TINGKAT KECEMASAN WANITA DEWASA MADYA TIDAK BEKERJA YANG MENGALAMI EMPTY NEST (Penelitian Deskriptif di Kota Semarang Tahun 2014)

(1)

i

TINGKAT KECEMASAN

WANITA DEWASA MADYA TIDAK BEKERJA

YANG MENGALAMI EMPTY NEST

(Penelitian Deskriptif di Kota Semarang Tahun 2014)

SKRIPSI

disajikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi

pada Universitas Negeri Semarang

oleh

Eriyalita Ristaningtyas .P 1511410077

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


(2)

(3)

(4)

iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto:

A little knowledge that acts is worth infinitely more than much knowledge that is idle. (Kahlil Gibran)

Yang membuat hidup ini menarik adalah kemungkinan untuk mewujudkan impian menjadi kenyataan. (Paulo Coelho)

Success is not final, failure is not fatal: it is the courage to continue that counts. (Winston Churchill)

Kepuasan terletak pada usaha, bukan pada hasil. Berusaha dengan keras adalah kemenangan yang hakiki. (Mahatma Gandhi)

(Yaitu) orang – orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. (Q.S. 13: 28)

Persembahan :


(5)

v

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan karuniaNya yang tidak pernah berhenti kepada penulis serta petunjukNya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi dengan judul ”TINGKAT KECEMASAN WANITA DEWASA MADYA TIDAK BEKERJA YANG MENGALAMI EMPTY NEST”.

Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar kesarjanaan pada Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada pihak - pihak yang telah memberi dukungan materi maupun moril dengan baik. Dengan segenap ketulusan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Drs. Hardjono, M.Pd selaku Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan

Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan ijin penelitian kepada penulis dan jajaran Pimpinan Fakultas.

2. Bapak Dr. Edy Purwanto, M.Si selaku Ketua Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang.

3. Ibu Andromeda, S.Psi., M.Si selaku Dosen Wali yang telah membimbing dan mendampingi selama menjalani perkuliahan.

4. Ibu Sugiariyanti, S.Psi., M.A selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberi bimbingan dan pengarahan dengan penuh kesabaran selama penyusunan skripsi ini.


(6)

vi

5. Ibu Liftiah, S.Psi., M.Si dan Ibu Andromeda, S.Psi., M.Psi selaku Dosen Penguji yang telah memberi masukan kepada penulis.

6. Seluruh Dosen Jurusan Psikologi, atas semua ilmu dan pengetahuan yang telah diberikan selama penulis menjalani studi.

7. Seluruh Staf administrasi/ pengajaran, atas bantuan yang diberikan untuk memperlancar studi penulis.

8. Keluarga tercinta, Papah, Mamah, Adik dan semua keluarga besar terima kasih atas segala kasih sayang, perhatian, doa dan dukungan yang diberikan selama ini. Terima kasih juga karena telah memberikan kepercayaan yang besar selama ini.

9. Teman - temanku, dan teman – teman Psikologi Angkatan 2010 terima kasih atas pelajaran hidup, dan kebersamaan yang telah kalian berikan selama ini. Saat ini akan selalu menjadi suatu kenangan yang tidak akan terlupakan, tetap semangat dan terus berjuang..

10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan disini yang turut membantu kelancaran penyusunan skripsi.

Penulis menyadari akan kekurangan - kekurangan yang ditemukan dalam penyusunan skripsi ini, maka dengan besar hati penulis menerima segala kritik dan saran yang membangun guna kemajuan penulis. Akhir kata semoga karunia Tuhan selalu beserta kita semua.

Semarang, 12 Agustus 2014


(7)

vii

ABSTRAK

Pratami, Eriyalita Ristaningtyas. 2014. Tingkat Kecemasan Wanita Dewasa Madya Tidak Bekerja Yang Mengalami Empty Nest (Penelitian Deskriptif di Kota Semarang Tahun 2014). Skripsi, Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang. Sugiariyanti, S.Psi., M.A.

Kata kunci: kecemasan, wanita Dewasa Madya, empty nest.

Penelitian ini dilatarbelakangi adanya fenomena gejala kecemasan wanita dewasa madya tidak bekerja ketika mengalami periode empty nest. Kurangnya aktivitas atau kegiatan yang dilakukan dalam kesehariannya cenderung membuat mereka merasakan kejenuhan sehingga timbul kecemasan saat anak – anak telah jauh dari kehidupannya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui profil tingkat kecemasan wanita dewasa madya tidak bekerja yang mengalami empty nest. Penelitian ini melibatkan wanita dewasa madya yang tidak bekerja di Kota Semarang. Sampel yang diambil berjumlah 87 subjek wanita dewasa madya yang sedang menjalani periode empty nest dengan menggunakan teknik purpossive sampling.

Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan skala kecemasan. Pada skala kecemasan dihasilkan koefisien reliabilitas sebesar 0,919 dan dari 65 item didapatkan 54 item valid yang digunakan untuk data penelitian dengan nilai validitas item 0,090 – 0,178. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kecemasan wanita dewasa madya tidak bekerja yang mengalami empty nest di Kota Semarang tergolong berada pada kategori sedang dengan perolehan mean empiris sebesar 134, 6092. Hal ini berarti wanita dewasa madya sudah dapat mengelola emosi atau perasaan dengan baik ketika mereka sedang menjalani periode empty nest pada masa perkembangannya. Profil tingkat kecemasan wanita dewasa madya tidak bekerja yang mengalami empty nest banyak dialami oleh subjek yang berada pada usia dewasa madya awal, memiliki pendidikan terakhir SMA, anak telah meninggalkan rumah selama dua tahun, hanya memiliki dua orang anak, subjek yang tidak memiliki aktivitas, anak meninggalkan rumah dengan alasan pendidikan dan jarak domisili anak masih dalam satu pulau dengan orang tuanya.


(8)

viii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

LAMPIRAN ... xv

BAB 1.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 9

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 9


(9)

ix 2. LANDASAN TEORI

2.1 Kecemasan ... 10

2.1.1 Pengertian Kecemasan ... 10

2.1.2 Macam – macam Kecemasan ... 14

2.1.3 Tipe – tipe Kecemasan ... 17

2.1.4 Gejala - gejala Kecemasan ... 20

2.1.5 Faktor – faktor Kecemasan... 24

2.2Empty Nest ... 28

2.3 Wanita Dewasa Madya ... 30

2.4 Wanita Dewasa Madya Tidak Bekerja ... 35

2.5 Kerangka Pikir Penelitian ... 36

3. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 40

3.2 Desain Penelitian ... 40

3.3 Variabel Penelitian ... 41

3.3.1 Identifikasi Variabel Peneltitian ... 41

3.3.2 Definisi Operasional Variabel ... 41

3.4 Populasi dan Sampel ... 42

3.4.1 Populasi ... 42

3.4.2 Sampel ... 43

3.5 Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 43


(10)

x

3.6.1 Uji Validitas Alat Ukur ... 46

3.6.2 Uji Reliabilitas Alat Ukur ... 47

3.7 Analisis Data ... 47

3.7.1 Analisis Data Uji Coba (Tryout) ... 48

3.7.2 Analisis Data Hasil Penelitian ... 49

4. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN 4.1 Persiapan Penelitian ... 51

4.2 Orientasi Kancah ... 52

4.3 Proses Pengambilan Sampel ... 53

4.4 Laporan Hasil Penelitian ... 53

4.4.1 Hasil Deskripsi Penelitian ... 53

4.4.1.1 Gambaran Kecemasan ... 53

4.4.1.2 Gambaran Data Tambahan ... 62

4.4.1.3 Data Berdasarkan Tingkat Empty Nest Subjek ... 79

4.4.1.4 Kategori Tingkat Empty Nest Tinggi Berdasakan Mean Teoritik.. ... 80

4.5 Pembahasan ... 82

4.6 Keterbatasan Penelitian ... 89

5. PENUTUP 5.1 Simpulan ... 91


(11)

xi

DAFTAR PUSTAKA... 94 LAMPIRAN... 97


(12)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1 Blue Print Skala Tingkat Kecemasan Mengalami Empty Nest ... 44

3.2 Hasil Uji Reliabilitas dengan SPSS 17.0 ... 47

3.3 Hasil Uji Coba Instrumen Skala Tingkat Kecemasan Mengalami Empty Nest ... 48

4.1 Kriteria Tingkat Kecemasan ... 54

4.2 Distribusi Frekuensi Kecemasan ... 55

4.3 Kriteria Tingkat Kecemasan Gejala Fisiologis ... 57

4.4 Distribusi Frekuensi Kecemasan Gejala Fisiologis ... 57

4.5 Kriteria Tingkat Kecemasan Gejala Psikologis ... 59

4.6 Distribusi Frekuensi Kecemasan Gejala Psikologis ... 59

4.7 Rincian Tingkat Kecemasan dari Beberapa Gejala... 60

4.8 Kategori Tingkat Kecemasan Berdasarkan Mean Teoritik dan Mean Empirik... 62

4.9 Kategori Tingkat Kecemasan Subjek Berdasarkan Usia ... 62

4.10 Kategori Tingkat Kecemasan Subjek Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 64

4.11 Kategori Tingkat Kecemasan Subjek Berdasarkan Lamanya Anak Meninggalkan Rumah ... 66 4.12 Subjek Dengan Tingkat Kecemasan Kategori Rendah Berdasarkan


(13)

xiii

Lamanya Anak Meninggalkan Rumah... 69 4.13 Kategori Tingkat Kecemasan Subjek Berdasarkan Jumlah Anak

Yang Dimiliki ... 70 4.14 Subjek Dengan Tingkat Kecemasan Kategori Tinggi Berdasarkan

Jumlah Anak Yang Dimiliki ... 72 4.15 Kategori Tingkat Kecemasan Subjek Berdasarkan Aktivitas ... 74 4.16 Kategori Tingkat Kecemasan Subjek Berdasarkan Alasan Anak

Meninggalkan Rumah ... 75 4.17 Kategori Tingkat Kecemasan Subjek Berdasarkan Jarak Domisili

Anak Dengan Rumah ... 77 4.18 Kategori Tingkat Empty Nest Subjek ... 79 4.19 Kategori Tingkat Empty Nest Tinggi Berdasarkan Mean Teoritik ... 81


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Skema Kerangka Berpikir ... 39

4.1 Diagram Kecemasan ... 55

4.2 Diagram Gejala Fisiologis ... 58

4.3 Diagram Gejala Psikologis ... 60

4.4 Diagram Masing – Masing Gejala Tingkat Kecemasan ... 61

4.5 Diagram Tingkat Kecemasan Berdasarkan Usia ... 64

4.6 Diagram Tingkat Kecemasan Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 66

4.7 Diagram Tingkat Kecemasan Berdasarkan Lamanya Anak Meninggalkan Rumah ... 68

4.8 Diagram Subjek Kategori Tingkat Kecemasan Rendah Berdasarkan Lamanya Anak Meninggalkan Rumah... 69

4.9 Diagram Tingkat Kecemasan Berdasarkan Jumlah Anak Yang Dimiliki ... 72

4.10 Diagram Subjek Kategori Tingkat Kecemasan Tinggi Berdasarkan Jumlah Anak Yang Dimiliki ... 73

4.11 Diagram Tingkat Kecemasan Berdasarkan Aktivitas ... 75

4.12 Diagram Tingkat Kecemasan Berdasarkan Alasan Anak Meninggalkan Rumah ... 77

4.13 Diagram Tingkat Kecemasan Berdasarkan Jarak Domisili Anak Dengan Rumah ... 79


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Instrumen Penelitian ... 98

2. Tabulasi Data Skor Instrumen... 105

3. Tabulasi Data Skor Instrumen Valid ... 112

4. Tabulasi Data Hasil Penelitian Gejala Fisiologis ... 121

5. Tabulasi Data Hasil Penelitian Gejala Psikologis ... 126

6. Total Nilai Data Penelitian Valid ... 131

7. Uji Validitas ... 135

8. Uji Reliabilitas ... 142

9. Hasil Analisis Deskriptif Tingkat Kecemasan Mengalami Empty Nest ... 144


(16)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keluarga sebagai salah satu kelompok atau sekumpulan manusia yang hidup bersama sebagai satu kesatuan biasanya memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan atau ikatan lainnya dimana tinggal bersama dalam satu rumah yang dipimpin oleh seorang kepala keluarga. Setiono (2011: 24) menyatakan bahwa

“keluarga adalah kelompok orang yang ada hubungan darah atau perkawinan. Orang – orang yang termasuk keluarga adalah ibu, bapak dan anak – anaknya”.

