GAYA HIDUP KOMUNITAS COSPLAY JEPANG DI SURABAYA.
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial
(S.Sos) dalam Bidang Sosiologi
Oleh:
Iftitakhul Laili Maghfiroh
NIM. B75213048
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN ILMU SOSIAL
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
ABSTRAK
Iftitakhul Laili Maghfiroh, 2017, Gaya Hidup Komunitas Cosplay Jepang Di
Surabaya, Skripsi Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Kata Kunci: Gaya Hidup, Cosplay, Jepang.
Gaya hidup menjadi satu hal yang tidak dapat dipisahkan dari modernisasi. Hal tersebut kemudian menjadi permasalahan yang diamati pada salah satu fenomena masyarakat hari ini, yakni cosplay. Cosplay sebagai sebuah budaya baru masyarakat modern khususnya kaum muda di Surabaya, adalah muncul dari kegemaran masyarakat terhadap tontonan dan tayangan anime,
manga, game, manhwa, tokusatsu, aplikasi dan hal-hal tentang Jepang
(jejepangan)lainnya, yang cenderung berlebihan dan irasional.
Metode yang dipakai untuk penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan penggalian data melalui wawancara, observasi dan dokumentasi. Sedangkan teori yang dijadikan alat analisis gaya hidup komunitas cosplay adalah Hiperealitas Jean Baudrillard dan Fenomenologi Kontrusi Sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa gaya hidup masyarakat cosplay– meliputi cosplayer, wibu, otaku, kameko dan wota – sangat irasional. Irasionalitas gaya hidupnya terletak pada kegandrungan yang sangat berlebihan akan segala sesuatu yang berbau jejepangan, tanpa memedulikan nilai kegunaan dan nilai kebutuhan demi memenuhi kepuasan yang sama sekali tiada artinya. Juga pada kebiasaannya mencintai jejepangan dengan amat keterlaluan, sehingga menganggap tidak ada sesuatu apapun yang menandingi dan melebihi apa yang telah dihasilkan oleh Jepang.
Sikap demikian muncul atas kontruksi tayangan-tayangan animasi Jepang sebagai sebuah simulasi yang akhirnya dipahami menjadi realitas obyektif. Realitas subyektif yang dipahami secara obyektif oleh masyarakat cosplay direalisasikan dalam bentuk tindakan meniru kostum, aksesori dan gaya hidup karakter dalam anime dan sebagainya. Tindakan tersebut selanjutnya menjadi kegiatan yang terinstitusionalisasi sebagai cosplay.
(7)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iii
MOTTO ... iv
PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN PERTANGGUNGJAWABAN PENULISAN SKRIPSI ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
BAB I: PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 13
C. Tujuan Penelitian ... 14
D. Manfaat Penelitian ... 14
E. Definisi Konseptual ... 15
F. Sistematika Pembahasan ... 8
BAB II: ANALISIS KULTUR COSPLAY DALAM PERSPEKTIF FENOMENOLOGI KONTEMPORER DAN HIPEREALITAS ... 20
A. Penelitian Terdahulu ... 20
B. Gaya Hidup dan Komunitas Cosplay Jepang ... 22
C. Fenomenologi – Peter L. Berger dan Thomas Luckmann ... 35
D. Hiperealitas – Jean Baudrillard ... 40
BAB III: METODE PENELITIAN ... 49
A. Jenis Penelitian ... 49
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 50
C. Pemilihan Subyek Penelitian ... 51
D. Tahap-Tahap Penelitian ... 52
E. Teknik Pengumpulan Data ... 53
F. Teknik Analisa Data ... 55
G. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data... ... 56
BAB IV: GAYA HIDUP KOMUNITAS COSPLAY JEPANG DI SURABAYA DALAM PERSPEKTIF FENOMENOLOGI KONTEMPORER DAN HIPEREALITAS ... 57
A. Komunitas Cosplay Jepang di Surabaya ... 57
B. Gaya Hidup Komunitas Cosplay Jepang di Surabaya ... 64
C. Analisis Gaya Hidup Komunitas Cosplay Jepang Di Surabaya... 91
1. Pendekatan Fenomenologi Kontemporer – Peter L. Berger dan Thomas Luckmann ... 91
2. Pendekatan Hiperealitas – Jean Baudrillard ... 101
BAB V: PENUTUP ... 117
A. Kesimpulan ... 117
B. Saran ... 119
(8)
LAMPIRAN-LAMPIRAN Pedoman Wawancara
Dokumentasi dalam Even Cosplay Jadwal Penelitian
(9)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Cosplay, secara etimologi, merupakan sebuah kata dalam Bahasa
Inggris yang berasal dari gabungan kata “costume”yang berarti “kostum” dan
“play”yang berarti “bermain”. Kata“cosplay”sendiri dibuat oleh orang Jepang dan kemudian dibakukan dalam kamus Bahasa Inggris. Secara istilah, cosplay merupakan penamaan untuk sebuah kegiatan atau hobi berpakaian, beraksesori dan berias wajah ala karakter dalam anime,1manga,2manhwa,3 dongeng, game, grup musik, film kartun dan tokusatsu4 idola. Pelaku cosplay disebut
“cosplayer”, namun di kalangan penggemar, istilah “cosplayer” juga biasa
disingkat menjadi “coser”.
Di Jepang, cosplay dan cosplayer bisa dijumpai dalam acara atau festival yang diadakan perkumpulan sesama penggemar (dōjin circle), seperti Comic Market. Penggemar cosplay – baik cosplayer maupun bukan – sudah tersebar di pelbagai negara, mulai dari Amerika, negara-negara di Eropa, China, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Indonesia.5
Sejak paruh kedua tahun 1960-an, penggemar cerita dan film fiksi ilmiah di Amerika Serikat sering mengadakan konvensi fiksi ilmiah. Peserta konvensi mengenakan kostum seperti yang dikenakan tokoh-tokoh film fiksi
1 Film animasi Jepang. 2 Istilah untuk komik Jepang. 3 Istilah untuk komik Korea.
4 Film dengan efek virtual yang diperankan oleh manusia (bukan 2D), seperti Power Rangers dan
Ultraman.
5“Cosplay” Perubahan terakhir 27 Oktober 2016, https://id.m.wikipedia.org/wiki/cosplay.html.
(10)
ilmiah, salah satunya film Star Trek. Selain itu, dalam budaya Amerika Serikat, sejak dulu memang sudah mengenal bentuk-bentuk pesta topeng (masquerade) seperti pada perayaan Hari Helloween dan Hari Paskah.6
Tradisi penyelenggaraan konvensi fiksi ilmiah, mulai masuk ke Jepang pada dekade 1970-an dalam bentuk acara peragaan kostum (costume show).7 Sedangkan peragaan cosplay di Jepang awal kali dilangsungkan pada tahun 1978 di Ashinoko, prefektur (provinsi) Kanagawa, dalam bentuk pesta topeng pada acara konvensi fiksi ilmiah Nihon SF Taikai ke-17.8 Salah satu kritikus fiksi ilmiah, Mari Kotani, turut menghadiri konvensi dengan mengenakan kostum tokoh dalam gambar sampul cerita A Fighting Man of Mars karya Edgar Rice Burroughs. Juga direktur perusahaan animasi Gainax, Yasuhiro Takeda, yang hadir dengan memakai kostum tokoh Star Wars.9
Pada waktu itu, peserta konvensi menyangka Mari Kotani mengenakan kostum karakter manga Triton Of The Sea karya Osamu Tezuka. Kotani sendiri tidak berusaha keras membantahnya, sehingga banyak media sering memberitakan kostum Triton Of The Sea sebagai kostum cosplay pertama yang dikenakan di Jepang. Selanjutnya, kontes cosplay dijadikan acara tetap sejak Nihon SF Taikai ke-19 tahun 1980. Peserta mengenakan kostum Superman, Atom Boy, serta tokoh dalam film Toki O Kakeru Shōjo dan Virus. Selain di
6 Ibid. 7 Ibid.
8“Cosplay; Definisi, Sejarah dan Jenis Cosplay,” ditulis pada 15 April 2015.
http://galleryotaku.blogspot.co.id/2014/05/cosplay-definisi-sejarah-dan-jenis.html.
(11)
Comic Market, acara cosplay menjadi semakin sering diadakan dalam acara pameran dōjinshi dan pertemuan penggemar fiksi ilmiah di Jepang.10
Majalah anime di Jepang, sedikit demi sedikit mulai memuat berita tentang cosplay di pameran dan penjualan terbitan dōjinshi. Liputan besar-besaran pertama kali dilakukan majalah Fanroad edisi perdana bulan Agustus 1980. Edisi tersebut memuat berita khusus tentang munculnya kelompok anak muda yang disebut “Tominoko-zoku” ber-cosplay di kawasan Harajuku dengan mengenakan kostum bertema anime Gundam. Foto cosplayer yang menari-nari sambil mengenakan kostum robot Gundam juga ikut dimuat. Kelompok
Tominoko-zoku dikabarkan muncul sebagai tandingan bagi kelompok
Takenoko-zoku (sekelompok anak muda berpakaian aneh yang waktu itu
meramaikan kawasan Harajuku). Istilah “Tominoko-zoku” diambil dari nama sutradara film animasi Gundam, Yoshiyuki Tomino, dan sekaligus merupakan parodi dari istilah “Takenoko-zoku”. Walaupun sebenarnya artikel tentang
Tominoko-zoku hanya dimaksudkan untuk mencari sensasi, artikel tersebut
berhasil menjadikan “cosplay” sebagai istilah umum di kalangan penggemar anime.11
Sekitar tahun 1985, hobi cosplay semakin meluas di Jepang, karena memang mudah untuk dilakukan. Pada waktu itu, kebetulan anime Captain Tsubasa sedang populer, dan dengan hanya memiliki jersey bola Captain Tsubasa, orang sudah bisa ber-cosplay. Kegiatan cosplay dikabarkan mulai
10 Ibid. 11 Ibid.
(12)
menjadi kegiatan berkelompok sejak tahun 1986. Sejak itu pula mulai bermunculan fotografer amatir (kamera-kozō) atau biasa disingkat menjadi
“kameko” yang senang memotret kegiatan cosplay.12 Di Indonesia pun juga
telah banyak kameko yang memiliki komunitas tersendiri seperti komunitas Kameko Surabaya, Kameko Malang, Kameko Tulungagung dan lain-lain.
Di Indonesia, cosplay dapat dijumpai dalam acara-acara yang mewadahi
cosplayer untuk mengapresiasikan bakat dan hobi mereka, mulai dari Anime
Song, menyanyi lagu-lagu Jepang; Cosplay Street, berjalan dan berpose seperti halnya seorang model sambil memperagakan karakter anime; dan Cosplay
Kabaret; memeragakan adegan fighting dan cara bicara dan berjalan karakter
anime atau bisa juga disebut teater tanpa menggunakan suara aktor namun menggunakan suara dan musik asli dalam animenya tersebut. Acara tersebut biasanya diadakan oleh sebuah organisasi even (Event Organizing) dan kelompok mahasiswa Sastra Jepang. Komunitas cosplay di Indonesia banyak dan tersebar di pelbagai kota dan kabupaten, mulai Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang, Jepara, Bojonegoro dan lain-lain. Di Surabaya, kampus yang sering mengadakan even cosplay pada setiap tahunnya adalah Universitas Negeri Surabaya (UNESA) dan Universitas Airlangga (UNAIR). Bukan hanya kampus saja, sekolah setingkat SMA pun tidak jarang mengadakan even cosplay.
