Pembentukan Perilaku Seksual Pada Pasangan Lesbian dan Gay di Yogyakarta.

(1)

i SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta untuk

Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan

Oleh

AGUNG DIRGA KUSUMA NIM 10413241027

JURUSAN PENDIDIKAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014


(2)

(3)

(4)

(5)

v

diri kepada Allah Azza wajalla, dan mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah sodaqoh. Sesungguhnya

ilmu pengetahuan menempatkan orangnya dalam kedudukan terhormat dan mulia (tinggi). Ilmu pengetahuan adalah

keindahan bagi ahlinya di dunia dan di akhirat.” -HR.

Ar-Rabii’-“Bahagia bukan milik dia yang hebat dalam segalanya, namun dia yang mampu menemukan hal sederhana dalam hidup dan tetap

selalu bersyukur”

-Writer-“Kalau kau tidak berani tersesat, maka kau tidak akan pernah mampu menemukan jalan baru untuk sukses”


(6)

-Writer-vi

Bismillahhirrahmanirrahim... Alhamdulillah

Sebuah persembahan sederhana untuk Ibundaku tercinta Islaini

Ayahku Herman Nurdin Nenekku tersayang Turyani

Serta kubingkiskan untuk Adikku Alfi Syahri Ramadhan Terimakasih untuk Almamaterku Tercinta

Universitas Negeri Yogyakarta Persembahan untuk Tanah Airku

Indonesia

Yogyakarta adalah saksi mata jutaan sarjana yang diwisuda

Apa arti ijazah yang bertumpuk, jika kepedulian & kepekaan tidak ikut dipupuk Apa gunanya sekolah tinggi-tinggi jika hanya perkaya diri sendiri & famili? Bagaimana akan bersikap anti-korupsi, jika sejak muda hanya sibuk dengan urusan sendiri? Tak ada yang tiba-tiba bagi calon negarawan muda bangsa, kecakapan bukan salinan genetika

Inspirasi datang dari hidup yang tahan uji, negarawan muncul dari tempaan yang tiada henti. -Terinspirasi dari Mata


(7)

Najwa-vii

NIM 10413241027 Pendidikan Sosiologi/ FIS

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pembentukan perilaku seksual lesbian dan gay yang berkaitan dengan bagaimana mereka mengidentifikasi peran seksual mereka dan pengaruhnya terhadap hubungan seksual mereka dengan pasangannya. Penelitian ini dilakukan di Yogyakarta, sebuah kota yang dianggap cukup ramah untuk kelompok homoseksual di Indonesia.

Dalam memahami fenomena homoseksual, peneliti menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Sesuai dengan tujuan penelitian ini, peneliti menggunakan teknik purposive sampling untuk memilih informan berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan peneliti yaitu individu yang memiliki orientasi seksual terhadap sesama jenis dan pernah memiliki atau sedang memiliki pasangan sesama jenis. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi dan wawancara. Validitas dan reliabilitas data pada penelitian ini diperkuat dengan triangulasi data. Proses analisis data menggunakan konsep analisis Miles dan Huberman yang melalui empat tahap penyusunan yaitu tahap pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Identitas lesbian dan gay tidak serta-merta muncul dan diterima begitu saja oleh seorang individu. Identitas tersebut muncul melalui tahapan perkembangan identitas homoseksual. Hal ini terkait dengan proses seseorang menjadi lesbian dan gay. Semua informan memiliki tahapan yang berbeda dan tidak semua informan mencapai tahap identity syntesis (Penerimaan Seutuhnya Identitas). Perilaku seksual dibentuk karena proses belajar yang dilakukan oleh seorang lesbian dan gay melalui media elektronik dan teman sejawatnya. Faktor pendorong perilaku seksual pada pasangan lesbian dan gay yaitu, pola asuh orang tua, kelompok sebaya, dan media massa. Sedangkan faktor penghambat perilaku seksual pada pasangan lesbian dan gay yaitu, motivasi pribadi, keyakinan, dan norma yang berlaku di lingkungan tempat tinggal.


(8)

viii

terucap, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pembentukan Perilaku Seksual Pada Pasangan Lesbian dan Gay di Yogyakarta” ini dengan baik.

Skripsi ini dikerjakan demi memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana pendidikan di Jurusan Pendidikan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta. Penulis menyadari bahwa skripsi ini bukanlah tujuan akhir dari belajar, karena belajar adalah sesuatu yang tidak terbatas.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa bantuan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak merupakan pendukung dalam proses penyusunan skripsi ini, sehingga dapat berjalan dengan baik dan lancar. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua, Ibunda tercinta, Ayahanda tersayang, adik dan nenek yang sudah banyak memberikan dukungan dan pengorbanan baik secara moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik. 2. Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd. M.A., selaku Rektor Universitas Negeri

Yogyakarta.

3. Amika Wardana, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi yang sangat menginspirasi telah dengan sabar, tekun, tulus dan ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam memberikan bimbingan, motivasi, arahan, dan saran-saran yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.

4. Grendi Hendrastomo, M.M M.A selaku Ketua Jurusan Pendidikan Sosiologi yang memberikan dorongan dan semangat dalam penyelesaian skripsi ini. 5. V. Indah Sri Pinasti, M.Si selaku penguji utama/ narasumber dalam skripsi

ini, terimakasih atas bimbingan, saran dan arahannya sehingga skripsi ini semakin baik.


(9)

ix menyelesaikan penulisan skripsi ini.

8. Seluruh staf dan karyawan Universitas Negeri Yogyakarta, terimakasih atas bantuan dan informasi yang diberikan kepada penulis.

9. Informan penelitian yang sudah membantu memberikan informasi Deka, Dewi, Fema, Julia, dan Nomy, Adi, Ali, Awan, Badu, Radit, dan Ryan yang seluruh namanya disamarkan.

10. Keluarga besar yang telah memberikan dorongan, semangat dan bantuan demi lancarnya penyusunan skripsi ini.

11. Kepada sahabat terbaik saya, terimakasih atas persahabatan dan kebersamaannya, kalian adalah bagian dari inspirator dalam penyelesaian skripsi ini.

12. Kak Renate Arisugawa yang sudah menjadi teman diskusi terbaik dalam penyelesaian skripsi ini.

13. Rekan-rekan Mahasiswa Pendidikan Sosiologi angkatan 2010 14. Keluarga BEM FIS UNY 2013

15. Keluarga PLU Satu Hati yang sangat menginspirasi 16. Kepada kekasih hati saya, terimakasih untuk semuanya.

17. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebut satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis menyadari masih banyak kekurangan, sehingga penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan bagi semua pihak. Aamiin

Yogyakarta, 29 April 2014 Penulis


(10)

x

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PERNYATAAN... iii

HALAMAN PENGESAHAN... iv

HALAMAN MOTTO... v

HALAMAN PERSEMBAHAN... vi

ABSTRAK... vii

KATA PENGANTAR... viii

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR BAGAN... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Batasan Masalah... 6


(11)

xi

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

A. Kajian Pustaka... 10

1. Seksualitas ... 10

2. Orientasi Seksual ... 12

3. Perilaku Seksual ... 13

4. Identitas Seksual ... 21

5. Homoseksualitas dan Perkembangan Perilaku Seksual “Lesbian dan Gay” ... 23

6. Homoseksualitas dan Pembentukan Perilaku Seksual “Lesbian dan Gay” ... 27

7. Penelitian Relevan ... 32

8. Teori Fenomenologi ... 35

B. Kerangka Pikir ... 38

BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian... 40

B. Lokasi Penelitian... 42

C. Waktu Penelitian ... 42

D. Teknik Pengumpulan Data... 42


(12)

xii

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian... 55

B. Deskripsi Informan... 57

C. Pembahasan... 76

D. Tahapan Pembentukan Identitas Lesbian dan Gay ... 77

E. Pembentukan Perilaku Seksual Lesbian dan Gay ... 87

F. Penampilan Lesbian dan Gay dalam Berperilaku ... 97

G. Bentuk Perilaku Seksual Lesbian dan Gay ... 101

H. Temuan Umum... 115

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 117

B. Saran... 118

DAFTAR PUSTAKA... 119


(13)

xiii

Tabel 1. Gambaran Umum Informan...………... 76 Tabel 2. Jumlah Total Pasangan Informan Lesbian dan Tipe

Hubungannya ... 102 Tabel 3. Jumlah Total Pasangan Informan Gay dan Tipe

Hubungannya ... 106 Tabel 4. Jenis-Jenis Perilaku Seksual... 110


(14)

xiv

Hal

Bagan 1. Kerangka Pikir…...………… ... 39 Bagan 2. Model Analisis Interaksi Miles dan Huberman...………... 53


(15)

xv

Lampiran 1. Pedoman Observasi…...…... 124

Lampiran 2. Pedoman Wawancara... 125

Lampiran 3. Transkip Observasi... 127

Lampiran 4. Keterangan Kode... 130

Lampiran 5. Transkip Wawancara... 132

Lampiran 6. Surat Ijin Penelitian... 151


(16)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pembentukan perilaku seksual lesbian dan gay yang berkaitan dengan bagaimana mereka mengidentifikasi peran seksual mereka dan pengaruhnya terhadap hubungan seksual mereka dengan pasangannya. Penelitian ini dilakukan di Yogyakarta, sebuah kota yang dianggap cukup ramah untuk kelompok homoseksual di Indonesia.

Dalam memahami fenomena homoseksual, peneliti menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Sesuai dengan tujuan penelitian ini, peneliti menggunakan teknik purposive sampling untuk memilih informan berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan peneliti yaitu individu yang memiliki orientasi seksual terhadap sesama jenis dan pernah memiliki atau sedang memiliki pasangan sesama jenis. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi dan wawancara. Validitas dan reliabilitas data pada penelitian ini diperkuat dengan triangulasi data. Proses analisis data menggunakan konsep analisis Miles dan Huberman yang melalui empat tahap penyusunan yaitu tahap pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Identitas lesbian dan gay tidak serta-merta muncul dan diterima begitu saja oleh seorang individu. Identitas tersebut muncul melalui tahapan perkembangan identitas homoseksual. Hal ini terkait dengan proses seseorang menjadi lesbian dan gay. Semua informan memiliki tahapan yang berbeda dan tidak semua informan mencapai tahap identity syntesis (Penerimaan Seutuhnya Identitas). Perilaku seksual dibentuk karena proses belajar yang dilakukan oleh seorang lesbian dan gay melalui media elektronik dan teman sejawatnya. Faktor pendorong perilaku seksual pada pasangan lesbian dan gay yaitu, pola asuh orang tua, kelompok sebaya, dan media massa. Sedangkan faktor penghambat perilaku seksual pada pasangan lesbian dan gay yaitu, motivasi pribadi, keyakinan, dan norma yang berlaku di lingkungan tempat tinggal.


