselves in organizations, despite the government's
political maneuver in order to create the impression of being reformist, and in
order to interest international donation. Whatever the controversy is like, such a
decision has become the principal breakthrough for the contemporary labor
movement of Indonesia.

Bagi sebagian aktivis dan akademisi


buruh

yang

dalam

organisasi-organisasi

isu

perburuhan

untuk

menghadapi

perburuhan dan perjuangan pekerja,

kepentingan


kapital

dan

terutama pekerja dari sektor industri

(Ford, 2000; Hadiz, 1997; Kammen,

manufaktur, kejatuhan rezim otori-

1997)

tarian Soeharto pada 1998 sempat

sebagai alasan bagi optimisme ini.

membangkitkan optimisme terhadap

Vedi Hadiz (1997) bahkan secara


masa depan gerakan buruh di Indo-

spesifik melihat bahwa radikalisme

nesia. Tradisi-tradisi radikal pada se-

pada periode ini adalah gejala bagi

kitar paruh pertama tahun 1990-an

kebangkitan kembali gerakan kelas

berupa aksi kolektif dan keterlibatan

pekerja di bawah Orde Baru yang

menaruh

minat


pada

setidaknya

dapat

negara
dilihat

1 Staf Pengajar pada Universitas Sanata Dharma & Universitas Gajah Mada

JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 10 NO. 2 OKTOBER 2005

1

PEKERJA INDUSTRI INDONESIA, GERAKAN BURUH, DAN NEW SOCIAL MOVEMENT

kemampuannya


dan revitalisasi sejumlah serikat pe-

untuk mengusik stabilitas politik yang

kerja yang beroperasi baik pada

diciptakan rezim otoritarian di bawah

tingkat nasional maupun lokal dalam

Soeharto. Dengan tradisi radikal, ini

konteks Indonesia pasca-otoritarian.

serta

tentang

Setidaknya empat partai politik yang


pengorganisasian, seharusnya, tidak-

mengusung kata “buruh” atau “pe-

lah berlebihan untuk melihat bahwa

kerja” (Leclerc, 1972; Ford, 2003:

gerakan kelas pekerja akan terus

187; Hadiz, 1997:53-4; 212-213) da-

bergulir layaknya bola salju seiring

pat mengikuti Pemilihan Umum 1999

dengan merenggangnya represi poli-

sekalipun gagal dalam memperoleh


tik – sekalipun tidak hilang sama

suara secara signifikan, apalagi me-

sekali – pada tahun-tahun menjelang

menangkan kursi di parlemen (Ford,

berakhirnya abad ke-20.

2003). Di luar organisasi formal buruh

ditandai

dengan

sejumlah

catatan


seperti

partai

politik

dan

serikat

Soeharto

pekerja, peluang pengorganisasian

yang diakibatkan krisis moneter yang

juga terbuka bagi lembaga-lembaga

Destabilisasi


kekuasaan

melanda sebagian Asia (Hill, 1998)

swadaya masyarakat (LSM) perbu-

memungkinkan komitmen Orde Baru

ruhan yang menurut Ford (2003:113)

terhadap kebijakan yang secara de

secara faktual 'mendominasi gerakan

facto hanya memungkinkan buruh

buruh' secara umum pada senjakala

direpresentasikan oleh satu kenda-


kekuasaan Orde Baru. Mereka ini me-

raan organisasional menemukan keri-

lanjutkan partisipasi aktifnya pada

kil-kerikil penghambat (Ford, 2000).

periode pasca-Soeharto dengan men-

Rezim penguasa baru pasca-Soeharto

jadi inisiator bagi pembentukan orga-

akhirnya harus mengadopsi Konvensi

nisasi-organisasi buruh formal pada

ILO No.87 yang mengakui hak buruh


berbagai tingkatan.

untuk berorganisasi, sekalipun hal ini
tidak lebih dari sebuah manuver poli-

Himpitan ekonomi terhadap kelas

tik untuk 'menciptakan kesan refor-

pekerja industri manufaktur yang

mis' (Hadiz, 2001:122) dan demi me-

datang silih berganti sejak krisis

mikat

(Ford,

politik pada 1997-1998 menciptakan

2000:5). Apa pun kontroversinya, ke-

pula momentum lain untuk melandasi

putusan ini menjadi tonggak penting

optimisme akan kematangan serta

bagi gerakan buruh Indonesia kon-

soliditas gerakan buruh Indonesia.

temporer. Michele Ford (2001:109-

Berbagai

110), misalnya, mencatat kelahiran

dialami buruh industri pada awal dan

2

'donor

internasional'

persoalan

klasik

yang

JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 10 NO. 2 OKTOBER 2005

BAHASAN UTAMA

1990-an

Indonesia dalam negara Orde Baru

berkaitan dengan kondisi kerja dan

harus melihat kenyataan lain. Dalam

marginalisasi

artikelnya yang lain yang mencoba

pertengahan

tahun
tidak

serta-merta
hingga

mengevaluasi gerakan buruh pasca-

Tuntutan

krisis dan pasca-reformasi, ia menga-

kenaikan upah buruh agar layak

kui bahwa iklim perubahan politik

dengan

kontemporer hanya memungkinkan

menemukan
permulaan

jawabannya

abad

kondisi

ke-21.

ekonomi

pada

umumnya — termasuk di dalamnya

'proliferasi'

tingkat inflasi, kesesuaian dengan

organisasi

indikator-indikator hidup yang mema-

'konsolidasi'

dai, dan kenaikan konstan harga ba-

efektif.' Dalam sebuah studi empiris di

han bakar minyak — merupakan

sebuah kawasan industrial di Kotama-

motor penggerak yang tetap ada

dya Tangerang, penulis menemukan

untuk menghidupkan gerakan buruh,

bahwa kondisi-kondisi subyektif da-

seperti yang dijumpai pada dekade

lam gerakan buruh masih belum se-

sebelumnya. Intensitas pemogokan

penuhnya siap mentransformasikan

industrial

dirinya menjadi sebuah instrumen ke-

tetap

tinggi

hingga

pekerja

serikat

pekerja

perburuhan
dan

yang

ketimbang

'unionisme

solid

dan
yang

mendekati angka-angka menjelang

las

(Warouw,

krisis pada 1997 (terutama antara

2004). Status pekerja dalam organi-

1994-1996) dan media massa hampir

sasi-organisasi perburuhan di tingkat

tiada hentinya melaporkan aksi-aksi

lokal, apalagi nasional, yang masih

buruh di berbagai kantong industrial

bersifat periferal — sebatas pada hu-

hingga hari ini.