Seorang wanita memiliki peran sebagai istri dan ibu serta pendidik dalam perkembangan anak – anaknya di dalam kehidupan berkeluarga. Wanita selain berkedudukan sebagai ibu rumah tangga, juga memiliki kesempatan untuk mengaktualisasikan diri dengan bekerja serta dapat mengekspresikan dirinya secara kreatif dan produktif untuk menghasilkan sesuatu. Sebagian wanita lebih mementingkan posisi sebagai pekerja atau wanita karir dan melepas tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga di dalam keluarga sehingga tugas dalam mengurus anak diserahkan kepada pihak lain.

Di sisi lain, ada wanita dengan peran ganda yang menyeimbangkan kehidupan karir dengan tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga. Terdapat pula wanita yang tidak memiliki karir atau tidak bekerja di luar rumah yang sering disebut sebagai profesi ibu rumah tangga. Wanita tersebut menjalankan perannya secara optimal dalam membina anak – anak dan keluarga. Wanita yang tidak


(17)

bekerja di luar rumah memiliki kegiatan yang cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan yang bekerja karena hanya melakukan pekerjaaan di dalam rumah saja. Aktivitas wanita yang tidak bekerja menjadi berkurang sehingga mudah merasakan kejenuhan atau kebosanan. Gunarsa (1995: 255) menyatakan

bahwa “wanita sebagai ibu rumah tangga memiliki bahaya kejenuhan akibat

pekerjaan rutin yang monoton”.

Wanita menganggap tugas sebagai orang tua akan berakhir setelah anak – anak pergi meninggalkan rumah untuk menjalani kehidupan masing – masing, baik itu karena harus bersekolah, merantau, berkuliah atau bekerja di luar kota maupun negeri, ataupun ketika anak telah menikah untuk tinggal bersama pasangannya. Periode ketika harus tinggal sendiri tanpa anak – anak disebut masa sepi. Ibarat induk burung yang membesarkan anak didalam sarang, pada suatu ketika harus membiarkan anak tersebut untuk terbang meninggalkan sarang. Hurlock (2007: 352) berpendapat bahwa masa ini disebut periode sarang kosong (empty nest), yaitu “masa ketika anak – anak tidak lagi tinggal bersama orang tua. Akibatnya wanita menjadi kesepian dan kehilangan sehingga tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menghilangkan rasa sepi tersebut ketika mereka sudah ditinggalkan oleh anak”.

Periode empty nest ini berlangsung ketika seorang wanita menginjak usia dewasa madya yang mana sering dialami sebagai masa sepi. Periode masa sepi pada usia madya lebih bersifat traumatik bagi wanita daripada bagi pria. “Hal tersebut khususnya pada wanita yang telah menghabiskan masa – masa dewasa mereka dengan pekerjaan rumah tangga dan bagi mereka yang kurang memiliki


(18)

minat atau sumber daya untuk mengisi waktu senggang mereka pada waktu pekerjaan rumah tangga berkurang atau selesai” (Hurlock, 2007: 324). Kondisi semacam ini mengakibatkan wanita dewasa madya merasa kehilangan peran intinya sebagai ibu dari anak – anak, karena anak telah menginjak dewasa dan tidak lagi membutuhkan pengasuhan seorang ibu sehingga muncul rasa kehilangan dibutuhkan oleh orang lain karena masing – masing anak telah memiliki kesibukan sendiri. Satiadarma (dalam Gunarsa, 2009: 411) mengatakan

bahwa “ketika anak – anak meninggalkan rumah dan hidup terpisah dari orang tua, para orang tua cenderung merasa cemas bahwa anak – anak para menantu mereka tidak dapat memenuhi harapan mereka, dan identitas mereka sebagai orang tua kian diabaikan, bahkan cenderung ditelantarkan oleh anak – anak serta menantu mereka”.

Mengecilnya sebuah keluarga berarti pula mengecilnya waktu untuk mengurus rumah tangga, sehingga waktu luang akan bertambah besar tanpa dapat diisi dengan suatu kegiatan yang dapat memuaskan bagi wanita yang tidak bekerja. Suardiman (2011: 85) menyatakan bahwa “gejala sarang kosong cenderung menjadi masalah pada perempuan yang secara tradisional cenderung feminin yang menghayati dirinya sebagai istri dan ibu. Sebaliknya perempuan yang biasa bekerja di luar rumah, kurang merasakan adanya gangguan psikologis pada saat anak terakhirnya meninggalkan rumah.”. Hal tersebut merupakan suatu sebab yang dapat meningkatkan masalah kecemasan pada wanita ketika harus menghadapi periode empty nest sehingga mudah dikuasai oleh perasaan kesepian karena peran sebagai orang tua mulai semakin berkurang.


(19)

Semiun (2010: 263) menjelaskan bahwa “Kecemasan adalah suatu perasaan tegang yang berhubungan dengan ketakutan, kekhawatiran, perasaan –

perasaan bersalah, perasaan tidak aman, dan kebutuhan akan kepastian”. Kecemasan dapat dirasakan oleh wanita ketika harus ditinggalkan oleh anak – anaknya pergi. Kemampuan individu untuk melakukan penyesuaian psikologis dalam menghadapi kenyataan tanpa kehadiran anak – anaknya dirumah merupakan indikator utama dari empty nest. Wanita seharusnya dapat menjalankan tugas – tugas perkembangan pada usia madya dengan baik, yaitu merasa lebih menikmati kebebasan, memiliki kesempatan untuk memperbaiki hubungan yang lebih berkualitas pada pasangan maupun melakukan hal yang disukai atau menyenangkan saat menghadapi fase empty nest. Wanita yang ditinggalkan oleh lingkungan sosial pada kenyataannya cenderung merasa dirinya semakin tidak berdaya dan perasaan ketidakberdayaan tersebut yang kemudian juga mempengaruhi untuk lebih bersikap tidak berdaya pula dalam menghadapi tantangan kehidupan selanjutnya.

Perasaan tidak dapat lagi untuk mengatur anak atau membuat keputusan untuk anak, merasa sedih ketika akan melepaskan anak merupakan hal yang wajar. Wanita yang merasa tidak berguna, merasa sangat sedih, menangis secara berlebihan, tidak dapat beraktivitas dan mengalami berbagai gejala fisiologis dan psikologis merupakan akibat dari munculnya kecemasan saat mengalami periode empty nest. Raup & Myers (dalam Thiel, 2008: 4) juga menambahkan bahwa

“Selain rasa kehilangan, kesedihan dan depresi, perasaan kecemasan juga dapat


(20)

Menurut hasil penelitian Zahro (2012) bahwa “bapak yang mengalami periode empty nest berada pada klasifikasi stres yang cenderung rendah, sedangkan ibu yang mengalami periode empty nest berada pada klasifikasi stres

yang cenderung tinggi”. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Andriyani (2007) menyatakan bahwa “wanita single parent yang mengalami empty nest memiliki kecemasan yang tinggi, sehingga mengindikasikan kemungkinan bahwa mereka berusaha untuk menekan rasa cemas yang dialami

dengan melakukan suatu bentuk mekanisme pertahanan diri”. Penelitian yang dilakukan oleh Rosa (2011) menunjukkan hasil bahwa “lanjut usia yang

mengalami empty nest (sangkar kosong) merasakan perasaan sedih, kesepian, dan rasa bersalah setelah lama tidak bertemu atau berkomunikasi dengan anaknya. Hal ini dikarenakan lansia dan anak memiliki hubungan yang dekat, dan peran orang

tua adalah peran utama bagi lanjut usia”. Berdasarkan penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa ibu, wanita single parent dan lansia memiliki kecemasan saat menghadapi empty nest.

Menurut penelitian Kitson (dalam Mbaeze dan Ukwandu, 2011: 168) wanita yang mengalami sindrom empty nest juga mengalami emosi yang kompleks, antara negatif dan positif. Emosi negatif seperti sedih, bertanya – tanya tentang diri, berurusan dengan rasa kehilangan terhadap seseorang, transisi, kecemasan dan mencari dukungan. Emosi positif seperti merasa lega, mencintai anak – anak dan merasa positif. Hal ini mempengaruhi kesejahteraan subjektif maupun kebermaknaan hidup ibu, seperti yang ditemukan dalam penelitian Hariyanti (2002) bahwa ibu yang memiliki empty nest tinggi, maka kesejahteraan


(21)

subjektifnya rendah, begitupun sebaliknya dan dalam penelitian Natalia (2009) menunjukkan bahwa tanggapan positif dan sikap aktif ibu dalam menjalani empty nest akan meningkatkan kebermaknaan hidupnya.

Sindrom empty nest datang dalam kehidupan pasangan ketika anak – anak mereka menjadi mandiri dan mulai bisa mencari kebutuhannya sendiri serta telah lepas dari keluarga ataupun orang tua. Kondisi semacam itu yang menyebabkan terjadinya kecemasan pada wanita dewasa madya yang tidak bekerja semakin mengalami kehampaan atau kekosongan. Hal tersebut diperkuat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Australian Psychological Society (dalam Iswati, 2007: 2) yang mengungkapkan bahwa “orang tua yang mengalami empty nest syndrome sering kali mengalami kesulitan dan perasaaan tidak mengenakkan setelah anak – anak mereka keluar dari rumah”.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan melalui penyebaran angket yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 17 Mei 2013 terhadap 9 orang responden dengan subjek wanita dewasa madya yang tidak bekerja di Kota Semarang menyatakan bahwa semua responden memiliki kecemasan dalam menghadapi periode empty nest (sarang kosong). Lima dari responden tersebut mengemukakan perasaan sedih dan takut ketika telah ditinggalkan anak – anak, karena mereka mengalami perasaan sepi jika harus tinggal sendiri di rumah tanpa anak. Wanita dewasa madya tersebut merasa kehilangan sesuatu ketika anaknya tidak lagi berada di rumah. Rasa dibutuhkan dan dicintai oleh anak menjadi berkurang karena kesendiriannya tersebut. Tiga responden juga mengaku merasa was – was menjalani hidup sendiri tanpa didampingi anak bahkan terkadang juga menangis


(22)

ketika memikirkan nasib anaknya yang telah berada diluar rumah. Wanita tersebut juga merasa tidak nyenyak saat tidur dan gelisah untuk hidup tanpa didampingi oleh anak. Sedangkan satu dari sembilan responden mengemukakan bahwa kesendiriannya mengakibatkan berkurang konsentrasi ketika suatu saat harus teringat anak. Perasaan yang tidak nyaman itu membuat wanita sulit untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan hidupnya di usia dewasa madya.