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Homoseksual merupakan suatu realitas sosial yang semakin berkembang dalam kehidupan masyarakat. Keberadaan homoseksual telah muncul seiring dengan sejarah perkembangan peradaban manusia. Stephen dan McMullin (1992) (dikutip dalam Siahaan, 2009: 47) mengungkapkan bahwa proses belajar, perilaku, dan orientasi seksual terus berkembang seiring dengan meluasnya perubahan sosial kontemporer, seperti semakin gencarnya gerakan persamaan hak perempuan dan meluasnya kemungkinan perilaku heteroseksual, banyak orang yang mempertanyakan alasan homoseksualitas terus-menerus dicela. Pencelaan oleh publik terhadap homoseksualitas telah berkurang sejak beberapa dekade terakhir, namun sejujurnya tingkat penolakan yang sangat tinggi terhadap kelompok homoseksualitas dan bentuk perilaku seksual lain tetap ada. Saat ini pasangan homoseksualitas semakin berani tampil di depan umum. Hal ini ditandai dengan banyaknya acara yang diadakan oleh klub-klub malam di kota besar khususnya untuk kelompok gay dan lesbian meskipun acara tersebut tidak menutup kemungkinan dihadiri oleh kelompok heteroseksual. Bukan hanya itu konsep tentang tempat ngeber yang dikemukakan oleh Tom (2005: 147) ikut menandai bagaimana pasangan homoseksual yang semakin berani tampil di tempat umum menjadi sebuah fenomena yang menarik. Tempat ngeber


(18)

cenderung untuk menempati tempat umum seperti taman, alun-alun, jembatan, tepi laut, ataupun terminal bus yang seolah-olah menunjukkan eksistensi kaum homoseksual yang semakin terbuka di depan umum (Boellstorff, 2005: 148). Keinginan mereka untuk diakui pun muncul dengan adanya gerakan-gerakan lesbian dan gay di Indonesia. Dimulai pada tanggal 1 Maret 1982 didirikan Lambda Indonesia (LI), dan pada Agustus 1982 muncul G: gaya hidup ceria, majalah lesbian dan gay pertama di Indonesia yang memperjuangkan emansipasi lesbian dan gay (Oetomo, 2003: 227). Hingga saat ini pergerakan-pergerakan homoseksual semakin berkembang untuk menuntut persaman hak asasi manusia (HAM) terutama di kota-kota besar seperti munculnya komunitas PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia), VESTA, PLU Satu Hati, Q!Munitas di Yogyakarta.

Masyarakat dengan keanekaragamannya memang sulit menerima keberadaan kaum homoseksual, masyarakat seolah tidak ingin tahu alasan seseorang menjadi homoseksual. Masyarakat sepertinya terlanjur menilai kaum homoseksual dari kisah-kisah homoseksual yang pernah dilakukan oleh kaum Nabi Luth zaman terdahulu (Oetomo, 2003: 16).

Homoseksual secara sosiologis adalah seseorang yang sejenis kelaminnya sebagai mitra seksual dan homoseksualitas sendiri merupakan sikap, tindakan atau perilaku pada homoseksual (Soekanto, 1990: 381). Homoseksualitas merupakan sebuah rasa ketertarikan secara perasaan dalam bentuk kasih sayang, hubungan emosional baik secara erotis ataupun tidak, dimana ia bisa muncul secara menonjol, ekspresif maupun secara ekslusif


(19)

yang ditujukan terhadap orang-orang berjenis kelamin sama. Hubungan ini bisa bersifat perasaan semata hingga dalam bentuk fisik. Homoseksualitas merupakan salah satu bentuk orientasi seksual yang berbeda, tidak menyimpang, serta mempunyai kesejajaran yang sama dengan heteroseksual (Kadir, 2007: 66).

Negara Indonesia belum memiliki perundang-undangan yang secara khusus mengatur masalah-masalah homoseksual. Namun terdapat salah satu undang-undang hukum pidana pasal 292 yang secara eksplisit mengatur soal, sikap, tindakan homoseksual yang dikaitkan dengan usia di bawah umur

berbunyi “orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain

sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun” (Soekanto, 1990: 382).

Yogyakarta merupakan salah satu kota yang berkembang pesat dengan masyarakat yang heterogen tidak dapat terlepas dari realitas homoseksual. Sebagai kota pelajar, kota budaya, dan pariwisata, masyarakat Yogyakarta tidak dapat memungkiri munculnya realitas homoseksual. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya lembaga yang mendampingi perkumpulan atau organisasi komunitas gay di Yogyakarta, antara lain PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia), VESTA, PLU Satu Hati, Q!Munitas dan dalam mengekspresikan keberagaman kaum termarginalkan seperti kelompok waria dan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transeksual) pada Juli 2008 didirikanlah Pondok Pesantren Senin-Kamis, selain itu juga sering kali


(20)

diadakan kegiatan rutin bagi kaum homoseksual di Yogyakarta seperti, Queer Film Festival dan IDAHO (International Days Againt Homopobia) serta kegiatan lainnya yang bersifat komunitas (Okdinata, 2009: 4).

Sampai tahun 1999, kehidupan para homoseksual di Yogyakarta masih sangat tertutup dan tabu, akan tetapi saat ini realitas adanya kelompok homoseksual di Yogyakarta makin menjamur. Atmosfer Yogyakarta sangat mendukung meluasnya keberadaan para gay dan lesbian. Hal ini disebabkan karena masyarakat Yogyakarta saat ini banyak didominasi oleh warga pendatang atau mahasiswa yang berasal dari bermacam-macam daerah di Indonesia bahkan dari Negara lain, sehingga dapat dikatakan bahwa Yogyakarta merupakan suatu bentuk Indonesia mini karena di dalamnya terdapat berbagai macam model dan jenis orang dimana mereka berasal dari latar belakang dan adat istiadat serta kebisaan yang berbeda. Banyaknya orang dari berbagai daerah tersebut, maka di Yogyakarta banyak terdapat tempat kos dan klub malam. Kedua tempat tersebut dapat menjadi awal dari perkembangan dan meluasnya realitas homoseksual di Yogyakarta, karena suatu komunitas lesbian dan gay dapat melakukan acara berkumpul bersama bahkan mengadakan arisan di tempat seperti itu (Lestariningrum, 2008: 6).

Dalam hal ini peneliti memiliki fokus penelitian pada perkembangan seksualitas pada homoseksual yang tidak semata-mata menunjukkan bahwa kelompok homoseksual mencontoh relasi yang ada dalam kelompok heteroseksual. Maksudnya pembentukan perilaku seksual kelompok homoseksual, disesuaikan dengan kebutuhan dan hasrat mereka. Kelompok


(21)

gay dan lesbian di Indonesia sering menggunakan kata “suka sama suka” untuk menggambarkan keinginan mereka. Hubungan seksual gay atau lesbian tidak pernah dibahas oleh keluarga mereka. Hubungan seksual tersebut selalu dipilih, seperti “perkawinan berdasarkan cinta” yang telah dianggap suatu hal yang ideal di Indonesia kontemporer (Boellstorff, 2005: 111). Hal ini menegaskan bahwa kelompok homoseksual kemungkinan akan berproses dalam menentukan perilaku atau peran seksnya. Berangkat dari hal itu, timbul pertanyaan besar bagaimana proses pembentukan perilaku keduannya dan apakah ada pengaruh maskulinitas dan feminitas dalam proses pembentukan perilaku atau peran seksual tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa seorang individu harus memiliki peran yang jelas guna melakukan interaksi dengan orang lain. Peneliti memfokuskan diri pada proses pembentukan perilaku atau peran seksual pada kaum lesbian dan gay yang ada di Yogyakarta mengenai bagaimana mereka mengidentifikasi peran dirinya bagi pasangannya dan perilaku seksual yang diartikan sebagai cara seorang homoseksual mengekspresikan hubungan seksualnya.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa permasalahan dalam penelitian yaitu sebagai berikut:

1. Penerimaan masyarakat terhadap kelompok homoseksual yang tidak sama di setiap negara atau latar belakang kebudayaan.


(22)

2. Persepsi masyarakat terhadap kaum homoseksual cenderung bersifat negatif.

3. Belum ada kejelasan regulasi yang mengatur tentang status pasangan homoseksual di Indonesia

4. Banyak terdapat komunitas dan beberapa tempat hiburan tertentu di Yogyakarta yang digunakan sebagai tempat berkumpulnya kelompok homoseksual

5. Pengaruh maskulinitas dan feminitas dalam proses pembentukan perilaku atau peran seksual tersebut.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan beberapa permasalahan yang mampu ditemukan, maka masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini dibatasi pada proses pembentukan perilaku seksual pada pasangan lesbian dan gay bukan pada pasangan heteroseksual.

Penelitian ini akan dilakukan di salah satu tempat perkumpulan homoseksual yang terletak di Yogyakarta dan tempat-tempat yang disepakati antara informan dan peneliti pada saat proses wawancara berlangsung. Dengan objek penelitian yaitu kelompok homoseksual (lesbian dan gay) di Yogyakarta. Kegiatan penelitian dan pengambilan data akan dilaksanakan dalam jangka waktu dua bulan, yaitu bulan Maret hingga April 2014 .


(23)

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan batasan masalah yang telah dipaparkan diatas, maka diperoleh rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana proses pembentukan perilaku seksual pada pasangan lesbian dan gay di Yogyakarta ?

2. Bagaimana perilaku seksual itu dilakukan pada pasangan lesbian dan gay di Yogyakarta ?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan merupakan arah dari suatu kegiatan, maka tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui proses pembentukan perilaku seksual pada pasangan lesbian dan gay di Yogyakarta.

2. Mengetahui perilaku seksual itu dilakukan pada pasangan lesbian dan gay di Yogyakarta.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan membawa manfaat, secara umum dapat diklasifikasikan dalam dua manfaat yaitu :

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan kontribusi terhadap berkembangnya ilmu-ilmu sosial, khususnya ilmu sosiologi, terutama bahasan mengenai realitas homoseksual yang ada dalam kehidupan masyarakat.


