(1250 Kali)

Perlindungan Sosial
Pekerja Migran Bermasalah Melalui
Rumah Perlindungan Trauma Center

Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial
Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial
Kementerian Sosial RI 2015

Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah
Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center

Pembimbing:
1. Direktur KTKPM
2. DR.Ir. Lala M Kolopaking, MS.
Editor:
DR.Ir. Lala M Kolopaking, MS.
Penulis:
Dra. Husmiati,M.Soc.Sc.,PhD.
Drs. Nurdin Widodo, MSi
Dra. Alit Kurniasari, MP
Ivo Noviana, S.Sos., MSi.

M. Belanawane Sulubere, S.Sos.
Tata letak & Desain Sampul:
Tim Inovasi
Cet. I. Jakarta 2015
vi + 92 hal; 14,8 x 21cm.
ISBN 978-602-363-012-7
Diterbitkan oleh:
P3KS Press
Jl. Dewi Sartika No. 200 Cawang III Jakarta-Timur. Telp. (021) 8017126
Email: puslitbangkesos@kemsos.go.id Website: puslit.kemsos.go.id

Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak
buku sebagian atau seluruhnya tanpa izin dari penerbit

KATA PENGANTAR
Bekerja di luar negri kini memang menjadi pilihan sebagian
masyarakat Indonesia. Banyak diantara mereka yang tidak mempunyai
keterampilan khusus masuk negara lain melalui jalur tidak resmi.
Mereka tidak memikirkan resiko yang dihadapi sampai akhirnya menjadi
pekerja migran bermasalah. Kecenderungan jumlah pekerja pekerja

migran bermasalah dan yang harus dipulangkan ke tempat asalnya
semakin bertambah setiap tahunnya. Jumlah yang semakin meningkat
ini tentunya menjadi beban pemerintah. Masalah anggaran dan tenaga
(SDM) untuk mengurus kepulauan PMB menjadi hambatan yang cukup
besar bagi pemerintah khususnya bagi Kementerian Sosial. Sedangkan
bagi pekerja migran itu sendiri membawa masalah sosial, psikologis dan
ekonomi yang dibawa ke kampung halamannya.
Sementara ini, Kementerian Sosial melalui Direktorat Jenderal
Perlindungan dan Jaminan Sosial, telah menyediakan Rumah Perlindungan
dan Trauma Center (RPTC). RPTC merupakan penampungan sementara
bagi pekerja migran bermasalah dan korban tindak kekerasan sebelum
mereka dikembalikan ke daerah asalnya.
Penelitian tentang Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah
Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center 2015 yang dilakukan Pusat
Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial ini dimaksudkan
untuk mengetahui implementasi kebijakan penanganan pekerja migran
bermasalah, peran dan fungsi Rumah Perlindungan Trauma Center
(RPTC) dalam melakukan perlindungan sosial dan kondisi kerentanan
yang dialami mereka, serta faktor pendorong mereka yang ingin kembali
bekerja di luar negeri.

Sasaran penelitian ini adalah pelaksana kebijakan penanganan
pekerja migran di daerah, RPTC dan pekerja migran bermasalah di lokasi
penelitian.

Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah
Perlindungan Trauma Center

i

Meskipun buku ini hanya menggambarkan provinsi Kepulauan Riau,
DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat, namun informasinya
cukup menarik untuk didiskusikan. Diharapkan dapat dijadikan acuan
bagi unit-unit terkait di lingkungan Kementerian Sosial, dan Kementerian
terkait serta pemerintah daerah dan LSM yang bergerak dalam
perlindungan sosial bagi pekerja migran bermasalah.
Kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada para
peneliti, yang dengan keseriusannya mampu menyajikan informasi
terkait perlindungan sosial bagi pekerja migran bermasalah melalui
Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC). Tidak lupa ucapan terima
kasih juga disampaikan kepada berbagai pihak yang telah memberikan

kontribusi hingga terbitnya buku ini.

Jakarta,

Desember 2015

Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kesejahteraan Sosial
Kepala,

DR. Dwi Heru Sukoco, M.Si

ii

Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah
Perlindungan Trauma Center

PENGANTAR
Perkembangan tenaga kerja dari Indonesia yang bekerja di luar negeri
dalam tiga periode terakhir menunjukkan, bahwa mereka yang bekerja

itu cenderung menjadi buruh migran di sektor informal. Diperkirakan
sampai tahun 2014 jumlah mereka mendekati 6.3 juta orang yang
tersebar di 28 negara tujuan bekerja di tiga benua dunia, Asia pasiik
(61.78%), Timur Tengah dan Afrika (37.08%), Eropa dan Amerika
(1.14%). Mereka ini dicatat berasal dari hampir seluruh pulau-pulau
besar di Indonesia, seperti Jawa-Madura-Bali, NTB dan NTT, Sumatera,
Kalimantan, dan Sulawesi. Bahkan, kawasan-kawasan perbatasan yang
semula hanya menjadi tempat singgah atau transit mereka yang akan
bekerja ke luar negeri, kini telah berkembang menjadi daerah pengirim
tenaga kerja dari Indonesia ke luar negeri.
Proses tenaga kerja dari Indonesia ke luar negeri dicatat telah
memberikan manfaat. Bank Indonesia menyebutkan jumlah aliran uang
sebagai remitansi dari mereka yang bekerja di luar negeri pada periode
tahun 2010 hingga tahun 2015 rata-rata per tahun mencapai 7,217
juta USD. Tidak saja manfaat ekonomi, di beberapa negara seperti
Hongkong, Taiwan dan Singapura, proses tersebut dapat menjadi sumber
gejala diaspora budaya. Diperkirakan selama ada permintaan atas tenaga
kerja dari Indonesia dari negara-negara tujuan bekerja maka proses ini
akan terus berlangsung.
Namun dibalik itu semua, aliran tenaga kerja dari Indonesia yang

bekerja ke luar negeri diikuti oleh berbagai persoalan. Dari berbagai
catatan hingga tahun 2014, diketahui 16.86% dari jumlah yang
bekerja ke luar negeri terkena masalah mulai dari sakit, PHK sepihak,
majikan bermasalah, gaji tidak di bayar, pelecehan seksual, tidak sesuai
perjanjian kerja, kecelakaan kerja, hamil, penganiayaan, dipulangkan
secara paksa oleh negara tujuan bekerja, menghadapi soal keimigrasian
(dokumen tidak lengkap, over stay ), hingga ancaman hukuman mati
dan meninggal dunia. Hal yang mengindikasikan mereka yang bekerja
ke luar negeri cenderung tidak terlindungi martabat kemanusiaannya
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah
Perlindungan Trauma Center

iii

sebagai akibat tidak dilindungi dalam norma hukum nasional maupun
internasional. Meskipun, sebagian dari mereka yang punya masalah
seharusnya dilindungi agar dapat bekerja dan hidup yang layak, baik di
dalam maupun di luar negeri. Hingga saat ini tenaga kerja dari Indonesia
yang bekerja ke luar negeri khususnya mereka yang menjadi buruh migran
perempuan paling rentan menghadapi masalah. Mereka yang terkena