Hobi ini, di Indonesia memang masih dikatakan baru, sehingga masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa mengenakan kostum dan wig berwarna-warni adalah hal yang aneh namun lucu. Namun, karena di Surabaya
(13)
adalah kota dan pusat segala hal yang berbau modern dan budaya pop, menjadikan masyarakatnya lebih individual dan tidak banyak berkomentar mengenai keanehan para cosplayer ini jika berada di even yang berlangsung di ruang publik atau mall.
Sebagian besar cosplayer berasal dari golongan ekonomi menengah ke atas, karena untuk mendapatkan kostum dan pelbagai macam aksesoris lainnya masih belum terjangkau dengan harga murah. Cosplayer, pada umumnya, hanya memiliki beberapa kostum saja dan sering memakai kostum yang sama dalam even yang berbeda. Namun tidak bagi cosplayer yang sudah terkenal, koleksi kostum yang dimiliki lebih banyak dan beragam. Sehingga dalam tiap even yang berbeda, tentu akan hadir dengan kostum yang berbeda pula. Meski begitu, cosplayer yang koleksi kostumnya sedikit, masih dapat meminjam atau menyewa kostum milik cosplayer lainnya.
Cosplayer terkenal dapat diibaratkan sebagai artis bagi kalangan
masyarakat cosplay lainnya. Selain ber-cosplay, cosplayer yang dimaksud juga sering diundang dalam even sebagai host, juri, dan bintang tamu. Di waktu tertentu, tidak jarang pula mengadakan meet and greet yang biasanya diisi dengan acara makan malam dan berfoto bersama, sering pula sambil menjual foto dan stiker kepada para penggemarnya. Adapun harga tiket meet and greet para cosplayer terkenal ini tergolong cukup fantastis, apalagi untuk sekadar mendapat foto mereka saat photo session atau ketika sama-sama sedang di lokasi.
(14)
Banyak cosplayer terkenal berasal dari Surabaya dan sering menjadi
guest star pada even-even jejepangan, karena memang di Jawa Timur even
yang berlangsung setiap bulannya lebih sering berlokasi di Kota Surabaya dan Malang. Penggemar cosplay di Surabaya kini sudah semakin bertambah, seiring dengan makin tenarnya even cosplay yang biasa dimuat dalam rubrik Metropolis di harian Jawa Pos.
Meskipun sulit dalam menjangkau kostum dan aksesoris cosplay, bagi para cosplayer, ber-cosplay tetaplah menjadi hal yang sangat membanggakan dan memuaskan. Selain itu, mereka juga menggilai produk-produk Jepang dan rela membeli apapun yang mereka idamkan, misalnya tas yang bergambar karakter anime, game, manhwa, film kartun, tokusatsu perempuan kesukaan mereka, yang bagi para laki-laki disebut “waifu” dan karakter laki-laki kesukaan bagi perempuan disebut “husbando”.
Cosplayer dan wibu cenderung tidak rasional dalam melakukan apa
yang mereka inginkan dan dengan berlebihan mencintai hobi yang bukan milik asli negara mereka sendiri. Ketidak rasionalannya dapat dilihat dari kerelaan mereka untuk merealisasikan fantasinya dalam bentuk “menggilai” seorang
cosplayer yang memerankan tokoh anime yang mereka idamkan. Karena ada
pula seorang cosplayer yang mengidolakan cosplayer lainnya. Atau seorang wibu13 yang senang jika seorang cosplayer meng-cosplay-kan karakter yang ia gemari.
(15)
Tidak hanya itu, gaya hidup seorang cosplayer tidaklah murah. Hal tersebut disebabkan karena selain ber-cosplay, ada semacam tuntutan bagi seorang cosplayer maupun komunitas cosplay untuk meningkatkan gaya hidup menjadi lebih bertaraf, misalnya dengan membeli dan menggunakan produk yang branded. Tuntutan tersebut tentunya berkaitan dengan anggapan mereka, bahwa semakin tinggi kualitas gaya hidup, maka akan semakin unggul dibandingkan cosplayer atau komunitas cosplay lainnya. Sehingga secara tidak langsung menyebabkan terciptanya aroma persaingan, baik antara cosplayer yang satu dengan cosplayer yang lain atau komunitas satu dengan komunitas lainnya. Dengan bersaing dalam hal gaya hidup, mereka akan memperoleh prestise tinggi.
Sebuah kebanggaan tersendiri bagi seorang cosplayer dapat memerankan karakter anime yang mereka gemari. Apalagi ketika menghadiri sebuah even yang diadakan khusus untuk mewadahi cosplayer, kemudian banyak penonton atau penggemar yang memintanya untuk berfoto bersama. Kebanggaan yang lain dapat pula tercermin dalam diri seorang cosplayer pada saat kostum yang mereka kenakan lebih spektakuler daripada kostum cosplayer lainnya, lebih-lebih ketika menjadi sorotan dan pusat perhatian.
Meskipun pada dasarnya cosplay merupakan sebuah hobi “meniru”, namun ada beberapa cosplayer yang sudah terkenal, memakai style sendiri atau populer dengan sebutan “original character”. Diistilahkan original character, karena cosplayer yang dimaksud memakai kostum, make-up, wig dan lain-lainnya menyesuaikan inspirasi dan keinginannya sendiri. Para cosplayer
(16)
Surabaya masih jarang yang mengenakan original character dan kebanyakan
cosplayer-nya masih suka mengenakan kostum anime. Selain itu, jarang
ditemui pula cosplayer Surabaya yang mengenakan kostum karakter dalam game. Kalaupun ada, pasti langsung heboh dan diserbu oleh para wibu untuk mengantre foto bersama.
Term cosplay dapat pula dikategorikan seni. Sebab dalam even cosplay, selalu diwarnai dengan pelbagai kegiatan yang diperlombakan, mulai dari
modelling yang biasa disebut cosplay street, lomba teater yang biasa disebut
cosplay kabaret, sampai lomba menyanyi lagu-lagu pembukaan dan penutup
anime atau lagu Jepang yang disebut anime song.
Namun ada perbedaan mencolok antara seni modelling, fashion show dan seni teater dalam acara cosplay dengan pagelaran seni pada umumnya. Panggung seni dalam acara cosplay, lebih menonjolkan sisi kemiripan seorang
cosplayer dengan karakter yang ia perankan. Selain itu, cosplay juga merupakan
seni yang sedang berkembang melalui pop-culture masyarakat era kini. Sehingga menjadi terlihat sangat unik dan menarik.
Keunikan dalam cosplay juga tergambar dalam diri seorang cosplayer yang dapat mengeksplorasi diri tanpa malu-malu. Dalam cosplay, dapat ditemukan banyak sekali kreatifitas yang berkombinasi dalam tubuh dan peran yang dibawakan para cosplayer. Maka dari itu, cosplayer tidak akan sama sekali malu dan merasa aneh, apalagi dalam even cosplay akan mudah menemukan teman dengan selera dan hobi yang sama atau bahkan lebih spektakuler dari segi
(17)
Surabaya yang sudah banyak komunitas-komunitas yang mewadahi para
otaku14, wibu, cosplayer dan kameko.
Ada fashion dari Jepang yang mewabah para cosplayer, yaitu Harajuku,
Lolita dan Gothic. Harajuku adalah tipe fashion yang berasal dari daerah
Shibuya, Jepang. Fashion tersebut memiliki ciri bebas memadukan busana, warna dan aksesoris apapun, tidak ada batasan dalam melakukan perpaduan antar warna. Harajuku sangat unik dan bebas mengeksplorasi gaya, ciri model rambut harajuku adalah berponi dan menutupi mata. Selanjutnya lolita, gaya
fashion seperti gaun yang berwarna pastel atau warna-warna muda yang
melebar dan mengembang pada bagian bawah serta memiliki kerutan pada pinggang dan biasanya menggunakan kaos kaki berenda dan stocking. Dengan kostum model gaun dan warna-warna muda, pemakainya akan terlihat lebih muda. Lolita fashion juga sangat unik dan lucu, karena memiliki kemiripan dengan kostum boneka Barbie. Terakhir, kostum bergaya gothic yang didominasi warna-warna hitam dan gelap, dengan make up pada bagian mata dan bibir menggunakan warna-warna gelap pula, sehingga terkesan menyeramkan. Gaya gothic juga hampir mirip dengan lolita, yakni memakai gaun yang lebar dan mengembang, namun perbedaannya hanyalah warna, lolita menggunakan gaun berwarna cerah sedangkan gothic menggunakan gaun berwarna gelap. Banyak juga cosplayer di Surabaya yang mengenakan fashion
14 Istilah bagi orang yang terobsesi secara berlebihann pada segala hal yang berbau Jepang,
khususnya yang berkaitan dengan budaya pop Jepang. Misalnyaanime, manga, game dan cosplay. Sehingga mempengaruhi kondisi kehidupan sosialnya menjadi apatis, introvert dan individualis.
(18)
Jepang dalam kehidupan sehari-harinya, misalnya menggunakan lolitafashion saat bekerja di kantor.
Selain cosplay dan cosplayer, ada pula istilah “otaku” yang merupakan sebutan bagi para penggemar anime, game, manga, komik Jepang dan segala hal yang berbau Jepang. Dalam dunia jejepangan, para otaku amat berdedikasi pada hobinya. Bahkan seringkali melakukan tindakan yang mungkin menurut masyarakat awam adalah hal yang tidak wajar. Banyak sekali contohnya, misalnya dengan menghiasi kamar dengan barang-barang yang menurutnya adalah harta paling berharga. Barang-barang yang dimaksud adalah komik, poster, gantungan kunci, guling, majalah dan tas yang bergambar karakter anime kesukaan, juga hardisk penyimpan data yang isinya penuh dengan anime. Seorang otaku akan rela membeli hardisk yang berkapasitas besar hanya untuk menyimpan koleksi anime. Para otaku di Surabaya juga sering membawa tas ransel besar kemana-mana yang berisi laptop serta hardisk, karena tidak bisa berlama-lama tanpa anime dan game. Oleh sebab itu, mereka selalu rela membawanya kemana pun pergi dan akan menyediakan waktunya untuk menontonnya.
Bukan hanya berlebihan menganggap barang-barang jejepangan yang sudah dimiliki sebagai harta paling berharga, otaku juga sangat terobsesi untuk membeli dan memiliki produk mainan bentuk dari karakter anime favoritnya. Salah satunya adalah “figure” atau miniatur kecil berbentuk karakter anime yang mungkin sangat tidak sesuai dengan harganya yang sangat tinggi, yakni berkisar antara 150 ribu sampai 400 ribu. Layaknya sebuah mainan bagi anak
(19)
kecil, otaku juga mempunyai semacam dunianya sendiri, dengan kegilaan dan fantasinya terhadap semua yang berbau anime.
