GAY : Kekerasan Seksual Sesama Pasangan di Kota Medan (Studi Deskriptif Life History pada Enam Orang Gay di Kota Medan)

(1)

Skripsi

GAY : KEKERASAN SEKSUAL SESAMA PASANGAN

DI KOTA MEDAN

(Studi Deskriptif Life History pada Enam Orang Gay di Kota Medan)

d i s u s u n Oleh :

MARTINUS ALFREDO MUNTHE 070901062

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(2)

ABSTRAKSI

Keberadaan kaum homoseksual terutama kaum gay di dunia termasuk di tengah-tengah masyarakat Indonesia beberapa tahun terakhir ini mendapat sorotan dari berbagai pihak terutama media massa. Hal ini dikarenakan berbagai kasus yang melibatkan kaum gay termasuk kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh kaum gay itu sendiri. Salah satunya adalah kasus kekerasan seksual yang terjadi di United Kingdom atau Inggris yang dilakukan oleh Pangeran Saudi Saud Abdulaziz bin Nasser al Saud kepada pasangan gaynya Bandar Abdulaziz yang menyebabkan kematian pada bulan Februari tahun 2010. Masih jelas juga dalam ingatan masyarakat Indonesia tentang kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Veri Idham Henyansyah alias Ryan terhadap Heri Santoso yang disebabkan oleh kecemburuannya terhadap korban yang jatuh hati pada pasangan gaynya Novel. Beranjak dari fakta-fakta kekerasan seksual di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “GAY : Kekerasan seksual Sesama Pasangan di Kota Medan (Studi Deskriptif Life History pada Enam Orang Gay di Kota Medan)”.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif dalam penelitian ini menggunakan studi life history dengan maksud untuk memperoleh data yang maksimal. Studi life history adalah suatu metode yang mengungkap riwayat hidup seseorang atau sekelompok orang baik secara menyeluruh maupun hanya aspek tertentu yang digambarkan secara rinci, multi faset dan cakrawala pandang yang luas dari interaksi seseorang atau sekelompok orang dengan lingkungan dan masyarakat tanpa batas ruang dan waktu. Studi life history dalam penelitian ini digunakan untuk meneliti gay di kota Medan. Life history yang dimaksudkan dalam penelitian ini dimulai semenjak informan telah mengambil keputusan untuk menjadi gay dan telah menyatakan dirinya sebagai gay sampai pada pengalaman melakukan kekerasan seksual ataupun mengalami kekerasan seksual.

Setelah melakukan penelitian pada enam orang gay maka ditemukan data bahwa kekerasan seksual tidak hanya terjadi pada pasangan heteroseksual saja, melainkan juga terjadi pada pasangan homoseksual yang dalam hal ini adalah kaum gay. Kekerasan seksual juga dilakukan dan dialami oleh gay, baik dari gay kelas atas, gay kelas menengah maupun gay kelas bawah. Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dilakukan dan dialami oleh kaum gay beraneka ragam, mulai dari menyulut rokok, menggigit puting payudara, memukul pantat dengan penggaris besi, menarik rambut dengan kuat, mencekik leher, pemaksaan hubungan seksual bahkan memasukkan benda tumpul ke dalam anus. Kekerasan seksual ini dilakukan dengan alasan fantasi seksual, kepuasan seksual, disuruh oleh pasangan gaynya, cemburu dan maniak seks.


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat, anugerah dan karunia-Nya yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan proses perkuliahan di Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, mulai dari semester pertama sampai pada penyusunan skripsi ini. Penulisan skripsi ini merupakan karya ilmiah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana dari Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, dengan judul : “GAY : Kekerasan Seksual Sesama Pasangan di Kota Medan (Studi Deskriptif Life History pada Enam Orang Gay di Kota Medan)”.

Skripsi ini secara khusus penulis persembahkan kepada kedua orangtua tercinta, Ayahanda A.H. Munthe (+) dan Ibunda S.M. Situmorang. Beribu-ribu ucapan terimakasih tidak akan dapat membalas setiap doa, dukungan, pengorbanan dan kasih sayang mereka yang telah diberikan kepada penulis sampai saat ini. Terlebih lagi pengorbanan mama yang sangat luar biasa kepada penulis setelah papa meninggal dunia pada saat penulis masih duduk di bangku TK (Taman Kanak-kanak). You are my everything mom, i love you more. Penulis bisa seperti sekarang ini karena mama. Nasehat mama agar penulis selalu disiplin, bertanggungjawab, menghargai waktu, belajar dengan giat, tekun dan sungguh-sungguh, mencintai dan menyayangi keluarga, takut akan Tuhan, saling membantu dan berbagi dengan sesama, serta selalu bersikap rendah hati akan selalu penulis ingat dan menjadi kemudi atau kendali bagi penulis dalam menjalani hidup ini. Mama adalah anugerah terindah yang penulis miliki. Penulis juga tidak lupa mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada saudara-saudari kandung penulis yang tersayang, Abangda Donatus Mario Munthe, Amd. dan Adinda Sartika Yohana Munthe, Amd. atas dukungan dan motivasi yang diberikan kepada


(4)

penulis selama ini. Terimakasih banyak juga kepada lae atau ipar penulis, Tulus Pardosi, S.Pi yang telah memberikan banyak masukan dan juga solusi kepada penulis. Penulis bangga memiliki keluarga seperti kalian. Love you all my little family.

Selama penyusunan skripsi ini, penulis banyak menerima saran, masukan, motivasi, dukungan dan bantuan dalam bentuk apapun. Oleh sebab itu dalam kesempatan yang berbahagia ini, penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si selaku Ketua Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. T. Ilham Saladin, M.Si selaku Sekretaris Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Rizabuana, M.Phil., Ph.D selaku dosen penasehat akademik sekaligus dosen pembimbing penulis yang selalu meluangkan waktunya untuk membimbing penulis di tengah-tengah kesibukan beliau yang cukup padat. Beliau senantiasa sabar dalam membimbing penulis hingga penulisan skripsi ini selesai. Berkat beliau penulis memperoleh banyak pengetahuan baru mengenai sistematika penulisan, metode penelitian dan hal-hal baru yang berkaitan dengan penyusunan skripsi. Beliau menjadi inspirasi bagi penulis karena selain menyandang gelar yang tinggi di dunia akademik, beliau juga merupakan pribadi yang rendah hati, ramah dan mau berinteraksi dengan siapa saja tanpa melihat latar belakang kehidupan seseorang. Sangat sedikit manusia seperti beliau. Penulis bangga dibimbing langsung oleh beliau. Terimakasih Pak.


(5)

6. Kak Fenni Khairifa, S.Sos, M.Si selaku staf administrasi di Departemen Sosiologi. Terimakasih atas segala bantuannya.

7. Kak Nurbaiti selaku pegawai pendidikan bagian Departemen Sosiologi. Terima kasih atas bantuannya selama ini.

8. Seluruh dosen di Departemen Sosiologi dan staf pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan berbagai materi kuliah selama penulis menjalani perkuliahan di kampus ini.

9. Bapak Uskup Keuskupan Sibolga Mgr. Ludovikus Simanullang, OFM, Cap. yang

telah memberikan bantuan materi kepada penulis.

10. Seluruh keluarga besar penulis mulai dari keluarga mama hingga keluarga papa yang selalu mendoakan dan memberikan motivasi kepada penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu. I love you all my big family.

11. Abangda Troy Sirait, S.Sos, Kakanda Natalie Barus, Jamie dan Tara yang telah memberikan semangat dan pengalaman-pengalaman baru kepada penulis. Thanks for everything brada and sistha.

12. Senior-senior penulis yang telah menjadi alumni maupun yang masih menyelesaikan studinya : bang Jordan Panggabean, S.Sos (01), mas Dedi Putera, S.Sos (01), kak Devy Juwita Sirait, S.Sos (02), bang Roy Spender, S.Sos (02). bang Ferdinan Delessed Girsang, S.Sos (03), kak Grace Simanullang, S.Sos (03), kak Eva Siboro, S.Sos (03), bang Risky Alfarisi Siregar, S.Sos (03), kak Asri Manihuruk, S.Sos (03), kak Krisma Munthe, S.Sos (03), bang Ilham, S.Sos (03), bang Benny, S.Sos (04), kak Reni Ensusi, S.Sos (04), kak Jeniwati, S.Sos (04), bang Alex, S.Sos (04) , bang Indra Antian Sitompul, S.Sos (05), kak Ade Rahma Ayu Siregar, S.Sos (05), kak Anaestasya S.M Bessie, S.Sos (05), kak Nina Karina Sitepu, S.Sos (05), bang Franklin Sitohang, S.Sos (05), bang Eko Lase, S.Sos (05), bang Deddy Sinaga, S.Sos


(6)

(05), kak Novalia, S.Sos (05), kak Twince, S.Sos (05), bang Purnawan (05), kak Gorenty Okseva Manurung (05), bang John Anggredy Sitio (06), bang Prabu Tamba (06), bang Herbin (06), bang Chandra (06), bang Riandiko (06), Fitria Widya Lestari (06) dan senior-senior lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih buat kebersamaan dan semangatnya selama ini. Semoga kita menjadi orang yang berhasil dan berguna untuk masyarakat luas. Amin.

13. Untuk rekan-rekan satu stambuk dan seperjuangan penulis : Lia Lidia Saragih, Ester Novita Sari, Romaito Siregar, Puteri Atika, Adrian Tarigan, Royan Prayudie, Neko Harada, Lestari Nova Marbun, Helen Siahaan, Bertha Mekha, Jefri, Bonny Sembiring, Ester Verawaty Pasaribu, Mutiara Ginting, Evi Era Michalta, Shanty Murni Zebua, Aspipin Sinulingga, Maya Lestari, Ayu, Martogi, Muhammad Rizky Ananda, Rizky Ramadhani, Dini, Emby Wemsky, Muhammad Ridwan, Ngadino, Hadi Syahputera, Oslen dan kawan-kawan. Terimakasih banyak buat kebersamaan kita selama ini. Banyak hal yang telah kita lewati bersama selama menjalani perkuliahan di kampus tercinta. Terimakasih juga karena telah memberikan sumbangan pemikiran dan motivasi kepada penulis.

14. Junior-junior penulis di Departemen Sosiologi :

Stambuk 08 : Yolanda Hutauruk, Dian Siallagan, Iyuth, Grace Sinambela, Hendra Hutagalung, Riama Siringo-ringo, Desi Manalu, Dicky Handika, Vanny, Shanty JV, Ricky, Ratih, Pipit, Burhan, Richat, Evelyn, Arman Silalahi, Belman Siagian, Berlin, Octa Virna Saragih, Frina Simanungkalit, Wistin, Giovani, Poibe, Sylvia, Judika, Robby, Rizal, Nari, Raja Bako, Salmen, Lia, Enita, Bram, Reny, Lenny, Vera, Bresman, Dicky Eko, Rudy, Shahrul, Gusnimar, Amos Pasaribu dan kawan-kawan. Stambuk 09 : Ledy Yakin Ambarita, Lydia Melisa Bukit, Bertha Ramona, Tombos, Risky Tuahta Tarigan dan kawan-kawan.


(7)

Stambuk 10 : Agusta Bancin, Dian Sinambela, Hening Kinasih, Natalia, Angel, Rina, Veby, Johan, Sonya, Indra, Gabriel, Sumani, Dendri, Ribel, Yamin, Tri Quari Handayani, Yolanda, Melisa, Waren, Yolanda, Sri, Yoga, Syurman dan kawan-kawan.

Stambuk 2011 : Rency, Icha, Rio, Evan, Doddy, Prana, Kathy, Brenda, Joana, Aidil, Natanael Ketaren, Ega, Banny dan kawan-kawan.

Terima kasih buat doa dan dukungannya kepada penulis.

15. Rekan-rekan visioner : Bang Dudex Acun Syah Nasution, Zulva, Fandhy Siregar, Dorthy Silalahi, Yansen Ozy Sihotang, Aditya Baratayuda, Agnes Margaretha, Angel Lase, Juliana Hutagalung dan Alex Manalu. Thanks for our friendship.