masalah itu kemudian menjadi tanggungan negara. Ketidaksiapan
pemerintah Indonesia dalam menghadapi pemulangan tenaga kerja dari
luar negeri sering menimbulkan dampak terhadap hak asasi manusia
para tenaga kerja yang dipulangkan.
Buku berjudul “Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah
Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center” ini, adalah hasil penelitian
yang ingin mencoba membahas kondisi tenga kerja dari Indonesia yang
mengadu nasib bekerja ke luar negeri dan menghadapi masalah, sehingga
dipulangkan dengan paksa oleh negara tujuan bekerja, khususnya
Malaysia. Tenaga kerja bermasalah tersebut dinyatakan dalam buku ini
sebagai pekerja migran bermasalah (PMB). Pemulangan PMB ini tentunya
menjadi kewajiban pemerintah untuk menerimanya. Salah satunya
adalah Kementerian Sosial yang menyediakan Rumah Perlindungan
Trauma Center (RPTC) sebagai upaya melakukan perlindungan sosial
bagi para PMB.
Dalam Bab 1 diuraikan tentang latar belakang, masalah dan tujuan,
serta metodologi yang digunakan dalam penelitian. Sedangkan, Bab 2
membahas bagaimana migrasi dan apa itu pekerja migran bermasalah,
kebijakan-kebijakan dan upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah
dalam upaya melindungi tenaga kerja sebagai warga negara yang

mencoba bekerja ke luar negeri. Fokus dalam hal tersebut adalah dalam
kerangka penyediaan pelayanan sosial melalui Rumah Perlindungan
Trauma Center. Dalam Bab 3 diuraikan hasil yang didapat dari penelitian,
dan dalam Bab 4 berisi bagaimana para peneliti menganalisis dan
memaknai temuan lapangan. Terakhir pada Bab 5 diajukan rekomendasi
berdasarkan temuan lapangan yang sudah dianalisis bersama mereka
yang bekerja dan terkena masalah dan dilayani oleh RPTC.

iv

Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah
Perlindungan Trauma Center

Penelitian ini menekankan, bahwa pemerintah perlu memiliki
rencana antisipatif atas pemulangan PMB. Bahkan, rencana jangka
pendek perlu disiapkan dengan langkah yang terstruktur untuk dapat
dilakukan. Antisipasi yang baik dari pemerintah pusat juga perlu
disinergikan dengan kegiatan dari pemerintah daerah dan desa dalam
memberikan perlindungan terhadap hak-hak warga negara sebagai
tenaga kerja yang bekerja diluar negeri dan dideportasi. Selain itu, perlu

langkah nyata melakukan upaya pencegahan agar mereka yang pulang
dan bekerja kembali ke luar negeri tidak terjerumus lagi dalam masalah
yang sama.
Salah satu bunyi NAWACITA yang dicanangkan oleh Pemerintah
Jokowi-Jusuf Kala 2014-2019 adalah “menghadirkan kembali negara
untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada
seluruh warga negara, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan
nasional yang terpercaya…”. Hal ini menegaskan pentingnya kehadiran
pemerintah dalam memberikan hak perlindungan pada warganya serta
menghilangkan eksploitatif yang kerap ditemui dalam akiran tenaga kerja
dari Indonesia ke luar negeri hingga saat ini.
Negara harus hadir tersebut adalah gagasan yang perlu diwujudkan
dalam langkah konkret dengan melibatkan mereka yang akan, sedang
atau sudah kembali dari bekerja di luar negeri secara aktif. Permasalahan
yang mengancam mereka yang akan bekerja keluar negeri perlu dicegah
dan ditangani dengan baik. Oleh karena, tidak ada satu bangsa pun yang
berhak melecehkan martabat kemanusiaan. Dengan demikian, rangkaian
lima bab dari buku ini yang dirangkai secara terintegrasi diharapkan
dapat memberikan wawasan dan menemukan iktibar untuk lebih baik
lagi dalam melayani pekerja-pekerja migran bermasalah, khususnya dari

mereka yang dilayani di RPTC.
Jakarta, Desember 2015

DR. IR. Lala M Kolopaking, MS
Editor

Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah
Perlindungan Trauma Center

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

i

PENGANTAR EDITOR

ii


DAFTAR ISI

vi

DAFTAR TABEL

ix

BAB I: PENDAHULUAN

1

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

7

Migrasi

7

Pekerjan Migran

10

Pekerja Migran Bermasalah

13

Kebijakan Pemerintah bagi Pekerja Migran

15

Perlindungan Sosial

17

Rumah Perlindungan Trauma Center

19

Kerangka Konseptual

20

BAB III: HASIL PENELITIAN

22

TANJUNG PINANG KEPULAUAN RIAU

22

- Gambaran umum RPTC Tanjung Pinang

22

- Alur Penanganan Pekerja Migran Bermasalah

24

- Implementasi kebijakan dan program perlindungan

vi

- sosial bagi PMB

25

- Peran dan fungsi RPTC dalam melakukan perlindungan
sosial bagi PMB

27

- Peran dan fungsi RPTC dalam proses reintegrasi
PMB didaerah asal.

29

- Kondisi kerentanan yang dialami PMB selama
proses migrasi (transit, destinasi, daerah asal).

29

- Faktor pendorong internal dan eksternal yang
menyebabkan PMB ingin kembali bekerja diluar negeri

30

Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah
Perlindungan Trauma Center

DKI JAKARTA

30

- Gambaran Umum RPTC Bambu Apus, Jakarta

30

- Sumberdaya

32

- Implementasi kebijakan dan program perlindungan
sosial bagi PMB di DKI Jakarta

33

- Peran RPTC dalam Perlindungan Sosial dan Proses
Reintegrasi di Daerah

35

- Kondisi kerentanan yang dialami PMB selama
proses migrasi (transit, destinasi, keluarga asal)

37

- Faktor pendorong yang menyebabkan PMB ingin
tetap bekerja di luar negeri

40

JAWA TIMUR

40

- Implementasi kebijakan dan program perlindungan
sosial bagi PMB

41

- Peran dan fungsi RPTC dalam melakukan
perlindungan sosial dan pada saat proses
reintegrasi eks PMB didaerah asalnya.

45

- Kondisi kerentanan yang dialami PMB selama
proses migrasi (transit, destinasi, daerah asal)

46

- Faktor pendorong internal dan eksternal yang
menyebabkan PMB ingin kembali bekerja diluar negeri.

47

NUSA TENGGARA BARAT

49

- Gambaran Umum Pekerja Migran Provinsi
Nusa Tenggara Barat

49

- Peran RPTC dalam Perlindungan Sosial bagi PMB

51

- Kondisi Kerentanan PMB selama Migrasi

54

BAB IV: PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

58

Implementasi kebijakan dan program perlindungan
sosial bagi PMB

58

Peran dan fungsi RPTC dalam melakukan perlindungan
sosial bagi PMB

60

Peran dan fungsi RPTC dalam proses reintegrasi
PMB didaerah asal.