Otaku, juga cosplayer yang ekstrimis, sudah semacam tidak percaya lagi
akan dunia nyata. Keduanya mempunyai dunia virtualnya sendiri, atau dalam dunia anime disebut sebagai “nijikon”. Nijikon adalah singkatan dari istilah
nijigen kompurekkusu yang berarti “komplek 2 dimensi”. Dalam nijikon,
seorang otaku hanya terobsesi pada karakter dua dimensi (2D), seperti anime,
manga, dan videogame. Parahnya, para penderita nijikon cenderung sudah tidak
lagi memiliki minat seksual terhadap manusia nyata.15 Seperti kasus Lee Jin Gyu, seorang pemuda yang menikahi dakimakura, sebuah bantal besar bergambar karakter anime favoritnya.16
Selanjutnya, ada pula “weeaboo” atau singkatan dari “want to be
japanesse”, sebutan bagi penggemar anime ekstrim yang seakan-akan merasa
paling njepang melebihi orang Jepang asli. Weeaboo atau yang oleh masyarakat
cosplay Indonesia sebut dengan wibu, mendapat inspirasi jejepangan itu dari
anime dan manga. Salah satu karakter unik dalam diri seorang wibu ialah ketidak terimaannya terhadap siapa pun yang menjelek-jelekkan Jepang. Tidak jauh berbeda dengan seorang otaku, wibu seperti hidup dalam dimensi anime dan dunia jejepangan.17
15“Apakah Kamu Seorang Otaku, Nijikon, atau Weaboo? Cek Kebenarannya Sekarang,” ditulis 19
Desember 2014, J-cul.com/apakah-kamu-seorang-otaku-nijikon-atau-weaboo-cek-kebenarannya-sekarang.html.
16“Lee Jin Gyu Menikahi Bantal,” Ditulis 26 April 2010,
https://m.tribunnews.com/amp/internasional/2010/04/26/lee-jin-gyu-menikahi-bantal.html.
17“Apakah Kamu Seorang Otaku, Nijikon, atau Weaboo? Cek Kebenarannya Sekarang,” ditulis 19
Desember 2014, J-cul.com/apakah-kamu-seorang-otaku-nijikon-atau-weaboo-cek-kebenarannya-sekarang.html.
(20)
Berlatar belakang pada keunikan dan kemenarikan karakter, sikap dan terutamanya gaya hidup cosplayer dan pecinta cosplay, khususnya di Surabaya, peneliti memilih judul ini. Selain karena unik dan menarik, juga keanehan
cosplay sebagai hobi, yang oleh karenanya pula, sulit bagi seorang cosplayer
untuk diterima dan mengapresiasikan hobinya di lingkungan masyarakat umum. Sehingga cosplayer perlu bergabung terlebih dahulu ke dalam sebuah komunitas cosplay, dengan begitu dapat menyalurkan hobinya. Kedahsyatan pengaruh hobi cosplay dalam mengubah gaya hidup pecinta dan pelaku cosplay ke arah jejepangan, misalnya keobsesian untuk memiliki segala hal yang berbau anime Jepang atau bahkan berubahnya selera makan dari makanan khas Indonesia ke makanan khas Jepang, juga menjadi salah satu daya tarik peneliti. Di Surabaya, salah satu komunitas cosplayer adalah “COSURA”, singkatan dari “Comunitas Cosplayer Surabaya”, yang sudah mewadahi sekitar
150 cosplayer. Selain COSURA, masih banyak lagi komunitas-komunitas
cosplay lainnya di Surabaya. Penelitian ini fokus pada gaya hidup para
cosplayer di Surabaya. Komunitas-komunitas ini semakin bermunculan
beriringan dengan semakin banyaknya penggemar jejepangan dan semakin banyaknya pula even-even besar yang berkaitan dengan cosplay. Sehingga mendorong beberapa cosplayer untuk membuat perkumpulan atau komunitas yang nantinya dapat menjadi semacam forum yang dapat dimanfaatkan untuk berbagi wawasan dan pengalaman tentang cosplay. Selain itu, berdirinya sebuah komunitas menjadi mesin untuk mengeksplorasi kegemaran terhadap
(21)
Cosplay menjadi fenomena tidak terelakkan lagi, khususnya di Surabaya, dibuktikan dengan membeludaknya minat masyarakat – terutama pemuda – penggemar anime Jepang. Secara langsung atau tidak, fenomena tersebut akan dapat mengancam kelestarian budaya lokal. Meskipun telah banyak cosplayer yang mampu memadukan unsur budaya Jepang dengan budaya Indonesia. Seperti menerjemahkan percakapan di pentas teater dari Bahasa Jepang ke Bahasa Indonesia, juga dengan membuat komik seperti dalam majalah Re:on yang memadukan antara Jepang dan Indonesia, walaupun masih tetap menggunakan nama-nama Jepang, komik tersebut merupakan asli buatan Indonesia.
Secara gaya busana, karakter-karakter anime dalam pandangan Islam dianggap tidak syar’i, karena kurang menutup aurat. Namun berbeda dalam wadah penyaluran hobi cosplay, bahwa perempuan muslim tetap dapat menjadi
cosplayer tanpa melepas kerudungnya.
Kerudung – selain untuk menutup rambut yang merupakan bagian dari
aurat bagi seorang wanita muslim – juga biasa digunakan sebagai ganti wig.
Manakala rambut karakter anime yang ditiru berwarna merah, maka cosplayer dimaksud memakai kerudung berwarna merah pula, dengan model kerudung yang disamakan dengan model rambut tokoh yang diperankan, lengkap beserta aksesorisnya. Kostum yang semula terbuka, ditutupi kaos dalam berwarna kulit. Sehingga cocok dipakai oleh cosplayer yang berkerudung.
B. Rumusan Masalah
(22)
2. Bagaimana gaya hidup komunitas cosplay Jepang di Surabaya? C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui apa yang membuat mereka tertarik terhadap budaya Jepang dan menjadi cosplayer.
2. Mengetahui gaya hidup dan aktivitas keseharian dari komunitas cosplay di Surabaya yang sudah menjadi cosplayer.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan wawasan dan pengetahuan dalam bidang sosial dan budaya, khususnya yang berkaitan dengan gaya hidup masyarakat modern.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi peneliti (secara pribadi), memberikan manfaat untuk mengetahui bagaimana gaya hidup pada komunitas cosplay yang ada di Surabaya serta mengamalkan mata kuliah atau teori-teori dalam ilmu sosial yang telah diperoleh dalam proses perkuliahan sebagai alat analisis.
b. Bagi mahasiswa Sosiologi, sebagai salah satu bahan pengamatan yang fokus pada gaya hidup masyarakat modern, bahan perbandingan dengan gaya hidup masyarakat yang lain dan sebagai bahan yang perlu untuk dikembangkan dan ditinjau ulang.
c. Bagi program studi Sosiologi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi program studi
(23)
Sosiologi, sebagai gambaran tentang realitas mengenai gaya hidup para
cosplayer yang bergabung pada komunitas cosplay.
d. Bagi masyarakat, sebagai sumber informasi seputar cosplay dan
cosplayer sekaligus gaya hidupnya yang kini menjadi sebuah fenomena
baru dalam kehidupan sosial, khususnya di kalangan anak muda. Sehingga masyarakat menjadi tahu dan dapat menilai setiap fenomena yang muncul di lingkungan sekitarnya.
E. Definisi Konseptual
Penjelasan konsep yang mendasari pengambilan judul di atas sebagai bahan penguat sekaligus spesifikasi penelitian yang akan dilakukan, sebagai berikut:
1. Gaya Hidup
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “gaya” mempunyai arti kesanggupan untuk berbuat.18Sedangkan “hidup” memiliki arti masih terus ada, bergerak dan bekerja sebagaimana mestinya. Menurut David Chaney, “gaya hidup” adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang lain. Gaya hidup membantu memahami (yakni menjelaskan tapi bukan berarti membenarkan) apa yang dilakukan, mengapa mereka melakukannya, dan apakah yang mereka lakukan bermakna bagi dirinya dan orang lain. Gaya hidup merupakan ciri dari modernitas.19
18 http://kbbi.web.id/gaya.html.
19 David Chaney, Lifestyle: Sebuah Pengantar Komprehensif, trans. Nuraeni (Yogyakarta:
(24)
Menurut Amstrong, ada dua faktor yang mempengaruhi gaya hidup, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal diantaranya adalah sikap, pengalaman dan pengamatan, kepribadian, konsep diri, motif dan presepsi. Sedangkan faktor eksternal adalah kelompok referensi, keluarga, kelas sosial dan kebudayaan.
Gaya hidup pada tiap-tiap individu dalam masyarakat pastinya berbeda, karena itu adalah mengenai cita rasa dan selera yang dimiliki perseorangan atau kelompok tertentu. Oleh sebab itu, gaya hidup merupakan ciri khas yang melekat pada diri seseorang atau kelompok sehingga menjadi bagian dari identitasnya. Gaya hidup juga tidak lepas dari status sosial maupun kelas ekonomi yang memengaruhinya. Prestise atau wibawa sebagai salah satu contoh dari gaya hidup, akan hanya dimiliki individu atau kelompok dengan status sosial yang tinggi, misalnya politisi, tokoh masyarakat, pebisnis kaya dan lain sebagainya. Sehingga akan sangat berbeda gaya hidupnya dengan gaya hidup seseorang atau kelompok dengan status sosial rendah, misalnya petani, nelayan dan buruh. Hal ini disebabkan oleh kegiatan konsumsi yang juga menyesuaikan terhadap status sosial maupun kelas ekonominya. Gaya hidup yang peneliti maksud lebih pada food, fun dan fashion mereka.
2. Cosplay
Cosplay berasal dari kata “costume” dan “play”. Seorang reporter
asal Jepang kemudian menggabungkan kedua kata tersebut dan memopulerkan sebagai “cosplay” dan orang Jepang menyebutnya dengan
(25)
pengucapan “kospure”. Kata “costume” berartikan bahwa seseorang memerlukan pakaian dan aksesoris untuk menjadi karakter tertentu dan “play” berarti suatu jenis kegiatan untuk melakukan suatu hal. Jadi cosplay adalah kegiatan meniru suatu karakter dalam anime, manga, game dan lain-lain dengan menggunakan kostum yag sama persis dengan apa yang dipakai karakter yang ditiru.
Cosplay adalah bagian dari “Japan Pop Culture” yang populer di
dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Salah satu ide dalam cosplay adalah dengan berpenampilan semirip mungkin dengan karakter anime, manga, game dan lain sebagainya.
Anime yang populer seperti Naruto, One Piece dan Tokyo Ghoul yang di produksi dengan banyak episode membuat masyarakat ingin terus menontonnya. Begitupula dengan game yang memiliki banyak stage seperti, Dota (gameonline) yang telah mendapatkan pembaharuan versi, dari Dota 1 menjadi Dota 2 yang memiliki banyak peminat.