16. Sahabatku Alfred yang telah menjadi media atau sarana penghubung antara penulis dengan informan.

17. Keenam informan yang telah berbagi kisah hidup dengan penulis.

18. Semua pihak yang turut serta membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih buat bantuan dan kerjasamanya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini belumlah sempurna adanya. Untuk itu penulis mengharapkan masukan dari para pembaca sekalian dalam bentuk kritik dan saran yang cukup membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih banyak.

Medan, Desember 2011 Penulis,


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAKSI ... ... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 11

1.3 Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Manfaat Penelitian ... 12

1.5 Defenisi Konsep ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Homoseksualitas dalam Buku Memberi Suara pada yang Bisu ….…... 21

2.1.1 Pola Hubungan, Identitas Diri dan Perilaku Seksual Gay ……… 22


(9)

2.2 Studi Homoseksualitas dalam Buku HASRAT PEREMPUAN, Relasi Seksual Sesama Perempuan dan Praktek Perempuan Transgender di

Indonesia ………... 26

2.3 Proses Pengambilan Keputusan Menjadi Gay dalam Jurnal Pengambilan Keputusan Menjadi Homoseksual pada Laki-laki Usia Dewasa Awal ……….. 28

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ……….… 31

3.2 Lokasi Penelitian ………... 33

3.3 Unit Analisis dan Informan ……….. 33

3.3.1 Unit Analisis ……… 33

3.3.2 Informan ……….. 33

3.4 Teknik Pengumpulan Data ………... 36

3.5 Interpretasi Data ……….... 38

3.6 Keterbatasan Penelitian ……….... 39

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Kota Medan ………. 41

4.2 Letak Geografis Kota Medan ……….. ... . 47


(10)

BAB V PROFIL INFORMAN DAN LIFE HISTORY INFORMAN

5.1 JS (Gay Kelas Atas yang Pernah Melakukan Kekerasan Seksual kepada Pasangan Gaynya) ... 54 5.1.1 Profil Informan ... 54 5.1.2 Life History Informan ... 55

5.2 AA (Gay Kelas Menengah yang Pernah Melakukan Kekerasan Seksual kepada Pasangan Gaynya) ... 67

5.2.1 Profil Informan ... 67 5.2.2 Life History Informan ... 67

5.3 TB (Gay Kelas Bawah yang Pernah Melakukan Kekerasan Seksual kepada

Pasangan Gaynya) ……….... 77 5.3.1 Profil Informan ……….… 77 5.3.2 Life History Informan ……….. 77 5.4 JP (Gay Kelas Atas yang Pernah Mengalami Kekerasan Seksual dari Pasangan Gaynya) ………..……….. 87

5.4.1 Profil Informan ……….… 87 5.4.2 Life History Informan ………... 88 5.5 GA (Gay Kelas Menengah yang Pernah Mengalami Kekerasan Seksual dari Pasangan Gaynya) ... 98

5.5.1 Profil Informan ... 98 5.5.2 Life History Informan ... 99


(11)

5.6 FH (Gay Kelas Bawah yang Pernah Mengalami Kekerasan Seksual dari

Pasangan Gaynya) ... 109

5.6.1 Profil Informan ... 109

5.6.2 Life History Informan ... 109

BAB VI INTERPRETASI DATA 6.1 Proses Pengambilan Keputusan Menjadi Gay ... 113

6.2 Perbedaan Gay dan Waria ... 114

6.3 Pola Hubungan, Identitas Diri dan Perilaku Seksual Gay ... 117

6.3.1 Pola Hubungan Gay ... 117

6.3.2 Identitas Diri Gay ... 119

6.3.3 Perilaku Seksual Gay ... 121

6.4 Hubungan Pacaran pada Gay ... 125

6.5 Kekerasan Seksual pada Gay ... 128

6.6 Gay dalam Sudut Pandang Sosiologi ... 133

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ... 136

7.2 Saran ... 138


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Daftar Nama Informan ... 35

Tabel 2 Luas Wilayah Kota Medan ... 47

Tabel 3 Penduduk Kota Medan Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin Tahun 2009 ... 51

Tabel 4 Pola Hubungan Gay ... 119

Tabel 5 Perilaku Seksual Gay ... 122

Tabel 6 Gay yang Melakukan Kekerasan Seksual kepada Pasangannya ... 129

Tabel 7 Gay yang Mengalami Kekerasan Seksual dari Pasangannya ... 131


(13)

ABSTRAKSI

Keberadaan kaum homoseksual terutama kaum gay di dunia termasuk di tengah-tengah masyarakat Indonesia beberapa tahun terakhir ini mendapat sorotan dari berbagai pihak terutama media massa. Hal ini dikarenakan berbagai kasus yang melibatkan kaum gay termasuk kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh kaum gay itu sendiri. Salah satunya adalah kasus kekerasan seksual yang terjadi di United Kingdom atau Inggris yang dilakukan oleh Pangeran Saudi Saud Abdulaziz bin Nasser al Saud kepada pasangan gaynya Bandar Abdulaziz yang menyebabkan kematian pada bulan Februari tahun 2010. Masih jelas juga dalam ingatan masyarakat Indonesia tentang kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Veri Idham Henyansyah alias Ryan terhadap Heri Santoso yang disebabkan oleh kecemburuannya terhadap korban yang jatuh hati pada pasangan gaynya Novel. Beranjak dari fakta-fakta kekerasan seksual di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “GAY : Kekerasan seksual Sesama Pasangan di Kota Medan (Studi Deskriptif Life History pada Enam Orang Gay di Kota Medan)”.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif dalam penelitian ini menggunakan studi life history dengan maksud untuk memperoleh data yang maksimal. Studi life history adalah suatu metode yang mengungkap riwayat hidup seseorang atau sekelompok orang baik secara menyeluruh maupun hanya aspek tertentu yang digambarkan secara rinci, multi faset dan cakrawala pandang yang luas dari interaksi seseorang atau sekelompok orang dengan lingkungan dan masyarakat tanpa batas ruang dan waktu. Studi life history dalam penelitian ini digunakan untuk meneliti gay di kota Medan. Life history yang dimaksudkan dalam penelitian ini dimulai semenjak informan telah mengambil keputusan untuk menjadi gay dan telah menyatakan dirinya sebagai gay sampai pada pengalaman melakukan kekerasan seksual ataupun mengalami kekerasan seksual.

Setelah melakukan penelitian pada enam orang gay maka ditemukan data bahwa kekerasan seksual tidak hanya terjadi pada pasangan heteroseksual saja, melainkan juga terjadi pada pasangan homoseksual yang dalam hal ini adalah kaum gay. Kekerasan seksual juga dilakukan dan dialami oleh gay, baik dari gay kelas atas, gay kelas menengah maupun gay kelas bawah. Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dilakukan dan dialami oleh kaum gay beraneka ragam, mulai dari menyulut rokok, menggigit puting payudara, memukul pantat dengan penggaris besi, menarik rambut dengan kuat, mencekik leher, pemaksaan hubungan seksual bahkan memasukkan benda tumpul ke dalam anus. Kekerasan seksual ini dilakukan dengan alasan fantasi seksual, kepuasan seksual, disuruh oleh pasangan gaynya, cemburu dan maniak seks.


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Keberadaan gay, lesbian dan biseksual di dunia ini sebenarnya sudah ada sejak lama termasuk di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Namun beberapa tahun terakhir ini keberadaan gay menjadi sorotan berbagai media di dunia dikarenakan berbagai kasus yang melibatkan kaum gay termasuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh kaum gay itu sendiri. Salah satunya adalah kekerasan seksual yang dilakukan oleh Pangeran Saudi Saud Abdulaziz bin Nasser al Saud kepada pasangan gaynya Bandar Abdulaziz di United Kingdom atau Inggris sehingga menyebabkan kematian pada bulan Februari tahun 2010. Dalam persidangan kasus ini diketahui bahwa selama kurang lebih 3 - 4 tahun Pangeran Saudi Saud Abdulaziz bin Nasser al Saud memukul Bandar Abdulaziz dengan keras sebelum melakukan hubungan seksual ala kaum gay. Para ahli yang mengikuti persidangan tersebut mengatakan bahwa pemukulan yang dilakukan oleh Pangeran Saudi Saud Abdulaziz bin Nasser al Saud sebelum melakukan hubungan seksual mengandung sebuah “unsur seksual”

yang memberikan kepuasan tersendiri kepada si pelaku

diakses Selasa/08


(15)

Di Indonesia kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang gay kepada pasangan gaynya juga sering terjadi walaupun belum terbongkar secara vulgar atau terang-terangan ke ranah publik. Namun dalam beberapa media massa seperti internet dan majalah (majalah kaum gay yaitu Gaya Nusantara), kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang gay kepada pasangan gaynya sering menjadi berita panas apalagi disertai dengan pengakuan dari beberapa gay yang menjadi korban kekerasan seksual dari pasangan gay mereka. Masih jelas dalam ingatan masyarakat Indonesia ketika terjadi kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Veri Idham Henyansyah alias Ryan. Ryan terbukti membunuh bahkan memutilasi Heri Santoso karena merasa cemburu dan tidak senang kepada korban yang menaruh hati pada pacar sesama jenisnya Novel. Ryan memukul Heri dengan besi dan menusuknya dengan pisau kemudian memotong-motong tubuh Heri menjadi tujuh potongan. Hal yang lebih mengejutkan adalah sebelumnya Ryan juga pernah melakukan pembunuhan dan mayat korbannya dikubur di belakang rumahnya. Dari kesebelas korbannya, sembilan orang adalah gay. Selain kasus Ryan, kasus yang juga pernah menggemparkan masyarakat Indonesia adalah kekerasan seksual yang dilakukan oleh tujuh orang polisi Sektor Banda Raya, Banda Aceh pada pasangan gay, yaitu Hartoyo dan Bobby. Pasangan gay ini dipaksa untuk membuka pakaian sampai telanjang, selanjutnya mereka dipukuli. Dengan tubuh penuh luka dan tanpa pakaian, mereka dipaksa untuk melakukan oral, anal seks dan onani. Mereka juga disemprot air dan kepala mereka ikut dikencingi. Bahkan ada salah satu anggota kepolisian yang menodongkan senapan laras panjang pada kemaluan mereka (Utomo dalam Buletin DEPORT, 2008). Hal ini tentunya menjadi fakta yang menyatakan bahwa kekerasan


(16)

seksual yang dilakukan oleh seorang gay kepada pasangan gaynya juga terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Sangat mencengangkan ketika mengetahui fakta bahwa kekerasan seksual bukan saja dilakukan oleh pasangan heteroseksual atau pasangan normal (laki-laki dan perempuan) tetapi juga dilakukan oleh pasangan homoseksual (yang dalam hal ini adalah gay).

Jumlah kekerasan seksual yang terjadi pada pasangan gay juga mengalami peningkatan setiap tahunnya. Secara lebih jauh bahkan disebutkan oleh Garbo dalam penelitiannya tahun 1999 bahwa sekitar 45% korban kekerasan seksual berasal dari ras Kaukasian, 17% dari ras Latin, 11% dari ras Afrika-Amerika dan 4% dari Asia. Sedangkan 44% korban kekerasan seksual berusia antara 33 sampai 44 tahun, 21% berusia antara 23 sampai 29 tahun, 12% berusia antara 45 sampai 64 tahun, 4% berusia antara 18 sampai 22 tahun dan 1% berusia di bawah 18 tahun atau di atas 65 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pria yang mengalami kekerasan seksual berasal dari berbagai etnis terutama dari ras Kaukasian dan paling banyak terjadi pada pasangan dewasa madya (Garbo, 2000).

Salah satu faktor pemicu terbesar terjadinya kekerasan seksual pada pasangan gay adalah saat salah satu pasangannya didiagnosa mengidap HIV. Pengakuan yang diceritakan menciptakan kemarahan kepada gay yang didiagnosa mengidap HIV sehingga kekerasan seksual terjadi. Sisa kasus terjadi karena konflik yang memang biasa terjadi pada pasangan mana saja, termasuk masalah cemburu dan posesif dimana gay dikenal lebih posesif dibandingkan individu heteroseksual (Davidson, 1997 dan Spindle, 2003).