bungan dalam bentuk pemotongan
gaji untuk iuran serikat pekerja di

Namun demikian, optimisme yang be-

tempat kerja — menegaskan pernya-

rangkat dari kondisi-kondisi objektif

taan Hadiz di atas tentang problema

ini tidak dapat disangkal masih belum

'konsolidasi' dalam organisasi-orga-

menjelma menjadi sebuah realitas

nisasi kelas pekerja. Ini belum terma-

seutuhnya seperti yang dibayangkan

suk keluhan para buruh atas kega-

para aktivis dan akademisi yang

galan serikat pekerja, yang kerap

berpihak pada perbaikan nasib buruh

dibahasakan oleh pekerja sebagai

Indonesia. Bahkan Hadiz (1997) yang

”orang-orang dari Jakarta,” untuk me-

pernah menyemai apresiasi dan keya-

representasikan

kinan akan gerakan buruh Indonesia

yang berkibar di tingkatan akar rum-

di bawah rezim represif Soeharto da-

put.

aspirasi-aspirasi

lam karya pentingnya tentang buruh

JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 10 NO. 2 OKTOBER 2005

3

PEKERJA INDUSTRI INDONESIA, GERAKAN BURUH, DAN NEW SOCIAL MOVEMENT

Bagaimana

kondisi

empiris

yang

dialami buruh Indonesia pada harihari ini serta bagaimana realitas tersebut menciptakan pintu masuk bagi
berkembangnya wacana new social
movement akan dibahas penulis pada
bagian berikut ini.

Sebuah Cerita dari Satu Kantong
Industri
Suatu siang tahun 2001 di
sebuah pabrik penghasil ban
mobil, sepeda motor, dan
sepeda di Tangerang. Hari itu
adalah hari gajian. Arief (22
tahun, bukan nama sebenarnya)
meninggalkan antrian panjang
pekerja yang menunggu giliran
menerima pembayaran atas
kerja mereka sebulan. Dengan
penat masih menggantung
setelah bekerja sepanjang pagi,
Arief nampak sumringah dengan
upah bulanannya yang sebesar
Rp 529,500. Saat yang sama, ia
pun sadar bahwa jumlah itu
hanyalah cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar sehariharinya di tengah kondisi ekonomi yang sulit pada masa itu.
Namun, dalam perjalanan pulang ke kamar kontrakannya,
benaknya terisi lebih dari sekadar kalkulasi matematis tentang
bagaimana upahnya mencukupi
pengeluarannya sehari-hari.
Sorenya, Arief terlihat mengusung sebuah kotak kardus berisi
sebuah pesawat televisi (teve)
anyar yang baru dibelinya di

4

pasar dekat perkampungan buruh tempat ia tinggal. Segera
setelah pesawat teve itu diset
dan ditata di tengah kamar yang
berukuran 3x3 meter, beberapa
tetangga kamar di kompleks
kontrakan itu datang untuk ikut
menikmati perangkat baru milik
Arief. Kualitas gambarnya tidaklah terlalu jernih, namun memadai bagi penontonnya yang duduk di atas lantai dingin hingga
larut malam. Keesokan siangnya, Arief membawa sebatang
bambu panjang ke kontrakannya untuk dipasangkan antena
teve yang baru dibelinya selepas kerja shift siang di pabriknya. Setelah beberapa saat
mengatur posisi antena, dengan
dibantu seorang teman, Arief
nampak puas dengan kualitas
gambar pada teve barunya dan
lega karena ia tidak perlu lagi
mendatangi tetangga kontrakannya untuk menikmati hiburan segar dari saluran-saluran
teve nasional.
Beberapa bulan ke depan, Arief
kembali menambah pemilikan
barang 'mewah'nya dengan
sebuah pemutar CD/VCD, dua
perangkat pengeras suara
(loudspeaker), dan sebuah sepeda gunung. Kesemuanya dibeli dari uang hasil kerja kerasnya sebagai pekerja pabrik. Dan
Arief hanyalah salah satu dari
ratusan bahkan ribuan pekerja
pabrik di perkampungan buruh
itu dengan kepemilikan barang
konsumtif yang senantiasa bertambah begitu tanggal muda
tiba.

JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 10 NO. 2 OKTOBER 2005

BAHASAN UTAMA

Ilustrasi di atas dikutip dari catatan

demi Rp.16.000,00 perhari (sesuai

lapangan penulis saat melakukan pe-

dengan pagu upah masa itu) atau

nelitian etnografis di kawasan yang

lembur untuk bayaran lebih. Sebuah

dimaksud pada kurun 2000-2002.

premis mengenai sedikit kerja untuk

Menjamurnya insidensi kepemilikan

leisure time yang lebih jelas tidak

barang

berlaku di sini.

konsumtif

sebagai

simbol

modernitas dan kemajuan mungkin
menggambarkan

tahapan-tahapan

akhir dari garis unilinear Rostowian

Identitas Modern dan Penegasan

mengenai

Diri Kelompok Marginal

perkembangan

pem-

bangunan ekonomi yang seolah menjadi keharusan bagi bangsa dunia

Ilustrasi di atas mengekspresikan

berkembang

bagi

'apa artinya menjadi manusia mo-

kesejajarannya dengan bangsa yang

dern, menjadi orang kota, menjadi

telah

berbeda

sebagai

syarat

terindustrialisasi

(Todaro,

dari

eksistensi

(dianggap)

tidak

kedesaan

1982). Beberapa kata kunci dari

yang

modern,'

paradigma tersebut adalah industri-

sesuai dengan pandangan subjek-

alisasi, high consumption, dan leisure

subjek lokal. Praktik budaya dan

time, nampak sesuai dengan impresi

ekspresi seperti ini oleh Joel Kahn

sepintas dari narasi di atas. Namun,

(2001:17) disebut sebagai 'moder-

sebuah realisasi penuh atas moder-

nisme,' yakni cara khusus untuk me-

nitas seperti diindikasikan dalam fase

mahami modernitas. Di samping itu,

tinggal landas (take-off), atau bahkan

oleh karena modernisme berkembang

pada tahap high mass consumption,

sesuai dengan ciri lokal, akan terda-

mungkin juga hanya menjadi cermin

pat bentuk jamak modernisme.