Indonesia memiliki komunitas bagi cosplayer, yaitu Komunitas Cosplay Indonesia (KCI). KCI mempunyai sub-grup yang membahas tema atau karakter tertentu, misalnya Vocaloid (sejenis aplikasi yang digunakan untuk memutar lagu), One Piece, tokusatsu dan masih banyak lagi.20
Jadi pengertian cosplay adalah kegiatan mengenakan pakaian (kostum) lengkap dengan aksesoris dan dandanan yang mirip dengan
20Moh. Setyo Budi Utomo, “Komunikasi Antar Budaya Dalam Event Cosplay: Studi Event
Cosplay di Daerah Surabaya, Malang dan Yogyakarta”, Skripsi S1 Ilmu Komunikasi Fakultas
(26)
karakter tokoh dalam anime, manga atau game dan mengikuti gerakan yang dilakukan karakter tersebut seperti mimik muka dan gestur tubuh untuk memberikan penampilan yang terbaik. Dan pelaku dari kegiatan cosplay ini disebut cosplayer. Cosplayer secara tidak langsung dituntut untuk berkostum, berdandan dan ber-gesture mengikuti karakter yang perankan karena memang cosplayer adalah manifestasi dari karakter anime.
F. Sistematika Pembahasan
Penelitian ini akan dilaporkan dalam sistematika pembahasan sebagai berikut:
1. Bab I: Pendahuluan
Dalam bab ini dipaparkan data dan fakta yang melatar belakangi gaya hidup pada komunitas cosplay di Surabaya, sehingga menarik untuk diamati dan diteliti. Kemudian menfokuskan dan menspesifikasikan permasalahan dengan menentukan rumusan masalah dengan tujuan dan manfaat yang akan didapat peneliti. Dari setiap term dalam judul akan dijelaskan dalam definisi konseptual, sehingga dapat memberikan penjelasan awal tentang permasalahan yang akan diteliti dengan alur penelitian yang telah disusun dalam sistematika pembahasan.
2. Bab II: Kultur Cosplay dalam Perspektif Fenomenologi Kontemporer dan Hiperealitas
Menjelaskan tujuan khusus-umum penelitian dan juga memaparkan penelitian-penelitian yang sebelumnya pernah dilakukan berkaitan dengan gaya hidup komunitas cosplay Jepang di kota Surabaya. Selanjutnya, akan
(27)
dijelaskan pula kajian-kajian pustaka dan teori-teori yang sebelumnya telah ditentukan secara mendalam, untuk dipergunakan sebagai alat jelajah analisis penelitian.
3. Bab III: Metode Penelitian
Pada bab ini, peneliti mulai memberikan penjelasan tentang metode penelitian yang dipergunakan, mulai dari jenis penelitian, lokasi dan waktu penelitian, pemilihan subyek penelitian, tahap-tahap penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data dan teknik pemeriksaan keabsahan data. Sehingga penelitian akan betul-betul dilakukan secara sistematis dengan skema yang juga sudah ditetapkan.
4. Bab IV: Gaya Hidup Komunitas Cosplay Jepang di Surabaya dalam Perspektif Fenomenologi Kontemporer dan Hiperealitas
Peneliti akan memberikan gambaran secara umum dan jelas bagaimana kondisi maupun posisi obyek penelitian di lapangan sebelum diteliti. Dilanjutkan dengan memaparkan data-data hasil penelitian yang telah dilakukan beserta analisis data yang sebelumnya juga telah dilakukan. 5. Bab V: Penutup
Di bagian akhir, peneliti akan menyimpulkan hasil akhir dari penelitian yang dilakukan secara menyeluruh dan sekaligus memaparkan saran sebagai catatan akhir dari peneliti secara subyektif tentang gaya hidup komunitas cosplay yang berada di kota Surabaya.
(28)
BAB II
KULTUR COSPLAY DALAM PERSPEKTIF FENOMENOLOGI
KONTEMPORER DAN HIPEREALITAS A. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu perlu diacu dengan tujuan agar peneliti mampu melihat letak penelitiannya dibandingkan dengan penelitian yang lainnya. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang lainnya adalah pada obyek penelitian atau fokus penelitian atau sasaran penelitian yang tergambarkan dalam rumusan masalah penelitian dan hasil penelitiannya, selengkapnya dapat dilihat pada uraian sebagai berikut:
1. Skripsi dari Muhammad Setyo Budi Utomo (NIM. B36211090), mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya tahun 2015, dengan
judul “Komunikasi Budaya Dalam Event Cosplay”, dalam penelitian tersebut fokus permasalahannya yaitu pada interaksi antar individu atau kelompok yang berbeda budaya, agama dan ras yang terjadi dalam even
cosplay di Indonesia khususnya di Jawa Timur. Pada rumusan masalah
nomor satu ada sedikit kesamaan yaitu tentang budaya, yang berarti juga menyangkut gaya hidup. Tetapi pada penelitian Muhammad Setyo Budi Utomo lebih mendeskripsikan tentang komunikasi antar budaya, sedangkan dalam penelitian ini lebih pada kebudayaan mengenai gaya hidup itu sendiri, sehingga bisa berkembang di Indonesia, khususnya
(29)
Surabaya. Pada skripsi Muhammad Setyo Budi Utomo, menentukan informan di wilayah Jawa Timur. Sedangkan dalam penelitian ini lebih khusus pada informan di wilayah Surabaya saja.
2. Jurnal yang berjudul “Hobi Costume Play (Cosplay) Dan Konsep Diri: Studi Korelasi Hubungan Antara Hobi Cosplay Dengan Konsep Diri Anggota Komunitas Cosplay Medan”, oleh Farouk Badri Al Baehaki (NIM. 100904029) dari Universitas Sumatera Utara. Fokusnya pada korelasi antara cosplay dan konsep diri dan memilih lokasi penelitian di Medan, serta memakai metode penelitian kuantitatif. Adapun teori yang dipakai sebagai alat analisis adalah Komunikasi Intrapersonal dan Konsep Diri. Dalam jurnalnya dia ingin mengetahui sejauh mana hubungan hobi
cosplay dengan konsep diri anggota komunitas di Medan, yang mana dia
tertarik dengan penjiwaan dan pemeranan karakter seorang cosplayer yang berhubungan dengan konsep diri cosplayer itu sendiri. Yang dimaksud dengan konsep diri ialah kumpulan keyakinan dan persepsi diri mengenai diri sendiri yang terorganisasi. Menggunakan metode korelasional yang teknik pengumpulan datanya dengan penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan.
3. Jurnal dari Naufal Alif Prabowo, mahasiswa program studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga dengan judul “Cosplay Sebagai Sarana Rekreasi Bagi Cosplayer Komunitas COSURA Yang
Telah Menikah”. Fokus kajiannya pada komunitas COSURA, sebuah komunitas yang lahir dan besar di Surabaya. COSURA memiliki anggota
(30)
dengan latar belakang yang berbeda, mulai dari siswa SMP sampai yang sudah menikah, serta tidak dibatasi oleh usia dan ketentuan-ketentuan lainnya. Tema penelitian dalam jurnal tersebut adalah tentang motif atau alasan cosplayer yang sudah menikah, namun masih tetap menekuni hobi
cosplay-nya. Sebab tidak semua pasangan seorang cosplayer mampu
memahami hobi cosplay yang dilakoninya. Jika pasangan seorang
cosplayer tadi bukan pula sebagai cosplayer, belum tentu akan
mengizinkan untuk tetap menekuni hobi ini. Namun, ternyata ada dorongan lain bagi seorang cosplayer yang sudah menikah untuk tetap menekuni hobi tersebut, yakni salah satunya mengenai channel bisnis. Karena tidak dibatasi umur, akhirnya banyak pula anggota setiap komunitas cosplay yang sudah menikah dan bekerja, dan cosplay dapat dimanfaatkan sebagai sarana pencarian relasi bisnis atau sebagai wahana menghibur diri dari kepenatan dalam pekerjaan maupun rumah tangga. B. Gaya Hidup dan Komunitas Cosplay Jepang
Pop Culture atau budaya populer adalah budaya yang disukai oleh
banyak orang, karena dianggap menyenangkan. Istilah lain dari budaya populer adalah budaya massa, yaitu budaya yang diproduksi oleh massa untuk dikonsumsi massa. Budaya massa adalah budaya yang dianggap sebagai dunia impian secara kolektif.1
Segala yang digemari masyarakat modern ini juga termasuk dalam budaya populer, termasuk cosplay. Cosplay yang merupakan sebuah
(31)
kegemaran yang relatif baru di masyarakat global cukup mengundang perhatian masyarakat dewasa ini. terbukti dengan membeludaknya penggemar sekaligus penikmat cosplay di pelbagai negara. Berkostum dan berias semirip mungkin dengan salah satu karakter dalam anime, dan segala jejepangan adalah bentuk kegiatan cosplay. Adapun pelaku cosplay disebut dengan
cosplayer atau pun biasa disingkat menjadi coser.
Meskipun di Indonesia masih belum begitu banyak masyarakat menggemari cosplay, akan tetapi masyarakat Indonesia tidak sedikit yang sudah mengenal dan menggemari jejepangan meliputi anime, film animasi Jepang; manga, komik Jepang; manhwa, komik Korea; game dan pelbagai macam produk virtual Jepang lainnya. Sehingga cosplay ini termasuk dalam budaya populer yang berkembang begitu pesat di Indonesia, salah satunya di Surabaya. Secara umum, perkembangan cosplay telah tersebar luas di hampir seluruh bagian dunia yang menjadi tempat persinggahan produk-produk virtual asal Jepang yang telah disebut tadi. Indonesia menjadi salah satu negara dengan penggemar jejepangan terbesar, sehingga perkembangan
cosplay juga ikut serta melambung dan meluas ke seluruh penikmatnya yang
tersebar di pelbagai daerah.
Meskipun secara substansial cosplay hanya wahana euforia semata, akan tetapi bagi penggemar anime, cosplay merupakan hal yang disukai dan sangat menyenangkan. Di sisi lain, cosplay adalah produk media yang mewabah remaja Indonesia. Karena semua serba komersiil, hiburan dan hobi pun didapatkan dengan cara yang komersiil pula. Seperti saat meet and greet
(32)
dalam cosplay, dengan harga selangit pun para maniak atau biasa disebut wibu tetap saja menghadirinya. Mereka tidak sadar bahwa telah terhegemoni oleh rayuan akan fantasi yang berlebihan dan menginginkan fantasi tersebut menjadi nyata.
Menurut Kuntowijiyo, masyarakat modern atau masyarakat industrial ditandai dengan komersialisasi. Komersialisasi dalam penjelasan gampangnya adalah segala sesuatu harus memakai uang atau diperjual belikan, seperti saat wibu membutuhkan hiburan dan memuaskan keinginan atas hobi, harus membayar cosplayer dalam artian membeli tiket meet and greet di even dengan harga mahal, meskipun dalam acara meet and greet tersebut hanya diisi dengan acara makan malam dan berfoto bersama. Di sisi lain, cosplayer (yang sudah terkenal), masih akan menjual-belikan foto-foto dan pernak-perniknya kepada wibu dengan harga tinggi pula. Cosplayer, wibu, otaku dan masyarakat cosplay lainnya seolah menjadi sasaran industri pencipta anime Jepang untuk meningkatkan brand“Japan” dalam persaingan pasar global.