64

Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah
Perlindungan Trauma Center

vii

Kondisi kerentanan yang dialami PMB selama
proses migrasi (transit, destinasi, daerah asal).

65

Faktor pendorong internal dan eksternal yang
menyebabkan PMB ingin kembali bekerja diluar negeri.

70

BAB V: KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

74

Kesimpulan

74

Rekomendasi

77

DAFTAR PUSTAKA

80

BIODATA PENULIS

85

INDEK

90

viii

Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah
Perlindungan Trauma Center

DAFTAR TABEL
Tabel 1. Teori Migrasi

8

Tabel 2. SDM dilihat dari Tingkat Pendidikan

23

Tabel 3. SDM dilihat dari Jabatannya

24

Tabel 4. Data pemulangan PMB di RPTC Tanjung Pinang
Periode Januari - Mei 2015

28

Tabel 5. SDM dilihat dari Jabatannya

32

Tabel 6. SDM dilihat dari Tingkat Pendidikan

33

Tabel 7. Data pemulangan PMB di RPTC Tanjung Pinang
Periode Januari - Mei 2015

61

Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah
Perlindungan Trauma Center

ix

BAB I
PENDAHULUAN
Peningkatan jumlah penduduk hingga saat ini sangat fantastik dari
tahun ketahunnya. Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2012
jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 252 juta orang. Kondisi
ini tentunya akan memberi berbagai dampak positif maupun negatif di
berbagai sektor. Apabila dilihat dari keberadaan angkatan kerja yang ada
saat ini, jumlahnya cukup tinggi dan tidak diimbangi dengan penyerapan
tenaga kerja di dalam negeri. Badan Pusat statistik mengeluarkan data
pada tahun 2011 dimana jumlah angkatan kerja mencapai angka
lebih dari 22 juta orang. Setiap tahunnya angka ini terus mengalami
peningkatan, tanpa kecuali di tahun 2015 ini. Jumlah angkatan kerja
yang tinggi ini tidak diimbangi dengan penyerapan tenaga kerja di dalam
negeri, sehingga menyebabkan banyak yang melakukan migrasi ke kotakota besar di Indonesia dan juga migrasi keluar negeri terutama ke negeri
jiran Malaysia, Korea, Hongkong, Taiwan, Singapura, dan Negara-negara
di Timur Tengah.
Bekerja di luar negeri kini menjadi pilihan banyak orang, termasuk
warga Indonesia. Mayoritas tenaga kerja di Indonesia baru mampu
mengisi segmen pasar tenaga kerja rendah dan mayoritas di sektor
informal, seperti asisten rumah tangga (ART), buruh bangunan dan buruh
perkebunan (Sutaat dkk, 2008). Hal ini menjadi daya tarik tersendiri
bagi mereka yang tidak mempunyai ketrampilan khusus meski harus
dilakukan dengan cara illegal. Mereka tidak memikirkan resiko yang akan
dihadapi sampai akhirnya mereka menjadi pekerja migran bermasalah
dan yang menjadi pekerjaan tambahan pemerintah untuk memulangkan
mereka.
Bagaimanapun pekerja migran atau yang biasa disebut dengan
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau buruh migran ini banyak memberi
keuntungan yang cukup besar bagi Negara, diantaranya dengan
mengirimkan sebagian dari penghasilannya ke tanah air. Remitan yang

Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah
Perlindungan Trauma Center

1

dilakukan oleh pekerja migran merupakan sumber devisa kedua terbesar
bagi Indonesia setelah devisa dari sektor migas. Kondisi ini membuat
tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin tinggi. Namun dibalik
itu semua, mereka menjadi tanggungan Negara terutama pada pekerja
migran bermasalah. Mereka tidak hanya merepotkan Negara dengan
berbagai masalah khas pekerja migran seperti dipulangkan secara paksa
dari Negara tempat mereka bekerja, dokumen yang tidak lengkap,
overstay, dan masalah-masalah lainnya.
Bagi pekerja migran domestik hingga kini permasalahannya ratarata didominasi sebagai korban penipuan dari pihak-pihak yang tidak
bertanggungjawab, seperti gaji dibawah upah minimum, korban
traficking, penyiksaan dari majikan dan lain-lain. Permasalahan
pekerja migran ke luar negeri, ditemukan berasal dari pemalsuan
dokumen akibat penipuan calo, penganiayaan oleh majikan, overstay,
bekerja tanpa dilengkapi dokumen, gaji tidak dibayarkan, pembatasan
komunikasi denga keluarga dan hak-hak lainnya tidak sesuai kontrak
kerja, menjadi korban pelecehan seksual, terlibat kasus kriminal. Saat
pekerja migran pulang muncul masalah lain diantaranya pengangguran,
disharmoni keluarga, pulang dalam keadaan sakit, dijerat hutang, dan
lain-lain (Sutaat dkk, 2007). Sebelum proses pemulangan ke Indonesia
tidak sedikit mereka telah melalui proses pengadilan bahkan sampai
masuk penjara, namun kondisi tersebut tidak menyurutkan mereka untuk
kembali lagi bekerja di luar negeri.
Para pekerja migran bermasalah (PMB) membutuhkan penanganan
dan perlindungan dari negaranya. Mengacu kepada konsep residu,
dalam arti mereka yang rentan perlu mendapatkan perlindungan sosial,
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang no. 11 tahun 2009
tentang kesejahteraan sosial pasal 14 ayat 1 menyatakan bahwa
perlindungan sosial diberikan untuk mencegah dan menangani resiko
dari guncangan dan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok
dan atau masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi
sesuai dengan kebutuhan dasar minimal. Selain itu Undang-Undang
No.39/2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja

2

Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah
Perlindungan Trauma Center