obskura dari realitas keseharian di
pe-

Praktik modernisme di atas mengin-

kerja industri di Tangerang. Adalah

dikasikan upaya pekerja industri un-

ironis bahwa pola konsumsi dan gaya

tuk menolak konsekuensi industria-

hidup seperti ini menjadi keseharian

lisasi yang mengalienasi mereka. Pro-

mereka yang masih tinggal di kawa-

blema alienasi yang disuarakan buruh

san yang air bersihnya masih menjadi

dalam ekspresi ini tidak sepenuhnya

persoalan sehari-hari dan tipikal kam-

dikaitkan dengan eksistensi mereka

pung kumuh merupakan pengalaman

dalam hubungan produksi, seperti

keseharian. Lebih jauh, para pekerja

yang diisyaratkan Karl Marx (1977).

perkampungan-perkampungan

industri masih harus bekerja keras

JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 10 NO. 2 OKTOBER 2005

5

PEKERJA INDUSTRI INDONESIA, GERAKAN BURUH, DAN NEW SOCIAL MOVEMENT

Bagi buruh migran di Tangerang,

mereka dapat mengklaim pengam-

respons

kehidupan

bilalihan (appropriation) gaya hidup

modern baru akan nampak saat jagad

modern dan modernitas perkotaan.

(universe) mereka ditarik ke luar din-

Tidak jadi masalah lama jam kerja

ding

kreatif

atas

wilayah-

dan keringat adalah harganya. Konsu-

wilayah non-produksi. Dalam setting

merisme pada mereka menjadi repre-

non-produksi

sentasi

pabrik,

merambah
inilah,

modernisme

penolakan

atas

persepsi

tidak semata menjadi kritik terhadap

umum masyarakat bahwa menjadi

industrialisasi, namun juga terhadap

'buruh pabrik' identik dengan kemis-

ketidakadilan

kinan dan kepapaan.

(inequality)

dalam

masyarakat secara luas. Dalam ranah
di luar pabrik inilah tercipta banyak
arena modernitas yang menciptakan

New Social Movement: Sebuah

diskursus

Ringkasan

tempat

kaum

marginal

menegaskan dan mendefinisikan sendiri dirinya, bebas dari pengaruh

New Social Movement (NSM) sesung-

kekuatan-kekuatan dominan.

guhnya merupakan sebuah bentuk
pemaknaan baru atas aksi kolekif

Konsumsi komoditas yang dikaitkan

dengan

dengan gaya hidup (modern) menjadi

aspek sosiokultural lebih daripada

ekspresi kelas yang menantang stig-

faktor

ma kemiskinan dan ketidakberdayaan

sosial (Touraine, 1985:780). NSM se-

buruh industri. Dengan demikian,

bagai bentuk aksi kolektif (collective

kualitas

kehidupan

action) maupun sebagai suatu ba-

dialami

pekerja

mengindikasikan

material

industri
usaha

yang

saat

ini

subaltern

mencoba
sosiopolitis

memperhatikan
dalam

gerakan

ngunan teori sebenarnya merupakan
gejala

yang

sangat

khas

dalam

untuk menempatkan dirinya kurang

masyarakat industrial di kawasan

lebih

kelas-kelas

Eropa Barat dan Amerika Utara. Hal

sosial perkotaan lainnya yang menik-

ini ditandai dengan kemunculan ge-

mati buah pembangunan. Konsumsi

rakan-gerakan sosial berskala luas

juga menjadi ranah tempat kaum

pada dekade 1960-an dan 1970-an

marginal mencari jalan keluar dari

yang merespons gejala menguatnya

tekanan dan pengalaman traumatis di

negara, yang bersamaan dengan eks-

lantai produksi. Modernisme seperti

pansi pasar, menjadi dua kekuatan

dipahami para pekerja ini menjadi

dominan dalam melakukan penetrasi

realitas keseharian perkotaan di mana

ke dalam berbagai aspek kehidupan

6

sejajar

dengan

JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 10 NO. 2 OKTOBER 2005

BAHASAN UTAMA

warga negara. Kemampuan negara

lingan

dan pasar untuk mengatur secara

menjadi perhatian utamanya.

kekuasaan

negara

bukan

sistematis ini menjadikan masyarakat
sipil (civil society) kehilangan ruang

Realitas

pasca-industrial

di

mana

sosialnya.

diferensiasi sosial menjadi sedemikian kompleks telah membuat idenperspektif

titas sosial tidak lagi dapat dilihat

NSM, merupakan perjuangan dalam

sebagai hasil atau konsekuensi logis

merebut kendali atas produksi makna

dari relasi produksi dan refleksi me-

— bukan barang — dan pembentukan

kanis dari kepentingan ekonomi. Itu-

identitas-identitas kolektif baru yang

lah sebabnya Alain Touraine (1985:

diorganisasikan kembali dalam se-

777) menyebut bahwa NSM seha-

buah masyarakat sipil pasca-indus-

rusnya dilihat dalam kaitannya de-

trial. NSM, baik sebagai teori maupun

ngan konsepsi tentang bentuk repre-

praktik aksi, berangkat dari keyakinan

sentasi baru dalam masyarakat yang

bahwa baik kekuasaan dan resistensi

ditandai dengan keberagaman. Da-

tersebar di mana-mana dan, karena-

lam kerangka ini maka konflik dan

nya, terdesentralisasi. Berbeda de-

gerakan

ngan

sebelumnya,

dipahami semata dalam perspektif

yang dapat disebut sebagai old social

kelas yang ditentukan oleh kondisi

movement, seperti banyak dijumpai

ekonomi. Secara tradisional, aksi-aksi

pada

tidak

kolektif dalam pusaran NSM dikaitkan

membatasi dirinya pada pencapaian

dengan isu, di antaranya, ekologi,

material dan perjuangan redistributif

feminisme,

secara ekonomis. Dengan demikian,

isme, dan identitas etnis yang secara

isu

upah

umum lebih berorientasi pada nilai-

buruh, ketidakadilan ekonomi, dan

nilai humanis, kultural, dan non-ma-

eksploitasi kelas menjadi sekunder.