Masyarakat serba bersaing untuk mendapatkan pengakuan keren, kaya dan lain sebagainya dengan bantuan brand dan hobi. Dimana saat kita memiliki pakaian dengan brand mahal dan hobi yang atributnya mahal adalah suatu bentuk kepuasan diri.
Begitu pula dengan hobi bermain game online yang pelakunya disebut
gamer. Bayangkan saja mereka rela mengeluarkan uang ratusan bahkan jutaan
(33)
Dampak negatif game jauh lebih dahsyat daripada manfaat positifnya. Game akan dan bisa menjadi candu. Rata-rata para cosplayer dan otaku adalah orang yang juga menggilai game Jepang. Sehingga dalam dunia cosplay tidak hanya beraktifitas bereferensikan anime saja, namun sudah merambah ke game. Seperti game Dynasty Warrior dan Mystic Massanger yang kini sedang
buming menjadi referensi baru bagi cosplayer dalam ber-cosplay.
Adapun dampak negatif dari hiburan yang bernama game ini:
1. Menimbulkan kekerasan. Misalnya, karena sudah ketagihan game online yang berbayar, maka saat tidak memiliki uang akan cenderung melakukan kekerasan terhadap orang tua atau orang lain dengan memaksa meminta uang. Atau bisa juga dengan gangguan psikis yang mana saat suka memainkan game yang berbau kekerasan, maka akan terpengaruh pada kehidupan sehari-harinya. Misalnya pada game action, ia akan mencontoh tindakan pertarungan pada game tersebut pada dunia nyata.
2. Membuat kita jadi bodoh. Misalnya, karena kebanyakan bermain game, maka waktu akan terkikis dan semakin miskin waktu untuk belajar. Jadi, belajar bukanlah menjadi hal yang utama lagi dalam hidup. Kemana-mana tidak akan bisa lepas dengan gadget, PSP (sejenis elektronik yang khusus untuk main game), atau waktu yang terkuras berjam-jam hanya untuk duduk dan bermain game di Warung Internet (warnet).
3. Mengikis nilai-nilai sosial. Nilai adalah apa yang dianggap baik dan buruk oleh masyarakat atau pantas dan tidak pantas. Pengikisan ini dikarenakan kita terlalu sibuk dengan game, yang menyebabkan kita kurang
(34)
menghormati orang lain. Misalnya tidak memedulikan orang lain ketika mengajak bicara karena sibuk bermain game. Seorang gamer akan semakin tidak punya waktu untuk berinteraksi dengan orang-orang lain seperti teman sekolah, tetangga dan keluarga, dan menjadikannya cenderung individualis dan introvert, karena telah merasa bahwa teman sejatinya hanyalah game.
4. Menjadikan seseorang apatis terhadap aktifitas sosial dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat, dan seolah lupa akan segala. Saat bermain game, waktu terasa berjalan lebih cepat daripada ketika belajar, sehingga suka lupa waktu bahwa pada pukul sekian waktunya untuk beribadah atau pada pukul sekian waktunya untuk belajar.
5. Dapat mengganggu kesehatan. Karena terlalu sering menatap layar komputer, gadget dan lain sebagainya, akan sangat mengganggu kesehatan mata disebabkan pancaran radiasi yang timbul dari layar media elektronik. Demikian juga dengan gangguan kesehatan lain, seperti kurangnya waktu untuk istirahat disebabkan siang sampai malam sibuk bermain game terus-menurus.
6. Seolah-olah kita menjadi The King dalam dunia kita sendiri, padahal sebenarnya hanyalah ilusi sesaat. Saat bermain game dan memenangkan sebuah battle (pertempuran), kita seolah-olah bangga dan merasa bahwa kita adalah raja dalam permainan itu. Kebanggaan itu bisa jadi mengalahkan kebanggaan saat dipuji dalam dunia nyata. Biasanya dalam
(35)
seorang gamer mengetahui bahwa dia menduduki peringkat teratas, maka dapat dipastikan ia akan merasa menjadi “the king” dalam dunia imajinatif tersebut.
7. Menumpulkan nalar kritisisme karena telah diajak ke dunia imajinatif. Maksudnya, semakin sedikitnya upaya dalam diri untuk mencari atau memaknai suatu hal dengan tinjauan kegunaan, kebaikan, kepantasan dan lain sebagainya. Selagi hal tersebut sesuai dengan kemauan dan keinginan, maka secara langsung akan dilakukan tanpa perlu adanya pertimbangan akan keburukan dan dampak negatifnya. Misalnya dalam hal aktifitas sehari-hari, seorang gamer akan dengan sudinya menghabiskan waktu yang cukup banyak hanya untuk memainkan game-nya. Jika hal tersebut terus berlaku, maka kemungkinan besar kebiasaan “asal menyenangkan” akan berlaku pula dalam aktifitas yang lain. Dan tentunya tanpa melalui tinjauan kritis akan dampak dan akibat dari aktifitasnya.
8. Mengurangi minat membaca. Game adalah hiburan bagi mayoritas orang, namun berbeda dengan buku, hanya segelintir orang yang menganggap buku adalah hiburan, karena game lebih asyik dari pada membaca yang dianggap membosankan.2
Dengan kata lain, para cosplayer dan otaku haruslah waspada akan dampak negatif tersebut. Karena sebagian besar mereka juga gamer (sebutan untuk penggila game). Bagaimana tidak, jika dia sudah kecanduan game sejak kecil, maka bisa jadi akan merambah terhadap kecanduan anime. Karena
(36)
anime kebanyakan dirilis game-nya pula, atau sebaliknya game bisa menjadi anime.
Karakter game yang tidak diadopsi dari anime kostumnya relatif sulit,
dan budget-nya juga sangat mahal. Oleh sebab itu, cosplayer-pun jarang
menggunakan karakter dalam game untuk di-cosplay-kan. Meskipun tetap ada beberapa cosplayer yang menggunakannya, lebih-lebih pada even besar.
Semakin sulit kostum yang dikenakan oleh cosplayer maka semakin banyak yang akan memperhatikan dan mengajak foto. Cosplayer yang memakai kerudung pun tidak ketinggalan menampilkan kostum game. Meskipun rumit, cosplayer justru akan semakin merasa tertantang dan akan semakin merasa bangga nantinya jika kostum tersebut dipakai pada even.
Kini persoalan kerudung bukan lagi menjadi momok yang menakutkan bagi cosplayer. Karena dengan memakai kerudung pun masih tetap bisa melakukan hobi cosplay. Dan ini sama sekali bukan hal yang aneh dalam even
cosplay. Cosplayer yang memakai jilbab pun tidak kalah cantik dan laris
manis dari ajakan foto oleh para wibu.
Cantik itu diidentikkan dengan tubuh langsung, putih, tinggi, wajah mulus tanpa noda atau cacat, berambut panjang/pirang, montok, payudara kencang. Terkadang belahan payudara bagian atasnya harus terlihat, supaya menggoda lelaki.3 Bahkan di Jepang ada hari oppai4 indah yang diperingati tiap tanggal 8 November dengan menggunggah foto oppai di Twitter.5
3 Ibid 63.
4 Istilah untuk payudara perempuan.
5“5 Peringatan Aneh Ini Cuma Ada Di Jepang, Mulai Dari Hari Oppai Sampai Kondom!”, ditulis
(37)
Demikian pula bagi cosplayer yang berlomba-lomba untuk menjadi yang tercantik dalam even. Hanya demi kepuasan yang akan didapat saat wibu mengajaknya berfoto. Memakai kostum yang tiap even berganti-ganti dan tubuh haruslah proporsional guna mendukung kecantikan para cosplayer adalah bagian dari upaya untuk semirip mungkin dengan karakter anime yang tubuhnya dianggap sempurna. Kaki jenjang, langsing, berdada besar dan berbelah, mata dan rambut yang berwarna-warni, juga akan menambah kecantikan cosplayer.
Mungkin itu bukanlah peraturan yang tertulis, jika cosplayer harus memiliki tubuh yang indah bak karakter dalam anime. Seperti anggapan
cosplayer yang memiliki tubuh tidak ideal, dan (awalnya) hanya menganggap
cosplay sebagai hobi dan kegiatan asyik-asyikan yang sebenarnya sama sekali
bukan masalah jika seorang cosplayer memiliki tubuh tidak sesuai karakter anime yang ditiru. Namun ada semacam sanksi atau hukuman oleh para wibu dengan mengecam cosplayer tersebut karena dianggap telah merusak chara6.
Bagaimana tidak, karakter yang cosplay-kan tersebut memiliki tubuh langsing, dada montok dan tinggi, sementara si cosplayer justru memiliki tubuh sebaliknya, maka bisa dipastikan akan menjadi bulan-bulanan para wibu. Karena mereka merasa tidak terima jika dalam karakter anime yang mereka sukai perawakannya tinggi dan langsing, tetapi cosplayer yang menirunya berperawakan sebaliknya, itu sangat merusak karakter tersebut. Akibatnya, cosplayer tersebut akan di-bully dan tidak ada yang akan
(38)
mengajaknya berfoto. Sehingga, seolah menjadi beban tersendiri bagi seorang
cosplayer untuk berupaya semirip mungkin dengan karakter yang ia perankan.
Dari situ, kemudian tidak sedikit cosplayer yang ingin tenar dan memancing hati para wibu dengan cara tampil maksimal dan bahkan sampai memamerkan beberapa bagian tubuhnya.
Sebenarnya tidak semua para wibu menyukai penampilan seksi dan super terbuka dari seorang cosplayer. Ada pula yang tidak suka jika seorang
cosplayer menampilkan kostum atau dandanan sevulgar karakter aslinya
dalam anime, meskipun tidak sebanyak wibu yang memang mengharuskan
cosplayer untuk sama persis dengan karakter. Oleh sebab itu, terkadang ada
cosplayer yang memodifikasi kostum yang semula di karakter aslinya vulgar
menjadi sedikit lebih tertutup.
Wibu yang berorientasi pada hal-hal yang berbau pornografi memang gemar mengkonsumsi foto-foto hot para cosplayer dan ada juga wibu yang tidak suka jika karakter anime tersebut dinodai dengan pose-pose tidak baik
cosplayer-nya, padahal karakter anime tersebut tidak ecchi (sebutan untuk
semi porno).
Budaya Jepang menjadi satu budaya yang sangat memengaruhi gaya hidup mereka. Dari apapun yang mereka konsumsi, sudah akan sangat
jejepangan sekali. Misalnya, mereka lebih suka makan Mie Ramen daripada
Mie Ayam. Lalu mereka mulai gemar memakai contact lens7 dengan warna yang tidak senada dan tidak sesuai, seperti karakter Misaki Mei dalam anime
(39)
Another yang warna lensa matanya yang sebelah kiri merah dan yang kanan hijau, para wibu pun meniru demikian, sehingga masyarakat umum merasa aneh dengan perilaku orang tersebut.