(17)

Kasus kekerasan seksual pada pasangan gay sangat sulit dideteksi. Hal ini dikarenakan ketertutupan mereka dalam menjaga identitas dan orientasi seksual mereka dalam masyarakat. Publik sendiri yang mengetahui hal ini kebanyakan terkejut karena tidak terlintas sedikitpun dalam benak mereka bahwa kekerasan seksual bias terjadi pada pasangan gay (Spindle, 2003). Kekerasan seksual yang terjadi pada pasangan gay seringkali mengakibatkan hal yang lebih fatal dibandingkan pada pasangan heteroseksual. Beberapa kasus dilaporkan pernah terjadi dengan melibatkan penggunaan senjata seperti senapan sehingga mengakibatkan luka serius dan bahkan kematian (Barnes, 2003).

Kekerasan seksual lainnya bisa diakibatkan karena pengkonsumsian alkohol sehingga mengakibatkan pihak agresor mabuk. Kekerasan seksual yang terjadi biasanya adalah pemaksaan hubungan seksual. Kekerasan seksual yang terjadi sangat bervariasi mulai dari pemaksaan ciuman sampai pemaksaan penetrasi. Selain pengkonsumsian alkohol, kekerasan seksual juga bisa terjadi karena pihak agresor menggunakan beberapa taktik, antara lain seperti :

1. ancaman pemutusan hubungan 2. berbohong

3. pemberian janji palsu

4. ancaman penggunaan kekerasan 5. ancaman penggunaan senapan


(18)

Hanya saja karena ketertutupan yang mereka lakukan, maka sangat sulit bagi gay yang mengalami tindak kekerasan seksual untuk meminta pertolongan kepada orang lain. Biasanya reaksi yang tidak mereka harapkan justru terjadi dari orang yang diminta pertolongan saat mengetahui bahwa kekerasan seksual tersebut terjadi dalam konteks hubungan homoseksual yaitu gay (Waldner-Haugrud dan Gratch, 1997).

Fakta lain yang terjadi adalah bahwa yang menjadi agresor pada saat kekerasan seksual terjadi belum tentu dilakukan oleh gay yang memiliki sifat lebih maskulin. Kadang kala gay yang lebih kecil dan lemah yang justru sanggup melakukannya. Jika seorang lesbian mengalami tindak kekerasan seksual, maka dia bisa mengadu pada kelompok perlindungan wanita. Sebaliknya seorang gay akan mengalami kebingungan karena mereka tidak bisa melakukan hal yang sama ketika mengalami tindak kekerasan seksual tersebut (Davidson, 1997).

Ada 3 faktor kemungkinan penyebab seseorang menjadi gay

diakses Selasa/08 Februari 2011, pukul

10.10 WIB). Hal ini sedikit banyaknya mempengaruhi seorang gay untuk melakukan kekerasan seksual kepada pasangan gaynya, yaitu :

1. Biologis

Kombinasi atau rangkaian tertentu di dalam genetik seperti susunan kromosom, struktur otak, ketidakseimbangan hormon dan kelainan susunan syaraf diperkirakan mempengaruhi seseorang menjadi gay. Namun faktor biologis yang


(19)

mempengaruhi seseorang menjadi gay ini masih terus-menerus diteliti dan dikaji lebih lanjut oleh para pakar di bidangnya.

2. Lingkungan

Lingkungan diperkirakan turut mempengaruhi seseorang menjadi gay. Faktor lingkungan ini terdiri atas :

1. Budaya / Adat Istiadat

Pada dasarnya budaya dan adat istiadat yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat tertentu sedikit banyak mempengaruhi pribadi masing-masing orang dalam kelompok masyarakat tersebut. Demikian pula dengan budaya dan adat istiadat yang mengandung unsur homoseksualitas dapat mempengaruhi seseorang menjadi gay. Mulai dari cara berinteraksi dengan lingkungan, nilai-nilai yang dianut, sikap, pandangan maupun pola pemikiran tertentu terutama berkaitan dengan orientasi, tindakan dan identitas seksual seseorang.

2. Pola Asuh

Cara mengasuh seorang anak juga dapat mempengaruhi seseorang menjadi gay. Sejak dini seorang anak telah dikenalkan pada identitas mereka sebagai seorang pria atau perempuan. Pengenalan identitas diri ini tidak hanya sebatas pada sebutan namun juga pada makna di balik sebutan pria atau perempuan tersebut, yang meliputi :

1. Kriteria penampilan fisik : pemakaian baju, penataan rambut, perawatan tubuh yang sesuai dan sebagainya.


(20)

2. Karakteristik fisik : perbedaan alat kelamin pria dan wanita. Pria pada umumnya memiliki kondisi fisik yang lebih kuat dibandingkan dengan wanita. Pria pada umumnya tertarik dengan kegiatan-kegiatan yang mengandalkan tenaga atau otot kasar sementara wanita pada umumnya lebih tertarik pada kegiatan-kegiatan yang mengandalkan otot halus.

3. Karakteristik sifat : pria pada umumnya lebih menggunakan logika atau pikiran sementara wanita pada umumnya cenderung lebih menggunakan perasaan dan emosi. Pria pada umumnya lebih menyukai kegiatan-kegiatan yang membangkitkan adrenalin, menuntut kekuatan dan kecepatan, sementara wanita lebih menyukai kegiatan-kegiatan yang bersifat halus, menuntut kesabaran dan ketelitian.

4. Karakteristik tuntutan dan harapan : untuk masyarakat yang menganut sistem paternalistik maka tuntutan bagi para pria adalah untuk menjadi kepala keluarga dan bertanggung jawab atas kelangsungan hidup keluarganya. Dengan demikian pria dituntut untuk menjadi figur yang kuat, tegar, tegas, berani, dan siap melindungi yang lebih lemah (seperti istri dan anak-anak). Sementara untuk masyarakat yang menganut sistem maternalistik maka berlaku sebaliknya bahwa wanita dituntut untuk menjadi kepala keluarga.


(21)

3. Figur orang yang berjenis kelamin sama dan relasinya dengan lawan jenis. Dalam proses pembentukan identitas seksual, seorang anak pertama-tama akan melihat pada orangtua mereka sendiri yang berjenis kelamin sama dengannya. Anak laki-laki melihat pada ayahnya dan anak perempuan melihat pada ibunya. Kemudian mereka juga melihat pada teman bermain yang berjenis kelamin sama dengannya. Homoseksual terbentuk ketika anak-anak ini gagal mengidentifikasi dan mengasimilasi apa, siapa dan bagaimana menjadi dan menjalani peran sesuai dengan identitas seksual mereka berdasarkan nilai-nilai universal pria dan wanita. Kegagalan mengidentifikasi dan mengasimilasi identitas seksual ini dapat dikarenakan figur yang dilihat dan menjadi contoh untuknya tidak memerankan peran identitas seksual mereka sesuai dengan nilai-nilai universal yang berlaku. Misalnya, ibu yang terlalu mendominasi dan ayah yang tidak memiliki ikatan emosional dengan anak-anaknya. Ayah tampil sebagai figur yang lemah dan tidak berdaya atau orang tua yang homoseksual.

4. Kekerasan Seksual dan Pengalaman Traumatik

Kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab terhadap orang lain yang berjenis kelamin sama adalah salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang menjadi gay. Banyak hal yang menyebabkan seseorang melakukan kekerasan seksual semacam ini, antara lain :


(22)

1. Hasrat seksual / nafsu 2. Fantasi seksual

3. Pelampiasan kemarahan / dendam

4. Ajang ngerjain orang, seperti : perpeloncoan dari senior kepada junior, ngerjain teman yang culun dan sebagainya.

Pada dasarnya semua orang yang melakukan hubungan seksual terhadap orang lain tanpa adanya persetujuan dari orang tersebut sudah termasuk ke dalam kategori melakukan kekerasan seksual. Bentuk kekerasan seksual yang dilakukan sangat bervariasi. Mulai dari memegang alat kelamin sesama jenis, menginjak-injak, memaksa untuk melakukan sesuatu hal terhadap alat kelaminnya sendiri maupun alat kelamin si pelaku, hingga menggunakan alat-alat tertentu sebagai media dalam melakukan kekerasan seksual. Kekerasan seksual seperti ini menempatkan korban dalam sebuah situasi yang sangat ekstrim, tidak menyenangkan, mengancam jiwa, tidak aman, meresahkan, kacau dan membingungkan. Ini menjadi sebuah pengalaman traumatik dalam diri korban. Pengalaman demikian dapat mengganggu kondisi psikologis korban. Ia berusaha untuk menghindari ingatan mengenai kejadian tersebut yang membuatnya sangat tidak nyaman dan sangat terluka atau "sakit". Setiap hal yang memicu ingatannya terhadap kejadian tersebut membuatnya menjadi sangat resah. Kadang muncul rasa marah dan seringkali baik disadari maupun tanpa disadari korban melakukan upaya


(23)

untuk merusak atau "menyakiti" dirinya sendiri. Hal ini dinamakan trauma psikologis atau pengalaman traumatik. Pengalaman traumatik tidak hanya terbatas pada mengalami kekerasan seksual. Melihat seseorang yang melakukan kekerasan seksual ataupun melakukan hubungan homoseksual juga dapat menjadi sebuah pengalaman traumatik bagi seseorang.

3. Interaksi antara biologis dan lingkungan

Faktor biologis dan lingkungan berkontribusi terhadap orientasi seksual. Lingkungan turut mengambil bagian dan bukan semata-mata pilihan dari seseorang untuk menjadi gay. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan seseorang (faktor lingkungan) dikombinasikan dengan rangkaian genetik (faktor biologis) yang mempengaruhi persepsi, maka secara keseluruhan akan menumbuhkan atau membentuk seseorang menjadi gay.

Kota Medan sebagai salah satu kota besar di Indonesia yang menuju kota metropolitan terindikasi sebagai salah satu kota yang keberadaan gaynya cukup banyak setelah Surabaya dan Jakarta. Keberadaan gay di Kota Medan tentunya sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat Kota Medan. Hal ini dikarenakan adanya beberapa tempat di Kota Medan yang diidentikkan sebagai tempat berkumpulnya para gay Medan, seperti Jalan Iskandar Muda, Jalan Pelangi, Jalan Garuda, Medan Plaza, Sun Plaza, Hotel Tiara, Warkop Elisabeth, Warkop Harapan, Warkop Panca Budi dan beberapa club malam di Kota Medan, seperti Retro, Tobasa, LG dan


(24)

sebagainya. Berdasarkan fakta-fakta di atas mengenai kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang gay kepada pasangan gaynya dan juga dikarenakan Medan sebagai salah satu kota besar di Indonesia yang diyakini keberadaan gaynya cukup banyak, maka peneliti tertarik untuk meneliti gay di Kota Medan dari aspek kekerasan seksual.

1.2Perumusan Masalah

Hal yang sangat penting untuk memulai suatu penelitian adalah adanya masalah yang akan diteliti. Agar penelitian dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka peneliti harus merumuskan masalahnya dengan jelas sehingga akan jelas bagi peneliti dari mana harus mulai, ke mana harus pergi dan dengan apa (Arikunto, 2006). Berdasarkan uraian tersebut di atas dan berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan oleh peneliti, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

Bagaimanakah bentuk-bentuk kekerasan seksual yang pernah dilakukan dan dialami oleh gay di Kota Medan?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

Untuk mengetahui bentuk-bentuk kekerasan seksual yang pernah dilakukan dan dialami oleh gay di Kota Medan.


(25)

1.4Manfaat Penelitian

Setiap penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat baik untuk diri sendiri maupun orang lain, terlebih lagi untuk ilmu pengetahuan. Oleh karena itu manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

Untuk menambah pengetahuan peneliti mengenai kekerasan seksual pada gay dan bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dilakukan dan dialami oleh gay, sebagai bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya, serta bermanfaat dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial khususnya Ilmu Sosiologi.