terialistis (Inglehart, 1971; Abramson

Lebih jauh, NSM tidak melibatkan

dan Inglehart, 1986). Tidaklah meng-

dirinya dalam pergulatan ideologis

herankan bahwa dalam beberapa hal,

seputar persoalan anti-kapitalisme,

NSM

revolusi kelas, dan perjuangan kelas

kebudayaan tradisional. Bahkan ada

(Singh, 2001:96). Oleh sebab itu,

pula

gagasan mengenai revolusi dan per-

“tradisionalisme

juangan revolusioner demi penggu-

1987). Menguatnya wacana-wacana

Gerakan

sosial,

gerakan

gerakan

mengenai

dalam

sosial

buruh,

NSM

peningkatan

sosial

anti-sistemik

JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 10 NO. 2 OKTOBER 2005

dapat

perdamaian,

terinspirasi
yang

tidak

oleh

regional-

nilai

menyebutnya

ini

kritis”

lagi

dan

sebagai
(Nandy,

mengindikasikan

7

PEKERJA INDUSTRI INDONESIA, GERAKAN BURUH, DAN NEW SOCIAL MOVEMENT

sinyalemen Alain Touraine (1984)

Secara

bahwa

pasca-

preposisi Marxis mengenai keutama-

dalam

industrial

masyarakat

terdapat

konseptual

NSM

menolak

kecenderungan

an sistem produksi dan perjuangan

pemisahan antara struktur sosial —

berbasis kelas sebagai motor peru-

termasuk pula ekonomi dan politik —

bahan sosial. Berangkat dari asumsi

dan budaya. Hubungan antara struk-

mengenai kegagalan Marxisme dalam

tur, terutama ekonomi, dengan bi-

merealisasikan

dang-bidang kehidupan lainnya tidak

emansipasi, teori NSM melihat dua

lagi semata merupakan hubungan an-

kecenderungan

tara bangunan bawah dan bangunan

Marxisme

atas dalam konsepsi Marxian. Ini se-

(Laclau

kaligus mentransendensikan dimensi

Pertama adalah reduksionisme eko-

kelas

dan

membongkar

pembebasan
reduksionis

sebagai

dan

dan
dari

penyebabnya

Mouffe,

1985:76).

selubung

nomi yang beranggapan bahwa se-

kondisi-kondisi material dan ekonomi

buah formasi sosial beserta proses

dalam mobilisasi-mobilisasi NSM pa-

politis dan ideologisnya merupakan

da tingkatan akar-rumput. Para aktor

turunan (hanya) dari logika ekonomi.

dalam aksi-aksi kolektif menegaskan

Kedua adalah reduksionisme kelas

keterlibatan mereka di dalam gerakan

yang meyakini bahwa identitas para

sebagai manusia secara utuh dan

agen sosial ada terutama karena posi-

bukan

yang

si kelas mereka sehingga aktor-aktor

diasosiasikan semata pada aktivitas

sosial secara fundamental adalah ak-

ekonomi dan kerja produksi (Singh,

tor kelas dan identitas mereka meru-

2001:114). NSM merupakan gerakan

pakan cerminan dari kepentingan ke-

sosial

kualitasnya

las (Poulantzas, 1973:27; Wright,

menjadi lebih dominan daripada fak-

1979:61). Dengan demikian, semua

tor kuantitas (Habermas, 1981; Offe,

bentuk perjuangan merupakan per-

1985). Dengan demikian, alih-alih

juangan berbasiskan kelas dan segala

mencerminkan kepentingan satu ke-

bentuk pengelompokan manusia ada-

las tertentu seperti dalam gerakan-

lah

gerakan

NSM

kelas. Permasalahannya adalah bah-

sebagai praktik aktivisme ditujukan

wa berbagai gerakan sosial kontem-

lebih untuk membela nilai-nilai dasar

porer yang berkaitan dengan isu anti-

kemanusiaan serta perjuangan bagi

rasisme, perlucutan senjata, diskrimi-

kondisi-kondisi kehidupan yang lebih

nasi gender, lingkungan, dan hak asa-

baik (Singh, 2001:96).

si manusia berada di luar paradigma

lagi

sebagai

yang

sosial

aspek

pihak

sebelumnya,

kelas

8

pengelompokan

dan

berdasarkan

mengabaikan

konsepsi

JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 10 NO. 2 OKTOBER 2005

BAHASAN UTAMA

materialistik dan determinisme eko-

menjadi

nomi Marxian. Hal ini sekaligus mem-

menguatnya kemampuan negara ber-

berikan penegasan tentang runtuh-

sama dengan ekspansi pasar untuk

nya paradigma kelas sebagai model

mengatur kehidupan warganya. Pada

eksplanatoris dalam gerakan sosial.

tataran ini masyarakat kehilangan

manifes

otonominya

sejalan

berhadapan

dengan

dengan

Oleh karena identitas aktor dalam

kekuatan negara dan pasar. Dalam

aksi kolektif tidak lagi terbentuk

kerentanan inilah maka NSM meng-

berdasarkan latar belakang kelas,

angkat isu mengenai 'pembelaan diri'

NSM

mengabaikan

(self-defense) (Singh, 2001:99) ma-

model pengorganisasian serikat bu-

syarakat terhadap kontrol sosial yang

ruh oleh pekerja industri maupun mo-

dilakukan

del partai politik dalam sistem demo-

kekuasaan negara dan pasar telah

krasi representatif, yang oleh NSM

menggerogoti otonomi dan kebe-

dianggap konvensional (Gorz, 1982).

basan manusia untuk mengontrol

Kedua model ini merupakan penge-

dirinya, memiliki tubuhnya sendiri,

jawantahan yang khas dari represen-

dan menafsirkan sendiri apa yang

tasi

menganggap

baik bagi diri dan masyarakatnya

bahwa masyarakat kontemporer —

sendiri. Gejala ini oleh Jurgen Haber-

yang modern dan industrial — meru-

mas (1981:35) disebut sebagai 'colo-

pakan hasil dari representasi kapital-

nization of life-world', di mana kehi-

isme, industrialisme, dan dominasi

dupan privat manusia telah menjadi

peradaban Barat. Alternatif terhadap

objek bagi kontrol negara dan modal.

secara

modernis

umum

yang

keduanya.