Secara bahasa, gaya hidup memiliki arti yang cukup sederhana, yakni pola tingkah laku sehari-hari segolongan manusia di dalam masyarakat. Namun, secara istilah, pengertian gaya hidup tidak sesederhana pengertian secara bahasa. Dikarenakan kajian tentang gaya hidup juga mengulas bagaimana perilaku dan tindakan manusia secara individu maupun kelompok yang nantinya dapat berbenturan dengan pengertian budaya, tradisi atau kebiasaan manusia dalam suatu lingkungan masyarakat. Akan tetapi, poin
pokok dalam term “gaya hidup” – yang membedakannya dengan kajian sosial lainnya – adalah terletak pada pola-pola tindakan manusia. Sehingga dapat dijelaskan bahwa gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan antar satu orang dengan orang lain.8
Pola-pola tindakan dalam gaya hidup, melebur menjadi identitas seorang individu bersama dengan ciri fisik dan identitas administratif. Selain nama, tanggal lahir, jenis kelamin, warna kulit, gestur tubuh dan lain sebagainya, gaya hidup juga akan ikut serta memperkenalkan seseorang atau kelompok kepada orang dan kelompok yang lain. Sebagai contoh, Raffi Ahmad, selain ia dikenal sebagai laki-laki kelahiran Bandung, berwajah tampan dan berkulit putih, ia juga dikenal sebagai artis playboy dan gemar mengoleksi mobil sport mewah. Ataupun cosplayer yang meniru dandanan
8 David Chaney, Lifestyles: Sebuah Pengantar Konprehensif, trans. Nuraeni (Yogyakarta:
(40)
karakter anime dengan bergaya hidup yang meniru anime pula dengan memakai gaya rambut dan gaya bicara layaknya dalam anime. Bahkan, gaya hidup menjadi unsur yang paling dianggap penting bagi sebagian besar masyarakat modern untuk membentuk identitas dirinya dan dikenal orang sesuai dengan penggambaran yang diinginkan.
Term “gaya hidup” sebenarnya bukan hal yang baru dalam kajian ilmu
sosial. Sebelumnya, telah ada dan banyak sosiolog yang membahas tentang gaya hidup, khususnya pada masyarakat modern. Hal ini disebabkan karena gaya hidup menjadi salah satu cakupan yang tidak dapat dipisahkan dengan berbagai fenomena yang terjadi pada masyarakat modern semenjak kehadiran era baru yang ditandai dengan semakin mapannya kapitalisme dan pesatnya perkembangan sains dan teknologi. Bahkan, gaya hidup menjadi salah satu ciri sebuah dunia modern atau yang biasa juga disebut modernitas. Maksudnya adalah siapa pun yang hidup dalam masyarakat modern akan menggunakan gagasan tentang gaya hidup untuk menggambarkan tindakannya sendiri maupun orang lain.9
Pentingnya gaya hidup bagi seorang individu atau golongan masyarakat tertentu tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan perkembangan industri mutakhir. David Chaney, sebagaimana Idy Subandi Ibrahim dalam pengantarnya, menjelaskan bahwa kapitalisme konsumsi benar-benar ikut berperan penting dalam memoles gaya hidup dan membentuk masyarakat
(41)
konsumen.10 Kapitalisme yang mapan, memunculkan sebuah budaya baru yang bernama “konsumerisme”. Budaya inilah yang kemudian menjadi cikal bakal kegandrungan masyarakat untuk bergaya hidup. Konsumerisme semakin meningkat mengikuti luapan produksi industri dan menjadi fenomena sehari-hari dalam masyarakat modern. Kehidupan sesehari-hari-sehari-hari tertuju pada pendapatan dan konsumsi barang yang sebagai simbol peran yang penting (konsumsi mencolok, berbelanja sebagai aktifitas memuaskan diri sendiri terlepas dari kebutuhan nyata untuk membeli).11
Pada umumnya, masyarakat bergaya hidup dengan menokohkan orang-orang tertentu yang dianggap terkenal dan diidolakan sebagai referensi gaya hidupnya. Kebanyakan tokoh tersebut adalah aktor film, musisi, model, pemain sepakbola dan selebriti. Tidak jarang kemudian industri mengiklankan setiap produk dengan menggandeng selebriti atau tokoh terkenal lainnya untuk memasarkan produknya, memanfaatkan kepopuleran selebriti. Dan bisa pasti produk tersebut akan laku dan menjadi keinginan yang wajib dipenuhi oleh masyarakat konsumsi, khususnya penggemar selebriti yang menjadi bintang iklan.
Demikian cosplayer, wibu dan otaku yang bergaya hidup jejepangan pun meniru tokoh atau karakter dalam anime, game dan lain sebagainya mereka menokohkan karakter dalam anime dan menokohkan para musisi Jepang untuk dijadikan acuan style sehari-hari. Misalnya dengan gaya
10 Ibid 12.
(42)
rambutnya yang acak-acakan dan fashion-nya yang cenderung memakai warna gelap ataupun masih banyak lagi.
Mencoloknya gaya hidup dalam masyarakat (modern) melahirkan industri baru yang beroperasi di bidang yang sama (gaya hidup). Kehadiran industri tersebut memperramai minat masyarakat untuk berbondong-bondong memoles dirinya dengan cara dan gaya hidupnya masing-masing. Melepaskan
aspek “kegunaan” dan aspek “kebutuhan”, beralih dan fokus ke aspek “keinginan” yang dalam praktiknya hanya pada sisi luar diri manusia. Idy
Subandi Ibrahim melalui ungkapan Chaney, bahwa “penampakan luar” menjadi salah satu situs yang penting bagi gaya hidup. Hal-hal permukaan akan menjadi lebih penting daripada substansi. Gaya dan desain menjadi lebih penting daripada fungsi. Gaya menggantikan substansi. Kulit akan mengalahkan isi.
Cosplayer adalah ladang persemaian kapitalisme yang cenderung
mengkonsumsi berbagai produk dan jasa tanpa memikirkan nilai guna. Semuanya hanya demi kepuasan dan hiburan. Pemasaran penampakan luar, penampilan, hal-hal yang bersifat permukaan atau kulit akan menjadi bisnis besar gaya hidup.12 Itulah sebabnya gaya hidup menjadi bagian tidak terpisahkan dengan kegiatan konsumsi.
Dalam prosesnya, gaya hidup sudah bukan lagi menjadi identitas yang dimonopoli kelompok kelas sosial tertentu. Semua orang dengan latar belakang sosial, agama, ekonomi dan etnis apapun dapat bergaya hidup sesuai
12 David Chaney, Lifestyles: Sebuah Pengantar Konprehensif, trans. Nuraeni (Yogyakarta:
(43)
yang mereka inginkan dan sesuai tokoh yang mereka idolakan. Ulama atau pemuka agama akan mengikuti fashion yang digunakan tokoh pemeran agama dalam sebuah sinetron atau film, mulai dari mengikuti model busana muslim, merek sarung dan kopyah, cara bersorban dan lain-lain. Juga bagi pemuda dari golongan ekonomi ke bawah yang tidak malu meniru gaya hidup musisi atau penyanyi dengan kebiasaan minum dan mengonsumsi obat terlarang. Dan tidak ketinggalan pula golongan pecinta film anime yang mulai memudar rasionalitasnya dengan aktifitas meniru gaya busana dan tingkah laku karakter dalam anime, disertai kebiasaan yang seakan-akan anti terhadap sesuatu yang tidak mencirikan karakter anime yang diidolakan.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, gaya hidup akan mengalihkan masyarakat dari nilai substansial yang ada dalam diri manusia ke hal yang eksistensial saja. Seorang Ulama akan terlihat lebih relijius ketika ia memiliki perangkat atau instrumen (islami) yang lebih lengkap dan trendi, terlepas dari kemampuannya dalam memahami serta mengamalkan ilmu dan ajaran agama. Semuanya akan dipandang dari sisi permukaan saja, mengikuti mode yang telah diatur oleh iklan-iklan produk industri. Iklan yang tidak hanya menawarkan barang, melainkan juga mengindoktrinasi secara perlahan, lembut dan berseduksi. Membangkitkan gairah dan nafsu masyarakat untuk selalu mengonsumsi dan mengonsumsi. Begitu seterusnya.
C. Fenomenologi Peter L. Berger dan Thomas Luckmann
Sejatinya, fenomenologi merupakan reaksi atas metodologi positivistik yang bersifat obyektif terhadap semua kejadian atau peristiwa secara kasat
(44)
mata. Sehingga cenderung menghasilkan sebuah (hasil) pengamatan yang kurang mendalam. Sedangkan fenomenologi berangkat dari pola pikir subyektivisme, yang tidak hanya memandang dari suatu gejala yang tampak, akan tetapi berusaha menggali makna di balik gejala itu.13
Teori ini mengkaji atau mengupas suatu fenomena dengan dalam, lebih pada apa yang tidak tampak atau motif dan tujuan, tidak terpaku pada yang tampak, misalnya tindakan secara fisik. Dengan begitu, analisis yang didapatkan pun akan sangat mendalam untuk menyibak suatu fenomena. Randall Collins menyebutnya sebagai proses penelitian yang menekankan
“meaningfulness”. Begitu juga dalam memahami perlawanan warga desa
terhadap kekuasaan kepala desa, tidak hanya melihat apa yang tampak di permukaan, akan tetapi lebih pada pemahaman mengapa warga desa itu melakukan perlawanan.14
Dalam perjalanannya, studi mengenai fenomenologi sebagai teori dan metodologi mengalami pengembangan-pengembangan yang cukup signifikan. Sejak diperkenalkan oleh Edmund Husserl, kemudian dilanjutkan Alfred Schutz sampai pada perkembangan mutakhir di masa kontemporer, fenomenologi telah dipoles oleh Thomas Luckman dan Peter L. Berger dengan koreksi di pelbagai sisi. Salah satunya adalah komentar Berger terhadap fenomenologi Schutz yang dianggap terlalu dangkal karena hanya berfokus pada rutinitas sehari-hari yang tidak bersifat problematik.
13 Ida Bagus Wirawan, Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma: Fakta Sosial, Definisi Sosial &
Perilaku Sosial (Jakarta, Kencana: 2014) 133.
(45)
Berger dan Luckmann menganggap bahwa orang awam itu pada dasarnya tidak kritis. Mereka hidup dan bekerja dalam pola kehidupan yang tidak problematik. Makna dan validitas yang ditangkapnya sebagai sesuatu yang sudah ada (pen. given). Oleh karena itu, jika metode itu dengan begitu saja diterapkan, maka peneliti hanya akan menangkap makna tindakan orang awam apa adanya (sebagai orang itu sendiri) memahami makna tindakan tersebut. Dengan demikian hasil kajiannya akan memberikan gambaran makna yang sangat dangkal, karena akal sehat kehidupan keseharian merupakan pengetahuan yang dianggap telah memadai dan valid tanpa harus dibahas lebih lanjut secara problematik.15
Koreksi Berger dan Luckmann terhadap fenomenologi Schutz dilengkapi pula dengan pengembangan melalui pemahaman akan suatu tindakan sebagai suatu dialektika antar individu dalam masyarakat, yakni meliputi eksternalisasi, internalisasi dan obyektifikasi. Artinya, setiap tindakan manusia dilakukan secara dialektis antara diri (the self) dengan dunia sosio-kultural.16 Pertama, eksternalisasi merupakan kontak individu sebagai subyek dengan dunia eksternalnya (lingkungan). Misalnya, ajakan seorang
cosplayer kepada individu yang juga memiliki kegemaran akan anime, game,
komik, dan aplikasi jejepangan, akan tetapi bukan sebagai cosplayer. Persinggungan tersebut merupakan proses dialektika tahap awal antar individu dalam lingkungan cosplay, dan kemudian akan diantitesiskan (sebagaimana dialektika) dengan obyektifikasi dan internalisasi.