2. Manfaat Praktis

Memberikan sumbangan pengetahuan dalam bentuk bacaan untuk memperkaya wawasan setiap individu yang membaca hasil penelitian ini dan menjadi bahan evaluasi diri bagi para gay itu sendiri.

1.5 Definisi Konsep

Konsep adalah istilah yang terdiri dari satu kata atau lebih yang menggambarkan suatu gejala atau menyatakan suatu ide maupun gagasan. Untuk mengetahui penjelasan maksud, pengertian dan kesalahpahaman penafsiran, maka diperlukan batasan konsep yang digunakan. Adapun yang menjadi batasan konsep dalam penelitian ini adalah :


(26)

1. Homoseksual

Pada awalnya istilah homoseksual digunakan untuk mendeskripsikan seorang pria yang memiliki orientasi seksual terhadap sesamanya. Namun dalam perkembangannya, istilah homoseksual digunakan untuk mendefinisikan sikap seorang individu (pria maupun wanita) yang memiliki orientasi seksual terhadap sesamanya. Adapun ketika seorang pria memiliki orientasi seksual terhadap sesama pria maka fenomena tersebut dikenal dengan istilah gay, sementara fenomena wanita yang memiliki orientasi seksual terhadap sesamanya disebut lesbian. Baik gay maupun lesbian, keduanya memiliki citra yang negatif dalam masyarakat.

Kajian mengenai homoseksual dapat ditinjau dari tiga aspek, yaitu antara lain : orientasi seksual, perilaku seksual dan identitas seksual. Ditinjau dari aspek orientasi seksual, maka homoseksual adalah ketertarikan maupun hasrat untuk terlibat secara seksual terhadap orang yang berjenis kelamin sama. Ditinjau dari aspek perilaku seksual, maka homoseksual mengandung pengertian sebagai sebuah perilaku maupun kegiatan seksual antara dua orang yang berjenis kelamin sama. Ditinjau dari aspek identitas seksual, maka homoseksual mengarah pada identitas sebagai gay maupun lesbian. Jika ditinjau secara keseluruhan maka gay adalah bentuk homoseksual yang keseluruhan aspek tersebut berada dalam konteks sesama pria.


(27)

Pada dasarnya pembahasan mengenai homoseksualitas juga mencakup fenomena kaum gay. Atas dasar tersebut, maka setiap kajian mengenai homoseksualitas dapat mencakup kajian mengenai gay. Ditinjau dari jenis-jenisnya, maka homoseksualitas dalam kajian gay terdiri dari empat macam, yaitu :

1. Homoseksualitas pertumbuhan

Homoseksualitas pertumbuhan adalah homoseksualitas yang bersifat sementara. Homoseksualitas ini sangat singkat dan terjadi dalam masa pertumbuhan anak. Pada masa pubertas anak mulai mengalihkan perhatiannya dari orangtua kepada orang lain. Namun ketika seorang anak laki-laki belum berani kepada seorang gadis, maka ia dapat mengarahkan seksualnya kepada teman lelakinya yang sebaya. Dalam homoseksualitas pertumbuhan tidak harus terjadi perbuatan-perbuatan seksual, walaupun terkadang terjadi tindakan seksual tertentu seperti masturbasi berdua. 2. Homoseksualitas darurat

Sama halnya dengan homoseksualitas pertumbuhan, homoseksualitas darurat juga bersifat sementara. Homoseksualitas darurat terjadi karena tidak adanya kesempatan untuk melakukan hubungan heteroseksual. Dalam kondisi tersebut, seorang anak laki-laki yang tidak memiliki kesempatan melakukan hubungan heteroseksual akan beralih kepada perilaku homoseksual. Gejala ini akan berhenti ketika kesempatan untuk melakukan hubungan heteroseksual muncul.


(28)

3. Pseudohomoseksualitas

Pseudohomoseksualitas lebih bersifat melayani seorang homoseksual karena alasan keuangan maupun memiliki ketergantungan terhadap seorang homoseksual tersebut. Ketika seorang pria berada dalam tekanan ekonomi dan seorang homoseksual mampu memberikan jaminan ekonomi kepadanya, maka ia dapat melakukan hubungan homoseksual demi jaminan ekonomi tersebut.

4. Homoseksualitas kecenderungan

Homoseksualitas ini sangat dipengaruhi oleh pembawaan seseorang. Jika seorang pria berada dalam keluarga yang mempunyai banyak anggota keluarga yang homoseksual, maka ia dapat turut melakukan hubungan homoseksual.

2. Gay

Gay adalah seorang pria atau laki-laki yang memiliki orientasi seksual sesama jenis atau ketertarikan seksual terhadap jenis kelamin yang sama. Dengan kata lain menyukai pria atau laki-laki secara emosional dan seksual. Gay bukan hanya menyangkut kontak seksual antara seorang laki-laki dengan laki-laki yang lain tetapi juga menyangkut individu yang memiliki kecenderungan psikologis, emosional dan sosial terhadap laki-laki yang lain. Gay tetap mengakui identitas jenis kelaminnya sebagai laki-laki, namun orientasi seksualnya ditujukan kepada laki-laki.


(29)

3. Pasangan Gay

Pasangan gay adalah dua orang gay yang menjalin hubungan dalam suatu ikatan emosional dan seksual. Hal ini dikenal dengan istilah “BF (Boy Friend)”. Pada kaum gay identitas hubungan seksual sangat penting untuk diketahui karena hal tersebut membantu bagi seorang gay untuk mencari tipe pasangan yang diinginkan. Perlu diketahui bahwa pola hubungan seksual pada gay mempunyai tiga bentuk, antara lain top, bottom dan fire style. Top merupakan salah satu bentuk hubungan seksual dimana seorang gay hanya bisa menyodomi dan tidak mau disodomi. Kebalikannya adalah bottom, dimana seorang gay hanya bisa disodomi dan tidak dapat menyodomi. Untuk pola hubungan seksual kedua-duanya adalah fire style, dimana seorang gay mampu menyodomi dan bisa disodomi. Ketika seorang gay sudah mengetahui dirinya termasuk fire style, top atau bottom, maka dia akan lebih mudah dalam mencari pasangannya. Hal ini karena ketika seorang gay mencari pasangan untuk menjalin hubungan baik secara emosional dan seksual biasanya menanyakan terlebih dahulu calon pasangannya, apakah fire style, top atau bottom.

4. Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual adalah kekerasan yang terjadi karena persoalan seksualitas. Kekerasan ini mencakup segala jenis kekerasan seksual baik kekerasan fisik, kekerasan emosional dan kekerasan verbal yang dilakukan oleh seseorang terhadap pasangannya. Dalam penelitian ini kekerasan seksual


(30)

yang dimaksudkan adalah kekerasan seksual yang dilakukan maupun yang dialami oleh gay. Ada beberapa jenis bentuk-bentuk kekerasan seksual yang pernah dilakukan oleh gay di seluruh dunia, antara lain : memukul, menendang, menampar, menyulut rokok, memasukkan benda-benda keras ke dalam dubur atau anus, mencambuk, mencekik leher, menyayat-nyayat kulit dengan silet, menodong senapan, menggigit dan melukai alat kelamin, pemaksaan hubungan seksual, menarik rambut dengan kasar, mengancam, memaki, meludahi dan lain-lain. Berdasarkan pemaparan di atas, ternyata kekerasan seksual juga bisa terjadi pada pasangan gay. Memang secara empiris, penelitian-penelitian mengenai masalah ini baru banyak dilakukan di luar negeri yang juga masih sering terbentur oleh ketertutupan mereka dan tekanan masyarakat yang ada. Suatu studi terbaru menunjukkan bahwa satu dari lima orang gay mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh pasangannya, dimana hal ini menunjukkan fakta bahwa kekerasan seksual yang biasa terjadi pada wanita dalam hubungan atau pasangan heteroseksual juga bisa terjadi pada pasangan gay (Spindle, 2003). Sekitar 25% sampai 33% terjadi kekerasan seksual pada pasangan gay (Barnes, 2003).

5. Penyimpangan Sosial

Penyimpangan sosial adalah

nila


(31)

sosial karena fenomena gay bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku dalam kelompok masyarakat. Jadi ukuran yang menjadi dasar bahwa gay adalah penyimpangan sosial bukan karena baik atau buruk dan benar atau salah menurut pengertian umum, melainkan berdasarkan ukuran norma dan nilai sosial dalam suatu kelompok masyarakat.

Dalam kaitannya sebagai bentuk perilaku menyimpang, secara sosiologis maupun umum gay dapat diartikan sebagai perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dalam sudut pandang masyarakat luas maupun masyarakat tempat pelaku penyimpangan berada. Jika ditinjau dari sudut pandang etimologis, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia menerjemahkan perilaku menyimpang sebagai tingkah laku, perbuatan, atau tanggapan seseorang terhadap lingkungan yang tidak sesuai dengan norma-norma dan hukum yang ada dalam masyarakat.

Robert M. Z. Lawang mengartikan perilaku menyimpang sebagai semua tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam suatu sistem sosial (masyarakat) dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang untuk memperbaiki hal tersebut. Gay merupakan salah satu bentuk perilaku menyimpang yang bukan hanya secara tegas telah menyalahi norma-norma yang ada dalam banyak masyarakat namun juga turut mendorong terciptanya upaya sadar dari sebagian elemen masyarakat yang berwenang untuk menekan perkembangan komunitas gay dalam suatu masyarakat.


(32)

Penilaian masyarakat yang mengecam homoseksual diberikan dalam beberapa bentuk. Dari sudut pandang agama, homoseksualitas dianggap sebagai dosa. Dari sudut pandang hukum, dilihat sebagai penjahat. Dari sudut pandang medis terkadang masih dianggap sebagai penyakit. Dari sudut pandang opini publik, dianggap sebagai penyimpangan sosial. Sementara itu, kelompok masyarakat yang memiliki pandangan berlawanan dengan persepsi di atas, menganggap homoseksualitas sebagai suatu gaya hidup.

Berdasarkan uraian tentang seksualitas kaum gay di atas, dapat dilihat persoalan moral yang timbul dari fenomena kaum gay tersebut. Persoalan moral pertama adalah praktek seks bebas (extra marital). Pasangan homoseksual masih belum bisa mendapatkan pengesahan dalam bentuk perkawinan legal. Oleh karena itu, praktek seks yang mereka lakukan dapat digolongkan sebagai praktek seks bebas karena dilakukan di luar lembaga perkawinan yang resmi. Persoalan moral kedua yang dialami kaum gay adalah bahwa hubungan seksual yang mereka lakukan adalah perbuatan homoseksual.

Norma merupakan salah satu tolak ukur yang menentukan suatu perilaku dinyatakan menyimpang atau tidak. Norma yang ada dalam masyarakat adalah berupa tata aturan atau peraturan yang mengikat kelompok individu dalam suatu daerah atau wilayah sebagai bentuk representasi kontrol sosial yang akan mengendalikan tingkah laku anggota masyarakatnya. Dalam kaitannya dengan pemahaman dan penerapan orientasi seksual anggotanya,


(33)

kontrol sosial yang ada dalam masyarakat berperan sebagai pembatas orientasi seksual agar tidak menyalahi norma dan nilai yang ada dalam masyarakat. Ketika muncul pandangan orientasi seksual maka kontrol sosial yang ada dalam masyarakat akan membatasinya untuk berkembang, dan dalam konteks yang lebih ekstrim maka setiap pandangan orientasi seksual yang tidak sesuai dengan norma akan diusahakan untuk dilenyapkan.


(34)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Homoseksualitas dalam Buku Memberi Suara pada yang Bisu.