Hasil wawancara pada tanggal 21 September 2013 dengan 2 responden wanita dewasa madya lain yang tidak bekerja di Kota Semarang juga merasakan cemas ketika harus ditinggalkan oleh anak - anak menikah dan tinggal bersama pasangan di luar kota yang cukup jauh. Rasa khawatir hidupnya akan sangat kesepian tanpa anak apalagi usia yang menginjak semakin mendekati masa usia lanjut semakin besar. Responden berpikir tidak ada lagi yang akan menemani saat tua, sehingga harus menyesuaikan diri secara mandiri terhadap periode yang sedang mereka lalui tersebut.

Pada tanggal 16 November 2013 peneliti juga melakukan studi pendahuluan lagi terhadap 8 wanita dewasa madya di Kota Semarang, seluruhnya mengaku khawatir dan cemas tentang kehidupan dirinya dan kehidupan anaknya ketika harus melepaskan anak dari rumah. Kurangnya kegiatan karena profesi sebagai ibu rumah tangga menjadikan wanita – wanita tersebut merasa semakin tidak berdaya.

Permasalahan empty nest merupakan permasalahan yang rentan terjadi ketika wanita berada pada usia dewasa madya, terutama bagi wanita dewasa madya yang tidak bekerja. Hurlock (2007: 320) menyatakan bahwa “usia madya


(23)

merupakan masa yang penuh dengan kejenuhan. Para wanita menjadi jenuh dengan kegiatan rutin sehari – hari karena hanya menghabiskan waktunya untuk memelihara rumah dan membesarkan anak –anaknya”. Kurangnya aktivitas yang dilakukan dalam kesehariannya cenderung membuat mereka merasakan kejenuhan ketika ditinggalkan oleh anak – anaknya. Berbagai gejala – gejala kecemasan juga timbul di dalam diri wanita tersebut ketika memikirkan anak - anak yang berada jauh dari kehidupannya. Masalah tersebut jika tidak diselesaikan maka akan dapat mengganggu mereka dalam melewati tugas – tugas pada masa usia dewasa madya menuju tahap perkembangan selanjutnya.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti “Tingkat Kecemasan Wanita Dewasa Madya Tidak Bekerja Yang Mengalami Empty Nest di Kota Semarang”.

1.2 Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimana profil tingkat kecemasan wanita dewasa madya tidak bekerja yang mengalami empty nest?”

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah ditentukan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui profil tingkat kecemasan wanita dewasa madya tidak bekerja yang mengalami empty nest.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis


(24)

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang psikologi khususnya psikologi perkembangan.

1.4.2 Manfaat Praktis

Berdasarkan pada hasil penelitian yang diperoleh maka diharapkan penelitian ini akan dapat memberikan manfaat praktis sebagai berikut :

1.4.2.1 Bagi wanita dewasa madya yang tidak bekerja

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi wanita dewasa madya yang tidak bekerja.

1.4.2.2 Bagi suami, anak dan kerabat dekat

Bagi suami, anak dan kerabat wanita dewasa madya diharapkan dapat memberikan perlakuan yang tepat terhadap wanita dewasa madya yang tidak bekerja ketika sedang mengalami empty nest.

1.4.2.3 Bagi peneliti selanjutnya

Bagi penelitian selanjutnya diharapkan dapat meneliti lebih lanjut mengenai berbagai macam permasalahan yang dihadapi oleh wanita dewasa madya tidak bekerja yang mengalami empty nest serta mengkaji hubungannya secara psikologis dengan lingkungan di sekitarnya.


(25)

10

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Kecemasan

2.1.1 Pengertian Kecemasan

Istilah kecemasan menurut Freud (dalam Zaviera 2007: 97) yaitu “suatu konflik diantara kekuatan – kekuatan untuk menguasai ego, sehingga ego merasa terjepit dan terancam seolah – olah akan lenyap digilas kekuatan – kekuatan

tersebut”. “Kecemasan adalah fungsi ego untuk memperingatkan individu tentang

kemungkinan datangnya suatu bahaya sehingga dapat disiapkan reaksi adaptif

yang sesuai” (Alwisol, 2010: 22).

Nevid, dkk (2005: 179) menyatakan bahwa “kecemasan merupakan suatu

keadaan emosional yang mempunyai ciri keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan perasaan aprehensif bahwa sesuatu yang

buruk akan terjadi”. Chaplin (2009: 32) mendefinisikan bahwa “kecemasan sebagai suatu perasaan campuran berisikan ketakutan dan keprihatinan mengenai masa – masa mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakuan tersebut”. Davidson & Neale (dalam Liftiah, 2009: 63) menyatakan bahwa “kecemasan merupakan kondisi mood yang negatif yang ditandai dengan simptom – simptom tubuh, ketegangan fisik dan ketakutan pada hal – hal yang akan terjadi”. “Kecemasan juga merupakan suatu keadaan tegang yang memotivasi kita untuk berbuat


(26)

adalah suatu perasaan tegang yang berhubungan dengan ketakutan, kekhawatiran, perasaan – perasaan bersalah, perasaan tidak aman, dan kebutuhan akan

kepastian”.

Menurut Maslim (2003: 72) “anxietas dicetuskan oleh adanya situasi atau objek yang jelas (dari luar individu itu sendiri), yang sebenarnya pada saat kejadian ini tidak membahayakan”. “Kecemasan adalah suatu keadaan yang

menggoncangkan karena adanya ancaman terhadap kesehatan” (Sundari, 2005:

51). “Kecemasan pada dasarnya adalah suatu reaksi diri untuk menyadari suatu ancaman (threat) yang tidak menentu” (Yusuf dan Nurihsan, 2005: 258). Effendi dan Tjahjono (dalam Sari, 2006: 8) menyatakan bahwa “kecemasan tidak selalu berdasarkan kenyataan tetapi dapat juga berdasarkan imajinasi individu dan kecemasan yang tidak rasional oleh ketakutan individu akan ketidakmampuan diri

sendiri”.

Kecemasan atau anxietas adalah rasa khawatir, takut yang tidak jelas sebabnya (Gunarsa, 2003: 27). Nevid, dkk (2005: 163) mengemukakan bahwa

“anxietas/kecemasan (anxiety) adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi”. Suliswati, dkk (2005: 108) menjelaskan bahwa:

“kecemasan adalah respon emosi tanpa objek yang spesifik yang

secara subjektif dialami dan dikomunikasikan secara interpersonal. Kecemasan adalah kebingungan, kekhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi dengan penyebab yang tidak jelas dan dihubungkan

dengan perasaan tidak menentu dan tidak berdaya”.

“Kecemasan merupakan keadaan suasana-hati yang ditandai oleh afek negatif dan gejala-gejala ketegangan jasmaniah dimana seseorang mengantisipasi kemungkinan datangnya bahaya atau kemalangan di masa yang akan datang dengan perasaan khawatir.


(27)

Kecemasan mungkin melibatkan perasaan, perilaku, dan

respons-respons fisiologis” (Durand dan Barlow, 2006: 159).

Definisi lain juga dijelaskan oleh Wade dan Tavris (2007: 330) yaitu bahwa:

“kecemasan merupakan perasaan cemas dan takut yang

berlangsung terus – menerus serta tidak dapat dikendalikan, perasaan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi, dan rasa ketakutan yang sangat kuat yang muncul pada sebagian besar hari selama periode enam bulan, dan tidak disebabkan oleh sesuatu yang berkaitan dengan fisik, seperti penyakit atau obat –obatan”.

Kartono (2002: 129) mengemukakan bahwa “kecemasan ialah semacam

kegelisahan-kekhawatiran dan “ketakutan” terhadap sesuatu yang tidak jelas, yang

difus atau baur, dan mempuyai ciri yang mengazab pada seseorang”.

“Kecemasan sebagai gangguan alam perasaan yang ditandai

dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas, kepribadian masih tetap utuh, perilaku dapat terganggu tetapi masih dalam batas –batas normal” (Hawari, 2006: 18).

Atkinson, dkk (2010: 476) mengungkapkan bahwa “kecemasan

merupakan keadaan yang memprihatinkan atau serba salah, yang berkaitan dengan rasa takut. Objek rasa cemas (seperti bahaya samar – samar, kekhawatiran) biasanya tidak begitu spesifik

ketimbang objek rasa takut (seperti binatang buas)”.

Barbee dan Regier (dalam Boeree, 2010: 466) mengemukakan bahwa

“kecemasan umumnya sama – sama abnormal/tidak waras-nya (comorbid) dengan depresi berat. Kira – kira satu setengah dari mereka dengan diagnosis utama

depresi berat juga punya gangguan kecemasan”.

Menurut Peplau (dalam Suliswati dkk, 2005: 109) ada 3 tingkat kecemasan yang dialami oleh individu, antara lain:


(28)

1. Kecemasan Rendah

Kecemasan rendah biasanya dihubungkan dengan ketegangan yang dialami sehari – hari. Individu masih waspada serta lapang persepsinya meluas, menajamkan indra. Dapat memotivasi individu untuk belajar dan mampu memecahkan masalah secara efektif dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas. Contohnya yaitu seseorang yang menghadapi ujian akhir, pasangan dewasa yang akan memasuki jenjang pernikahan, individu yang akan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dan individu yang tiba – tiba dikejar anjing menggonggong.

2. Kecemasan Sedang

Kecemasan sedang ini biasanya individu hanya terfokus pada pikiran yang menjadi perhatiannya, terjadi penyempitan lapangan persepsi, masih dapat melakukan sesuatu dengan arahan orang lain. Contohnya yaitu pasangan suami-istri yang sedang menghadapi kelahiran bayi pertama dengan resiko tinggi dan individu yang mengalami konflik dalam pekerjaan.

3. Kecemasan Tinggi

Kecemasan tinggi ini biasanya lapangan persepsi individu sangat sempit. Pusat perhatiannya pada detail yang kecil (spesifik) dan tidak dapat berfikir tentang hal – hal lain. Seluruh perilaku dimaksudkan untuk mengurangi kecemasan dan perlu banyak perintah/ arahan untuk terfokus pada area lain. Contohnya yaitu individu yang mengalami kehilangan harta benda dan orang yang dicintai karena bencana alam dan indivu dalam penyanderaan.


(29)

Berdasarkan definisi tersebut dapat dinyatakan bahwa kecemasan merupakan suatu bentuk emosi atau perasaan tidak menyenangkan yang muncul ketika seseorang dihadapkan pada sesuatu yang mengancam dirinya serta ditandai dengan ketakutan, keadaan khawatir, perasaan tidak aman terhadap suatu hal yang akan terjadi di masa mendatang.