(24)

b. Dapat dipakai sebagai acuan atau bahan rujukan bagi penelitian-penelitian sejenis untuk tahap selanjutnya atau dijadikan informasi ilmiah bagi kepentingan ilmu pengetahuan yang diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khusunya pada bidang sosiologi.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Universitas Negeri Yogyakarta

Penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk penelitian-penelitian yang dilakukan selanjutnya. Hasil penelitian ini juga untuk menambah koleksi perpustakaan yang ada di Universitas Negeri Yogyakarta yang diharapkan bermanfaat sebagai bahan acuan bagi mahasiswa atau pihak lain yang berkepentingan.

b. Bagi dosen

Dapat dijadikan sumber bacaan dan informasi mengenai realitas homoseksual yang banyak ditemui di Yogyakarta, khususnya bahasan mengenai pembentukan perilaku seksual pada pasangan lesbian dan gay serta bagaimana mereka mengekspresikan dirinya sebagai seorang yang maskulin dan feminim.

c. Bagi masyarakat

Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai adanya realitas homoseksual yaitu salah satu kelompok minoritas yang ada dalam kehidupan masyarakat. Penelitian ini juga diharapkan dapat


(25)

menambah wawasan tentang perkembangan kelompok homoseksual yang ada di Yogyakarta.

d. Bagi Mahasiswa dan peneliti

Bagi mahasiswa hasil penelitian ini nantinya dapat dijadikan informasi dan sumber pengetahuan serta sebagai referensi bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian lainnya dimasa yang akan datang, sedangkan bagi peneliti ialah penelitian ini merupakan umpan balik dan hasil nyata dari penerapan ilmu yang didapat selama mengikuti perkuliahan di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), selain itu juga dapat menambah pengetahuan dan pengalaman dalam mengamati sebuah realitas sosial yang sedang terjadi.

e. Bagi Komunitas Lesbian Gay Biseksual dan Transgender (LGBT) Penelitian ini harapannya dapat menjadi tambahan informasi, referensi dan sumber bacaan bagi komunitas LGBT khususnya mengenai proses pembentukan perilaku seksual pada pasangan lesbian dan gay di Yogyakarta.

f. Bagi PLU Satu Hati

Penelitian ini harapannya dapat menjadi tambahan informasi, referensi dan sumber bacaan bagi PLU Satu Hati sebagai salah satu komunitas LGBT yang ada di Yogyakarta. Selain itu ini juga dapat menjadi sumber akademis sebagai bahan kajian dalam diskusi yang nantinya dapat dikembangkan lagi oleh komunitas


(26)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Pustaka 1. Seksualitas

Seksualitas merupakan suatu kajian yang sangat kompleks. Terdapat dua perspektif utama yang menjelaskan wacana seksualitas kekinian, yaitu: (i) esensialisme (essensialism) yang berpatokan pada kromosom biologis organ-organ reproduksi; dan (ii) konstruksi sosial (social constructionism) atau tradisi sosial masyarakat (Demartoto, 2013: 3). Dalam sudut pandang esensialisme memenganggap seksualitas sebagai fenomena biologis semata atau suatu kenyataan alamiah yang ditunjukkan oleh organ-organ reproduksi manusia yang melampaui kenyataan sosial. Sedangkan perspektif konstruksi sosial berkaitan dengan bagaimana konsep seksualitas itu dibentuk dan dipengaruhi oleh lingkungan baik budaya, sosial, ekonomi, politik, hukum, agama, dan lain sebagainya.

Bertolak belakang dengan pandangan esensialisme, Foucault (dikutip dalam Kali, 2013: 61-62) menyatakan bahwa seksualitas bukan sesuatu yang tidak berubah, asosial, dan historis. Seksualitas sangat terkait dengan sejarah dan perubahan sosial; tidak bersumber pada hormon kejiwaan dan hukum Tuhan. Seksualitas merupakan sebuah konstruksi sosial, bukan fakta kromosomik-biologis. Hal senada


(27)

diungkapkan oleh Gagnon dan Simon (dikutip dalam Ritzer, 2013: 414) yang menyatakan bahwa seksualitas seyogianya dipandang bukan sebagai dorongan biologis namun sebagai takdir yang dibangun secara sosial. Penelitian Kinsey mengenai homoseksualitas dapat menjadi salah satu acuan yang berkaitan dengan seksualitas.

Seksolog terkemuka Amerika almarhum Kinsey Dkk. Malahan mencetuskan gagasan suatu kesinambungan antara heteroseksualitas di satu kutub dan homoseksualitas di kutub yang lain. Heteroseksualitas ekstrim diberi angka 0 (nol), sedangkan homoseksualitas ekstrim diberi angka 6 (enam). Orang-orang yang berangka 0 atau pun 6 pada skala ini ternyata menurut pengkajian Kinsey Dekak jarang sekali, kalau tak boleh dikatakan hampir tidak ada.

Yang ada ialah orang-orang yang perilaku seksnya berkisar 1 dan 5. Angka 1 menunjukkan heteroseksualitas dengan sedikit kecenderungan homoseks. Angka 2 menunjukkan kecenderungan homoseks lebih menonjol, akan tetapi yang dominan masih kecenderungan heteroseks. Angka 3 menunjukkan seseorang tertarik kepada laki-laki maupun perempuan, yaitu perilaku yang disebut biseks (bi=dua). Angka 4 menunjukkan kecenderungan homoseks yang menonjol. Angka 5 menunjukkan homoseksualitas yang kuat dengan sedikit kecenderungan heteroseks (Oetomo, 2003: 99).

Seksualitas seseorang terbentuk karena proses belajar yang dipengaruhi oleh lingkungan. Proses tersebut berkaitan dengan internalisasi dan eksternalisasi diri terhadap lingkungan. Seperti yang diungkapkan oleh John Gagnon (dikutip dalam Ritzer, 2013: 414) sebagai berikut:

Di dalam sembarang masyarakat tertentu, pada momen tertentu dalam sejarahnya, manusia menjadi seksual persis sama dengan mereka menjadi hal-hal yang lainnya. Tanpa berfikir panjang, mereka mengambil arah atau petunjuk dari lingkungan sosialnya. Mereka memperoleh dan menghimpun makna, kecakapan dan nilai dari manusia disekelilingnya. Pilihan kritis mereka seringkali diambil dengan bergaul dan membaur. Manusia mempelajari beberapa hal yang diharapkan demikian ketika masih cukup muda, dan pelan-pelan melanjutkannya untuk menghimpun kepercayaan pada jati diri mereka dan pada sosok ideal diri mereka sepanjang sisa masa kanak-kanak, remaja dan dewasanya. Perilaku seksual juga dipelajari dengan cara-cara yang sama dan melalui proses


(28)

yang serupa; perilaku seksual diperoleh dan dihimpun dalam interaksi manusia, dinilai dan dijalankan di dunia-dunia kultural dan historis khusus.

Konstruksi sosial tersebut membentuk perilaku seksual yang menurut Oetomo (2003), seksualitas seseorang pada dasarnya terdiri dari identitas seksual, perilaku (peran), dan orientasi seksual. Dapat kita simpulkan bahwa berbicara mengenai seksualitas lesbian dan gay selalu mencakup tiga hal yaitu, orientasi seksual, perilaku seksual, dan identitas seksual.

2. Orientasi Seksual

Orientasi Seksual adalah rasa ketertarikan secara seksual maupun emosional terhadap jenis kelamin tertentu. Orientasi seksual ini dapat diikuti dengan adanya perilaku seksual atau tidak. Misal seseorang perempuan yang tertarik dengan sejenis namun selama hidupnya dia belum pernah melakukan perilaku seksual dengan perempuan, maka ia tetap dikatakan memiliki orientasi seksual sejenis. Menurut Swara Srikandi Indonesia (Asosiasi Lesbian dan Gay Indonesia dalam Demartoto, 2013: 6) orientasi seksual merupakan salah satu dari empat komponen seksualitas yang terdiri dari daya tarik emosional, romantis, seksual dan kasih sayang dalam diri seseorang dalam jenis kelamin tertentu. Tiga komponen seksualitas adalah jenis kelamin biologis, identitas gender (arti psikologis pria dan wanita) dan peranan jenis kelamin (norma-norma budaya untuk perilaku feminin dan maskulin). Orientasi seksual berbeda dengan perilaku seksual karena berkaitan


(29)

dengan perasaan dan konsep diri, namun dapat pula seseorang menunjukkan orientasi seksualnya dalam perilaku mereka (Demartoto, 2013: 6).

3. Perilaku Seksual

Perilaku Seksual yaitu segala perilaku yang dilakukan karena adanya dorongan seksual. Pada konsep ini tidak peduli bagaimana dan dengan siapa atau apa dorongan itu dilampiaskan, apa bila perilaku tersebut muncul karena adanya dorongan seksual, maka disebut perilaku seksual. Perilaku seksual adalah perilaku yang berhubungan dengan fungsi-fungsi reproduksi atau perilaku yang merangsang sensasi dalam reseptor-reseptor yang terletak pada atau disekitar organ-organ reproduksi. Perilaku seksual seseorang juga dapat dipengaruhi oleh hubungan seseorang dengan orang lain, oleh lingkungan dan kultur dimana individu tersebut tinggal (Demartoto, 2013: 9).

Mengenai hubungan seks homoseksual mengambil bentuk imitasi dari hubungan heteroseksual tetapi masih terdapat peran (perilaku) lainnya. Dimana ada yang berperan sebagai laki-laki dan ada yang berperan sebagai perempuan. Jika dalam hubungan homoseksual yang seperti itu maka hal itu akan terlihat dalam perilaku sehari-hari. Perilaku seksual homoseksual terpola dalam tiga bentuk hubungan seksual, yaitu (Kartono, 1989: 249) :


(30)

a) Oral Eratism (Seks Oral)

Oral (segala sesuatu yang berkaitan dengan mulut), stimulan oral pada penis disebut Fellatio (Fallare: menghisap). Fellatio yaitu mendapatkan kenikmatan seksual dengan cara menghisap alat kelamin partnernya yang dimasukkan ke dalam mulut. Fellatio umumnya dilakukan homoseksual remaja dan dewasa. Fellatio dapat dilakukan dengan cara tunggal atau ganda. Fellatio tunggal bila hanya dilakukan oleh seorang partner, sedangkan Fellatio ganda atau dikenal hubungan 69 dilakukan dengan saling menghisap anal kelamin partner pada saat yang bersamaan.

b) Body Contact (Kontak Tubuh)

Body contact mengambil bentuk onani atau menggesek-gesekkan tubuh atau dengan cara senggama sela paha salah satu partnernya memanipulasi pahanya sedemikian sehingga alat kelamin pasangannya dapat masuk di sela pahanya.

c) Anal Seks (Seks Anal)

Anal seks (seks yang berhubungan dengan anus) dalam dunia homoseksual terkenal dengan sebutan sodomi. Sodomi mengacu pada hubungan seks dengan cara memasukkan alat kelamin ke dalam anus partnernya. Dalam hubungan sodomi tersebut salah satu partnernya bertindak aktif sedang yang lain bertindak pasif menerima.


(31)

Banyak sekali perilaku yang bisa dilakukan untuk menyalurkan dorongan seksual. Berikut macam-macam perilaku seksual (Utama, 2013: 118):

a) Berfantasi Seksual

Perilaku ini sangat wajar dilakukan. Seringkali, meskipun tidak selalu melibatkan komponen seksual. Bisa saja didasarkan pada pengalaman masa lalu atau seluruhnya imajinasi.

b) Berpegangan Tangan

Aktivitas ini memang tidak terlalu menimbulkan rangsangan seksual yang kuat, namun biasanya muncul keinginan untuk mencoba aktivitas seksual lainnya.

c) Ciuman Biasa atau Cium Kering

Biasanya dilakukan pada kening, pipi, tangan, dan rambut. Pada bibir biasanya dilakukan dalam waktu singkat.

d) Ciuman Basah

Ciuman basah atau dikenal juga dengan French Kiss, adalah ciuman yang dilakukan dalam waktu yang relatif lebih lama dan intim. Biasanya disertai dengan permainan lidah. Perilaku ini menimbulkan sensasi seksual yang kuat sehingga membangkitkan dorongan seksual hingga tak terkendali.

e) Meraba dan Berpelukan

Meraba dan berpelukan biasanya menjurus pada bagian-bagian tubuh tertentu untuk memberikan rangsangan kepada pasangan.