Sepuluh tahun terakhir ini, di kalangan para pengkaji homoseksualitas dan aktivis gerakan gay dan lesbian di barat berkecamuk kontroversi yang dapat diringkaskan pada perbedaan antara dua pandangan. Pandangan yang pertama bahwa homoseksualitas merupakan bagian hakiki (esensial) dari struktur kepribadian manusia yang merupakan bawaan dari lahir (innate). Pandangan ini timbul dari konseptualisasi medis-biologis para pakar dari abad ke-19 yang melihat adanya kesemestaan (universalitas) homoseksualitas di mana-mana dan pada zaman manapun. Pandangan yang kedua menganggap bahwa kategori homoseksual yang dikonseptualisasikan oleh para pakar itu sebagai timbul khas dari kecenderungan kebudayaan barat abad ke-19. Pandangan ini melihat kategori homoseksual sebagai konstruksi sosial (dengan kata lain dibentuk oleh masyarakat) yang merupakan produk sejarah peradaban barat pada abad ke-19. Pandangan pertama, yang dalam literatur kini dikenal sebagai esensialisme (essentialism), cenderung banyak didukung oleh para aktivis gerakan gay dan lesbian yang menganggap bahwa keadaan pribadi seorang homoseksual merupakan sesuatu yang terberi (given) dan justru menghadapi tentangan dari masyarakat umum sehingga perlu diperjuangkan pemenuhan potensinya. Pandangan kedua, yang dikenal sebagai sosio-konstruksionisme (social


(35)

contructionism), banyak dianut oleh kalangan ilmuwan sosial yang terpengaruh oleh ide-ide Michel Foucault dari tahun 1970-an. Para ilmuwan sosial ini merujuk pada posisi perilaku homoseksual dalam berbagai budaya non barat yang tidak dikategorikan sebagai suatu kategori tertentu yang menyeluruh sebagaimana dikonseptualisasikan oleh para esensialis.

2.1.1 Pola Hubungan, Identitas Diri dan Perilaku Seksual Gay

Dari penelitian kelompok “Psyche” di Surabaya, didapati bahwa 30% dari kaum gay yang diwawancarai (N=100) memilih berpasangan monogam, dengan alasan bahwa adanya pasangan tetap merupakan perwujudan kebutuhan akan cinta dan rasa aman dan pasti. Namun lebih banyak (70%) yang tidak punya pasangan tetap, karena mempunyai pasangan tetap dianggap terlalu banyak mengajukan tuntutan dan tanggung jawab. Juga dikemukakan alasan sulitnya proses adaptasi antara dua orang yang baru kenal dan kurangnya kebebasan kalau berpasangan tetap.

Banyak laki-laki gay yang mengidentifikasi diri secara bercanda sebagai “banci”. Umumnya mereka ini menunjukkan nonkonformitas gender yang tinggi. Secara bercanda pula ada di antara mereka yang mengidentifikasi diri sebagai “perempuan”. Hal sebaliknya, yakni identifikasi sebagai laki-laki, kerap dilaksanakan oleh para lesbian. Cukup banyak laki yang mau berhubungan seks dengan laki-laki gay, menolak disebut gay. Bahkan ada laki-laki-laki-laki gay yang hanya mau berhubungan seks dengan laki-laki yang tidak mengidentifikasi diri sebagai gay ini, yang mereka sebut “laki-laki asli”. Mereka ini cenderung tidak menampakkan


(36)

nonkonformitas gender, walaupun sebagian kemudian mengadopsi identitas gay dan menampakkan nonkonformitas gender. Dalam kaitan ini, yang menarik adalah laki-laki yang berhubungan seks dengan waria, yang jelas tidak memandang diri atau dipandang sebagai gay/homoseksual. Hal identitas diri ini ternyata tidak ada sama sekali hubungannya dengan perilaku seksual mereka dengan partnernya: ada laki-laki “asli” yang dalam hubungan seksual minta disemburit (dipenetrasi di anus oleh penis laki-laki gay atau waria) atau yang dengan senang hati melakukan seks oral. Akan halnya perilaku seksual pada umumnya, semua tipe kontak langsung genital didapati di kalangan mereka yang berperilaku homoseksual di Indonesia modern. Pada laki-laki gay, dikenal teknik masturbasi mutual, fellatio (seks oral), koitus interfemoral dan “gesek-gesek” (frottage), serta koitus genito-anal (semburit). Secara umum didapatkan kesan bahwa orang Indonesia lebih berinhibisi dalam melakukan hubungan seksual apabila dibandingkan dengan orang barat.

2.1.2 Kaum Gay di Tengah Ancaman AIDS

Perilaku homoseksual resiko tingggi sebenarnya sudah jelas, yakni senggama anus dan mungkin mulut. Teknik seks lainnya (senggama penis-selapaha/interfemoral, penis-penis, penis-dada/perut, masturbasi) merupakan perilaku homoseksual resiko rendah. Yang tidak banyak disadari masyarakat adalah bahwa jumlah mereka yang melakukan perilaku homoseksual resiko tinggi ternyata cukup besar. Teknik senggama penis-anus dan penis-mulut dilakukan oleh banyak sekali gay modern maupun waria. Frekuensi pergantian mitra seks juga cukup tinggi. Dari


(37)

kajian-kajian antropologi juga diketahui adanya budaya-budaya yang mengenal senggama penis-anus dan / atau penis-mulut sebagai bagian ritus inisiasi (Marind-Anim, Asmat). Para pemuka masyarakat ini tentu saja menolak mengakui masih adanya perilaku termaksud atau menganggap sudah tidak ada lagi, tetapi laporan-laporan dari “dalam” menunjukkan masih adanya perilaku itu.

Masyarakat yang tahu tentang seluk-beluk kehidupan gay dan waria pun cenderung mempunyai stereotip bahwa gay dan waria selalu menjadi mitra pasif dalam senggama. Karena itu, laki-laki yang gemar kencan dengan waria maupun pelacur laki-laki yang melayani gay, dianggap bukan “kelompok risiko tinggi”. Padahal pengamatan yang lebih mendalam mengungkapkan bahwa si pejantan yang sok jantan di taman atau di ruang tamu bordil, di dalam kamar bisa saja jadi pasif. Perlu juga diingat bahwa ada cukup banyak laki-laki gay yang tidak menganut stereotip hubungan gay-pejantan ini, dalam arti hubungan mereka cenderung timbal-balik, yang berarti bahwa jenis perilaku seks mereka pun cenderung timbal-balik. Komunitas gay dan waria sendiri pun punya stereotip, bahwa laki-laki “jantan” yang mereka kencani bukan gay. Bahkan pada awal tersebarnya berita tentang AIDS, para waria tersinggung dijadikan sasaran pembicaraan karena dalam jaringan komunitas gay dan waria, waria merasa dirinya lain dar gay. Tetapi kita tahu bahwa perilaku seksual gay dan waria secara potensial sama saja. Begitu juga mitra seks gay dan waria, apabila melakukan perilaku homoseksual resiko tinggi tadi, dapat saja tertular HIV.


(38)

Kesadaran akan pentingnya berpindah ke perilaku seks yang resiko rendah masih belum ada dalam komunitas gay, waria dan laki-laki pejantan mereka. Memang pada beberapa kalangan ada keengganan berhubungan seks dengan pria barat, karena dianggap hanya pria barat yang membawa HIV. Karenanya timbul mitos bahwa selama hubungan seks dilakukan dengan sesama laki-laki Indonesia, maka resiko tertular HIV tidak ada. Dapat dikatakan pada umumnya pengetahuan gay, waria dan pejantannya tentang AIDS sangat minim dan penuh kesesatan. Hingga akhir-akhir ini, pada umumnya mereka mengabaikan AIDS, dengan menganggapnya penyakit luar negeri yang tidak ada penderitanya di Indonesia. Pada umumnya pengetahuan mereka sangat minim atau keliru tentang bahaya AIDS, cara penularannya, gejala-gejala komplikasi serta penderitaan sebelum ajal, dan perjalanan penyakitnya. Kalaupun mereka membicarakan AIDS, kebanyakan dengan bercanda dan mencerminkan minim atau kelirunya pengetahuan itu, tetapi yang jelas tanpa rasa khawatir yang terlampau tinggi.

Pengetahuan tentang cara-cara berhubungan seks aman (safe sex) juga minim sekali. Ada sikap mencemoohkan atau melecehkan penggunaan kondom saat senggama, atau setidak-tidaknya heran kenapa “alat KB” ini ikut-ikutan dalam kehidupan homoseksual. Patut disebutkan pula adanya reaksi berlebihan pada kaum lesbian yang menganggap kaum gay sebagai kelompok resiko tinggi dan tidak mau bergaul, menggunakan alat makan bekas dipakai gay, meskipun sudah dicuci bersih, atau minum suguhan seorang gay. Ada pula stereotip, baik di masyarakat awam maupun pada kaum gay, waria dan pejantannya, bahwa HIV tertular karena sering


(39)

berganti mitra seks. Kenyataan menunjukkan bahwa sekali saja berhubungan seks dengan pembawa virus HIV dengan melakukan perilaku resiko tinggi sudah cukup untuk menularkannya. Selain itu, kebanyakan orang menganggap bahwa perilaku homoseksual, kalaupun ada terpusat pada kota-kota besar dan pusat-pusat wisata seperti Bali. Kenyataan menunjukkan bahwa setiap kota kecil, setiap desa, dihuni oleh orang-orang yang gemar menjalankan perilaku homoseksual resiko tinggi. Mereka hanyalah tidak terlihat dari permukaan. Kelompok gay dan waria yang tampak mencolok itu hanyalah “puncak gunung es”.

2.2 Studi Homoseksualitas dalam Buku HASRAT PEREMPUAN, Relasi Seksual Sesama Perempuan dan Praktek Perempuan Transgender di Indonesia.

Salah satu permasalahan utama dalam studi homoseksualitas di negara-negara selain Amerika Serikat dan Eropa adalah studi tersebut lebih berkonsentrasi pada fakta-fakta praktek seksual antara laki-laki dengan laki-laki. Dalam “Sejarah Homoseksualitas (Homosexuality in History)” yaitu sejarah mengenai homoseksualitas laki-laki dari negara barat yang dimulai dari jaman Yunani kuno sampai dengan era Victoria, Karlen (1980) mencatat bahwa sebagian literatur dan kesenian Yunani menggambarkan relasi seksual antara dua orang perempuan atau dua orang laki-laki. Karlen tidak membahas permasalahan ini dengan lebih terperinci. Karlen mencoba mengemukakan adanya kemungkinan relasi antara status seorang perempuan dengan kejadian homoseksualitas laki-laki Yunani, yaitu suatu relasi yang


(40)

menurutnya saling terkait untuk mengangkat status sosial perempuan (Karlen dalam Wieringa & Blackwood, 2009).

Sebagai upaya untuk memformulasikan teori homoseksualitas antar negara, Carrier (1980) menyimpulkan bahwa ada dua “faktor sosio-kultural” signifikan yang terkait dengan ekspresi mengenai tingkah laku homoseksual, yaitu sikap dan larangan (penerimaan atau pelarangan terhadap sikap homoseksual) dan keberadaan pasangan seksual. Carrier mencoba mengemukakan bahwa ketiadaan jenis kelamin yang berbeda, nilai keperawanan (bagi perempuan), segregasi laki-laki dalam perkemahan, migrasi laki-laki dan poligini (pernikahan dengan lebih dari satu orang perempuan), kesemuanya meningkatkan sikap homoseksual. Dalam skenario ini segregasi dan kurangnya pasangan dengan jenis kelamin berbeda mengarahkan pada terbentuknya praktek-praktek homoseksual laki-laki dan juga perempuan. Salah satu kontribusi Carrier terhadap studi homoseksualitas adalah menjelaskan mengapa sebagian budaya mengakomodir apa yang disebutnya sebagai sikap gender silang (sekarang ini lebih sering disebut sebagai transgender), sementara sebagian lainnya menolak paham ini. Walaupun diskusi yang dilakukannya lebih berfokus pada laki-laki daripada perempuan, Carrier menegaskan bahwa kecocokan yang sama juga berlaku terhadap perempuan. Kesimpulan Carrier bahwa homoseksualitas tidak selalu memiliki arti yang sama dalam setiap budaya bertahan sampai sekarang ini dan menjadi wawasan yang penting dalam berbagai studi mengenai gay dan lesbian. Carrier menyimpulkan bahwa sikap homoseksual laki-laki biasanya nampak ke permukaan dengan lebih teratur dibandingkan dengan sikap homoseksual perempuan. Anggapan bahwa


(41)

perbedaan ini kemungkinan karena status lebih tinggi yang diberikan kepada laki-laki dibandingkan kepada perempuan dalam kebanyakan tatanan masyarakat khususnya dalam peran melindungi yang dimainkan laki-laki dalam sepanjang sejarah dimana mereka biasanya melindungi anak-anak dan perempuan. Penegasan Carrier bahwa status sosial laki-laki yang lebih tinggi dan perempuan di bawahnya merupakan alasan mengapa lebih banyak ditemukan bukti dan visibilitas homoseksualitas laki-laki karena berkaitan dengan budaya patriarkat, tetapi juga menjadi alasan umum yang kurang dapat diterima (Carrier dalam Wieringa & Blackwood, 2009).

