AS MEMBUKA FRONT BARU

AS MEMBUKA FRONT BARU
Kepanikan AS pasca tragedi 11 September 2001 semakin menjadi-jadi. Pernyataan-pernyataan
pemerintah AS semakin tidak rasional alias ngawur. Beberapa waktu terakhir, AS cukup gencar
melontarkan opini negatif terhadap Indonesia. Mulai dari pernyataan bahwa di Indonesia terdapat
aktivis teroris berkaitan dengan beberapa peristiwa yang terjadi beberapa negara tetangga terutama
Filipina. Terakhir yang cukup meresahkan tuduhan AS terhadap rencana dan upaya membunuh
Presiden Megawati, serta menyebar opini bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta sudah tidak aman bagi
wisatawan Barat. AS kelihatan panik dan ngawur.
Kalau kita perhatikan, kepanikan AS itu tidak lepas dari ketakutannya terhadap perkembangan
gerakan Islam. Memang sejak runtuhnya Uni Soviet, AS merasa tidak mempunyai rival lagi. Sehingga
AS mencari-cari alasan untuk melaksanakan keinginan untuk menguasai dunia. Penyerangan terhadap
Afghanistan dijadikan alasan untuk memerangi terorisme. Berhasil menggempur Afghanistan, kini AS
mempunyai keinginan yang sangat besar untuk bisa menyerang Irak, dan menggulingkan Saddam
Husein dari tampuk kekuasaannya, dengan dalih Irak masih menyimpan senjata pemusnah massal.
Berbagai macam alasan bagi AS untuk melakukan sesuatu terhadap negara lain. Sementara itu terhadap
Israel, AS tutup mata. Tidak bisa berbuat sesuatu. Suatu hal yang sangat ironis. Apalagi jika berbicara
tentang Timur Tengah. AS sangat berkepentingan.
Dari perspektif perbandingan, AS adalah negeri yang luar biasa, kalaulah bukan unik, dalam
tidak adanya pembatasan-pembatasan untuk kebebasan berekspresi. Ia juga luar biasa dalam rentangan
dan keefektifan metode-metode yang digunakan untuk membatasi kebebasan berfikir. Kedua
fenomena ini saling berkait. Para teoritikus demokrasi liberal sudah lama menyatakan bahwa dalam

suatu masyarakat yang suara rakyatnya didengar, kelompok-kelompok elit harus yakin bahwa suarasuara itu mengungkapkan hal-hal yang benar. Semakin kecil kemampuan negara untuk menerapkan
kekerasan dalam mempertahankan kepentingan kelompok-kelompok elit yang secara efektif
mendominasinya, semakin ia membutuhkan pemikiran untuk menemukan ---dalam katak-kata Walter
Lippman lebih dari enam puluh tahun silam--- teknik-teknik “pengolahan persetujuan” atau ---menurut
ungkapan yang lebih disukai Edward Bernays, salah seorang bapak pendiri Industri Public Relations
Amerika--- “rekayasa persetujuan”.
Problem “rekayasa persetujuan demokratis” muncul dalam bentuk yang amat tajam jika
kebijakan negara tak dapat dipertahankan, dan menjadi serius sampai ke tingkat keseriusan masalahmasalahnya. Tak ada keraguan tentang keseriusan masalah-masalah yang muncul di Timur Tengah,
khususnya konflik Arab-Israel, yang lazimnya ---dan masuk akal--- dianggap sebagai “kotak mesiu”
yang akan memicu perang nuklir jika konflik regional ini menyentuh negara-negara adidaya, sesuatu
yang telah terjadi dengan jelas di masa lalu dan akan terus demikian di masa depan. Lebih jauh,
kebijakan AS telah nyata-nyata menyumbang untuk pelestarian situasi konfrontasi militer, dan
didasarkan pada asumsi-asumsi rasis terselubung yang tidak akan ditoleransi seandainya secara
terbuka.
Terdapat pula perbedaan mencolok antara sika-sikap masyarakat, yang umumnya mendukung
pembentukan negara Palestina kalau persoalan ini ditanyakan dalam pengumpulan-pengumpulan
pendapat, dan kebijakan negara, yang terang-terangan menghalangi pilihan ini, walaupun perbedaan ini
hanya berlangsung sejenak selama unsur-unsur masyarakat yang berani bicara dan aktif secara politik
menjaga disiplin yang memadai. Untuk memastikan hasil ini, perlulah dilakukan apa yang disebut para
sejarawan Amerika sebagai “rekayasa sejarah”, ketika mereka meminjamkan keahlian kepada

Pemerintahan Wilson selama Perang Dunia I dalam salah satu pelaksanaan-pelaksanaan awal
“pengolahan persetujuan” yang terencana. Ada pelbagai cara bagi tercapainya hasil ini.
Salah satu metodenya adalah menyiasati suatu pola Newspeak yang pas, yang didalamnya
istilah-istilah penting yang mengandung suatu arti teknis dipisahkan dari makna lazimnya. Lihatlah,
umpamanya, istilah “proses perdamaian”. Dalam pengertian teknisnya, sebagaimana digunakan dalam
media massa dan wacana ilmiah pada umumnya di Amerika Serika, ia menunjuk pada usulan-usulan
perdamaian yang diajukan oleh pemerintah AS. Maka, benarlah menurut definisinya bahwa AS
committed terhadap perdamaian, suatu konsekuensi yang bagus. Orang-orang yang berpikir lurus
berharap supaya Yordania mau bergabung dalam proses perdamaian ini; yaitu mau menerima
keharusan-keharusan yang ditekankan AS. Pertanyaan besarnya adalah apakah PLO akan setuju
bergabung dalam proses perdamaian ini, atau dapatkah haknya dijamin untuk ikut dalam acara besar
ini.
Dalam arti normal kata “perdamaian”, jawabannya tentu saja “Ya”. Setiap orang
menginginkan perdamaian, menurut syarat-syarat mereka sendiri; Hitler, misalnya, jelas menginginkan
perdamaian pada 1939, menurut syarat-syaratnya sendiri. Tetapi, dalam sistem pengendalian pikiran,

pertanyaannya jadi lain: apakah bangsa Palestina siap menerima syarat-syarat AS untuk perdamaian?
Syarat-syarat ini dipatri untuk menghapus hak menentukan nasib bangsa sendiri, namun ketakmauan
menerima konsekuensi ini menunjukkan bahwa bangsa Palestina tidak menginginkan perdamaian,
sebagaimana dirumuskan dalam Newspeak konvensional.***


Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 20-02