(32)

f) Masturbasi

Masturbasi atau onani adalah rangsangan yang sengaja dilakukan oleh diri sendiri terhadap bagian tubuh yang sensitif untuk mendapatkan kesenangan dan kepuasan seksual.

g) Seks Oral

Seks oral yaitu rangsangan seksual yang dilakukan oleh mulut terhadap alat kelamin pasangannya. Ada dua jeis seks oral, yaitu fellatio (mulut dengan penis) dan cunnilingus (mulut dengan vagina). h) Petting Ringan atau Petting Kering

Merupakan perilaku saling menggesekkan alat kelamin namun keduannya atau salah satunya masih berpakaian lengkap atau pun masih menggunakan pakaian dalam.

i) Petting Berat atau Petting Basah

Merupakan petting yang keduanya sudah tidak mengenakan pakaian sama sekali. Pasangan saling berpelukan, saling menggesekkan alat kelamin dan memberikan rangsangan di bagian tubuh lainnya, tanpa melakukan penetrasi.

j) Rimming

Merupakan aktivitas seksual dengan memberikan rangsangan ke anus pasangannya dengan menggunakan lidah.

k) Fingering

Yaitu aktivitas memasukkan jari ke dalam anus atau vagina pasangan.


(33)

l) Jepit Paha

Adalah aktivitas seksual dengan cara menjepitkan penis di antara paha pasangan dan digerakkan maju mundur.

m) Jepit Susu

Adalah aktivitas seksual dengan cara menjepitkan penis di antara payudara dan menggesek-gesekkannya.

n) Mandi Kucing

Adalah aktivitas seksual dengan cara menjilati tubuh pasangannya.

o) Seks Anal

Perilaku seksual dengan cara memasukkan penis ke dalam lubang anus.

p) Seks Vaginal

Perilaku seksual dengan cara memasukkan penis ke dalam vagina.

q) Menggunakan Sex Toys

Penggunaan alat bantu untuk mendapatkan kesenangan dan kepuasan seksual.

r) Threesome

Adalah aktivitas seksual yang dilakukan oleh tiga orang bersama-sama.


(34)

s) BDSM

Adalah singkatan dari enam istilah yang berpasang-pasangan yaitu untuk Bondage dan Dicipline, Domination dan Submission, serta Sadism dan Masasochism. BSDM ini adalah aktivitas seksual yang melibatkan permainan peran.

Dalam dunia lesbian dan gay, cinta secara ideal membuat adanya hubungan sesama jenis yang terus menerus. Istilah bahasa Indonesia yang biasanya dipakai di dunia heteroseksual adalah “pacar” dalam hubungannya disebut “pacaran”; dan istilah ini sering digunakan oleh kelompok lesbian dan gay untuk mengacu pada hubungan sesama jenisnya. Tanpa memandang istilah yang digunakan, kelompok lesbian dan gay Indonesia memandang diri mereka sebagai dihubungakan dengan kekasih sesama jenis mereka di dunia lesbian dan gay.

Hubungan-hubungan ini berlangsung terus-menerus selama

berdasawarsa, dan melibatkan kesetiaan dan kasih yang besar (Boellstorff, 2005: 126).

Dalam dunia homoseksual, juga terdapat tipe-tipe pasangan yang akan mempengaruhi bentuk perilaku seksual mereka dengan pasangan. Bell & Winberg (dalam Tobing, 2003) menyebutkan lima tipe hubungan pasangan homoseksual, yaitu:


(35)

a) Close Coupled (Pasangan Tertutup)

Tipe ini menggambarkan relasional antara dua orang homoseksual yang terikat sebuah komitmen seperti halnya sebuah perkawinan pada dunia heteroseksual.

b) Open Coupled (Pasangan Terbuka)

Pada tipe ini dijumpai sebuah bentuk hubungan antara dua orang homoseksual yang terikat oleh sebuah komitmen tetapi hubungan lain di luar komitmen tersebut. Di dalam tipe ini biasanya muncul banyak permasalahan seperti kecemburuan.

c) Functional (Pasangan Fungsional)

Pada tipe ini seorang homoseksual tidak terikat komitmen dengan seseorang tetapi memiliki pasangan atau partner seksual yang cukup banyak.

d) Dysfunctional (Pasangan Disfungsional)

Dalam tipe ini seorang homoseksual tidak memiliki pasangan tetap, memiliki banyak pasangan seksual tetapi juga disertai dengan banyak permasalahan yang berkaitan dengan seksualitas.

e) Asexual (Aseksual)

Di dalam tipe ini seorang homoseksual kurang memiliki keinginan untuk mencari pasangan seksual baik itu yang bersifat tetap atau yang tidak tetap.

Selain itu ada beberapa contoh relasi yang sering dijumpai dalam komunitas gay antara lain (Ibhoed, 2014: 5):


(36)

a) Monogami

Relasi satu orang dengan satu pasangan. Dari mulai awal hubungan sampai akhir hubungan, hanya dengan satu orang saja. Namun di luar pasangan tetapnya itu dimungkinkan juga terjadinya perselingkuhan secara diam-diam. Biasanya perselingkuhannya hanya sebatas seks saja, bukan untuk relasi tetap yang serius.

b) Poligami

Relasi satu orang dengan lebih dari satu pasangan. Ada kemungkinan masing-masing pasangan saling tahu siapa yang jadi madunya, tetapi ada kemungkinan juga tidak saling tahu.

c) Poliamori

Relasi antara lebih dari dua orang yang saling mencintai dan saling berhubungan seks. Di sini pihak-pihak biasanya saling bisa menerima satu dengan yang lain, sehingga praktis tidak ada rasa cemburu.

d) Hubungan Terbuka

Relasi di mana masing-masing pasangan dapat berhubungan dengan orang lain dalam berbagai kemungkinan, di mana semua orang yang terlibat saling tahu dan dapat menerimanya.

e) One Night Stand (Cinta Satu Malam)

Hubungan seks yang terjadi hanya dalam satu kesempatan. Biasanya hanya sekali itu saja, lalu tidak pernah berjumpa lagi.


(37)

f) Teman Tapi Mesra (TTM)

Relasi dua atau lebih orang tanpa komitmen, dapat melibatkan hubungan seks ataupun tidak.

g) Seks Dunia Maya (Cybersex)

Hubungan erotik melalui dunia maya, misalnya chatting internet, webcam, dan sebagainya. Murni hanya untuk menyalurkan hasrat seksual, walau dimunculkan rasa sayang dan rasa cinta.

h) Seks Telepon (Phonesex)

Hubungan erotik melalui telepon seperti melakukan pembicaraan-pembicaraan erotis yang membangkitkan gairah seks, lengkap dengan desahan dan jeritan erotis.

i) Seks sms

Hubungan erotik melalui sms. Hampir sama dengan cybersex dan phonesex, namun yang ini melalui permainan kata-kata erotis dari sms.

4. Identitas Seksual

Salah satu dasar teori dari pengembangan identitas gay dan lesbian berkembang pada tahun 1979 oleh Vivian Cass. Cass menjelaskan enam tahapan proses dari perkembangan identitas gay dan lesbian. Tahapan ini membantu menjelaskan kepada individu mengenai pikiran, perasaan, dan tingkah laku. Semua itu membantu kita memahami proses perkembangan identitas gay dan lesbian. Terdapat beberapa tahapan proses perkembangan tersebut, beberapa orang kemungkinan bisa melewati


(38)

tahapan-tahapan yang berbeda dalam kehidupan mereka. Berikut penjelasan tentang enam tahapan perkembangan identitas gay dan lesbian (Cass, 1979: 219-235) :

a) Identity Confusion (Kebingungan Identitas): “Apakah aku seorang gay?” tahapan ini dimulai dengan kesadaran seseorang berfikir, merasakan, dan berperilaku bahwa dirinya memiliki kecenderungan sebagai seorang gay atau lesbian. Pada tahap ini seseorang merasa kebingungan dan gejolak dalam dirinya.

b) Identity Comparison (Perbandingan Identitas): “Mungkin aku seorang gay atau lesbian?” pada tahap ini, seseorang menerima kemungkinan menjadi seorang gay atau lesbian dan menguji kebenaran apakah dia benar-benar gay atau tidak. Tetapi pada tahap ini seseorang belum memiliki komitmen yang pasti, mereka masih menyangkal homoseksualitas pada dirinya. Ia masih berpura-pura sebagai seorang heteroseksual.

c) Identity Tolerance (Toleransi Identitas): “Saya bukan satu-satunya” seseorang mengakui bahwa dia adalah seorang gay atau lesbian dan mulai mencari gay dan lesbian lainnya untuk melawan perasaan dia yang takut diasingkan. Komitmen seseorang mulai meningkat untuk menjadi lesbian dan gay.

d) Identity Acceptance (Penerimaan Identitas): “Aku akan baik-baik saja” seseorang sudah menganggap ini sesuatu yang positif untuk dirinya sebagai gay atau lesbian dan lebih dari sekedar mentoleran


(39)

perilaku ini. Pada tahap ini seseorang sudah melakukan hubungan secara terus-menerus dengan budaya gay dan lesbian.

e) Identity Pride (Kebanggaan Identitas): “Saya ingin semua orang tahu siapa saya” seseorang mulai berani membagi dunia ke dalam heteroseksual dan homoseksual, dan mulai memilimalisir hubungan dengan dunia heteroseksual. Mereka sudah merasa cocok dengan apa yang mereka pilih.

f) Identity Syntesis (Penerimaan Seutuhnya Identitas): seseorang mulai sadar tidak akan membagi dunia menjadi heteroseksual dan homoseksual. Seseorang mulai melakukan gaya hidupnya. Individu menjalani gaya hidup gay yang terbuka sehingga pengungkapan jati diri tidak lagi sebuah isu dan menyadari bahwa ada banyak sisi dan aspek kepribadian yang mana orientasi seksual hanya salah satu aspek tersebut.

5. Homoseksualitas dan Perkembangan Perilaku Seksual “Lesbian dan

Gay”

Homoseksual dalam kamus sosiologi yaitu seseorang yang cenderung mengutamakan orang berjenis kelamin sama sebagai mitra seksual (Haryanto, 2012: 85). Homoseksual dapat didefinisikan sebagai orientasi atau pilihan seks dari seseorang, yang diwujudkan kepada sesamanya yang berjenis kelamin sama. Homoseksualitas sering juga diartikan sebagai suatu kecenderungan yang didasarkan pada ungkapan perasaan cinta terhadap sesama jenis. Homoseksualitas digolongkan


(40)

menjadi dua macam, yakni gay dan lesbian. Gay untuk menyebut kelompok homoseks berjenis kelamin lelaki yang orientasi seksnya tertuju pada sesama lelaki. Sedangkan lesbian untuk menyebut kelompok homoseks berjenis kelamin perempuan yang orientasi seksnya ditunjukan kepada sesama perempuan (Kali, 2013: 121).