2.3 Proses Pengambilan Keputusan Menjadi Gay dalam Jurnal Pengambilan Keputusan Menjadi Homoseksual pada Laki-laki Usia Dewasa Awal.

Hal yang berat ketika seseorang memutuskan dan mengakui bahwa dirinya adalah gay. Dibutuhkan keberanian yang luar biasa untuk melakukan hal itu. Individu harus benar-benar mempersiapkan diri secara psikologis sebelum melakukannya. Bahkan setelah individu mampu menguasai dirinya sendiri, individu harus siap menerima respon dari keluarga dan kemungkinan konsekuensi atas pengakuannya sehingga keluarga akhirnya tahu. Keluarga dan masyarakat akan memberikan berbagai macam reaksi, baik yang mendukung maupun yang menolak. Dilema dan konflik pasti akan dihadapi ketika seseorang memutuskan untuk menjadi gay.


(42)

Proses pengambilan keputusan menjadi gay dipengaruhi oleh faktor internal yang berasal dari dalam diri subjek dan faktor lingkungan yang ada di sekitar subjek. Pemahaman diri subjek sebagai seorang gay tidak akan terbentuk menjadi orientasi seksual yang aktif apabila dari dalam diri subjek tidak ada keinginan untuk menjadi seorang gay. Pada awalnya subjek belum memiliki pengetahuan yang benar tentang orientasi seksual. Subjek hanya mengikuti perasaan dan menikmati sensasi ketertarikan pada sesama jenis tanpa memikirkan konsekuensinya lebih lanjut. Rasa ketertarikan yang awalnya hanya dipendam kemudian diwujudkan dalam komitmen untuk menjalin hubungan. Ketertarikan secara fisik maupun seksual kemudian berubah menjadi keinginan untuk menjalin hubungan secara intim. Hubungan ini yang kemudian menentukan subjek akan meneruskan orientasi seksualnya sebagai gay atau mengubah orientasi seksualnya menjadi heteroseksual. Ternyata hubungan yang dijalani subjek dengan pasangannya membuat subjek merasa menemukan sesuatu yang hilang dari dalam keluarganya seperti rasa nyaman dan kepuasan batin. Subjek merasakan adanya kepuasan dan terpenuhinya kebutuhan seksual maupun kebutuhan emosional dalam hubungan sejenis cenderung akan semakin memantapkan identitas seksual gay.

Pembentukan orientasi seksual gay dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri subjek dan faktor dari lingkungan. Pada awalnya subjek merasakan adanya ketertarikan kepada sejenis yang masih belum dipahami. Subjek yang berada di tengah masyarakat yang heterosentris tentunya akan merasakan kebingungan saat menyadari orientasi seksualnya. Subjek yang berada pada tahapan kebingungan


(43)

identitas ini biasanya akan menjalani kehidupannya dengan usaha mencari tahu kebenaran tentang orientasi seksualnya. Subjek kemudian memasuki tahapan perbandingan identitas. Pada tahapan ini subjek berusaha menerima orientasi seksualnya. Meskipun penerimaan diri yang dirasakan masih bersifat sementara, tetapi subjek mulai memikirkan konsekuensi yang harus ditanggung. Tahapan ini merupakan langkah awal pada komitmen bahwa subjek memiliki gambaran diri sebagai seorang gay. Di tahap selanjutnya subjek memasuki tahap toleransi. Pada tahap ini subjek akan memiliki komitmen yang besar atas identitas gaynya.


(44)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. Di dalam penelitian deskriptif tidak diperlukan administrasi dan pengontrolan terhadap perlakuan. Penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan apa adanya tentang suatu gejala atau keadaan (Arikunto, 2009).

Penelitian deskriptif dalam penelitian ini menggunakan studi life history dengan maksud untuk memperoleh data yang maksimal. Studi life history adalah suatu metode yang mengungkap riwayat hidup seseorang atau sekelompok orang baik secara menyeluruh maupun hanya aspek tertentu yang digambarkan secara rinci, multi faset dan cakrawala pandang yang luas dari interaksi seseorang atau sekelompok orang dengan lingkungan dan masyarakat tanpa batas ruang dan waktu. Masalah yang dapat diteliti dengan metode ini meliputi pendapat, tanggapan, pikiran, perasaan, pilihan, interpretasi, keputusan dan pengalaman seseorang, keluarga atau kelompok masyarakat. Berbagai aplikasi dalam beberapa aspek penelitian yang


(45)

menggunakan metode life history ini adalah kebudayaan suatu kelompok masyarakat, perubahan kebudayaan dan norma-norma yang berlaku, riwayat hidup tersembunyi seseorang, menggali perbandingan secara retrospektif dan inter generasional, penelitian terhadap kasus yang mengalami gangguan penyimpangan dan perubahan

perkembangan yang mencolok

history dalam penelitian ini digunakan untuk meneliti gay di kota Medan. Life history yang dimaksudkan dalam penelitian ini dimulai semenjak informan telah mengambil keputusan untuk menjadi gay dan telah menyatakan dirinya sebagai gay sampai pada pengalaman melakukan kekerasan seksual ataupun mengalami kekerasan seksual.

Pendekatan kualitatif diartikan sebagai pendekatan yang dapat menghasilkan data kualitatif yang diungkapkan dalam bentuk kalimat serta uraian-uraian, bahkan dapat berupa cerita pendek. Substansi data kualitatif adalah makna dari setiap data yang dapat diungkapkan. Makna dalam setiap data tersebar mulai dari yang konkret sampai dengan yang abstrak. Makna yang konkret berkaitan dengan sikap dan perilaku serta tindakan individu dan kelompok-kelompok. Sedangkan makna yang abstrak berkaitan dengan nilai kelompok masyarakat maupun nilai sistem dunia (Bungin, 2008). Dalam penelitian ini, pendekatan kualitatif dimaksudkan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan kekerasan seksual sesama pasangan pada gay.


(46)

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kota Medan, Sumatera Utara. Adapun yang menjadi alasan pemilihan lokasi tersebut di atas adalah :

1. Kota Medan sebagai salah satu kota besar di Indonesia yang menuju kota metropolitan, terindikasi sebagai salah satu kota yang keberadaan gaynya cukup banyak setelah Surabaya dan Jakarta.

2. Peneliti dapat memanfaatkan waktu, tenaga, pikiran dan dana atau biaya yang diperlukan untuk dimaksimalkan dalam penelitian ini karena peneliti juga berada di kota yang sama dengan lokasi penelitian.

3.3 Unit Analisis dan Informan

3.3.1 Unit Analisis

Unit analisis yang dimaksudkan dalam suatu penelitian adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian (Arikunto, 2006). Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah kaum gay di kota Medan.

3.3.2 Informan

Informan adalah orang-orang yang masuk dalam karakteristik unit analisis dan dipilih menjadi sumber data yang dapat memberikan informasi yang dibutuhkan oleh peneliti (Arikunto, 2006). Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah enam orang gay, dengan kriteria :


(47)

1. Pernah melakukan kekerasan seksual kepada pasangan gaynya.

Berdasarkan kriteria yang pertama ini diambil sebanyak tiga orang informan dari latar belakang pekerjaan yang berbeda. Latar belakang pekerjaan yang dimaksudkan dalam penelitian ini dikategorikan berdasarkan jumlah penghasilan atau pendapatan yang diperoleh dalam sebulan, yaitu :

1. Gay yang berpenghasilan Rp. 4.000.000,- ke atas (gay kelas atas), diambil satu orang informan.

2. Gay yang berpenghasilan Rp. 2.000.000,- sampai Rp. 4.000.000 (gay kelas menengah), diambil satu orang informan.

3. Gay yang berpenghasilan di bawah Rp. 2.000.000,- (gay kelas bawah), diambil satu orang informan.

2. Pernah mengalami kekerasan seksual dari pasangan gaynya.

Berdasarkan kriteria yang kedua ini diambil sebanyak tiga orang informan dari latar belakang pekerjaan yang berbeda. Latar belakang pekerjaan yang dimaksudkan dalam penelitian ini dikategorikan berdasarkan jumlah penghasilan atau pendapatan yang diperoleh dalam sebulan, yaitu :

1. Gay yang berpenghasilan Rp. 4.000.000,- ke atas (gay kelas atas), diambil satu orang informan.

2. Gay yang berpenghasilan Rp. 2.000.000,- sampai Rp. 4.000.000 (gay kelas menengah), diambil satu orang informan.

3. Gay yang berpenghasilan di bawah Rp. 2.000.000,- (gay kelas bawah), diambil satu orang informan.


(48)

Dalam penelitian ini pemberian nama bagi para informan gay adalah dengan menggunakan inisisal nama informan. Hal ini dilakukan oleh peneliti karena masalah yang akan diteliti merupakan suatu realita sosial yang sensitif dan dapat dikategorikan sebagai suatu perilaku yang menyimpang dari norma sosial yang ada di tengah masyarakat Indonesia khususnya di Kota Medan yang merupakan lokasi dimana penelitian ini dilakukan. Dengan demikian privasi para informan dapat terjaga dan mereka merasa aman dari publikasi identitas mereka sehingga hubungan yang baik antara peneliti dan informan dapat terjaga selama penelitian ini berlangsung guna memperoleh data yang diinginkan oleh peneliti dari para informan. Adapun daftar nama informan dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel di bawah ini :

Tabel 1

Daftar Nama Informan

No. Nama Usia Pekerjaan Kriteria Informan 1. JS 53 tahun Pengusaha travel Melakukan kekerasan

seksual

2. AA 24 tahun Simpanan dokter Melakukan kekerasan seksual

3. TB 22 tahun Penyiar radio swasta Melakukan kekerasan seksual

4. JP 26 tahun Eksekutif muda Mengalami kekerasan

seksual

5. GA 25 tahun Karyawan asuransi Mengalami kekerasan seksual

6. FH 22 tahun Mahasiswa Mengalami kekerasan


(49)

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah : 1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber data pertama di lokasi penelitian. Adapun langkah-langkah dalam pengumpulan data primer ini adalah dengan cara :

1. Observasi Partisipasi

Observasi partisipasi ini bermula dari penelitian-penelitian Antropologi Sosial. Observasi partisipasi kemudia berkembang luas di berbagai ilmu sosial terutama Sosiologi. Observasi partisipasi yang dimaksud adalah pengumpulan data melalui observasi terhadap objek pengamatan dengan langsung hidup bersama, merasakan serta berada dalam aktivitas kehidupan objek pengamatan. Dengan demikian pengamat betul-betul menyelami kehidupan objek pengamatan dan bahkan tidak jarang pengamat kemudian mengambil bagian dalam kehidupan budaya mereka. Observasi ini apabila dilihat dari akurasi data yang diperoleh mungkin dapat diandalakan, namun memerlukan waktu yang cukup banyak serta amat lama. Terutama jika objek pengamatan muncul dalam interval waktu yang lama serta berlangsung pada alokasi waktu yang lama pula. Dalam melakukan observasi ini yang perlu diperhatikan adalah membina hubungan yang baik antara pengamat dan objek pengamatan. Hal tersebut kadangkala menjadi hambatan utama terhadap keberhasilan observasi ini.


(50)

Hubungan yang baik, arif dan harmonis antara keduanya merupakan prasyarat utama agar objek pengamatan dapat menerima pengamat tanpa harus mencurigainya. Tetapi kadangkala hubungan yang baik tersebut membuat pengamat lupa pada keterbatasan waktu dan keterbatasan partisipasi itu sendiri yang diberikan padanya. Karena itu kesadaran diri pengamat sangat diharapkan dalam mengendalikan semua keterbatasan ini.

2. Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatan pewawancara dalam kehidupan informan.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek dan lokasi penelitian (diperoleh dari sumber data kedua atau sumber-sumber data yang lain) yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Data sekunder diperoleh dengan cara studi kepustakaan dan penelusuran dokumenter, yaitu dengan mengumpulkan data dan mengambil informasi dari buku-buku


(51)

referensi, dokumen pemerintah maupun swasta, majalah, buletin, koran, jurnal, artikel, otobiografi dan dari internet (data online) yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti.

3.5 Interpretasi Data

Analisa data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dianalisis selanjutnya (Moleong, 2006). Analisa data ditandai dengan pengolahan dan penafsiran data yang diperoleh dari setiap informasi baik secara pengamatan, wawancara ataupun catatan-catatan lapangan, dipelajari dan ditelaah. Kemudian tahap selanjutnya adalah mereduksi data melalui pembuatan abstraksi yang merupakan usaha membuat rangkuman inti. Langkah selanjutnya adalah menyusun data-data dalam satuan-satuan. Satuan-satuan ini kemudian dikategorikan. Berbagai kategori tersebut dilihat kaitannya satu dengan yang lainnya dan diinterpretasikan secara kualitatif, yaitu proses pengolahan data dimulai dari tahap mengedit data sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti kemudian diolah secara deskriptif berdasarkan fenomena yang terjadi di lapangan.


(52)

3.6 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian yang dialami oleh peneliti ketika berada di lapangan disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :

1. Topik yang diangkat dalam penelitian ini merupakan realitas sosial yang sangat sensitif di tengah-tengah masyarakat sehingga para informan pada awalnya tidak bersedia untuk dijadikan sebagai objek penelitian. Para informan pada dasarnya merasa khawatir akan identitas seksual mereka yang akan terkuak dan diketahui oleh orang banyak. Namun dengan menggunakan pendekatan yang sangat persuasif, seperti mendekatkan diri dengan para informan dan menjadi teman bagi mereka, akhirnya empat orang informan bersedia untuk menceritakan kisah hidup mereka mulai dari perkenalannya dengan dunia gay sampai pada melakukan dan mengalami kekerasan seksual sesama jenis.

2. Peneliti harus mengeluarkan biaya yang cukup besar selama melakukan penelitian di lapangan terutama untuk mendapatkan dua orang informan yang merupakan kategori gay kelas atas. Di kota Medan gay kelas atas merupakan kelompok gay yang sangat tertutup dan tidak mau membuka diri bagi siapapun termasuk dengan gay kategori kelas menengah apalagi gay kelas bawah. Kelompok gay kelas atas ini sangat eksklusif dikarenakan penghasilan mereka yang cukup besar. Walaupun demikian peneliti tidak patah semangat. Peneliti menggunakan peribahasa “Sepala-pala mandi harus basah”, dan akhirnya peneliti memutuskan untuk menggunakan metode observasi


(53)

partisipan dalam penelitian ini dengan menjadi bagian dari mereka. Peneliti terjun langsung dalam beberapa kegiatan yang mereka lakukan di tempat-tempat hiburan malam dan restoran-restoran yang cukup mahal seperti “night party”, “zombie party”, “topless party”, “white party” dan “ngopi bareng”. Hingga akhirnya peneliti berhasil memperoleh data dari dua orang informan gay kelas atas ini tanpa mereka ketahui atau tanpa sepengetahuan mereka.


(54)

BAB IV

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah Kota Medan 1. Medan Tanah Deli

Pada zaman dahulu Kota Medan ini dikenal dengan nama Tanah Deli dan keadaan tanahnya berawa-rawa kurang lebih seluas 4000 Ha. Beberapa sungai melintasi Kota Medan ini dan semuanya bermuara ke Selat Malaka. Sungai-sungai itu adalah Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Badra, Sei Belawan dan Sei Sulang Saling/Sei Kera. Pada mulanya yang membuka perkampungan Medan adalah Guru Patimpus lokasinya terletak di Tanah Deli, maka sejak zaman penjajahan orang selalu merangkaikan Medan dengan Deli (Medan– Deli). Setelah zaman kemerdekaan lama kelamaan istilah Medan Deli secara berangsur-angsur lenyap sehingga akhirnya kurang popular. Dahulu orang menamakan Tanah Deli mulai dari Sungai Ular (Deli Serdang) sampai ke Sungai Wampu di Langkat sedangkan Kesultanan Deli yang berkuasa pada waktu itu wilayah kekuasaannya tidak mencakup daerah diantara kedua sungai tersebut.

Secara keseluruhan jenis tanah di wilayah Deli terdiri dari tanah liat, tanah pasir, tanah campuran, tanah hitam, tanah coklat dan tanah merah. Hal ini merupakan penelitian dari Van Hissink tahun 1900 yang dilanjutkan oleh penelitian Vriens tahun 1910 bahwa disamping jenis tanah seperti tadi ada lagi ditemui jenis tanah liat yang


(55)

spesifik. Tanah liat inilah pada waktu penjajahan Belanda ditempat yang bernama Bakaran Batu (sekarang Medan Tenggara atau Menteng) orang membakar batu bata yang berkwalitas tinggi dan salah satu pabrik batu bata pada zaman itu adalah Deli Klei. Mengenai curah hujan di Tanah Deli digolongkan dua macam yakni : Maksima Utama dan Maksima Tambahan. Maksima Utama terjadi pada bulan-bulan Oktober s/d bulan Desember sedang Maksima Tambahan antara bulan Januari s/d September. Secara rinci curah hujan di Medan rata-rata 2000 pertahun dengan intensitas rata-rata 4,4 mm/jam.

Menurut Volker pada tahun 1860 Medan masih merupakan hutan rimba dan disana sini terutama dimuara-muara sungai diselingi pemukiman-pemukiman penduduk yang berasal dari Karo dan semenanjung Malaya. Pada tahun 1863 orang-orang Belanda mulai membuka kebun Tembakau di Deli yang sempat menjadi primadona Tanah Deli. Sejak itu perekonomian terus berkembang sehingga Medan menjadi Kota pusat pemerintahan dan perekonomian di Sumatera Utara.

2. Kampung Medan dan Tembakau Deli

Pada awal perkembangannya merupakan sebuah kampung kecil bernama "Medan Putri". Perkembangan Kampung "Medan Putri" tidak terlepas dari posisinya yang strategis karena terletak di pertemuan sungai Deli dan sungai Babura, tidak jauh dari jalan Putri Hijau sekarang. Kedua sungai tersebut pada zaman dahulu merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai, sehingga dengan demikian Kampung "Medan Putri" yang merupakan cikal bakal Kota Medan, cepat berkembang menjadi


(56)

pelabuhan transit yang sangat penting. Semakin lama semakin banyak orang berdatangan ke kampung ini dan isteri Guru Patimpus yang mendirikan kampung Medan melahirkan anaknya yang pertama seorang laki-laki dan dinamai si Kolok. Mata pencarian orang di Kampung Medan yang mereka namai dengan si Sepuluh dua Kuta adalah bertani menanam lada. Tidak lama kemudian lahirlah anak kedua Guru Patimpus dan anak inipun laki-laki dinamai si Kecik. Pada zamannya Guru Patimpus merupakan tergolong orang yang berfikiran maju. Hal ini terbukti dengan menyuruh anaknya berguru (menuntut ilmu) membaca Alqur’an kepada Datuk Kota Bangun dan kemudian memperdalam tentang agama Islam ke Aceh.

Keterangan yang menguatkan bahwa adanya Kampung Medan ini adalah keterangan H. Muhammad Said yang mengutip melalui buku Deli In Woord en Beeld ditulis oleh N.Ten Cate. Keterangan tersebut mengatakan bahwa dahulu kala Kampung Medan ini merupakan Benteng dan sisanya masih ada terdiri dari dinding dua lapis berbentuk bundaran yang terdapat dipertemuan antara dua sungai yakni Sungai Deli dan sungai Babura. Rumah Administrateur terletak diseberang sungai dari kampung Medan. Kalau kita lihat bahwa letak dari Kampung Medan ini adalah di Wisma Benteng sekarang dan rumah Administrateur tersebut adalah kantor PTP IX Tembakau Deli yang sekarang ini. Sekitar tahun 1612 setelah dua dasa warsa berdiri Kampung Medan, Sultan Iskandar Muda yang berkuasa di Aceh mengirim Panglimanya bernama Gocah Pahlawan yang bergelar Laksamana Kuda Bintan untuk menjadi pemimpin yang mewakili kerajaan Aceh di Tanah Deli. Gocah Pahlawan membuka negeri baru di Sungai Lalang, Percut. Selaku Wali dan Wakil Sultan Aceh


(57)

serta dengan memanfaatkan kebesaran imperium Aceh, Gocah Pahlawan berhasil memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga meliputi Kecamatan Percut Sei Tuan dan Kecamatan Medan Deli sekarang. Dia juga mendirikan kampung-kampung Gunung Klarus, Sampali, Kota Bangun, Pulau Brayan, Kota Jawa, Kota Rengas Percut dan Sigara-gara. Dengan tampilnya Gocah pahlawan mulailah berkembang Kerajaan Deli dan tahun 1632 Gocah Pahlawan kawin dengan putri Datuk Sunggal. Setelah terjadi perkawinan ini raja-raja di Kampung Medan menyerah pada Gocah Pahlawan. Gocah Pahlawan wafat pada tahun 1653 dan digantikan oleh puteranya Tuangku Panglima Perunggit, yang kemudian memproklamirkan kemerdekaan Kesultanan Deli dari Kesultanan Aceh pada tahun 1669, dengan ibukotanya di Labuhan, kira-kira 20 km dari Medan.

Jhon Anderson seorang Inggris melakukan kunjungan ke Kampung Medan tahun 1823 dan mencatat dalam bukunya Mission to the East Coast of Sumatera bahwa penduduk Kampung Medan pada waktu itu masih berjumlah 200 orang tapi dia hanya melihat penduduk yang berdiam dipertemuan antara dua sungai tersebut. Anderson menyebutkan dalam bukunya “Mission to the East Coast of Sumatera“ (terbitan Edinburg 1826) bahwa sepanjang sungai Deli hingga ke dinding tembok mesjid Kampung Medan di bangun dengan batu-batu granit berbentuk bujur sangkar. Batu-batu ini diambil dari sebuah Candi Hindu Kuno di Jawa. Pesatnya perkembangan Kampung "Medan Putri", juga tidak terlepas dari perkebunan tembakau yang sangat terkenal dengan tembakau Delinya, yang merupakan tembakau terbaik untuk pembungkus cerutu. Pada tahun 1863, Sultan Deli memberikan kepada


(58)

Nienhuys Van der Falk dan Elliot dari Firma Van Keeuwen en Mainz & Co, tanah seluas 4.000 bahu (1 bahu = 0,74 ha) secara erfpacht 20 tahun di Tanjung Sepassi, dekat Labuhan. Contoh tembakau deli. Maret 1864, contoh hasil panen dikirim ke Rotterdam di Belanda, untuk diuji kualitasnya. Ternyata daun tembakau tersebut sangat baik dan berkualitas tinggi untuk pembungkus cerutu. Kemudian pada tahun 1866, Jannsen, P.W. Clemen, Cremer dan Nienhuys mendirikan de Deli Maatscapij di Labuhan. Kemudian melakukan ekspansi perkebunan baru di daerah Martubung, Sunggal (1869), Sungai Beras dan Klumpang (1875), sehingga jumlahnya mencapai 22 perusahaan perkebunan pada tahun 1874. Mengingat kegiatan perdagangan tembakau yang sudah sangat luas dan berkembang, Nienhuys memindahkan kantor perusahaannya dari Labuhan ke Kampung "Medan Putri". Dengan demikian "Kampung Medan Putri" menjadi semakin ramai dan selanjutnya berkembang dengan nama yang lebih dikenal sebagai "Kota Medan".