Menguatnya

kedua model 'usang' ini adalah politik
dan aksi pada tingkatan akar rumput

Kesadaran terhadap kemerosotan ini

dengan melibatkan kelompok-kelom-

kemudian menjadi pijakan bagi para

pok kecil yang terfokus pada isu-isu

aktor

lokal. Atas kesadaran untuk meng-

sosial ini untuk memperjuangkan oto-

hindari bentuk-bentuk representasi

nomi, keragaman, serta hak untuk

pada tingkatan makro dan elite inilah,

memiliki corak eksistensi yang berbe-

NSM mengarahkan ranah sosialnya

da (Cohen, 1985:669; Frank dan

pada masyarakat sipil (civil society)

Fuentes, 1987:155-6). NSM, oleh

dengan

mengangkat

lintas-kelas

dalam

gerakan

persoalan-

karenanya, menjadi sebuah inisiatif

persoalan

mengenai

'demoralisasi

masyarakat dan individu untuk me-

struktur

kehidupan

keseharian'

mulihkan kembali otoritas atas dirinya

(Cohen, 1985:667). Kemerosotan ini

yang sebelumnya telah sedemikian

JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 10 NO. 2 OKTOBER 2005

9

PEKERJA INDUSTRI INDONESIA, GERAKAN BURUH, DAN NEW SOCIAL MOVEMENT

dipengaruhi oleh pilihan-pilihan yang

day life) sebagai medan perlawanan

dibuat oleh sistem (Habermas, 1981).

di mana pada kesehariannya manusia

Perjuangan pada tingkatan akar rum-

diasumsikan senantiasa terlibat di

put termasuk pula inisiatif untuk

dalam politik mikro di luar kerangka

menempatkan masyarakat (society)

negara dan sistem (Walker, 1988:

sejajar dengan negara dan ekonomi.

141; Scott, 1990). Politik dalam kehi-

Dimasukkannya masyarakat dalam

dupan sehari-hari merupakan penge-

relasi-relasi ini memungkinkan tercip-

jawantahan konsepsi tentang “politik

tanya 'ruang publik (public space)

yang hidup” yang menjadi sebuah

(Habermas, 1981, 1989) di mana baik

“pandangan

individu maupun kelompok mene-

(Bailey, 1988). Bentuk ini sekaligus

gaskan otonomi dan kebebasannya

membedakannya dari politik formal

dalam

merepresentasikan

hidup”

(way

of

life)

dirinya

dalam masyarakat modern yang cen-

dalam berhadapan dengan negara

derung mengabaikan partisipasi dan

dan pasar.

emansipasi semua pihak di dalam
instrumen-instrumen politik seperti

Penegasan agency, yang di dalamnya

yang banyak dijumpai dalam sistem

mencakup individu maupun masya-

demokrasi perwakilan.

rakat,

dapat

bukan

saja

tradisi

dan

Tidak ada satu bentuk gerakan pun

kearifan lokal, namun juga melalui

yang dapat secara eksklusif dikaitkan

aksi-aksi

pada

dengan NSM. Sebaliknya, ia memiliki

dengan

dilihat

mengaktifkan
yang

terlokalisasi

topografi yang khusus (Giri, 1992:

'bentuk yang beragam' (polymor-

41). Dalam banyak hal, aksi-aksi yang

phous expressions) (Singh, 2001:96)

dilakukan dalam tingkatan ini tidak

dan di dalamnya terkandung sema-

secara

menghujamkan

ngat untuk menolak penyeragaman,

kritiknya pada struktur-struktur yang

homogenisasi, dan penyamarataan di

memungkinkan terjadinya margina-

bawah

lisasi. Sebaliknya, perlawanan dila-

maupun sistem kekuasaan tertentu.

kukan terhadap berbagai dampak

Itulah sebabnya gerakan antirasisme,

langsung yang diakibatkan oleh bero-

antinuklir, perlucutan senjata, femi-

perasinya

yang

nisme, maupun aksi-aksi kolektif ber-

mengabaikan para agen lokal dan

basiskan isu lingkungan, etnisitas,

masyarakat sipil. Itulah sebabnya ge-

kebebasan sipil, hingga pada pem-

langsung

struktur-struktur

kekuasaan

ideologi

global

rakan-gerakan ini cenderung menem-

belaan atas gaya hidup (life style) dan

patkan kehidupan sehari-hari (every-

kontrol

10

atas

tubuh

memberikan

JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 10 NO. 2 OKTOBER 2005

BAHASAN UTAMA

warna pada NSM. Keragaman bentuk

mis. Proses pencarian format iden-

ini

titas budaya mereka justru diperta-

menjelaskan

dalam

bahwa

masyarakat

identitas
tidak

jam oleh interaksi dengan diskursus

semata bergantung pada posisi kelas.

global dan dunia yang senantiasa

Sosialitas manusia bersifat heterogen

berubah. Hal ini, di antaranya, di-

dan,

bentuk-

mungkinkan oleh apa yang disebut

bentuk aksi sosial pun memiliki arah,

Appadurai (1990:7-9) dengan ethno-

tujuan, dan kepentingan yang ber-

scape (mobilitas fisik yang mem-

beda.

berikan mereka realitas dan ruang

sebagai

modern

akibatnya,

yang

senantiasa

bergeser)

dan

mediascape (kemelekhurufan yang
New Social Movement: Sebuah

semakin meningkat dan paparan pa-

Akhir bagi Politik Kelas Pekerja?