2.1.2 Macam – macam Kecemasan

Sunaryo (2005: 159) menjelaskan bahwa macam – macam kecemasan dapat berupa:

1. Kecemasan yang mengambang (free floating anxiety) yaitu tidak ada hubungannya dengan pikiran.

2. Agitasi yaitu kecemasan yang disertai dengan kegelisahan motorik yang hebat. 3. Panik yaitu serangan kecemasan yang hebat dengan kegelisahan, kebingungan, dan hiperaktivitas yang tidak terorganisasi.

4. Eforia yaitu rasa riang, gembira, senang, dan bahagia yang berlebihan. 5. Anhedonia yaitu ketidakmampuan merasakan kesenangan.

6. Kesepian yaitu merasa dirinya ditinggalkan. 7. Kedangkalan yaitu kemiskinan afek dan emosi.

8. Afek dan emosi yang tidak wajar (tak patut atau tak wajar) yaitu terkikih – kikih waktu wawancara.

9. Afek dan emosi yang labil yaitu tiba – tiba marah – marah atau nangis.

10. Variasi afek dan emosi sepanjang hari yaitu perubahan afek dan emosi mulai sejak pagi sampai malam hari.


(30)

11. Ambivalensi yaitu emosi dan afek yang berlawanan timbul bersama – sama terhadap suatu objek, hal atau orang.

12. Apatis yaitu berkurangnya afek dan emosi terhadap semua hal dengan disertai rasa terpencil dan tidak peduli. Dapat diartikan pula sebagai menurunnya kesadaran.

13. Amarah yaitu kemurkaan atau permusuhan, yang ditandai sifat agresif. Menurut Sundari (2005: 51) ada tiga macam jenis kecemasan yaitu:

1. Kecemasan karena merasa berdosa dan bersalah, misalnya telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nuraninya atau keyakinannya.

2. Kecemasan karena akibat melihat atau mengetahui bahaya yang mengancam dirinya.

3. Kecemasan dalam bentuk yang kurang jelas, apa yang ditakuti tidak seimbang, bahkan benda yang ditakuti tidak berbahaya.

Kartono (dalam Wahyuningsih, 2006: 14) menyatakan kecemasan dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu:

1. Kecemasan Neurotis

Erat kaitannya dengan mekanisme pertahanan diri yang negatif. Faktor penyebabnya adalah perasaan bersalah dan berdosa serta mengalami konflik – konflik emosional yang serius dan kronis berkesinambungan, frustasi, dan ketegangan batin.


(31)

2. Kecemasan Psikotis

Kecemasan ini dapat terjadi karena adanya faktor – faktor sebagai berikut; adanya perasaan bahwa hidupnya terancam dan kacau balau, adanya kebingungan yang hebat yang disebabkan oleh depersonalisasi dan disorganisi psikis.

Kecemasan akan timbul manakala orang tidak siap menghadapi ancaman. Freud (dalam Alwisol 2010: 22) mengemukakan tiga jenis kecemasan, antara lain: 1. Realistic Anxiety

Merupakan ketakutan pada bahaya yang nyata ada di dunia luar. Kecemasan realistik ini menjadi asal-muasal timbulnya kecemasan neurotik dan kecemasan moral.

2. Neurotic Anxiety

Merupakan ketakutan terhadap hukuman yang bakal diterima dari orang tua atau figur penguasa lainnya jika seseorang memuaskan insting dengan caranya sendiri, yang diyakininya akan menuai hukuman.

3. Moral Anxiety

Merupakan kecemasan yang timbul ketika orang pernah melanggar standar nilai orang tua. Kecemasan ini hampir mirip dengan kecemasan neurotik, tetapi memiliki perbedaan prinsip yakni tingkat kontrol ego. Pada kecemasan moral orang tetap rasional dalam memikirkan masalahnya berkat energi super ego, sedangkan pada kecemasan neurotik orang yang dalam keadaan distres, terkadang panik sehingga mereka tidak dapat berpikir jelas dan energi id menghambat penderita kecemasan neurotik membedakan khayalan dengan realita.


(32)

Berdasarkan pemikiran para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa macam – macam kecemasan meliputi kecemasan realistis, kecemasan neurotis dan kecemasan moral.

2.1.3 Tipe – tipe Kecemasan

Hawari (2013: 70) membagi tipe – tipe kecemasan yang di dominasi oleh gejala psikis, antara lain:

1. Gangguan panik

Yaitu kecemasan yang datangnya mendadak disertai oleh perasaan takut mati, disebut juga sebagai serangan panik (panic attact).

2. Gangguan Phobik

Gangguan phobic adalah salah satu bentuk kecemasan yang didominasi oleh gangguan alam pikir phobia. Phobia adalah ketakutan yang menetap dan tidak rasional terhadap suatu objek, aktivitas atau situasi tertentu (spesifik) yang menimbulkan suatu keinginan mendesak untuk menghidarinya. Gangguan phobic meliputi agoraphobia dan phobia sosial.

3. Gangguan Obsesif-Kompulsif

Obsesi adalah suatu bentuk kecemasan yang di dominasi oleh pikiran yang terpacu (persistance) dan berulang kali muncul (reccurent). Sedangkan kompulsi adalah perbuatan yang dilakukan berulang – ulang sebagai konsekuensi dari pikiran yang bercorak obsesif. Seseorang yang menderita gangguan obsesif-kompulsif akan terganggu dalam fungsi atau peranan sosialnya.

Nevid, dkk (2005: 196) membagi tipe – tipe kecemasan atas lima tipe, antara lain:


(33)

1. Gangguan Panik

Terjadinya serangan panik yang berulang, yang merupakan episode teror yang luar biasa disertai dengan simtom fisiologis yang kuat pikiran – pikiran tetang bahaya yang segera datang atau malapetaka yang akan tiba, dan dorongan untuk melarikan diri.

2. Gangguan Kecemasan Menyeluruh

Kecemasan yang persisten yang tidak terbatas pada situasi tertentu. 3. Gangguan Fobia

Ketakutan yang berlebihan terhadap objek atau situasi tertentu. 4. Gangguan Obsesif Kompulsif

Obsesi berulang – ulang (pikiran intrusif yang berulang) dan/ atau kompulsi (tingkah laku repetitif yang dirasakan sebagai sesuatu yang harus dilakukan).

5. Gangguan Stress Traumatik

Reaksi maladaptif akut yang segera timbul setelah peristiwa traumatis (gangguan stress akut) atau reaksi maladaptif berkelanjutan terhadap suatu peristiwa yang traumatis (ganggua stress pasca trauma).

Atkinson (2010: 413) menyatakan kecemasan mempunyai tipe – tipe yang mendasarinya, antara lain:

1. Gangguan Kecemasan Umum dan Panik

Orang yang menderita kecemasan umum mungkin juga mengalami serangan panik, ketakutan yang berat dan mendadak atau teror. Selama serangan panik, individu merasa bahwa sesuatu yang menakutkan pasti akan terjadi.


(34)

2. Fobia

Orang yang berespon dengan ketakutan yang kuat pada stimulus atau situasi tertentu yang oleh sebagian besar orang tidak dianggap berbahaya dikatakan menderita. Individu biasanya menyadari bahwa rasa takutnya itu tidak rasional tetapi masih merasa cemas, yang dapat dihilangkan hanya dengan menghindari objek atau sitausi yang ditakutinya.

3. Gangguan Obsesif-Kompulsif

Gangguan ini didominasi oleh tindakan atau pikiran yang repetitif (berulang). Obsesi adalah intrusi persisten pikiran, bayangan atau impuls yang tidak diundang yang menimbulkan kecemasan. Kompulsi adalah dorongan yang tidak dapat ditahan untuk melakukan tindakan atau ritual tertentu yang menurunkan kecemasan.

Wade dan Tavris (2007: 323) juga menjelaskan tipe gangguan kecemasan yang meliputi:

1. Generalized Anxiety Disorder (GAD)

Keadaan cemas yang berlangsung secara terus – menerus, ditandai oleh perasaan khawatir dan takut, prihatin, kesulitan berkonsentrasi dan gejala ketegangan motorik.

2. Fobia

Ketakutan yang berlebihan dan tidak realistis terhadap sejumlah situasi, aktivitas atau objek tertentu. Beberapa jenis fobia yang umum seperti ketinggian (aerophobia), petir (brantophobia) atau ketakutan untuk berada di tempat tertutup (claustrophobio).


(35)

3. Serangan panik dengan atau tanpa agoraphobia

Ganggun kecemasan dimana seseorang mengalami serangan panik yang berulang – ulang, periode rasa takut yang hebat dan perasaan akan mengalami suatu musibah atau kematian, diikuti oleh gejala – gejala fisiologis seperti peningkatan detak jantung dan rasa pening.

4. Gangguan stress pasca trauma

Gangguan kecemasan dimana seseorang yang telah mengalami suatu peristiwa traumatik atau membahayakan dirinya, akan mengalami gejala seperti rasa kaku pada anggota tubuh, menghidupkan kembali peristiwa traumatik yang telah dialami dan meningkatkan stimuli fisiologis.

5. Pikiran – pikiran obsesif atau ritual – ritual kompulsif

Gangguan kecemasan dimana seseorang merasa terjebak dalam pikiran – pikiran yang repetitif dan terus menerus (obsesif) dan perilaku ritual repetitif (kompulsi) yang ditunjukkan untuk mengurang rasa cemas.

Berdasarkan pemikiran para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa tipe – tipe kecemasan meliputi gangguan panik, gangguan kecemasan menyeluruh, gangguan fobia, gangguan obsesif kompulsif dan ganguan stress traumatik.

2.1.4 Gejala – gejala Kecemasan

Kartono (2000: 120) menyebutkan gejala – gejala khas kecemasan, antara lain:

1. Hampir setiap kejadian meneyebabkan timbulnya rasa takut dan cemas. Takut yaitu rasa gentar, tidak berani terhadap suatu obyek konkrit. Cemas (gentar,


(36)

ragu-masygul) adalah bentuk ketidakberanian ditambah kerisauan terhadap hal – hal yang tidak jelas.

2. Disertai emosi – emosi kuat dan sangat tidak stabil. Suka marah dan sering dalam keadaan excited (heboh, gempar) yang memuncak. Sangat irritable; akan tetapi juga sering dihinggapi depresi.

3. Diikuti oleh bermacam – macam fantasi, delusi, ilusi dan delusion of persecution (delusi dikejar – kejar).

4. Sering merasa mual dan muntah – muntah. Badan merasa sangat lelah, banyak berkeringat, bergemetaran, dan seringkali menderita diarrhee atau murus.

5. Selalu dipenuhi ketegangan – ketegangan emosional dan bayangan – bayangan kesulitan yang imaginer (yang cuma ada dalam khayalan), walaupun tidak ada perangsang khusus.