3. Legenda Kota Medan

Menurut legenda di zaman dahulu kala pernah hidup di Kesultanan Deli lama kira-kira 10 Km dari Kampung Medan yakni di Deli Tua sekarang seorang Putri yang sangat cantik dan karena kecantikannya diberi nama Putri Hijau. Kecantikan Putri ini tersohor kemana-mana mulai dari Aceh sampai ke ujung Utara Pulau Jawa. Sultan Aceh jatuh cinta pada Putri itu dan melamarnya untuk dijadikan permaisurinya. Lamaran Sultan Aceh itu ditolak oleh saudara kedua laki-laki Putri Hijau. Sultan aceh sangat marah karena penolakan itu dianggapnya sebagai penghinaan terhadap dirinya.


(59)

Maka pecahlah perang antara Kesultanan Aceh dengan Kesultanan Deli. Menurut legenda yang tersebut di atas, dengan menggunakan kekuatan gaib seorang dari saudara Putri hijau menjelma menjadi seekor ular naga dan seorang lagi menjadi sepucuk meriam yang tidak henti-hentinya menembaki tentara Aceh hingga akhir hayatnya. Kesultanan Deli lama mengalami kekalahan dalam peperangan itu dan karena kecewa Putra Mahkota yang menjelma menjadi meriam itu meledak sebagian, bagian belakangnya terlontar ke Labuhan Deli dan bagian depannya kedataran tinggi Karo kira-kira 5 Km dari Kabanjahe. Putri Hijau ditawan dan dimasukkan dalam sebuah peti kaca yang dimuat kedalam kapal untuk seterusnya dibawa ke Aceh. Ketika kapal sampai di Ujung Jambo Aye, Putri Hijau mohon diadakan satu upacara untuknya sebelum peti diturunkan dari kapal. Atas permintaannya, harus diserahkan padanya sejumlah beras dan beribu-ribu telur dan permohonan tuan Putri dikabulkan. Tetapi baru saja upacara dimulai tiba-tiba berhembuslah angin ribut yang maha dahsyat disusul gelombang-gelombang yang sangat tinggi. Dari dalam laut muncullah abangnya yang telah menjelma menjadi ular naga itu dan dengan menggunakan rahangnya yang besar itu diambilnya peti tempat adiknya dikurung, lalu dibawanya masuk ke dalam laut. Legenda ini sampai sekarang masih terkenal di kalangan masyarakat Deli dan malahan juga dalam masyarakat Melayu di Malaysia. Di Deli Tua masih terdapat reruntuhan Benteng dan Puri yang berasal dari zaman Putri Hijau, sedangkan sisa meriam penjelmaan abang Putri Hijau itu dapat dilihat di halaman Istana Maimun Medan


(60)

4.2 Letak Geografis Kota Medan

Kota Medan memiliki luas 26.510 hektar (265,10 km²) atau 3,6% dari keseluruhan wilayah Sumatera Utara yang dibagi ke dalam 21 kecamatan seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 2

Luas Wilayah Kota Medan

No. Kecamatan Luas (km2)

1. Medan Tuntungan 20,68

2. Medan Selayang 12,81

3. Medan Johor 14,58

4. Medan Amplas 11,19

5. Medan Denai 9,05

6. Medan Tembung 7,99

7. Medan Kota 5,27

8. Medan Area 5,52

9. Medan Baru 5,84

10. Medan Polonia 9,01

11. Medan Maimun 2,98

12. Medan Sunggal 15,44


(61)

14. Medan Barat 6,82

15. Medan Petisah 5,33

16. Medan Timur 7,76

17. Medan Perjuangan 4,09

18. Medan Deli 20,84

19. Medan Labuhan 36,67

20. Medan Marelan 23,82

21. Medan Belawan 26,25

TOTAL 265,10

Sumber : BPS Kota Medan

Dengan demikian, dibandingkan dengan kota / kabupaten lainya, Kota Medan memiliki luas wilayah yang relatif kecil dengan jumlah penduduk yang relatif besar. Secara geografis kota Medan terletak pada 3° 30' – 3° 43' Lintang Utara dan 98° 35' - 98° 44' Bujur Timur. Untuk itu topografi Kota Medan cenderung miring ke utara dan berada pada ketinggian 2,5 - 37,5 meter di atas permukaan laut. Adapun batas-batas wilayah Kota Medan adalah sebagai berikut :

Sebelah Utara : berbatasan dengan Selat Malaka

Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang

Sebelah Barat : berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang


(62)

Dari luas wilayah Kota Medan dapat dipersentasekan sebagai berikut : 1. Pemukiman 36,3 %

2. Perkebunan 3,1 % 3. Lahan Jasa 1,9 % 4. Sawah 6,1 % 5. Perusahaan 4,2 %

6. Kebun Campuran 45,4 % 7. Industri 1,5 %

8. Hutan Rawa 1,8 %

Secara geografis, Kota Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam, seperti Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan lain-lain. Kondisi ini menjadikan Kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan dan saling memperkuat dengan daerah-daerah sekitarnya. Kota Medan juga merupakan jalur sungai. Sedikitnya ada sembilan sungai yang melintasi kota ini, yaitu :

1. Sungai Belawan 2. Sungai Badera 3. Sungai Sikambing 4. Sungai Putih 5. Sungai Babura 6. Sungai Deli


(1)

5. Sosiologi memandang gay sebagai perilaku yang terjadi pada seorang individu akibat sosialisasi yang muncul pada masa lalu seorang individu yang sangat menentukan dan mempengaruhi perubahan orientasi seksual seorang individu menjadi homoseksual. Karena dalam memahami perilaku individu, sosiologi memusatkan perhatian pada hubungan antara pengaruh perilaku seorang individu terhadap lingkungan dan dampak lingkungan terhadap individu itu sendiri.

7.2 Saran

Adapun yang menjadi saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Kaum gay cukup rentan dalam penularan penyakit kelamin dan HIV/AIDS.

Oleh sebab itu kepada para gay terutama yang suka berpetualang melakukan hubungan seksual dengan banyak laki-laki (gay dan biseks) dianjurkan untuk tetap selalu melakukan “savety sex” atau hubungan seksual yang aman dengan cara menggunakan kondom. Dengan demikian penularan penyakit kelamin dan HIV/AIDS dapat diminimalisir bahkan dicegah.

2. Kekerasan seksual yang dilakukan atas alasan apapun sebenarnya adalah perbuatan yang dapat mengancam keselamatan hidup seseorang, tidak terkecuali pada pasangan heteroseksual maupun homoseksual. Hal ini karena selain menderita secara fisik, korban kekerasan seksual juga menderita secara psikis karena mengalami kejadian yang traumatik dan sulit untuk dilupakan.


(2)

Ketakutan yang terbesar adalah bila pengalaman traumatik tersebut dilakukan kembali oleh korban kepada orang lain.

3. Bagi peneliti lain yang tertarik untuk meneliti tentang kaum gay dari segi apapun diharapkan untuk terlebih dahulu melakukan pendekatan-pendekatan yang persuasif dengan informan sehingga data yang dibutuhkan dapat diperoleh dengan baik tanpa ada pihak yang merasa dirugikan. Hal ini perlu dilakukan karena pembahasan mengenai gay adalah masalah yang sangat sensitif di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Tidak banyak gay yang mau membeberkan pengalaman hidupnya sebagai seorang gay dengan jelas dan terang karena kebanyakan dari kaum gay masih tergolong pada kelompok gay hidden atau gay yang menyembunyikan identitas dirinya sebagai seorang gay dari kebanyakan orang apalagi keluarganya sendiri.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul, Kadir Hatib. 2007. Tangan Kuasa dalam Kelamin Telaah Homoseks, Pekerja Seks dan Seks Bebas di Indonesia. Yogyakarta : Insist Press.

Alimi, M. Yasir. 2004. Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial dari Wacana Bangsa hingga Wacana Agama. Yogyakarta : LkiS.

Arikunto, Suharsimi. 2006. PROSEDUR PENELITIAN : Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : PT RINEKA CIPTA.

---. 2009. MANAJEMEN PENELITIAN. Jakarta : PT RINEKA CIPTA.

Badan Pusat Statistik Kota Medan. 2010. Kota Medan dalam Angka 2010. Medan : Badan Pusat Statistik Kota Medan.

Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Fakih, M. 2004. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka

Pelajar.

Foucault, Michel. 1997. Sejarah Seksualitas : Seks dan Kekuasaan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Giddens, Anthony. 2004. Transformation of Intimacy, Seksualitas, Cinta dan Erotisme dalam Masyarakat Modern. Jakarta : Fresh Book.

Gunawan, Rudy FX. 2002. Krisis Orgasme Nasional. Yogyakarta : Galang.

Hartoyo dan Titiana Adinda, 2009. Biarkan Aku Memilih ; Pengakuan Jujur Seorang Gay yang Coming Out. Jakarta : Elex Media Komputindo.

Irawan, Soehartono. 2004. Metode Penelitian Sosial. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Johnson, Doyle Paul. 2000. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Moleong, Lexy J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.


(4)

Oetomo, Dede. 2001. Memberi Suara pada yang Bisu. Yogyakarta : Galang.

Poloma, Margaret M. 2003. Sosiologi Komtemporer. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.

Priaga, Lanang. 2003. Menembus Kaum Gay Jakarta. Jakarta : Abdi Tandur.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2007. TEORI SOSIOLOGI MODERN. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Rochani, Ninik. 2004. Sejarah Homoseksualitas dari Zaman Kuno hingga Sekarang. Yogyakarta : Kreasi Wacana.

Soekanto, Soerjono. 2004. SOSIOLOGI KELUARGA Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja dan Anak. Jakarta : PT RINEKA CIPTA.

Scoot, James. 2000. Senjata Orang-orang yang Kalah. Jakarta : Obor.

Wieringa, Saskia E & Evelyn Blackwood, 2009. HASRAT PEREMPUAN, Relasi Seksual Sesama Perempuan dan Praktek Perempuan Transgender di Indonesia. Jakarta : Ardhanary Institute.

Situs Internet

Barnes, R. 2003. Same-Sex Battering Often Goes Unreported. San Antonio : Express-News, Saturday, May 17.

diakses Kamis/31 Maret

2011, pukul 10.07 WIB.

Davidson, R. 1997. The Gay Community’s Dirty Secret – Domestic Violence – is Finally Coming Out of The Closet.

Maret 2011, pukul 10.10 WIB.

Garbo, J. 2000. Reports of LGBT Domestic Violence on the Rise.

Nugroho, Sigit Cahyo, Siswati & Hastaning Sakti. 2005. Jurnal Pengambilan Keputusan Menjadi Homoseksual pada Laki-laki Usia Dewasa Awal.

, diakses Kamis/07 April 2011,


(5)

Spindle, L. 2003. New Study Shows Urban Gay Men as Likely to be Battered as Heterosexual Woman : HIV Diagnosis Often Triggers Violence.

http://gumc.georgetown.edu/communications/releases/battered-01242003.htm, diakses Kamis/31 Maret 2011, pukul 10.18 WIB.

Waldner-Haugrud, L. K. & Gratch, L. V. 1997. Sexual Coercion in Gay/Lesbian Relationships : Descriptives and Gender Differences. Violence and Victims, Volume 12, Number 1.

Maret, pukul 11.31 WIB.

diakses Selasa/08 Februari 2011, pukul 10.01 WIB.

diakses Selasa/08 Februari 2011, pukul 10.05 WIB.

diakses Selasa/08

Februari 2011, pukul 10.10 WIB.

diakses Selasa/08 Februari 2011, pukul 10.27 WIB.

diakses Rabu/30 Maret 2011,pukul 10.43 WIB.

Senin/11 April 2011, pukul 14.04 WIB.

November 2011, pukul 13.46 WIB.


(6)

Majalah / Buletin

Buletin Bulanan Gaya Nusantara, Edisi No. 14/Tahun 2003. Buletin Bulanan Gaya Nusantara, Edisi No. 31/Tahun 2004. Buletin Bulanan Telisik, Edisi No. 4/Tahun 2008.