15 Ibid 146. 16 Ibid 147.
(46)
Kedua, obyektifikasi adalah proses di mana persinggungan yang telah terjadi dalam eksternalisasi menjadi suatu fenomena yang obyektif. Maksudnya, persinggungan seorang individu dengan tayangan anime menimbulkan sebuah hobi yang kemudian dilembagakan menjadi sebuah kegiatan atau tindakan kolektif. Salah satunya adalah cosplay. Kegiatan semacam cosplay inilah yang kemudian tidak lagi menjadi sebuah pemaknaan individu secara subyektif terhadap lingkungan yang sebelumnya ia singgungi, akan tetapi telah menjadi suatu ruang atau media interaksi sosial yang institusional.
Ketiga, proses internalisasi. Dalam proses ini, titik tekannya ada pada
interaksi individu atau masyarakat dengan institusi-institusi dalam lingkungan sosial, baik berupa nilai, budaya atau lembaga dan organisasi sosial. Sehingga memungkinkan bagi individu untuk memaknai posisi dirinya secara subyektif dengan institusi sebagaimana dimaksud. Jika dikaitkan kembali dengan contoh di atas, maka dalam proses internalisasi ini akan berbicara tentang bagaimana seorang individu penggemar anime ketika sudah bersinggungan dengan sebuah nilai, budaya dan organisasi (institusional) yang telah dihasilkan dari proses obyektifikasi, dalam hal ini adalah komunitas cosplay. Umpamanya ia akan memosisikan diri sebagai cosplayer, wibu, otaku atau ketiganya sekaligus.
Dengan ciri tersebut, fenomenologi Berger dan Luckmann dapat dikategorikan sebagai fenomenologi eksistensial yang berorientasi pada level individu dari budaya, ini meliputi internalisasi kesadaran subyektif dari
(47)
individu. Setiap fenomena dapat dideskripsikan sebagai sesuatu yang empiris, terkait dengan kehidupan sehari-hari.17 Berbeda dengan fenomenologi
hermeneutik yang perhatiannya pada teks dan bahasa. Selain itu, Berger menegaskan pula, bahwa fenomenologi bersifat empiris. Hal ini jelas karena didasarkan pada pengalaman yang kemudian dianalisis dan tentunya tidak akan lepas dari konsep interpretasi dalam interaksi sosial individu dengan lingkungannya. Interaksi sosial individu dengan lingkungannya merupakan pengalaman yang menjadi tugas fenomenologi sebagai obyek analisis dengan prinsip-prinsip yang dapat digunakan oleh peneliti kontemporer sebagai berikut: 1) Peneliti menempatkan subyek yang diteliti sebagai subyek yang kritis dan problematik. 2) Individu bertindak secara praktis atas dasar pilihan rasional. 3) Menempatkan pemahaman seseorang tidak hanya berasal dari dalam dirinya, tetapi juga merupakan produk dari kesadaran terhadap orang lain. Dengan kata lain, tindakan manusia sebagai proses internalisasi dan eksternalisasi.18
Dari pembahasan fenomenologi Berger di atas, dapat disimpulkan beberapa inti dari fenomenologi kontemporer yaitu:
1. Menekankan pada interaksi antar-individu tentang kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan perlawanan.
2. Berusaha mendeskripsikan fenomena sebagai sesuatu yang empiris.
3. Berusaha menggambarkan pengalaman manusia sebagai sesuatu yang hidup, bukan seperti yang dirumuskan dalam teori. Dengan kata lain,
17 Ibid 148. 18 Ibid 151.
(48)
berupaya menganalisis kenyataan-kenyataan sosial yang benar-benar terjadi.
4. Melihat kesadaran pada arus makna.
5. Memerhatikan teks termasuk bahasa secara obyektif.19 D. Hiperealitas – Jean Baudrillard
Munculnya era baru (postmodernitas) dalam perkembangan ilmu pengetahuan, ditandai dengan semakin mapannya kapitalisme, penyebaran teknologi dan informasi secara masif, semakin dahsyatnya konsumerisme, dan munculnya sebuah kebudayaan baru: dunia hiperealitas (hyperreality).
Hiperealitas secara harfiah berarti sebuah realitas yang berlebihan, meledak dan semu.20 Istilah ini digunakan Jean Baudrillard sebagai penggambaran terhadap suatu kondisi, yang mana realitas sebenarnya tidak lagi memiliki batas pemisah dengan realitas yang merepresentasikan kenyataan. Kondisi tersebut sedang dialami oleh masyarakat dewasa ini (khususnya di Barat), mengikuti laju perkembangan sains dan teknologi informasi yang tidak terbendung.
Baudrillard mengarahkan perhatiannya pada analisis tentang masyarakat kontemporer, yang dalam pandangannya, tidak lagi didominasi oleh produksi, tetapi lebih tepatnya oleh media, model sibernetik (bersifat dunia maya) dan sistem pengendalian, komputer, pemrosesan informasi, dunia
19 Ibid 151.
20 Medhy Anginta Hidayat, Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran
(49)
hiburan, dan industri pengetahuan dan sebagainya.21 Sedikit berbeda dengan para sosiolog postmodern lainnya yang sebagian terfokus pada kajian metafisis. Hal ini diawali ketika Baudrillard bergabung dengan Rolland Bartesh mengajar di Ecole des Hautes Etudes. Semenjak berada di sanalah Baudrillard mulai aktif menulis disamping sibuk berpartisipasi praksis gerakan sosialisme Prancis.22
Perkembangan teknologi sebagai salah satu ciri postmodernitas, tidak henti-hentinya menghasilkan sebuah produk elektronik virtual sebagai media komunikasi manusia. Produk virtual semacam televisi, menjadi media yang dapat menampilkan sebuah informasi berbentuk gambar dan video, sebagai wujud representasi realitas yang sedang terjadi. Misalnya, tayangan pertandingan final Liga Champions 2016 merupakan wujud representasi dari pertandingan sepakbola antara Real Madrid dengan Atletico Madrid yang dihelat di stadion San Siro, Kota Milan. Atau Baudrillard mencontohkannya pada peta yang diciptakan sebagai wujud representasi dari teritori (wilayah).
Namun, pada perkembangannya, masyarakat menganggap bahwa realitas yang ditampilkan melalui televisi lebih nyata daripada realitas sesungguhnya. Hal ini terjadi ketika maraknya tanda dan kode dalam iklan, film, sinetron dan produk virtual lainnya yang bukan merupakan representasi kenyataan dan bahkan tanpa referensi. Bagi Baudrillard, hiperealitas adalah realitas itu sendiri, yakni era yang dituntun oleh model-model realitas tanpa
21 George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern, trans. Saut Pasaribu, dkk (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) 1087.
22 Medhy Anginta Hidayat, Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran
(50)
asal-usul dan referensi. Di mana, yang nyata tidak sekadar dapat direproduksi, namun selalu dan selalu direproduksi.23 Sampai akhirnya, kata Baudrillard,
yang virtual telah mengambil alih yang nyata.24
Konsep hiperealitas sendiri perhatiannya pada kecenderungan masyarakat melepaskan batas-batas dalam memahami sebuah “kenyataan” yang didasari pengalaman dengan “kenyataan” yang sengaja diciptakan melalui model konseptual atau yang Baudrillard sebut sebagai simulasi
(simulation). Proses simulasi mengarah pada penciptaan simulakra
(simulacra) atau “reproduksi obyek atau peristiwa”.25 Maksudnya, adalah
penciptaan ulang sebuah kejadian atau peristiwa sebelum peristiwa itu benar-benar (akan) terjadi dan ada di dunia nyata secara terus-menerus. Contohnya pada penciptaan film fiksi yang tiada hentinya ditayangkan, dan jelas bahwa peristiwa dalam film tersebut tidak betul-betul ada dan terjadi di dunia nyata. Maka demikian disebut sebagai simulasi: kenyataan yang dibuat tanpa referensi dan bersifat tipuan. Proses tersebut muncul beriringan dengan pesatnya perkembangan teknologi di era digital. Simulacra yang berarti tanda atau kode, masuk dan mendominasi kehidupan masyarakat melebihi dominasi unsur kehidupan nyata. Pada akhirnya, hiperealitas menjadi kesimpulan terhadap sulitnya membedakan antara realitas yang nyata dengan realitas yang tidak nyata (semu), atau anggapan bahwa realitas semu lebih nyata daripada kenyataan yang sebenarnya.
23 Ibid 11.
24 Jean Baudrillard, Galaksi Simulacra, ed. M. Imam Aziz (Yogyakarta: LKiS, 2001) 41. 25 George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir
(51)
Dalam salah satu esainya yang berjudul Perusahaan Disney World, Baudrillard secara tegas mengatakan, bahwa perusahaan Disney telah jauh melebihi khayalan. Disney, (si pelopor sekaligus pemuja khayalan sebagai kenyataan virtual) kini dalam proses penangkapan seluruh kenyataan dunia
untuk diintegrasikan ke dalam jagad sintesisnya, dalam bentuk “pertunjukan nyata” yang luas, di mana kenyataan sendiri menjadi suatu tontonan (vient se
donneer an spectacle), di mana yang nyata menjadi suatu taman tema.26
Disney menginginkan semua kenyataan dalam dunia nyata juga ada dalam Disney World. Ia mengkhayal bahwa kenyataan itu akan menjadi semacam pertunjukan yang dihelat dalam Disney World dan dapat ditonton oleh pengunjung yang dengan sukarela mengeluarkan biaya mahal dan mengantri lama hanya untuk masuk dan menikmati fitur dan wahana hiburan dalam Disney World.
Disneyland yang telah menjadi bius bagi sebagian besar konsumen kelas menengah sehingga selalu dijejali orang sepanjang tahunnya.27 Masyarakat tidak menghiraukan keadaan Disneyland yang merupakan dunia imajiner. Mereka dengan kegembiraannya, tetap menikmati kenyataan dalam Disneyland, meskipun harus rela membayar mahal dan mengantri berjam-jam. Semua itu dilakukan hanya untuk memuaskan keinginan dan nafsunya.
Fenomena cosplay yang muncul dan berkembang pesat di pelbagai negara, tidak terkecuali di Indonesia. Cosplay sebagai hobi, menjadi sebuah
26 Jean Baudrillard, Galaksi Simulacra, ed. M. Imam Aziz (Yogyakarta: LKiS, 2001) 42.
27Azwar M. (2014). Teori Simulakrum Jean Baudrillard dan Upaya Pustakawan Mengidentifikasi
Informasi Realitas, Jurnal Ilmu Perpustakaan & Kearsipan Khizanah Al-Hikmah, Vol. 2 No. 1 hlm. 40.