da media), yang menghasilkan citra
yang beragam yang menjadi dasar

Terpaparnya

pekerja

ter-

bagi pembentukan eksistensi masa

hadap berbagai praktik, ekspresi, dan

kini dan mendatang. Dinamika-dina-

ranah,

yang

mika yang ada ini menunjukkan bah-

penulis temukan, menjelaskan bahwa

wa realitas buruh tidak melulu ten-

identitas mereka bukan merupakan

tang pabrik. Ada desa tempat imaji-

sesuatu yang bersifat ajeg dan tak

nasi tentang migrasi, modernitas, dan

dapat diganggu gugat. Identitas itu

pekerjaan di kota dimulai. Desa itu

sendiri bukan sesuatu yang sudah jadi

sendiri tidak secara eksklusif berarti

(fixed) atau sudah ada sebelumnya

tradisi dan konservatisme, terutama

(predetermined). Identitas-identitas

karena desa telah menjadi modern

pekerja

terbangun

melalui pembangunan dan moder-

semata oleh kondisi-kondisi yang

nisasi pedesaan. Di sini pendidikan

konstan (misalnya: produksi indus-

modern (yang tersentralisasi) dan

trial menghasilkan identitas buruh,

media massa memiliki peran dalam

tradisi dan sejarah menciptakan iden-

produksi imajinasi mengenai kehi-

khususnya

industri

industri
seperti

tidak

titas kedesaan yang homogen), tanpa

dupan (imagined lives). Di kota, per-

peduli pada kondisi-kondisi kontem-

kampungan buruh sama pentingnya

porer. Konstruksi identitas pekerja

sebagai ranah tempat internalisasi

industri

yang

sebagai individu modern, dengan me-

belum dan tidak akan pernah selesai.

rengkuh gaya hidup perkotaan dan

Ia secara konstan mengalami trans-

praktik-praktik lainnya yang dianggap

formasi dan perubahan secara dina-

'modern,' diekspresikan. Dalam ranah

merupakan

proses

JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 10 NO. 2 OKTOBER 2005

11

PEKERJA INDUSTRI INDONESIA, GERAKAN BURUH, DAN NEW SOCIAL MOVEMENT

juga

ral' mereka dalam perjuangan kelas

pengalaman

melawan kelas-kelas antagonis mere-

multietnis dan multikultural, yang

ka. Di sini imajinasi modern menjadi

bersama dengannya buruh terlebur

penting dalam mentransendensikan

dalam aspirasi dan gagasan yang

eksistensi kekinian kaum pekerja ke

terkonvergensi mengenai imagined

dalam wilayah-wilayah imajiner, yang

community. Masih ada lagi ranah-

secara tipikal didefinisikan sebagai

ranah yang tercipta melalui citra, di

realitas kelas-non-pekerja. Dengan

mana mereka tidak pernah menjadi

demikian, konflik-konflik yang me-

bagian darinya, namun dalam kha-

lingkari kaum pekerja industri kon-

yalan

bagian

temporer telah bergeser dari isu-isu

darinya, dan hal ini menentukan

ketertindasan ke isu-isu yang lebih

bagaimana mereka akan memba-

khas dimiliki oleh masyarakat modern

yangkan

dengan

yang

sama

berhadapan

para

buruh

dengan

mereka

dan

menjadi

mengkonstruksikan

gejala-gejala

pasca-indus-

masa depannya.

trialnya.

Dengan melihat ekspektasi kaum

Dunia kini diwarnai oleh peran baru

buruh industri perkotaan terhadap

imajinasi dalam kehidupan sosial'

modernitas dan bentuk-bentuk mo-

(Appadurai, 1990:4). Imajinasi men-

dernisme, seperti yang dikemukakan

jadi sebuah tolok ukur bagi seseorang

pada ilustrasi di depan tentang gaya

untuk melihat tempatnya di tengah

hidup

yang

aktualitas kekinian, sama dengan

berorientasi pada kelas menengah,

saat Benedict Anderson (1983) meli-

nampak

kelas

hat perjuangan kaum pribumi mela-

semata

wan penguasa kolonial dengan me-

didukung oleh preposisi mengenai

realisasikan 'imagined communities,'

perjuangan dan antagonisme kelas.

yang menyejajarkan mereka dengan

Jacquelyn Southern (2000:222), da-

bangsa-bangsa

berdaulat

lam

Praktik-praktik

untuk

dan

pekerja

imajinasi

bahwa
tidak

konteks

sosial

eksistensi

dapat

lagi

masyarakat

pasca-

menjadikan

industrial, berpendapat bahwa fak-

modernitas

tor-faktor

'kemakmuran,

kesadaran subjektif pekerja industri

konsumerisme, dan produktivisme'

perkotaan merupakan upaya untuk

telah menciptakan kondisi di mana

menegaskan

para pekerja kasar/manual (blue-

bukan merupakan 'proses yang terpi-

collar worker), meninggalkan 'kondisi

sah' (Kahn, 2001:20) dari dinamika-

proletarian' dan 'kepemimpinan mo-

dinamika yang terjadi di tempat-

12

seperti

sebagai

lainnya.

bahwa

bagian

dari

modernisme

JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 10 NO. 2 OKTOBER 2005

BAHASAN UTAMA

tempat lain. Jadi, eksistensi 'kelas

Namun demikian, modernitas tidak

pekerja' di Tangerang merupakan 'se-

serta-merta menjadikan politik kelas

buah

kesadaran

relasional'

pekerja — yang secara tipikal berpu-

dengan

sat di sekitar aktivisme buruh — tidak

eksistensi lain di luar realitas para

lagi relevan. Angka pemogokan buruh

pekerja industri perkotaan. Penga-

dan aksi-aksi kolektif dalam dunia

laman kelas dan marginalitas per-

industri tetaplah tinggi. Kebijakan-

kotaan, sebagai akibat dari subor-

kebijakan pemerintah akhir-akhir ini

dinasi

hubungan

yang tidak berpihak pada masyarakat

industrial dan status sosio-ekonomi

luas, terutama dengan dicabutnya

mereka, merupakan ancaman bagi

subsidi anggaran atas bahan bakar

upaya mengejar identitas modern,

minyak

sebuah hambatan bagi terealisasinya

penolakan-penolakan pada tingkatan

imajinasi modernitas menjadi realitas

akar-rumput akan senantiasa ber-

sosial. Oleh karena itu, modernisme

lanjut, bahkan berkembang. Media

sebagai

mentrans-

massa pun tidak berhenti melaporkan

formasikan imajinasi menjadi penga-

tentang aksi-aksi buruh di kantong-

laman aktual serta merupakan per-

kantong

juangan sebuah kelas melawan pro-

mengenai kondisi kerja yang buruk

ses pengabaian mereka dari moder-

dan marginalisasi industrial masih

nitas demi memperoleh pengakuan

tetap hadir hingga hari ini. Namun,

modern (modern recognition), yang

kondisi-kondisi

subjektif

menempatkan mereka sejajar de-

gerakan

mengungkapkan

(Appadurai,

1996:186)

mereka

praktik

dalam

untuk

(BBM),

menjamin

industri.