Nevid, dkk (2005: 164) mengemukakan beberapa ciri kecemasan antara lain:

1. Ciri – ciri Fisik

Ciri – ciri fisik meliputi kegelisahan, kegugupan, tangan atau anggota tubuh yang bergetar atau gemetar, sensasi dari pita ketat yang mengikat di sekitar dahi, kekencangan pada pori – pori kulit perut atau dada, banyak berkeringat, telapak tangan yang berkeringat, pening atau pingsan, mulut atau kerongkongan terasa kering, sulit berbicara, sulit bernafas, bernafas pendek, jantung yang berdebar keras atau berdetak kencang, suara yang bergetar, jari – jari atau anggota tubuh yang menjadi dingin, pusing, merasa lemas atau mati rasa, sulit menelan, kerongkongan terasa tersekat, leher atau punggung terasa kaku, sensasi seperti


(37)

tercekik atau tertahan, tangan yang dingin dan lembab, terdapat gangguan sakit perut dan mual, panas dingin, sering buang air kecil, wajah terasa memerah, diare, merasa sensitif atau mudah marah.

2. Ciri – ciri Behavioral

Ciri – ciri behavioral meliputi perilaku menghindar, perilaku melekat dan dependen, dan perilaku terguncang.

3. Ciri – ciri Kognitif

Ciri – ciri kognitif meliputi khawatir tentang sesuatu, perasaan terganggu akan ketakutan atau aprehensi terhadap sesuatu yang terjadi di masa depan, keyakinan bahwa sesuatu yang mengerikan akan segera terjadi, tanpa ada penjelasan yang jelas, terpaku pada sensasi kebutuhan, sangat waspada tehadap sensasi kebutuhan, merasa terancam oleh orang atau peristiwa yang normalnya hanya sedikit atau tidak mendapat perhatian, ketakutan atau kehilangan kontrol, ketakutan akan ketidakmampuan untuk mengatasi masalah, berpikir bahwa dunia mengalami keruntuhan, berpikir bahwa semuanya tidak lagi bisa dikendalikan, berpikir bahwa semuanya terasa sangat membingungkan tanpa bisa diatasi, khawatir terhadap hal – hal sepele, berpikir tentang hal mengganggu yang sama secara berulang – ulang, berpikir bahwa harus bisa kabur dari keramaian kalau tidak pasti akan pingsan, pikiran terasa bercampur aduk atau kebingungan, tidak mampu menghilangkan pikiran – pikiran terganggu, berpikir akan segera mati meskipun dokter tidak menemukan sesuatu yang salah secara medis, khawatir akan ditinggal sendirian, sulit berkonsentrasi atau memfokuskan pikiran.


(38)

Yusuf dan Nurihsan (2005: 258) juga mengungkapkan bahwa “gejala

kecemasan nampak pada perubahan fisik, seperti gangguan pernafasan, detak jantung meningkat, berkeringat, dan lain – lain”. Daradjat (dalam Sari 2006: 15) mengatakan bahwa kecemasan sulit untuk diketahui dan dideteksi, hanya dapat diamati melalui reaksi – reaksi yang menimbulkannya baik psikologis maupun fisiologis:

1. Gejala Fisiologis

Yaitu ujung – ujung jari terasa dingin, pencernaan tidak teratur, jantung berdebar, keringat bercucuran, tidak nyenyak tidur, nafsu makan berkurang, kepala pusing, nafas sesak dan kurang bisa memusatkan perhatian.

2. Gejala Psikologis

Yaitu keadaan takut, merasa tertimpa bahaya, kurang dapat berkonsentrasi, tidak berdaya atau hilang kepercayaan diri, dan ingin lari dari kenyataan hidup.

Davidson & Neale (dalam Liftiah 2009: 63) mengungkapkan bahwa

“kecemasan ditandai dengan munculnya perasaan takut, kehati – hatian atau kewaspadaan yang tidak jelas dan tidak menyenangkan”. Liftiah (2009: 64) memaparkan bahwa sifat gangguan kecemasan menghasilkan respon secara fisik maupun psikologis:

“respon fisik misalnya: perut seakan diikat, jantung berdebar lebih keras, berkeringat, nafas tersenggal. Orang yang menderita gangguan kecemasan mengalami reaksi ini sering sekali dan lebih berat, menyebabkan seseorang tertekan dan tidak dapat melakukan pekerjaan mereka sehari – hari”.

Gejala – gejala kecemasan juga dikemukakan oleh Semiun (2010: 263) yaitu:


(39)

“kecemasan yang tidak wajar (tidak sehat) akan memberatkan individu dan menyebabkan kelumpuhan dalam memberikan keputusan dan melakukan tindakan yang secara khas terdapat pada simptom – simptom psikofisiologis, seperti misalnya, keluar keringat yang terlalu banyak, kesulitan bernapas, gangguan – gangguan pada perut (misalnya peptic ulcer), dan denyut jantung sangat cepat”.

Berdasarkan pemikiran para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa gejala

– gejala kecemasan adalah gejala fisiologis yang meliputi nafsu makan berkurang, pola makan terganggu, gangguan pencernaan, tangan dingin dan berkeringat, detak jantung meningkat, nafas sesak, kepala pusing, pingsan, tidur terganggu, dan gejala psikologis meliputi merasa khawatir, ketakutan, gelisah, sulit berkonsentrasi, tidak berdaya/ hilang kepercayaan diri, tidak dapat mengambil keputusan, mudah marah/ sensitif, merasa tidak nyaman, merasa tertekan.

2.1.5 Faktor – faktor Kecemasan

Kecemasan pada umumnya timbul karena disebabkan oleh faktor – faktor tertentu, menurut Freud (dalam Atkinson dkk, 1996: 212) ada lima sumber kecemasan yaitu:

1. Frustasi (tekanan perasaan)

Rintangan terhadap aktivitas yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu.

2. Konflik

Ada dua kebutuhan atau lebih yang berlawanan dan harus dipenuhi dalam waktu yang sama.


(40)

3. Ancaman

Adanya bahaya yang harus diperhatikan. 4. Harga diri

Harga diri adalah suatu penilaian yang dibuat oleh individu tentang dirinya sendiri dan dipengaruhi oleh interaksinya dengan lingkungan. Harga diri ini bukan merupakan faktor sejak lahir tetapi merupakan faktor yang dipelajari dan dibentuk berdasarkan pengalaman yang dimiliki individu.

5. Tekanan untuk melakukan sesuatu diluar kemampuan pada umumnya berasal dari lingkungan sekitar. Adanya dukungan dari lingkungan membuat kecemasan berkurang.

Faktor - faktor yang mempengaruhi timbulnya kecemasan menurut Lazarus, dkk (dalam Retnowati, 2002) antara lain:

1. Derajat Ambiguitas

Faktor penting yang meninggikan kecemasan saat individu dihadapkan pada bahaya potensional adalah derajat keambiguannya.

2. Informasi

Informasi dan instruksi seringkali digunakan untuk membedakan antara situasi yang berbahaya atau tidak.

3. Stressor ekternal yang berat

Kemunculan stressor yang berat seperti perginya orang – orang yang dicintai atau kehilangan pekerjaan dapat memunculkan reaksi kecemasan.


(41)

4. Ekternal yang berkepanjangan dan kronis

Stressor yang berlangsung terus – menerus dalam jangka waktu lama dapat mempengaruhi usaha coping pada individu sehingga menjadi lemah.

5. Pengaruh lingkungan

Pengaruh lingkungan terhadap kepribadian individu ditunjukkan fakta, disamping bisa memuaskan atau menyenangkan individu, lingkungan bisa tidak menyenangkan, dan bahkan mengancam atau membahayakan individu. Apabila stimulus yang membahayakan itu terus – menerus menghantui atau mengancam individu maka individu ini akan mengalami kecemasan

Ramaiah (2003: 11) menjelaskan faktor utama yang mempengaruhi perkembangan pola dasar yang menunjukkan kecemasan, yaitu:

1. Lingkungan

Lingkungan atau tempat tinggal sekitar mempengaruhi cara berfikir tentang diri sendiri dan orang lain, pengalaman seseorang dengan keluarga, sahabat, rekan sekerja dan merasa tidak aman terhadap lingkungannya.

2. Emosi yang ditekan

Kecemasan dapat terjadi bila tidak mampu menemukan jalan keluar untuk perasaan dalam hubungan personal, menekan rasa marah atau frustasi dalam jangka waktu yang lama sekali.

3. Sebab – sebab fisik

Pikiran dan tubuh senantiasa saling berinteraksi dan dapat menyebabkan timbulnya kecemasan, keturunan dan gangguan emosi dalam keluarga tertentu (bukan sebab penting).


(42)

Nevid, dkk (2005: 180) mengemukakan faktor – faktor dalam gangguan kecemasan antara lain:

1. Faktor Kognitif

Faktor kognitif dapat berupa prediksi yang berlebihan terhadap rasa takut, keyakinan yang Self-Defeating atau irasional, sensitivitas berlebihan terhadap ancaman, sensitivitas kecemasan, salah mengatribusi sinyal – sinyal tubuh, dan self-efficacy yang rendah.

2. Faktor Biologis

Faktor biologis dapat berupa hereditas, dan keseimbangan biokomia di otak.

Adler dan Rodman (dalam Ghufron & Rini, 2010: 145) menyatakan terdapat dua faktor yang menyebabkan adanya kecemasan, yaitu:

1. Pengalaman negatif masa lalu

Pengalaman ini merupakan hal yang tidak menyenangkan pada masa lalu mengenai peristiwa yang dapat terulang lagi pada masa mendatang, apabila individu tersebut menghadapi situasi atau kejadian yang sama dan juga tidak menyenangkan, hal tersebut merupakan pengalaman umum yang menimbulkan kecemasan.

2. Pikiran yang tidak rasional

Para psikolog memperdebatkan bahwa kecemasan terjadi bukan karena suatu kejadian, melainkan kepercayaan atau keyakinan tentang kejadian itulah yang menjadi penyebab kecemasan.


(43)

Berdasarkan pemikiran para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa faktor

– faktor dalam kecemasan meliputi derajat ambiguitas, informasi, stressor eksternal yang berat, eksternal yang berkepanjangan dan kronis, pengaruh lingkungan.

2.2

Empty Nest

Borland (dalam Raup & Myers, 1989: 180) menjelaskan bahwa “The empty nest syndrome is a maladaptive response to the postparental transition, which is stimulated by reactions to loss”

“Sindrom sarang kosong adalah respon maladaptif dengan transisi pasca

orangtua, yang dirangsang oleh reaksi terhadap kehilangan”.

“Sindrom sarang kosong adalah respon maladaptif dengan transisi

pasca menjadi orang tua. Orang tua terutama ibu, mungkin menderita dari segala macam gejala ketika anak – anak mereka meninggalkan rumah, seperti rasa kehilangan, kesedihan dan depresi. Perasaan kecemasan juga dapat diperkuat oleh

kekhawatiran tentang kesejahteraan anak.” (Raup & Myers, 1989:

180).