Homoseksualitas merupakan sebuah rasa ketertarikan secara perasaan dalam bentuk kasih sayang, hubungan emosional baik secara erotis ataupun tidak, dimana ia bisa muncul secara menonjol, ekspresif maupun secara ekslusif yang ditujukan terhadap orang-orang berjenis kelamin sama. Hubungan ini bisa bersifat perasaan semata hingga dalam bentuk fisik. Homoseksualitas merupakan salah satu bentuk orientasi seksual yang berbeda, tidak menyimpang, serta mempunyai kesejajaran yang sama dengan heteroseksual (Kadir, 2007: 66).

Fehr (1998 dalam Kadir, 2007: 66) mencoba mengonsepsikan posisi seksual kaum homoseksual sebagai berikut:

Oleh karena itu, kategori keanggotaan adalah semua atau tidak ada fenomena, setiap kasus yang memenuhi kriteria adalah anggota dan non anggota. Konsep sudah sedemikian jelas. Karena setiap anggota harus memiliki atribut set tertentu yang merupakan kriteria kategori inklusi, semua anggota memiliki gelar penuh dan setara keanggotaan dan karenanya sama-sama mewakili setiap kategori (Terjemahan Bebas dikutip dalam Kadir, 2007:66).

Dari kutipan di atas dapat kita lihat bahwa definisi orientasi seksual beserta segala unsur yang ada di dalamnya seperti hasrat, emosi, keinginan, tingkah laku hingga identitas mempunyai bangunan yang sama dan sejajar (congruent). Konstruk sosial mempunyai posisi yang kuat dalam sebuah lingkungan sebagai agen pembentuk apakah ia sejajar,


(41)

atau hanya salah satu yang mempunyai keudukan lebih tinggi (Kadir, 2007: 66).

Orang-orang Indonesia yang lesbian dan gay sering mengatakan bahwa mereka “sama” seperti orang barat yang lesbian dan gay, seperti yang tercermin oleh istilah “gay” dan “lesbian” sendiri, bahkan bila pemahaman mereka tentang kehidupan orang-orang barat kurang jelas. Posisi-posisi subyek lesbian dan gay menghadapkan kita pada pertanyaan-pertanyaan tentang kesamaan berkenaan dengan skala nafsu keduanya (Boellstroff, 2005: 111). Dunia kehidupan kaum lesbian dan gay Indonesia menuntut suatu antropologi kesamaan. Orang-orang Indonesia yang lesbian dan gay tidak hanya menggunakan gagasan kesamaan dalam memahami homoseksualitas mereka, tetapi lebih-lebih pada kehidupan sehari-hari mereka seakan-akan mirip kehidupan lesbian dan gay di barat. Laki-laki gay nongkrong di taman dan mal, dandan seperti perempuan dan naik panggung di disko, dan berperilaku seksual, dan semuanya mirip perilaku kaum gay di barat. Perempuan lesbian saling mengadakan pertemuan di rumah salah satu dari mereka, mendengarkan lagu dari penyanyi-penyanyi lesbian Amerika, dan memakai istilah “tomboi” dan “lines” yang mengingat “butch” (berpenampilan kekar seperti laki-laki) dan “femme” (berpenampilan feminin). Sampai sekarang perbedaan sering menjadi paradigma utama bagi pemahaman seksualitas, gender, dan globalisasi. Suatu pendekatan “homo” mungkin akan terbukti produktif: “bisakah kesamaan


(42)

menyandikan perbedaan, dan membedakan kesamaan” (Weston 1995:92 dalam Boellstroff, 2005: 111). Kebanyakan lelaki gay lebih menyukai lelaki maskulin (macho, maskulin, kebapakan). Lelaki gay yang keperempuanan tertarik kepada lelaki maskulin, jadi agak memiliki keinginan yang heterogender. Lelaki maskulin yang diinginkan idealnya tidak keperempuan-perempuanan, pendiam, dan sikapnya tegas (Boellstroff, 2005: 115). Sedangkan nafsu lesbian, semacam kerangka heterogender yang menonjol; dianggap aneh kalau seorang tomboi mau sama tomboi lain, atau seorang cewek mau sama cewek lain. Banyak orang tomboy menyatakan diri sendiri sebagai pemburu perempuan seperti diindikasikan oleh istilah hunter yang digunakan oleh para tomboy di Sulawesi Selatan, demikian juga di sebagian Jawa. Menjadi seorang hunter adalah memburu perempuan, apakah mereka cewek (lesbian yang feminine) atau wanita heteroseksual (Boellstorff, 2005: 116).

Ancaman yang selalu ada terhadap hubungan gay adalah bila seseorang berhubungan seks di luar hubungan tersebut, yang pada umumnya dikenal dengan istilah “selingkuh”. Penggunaan “selingkuh” ini mengacu pada perilaku seksual di dalam dunia gay. Banyak lelaki gay memiliki pacar perempuan, bahkan istri, tetapi tidak ada istilah hubungan seks dengan perempuan sebagai “selingkuh”. Selingkuh merupakan kekhawatiran di dunia lesbian juga. Banyak para tomboi mengungkapkan satu alasan mengapa mereka tidak meluangkan lebih banyak waktu


(43)

bersosialisasi satu sama lain, adalah karena takut bahwa tomboi lain akan ”memburu” pacar perempuan mereka. Sementara seksualitas lesbian memiliki komponen erotis yang kuat dan seharusnya tidak diremehkan, perempuan lesbian, seperti lelaki gay, secara rutin menganggap cinta dan tujuan hubungan jangka panjang sebagai prioritas yang penting (Boellstroff, 2005: 127).

6. Homoseksualitas dan Pembentukan Perilaku Seksual “Lesbian dan Gay” di Indonesia

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sadena Febriana (2013) dalam tulisannya mengenai pembagian peran pada pasangan orientasi seksual sejenis yang memiliki komitmen marriage-like (studi eksploratif terhadap satu pasangan gay di Bandung) menunjukkan bahwa faktor yang menjadi dasar dalam pembentukan peran pada pasangan homoseksual adalah sebagai berikut:

1) Pola asuh orangtua

2) Konstruksi gender konvensional 3) Sifat pribadi masing-masing subyek

Hal tersebut menunjukan bahwa proses sosialisasi di dalam keluarga merupakan faktor utama yang mempengaruhi pembentukkan perilaku seksual seseorang. Kemudian lingkungan dan sifat-sifat pribadi subyek juga berpengaruh pada peran yang akan dimainkan dalam berpasangan, baik lesbian maupun gay.


(44)

Pada lesbian terdapat dua kelompok wanita (Kartono, 1992: 265), yakni:

1) Kelompok wanita yang menunjukkan banyak ciri kelaki-lakian, baik dalam susunan jasmani dan tingkah lakunya, maupun pada pemilihan objek erotiknya. Bentuk tubuh wanita tipe ini banyak miripnya dengan bentuk tubuh pria.

2) Kelompok wanita yang tidak memiliki tanda-tanda kelainan fisik dan memiliki konstitusi jasmaniah sempurna wanita.

Terdapat juga berbagai istilah yang digunakan untuk menyebut kelompok-kelompok lesbian (Moser, 2000: 124), yaitu:

1) High Femme atau Lipstick Lesbian, adalah wanita yang tampak feminin secara stereotype (gincu, riasan, sepatu tumi tinggi, pakaian berjumbai)

2) Femme, adalah wanita yang memiliki penampilan feminin.

3) Soft Butch, adalah wanita dengan penampilan yang tidak terlalu feminin dan cenderung sedikit mengarah kepada maskulin.

4) Stone Butch, adalah wanita yang berpenampilan sangat maskulin. Soft butch sering digambarkan memiliki kesan yang lebih feminin dalam cara berpakaian dan potongan rambutnya. Secara emosional dan fisik tidak mengesankan bahwa mereka adalah pribadi yang kuat atau tangguh. Sedangkan stone butch sering digambarkan lebih maskulin dalam cara berpakaian maupun potongan rambutnya. Mengenakan pakaian laki-laki, terkadang membebat dadanya agar terlihat lebih rata


(45)

dan menggunakan sesuatu pada pakaian dalamnya sehingga menciptakan kesan memiliki penis. Butch yang berpenampilan maskulin sering kali lebih berperan sebagai seorang “laki-laki” baik dalam suatu hubungan dengan pasangannya, maupun saat berhubungan seks.

Femme atau popular dengan istilah pemmeh lebih mengadopsi peran sebagai seorang yang feminin dalam suatu hubungan dengan pasangannya. Femme yang berpenampilan feminin selalu digambarkan memiliki rambut yang panjang dan berpakaian feminin. Seringkali femme memiliki stereotype sebagai pasangan yang pasif dan hanya menunggu atau menerima saja saat melakukan hubungan seks.

Sedangkan pada kaum gay atau pria homoseksual mengenal peran atau posisi dalam hubungan sesama jenis, yakni top, bottom, dan versatile. Meski pasangan gay sama-sama berjenis kelamin pria, pada pasangan gay selalu ada salah satu yang mendominasi hubungan. Dominasi tersebut tidak hanya ditentukan dari sifat dan perilaku masing-masing pasangan. Top adalah pria homoseks yang punya peran lebih dominan, sementara bottom adalah pasangannya yang posisinya lebih banyak 'menerima' termasuk saat berhubungan seks. Sedangkan verstaile merupakan dua peran yang dimainkan oleh pasangan gay. Peran atau posisi tersebut biasanya ditentukan berdasarkan sifat atau pembawaan masing-masing. Pria yang berperan sebagai top biasanya memiliki karakter yang kuat, sementara bottom lebih penurut meski kadang-kadang juga tidak selalu demikian.


(46)

Kemudian muncul istilah lain yang berkembang pada kaum homoseksual yang dikembangkan oleh Boellstorff (2005). Posisi subyek lesbian tidak hanya pada perempuan yang tertarik perempuan (baik bergender maskulin maupun feminin) tetapi juga tomboi, yaitu orang-orang yang terlahir dengan tubuh perempuan, yang merasa bahwa diri mereka berjiwa laki-laki dan sering berjuang untuk dianggap sebagai lelaki atau tomboi oleh masyarakat (Boellstorff, 2005: 179). Sedangkan pada dunia gay dikenal istilah ngondhek. Berlawanan dengan maskulinitas (macho, maskulin, kebapakan, atau laki-laki asli) ngondhek merupakan performansi gender yang feminin sampai sekian jauhnya oleh tubuh lelaki. Ngondhek merupakan gaya normatif dari subyektivitas gay, walaupun bukan semacam keharusan (Boellstorff, 2005: 185). Ngondhek merupakan sebuah gaya; gaya bicara, gaya kumpul, gaya bertingkah laku di dunia yang berada di antara kenampakan dan ketidaknampakan, asli dan tidak asli, lokal dan global, maskulin dan feminin (Boellstorff, 2005: 189).