Indonesia di Luar Negeri juga menyatakan bahwa Negara melindungi
hak asasi warga negaranya yang bekerja baik di dalam maupun di luar
negeri berdasarkan prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial,
kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, dan anti perdagangan
manusia
Kementerian Sosial melalui Direktorat Jenderal Perlindungan dan
Jaminan Sosial, telah menyediakan Rumah Perlindungan dan Trauma
Center (RPTC). Fungsi RPTC sebagai penampungan sementara bagi
pekerja migran bermasalah dan korban tindak kekerasan sebelum
mereka di kembalikan ke daerah asalnya. Di RPTC mereka mendapatkan
pelayanan rehabilitasi psikososial, terutama bagi pekerja migran yang
menjadi korban kekerasan maupun mereka ynang menunggu saat
pemulangan kedaerah asal. Kenyataan menunjukkan bahwa diantara
PMB ini, ternyata masih ada yang berminat untuk kembali menjadi pekerja
migran, mereka belum siap untuk kembali ke kampung halamannya.
Alasannya karena tidak mempunyai pekerjaan, harus membayar hutang
kepada calo yang mengurus keberangkatannya ke luar negeri, disharmoni
keluarga, malu pada masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya karena
mengetahui mereka gagal menjadi TKI dan lain sebagainya. Tidak sedikit
juga ada pekerja migran yang masih mengalami trauma akibat kejadian
yang mereka alami selama menjadi pekerja migran.
Berdasarkan uraian diatas, maka asumsi sementara menunjukkan
bahwa isu pekerja migran bukanlah sesuatu yang baru tetapi masih aktual
untuk dibahas karena masih banyak sisi negatif yang berupa perlakuan
yang tidak manusiawi terhadap pekerja migran. Jumlah pekerja migran
bermasalah pada setiap tahunnya dan yang harus dipulangkan ke tempat
asalnya semakin bertambah setiap tahunnya. Hal ini bisa dilihat dari
data yang dikeluarkan oleh Direktorat Perlindungan Sosial Korban Tindak
Kekerasan dan Pekerja Migran (KTKPM), dimana pada tahun 2013
pekerja migran yang dipulangkan sebesar 18.710 orang, tahun 2014
sebesar 20.614 orang, dan tahun 2015 diprediksi sebesar 20.000 s.d.
24.000 orang. Jumlah yang semakin meningkat ini tentunya menjadi
beban pemerintah. Masalah anggaran dan sumber daya manusia untuk

Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah
Perlindungan Trauma Center

3

menguruskan kepulangan PMB menjadi hambatan yang cukup besar
bagi pemerintah khususnya bagi Kementerian Sosial. Sedangkan bagi
pekerja migran itu sendiri membawa masalah sosial, psikologis dan
ekonomi yang dibawa ke kampung halamannya.
RPTC sebagai salah satu lembaga yang menangani pekerja migran
saat mereka baru dipulangkan perlu bekerja keras dalam memberikan
pelayanan, karena tidak menutup kemungkinan masih banyak masalah
sosial psikologis yang mereka alami belum tuntas tertangani. Dari sisi
sosial ekonomi, mereka mengalami kesulitan untuk pulang ke daerah
asalnya. Anggapan pulang bekerja dari luar negeri selalu berhasil dan
membawa uang banyak telah melekat dalam diri mereka. Padahal
kenyataannya mereka mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya sehari-hari. Hal ini menyebabkan mereka sulit untuk kembali
hidup biasa di daerah asalnya. Mereka malu dan mengalami kesulitan
berinteraksi dalam lingkungannya. PMB yang dipulangkan melalui RPTC
semakin meningkat dengan permasalahan yang hamper sama sebagai
pekerja migran yang “gagal” menjadi TKI, dan dalam pola yang sama
mulai dari proses keberangkatan ke negara tujuan, telah menimbulkan
permasalahan yang perlu ditelusuri lebih lanjut.
Berdasarkan uraian diatas, maka pertanyaan dalam penelitian ini
adalah (1) bagaimana implementasi kebijakan dan program perlindungan
sosial bagi. (2) bagaimana peran dan fungsi RPTC dalam melakukan
perlindungan sosial bagi PMB (3) bagaimana peran dan fungsi RPTC
dalam proses reintegrasi PMB didaerah asal. (4) bagaimana kondisi
kerentanan yang dialami PMB selama proses migrasi (transit, destinasi,
daerah asal). (5) apakah faktor pendorong internal dan eksternal yang
menyebabkan PMB ingin kembali bekerja diluar negeri.
Penelitian tentang perlindungan sosial bagi Pekerja Migran
Bermasalah (PMB) melalui Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC)
bertujuan:
1. Mengetahui implementasi kebijakan dan program perlindungan sosial
bagi PMB

4

Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah
Perlindungan Trauma Center

2. Mengetahui peran dan fungsi RPTC dalam melakukan perlindungan
sosial bagi PMB.
3. Mengetahui peran dan fungsi RPTC dalam proses re-integrasi PMB di
daerah asal
4. Mengetahui kondisi kerentanan yang dialami PMB selama proses
migrasi (transit, destinasi, daerah asal)
5. Mengetahui faktor pendorong internal dan eksternal
menyebabkan PMB ingin kembali bekerja diluar negeri.

yang

Sedangkan Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut
1. Tersusunnya rekomendasi dalam membuat kebijakan tentang upaya
yang dapat dilakukan oleh pemerintah khususnya Kementerian Sosial
RI dalam upaya perlindungan sosial bagi pekerja migran bermasalah.
2. Tersusunnya laporan penelitian yang berisi tujuan penelitian ini.
3. Sebagai bahan rujukan atau literatur dalam memperkaya ilmu
pengetahuan dalam ilmu-ilmu sosial
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, karena
ditujukan untuk menyampaikan gambaran dari sebuah situasi atau
setting sosial tertentu, mendeskripsikan apa-apa yang saat ini berlaku.
Di dalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis dan
menginterpretasikan kondisi yang sekarang ini terjadi atau ada. Dengan
kata lain penelitian deskriptif kualitatif ini bertujuan untuk memperoleh
informasi mengenai keadaan yang ada. (Mardalis,1999).
Lokasi penelitian ditentukan di 4 (empat) lokasi yaitu Tanjung
Pinang(Kepri), DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat.
Lokasi dipilih dengan pertimbangan sebagai berikut;
a. Tanjung Pinang (Kepri) dan DKI Jakarta dipilih karena terdapat
Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC), yaitu DKI Jakarta dan
Tanjung Pinang.
b. Jawa Timur (kabupaten Sumenep, Pamekasan, Sampang) dan
NTB dipilih karena merupakan propinsi yang menerima kepulangan
warganya sebagai pekerja migrant bermasalah dengan jumlah cukup
besar di tahun 2014.

Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah
Perlindungan Trauma Center

5

Teknik pengumpulan data melalui: (1) Wawancara dengan pihak
direktorat KTKPM Kementerian Sosial, Dinas Sosial Propinsi, Pengelola
RPTC, PMB dalam RPTC, dan eks PMB di masyarakat, LSM. Wawancara
ini bertujuan untuk menggali dan mendapatkan informasi tentang semua
aspek yang berkaitan dengan tujuan penelitian dengan menggunakan
pedoman wawancara (interview guide). (2) Diskusi kelompok terfokus
(FGD) yang dilakukan dengn Dinas Sosial dan Dinas Tenaga Kerja Propinsi,
Satuan Gugus Tugas Penanganan PMB, Balai Pelayanan Penempatan
dan Perlindungan TKI (BP3TKI), pengelola RPTC dan instansi terkait
lainnya. (3). Pengamatan terhadap kondisi PMB baik di RPTC maupun di
masyarakat. (4). Studi kepustakaan / dokumentasi untuk mendapatkan
data-data dari tulisan, laporan dan sumber-sumber tertulis lainnya yang
relevan dengan tujuan penelitian. Data dan informasi yang diperoleh
dari lapangan dianalis secara kualitatif deskriptif meliputi reduksi data,
pengelompokan data sesuai tujuan penelitian dan lokasi, penyajian,
pembahasan dan menyimpulkan.
Penelitian ini dilaksanakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial RI dengan organisasi penelitian
sebagai berikut:
Pembimbing : Direktur KTKPM Kementerian Sosial
DR.IR.Lala M Kolopaking,MS.
Ketua Tim

: Dra. Husmiati,M.Soc.Sc.,PhD.