Iswati (2007: 1) berpendapat bahwa “empty nest syndrome pada usia dewasa madya adalah sidrom yang terjadi pada usia dewasa madya karena anak – anak telah dewasa dan mandiri meninggalkan rumah untuk bekerja, menikah,

merantau atau kuliah”. Herarti (dalam Iswati, 2007: 1) mendefinisikan “empty nest syndrome atau sindrom sarang kosong adalah rasa kosong yang biasa terjadi ketika anak – anak sudah mulai keluar rumah dan seorang ibu merasa tidak terlalu

dibutuhkan lagi oleh keluarganya”. Hurlock (2007: 352) mengemukakan bahwa

“sarang kosong merupakan waktu ketika anak – anak mulai meninggalkan rumah untuk studi di perguruan tinggi, menikah, atau mencari pekerjaan, orangtua harus


(44)

menghadapi masalah penyesuaian kehidupan”. “Empty nest merupakan fase transisional parenting, mengikuti anak terakhir yang meninggalkan rumah orang

tuanya” (Papalia dkk, 2008: 815). Menurut Mbaeze & Ukwandu (2011), empty nest syndrome merupakan suatu gangguan patologis yang muncul ketika anak

anak telah tumbuh menjadi dewasa dan kemudian meninggalkan rumah”.

Rosen, dkk (dalam Gunarsa, 2009: 409) mengatakan bahwa:

“sindrom sarang hampa (empty nest syndrome) adalah sindrom yang muncul pada sejumlah orang tua akibat adanya perasaan kehilangan dan krisis identitas yang mereka alami setelah anak – anak meninggalkan rumah dan hidup memisahkan diri dari orang

tua”.

Suardiman (2011: 84) menyatakan bahwa “the empty nest syndrome adalah suatu kondisi di mana perempuan menjadi depresi setelah anak terakhirnya

menikah dan meninggalkan rumah”.

“Empty nest syndrome is a feeling of grief and loneliness parents or

guardians may fell when their children leave home for the first time, such as to live on their own or to attend a college or university”(www.wikipedia.org).

“Sindrom sarang kosong adalah perasaan kesedihan dan kesepian

orang tua atau wali merasa ketika anak – anak mereka meninggalkan rumah untuk waktu pertama, seperti untuk hidup mereka sendiri atau untuk bekuliah di perguruan tinggi atau

universitas” (www.wikipedia.org).

Jahja (2011: 261) berpendapat bahwa “ciri usia madya ialah masa sepi

(empty nest) yaitu masa ketika anak –anak tidak lagi tinggal bersama orang tua.”

“Sarang kosong merupakan masalah serius bagi perempuan pada

masa tua yang sering mengidap the empty nest syndrome, yaitu idea di mana perempuan menjadi depresi sesudah anak terakhirnya meninggalkan rumah (membentuk keluarga sendiri). Orang tua, terutama ibu biasanya akan merasa sedih, sepi dan


(45)

Berdasarkan pemikiran para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa empty nest merupakan fase transisi yang dihadapi orang tua ketika anak – anak mulai meninggalkan rumah untuk bersekolah, berkuliah atau bekerja diluar kota/ negeri, merantau, menikah atau hidup bersama pasangannya sehingga orang tua mengalami perasaan kehilangan yang mendalam dan merasa tidak dibutuhkan oleh anak – anaknya lagi.

2.3 Wanita Dewasa Madya

Hurlock (2007: 320) menjelaskan bahwa “usia madya merupakan periode

yang panjang dalam rentang kehidupan manusia, biasanya usia tersebut dibagi-bagi ke dalam dua subdibagi-bagian, yaitu: usia madya dini (40 - 50 tahun) dan usia madya lanjut (50 – 60 tahun)”. Hurlock (2007: 320) mengungkapkan bahwa terdapat sejumlah karakteristik usia dewasa madya, antara lain:

a. Periode yang sangat ditakuti

Semakin mendekati usia tua, periode usia dewasa madya semakin terasa lebih menakutkan dilihat dari seluruh kehidupan manusia.

b. Masa transisi

Seperti halnya masa puber, yang merupakan masa transisi dari masa kanak

– kanak ke masa remaja dan kemudian dewasa, demikian pula usia madya merupakan masa dimana pria dan wanita meninggalkan ciri – ciri jasmani dan perilaku masa dewasanya dan memasuki suatu periode dalam kehidupan yang akan diliputi oleh ciri – ciri jasmani dan perilaku baru.


(46)

Penyesuaian secara radikal terhadap peran dan pola hidup yang berubah, khususnya bila disertai dengan berbagai perubahan fisik, selalu cenderung merusak homeotatis fisik dan psikologi seseorang dan membawa ke masa stres. d. Usia yang berbahaya

Usia madya dapat menjadi dan merupakan berbahaya dalam beberapa hal lain juga, yaitu suatu masa dimana seseorang mengalami kesusahan fisik sebagai akibat dari terlalu banyak bekerja, rasa cemas yang berlebihan, ataupun kurang memperhatikan hidup.

e. Usia canggung (awkward age)

Pria dan wanita berusia madya merasa bahwa keberadaan mereka dalam masyarakat tidak dianggap, orang – orang yang berusia madya sedapat mungkin berusaha untuk tidak dikenal oleh orang lain.

f. Masa berprestasi

Menurut Erikson (dalam Hurlock, 2007: 320), selama usia madya, orang akan menjadi lebih sukses atau sebaliknya mereka berhenti dan tidak mengerjakan sesuatu apapun lagi.

g. Masa evaluasi

Usia madya pada umumnya merupakan saat pria dan wanita mencapai puncak prestasinya, maka logislah apabila masa ini juga merupakan saat mengevaluasi prestasi tersebut berdasarkan aspirasi semula dan harapan – harapan orang lain, khususnya anggota keluarga dan teman.


(47)

Walaupun perkembangan dewasa madya cenderung mengarah ke persamaan peran antara pria dan wanita baik di rumah, perusahaan, perindustrrian, profesi maupun dalam kehidupan sosial, namun masih terdapat standar ganda terhadap usia.

i. Masa sepi (empty nest)

Masa ini merupakan masa ketika anak – anak tidak lama lagi tinggal bersama orang tua. Kecuali dalam beberapa kasus di mana pria dan wanita menikah lebih lambat dibandingkan dengan usia rata – rata, atau menunda kelahiran anak hingga mereka lebih mapan dalam karier, atau mempunyai keluarga besar sepanjang masa, usia madya merupakan masa sepi dalam kehidupan perkawinan.

j. Masa jenuh

Usia madya merupakan masa yang penuh dengan kejenuhan. Para pria menjadi jenuh dengan kegiatan rutin sehari – hari dan kehidupan bersama keluarga yang hanya memberikan sedikit hiburan dan wanita, yang hanya menghabiskan waktunya untuk memelihara rumah dan membesarkan anak – anaknya.

Adapun tugas – tugas perkembangan dewasa madya menurut Hurlock (dalam Hidayati dan Purnami, 2008: 159) dibagi menjadi 4 bagian besar, yaitu: 1. Tugas perkembangan yang berhubungan dengan penyesuaian terhadap keadaan

fisiologis.

2. Tugas perkembangan yang berhubungan dengan adanya perubahan minat; berkenaan dengan aktifitas sosial, sebagai warna Negara.


(48)

3. Tugas perkembangan yang berhubungan dengan pemantapan kehidupan ekonomi.

4. Tugas perkembangan yang berhubungan dengan kehidupan keluarga.

Sedangkan Suardiman (dalam Hidayati dan Purnami, 2008: 153) menyatakan bahwa dewasa madya adalah:

a. Masa yang ditakuti adanya perubahan yang menuju kemunduran, maka merasa terancam sehingga menimbulkan rasa takut, merasa tersingkir, dan terabaikan, kesehatan dan kariernya merasa terancam juga, bahkan merasa tidak menarik lagi, maka sementara orang berusaha menutupi kekurangannya.

b. Masa transisi, yaitu transisi mengalami kemunduran untuk pria; ada perubahan dalam kejantanan, bagi wanita megalami berkurang/ hilangnya kesuburan (fertility). Dengan kemunduran itu timbul usaha mempertahankan pertumbuhan sebelumnya.

c. Masa penyesuaian kembali perubahan fisik dan psikis menyebabkan adanya perombakan apa yang telah dimiliki, yaitu pola perilaku yang layak selama masa dewasa dini. Perilaku akan seirama dengan datangnya perubahan – perubahan selanjutnya.

d. Masa keseimbangan dan tak keseimbangan, a time equilibrium and disequilibrium. Keseimbangan dialami oleh mereka yang berusia setengah umur, namun masih mengalami kegoncangan dalam penyesuaian diri.

“Usia madya atau usia setengah baya dipandang sebagai masa usia diantara 40 sampai 60 tahun. Usia madya merupakan periode yang panjang dalam rentang kehidupan manusia, biasanya usia tersebut dibagi dalam dua subbagian, yaitu usia madya dini yang membentang dari usia 40 hingga 50 tahun dan usia madya


(49)

lanjut yang terbentang antara usia 50 sampai 60 tahun” (Jahja,

2011: 254).

Hurlock (dalam Jahja, 2011) menyatakan bahwa:

“ciri – ciri yang menyangkut pribadi dan sosial masa dewasa madya adalah masa dewasa madya merupakan masa transisi, di mana pria dan wanita meninggalkan ciri – ciri jasmani dan perilaku masa dewasanya dan memasuki suatu periode dalam kehidupan dengan ciri –ciri jasmani dan perilaku yang baru”.

Perkembangan emosi, sosial dan moral pada dewasa madya (Santrock, 2002 ) berkaitan dengan beberapa hal, yaitu:

1. Pernikahan dan cinta individu berada masa kestabilan.

Pada masa ini rasa aman, kesetiaan dan daya tarik emosional antara yang satu dengan yang lain lebih penting seiring menjadi dewasanya hubungan.

2. Sindrom sarang kosong terjadi ketika anak – anak mulai meninggalkan orang tuanya.

Pada masa dewasa madya orang tua memperoleh banyak kepuasan dari anak – anaknya. Oleh karena itu, kepergian anak dari keluarga akan meninggalkan orang tua dengan perasaan kosong.

3. Meningkatknya hubungan persaudaraan dan persahabatan.

Hubungan ini berlanjut sepanjang hidup. Banyak hubungan saudara kandung pada masa dewasa sangat dekat, terutama jika mereka dekat pada masa anak – anak.

Mapiare (1983: 176) menyatakan bahwa ciri – ciri setengah baya dalam garis besarnya meliputi: masa yang ditakuti, masa transisi, masa penyesuaian kembali, masa keseimbangan dan ketidakseimbangan, usia berbahaya, usia kaku/canggung, dan masa berprestasi.


(50)

Berdasarkan pemikiran ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa wanita dewasa madya merupakan wanita dewasa yang memiliki umur berkisar antara 40 hingga 60 tahun, dan karakteristik usia dewasa madya meliputi periode yang sangat ditakuti, masa transisi, masa stress, usia yang berbahaya, usia canggung (awkward age), masa berprestasi, masa evaluasi, dievaluasi dengan standar ganda, masa sepi (empty nest) dan masa jenuh.

a.

Wanita Dewasa Madya Tidak Bekerja

Wanita yang tidak bekerja biasanya disebut sebagai ibu rumah tangga. Wanita sebagai ibu rumah tangga menurut Gunarsa (1995: 254) yaitu mengatur seluruh kehidupan dan kelancaran rumah tangga serta mengatur dan mengusahakan suasana rumah yang nyaman. Selain itu kesibukan mengurus rumah tangga, beberapa hal perlu diperhatikan antara lain tetap memperhatikan penampilan diri diantara kesibukan – kesibukan, bahaya kejenuhan akibat pekerjaan rutin yang monoton, dan perlu kreativitas dalam mengatasi keadaan, supaya tetap segar, nyaman.