Istilah lain pun ikut berkembang di Indonesia untuk menggambarkan proses pembentukan perilaku seksual pada pasangan lesbian dan gay. Banyak kebudayaan nusantara Indonesia telah memiliki kosa kata erotis yang cukup besar, di Indonesia masa kontemporer seks juga dipengaruhi oleh azas kekeluargaan. Kata yang biasa dipakai untuk hubungan intim yaitu seks. Seks merupakan kata pinjaman dan istilah halus yang sering dipakai untuk menggambarkan hubungan suami-istri


(47)

(yang tidak mencakup homoseksualitas). Salah satu akibatnya adalah banyak lelaki gay membubuhi istilah main-main dari pada seks pada perilakunya bersama lelaki lain. Bagi sekian lelaki gay, satu hal yang membedakan mereka dengan lelaki heteroseksual adalah bahwa mereka menganggap apa yang mereka lakukan dengan lelaki lain sebagai seks ini sering dihubungkan dengan keluhan bahwa lelaki heteroseksual cenderung pasif, mereka hanya ingin ejakulasi dan berbaring saja sedangkan lelaki gay menstimulasi penis secara oral, atau menduduki penis mereka, sementara seorang kekasih gay siap mencium dan melakukan rangsangan. (Boellstorff, 2005: 119). Sedangkan pada lesbian, diluar pelukan dan ciuman, perilaku seksual yang paling populer adalah kontak vagina-oral, saling meraba vagina, penetrasi vagina dengan jari, dan yang lebih jarang adalah penetrasi vagina dengan alat penis (dildo). Di seluruh Indonesia dapat diasumsikan bahwa ketika seks terjadi antara tomboi dan cewek, maka tomboi yang melakukan penetrasi kepada cewek, bukan sebaliknya (Boellstorff, 2005: 120).

Menurut Boellstorff (2005), hanya sekian orang Indonesia “normal” yang tahu tentang adanya gay dan lesbi di Indonesia, dan yang tahu sering berasumsi bahwa orang-orang tersebut hanya tertarik pada seks. Tetapi sementara seks jelas penting bagi kaum gay dan lesbi di Indonesia, mereka terus-menerus memberikan nilai tertinggi terhadap cinta sesama jenis. Ini dianggap lebih penting, diasumsi bahwa melalui cinta, seks mendapatkan makana dan arti sosial (Boellstorff, 2005: 121).


(48)

Melalui interaksi sehari-hari mereka, orang lesbian dan gay di Indonesia menciptakan dunia-dunia lesbian dan gay lagi dan lagi di tengah dunia yang dianggap normal, seperti dalam pusat-pusat kehidupan konsumen seperti mal, pusat-pusat kehidupan domestik seperti rumah. Untuk lelaki gay, pusat-pusat kehidupan publik seperti alun-alun dan taman. Ketika orang lesbian dan gay Indonesia ngeber di sudut taman atau di rumah teman, sepotong dunia menjadi bagian dari dunia-dunia lesbian dan gay (Boellstorff, 2005: 170). Salah satu perbedaan yang paling tajam dan berarti di antara posisi-posisi subyek lesbian dan gay adalah mengenai maskulinitas dan feminitas. Perbedaannya itu bukan prinsip dasar pada subyektivitas-subyektivitas gay. Ada lelaki gay yang lebih suka laki-laki yang kebapaan, tetapi ini dilihat sebagai selera pribadi dan tidak disamakan dengan jenis orang. Sebaliknya, bagi sebagian besar perempuan lesbian, posisi subyek lesbian tidak bisa diduduki secara langsung. Perbedaan tajam antara feminin dan maskulin mewujudkan kedirian, hubungan seksual, dan pergaulan; kebiasaannya adalah bahwa hubungan seksual terjadi di antara perempuan lesbian maskulin dan perempuan lesbian feminin, tidak diantara dua orang perempuan lesbian maskulin dan dua perempuan lesbian feminin (Boellstorff, 2005: 178).

7. Penelitian Relevan

Hasil penelitian relevan sebelumnya yang sesuai dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Sinta Arum Setya P mahasiswa


(49)

Jurusan Pendidikan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2013 yang berjudul Fenomena Komunitas Kaum Lesbi di Kota Klaten. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa alasan memilih pasangan lesbian adalah karena secara psikologi mereka lebih nyaman berhubungan dengan sesama jenis dibandingkan dengan pasangan yang berbeda jenis kelamin. Latar belakang menjadi seorang lesbian atau menyukai sesama jenis adalah karena trauma percintaan atau seksual, pengalaman seksual sesama jenis yang menyenangkan, lingkungan dan pergaulan, serta media audio visual yang menampilkan perilaku lesbian. Persepsi masyarakat terhadap kaum lesbian merupakan stigma yang tidak baik tapi mereka membutuhkan dukungan moral serta spiritual untuk tidak berlanjut ke hubungan sebagai pasangan hidup. Persamaan penelitian ini adalah sama-sama meneliti tentang lesbian, akan tetapi perbedaannya terletak pada fokus bahasan, tempat penelitian, dan informan penelitian. Peneliti melakukan penelitian di Yogyakarta dengan fokus bahasan pembentukan perilaku seksual pada pasangan lesbian dan gay, sedangkan Sinta Arum melakukan penelitian di Klaten dengan fokus bahasan komunitas lesbian.

Penelitian relevan yang kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Praptoraha Raditjo Mahasiswa Program Studi Sosiologi Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada tahun 1998 yang berjudul Laki-Laki „Pencinta‟ Laki-Laki: Sebuah Kajian tentang Kontruksi Sosial Perilaku Homoseksual. Hasil penelitian


(50)

menunjukkan bahwa seseorang yang mengembangkan homoseksual dapat dilihat pada motivasi mereka melakukan perilaku tersebut yang merupakan hasil dari internalisasi terhadap konsepsi seksualitas baik melalui sosialisasi primer maupun sekunder. Seperti halnya di dalam dunia heteroseksual, kehidupan sosial dunia homoseksual juga menampakkan berbagai macam bentuk hubungan pertemanan dan hubungan romantis. Selain itu, keberadaan komunitas homoseksual merupakan hal yang sangat penting bagi orang-orang homoseksual. Orang-orang homoseksual mengembangkan sistem adaptasi baik di dalam keluarga maupun di dalam masyarakat. Konstruksi sosial seksualitas di dalam masyarakat menempatkan homoseksual sebagai penyimpangan dan bagi mereka akan diancam dengan berbagai sanksi sosial. Adapun persamaan dalam penelitian ini adalah objek kajian yaitu homoseksual akan tetapi memiliki fokus pembahasan yang berbeda karena peneliti lebih melihat pada peroses pembentukan perilaku seksual yang terjadi pada pasangan lesbian dan gay di Yogyakarta.

Adapun manfaat penelitian dari kedua penelitian relevan diatas terhadap penelitian yang dilakukan peneliti adalah sebagai bahan rujukan dan penambah informasi mengenai realitas sosial homoseksual. Melalui kedua penelitian relevan tersebut peneliti dapat melihat apa saja yang diungkapkan kedua peneliti sebelumnya mengenai homoseksualitas baik lesbian maupun gay sehingga hal tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menyusun rancangan penelitian agar nantinya


(51)

penelitian yang akan dilakukan peneliti tidak memiliki kesamaan yang mutlak terhadap penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya. Hal tersebut dilakukan agar hasil dari penelitian yang peneliti lakukan tidak hanya sekedar membuat informasi yang mutlak sama dengan penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya, melainkan bertujuan agar dapat memberikan kontribusi, menambah serta melengkapi informasi dari penelitian-penelitian sebelumnya.

8. Teori Fenomenologi

Daston dan Park dalam (Ritzer dan Smart, 2012: 460) mengatakan bahwa dalam bahasan umum, fenomena artinya luar biasa, tidak masuk akal, sangat tidak umum. Tanpa alasan atau tanpa tujuan, fenomena itu terjadi begitu saja. Dunia fenomenal serta merta naik menjadi martabat being -sesuatu yang kita yakini keberadaannya- ekslusif dan otonom bersamaan dengan hilangnya diri dunia itu sendiri dalam kelimpahannya yang berlebihan, dan menjadi penampakan (appearance) yang berlawanan dengan realitas (reality). Fenomenologi bermaksud menjelaskan apa yang sudah tertentu (what is given), yang tampak bagi kesadaran, tanpa berusaha menjelaskannya dengan cara apapun dan tanpa menghubungkan signifikasi dan makna tempat tidak ada sesuatupun (Ritzer dan Smart, 2012: 446).

Edmund Husserl merupakan tokoh penting dalam filsafat fenomenologi. Secara khusus Husserl mengatakan bahwa pengetahuan ilmiah telah terpisahkan dari pengalaman sehari-hari dan dari


(52)

kegiatan-kegiatan dimana pengalaman dan pengetahuan berakar, tugas fenomelog untuk memulihkan hubungan tersebut. Fenomenologi sebagai suatu bentuk dari idealisme yang semata-mata tertarik pada struktur-struktur dan cara-cara bekerjanya kesadaran manusia serta dasar-dasarnya, kendati kerap merupakan perkiraan implisit, bahwa dunia yang kita diami diciptakan oleh kesadaran-kesadaran yang ada di kepala kita masing-masing. Tentu saja tidak masuk akal untuk menolak bahwa dunia yang eksternal itu ada, tetapi alasannya adalah bahwa dunia luar hanya dapat dimengerti melalui kesadaran kita tentang dunia itu (Craib, 1992: 127).

Alfered Schutz, seorang murid Husserl mengatakan bahwa sebutan fenomenologis berarti studi tentang cara dimana fenomena, hal-hal yang kita sadari muncul kepada kita dan cara yang paling mendasar dari pemunculannya adalah sebagai suatu aliran pengalaman-pengalaman indrawi yang berkesinambungan yang kita terima melalui panca-indra kita (Craib, 1992: 128). Secara keseluruhan Schurtz memusatkan perhatian pada hubungan dialektika antara cara-cara individu membangun realitas kultural yang mereka warisi dari para pendahulu mereka dalam dunia sosial (Ritzer dan Goodman, 2004: 95).

Homoseksual menjadi sebuah fenomena yang ada dalam kehidupan sosial masyarakat. Homoseksual merupakan sebuah realitas sosial yang dalam kacamata fenomenologi dijelaskan dari perspektif dan pengalaman pelaku sendiri. Mengacu pada pandangan Foucault (Kadir, 2007: 137) yang menyebutkan bahwa berbagai resistensi yang dicuatkan


(53)

oleh kaum homoseksual justru bukan merupakan bagian terpisah dari reproduksi wacana dan kekuasaan. Dalam artian, individu nyaris tidak pernah mempunyai nafas lega terhadap kuasa, ia selalu terjerat dalam suatu jaring wacana tertentu. Berakar dari wacana homoseksual yang mengalami transformasi, dari orientasi seksual yang bersifat privat menuju wacana publik. Berkembangnya wacana ini merupakan kondisi atau syarat bagi kaum homoseksual yang digiring ke arah resistensi diri. Gerakan bersifat subkultur hingga different culture merupakan jawaban atas keberadaan mereka. Homoseksual yang diabnormalisasikan, didenaturalisasikan hingga dianggap sebagai tindakan kriminal merupakan bentuk strategi wacana yang menunjukkan adanya kepanikan moral dari suatu negara.