buruh

bahwa

Isu-isu

klasik

dalam

ngan warga negara lainnya yang

bahwa ia belumlah siap untuk men-

diuntungkan dari proses pembang-

transformasikan dirinya menjadi ins-

unan. Pengambilalihan simbol-simbol

trumen kelas pekerja yang solid. Apa

perkotaan oleh para pekerja pabrik ini

yang terjadi dengan pengalaman em-

menggarisbawahi

sub-

piris yang penulis temukan menun-

altern' (Spivak, 1999:24-8) terhadap

jukkan bahwa politik kelas pekerja

pengabaian mereka dari arus global

tidak

yang besar yang secara kreatif dibalik

premis-premis

menjadi

berdayaan buruh dan penaklukan to-

sebuah

'kesadaran

keadaan

tempat

lagi

dapat

bersandar

pada

mengenai ketidak-

inklusivitas mereka alamnya mem-

tal mereka dalam

peroleh pengakuan.

kuatan-kekuatan

menghadapi kedominan

(negara

dan pengusaha). Kondisi-kondisi objektif, misalnya: upah nominal yang

JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 10 NO. 2 OKTOBER 2005

13

PEKERJA INDUSTRI INDONESIA, GERAKAN BURUH, DAN NEW SOCIAL MOVEMENT

meningkat, semakin murahnya ba-

buruh

rang-barang konsumtif, pendidikan

dalam gerakan sosial lama (old social

mewakili

kecenderungan

yang lebih baik, dan paparan terha-

movement) yang berkaitan dengan

dap media, mengindikasikan bahwa

institusi-institusi politik formal dalam

pekerja industri di permulaan abad

sistem demokrasi perwakilan.

ke-21 ini memiliki arena permainan
dan aspirasi yang berbeda dengan

Namun

yang dialami kaum buruh industri dari

realitas dan eksistensi pekerja indus-

era-era sebelumnya. Kondisi-kondisi

tri Indonesia tidak memiliki kaitan

ini memberikan mereka serangkaian

dalam bentuk apa pun dengan pre-

kemungkinan

mengusung

mis-premis pembentuk NSM. Ilustrasi

aspirasinya dalam arena-arena yang

penulis tentang merebaknya konsu-

berbeda (bukan lagi pabrik-pabrik

merisme di kalangan pekerja mung-

dan

buruh-

kin dapat dipakai sebagai rantai peng-

menghilangkan

hubung. Tidak tertutup kemungkinan

untuk

hubungan-hubungan

kapital),

tanpa

demikian,

sementara

bukan

pihak

berarti

kapabilitas kritis mereka untuk meng-

bahwa

meman-

kritisi ketidakadilan dan inequality

dangnya semata sebagai suatu ben-

dalam masyarakat.

tuk kesadaran palsu (false consciousness). Namun, gejala yang sama
dapat pula dilihat sebagai bagian dari
upaya

Penutup

manusia-manusia

marginal

seperti buruh untuk mengklaim kemtidak

bali otonomi atas diri mereka sendiri

berpretensi untuk membuat klaim

dalam ranah non-produksi. Dengan

bahwa dinamika politik perburuhan

memahami bahwa eksistensi pekerja

pada tingkatan akar-rumput mere-

industri bukan semata lingkungan

fleksikan gejala terbuka dari NSM.

pabrik

Tentu saja ada persoalan konseptual

ditemukan

untuk

gerakan

life-world seperti yang dimaksudkan

buruh ke dalam wacana ini mengingat

oleh Habermas. Kondisi-kondisi mar-

dunia kerja dan premis-premis klasik

ginalisasi dan dominasi yang dihasil-

yang mendasari keberadaan pekerja

kan oleh relasi produksi tidak selalu

industri merupakan representasi dari

harus direspons dengan perlawanan

masyarakat industrial. Hal ini menjadi

dan kritisisme seperti yang ditemukan

sedikit

pada

dalam gerakan maupun organisasi

gerakan

perburuhan (tradisional) pada umum-

Dalam

artikel

penulis

mengkategorikan

lebih

umumnya

14

ini

rumit

karena

karakteristik

dan

kerja,

berbagai

maka

akan

kemungkinan

JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 10 NO. 2 OKTOBER 2005

BAHASAN UTAMA

nya. Sebaliknya, eksklusi struktural

dap negara dan pasar dapat terus

seperti ini dapat pula diterjemahkan

dipelihara. Apa yang penulis coba

menjadi diskursus-diskursus kultural

tunjukkan adalah bahwa isu non-

di luar lantai pabrik tempat para

materialisme adalah mungkin dalam

buruh membuka ruang untuk mene-

realitas buruh industri di Indonesia,

mukan kembali martabat dan otono-

setidaknya di Tangerang. Adalah be-

minya sebagai manusia secara pe-

nar bahwa gambaran-gambaran kecil

nuh.

pada tingkatan akar rumput ini masih
jauh, sangat jauh, dari sebuah ge-

Justru dengan penemuan ruang eks-

rakan kritis secara kolektif. Klaim

presi dan eksistensi yang semakin

terhadap ruang publik dalam usaha

luas itulah sesungguhnya gerakan

untuk menempatkan masyarakat dan

buruh tidak akan pernah kehabisan

individu sejajar dengan negara dan

sumber

perjuangannya.

pasar seperti kebanyakan NSM masih

Seandainya semua tuntutan ekonomi

jauh dari perhatian para pekerja.

dan isu tentang kondisi kerja telah

Tentu saja akan menarik mengamati

terpenuhi, pertanyaan tentang ke

apa yang menurut penulis merupakan

mana gerakan buruh setelah itu

gejala prematur sebuah gerakan ber-

mungkin akan menjadi persoalan

basis identitas dalam gerakan buruh

besar. NSM memberikan alternatif

mengalami

tentang bagaimana kritisisme terha-

NSM.

inspirasi

transformasi

menjadi

Daftar Rujukan
Abramson, Paul dan Ronald Inglehart. 1986. ”Generational Replacement and
Value Change in Six Western Societies”. American Journal of Political
Science 31(1):1-25.
Anderson, Benedict. 1983. Imagined Communities: Reflections on the Origin
and Spread of Nationalism. London: Verso.
Appadurai, Arjun. 1990. “Disjuncture and Difference in the Global Cultural
Economy.” Public Culture 2(2):1-24.
Appadurai, Arjun. 1996. Modernity at Large. Minneapolis: University of
Minnesota Press.

JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 10 NO. 2 OKTOBER 2005

15

PEKERJA INDUSTRI INDONESIA, GERAKAN BURUH, DAN NEW SOCIAL MOVEMENT

Cohen, Jean. 1985. “Strategy or Identity: New Theoretical Paradigms and
Contemporary Social Movements.” Social Research 52(4): 663-716.
Ford, Michele. 2000. ”Research Note: Indonesian Trade Union Developments
since the Fall of Suharto.” Labour and Management in Development
Journal 1(3):1-10.
Ford, Michele. 2001. “Challenging the Criteria of Significance: Lessons from
Contemporary Indonesian Labour History.” Australian Journal of Politics
and History 47(1):100-113.
Ford, Michele. 2003. NGO as Outside Intellectual: A History of NonGovernmental Organisations' Role in the Indonesian Labour Movement.
Disertasi PhD, tidak diterbitkan. Wollongong: University of Wollongong.
Frank, Andre Gunder dan Marta Fuentes. 1987. “Nine Theses on Social
Movements.” Thesis Eleven 18/19: 143-65.
Giri,

Ananta.

1992.

“Understanding

Contemporary

Social

Movements.”

Dialectical Anthropology 17:1: 35-49.
Gorz, Andre. 1982. Farewell to the Working Class: An Essay on Post-Industrial
Socialism. London: Pluto Press.
Habermas, Jurgen. 1981. “Social Movements”. Telos No.19.
Habermas, Jurgen. 1989. The Structural Transformation of the Public Sphere:
An Inquiry into A Category of Bourgeois Society. Cambridge, MA: MIT
Press.
Hadiz, Vedi R. 1997. Workers and the State in New Order Indonesia. London:
Routledge.
Hadiz, Vedi R. 2001. “New Organising Vehicles in Indonesia: Origins and
Prospects”, dalam Jane Hutchison dan Andrew Brown (eds.). Organising
Labour in Globalising Asia. London: Routledge. Hal 108-126.

16

JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 10 NO. 2 OKTOBER 2005

BAHASAN UTAMA

Hill, Hal. 1998. “The Indonesian Economy: The Strange and Sudden Death of A
Tiger”, dalam Geoff Forrester dan R.J May (eds.). The Fall of Soeharto.
Bathurst: Crawford House Publishing. Hal 93-103.
Inglehart, Ronald. 1971. “The Silent Revolution in Europe: Intergenerational
Change in Post-Industrial Societies.” The American Political Science
Review 64(4):991-1017.
Kahn, Joel. 2001. Modernity and Exclusion. London: Sage Publications.
Kammen, Douglas Anton. 1997. A Time To Strike: Industrial Strikes and
Changing Class Relations in New Order Indonesia. Disertasi PhD tidak
diterbitkan. Ithaca: Cornell University.
Laclau, Ernesto dan Chantall Mouffe. 1985. Hegemony and Socialist Strategy.
London: Verso.
Leclerc, Jacques. 1972. “An Ideological Problem of Indonesian Trade Unionism in
the Sixties: Karyawan versus Buruh”. Review of Indonesian and Malayan
Affairs (RIMA) 6(1):76-91.
Marx, Karl. 1977. “The German Ideology”, dalam David McLellan (ed.). Karl
Marx: Selected Writing. London: Oxford University Press. Hal 159-91.
Nandy, Ashis. 1987. “Cultural Fraes for Social Transformation: A Credo.”
Alternatives 13(1): 113-123.
Offe, Claus. 1985. “New Social Movements: Challenging the Boundaries of
Institutional Politics”. Social Research 52(4): 817-68.
Poulantzas, Nicos. 1973. “On Social Classes”. New Left Review 78 (March-April):
27-54.
Scott, James. 1990. Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts.
New Haven: Yale University Press.

JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 10 NO. 2 OKTOBER 2005

17

PEKERJA INDUSTRI INDONESIA, GERAKAN BURUH, DAN NEW SOCIAL MOVEMENT

Singh, Rajendra. 2001. Social Movements, Old and New: A Post-modernist
Critique. New Delhi: Sage Publications.
Southern, Jacquelyn. 2000. “Blue Collar, White Collar: Deconstructing
Classification” dalam J.K Gibson-Graham, Stephen Resnik, dan Richard D.
Wolff (eds.). Class and Its Others. Minneapolis: University of Minnesota
Press. Hal 191-224.
Spivak, Gayatri Chakravorty. 1995. “Can the Subaltern Speak”, dalam B.
Ashcroft, G. Griffiths, H Tiffin (eds.). The Post-Colonial Studies Reader.
London: Routledge. Hal 24-28.
Todaro, Michael. 1982. Economics for a Developing World: An Introduction to
Principles, Problems and Policies for Development. Barlow: Longman.
Touraine, Alain. 1984. The Return of the Actor. Minneapolis: University of
Minnesota Press.
Touraine, Alain. 1985. “An Introduction to the Study of Social Movements”.
Social Research 52(4): 749-787.
Walker, R.B. 1988. One World, Many Worlds: Struggles for a Just World Peace.
London: Zed Books.
Warouw, J. Nicolaas. 2004. Assuming Modernity: Migrant Industrial Workers in
Tangerang, Indonesia. Disertasi PhD tidak diterbitkan. Canberra: The
Australian National University.
Wright, Erik Olin. 1979. Class, Crisis and the State. London: Verso.

18

JURNAL ANALISIS SOSIAL VOL. 10 NO. 2 OKTOBER 2005