Anoraga (2006: 123) menjelaskan bahwa wanita yang tidak bekerja adalah wanita yang hanya melakukan tugas – tugas sebagai pengelola rumah tangga. Misalnya mengelola urusan keluarga, suami, anak – anak dan hal – hal lain yang menyangkut rumah tangganya.

Wanita dewasa madya tidak bekerja adalah wanita dewasa yang memiliki umur berkisar antara 40 hingga 60 tahun yang mengatur waktu dengan suami dan anak hingga mengurus tugas – tugas rumah tangga dan tidak bekerja di luar rumah.


(51)

2.5 Kerangka Pikir Penelitian

Empty nest merupakan salah satu ciri dari perkembangan di usia dewasa madya, dimana terdapat masa ketika anak – anak mulai meninggalkan rumah dan tidak lagi tinggal bersama orang tua. Para wanita dewasa madya mengakui lebih memiliki perasaan sedih, takut dan khawatir daripada pria ketika anak mulai meninggalkan rumah. Hal ini karena mereka menggunakan hampir sebagian besar waktu bersama anaknya sehingga memiliki kelekatan yang kuat. Wanita yang tidak bekerja akan mengalami perasaan kehilangan peran yang lebih besar karena fungsi tunggal sebagai ibu dalam mengasuh dan merawat anak menjadi berkurang. Kekosongan dari wanita dewasa madya itu semakin bertambah karena kegiatan yang minim dalam kesehariannya sehingga dapat menyebabkan kejenuhan atau kebosanan. Peristiwa tersebut memberikan dampak berupa kecemasaan pada wanita dewasa ketika mengalami empty nest dalam tahap perkembangannya.

Tingkat kecemasan wanita dewasa madya tidak bekerja yang mengalami empty nest yaitu tinggi rendahnya suatu bentuk emosi atau perasaan tidak menyenangkan yang muncul ketika wanita dewasa madya (40 – 60 tahun) yang tidak bekerja dihadapkan pada masa empty nest (sarang kosong) yaitu fase transisi yang dihadapi orang tua ketika anak - anak mulai meninggalkan rumah untuk bersekolah, berkuliah atau bekerja diluar kota/ negeri, merantau, menikah atau hidup bersama pasangannya sehingga orang tua mengalami perasaan kehilangan yang mendalam dan merasa tidak dibutuhkan oleh anak – anaknya lagi.


(52)

Permasalahan empty nest menimbulkan gejala – gejala kecemasan di dalam diri wanita tersebut ketika memikirkan anak - anak yang berada jauh dari kehidupannya. Tingkat kecemasan antara wanita yang satu dengan wanita lainnya berbeda. Wanita yang tidak bekerja cenderung akan mengalami kesepian karena satu persatu anak – anak telah dewasa dan mulai meninggalkan rumah. Wanita akibatnya akan mengalami empty nest yang mendalam karena kurangnya aktivitas yang dilakukan dalam keseharian akibat ketiadaan anak serta fungsi tunggal wanita dewasa madya sebagai ibu menjadi semakin berkurang dalam mengasuh dan merawat anak. Perasaan kekosongan tersebut yang memicu adanya kecemasan wanita dewasa madya yang tidak bekerja saat menjalani periode empty nest.

Menurut penelitian Kitson (dalam Mbaeze dan Ukwandu, 2011: 168) wanita yang mengalami sindrom empty nest juga mengalami emosi yang kompleks, antara negatif dan positif. Emosi negatif seperti sedih, bertanya – tanya tentang diri, berurusan dengan rasa kehilangan terhadap seseorang, transisi, kecemasan dan mencari dukungan. Emosi positif seperti merasa lega, mencintai anak – anak dan merasa positif. Hal ini mempengaruhi kesejahteraan subjektif maupun kebermaknaan hidup ibu, seperti yang ditemukan dalam penelitian Hariyanti (2002) bahwa ibu yang memiliki empty nest tinggi, maka kesejahteraan subjektifnya rendah, begitupun sebaliknya dan dalam penelitian Natalia (2009) menunjukkan bahwa tanggapan positif dan sikap aktif ibu dalam menjalani empty nest akan meningkatkan kebermaknaan hidupnya.


(53)

Penelitian yang dilakukan oleh Utami (2012: 1) menunjukkan bahwa ibu rumah tangga memiliki empty nest yang tinggi sehingga cenderung menyebabkan tingkat stres yang tinggi dibandingkan dengan ibu yang bekerja. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Andriyani (2007) menunjukkan bahwa wanita single parent yang mengalami empty nest memiliki kecemasan yang tinggi. Berdasarkan penelitian diatas maka dapat disimpulkan bahwa wanita single parent dan tidak bekerja memiliki empty nest yang tinggi dan kecemasan yang tinggi pula.

Tingkat kecemasan wanita dewasa madya tidak bekerja yang mengalami empty nest dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Terjadinya kecemasan yang dialami wanita dewasa madya yang tidak bekerja dapat dilihat melalui gejalanya, meliputi gejala fisiologis dan gejala psikologis. Berdasarkan pemikiran dari para ahli, gejala fisiologis dapat berupa nafsu makan berkurang, pola makan terganggu, gangguan pencernaan, tangan dingin dan berkeringat, detak jantung meningkat, nafas sesak, kepala pusing, pingsan dan tidur terganggu, sedangkan gejala psikologis dapat berupa merasa khawatir, ketakutan, gelisah, sulit berkonsentrasi, tidak berdaya/ hilang kepercayaan diri, tidak dapat mengambil keputusan, mudah marah/ sensitif, merasa tidak nyaman, merasa tertekan


(54)

Gambar 2.1. Skema Kerangka Berpikir

Tingkat

Kecemasan

Gejala Fisiologis: Nafsu makan berkurang

Pola makan terganggu Gangguan pencernaan Tangan dingin dan berkeringat

Detak jantung meningkat Nafas sesak Kepala pusing Pingsan Tidur terganggu Gejala Psikologis: Merasa khawatir Ketakutan Gelisah Sulit berkonsentrasi Tidak berdaya/ hilang

kepercayaan diri Tidak dapat mengambil

keputusan Mudah marah/ sensitif

Merasa tidak nyaman Merasa tertekan Wanita Dewasa Madya Tidak Bekerja Yang Mengalami Empty Nest Tinggi Rendah Sedang


(55)

40

BAB 3

METODE PENELITIAN

Dalam bab ini menguraikan tentang metode penelitian yang digunakan penulis dalam rangka pengungkapan masalah yang penulis teliti. Metode penelitian merupakan suatu cara yang digunakan peneliti untuk mendapatkan suatu data, mencapai tujuan penelitian dan menjawab rumusan permasalahan.

Bagian ini terdiri dari penjelasan mengenai jenis penelitian, desain penelitian, variabel penelitian, populasi & sampel penelitian, metode & alat pengumpulan data, validitas & reliabilitas, serta teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian.

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian dapat diklasifikasikan dari berbagai cara dan sudut pandang. Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode kuantitatif yaitu “penelitian yang menekankan analisisnya pada data – data numerikal (angka) yang diolah dengan metode statistika” (Azwar, 2011a: 5).

3.2 Desain Penelitian

Pada penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif deskriptif. Penelitian deskriptif (descriptive research) adalah “suatu metode penelitian yang ditujukan untuk menggambarkan fenomena – fenomena yang ada, yang

berlangsung pada saat ini atau saat yang lampau” (Sukmadinata, 2005: 54). Penelitian deskriptif melakukan analisis hanya sampai pada taraf deskripsi, yaitu


(56)

menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga dapat lebih mudah utuk difahami dan disimpulkan. Uraian kesimpulan didasari oleh angka yang

diolah tidak secara mendalam. “Kebanyakan pengolahan datanya didasarkan pada analisis presentase dan analisis kecenderungan” (Azwar, 2011a: 6).

3.3 Variabel Penelitian

3.3.1 Identifikasi Variabel

“Identifikasi variabel penelitian merupakan langkah penetapan variabel –

variabel utama dalam penelitian dan penentuan fungsi – fungsinya masing –

masing” (Azwar, 2011a: 61). Identifikasi variabel penelitian perlu dilakukan untuk membantu penetapan rancangan penelitian. Pada penelitian ini terdapat satu variabel. Adapun variabel itu adalah tingkat kecemasan mengalami empty nest. 3.3.2 Definisi Operasional Variabel

Tingkat kecemasan wanita dewasa madya tidak bekerja yang mengalami empty nest adalah tinggi rendahnya suatu bentuk emosi atau perasaan tidak menyenangkan yang muncul ketika wanita dewasa madya tidak bekerja sedang menjalani masa empty nest (sarang kosong), yaitu fase transisi yang dihadapi orang tua ketika anak - anaknya mulai meninggalkan rumah untuk bersekolah, berkuliah atau bekerja diluar kota/ negeri, merantau, menikah atau hidup bersama pasangannya sehingga orang tua mengalami perasaan kehilangan yang mendalam dan merasa tidak dibutuhkan oleh anak – anaknya lagi.

Hal tersebut diukur menggunakan skala berdasarkan gejala kecemasan yaitu gejala fisiologis dan gejala psikologis. Semakin tinggi skor yang diperoleh


(57)

subjek penelitian maka semakin tinggi tingkat kecemasannya, dan semakin rendah skornya maka semakin rendah pula tingkat kecemasannya.

3.4 Populasi dan Sampel

3.4.1 Populasi

Populasi penelitian merupakan faktor utama yang harus ditentukan sebelum kegiatan penelitian dilakukan. Menurut Azwar (2011a: 77) bahwa

“populasi didefinisikan sebagai kelompok subjek yang hendak dikenai

generalisasi penelitian”. Populasi merupakan sejumlah individu yang setidaknya

mempunyai satu ciri atau sifat yang sama. Adapun populasi yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai ciri – ciri sebagai berikut:

1. Wanita yang berusia pada kelompok dewasa madya (40 – 60 tahun).

2. Wanita yang tidak bekerja dan hanya tinggal dirumah bersama dengan suaminya saja.

3. Anak terakhir dari wanita tersebut berada pada usia menikah. Hal ini dimaksudkan dengan asumsi jika anak – anak sudah mencapai usia menikah, maka wanita tersebut sudah mencapai periode empty nest. Menurut Subekti dan Tjitrosudibio tentang UU No. 1 tahun 1977 menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.

4. Anak – anak wanita tersebut telah meninggalkan rumah untuk bersekolah, berkuliah atau bekerja diluar kota/negeri, merantau, menikah atau tinggal bersama pasangannya.


(58)

3.4.2 Sampel

Arikunto (2010: 174-183) menyatakan bahwa “sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Teknik purposive sampling atau sampel bertujuan dilakukan dengan cara mengambil subjek bukan didasarkan atas strata, random, atau daerah tetapi

didasarkan atas adanya tujuan tertentu”. Penentuan sampel bertujuan ini harus memenuhi beberapa syarat, yaitu :

1. Pengambilan sampel harus didasarkan atas ciri – ciri, sifat – sifat atau karakteristik tertentu, yang merupakan ciri pokok populasi.