Anggota

: 1. Drs. Nurdin Widodo,MSi
2. Dra. Alit Kurniasari,MP
3. Ivo Noviana, S.Sos.,MSi.
4. M Belanawane Sulubere, S.Sos.

6

Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah
Perlindungan Trauma Center

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Migrasi
Konsep tentang migrasi dapat ditinjau dari berbagai disiplin ilmu,
yang menyebabkan hakekat, penyebab dan kosekuensi dari migrasi
cukup bervariasi. Massey et.al (1993) berpendapat bahwa pemahaman
tentang migrasi perlu dilihat secara komprehensif yang menggabungkan
atas berbagai perspektif, tingkat dan asumsi. Penyebab dan konsekuensi
dari migrasi tidak dapat digeneralisir karena keragaman dan
kompleksitas fenomena migrasi itu sendiri, sehingga membahas migrasi
tidak dapat dipisahkan dari proses sosial, ekonomi dan politik, serta
menggabungkannya dengan teori migrasi secara makro, mikro sehingga
tidak ada teori migrasi yang umum. Namun demikian teori migrasi dapat
diklasiikasikan berdasarkan tingkat analisisnya, yang membagi kedalam
tingkat mikro, meso, makro. Untuk tingkat mikro, fokus analisis pada
individu, untuk tingkat makro fokus pada tren migrasi, sementara tingkat
messo memfokuskan antara tingkat individu dan tren yakni pada tingkat
rumah tangga atau komunitas. Berdasarkan fokus analisa tersebut, dapat
menjelaskan tentang penyebab dan pelestari atau yang mempertahankan
terjadinya migrasi.
Tabel berikut menggambarkan teori migrasi berdasarkan tingkat
analisis.

Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah
Perlindungan Trauma Center

7

Tabel 1. Teori Migrasi
Analisis

Logika

Level MAKRO
(Struktural)

Level MESO
(Relasional)

Level MIKRO
(Individual)

Struktur Peluang
(struktur politikekonomi-budaya)

Jaringan Kolektif
& sosial (Relasi
Sosial)

Nilai ekspektasi &
sumberdaya. (tingkat
kebebasan)

Ekonomi:

Reasi sosial:

Nilai Individual:

- Perbedaan
- Relasi kuat pada
pendapatan dan
keluarga maupun
pengangguran;
rumah tangga.
- Akses pada modal. - Relasi lemah;
antara jaringan
Politik:
yang berpotensi
Regulasi nasional
sebagai migran,
dan internasional
perantara dan
tentang kebebasan
tidak bermigrasi.
mobilitas/migrasi.
- Relasi simbolik:
organisasi etnis
Budaya:
dan agama.

- Meningkatkan dan
mengamankan
status kekayaan,
kelangsungan
hidup, kenyamanan,
stimulasi, otonomi,
ailiaasi dan
moralitas.

Sumberdaya
Individual:

- Modal inansial
- Modal manusia;
Norma dan wacana
penghargaan
dominan
pendidikan,
- Modal sosial:
keterampilan
Sumberdaya yang
Demograi dan
profesional.
tersedia bagi
ekologi:
- Modal Budaya;
migran dan yang
- Pertumbuhan
tidak migran untuk pandangan /
penduduk,
wawasan, simbol
berpartisipasi
- ketersediaan lahan pada relasi yang
ingatan, ramalan
produktif
kolektif
kuat, lemah dan
- Penguasaan
simbolis
- Modal politik:
teknologi
suara/aspirasi
Sumber: Drbohlav (2011), Hagen-Zanker (2008), dikutip dengan penyesuaian.

Analisis pada level makro, menjelaskan bahwa migrasi sebagai
bagian dari proses pembangunan ekonomi. Migrasi internal sebagai
akibat dari perbedaan geograis dalam penawaran dan permintaan
tenaga kerja, terutama pada sektor pertanian pedesaan tradisional dan
sektor manufaktur modern di perkotaan. Teori tersebut tumbuh dari teori
dagang, (demand - suply) yang berasumsi bahwa pasar yang sempurna

8

Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah
Perlindungan Trauma Center

(modern) dan tenaga yang surplus di sektor pertanian, akan diserap oleh
sektor modern. Pekerja dari pedesaan akan tertarik dengan upah yang
tinggi, akhirnya bermigrasi ke perkotaan, sehingga terjadi pemerataan
upah. Todaro, 1969 dan Haris &Todaro, 1970 mengemukakan bahwa
migrasi dari desa ke kota akan semakin meningkat jika upah atau tingkat
pekerjaan di kota semakin meningkat (Ceteris paribus). Penganut teori
tersebut berpendapat bahwa migrasi secara rational (logika) dapat
terjadi, meski tingkat pengangguran di kota cukup tinggi, karena adanya
harapan akan upah yang tinggi.
Teori dual market labour, (Priore, 1979) berpendapat bahwa migrasi
sebagai hasil dari permintaan tenaga kerja yang kuat dari negara-negara
maju. Pendekatan teori ini mencerminkan adanya dualisme pada pasar
tenaga kerja di negara maju dan upah yang mencerminkan status dan
prestise. Di negara maju terdapat pekerjaan di sektor primer dengan
upah tinggi, dan sektor sekunder untuk pekerjaan kasar. Permintaan
tenaga kerja migran, karena terjadi inlasi struktural pada upah sektor
primer secara konstan konsekuensinya terjadi upah rendah pada sektor
sekunder. Akibatnya pekerjaan di sektor sekunder tidak menarik bagi
pekerja pribumi. Lapangan pekerjaan pada sektor sekunder berluktuasi
sesuai dengan siklus ekonomi, membuat pekerjaan tersebut tidak stabil
dan tidak pasti sehingga tidak menarik bagi pribumi. Pekerja migran
termotivasi untuk bekerja di sektor sekunder karena mereka tidak
menganggap dirinya sebagai bagian dari masyarakat negara tujuan.
Analisis pada level mikro, (Crawford, 1973) dengan model
behavioral, menjelaskan bahwa keputusan untuk bermigrasi tidak hanya
atas pertimbangan ekonomi. Kekuatan potensial untuk bermigrasi karena
adanya harapan atas kekayaan dan nilai keamanan atau eksistensi diri
yang tidak bermakna ekonomi. Oleh karenanya menjadi migran sangat
tergantung pada niat migrasi, pengaruh-pengaruh tidak langsung dari
faktor individu dan masyarakat.
Teori system sosial (Hoffman-Novotny, 1989) menjelaskan bahwa
pekerja migran berharap untuk mencapai status yang diinginkan di
negara tujuan, alih-alih mereka tidak akan mencapai status tersebut.
Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah
Perlindungan Trauma Center

9

Seorang migran yang berasal dari negara dengan peringkat kesejahteraan
lebih rendah dari negara tujuan akan sulit mencapai status yang tinggi,
karena terjadi “undercasting” migran, artinya migran mengambil posisi
terendah dalam masyarakat, sementara pribumi dengan strata rendah
justru mengalami mobilitas keatas, setidaknya dalam pendapatan. Teori
ini menempatkan faktor penyebab bermigrasi dari faktor dorongan sosial
dengan mempertimbangkan apa yang terjadi pada pekerja migran di
negara tujuan.