Homoseksual merupakan hasil dari konstruksi sosial atau pendidikan seksual yang didapat di lingkungannya. Senada dengan pemikiran Foucault (Demartoto, 2013: 6), setiap orang dilahirkan sebagai biseksual. Akan menjadi apa dia nanti tergantung pada pendidikan seksual yang dilakukan lingkungannya. Dalam arti apakah dia akan menjadi homoseksual, biseksual atau heteroseksual sekalipun. Konstruk sosial yang membentuk identitas seksual terdiri dari orientasi seksual, identitas seksual dan perilaku (peran) seksual.

Dalam fenomena sosial budaya di masyarakat hampir pasti terdapat kerangka aspirasi yang membentuk unsur-unsur sosial budaya. Unsur sosial budaya inilah yang merupakan serangkaian konsepsi ideologi yang


(54)

hidup dalam benak masyarakat. Sehingga masyarakat mampu mempunyai nilai dan paradigma umum, yang dapat mengukur apa-apa yang dianggap baik dan apa-apa yang dianggap buruk, hal apa saja yang dianggap normal dan apa yang dianggap menyimpang. Anggapan penyimpangan muncul dari sebuah ketidaksamaan dan ketidakserasian yang terjadi dalam paradigma umum masyarakat (Kadir, 2007: 79-80).

B. Kerangka Pikir

Orientasi seksual merupakan sebuah padangan yang mendasari pemikiran sehingga kecenderungan terhadap pemikiran individu. Orientasi seksual berimplikasi pada kesukaan atau ketertarikan seksual (seksual dan emosional) individu terhadap individu lainnya. Orientasi ini kemudian dikonstruksi dalam masyarakat melalui saluran sosialisasi masyarakat (keluarga, pergaulan teman sebaya, teknologi, pendidikan, dan lain-lain) sehingga akan memunculkan kesadaran diri bahwa individu tersebut akan mengidentifikasi dirinya sebagai seorang homoseksual atau heteroseksual. Kemudian lingkungan dan sifat-sifat pribadi subyek juga berpengaruh pada peran yang akan dimainkan dalam berpasangan, baik lesbian maupun gay. Ketika seorang individu sudah mengidentifikasi dirinya sebagai seorang homoseksual maka individu tersebut akan melakukan perilaku seksual sesuai dengan orientasi seksualnya.

Berdasarkan konsep fenomenologi maka peneliti akan berusaha mengkaji dan memahami bagaimana proses pembentukan perilaku seksual


(55)

pada pasangan lesbian dan gay. Hal ini juga terkait dengan bagaimana pasangan lesbian dan gay membentuk pola hubungan dalam melakukan perilaku seksual mereka. Perilaku seksual yang mereka lakukan juga dibagi menjadi tiga yaitu, sendiri, ranah publik, dan ranah private.

Bagan 1. Kerangka Pikir Orientasi Seksual

Homoseksual (lesbian & gay)

Perilaku Seksual

Konstruksi Sosial Heteroseksual

Pengaruh Media

Pola Asuh Orang tua

Kelompok Sebaya Lingkungan

Pasangan Bukan

Pasangan


(56)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode dalam penelitian sangat penting guna menunjang sebuah penelitian. Metode ini akan membantu peneliti dalam memberikan gambaran dan data-data yang diperlukan oleh penelti. Penelitian yang berjudul Pembentukan Perilaku Seksual Pada Pasangan Lesbian dan Gay ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif sebab metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Obyek dalam penelitian kualitatif adalah obyek yang alamiah, atau natutal setting, sehingga metode penelitian ini sering disebut sebagai metode naturalistik. Obyek yang alamiah adalah obyek yang apa adanya, tidak dimanipulasi oleh peneliti sehingga kondisi peneliti pada saat memasuki obyek, setelah berada di obyek dan setelah keluar dari obyek relatif tidak berubah (Sugiyono, 2013: 1-2).

Pendekatan penelitian ini menggunakan fenomenologi yaitu berusaha untuk mengungkapkan dan mempelajari serta memahami suatu fenomena beserta konteksnya yang khas dan unik yang dialami oleh individu hingga


(57)

tataran “keyakinan” individu yang bersangkutan. Dengan demikian, dalam mempelajari dan memahami, haruslah berdasarkan sudut pandang, paradigma dan keyakinan langsung dari individu yang bersangkutan sebagai subyek yang mengalami langsung (Herdiansyah, 2010: 66-67).

Sesuai dengan tradisi fenomenologi, penelitian ini dilakukan secara alamiah dengan kondisi yang direncanakan atau pun tidak terlibat langsung dengan kehidupan informan. Maka peneliti akan berusaha mengkaji dan memahami proses pembentukan perilaku seksual pada pasangan lesbian dan gay dan pola hubungan yang dibentuk oleh pasangan lesbian dan gay dalam menjalani hubungan mereka. Penelitian direncanakan dan mulai dilakukan sejak bulan Juni 2013, walaupun peneliti hanya sekedar melakukan pengamatan sebatas di permukaan saja guna membangun komunikasi dengan calon-calon informan. Pada saat itu, peneliti sudah memiliki tema dan niatan, akan tetapi belum mempunyai fokus kajian yang akan diteliti. Fokus kajian mulai muncul sejalan dengan melakukan kajian literatur mengenai tema homoseksual di Indonesia sekitar bulan November 2013. Pengambilan data penelitian dimulai pada akhir bulan Februari hingga awal April 2014.

Proses pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan observasi, analisis literatur dan wawancara dengan informan yang mempunyai orientasi seksual terhadap sesama jenis (perempuan terhadap perempuan dan laki-laki terhadap laki-laki). Peneliti akan mengamati secara langsung dan melakukan wawancara mendalam dengan semua informan di tempat yang sudah disepakati antara peneliti dengan informan. Wawancara secara mendalam


(58)

sangat membantu peneliti untuk mengetahui karakteristik informan sehingga teknik wawancara akan menyesuaikan karakteristik masing-masing informan untuk mendapatkan data yang akurat. Kemudian hasil wawancara akan dikoding, dianalisis dan dideskripsikan dengan bantuan teori yang mendukung.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di salah satu komunitas LGBT yang terletak di Yogyakarta yaitu di kantor PLU Satu Hati dan tempat yang disepakati antara peneliti dan informan antara kos informan dan tempat makan (Kolam Susu, Hoka-Hoka Bento, Lombok Abang, Parsley Resto). Dengan subyek atau informan penelitian yaitu kelompok homoseksual (Lesbian dan Gay) di Yogyakarta.

C. Waktu Penelitian

Kegiatan penelitian dan pengambilan data dilaksanakan dalam jangka waktu dua bulan, yaitu bulan Maret hingga April 2014.

D. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri. Oleh karena itu peneliti sebagai instrumen juga harus “divalidasi” seberapa jauh peneliti siap melakukan penelitian yang selanjutnya terjun ke lapangan. Validasi terhadap peneliti sebagai instrumen


(59)

meliputi validasi terhadap pemahaman metode penelitian kualitatif, penguasaan wawasan terhadap bidang yang diteliti, kesiapan peneliti untuk memasuki obyek penelitian, baik secara akademik maupun logistinya. Yang melakukan validasi adalah peneliti sendiri melalui evaluasi diri seberapa jauh pemahaman terhadap metode kualitatif, penguasaan teori dan wawasan terhadap bidang yang diteliti, serta kesiapan dan bekal memasuki lapangan (Sugiyono, 2013: 59).

Menurut sugiyono teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data (Sugiyono, 2013: 62).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yakni, pengamatan (observasi) dan wawancara (interview).

1. Pengamatan (Observasi)

Observasi yaitu melakukan pengamatan secara langsung ke obyek penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan. Apabila obyek penelitian bersifat perilaku dan tindakan manusia, fenomena alam, proses kerja, dan penggunaan responden kecil (Riduwan, 2010: 30).

Nasution (1988) menyatakan bahwa, observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi. Data itu dikumpulkan dan sering dengan bantuan berbagai alat yang sangat canggih, sehingga benda-benda yang sangat kecil (proton dan


(60)

elektron) maupun yang sangat jauh (benda ruang angkasa) dapat diobservai dengan jelas (Sugiyono, 2013: 64).

Observasi dilakukan terhadap pasangan lesbian dan gay yang ditemui oleh peneliti. Peneliti mulai melakukan pengamatan di lingkungan Kampus. Di sekitar kampus peneliti menemukan beberapa informan gay maupun lesbian yang kemudian dapat membantu peneliti mendapatkan informasi mengenai informan-informan lainnya. Kemudian peneliti mencoba mengikuti kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan homoseksual seperti, acara G-Nite (Pesta gay di klub malam) yang dikenalkan oleh salah satu informan sehingga informan lebih terbuka untuk memberikan data-data yang diperlukan. Ikatan pertemanan antara peneliti dan informan kemudian dibangun dengan cara peneliti ikut berkumpul bersama informan dan calon informan. Biasanya berkumpul untuk makan, jalan-jalan, hingga ngobrol baik masalah pertemanan, pribadi hingga masalah asmara mereka. Selain itu peneliti juga sering melakukan konsultasi di PLU Satu Hati yang merupakan salah satu komunitas LGBT di Yogyakarta, adapun kegiatan yang diikuti peneliti dalam komunitas adalah open house, nonton bareng film it gets better dan diskusi peringatan women day. Berdasarkan pola interaksi tersebut peneliti dapat dengan mudah mencari data-data yang diperlukan. Selama observasi berlangsung peneliti dapat mengetahui bagaimana kegiatan-kegiatan yang dilakukan pasangan lesbian dan gay tersebut. Pengamatan atau observasi yang menjadi fokus peneliti adalah lokasi penelitian,


(61)

interaksi subjek dengan pasangan, penampilan subjek dalam berpakaian, perilaku subjek dalam hal bersikap (body language), interaksi subjek dengan pasangan dan interaksi subjek dengan orang lain.

2. Wawancara (Interview)

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2007: 186).

Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, tetapi juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari informan yang lebih mendalam (Sugiyono, 2013: 72).

Berdasarkan uraian yang dikemukakan oleh Sugiyono (2013), jenis wawancara yang dialakukan peneliti adalah jenis wawancara semiterstruktur. Jenis ini sudah termasuk dalam kategori in-dept interview. Berikut beberapa ciri dari wawancara semiterstruktur:

a. Pertanyaan lebih terbuka, akan tetapi ada batasan tema dan alur pembicaraan.

b. Kecepatan wawancara dapat diprediksi.

c. Bersifat lebih fleksibel, tetapi terkontrol (dalam hal pertanyaan dan jawaban).


(62)

d. Ada pedoman wawancara yang akan menjadi patokan dalam alur, urutan, dan penggunaan kata.

e. Tujuan dari wawancara adalah untuk memahami suatu fenomena. Wawancara semiterstruktur disesuaikan dengan kondisi informan dan lokasi wawancara. Dalam pelaksanaannya lebih bebas bila dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Tujuan dari wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, di mana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat, dan ide-idenya. Dalam melakukan wawancara, peneliti perlu mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang dikemukakan oleh informan (Sugiyono, 2013: 73-74).