2. Subjek yang diambil sebagai sampel benar – benar merupakan subjek yang paling banyak mengandung ciri – ciri yang terdapat pada populasi (key subjectis). 3. Penentuan karakteristik populasi dilakukan secara cermat di dalam studi pendahuluan.

Pengambilan sampel dengan teknik bertujuan ini cukup baik karena sesuai dengan pertimbangan peneliti sendiri sehingga dapat mewakili populasi. Keuntungannya terletak pada ketepatan peneliti memilih sumber data sesuai dengan variabel yang diteliti. Sampel pada penelitian ini yaitu wanita dewasa madya di Kota Semarang yang tidak bekerja dan sedang menjalani periode empty nest.

3.5 Metode dan Alat Pengumpulan Data

“Metode pengumpulan data dalam kegiatan penelitian mempunyai tujuan mengungkap fakta mengenai variabel yang diteliti” (Azwar, 2011a: 91). Metode


(59)

(2011a: 99) “skala psikologi digunakan untuk mengungkap data mengenai atribut

psikologis yang dapat dikategorikan sebagai variabel kemampuan (kognitif) dan variabel kepribadian (afektif), yang dalam penelitian adalah atribut afektif”. Skala yang digunakan dalam penelitian ini yaitu skala sikap Model Likert. Skala sikap

model Likert adalah “skala sikap bersi pernyataan – pernyataan mengenai objek

sikap” (Azwar, 2011a: 97). Alat pengumpul data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Skala Tingkat Kecemasan Mengalami Empty Nest

Skala ini digunakan untuk mengukur tingkat kecemasan wanita dewasa madya tidak bekerja yang mengalami empty nest yang disusun oleh peneliti berdasarkan gejala - gejala kecemasan dari beberapa ahli, yaitu:

1. Gejala Psikologis, dan 2. Gejala Fisiologis

Tabel 3.1. Blue Print Skala Tingkat Kecemasan Mengalami Empty Nest

No. Gejala Indikator Respon Jumlah

Favorable Unfavorable

1. Fisiologis Nafsu makan berkurang

38, 60 21, 64 4

Pola makan terganggu

28 1, 57 3

Gangguan pencernaan

6, 14, 62 43 4

Tangan dingin dan berkeringat

2, 10, 54 41 4

Detak jantung meningkat

5, 30 12, 53 4

Nafas sesak 44, 50 35, 59 4 Kepala pusing 9, 63 26, 55, 51 5

Pingsan 4 47 2

Tidur terganggu 32 8, 65 3


(60)

Ketakutan 3 16, 29 3 Gelisah 7, 40, 61 33, 58 5

Sulit berkonsentrasi

49 11, 25 3

Tidak berdaya/ hilang kepercayaan diri

27, 31, 45 19 4

Tidak dapat mengambil

keputusan

22, 36 17 3

Mudah marah/ sensitif

34, 42 13 3

Merasa tidak nyaman

39 15, 46 3

Merasa tertekan 20, 23, 52 37 4

JUMLAH 35 30 65

Alternatif pilihan jawaban dalam skala tingkat kecemasan mengalami empty nest yang digunakan dalam penelitian ini dibuat dalam bentuk rentangan mulai dari yang tertinggi sampai terendah, dan dibedakan menjadi empat yaitu: a. SS : Jawaban yang menyatakan bahwa subyek SANGAT SESUAI dengan pernyataan yang diajukan.

b. S : Jawaban yang menyatakan bahwa subyek SESUAI dengan pernyataan yang diajukan.

c. TS : Jawaban yang menyatakan bahwa subyek TIDAK SESUAI dengan pernyataan yang diajukan.

d. STS : Jawaban yang menyatakan bahwa subyek SANGAT TIDAK SESUAI dengan pernyataan yang diajukan.

Sistem penilaian skala tingkat kecemasan mengalami empty nest bergerak dari satu sampai empat. Pernyataan yang tergolong favourable atau sesuai pernyataan, subyek akan memperoleh skor 4 jika menjawab sangat sesuai (SS),


(61)

skor 3 jika menjawab sesuai (S), skor 2 jika menjawab tidak sesuai (TS), skor 1 jika menjawab sangat tidak sesuai (STS). Pernyataan yang tergolong unfavourable atau bertentangan dengan pernyataan, subyek akan memperoleh skor 4 jika menjawab sangat tidak sesuai (STS), skor 3 jika menjawab tidak sesuai (TS), skor 2 jika menjawab sesuai (S), dan skor 1 jika menjawab sangat sesuai (SS).

3.6 Validitas dan Reliabilitas

3.6.1 Uji Validitas Alat Ukur

Azwar (2011b: 173) mengartikan bahwa “validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat

ukur dalam melakukan fungsi ukurnya”. Sebuah instrumen dikatakan valid jika telah mengukur apa yang seharusnya diukur, instrumen ini dikatakan valid apabila mengungkap data – data dari variabel yang diteliti secara tepat.

Untuk menguji tingkat validitas empiris instrumen, peneliti mencobakan instrumen tersebut pada sasaran dalam penelitian yang disebut dengan kegiatan uji coba (try-out) instrumen. Adapun untuk mengetahui validitas tingkat kecemasan saat menghadapi empty nest dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment dari Pearson, dengan menggunakan alat bantu komputer dengan program Statistical Packages for Social Sciences ( SPSS ) Release 17. 0.

Jenis validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas konstrak. Azwar (2011b: 175) menyatakan bahwa “validitas konstrak adalah validitas yang menunjukkan sejauhmana suatu tes mengukur trait atau konstrak

teoretik yang hendak diukurnya”. Berdasarkan uji validitas tersebut diperoleh


(62)

valid dan 11 aitem lainnya dinyatakan tidak valid atau gugur. Setelah melalui pengkajian, item – item yang tidak valid dibuang dengan pertimbangan karena setiap indikator masih cukup terwakili oleh item – item yang valid, sehingga ditetapkan sebanyak 54 item untuk analisis dan hasil penelitian.

3.6.2 Uji Reliabilitas Alat Ukur

Azwar (2011b: 180) menyatakan bahwa “reliabilitas adalah sejauh mana

hasil suatu pengukuran dapat dipercaya”. Pendekatan reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah “pendekatan konsistensi internal yaitu didasarkan pada data dari sekali pengenaan satu bentuk alat ukur pada sekelompok subjek (single trial administration)” (Azwar, 2011b: 182). Berdasarkan hasil pengujian melalui program Statistical Packages for Social Sciences (SPSS) Release 17. 0. menggunakan teknik Koefisien Alpha dari Cronchbach diperoleh hasil reliabilitas skala tingkat kecemasan mengalami empty nest dengan koefisian reliabilitas sebesar 0,919 yaitu bahwa skala tersebut memiliki tingkat reliabel yang tergolong tinggi. Hasil uji reliabilitas pada skala tingkat kecemasan mengalami empty nest dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.2. Hasil uji reliabilitas dengan SPSS 17.0

Cronbach’s

Alpha

N of items

.919 54

3.7 Analisis Data

Setelah data tentang tingkat kecemasan mengalami empty nest terkumpul kemudian disajikan dan diolah menjadi data kuantitatif deskriptif. Data deskriptif ini disajikan dengan teknik statistik deskriptif yang meliputi Mean (rata – rata),


(63)

Standar Deviasi dan Skor. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data deskriptif dengan metode statistik deskriptif presentase.

Azwar (2011a: 126) menyatakan bahwa “analisis data deskriptif bertujuan untuk memberikan deskripsi mengenai subjek penelitian berdasarkan data dari variabel yang diperoleh dari kelompok subjek yang diteliti dan tidak dimaksudkan

untuk pengujian hipotesis”.

3.7.1 Analisis Data Uji Coba (Tryout)

Instrumen yang digunakan dalam peneltian diujicobakan pada sejumlah sampel yang telah ditentukan. Hal ini perlu dilakukan dengan tujuan mengetahui tingkat validitas dan reliabilitas yang akan digunakan dalam analisis dan pembahasan hasil penelitian. Pelaksanaan uji coba instrumen dilakukan bersama dengan pelaksanaan penelitian yang dilakukan dengan metode try out terpakai, yaitu hanya sekali menyebarkan skala pada subjek penelitian dimana semua jawaban atau respon yang diberikan oleh subjek akan diolah dan dianalisis sebagai hasil penelitian. Jumlah sampel yang didapat dalam penelitian ini sebanyak 87 orang, pelaksanaan uji coba dilakukan oleh peneliti selama satu kali. Sebaran data item yang valid dan gugur pada skala tingkat kecemasan mengalami empty nest dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.3. Hasil uji coba instrumen Skala Tingkat Kecemasan Mengalami Empty Nest

No. Gejala Indikator Respon Jumlah

Favorable Unfavorable

1. Fisiologis Nafsu makan berkurang

38, 60 21*, 64 4 Pola makan

terganggu

28 1, 57* 3


(1)

LAMPIRAN 8


(2)

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha N of Items


(3)

LAMPIRAN 9


(4)

Statistics

Tingkat Kecemasan Saat Mengalami Empty Nest

N Valid 87

Missing 0

Mean 134,6092

Median 134,0000

Mode 130,00a

Std. Deviation 16,13919

Variance 260,473

Minimum 90,00

Maximum 178,00

a. Multiple modes exist. The smallest value is shown

Tingkat Kecemasan Mengalami Emptynest

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 90,00 1 1,1 1,1 1,1

94,00 1 1,1 1,1 2,3

98,00 2 2,3 2,3 4,6

109,00 1 1,1 1,1 5,7

112,00 2 2,3 2,3 8,0

113,00 2 2,3 2,3 10,3

117,00 2 2,3 2,3 12,6

119,00 1 1,1 1,1 13,8

121,00 2 2,3 2,3 16,1

122,00 1 1,1 1,1 17,2

124,00 2 2,3 2,3 19,5

125,00 1 1,1 1,1 20,7

126,00 2 2,3 2,3 23,0

127,00 1 1,1 1,1 24,1


(5)

129,00 3 3,4 3,4 28,7

130,00 6 6,9 6,9 35,6

131,00 4 4,6 4,6 40,2

132,00 4 4,6 4,6 44,8

133,00 4 4,6 4,6 49,4

134,00 3 3,4 3,4 52,9

135,00 1 1,1 1,1 54,0

136,00 2 2,3 2,3 56,3

137,00 6 6,9 6,9 63,2

138,00 3 3,4 3,4 66,7

139,00 2 2,3 2,3 69,0

140,00 4 4,6 4,6 73,6

141,00 2 2,3 2,3 75,9

142,00 1 1,1 1,1 77,0

144,00 2 2,3 2,3 79,3

146,00 2 2,3 2,3 81,6

147,00 1 1,1 1,1 82,8

148,00 1 1,1 1,1 83,9

149,00 2 2,3 2,3 86,2

153,00 2 2,3 2,3 88,5

155,00 1 1,1 1,1 89,7

156,00 1 1,1 1,1 90,8

158,00 1 1,1 1,1 92,0

161,00 1 1,1 1,1 93,1

162,00 1 1,1 1,1 94,3

163,00 1 1,1 1,1 95,4

167,00 1 1,1 1,1 96,6

168,00 1 1,1 1,1 97,7

170,00 1 1,1 1,1 98,9

178,00 1 1,1 1,1 100,0


(6)