Pekerjan Migran
Menurut pasal 1 angka 2 UU No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu
melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa untuk
memenuhi kebutuhannya sendiri maupun kebutuhan masyarakat.
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 2 UU No.39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri,
Tenaga Kerja Indonesia adalah setiap warga negara Indonesia yang
memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja
untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Penekanan
terhadap TKI adalah warga negara yang mampu dan memenuhi syarat.
Dalam perkembangannya, muncul istilah pekerja Indonesia di luar
negeri dan buruh migran. Pasal 1 angka 3 UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan menyamakan pengertian buruh dan pekerja
sebagai setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan
dalam bentuk lain. Penekanan pekerja/ buruh adalah setiap orang yang
bekerja, baik yang memenuhi syarat atau tidak termasuk didalamnya
pekerja anak, ilegal dan lain sebagainya. Sedangkan migran sendiri
berasal dari kata migrasi yang berarti tindakan berpindah ke tempat lain
baik di dalam suatu negara maupun ke negara lainnya. Migrasi tenaga
kerja adalah tindakan berpindah ke negara lain untuk tujuan bekerja.
Seperti Pekerja migran merupakan sebutan bagi masyarakat yang
bekerja di luar negara asalnya. Negara yang masuk dalam kategori
dunia ketiga seperti Indonesia, memang belum memiliki kemampuan

10

Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah
Perlindungan Trauma Center

yang cukup kuat untuk memberikan jaminan kehidupan yang layak
dengan menyediakan lapangan pekerjaan yang mencukupi. Biasanya
kita memberi sebutan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau untuk yang
lebih spesiik Tenaga Kerja Wanita (TKW) karena memang lapangan
kerja bagi kaum perempuan lebih besar peluangnya untuk direkrut di
sektor informal khususnya pekerja rumah tangga. Keberadaan mereka
sering menjadi bahan pemberitaan media massa terkait perlakuan buruk
yang mereka terima di luar negeri. Meski tidak semua buruh migran
mengalami hal yang sama, namun tidak dipungkiri, sebagian besar
masih berada dalam situasi rentan karena rendahnya perlindungan dan
jaminan keamanan di negeri tujuan.

Berbicara mengenai migran, terdapat beberapa deinisi mengenai
pekerja migran dari berbagai sumber. Menurut Organisasi Perburuhan
Internasional (International Labour Organisation/ILO) migrasi
perburuhan adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
pergerakan/migrasi yang dilakukan orang dari sebuah tempat ke
tempat lain, dengan tujuan bekerja atau menemukan pekerjaan. Ketika
bermigrasi, mereka diklasiikasikan sebagai pekerja migran. Migrasi
perburuhan mencakup berbagai jenis pekerja migran, mulai dari
pekerja kontrak yang kurang terampil hingga semi dan sangat terampil.
Dalam konteks migrasi perburuhan, negara-negara tempat para migran
berasal disebut sebagai negara pengirim dan negara yang dituju disebut
sebagai negara tujuan atau negara tuan rumah. Organisasi Perburuhan
Internasional (International Labour Organisation/ILO) mendeinisikan
seorang pekerja migran sebagai seseorang yang bermigrasi, atau telah
bermigrasi dari satu negara ke negara lain, dengan sebuah gambaran
bahwa orang tersebut akan dipekerjakan oleh seseorang yang bukan
dirinya sendiri, termasuk siapapun yang biasanya diakui sebagai
seorang migran, untuk bekerja
Pengertian menurut Kementerian Sosial, pekerja migran yaitu
seseorang yang mencari pekerjaan di luar daerah asalnya, baik masih
di dalam negeri atau domestik maupun ke luar negeri atau lintas negara
atau seseorang yang berpindah ke daerah lain baik di dalam maupun

Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah
Perlindungan Trauma Center

11

ke luar negeri untuk bekerja dalam jangka waktu tertentu. Deinisi ini
mengandung makna sangat luas dan umum, yaitu meliputi semua orang
baik laki-laki maupun perempuan, yang berpindah lintas batas negara
(ke luar negeri) mapupun di dalam negeri, serta tidak membedakan
sektor pekerjaan formal maupun informal, domestik atau publik serta
status hukum legal atau illegal.
Sedangkan dalam Memorandum of Understanding (MoU) antara
Pemerintah Indonesia dan Malaysia tahun 2006 (dalam Sutaat, 2011)
digunakan istilah domestic worker untuk menunjuk pada warga Negara
Indonesia yang pindah sementara ke Malaysia untuk dikontrak dan
bekerja sebagai asisten rumah tangga. Dalam MoU tersebut, domestic
worker yang dimaksud adalah: “a citizen of Republic of Indonesia who
is contracting or contracted for a special periode of time for speciic
individual as a domestic servant as deined in the employment act 1955,
the labour Ordinance Sabah (chapter 67) and the Labour Ordinance
Sarawak (Chapter 76). Deinisi ini lebih spesiik menunjuk kepada warga
Negara Indonesia yang dikontrak untuk periode waktu tertentu sebagai
asisten rumah tangga, sehingga tidak mencakup mereka yang bekerja
tanpa kontrak.

Dari berbagai deinisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan pekerja migran adalah seseorang (baik laki-laki
maupun perempuan) yang pergi ke negara lain untuk bekerja dalam
jangka waktu tertentu. Negara-negara tujuan pekerja migran Indonesia
umumnya adalah negara-negara di Asia Tenggara, Asia Timur dan Timur
Tengah, di mana Malaysia dan Arab Saudi merupakan dua negara tujuan
utama (ILO, 2012). Menurut Tobing (2003), arus migrasi pekerja ini
diperkirakan akan terus meningkat setiap tahunnya sejalan dengan
melonggarnya hambatan-hambatan resmi migrasi di negara-negara
yang tergabung dalam World Trade Organization (WTO). Melonjaknya
arus migrasi ini pada hakekatnya merupakan resultante dari perbedaan
tingkat kemakmuran antara negara maju dan negara berkembang.

12

Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah
Perlindungan Trauma Center

Pekerja Migran Bermasalah
Perubahan sosial yang sangat cepat dalam era globalisasi selain
membawa dampak positif juga membawa dampak negatif. Dampak
negatif yang muncul diantaranya muculnya penyandang masalah
kesejahteraan sosial baru seperti pekerja migran baik domestik maupun
lintas Negara. Munculnya permasalahan pekerja migran internal telah
berdampak dengan meningkatnya jumlah pendatang ke kota-kota besar
dengan tujuan yang kurang jelas telah menimbulkan masalah sosial seperti
menjamurnya perumahan liar dan kumuh, meningkatnya kriminalitas,
pelacuran, penggelandangan dan lain-lain. Sementara masalah pekerja
migran lintas Negara berupa terjadinya deportasi tenaga kerja Indonesia
(TKI), ketelantaran di luar negeri, berbagai tindak kekerasan, eksploitasi,
telah menimbulkan persoalan nasional, bilateral dan internasional yang
rumit. Masalah-masalah tersebut timbul tidak diperkirakan sebelumnya
oleh siapapun, baik oleh lembaga bahkan Negara yang sudah terorganisir
atau tidak terorganisir akan mengakibatkan korban mengalami gangguan
isik, psikologis dan sosial sebagai dampak dari pengalaman traumatis
yang dialami.
Banyak penelitian telah membuktikan bahwa pekerja migran
mengalami kadar gangguan psikologis yang lebih tinggi berbanding
penduduk asli sebuah negara (Patel, 1992; dalam Husmiati, 2013).
Prevalensi gangguan mental di kalangan kelompok pekerja migran di
United Kingdom telah menjadi perhatian dalam kepustakaan penelitian
sejak tiga puluh tahun yang lalu. Penelitian ini umumnya menggunakan
angka masuk rumah sakit sebagai sumber data utama mereka. Wanita
Asia diketahui mempunyai resiko lebih tinggi mengalami gangguan
psikologis berbanding lelaki (Community Relations Commission, 1976c;
dipetik oleh Patel, 1992). Selain itu Cochrane (1981) dan Dean et al.
(1981) mendapati tingginya angka masuk dan dirawat di rumah sakit
pada kelompok pekerja migran.
Bila dibandingkan beberapa temuan penelitian diatas masih
menunjukkan keputusan tidak konsisten antara satu penelitian dengan
penelitian lain. Nazroo (1998) mengatakan bahwa rendahnya prevalensi

Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah
Perlindungan Trauma Center

13

yang dilaporkan dalam beberapa penelitian mungkin disebabkan
ketidaktepatan model asesmen Barat mengenai sakit mental ketika
diterapkan ke dalam budaya kelompok ini. Sedangkan dalam penelitian
yang dilakukan oleh Lloyd (1986) melaporkan negara berkembang
mempunyai angka somatik yang tinggi, hal ini ditunjukkan dengan
adanya simptom-simptom psikologis sebagai releksi dari pendekatan
budaya untuk memahami penyakit.
Di Malaysia, penelitian di kalangan wanita pekerja migran
menunjukkan wanita pekerja migran ilegal mengalami masalah
kesehatan mental yang tinggi berbanding wanita pekerja migran legal.
Wanita pekerja migran ilegal memperlihatkan tingkat stress, anxiety dan
depression yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan wanita pekerja
migran legal. Dari segi strategi daya tindak (coping strategy) juga wanita
pekerja migran yang ilegal tidak baik berbanding wanita pekerja migran
yang legal (Fahrudin & Baco, 2001; 2002; 2004). Pekerja migran
yang legal juga mengalami masalah berkaitan dengan kehilangan dan
kesedihan (loss and grief) karena terpaksa meninggalkan anggota
keluarga mereka, tidak adanya dukungan sosial, kedudukan sosial, nilai
dan norma, kebudayaan dan lingkungan mereka (Husmiati, 2013).
Para pekerja migran juga mengalami kesulitan untuk menyesuaikan
diri dengan keadaan yang baru. Mereka menghadapi kesulitan dalam
percobaan untuk mengatasi masalah bahasa dan kebudayaan semasa
proses acculturation. Faktor-faktor ini saling berkait dan menghasilkan
berbagai gangguan dan masalah sosial. Faktor budaya pekerja migran
dengan budaya negara baru yang mereka datangi sangat jelas berbeda.
Akibatnya pekerja migran tersebut akan mengalami stres yang serius
serta beban mental yang berat (Rogler, Dharma & Malgady, 1991; dalam
Husmiati 2013).
Gangguan penyesuaian terjadi karena penderitaan dan gangguan
emosi yang meningkat dalam tempo penyesuaian pada perubahan
kehidupan yang baru sebagai pekerja migran di negara baru atau akibat
daripada peristiwa kehidupan di negara asal yang banyak tekanan.

14

Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah
Perlindungan Trauma Center

Selain itu, gangguan psikologis dan gangguan tingkah laku yang serius
juga ditemui di kalangan anak-anak pekerja migran terutama pada waraffected children (anak-anak korban peperangan). Anak-anak yang
mengalami pengalaman perpisahan dan kehilangan anggota keluarga
akan menyebabkan terjadinya trauma dan begitu pula pada orangorang yang kehilangan tempat berteduh, kelaparan, penganiayaan dan
menjadi korban tindak kekerasan. Peristiwa seperti ini akan memberi
pengaruh kepada anak-anak dimana mereka tidak yakin atau timbul
ketidak percayaan antara satu sama lain atau diri sendiri dan menaruh
kecurigaan terhadap orang dewasa.
Berbagai kajian di atas telah membuktikan bahwa kaum pekerja
migran mempunyai status kesehatan mental yang lebih rendah
dibandingkan dengan penduduk asli negara yang dituju. (Chae Chung
Um & Dancy, 1999; dalam Husmiati, 2013),

Kebijakan Pemerintah bagi Pekerja Migran
Perhatian Negara terhadap warganya yang menjadi pekerja migran
diatur dalam beberapa regulasi, antara lain:
1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 27 ayat (2) yang
menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
2. Undang-undang RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Azazi
Manusia, Pasal 30 yang menyatakan bahwa Setiap orang berhak
atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
3. Undang-Undang No.39/2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang menyatakan bahwa
negara wajib menjamin dan melindungi hak asasi warga negaranya
yang bekerja baik di dalam maupun di luar negeri berdasarkan
prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan
keadilan gender, anti diskriminasi, dan anti perdagangan manusia;
selain itu dinyatakan juga bahwa Perlindungan TKI adalah
segala upaya untuk melindungi kepentingan calon TKI/TKI dalam
mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya sesuai dengan

Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah
Perlindungan Trauma Center

15

peraturan perundang-undangan, baik sebelum, selama, maupun
sesudah bekerja
4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial,
Pasal 14 ayat (1) Pasal 14 (1) Perlindungan sosial dimaksudkan untuk
mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan
sosial seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat agar
kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan
dasar minimal. Perlindungan sosial korban tindak kekerasan dan
pekerja migran merupakan salah satu pilar pelayanan kesejahteraan
sosial. Penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi rehabilitasi
sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial.
5. Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2013 tentang Koordinasi
Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia, Pasal 17 ayat (1) yang
menyatakan bahwa dalam hal TKI yang akan dipulangkan mempunyai
keluarga, maka pemulangan tersebut termasuk keluarganya sampai
ke daerah asal. Dan ayat (2) Keluarga sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), meliputi isteri/suami dan anaknya.
6. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor: 86/HUK/2010 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kementerian Sosial RI, Pasal 281 menyebutkan bahwa
Subdirektorat Perlindungan Sosial Pekerja Migran mempunyai tugas
melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan,
penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian
bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perlindungan sosial pekerja
migran.
7. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
2013 tentang Pemulangan Pekerja Migran Bermasalah dan Tenaga
Kerja Indonesia Bermasalah ke Daerah Asal, Pasal 1 ayat (7) yang
menyatakan bahwa Perlindungan Sosial bagi PMB dan TKIB adalah
semua upaya yang diarahkan untuk mencegah dan menangani risiko
dari keguncangan dan kerentanan sosial yang meliputi bantuan
sosial, advokasi sosial, dan bantuan hukum dalam pemulangan ke
daerah asal. Permenos ini dibuat sebagai norma, standar, prosedur,
dan kriteria yang mengatur mengenai pemulangan PMB dan TKIB
serta keluarganya yang menjadi acuan bagi Pemerintah, pemerintah
provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.

16

Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah
Perlindungan Trauma Center

Perlindungan Sosial

Hingga saat ini terdapat berbagai macam deinisi perlindungan
sosial. Keragaman ini dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, dan
politik suatu negara. Berikut adalah beberapa dari sekian banyak deinisi
yang digunakan oleh berbagai institusi dan negara. Asian Development
Bank (ADB) menjelaskan bahwa perlindungan sosial pada dasarnya
merupakan sekumpulan kebijakan dan program yang dirancang untuk
menurunkan kemiskinan dan kerentanan melalui upaya peningkatan dan
perbaikan kapasitas penduduk dalam melindungi diri mereka dari bencana
dan kehilangan pendapatan. Dalam hal ini perlindungan sosial tidak
berarti merupakan keseluruhan dari kegiatan pembangunan di bidang
sosial, dan tidak termasuk upaya penurunan resiko (risk reduction). ADB
membagi perlindungan sosial ke dalam 5 (lima) elemen, yaitu: (i) pasar
tenaga kerja (labor markets); (ii) asuransi sosial (social insurance); (iii)
bantuan sosial (social assitance); (iv) skema mikro dan area-based untuk
perlindungan bagi komunitas setempat; dan (v) perlindungan anak (child
protection).
Namun, menurut Bank Dunia dalam “World Bank Social Protection
Strategy”, konsep yang digunakan oleh ADB dalam membagi perlindungan
sosial tersebut masih tradisional. Bank Dunia mendeinisikan
perlindungan sosial sebagai: (i) jejaring pengaman dan ‘spring board’;
(ii) investasi pada sumberdaya manusia; (iii) upaya menanggulangi
pemisahan sosial; (iv) berfokus pada penyebab, bukan pada gejala; dan
(v) mempertimbangkan keadaan yang sebenarnya.
Interpretasi yang agak berbeda diberikan oleh Hans Gsager dari
German Development Institute. Gsager berpendapat bahwa sistem
perlindungan sosial dimaksudkan untuk mendukung penanggulangan
situasi darurat ataupun kemungkinan terjadinya keadaan darurat. Dia
memilah-milah jenis-jenis perlindungan sosial berdasarkan pelaksana
pelayanan, yaitu pemerintah, pemerintah bersama-sama dengan lembaga
non pemerintah, lembaga non-pemerintah, dan kelompok masyarakat.

Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah
Perlindungan Trauma Center

17

Menurut Barrientos dan Shepherd (2003), perlindungan sosial secara
tradisional dikenal sebagai konsep yang lebih luas dari jaminan sosial,
lebih luas dari asuransi sosial, dan lebih luas dari jejaring pengaman
sosial. Saat ini perlindungan sosial dideinisikan sebagai kumpulan
upaya publik yang dilakukan dalam menghadapi dan menanggulangi
kerentanan, resiko dan kemiskinan yang sudah melebihi batas (Conway,
de Haan et al.; 2000).
Deutsche Stiftung für Internationale Entwicklung (DSE) melalui
discussion report mengambil deinisi perlindungan sosial yang
digunakan oleh PBB dalam “United Nations General Assembly on Social
Protection”, yaitu sebagai kumpulan kebijakan dan program pemerintah
dan swasta yang dibuat dalam rangka menghadapi berbagai hal yang
menyebabkan hilangnya ataupun berkurangnya secara substansial
pendapatan/gaji yang diterima; memberikan bantuan bagi keluarga (dan
anak) serta memberikan layanan kesehatan dan permukiman. Secara
lebih detail dijelaskan bahwa perlindungan sosial memberikan akses
pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar dan hak-hak dasar manusia,
termasuk akses pada pendapatan, kehidupan, pekerjaan, kesehatan
dan pendidikan, gizi dan tempat tinggal. Selain itu, perlindungan sosial
juga dimaksudkan sebagai cara untuk menanggulangi kemiskinan dan
kerentanan absolut yang dihadapi oleh penduduk yang sangat miskin.
Dengan demikian, perlindungan sosial menurut PBB dapat dibagi
menjadi dua sub-kategori yaitu bantuan sosial (social assistance) dan
asuransi sosial (social insurance). Bantuan sosial merupakan penyaluran
sumberdaya kepada kelompok yang mengalami kesulitan sumber
daya; sedangkan asuransi sosial adalah bentuk jaminan sosial dengan
pendanaan yang menggunakan prinsip-prinsip asuransi.
Program perlindungan sosial di Direktorat KTKPM dilaksanakan
berdasarkan bahwa Perlindungan sosial adalah Keseluruhan upaya,
program dan kegiatan Yang ditujukan untuk membantu orang lain Baik
yang belum maupun yang terganggu fungsi sosialnya agar mampu
mencegah atau mengelola berbagai resiko sosial yang dihadapi. Adapun
perlindungan sosial yng diberikan kepada: (1) korban tindak kekerasan.

18

Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah
Perlindungan Trauma Center

korban, yaitu mereka yang mendapatkan perlakuan dari perilaku
seseorang yang dengan sengaja maupun tidak sengaja yang ditujukan
untuk mencederai atau merusak orang lain, baik berupa serangan isik,
mental, sosial maupun seksual yang melanggar hak asasi manusia dan
bertentangan dengan nilai dan norma dalam masyarakat yang berlaku
secara un