(52)
even yang diselenggarakan hampir setiap bulan di pelbagai daerah, untuk menfasilitasi pengapresiasian hobi berkostum dan bertingkah laku semirip mungkin dengan tokoh anime yang disukai. Irasionalitas pelaku cosplay
(cosplayer) terletak pada keberlebihannya dalam mengaktualisasi kegemaran
dan kesukaan terhadap film animasi-fiksi melalui kegiatan yang jauh atau bahkan tidak bernilai guna. Kebutuhan finansial seorang cosplayer dalam satu kali even, dapat menghabiskan biaya ratusan sampai jutaan rupiah, untuk menyiapkan perlengkapan cosplay yang meliputi kostum, aksesori dan tata rias. Selain itu, penggemar anime – baik cosplayer maupun bukan – juga rela mengeluarkan biaya mahal untuk membeli dan memiliki benda atau mainan anime yang hanya berukuran mini.
Tingkah laku dan gaya hidup yang berlebihan dari seorang cosplayer– sebagai penggemar anime – sangat mirip dengan pengunjung Disneyland sebagaimana telah dicontohkan Baudrillard diatas. Sebagian besar dari mereka adalah penggemar tokoh dan/atau film animasi produksi Walt Disney Pictures, Amerika Serikat. Film anime Jepang dan film animasi Disney merupakan contoh simulasi yang ditampilkan melalui media massa, yang kemudian melebur dalam kehidupan nyata manusia, begitu pula sebaliknya.
Hiperealitas dan Simulasi sebagai teori sosial posmodern akan menjadi salah satu alat analisa dalam memandang cosplay sebagai posmodernisme; juga sebagai budaya yang berkembang di era posmodernitas dengan menfokuskan pada beberapa tinjauan. Pertama, tinjauan terhadap cosplay sebagai sebuah kenyataan riil. Kegiatan tersebut merupakan sebuah
(53)
pengalaman yang secara sadar dialami oleh seorang cosplayer maupun penggemar cosplay. Peneliti perlu mendalami motif dan tujuan yang ingin dicapai oleh seorang cosplayer dalam bermain cosplay. Sehingga dengan mengetahui motif dan tujuannya, akan mempermudah peneliti dalam menganalisa cosplay dalam tinjauan selanjutnya. Kedua, tinjauan terhadap
cosplay sebagai simulasi lanjutan dari yang telah disimulasikan dalam film
anime Jepang. Misalnya film anime Captain Tsubasa yang merupakan pensimulasian dari seorang pemain sepak bola asal Jepang. Dalam tinjauan ini, peneliti akan memusatkan perhatiannya pada rangkaian dan macam kegiatan dalam even cosplay. Ketiga, meninjau kolektivitas cosplayer dalam melakukan hal-hal yang bersifat irasional – sebagai wujud kekaburan
cosplayer dalam memahami anime sebagai realitas semu – baik ketika
ber-cosplay maupun beraktifitas sehari-hari di luar even cosplay, misalnya dalam
memenuhi kebutuhan dan tuntunan bagi seorang cosplayer yang harus tampil modis.
Ketidak rasionalannya dalam bergaya hidup dan mengonsumsi sebuah produk, sangat dipengaruhi kekaburan cosplayer dalam memahami cosplay sebagai realitas semu. Dalam hal ini, peneliti harus mengetahui bagaimana aktifitas dan pola hidup cosplayer secara kolektif. Terakhir, peneliti meninjau model pengorganisasian cosplayer, pempublikasikan cosplay dan perencanaan komunitas cosplay. Hal ini berkaitan dengan tanda dan kode sebagaimana yang telah dimaksud dalam simulacra. Simulacra yang kemudian mendominasi kehidupan cosplayer menyebabkan cosplayer menjadi apatis
(1)
117
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan
Menjadi jelas dan terang bahwa masyarakat modern, khususnya di Surabaya, tidak serta merta dan secara tiba-tiba tertarik terhadap cosplay. Semua berawal dari kegemarannya kepada produk-produk virtual Jepang wa bilkhusus pada anime. Jepang memang dikenal dengan animenya, masyarakat dunia tentu sudah tidak asing dengan serie anime Captain Tsubasa, One Piece dan Naruto Shippuden yang pernah meramaikan tayangan televisi mereka. Bahkan, untuk perhelatan Olimpiade 2020 yang diselenggarakan di Tokyo, Jepang menggunakan beberapa karakter anime sebagai ikon, salah satunya adalah karakter utama dalam anime Dragon Ball. Hal demikian menjadi sangat benar, bahwa Jepang mendunia, salah satunya karena kelarisan produk anime mereka di pasar global.
Melihat kenyataan tersebut, tidak salah juga jika masyarakat dewasa ini amat begitu tergila-gila terhadap anime Jepang. Sebab, sebagaimana yang telah diramalkan oleh Jean Baudrillard, kebudayaan masyarakat kontemporer tidak lepas dari kemajuan teknologi. Semua manusia akan terus gandrung dan terpesona melihat setiap produk teknologi mutakhir. Cosplay-pun begitu, meski di satu sisi ada aspek sejarah di mana peragaan cosplay adalah perkembangan dari pesta kostum yang populer di negara-negara Barat dalam acara Hari Paskah dan Helloween. Maka, tidak mungkin bagi seorang
(2)
118
cosplayer untuk gemar ber-cosplay jika tidak menggemari anime sebelumnya. Semuanya pasti telah teracuni oleh jejepangan bernama anime itu.
Akan tetapi, tidak setiap penggemar anime menjadi cosplayer, terlebih dahulu akan melewati proses indoktrinasi oleh penggemar anime yang lebih dahulu terjun dalam dunia per-cosplay-an maupun informasi yang didapat dari media dan internet. Atau yang oleh Peter L. Berger istilahkan sebagai proses kontruksi sosial yang didalamnya terdapat tiga tahap proses sebelum kejadian dalam kehidupan sosial itu terjadi. Kemudian barulah mereka yakin untuk ber-cosplay dan menjadi cosplayer.
Sebagaimana yang sudah-sudah, cosplay sebagai bagian dari budaya pop membawa misi komersiil, yang secara tidak langsung mengharuskan pengikutnya untuk senantiasa berkonsumsia ria. Untuk memuaskan nafsunya, para cosplayer perlu mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, meluangkan waktu yang cukup banyak dan merelakan kebutuhan yang lebih berguna, hanya untuk mendapatkan kepuasan, popularitas dan kejumawaan yang sebenarnya fana. Kepuasan yang diperoleh hanya karena memiliki followers banyak di akun media sosialnya, popularitas yang melambung ketika hanya mendapat ajakan berfoto oleh ribuan penggemar dan kejumawaan yang didapat hanya ketika mendapatkan kemenangan di panggung cosplay.
Maka, berdasarkan realitas yang tercermin dari kehidupan per-cosplay -an, baik di Surabaya maupun di daerah lainnya, tidak berlebihan apabiila peneliti nilai bahwa gaya hidup cosplayer dan komunitas cosplay sangatlah irasional.
(3)
119
B. Saran
Modernisme dan globalisasi memang tidak bisa kita tolak begitu saja. keduanya telah menjadi seperti udara yang setiap hari manusia hirup. Sehingga, satu-satunya yang dapat manusia lakukan adalah memilih dan memilah setiap udara yang akan kita hirup. Sebab, tidak setiap udara yang manusia hirup bermanfaat, dan tidak setiap darinya pula membahayakan.
Begitu pun dengan fenomena cosplay yang menjadi ciri dan efek dari modernisme dan globalisasi. Tidak dapat dibenarkan apabila cosplay sebagai sebuah hobi dan kegemaran diberangus atau dilarang untuk dilakukan. Akan tetapi, masyarakat cosplay – yang sebagian besar terdiri dari pemuda dan pelajar – perlu dan penting untuk menyadari bahwa tidak setiap hobi yang kita gemari harus dilakukan dengan tidak proporsional, berlebihan dan irasional. Apalagi hobi yang diapresiasikan secara berlebihan, juga dapat menggancam kelestarian budaya Indonesia.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Rianto. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta: Granit, 2004.
Akibanation. “Fenomena Butler dan Maid Café di Indonesia,” Ditulis pada 27 Februari 2016. https://www.akibanation.com/fenomena-butler-adn-maid-cafe-indonesia/.html.
Baudrillard, Jean. Berahi. Diterjemahkan oleh Ribut Wahyudi. Yogyakarta: Bentang, 2000.
Baudrillard, Jean. Galaksi Simulacra. Editor M. Imam Aziz. Yogyakarta: LKiS, 2001.
Blogspot. “Cosplay; Definisi, Sejarah dan Jenis Cosplay.” Ditulis pada 15 April 2015. http://galleryotaku.blogspot.co.id/2014/05/cosplay-definisi-sejarah-dan-jenis.html.
Bungin, Burhan. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group, 2007.
Chaney, David. Lifestyles: Sebuah Pengantar Konprehensif, Diterjemahkan oleh Nuraeni. Yogyakarta: Jalasutra, 1996.
Hidayat, Medhy Anginta. Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran Postmodernisme Jean Baudrillard. Yogyakarta: Jalasutra, 2012.
J-cul. “Apakah Kamu Seorang Otaku, Nijikon, atau Weboo? Cek Kebenarannya Sekarang.” Ditulis 19 Desember 2014. J -cul.com/apakah-kamu-seorang-otaku-nijikon-atau-weboo-cek-kebenarannya-sekarang.html.
(5)
M., Azwar. “Teori Simulakrum Jean Baudrillard dan Upaya Pustakawan Mengidentifikasi Informasi Realitas.” Jurnal Ilmu Perpustakaan & Kearsipan Khizanah Al-Hikmah, Vol. 2 No. 1 (2014): 40.
Rhoma, Ridho “Bukan”. Berhala Itu Bernama Budaya Pop. Yogyakarta: Leutika, 2009.
Ritzer, George. Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Diterjemahkan oleh Saut Pasaribu, dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Sobur, Alex. Filsafat Komunikasi: Tradisi dan Metode Fenomenologi. Bandung: Rosda, 2014.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alvabeta, 2010.
Sztompka, Piötr. Sosiologi Perubahan Sosial. Diterjemahkan oleh Alimandan. Jakarta: Prenada, 2011.
Tribun News. “Lee Jin Gyu Menikahi Bantal.” Ditulis 26 April 2010. https://m.tribunnews.com/amp/internasional/2010/04/26/lee-jin-gyu-menikahi-bantal.html.
Tribun Style. “5 Peringatan Aneh Ini Cuma Ada Di Jepang, Mulai Dari Hari Oppai Sampai Kondom!.” Ditulis 24 November 2016. https:// tribunstyle.com/hari+oppai+indah+di+jepang.html.
Utomo, Moh. Setyo Budi. “Komunikasi Antar Budaya Dalam Event Cosplay: Studi Event Cosplay di Daerah Surabaya, Malang dan Yogyakarta”, Skripsi Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UINSA, 2015.
(6)
Wikipedia. “Cosplay.” Perubahan terakhir 27 Oktober 2016. https://id.m.wikipedia.org/wiki/cosplay.html.
Wirawan, Ida Bagus. Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma: Fakta Sosial, Definisi Sosial & Perilaku Sosial. Jakarta: Kencana, 2014.