Wawancara yang dilakukan oleh peneliti dilakukan di tempat yang sudah disepakati antara peneliti dan informan. Beberapa tempat yang disepakati oleh peneliti dan informan antara lain kos informan dan tempat makan (Kolam Susu, Hoka-Hoka Bento, Lombok Abang, Parsley Resto). Pada saat wawancara, percakapan antara informan dan peneliti direkam menggunakan alat perekam suara yang telah disepakati oleh peneliti dan informan. Hal tersebut tidak mengganggu jalannya wawancara sebab hal-hal yang sekiranya tidak dapat dipublikasikan atas permintaan informan akan dijaga kerahasiaannya oleh peneliti. Mengenai waktu wawancara disesuaikan dengan aktivitas yang dijalani informan. Biasanya proses wawancara dilakukan malam hari karena diwaktu siang informan sibuk menjalani aktivitas sehari-hari.


(63)

E. Pemilihan Informan

Pada penelitian kualitatif, peneliti memasuki situasi sosial tertentu, melakukan observasi dan wawancara kepada orang-orang yang dipandang tahu tentang situasi sosial tersebut (Sugiono, 2013: 52). Populasi diidentifikasi adalah seluruh lesbian dan gay yang berada di Yogyakarta, sebab informan yang dibutuhkan adalah individu yang memiliki orientasi seksual sesama jenis (perempuan terhadap perempuan dan laki-laki terhadap laki-laki) baik yang sudah mengenal perilaku seksual maupun belum. Populasi dipersempit lagi menjadi sampel penelitian. Pada penelitian kualitatif tidak ada sampel acak, tetapi sampel bertujuan (purposive sampel) (Moleong, 2007: 224). Sesuai dengan tujuan penelitian maka peneliti menggunkan teknik purposive sampling. Artinya, teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu, misalnya orang tersebut dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi obyek/situasi sosial yang diteliti (Sugiono, 2013: 54). Kriteria informan yang dipilih sesuai dengan tujuan penelitian yaitu: individu yang memiliki orientasi terhadap sesama jenis dan pernah memiliki atau sedang memiliki pasangan sesama jenis. Penelitian ini akan melibatkan 11 informan yang terdiri dari lima informan lesbian dan enam informan gay dengan pertimbangan waktu dan biaya untuk menyelesaikan studi.


(1)

ibu menyebabkan anak perempuannya mencari kasih sayang dari perempuan lain.

e) Pengalaman heteroseksual yang tidak menyenangkan kemudian dikombinasikan dengan pengalaman homoseksual yang menyenangkan dapat membuat seseorang memilih identitas sebagai homoseksual.

f) Agen sosialisasi berpengaruh pada proses pembentukan orientasi seksual seseorang yang kemudian mengarah pada perilaku seksual yang dilakukan.

g) Adanya pengaruh pada kehidupan psikis, moral, dan sosial dalam diri seorang lesbian dan gay. Psikis berpengaruh kuat dalam hal minat individu pada lawan (pasangan) kemudian berkembang ke pola kencan yang lebih serius dan memilih pasangan. Moral berkaitan dengan munculnya konflik dari dalam diri (adanya pertimbangan) antara dorongan seks dengan aturan atau norma yang berlaku di dalam masyarakat. Sosial berkaitan dengan bagaimana seorang lesbian mencari teman baru, menjalin cinta, dan terikat ke dalam sebuah hubungan. h) Pasangan lesbian dan gay mulai meninggalkan label yang melekat pada

mereka. Mereka beranggapan bahwa suatu hubungan tidak bisa ditentukan dengan label yang mengikat mereka seperti laki-laki harus dengan perempuan di dalam aturan heteroseksual, akan tetapi perasaan cinta dan kasih sayang yang menentukan.

E. PENUTUP 1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian pembentukan perilaku seksual pada pasangan lesbian dan gay di Yogyakarta, peneliti dapat menyimpulkan bahwa:

a) Identitas lesbian dan gay tidak serta-merta muncul dan diterima begitu saja oleh seorang individu. Identitas tersebut muncul melalui tahap-tahap perkembangan identitas homoseksual. Hal ini terkait dengan proses seseorang menjadi lesbian dan gay. Semua informan memiliki


(2)

tahapan-tahapan yang berbeda-beda dan tidak semua informan mencapai tahapidentity syntesis(Penerimaan Seutuhnya Identitas). b) Perilaku seksual tersebut dibentuk karena proses belajar yang

dilakukan oleh seorang lesbian dan gay melalui media elektronik dan teman sejawatnya.

c) Faktor Pendorong Perilaku Seksual Pada Pasangan Lesbian dan Gay 1) Pola Asuh Orang Tua

2) Kelompok Sebaya 3) Media Massa

d) Faktor Penghambat Perilaku Seksual Pada Pasangan Lesbian dan Gay 1) Motivasi Pribadi

2) Keyakinan

3) Norma yang berlaku di lingkungan tempat tinggal

2. Saran

a) Perlu diberikannya pendidikan seks untuk menghindari resiko-resiko yang berdampak buruk pada pasangan lesbian dan gay.

b) Perlu diberikan sarana yang positif dalam memberikan penyaluran dorongan biologis melalui ekspresi psikologis dan penyaluran fisik yang sehat seperti olahraga, kegiatan untuk mencintai alam, kegiatan kreativitas dan pengembangan potensi dan bakat.

c) Lesbian dan gay yang berpacaran perlu menetapkan tujuan berpacaran supaya segala aktivitas yang dilakukan mempunyai arah yang jelas. Sehingga hubungan tidak selalu diarahkan kepada hubungan seksual.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abdulsyani. (2007). Sosiologi: Skematika, Teori, dan Terapan. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Anwar, Yesmil & Adang. (2013).Sosiologi untuk Universitas. Bandung: PT Refika Aditama.

Boellstorff, Tom. (2005).The Gay Archipelago (Seksualitas dan Bangsa di Indonesia).New Jersey: Princceton University Press.

Cass, V. C. (1979). Homosexual identity formation: A theoretical model. Journal of Homosexuality.

Craib, Ian. (1992).Teori-Teori Sosial Modern. Jakarta: Bumi Aksara. Crawford. (2000).Pengertian Lesbianisme. Jakarta: Bumi Aksara. Davion, Gerald C., Neale, John M., & Kring, ANN M. (2006).Psikologi

Abnormal. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Demartoto. (2013). Seks, Gender, dan Seksualitas Lesbian. Solo: Universitas Negeri Surakarta

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1977). Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen pendidikan dan kebudayaan.

Durand, V Mark., & Barlow, David H. (2007).Intisari Psikologi Abnormal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Erlangga John J. Macionis. (2008). Society the basics. United States of America: Prentice Hall.

Fausiah, Fitri., & Widury, Julianti. (2007).Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. Jakarta: UI-PRESS.

Gesti Lestari. (2012). Fenomena Homoseksual di kota Yogyakarta. Skripsi S1. Universitas Negeri Yogyakarta.

Hanifa Kartika Pertiwi. (2011).Fenomena Perilaku Seksual waria. Skripsi S1 Universitas Negeri Yogyakarta.

Haryanta, Agung Tri & Sujatmiko. (2012).Kamus Sosiologi. Surakarta: Aksara Sinergi Media.


(4)

Haryanto, Sindung. (2012).Spektrum Teori Sosial Dari Klasik Hingga Posmodern. Yogyakarta: AR-Ruzz Media.

Herdiansyah, Haris. (2010).Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta : Salemba Humanika

Ibhoed. (2014).Jomblo? Enggak Banget. Surabaya: G.A.Y.a Nusantara. James M. Henslin. (2006).Sosiologi dengan Pendekatan Membumi. Jakarta: Kadir, Hatib Abdul. (2007).Tangan Kuasa Dalam Kelamin: Telaah

Homoseks, Pekerja Seks, dan Seks Bebas di Indonesia. Yogyakarta: INSISTPress.

Kali, Amply. (2013).Diskursus Seksualitas Michel Foucault.Flores: Ledalero.

Kartono, Kartini. (2011).Patologi Sosial. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Kartono, Kartini. (1989).Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual.

Bandung: Bandar Maju.

Maliki, Zainuddin. (2012).Rekonstruksi Teori Sosial Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Miles, Matthew B., & Huberman, A. Michael. (2009).Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI-PRESS.

Moleong, Lexy J. (2007).Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Oetomo, Dede. (2001).Memberi Suara Pada Yang Bisu. Yogyakarta: Galang Printika

Okdinata. (2009). Religiusitas Kaum Homoseks: Studi Kasus Tentang Dinamika Psikologis Keberadaan Gay Muslim Di Yogyakarta. Skripsi S1. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Oxford Dictionary. (2003).Oxford Learner’s Pocket Dictionary New Edition. New York: Oxford University Press.

Poloma, Margaret M. (2004).Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.


(5)

Praptorahardjo. (1998). Laki-Laki’Pencinta’ Laki-Laki: Sebuah Kajian Tentang Kontruksi Sosial Perilaku Homoseksual. Skripsi S2 Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Puspita, Mertania. (2010).Fenomena Butch Dalam Teori Peran. Skripsi S1. Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata.

Rachmawati. (2011).Berbagi Suami: Menjadi Istri Gay. Skripsi S2. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Raharjo, Trubus. (2003).Hubungan Fantasi Seksual dan Lama Tinggal Terhadap Kecenderungan Perilaku Homoseksual Pada Siswa di Lingkungan Pergaulan yang Homogen di Pesantren. Skripsi S2. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Ratna, Nyoman Kutha. (2010).Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Riduwan. (2010).Skala pengukuran Variabel-Variabel Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Ritzer, George dan Barry Smart. (2012).Handbook Teori Sosial. Jakarta: Nusa Media.

Ritzer, George. (2013).The WILEY Blackwell Companion To Sociology. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ritzer, George., & Goodman, Douglas J. (2011).Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.

Ritzer, George., & Goodman, Douglas J. (2011).Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Bantul: Kreasi Wacana.

Sadena Febriana Suryatiningsih. (2013). Pembagian Peran Pada Pasangan Orientasi Seksual Sejenis yang Memiliki Komitmen Marriage-Like (Studi Eksploratif Terhadap Satu Pasangan Gay di Kota Bandung). Skripsi S1. Universitas Pendidikan Indonesia.

Siahaan, Jokie MS. (2009).Perilaku Menyimpang: Pendekatan Sosiologis. Jakarta: PT Indeks.

Sinta Arum Setya P. (2013). Fenomena Komunitas Kaum Lesbi di Kota Klaten. Skripsi S1. Universitas Negeri Yogyakarta.


(6)

Soekamto, Soerjono. (1990).Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Grafindo Persada.

Soetomo. (2008).Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Spencer, Colin. (2011).Sejarah Homoseksualitas: dari Zaman Kuno Hingga Sekarang. Bantul: Kreasi Wacana.

Sugiyono. (2013).Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Utama, Lingga Tri. (2013). Seksualitas Rasa Rainbow Cake: Memahami

Keberagaman Orientasi Seksual Manusia. Yogyakarta: Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY.