2012 Kumpulan Kliping KKR

http://pik.kompas.co.id/tark/detail.cfm?item=5&startrow=26&style=advanced&session=13
53393879752
Pelanggaran HAM: Presiden Isyaratkan Bersedia Minta Maaf
KOMPAS(Nasional) - Sabtu, 18 Feb 2012 Halaman: 2 Penulis: EDN; WHY Ukuran: 2685
Pelanggaran HAM
Presiden Isyaratkan Bersedia Minta Maaf
Jakarta, Kompas — Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengisyaratkan akan bersedia
meminta maaf atas kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masa lampau. Langkah
tersebut diharapkan dapat menjadi pintu masuk bagi penuntasan berbagai kasus pelanggaran
HAM di Tanah Air.

LS

AM

Demikian mengemuka saat Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (Kontras)
bersama korban dan keluarga korban pelanggaran HAM bertemu anggota Dewan Pertimbangan
Presiden (Wantimpres) Bidang Hukum dan HAM, Albert Hasibuan, Jumat (17/2), di kantor
Wantimpres. Pertemuan itu ditujukan untuk menyampaikan harapan korban dan keluarga korban
agar Presiden menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, seperti kasus pelanggaran
HAM 1965/1966, kasus Semanggi I dan II, kasus Mei 1998, kasus Talangsari 1989, dan kasus

Tanjung Priok 1984.

gE

Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965, yang juga korban pelanggaran HAM, Bejo
Untung, mengatakan, Albert Hasibuan dalam pertemuan itu sempat menyampaikan bahwa
Presiden tahun ini akan bersedia meminta maaf atas pelanggaran HAM masa lalu.

pin

”Negara memang harus berani minta maaf kepada korban pelanggaran HAM tahun 1965 yang
ditahan semena-mena dan hingga kini mengalami diskriminasi. Kalau untuk kasus Rawagede
saja Belanda mau minta maaf, kenapa untuk kasus di Tanah Air Presiden tidak (meminta
maaf)?” kata Bejo yang ditahan di Rumah Tahanan Salemba tanpa proses hukum pada 19701979. Soal kesediaan Presiden meminta maaf, Albert tidak membantah atau mengiyakan. ”Saya
cerna dulu, saya laporkan, dan bicarakan dengan Presiden,” ujarnya.

kli

Sumarsih, orangtua korban tragedi Semanggi I, Norma Irmawan, berharap, Presiden dapat
menuntaskan kasus pelanggaran HAM di masa lalu sebelum masa jabatan Presiden berakhir.

Solusi yang dapat diambil Presiden meliputi meminta maaf, menuntaskan kasus melalui
penegakan hukum di pengadilan HAM ad hoc, dan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Koordinator Kontras Haris Azhar berharap, Presiden Yudhoyono tidak sekadar minta maaf.
”Jangan sampai ini tidak ada realisasinya,” kata Haris.
Dalam kesempatan silaturahim dengan wartawan, Senin (13/2), Presiden menegaskan,
pemerintah serius menyelesaikan kasus-kasus hukum pelanggaran HAM yang terjadi di masa
lalu. Kejaksaan Agung (Kejagung) masih menindaklanjuti rekomendasi yang disampaikan DPR
terkait penuntasan penegakan hukum atas pelanggaran HAM itu. Presiden memerintahkan
Kejagung untuk memberikan penjelasan kepada publik mengenai langkah-langkah pemerintah.
Namun, hingga kini Kejagung belum memberikan penjelasan kepada publik. (EDN/WHY)

http://cetak.kompas.com/read/2012/04/04/02171563/penyelesaian.kasus.ham

Penyelesaian Kasus HAM
Hendardi

Diskursus tentang upaya penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia masa lalu kembali
mendapat perhatian negara. Inisiatif kajian dilakukan oleh Dewan Pertimbangan Presiden RI
Bidang Hukum dan HAM. Pararel dengan inisiatif di atas, tulisan Franz Magnis-Suseno SJ,

”G30S dan Permintaan Maaf” (Kompas, 24/3), menjadi salah satu medium pembuka diskusi
dengan publik.

AM

Penyediaan instrumen hukum sebagai sebuah pilihan politik negara sebenarnya tidak mengalami
kemajuan signifikan sejak 2000 setelah pemerintahan Presiden BJ Habibie membentuk UU No
39/1999 tentang HAM dan UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Setelah dua produk politik
itu, tidak ada satu pun presiden Indonesia selanjutnya dengan kebijakan politik dalam
menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu.

LS

Pada kepemimpinan Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang
Yudhoyono memang terbit sejumlah produk legislasi yang kondusif bagi pemajuan HAM.
Namun, tidak ada produk legislasi yang mampu menembus kebekuan impunitas atas pelanggaran
HAM berat masa lalu.

Di ujung hari


gE

HAM hanya menjadi komoditas politik yang nyaring diucapkan tanpa eksekusi yang
memberikan keadilan. Bahkan, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjabat dua periode
kepemimpinan nasional nyaris tidak mewariskan apa pun dalam pemajuan hak asasi manusia.

pin

Masih adakah harapan di ujung masa kepemimpinan SBY untuk menyelesaikan kasus
pelanggaran HAM masa lalu? Sebagai sebuah ikhtiar politik, inisiatif mengkaji (dan
mendorongnya menjadi tindakan nyata) harus diapresiasi. Meski demikian, memang sulit bagi
publik dan keluarga korban untuk percaya mengingat komitmen ini sudah puluhan kali terucap.

kli

Sudah banyak tumpukan dokumen kebijakan yang disiapkan atau disusupkan ke istana agar SBY
bertindak. Sudah banyak pula pialang pemajuan hukum dan HAM di lingkaran istana yang
membujuk para pegiat HAM untuk terus meyakinkan sang Presiden. Namun, semua ikhtiar itu
hanya berujung pada pengarsipan gagasan tanpa tindakan.
Para pialang kemudian memperoleh kredit politik premium dari Presiden karena dianggap

mampu menjalin komunikasi politik dengan berbagai pihak untuk mengatasi masalah bangsa.
Akan tetapi, para korban dan keluarganya tetap dalam nestapa.
Dari berbagai laporan kondisi HAM, dapat disimpulkan bahwa komitmen dan integritas SBY
tidak teruji dalam pemajuan HAM dan penyelesaian kasus masa lalu. Berbagai pembiaran justru
terjadi dan laporan HAM jadi sekadar pengingat di sisa masa kepemimpinannya. Padahal,
dengan memimpin selama dua periode, SBY seharusnya punya cukup waktu untuk mewariskan
penuntasan kasus HAM bagi rakyatnya.

Deret impunitas
Impunitas terhadap pelaku pelanggaran HAM masih menjadi penghalang serius bagi
terpenuhinya hak atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan korban pelanggaran HAM berat.
Hingga saat ini, proses penegakan hukum pelanggaran HAM masa lalu berhenti sama sekali.
Bahkan, Presiden mengabaikan rekomendasi Panitia Khusus (Pansus) DPR tentang Penghilangan
Orang secara Paksa, 28 September 2009, yang memuat empat rekomendasi politik untuk
mendorong penyelesaian kasus penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998.

AM

Pelanggaran HAM berat masa lalu di Aceh, Papua, peristiwa 1965 sama sekali tidak mendapat
perhatian pemerintah. Pemerintah dan DPR memang pernah mengupayakan mekanisme

penyelesaian melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Namun, UU No 27/2004
tentang KKR ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi tahun 2006.

LS

Kasus Tanjung Priok 1984 secara formal telah diselesaikan di pengadilan melalui pengadilan
HAM ad hoc tahun 2003. Namun, hingga kini korban pelanggaran HAM berat gagal
memperoleh kompensasi sesuai amar putusan pengadilan.

Tak ada upaya

gE

Tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, pembunuhan terhadap aktivis HAM Munir,
peristiwa Wamena 4 April 2003, dan kasus Wasior 2001, menurut Komnas HAM, adalah kasus
pelanggaran berat. Namun, semua itu mandek di Kejaksaan Agung.

pin

Sepanjang periode kepemimpinan SBY, tidak ada upaya signifikan memutus pelembagaan

impunitas atas semua peristiwa di atas. Bahkan, 251 aksi Kamisan yang digelar keluarga korban
belum mampu menggerakkan pemerintahan SBY untuk menyusun langkah dan bertindak
memutus impunitas pelaku pelanggaran HAM.

kli

Pemerintah SBY dengan sengaja menjalankan politik amnesia. Membuat korban putus asa,
rakyat lupa, dan pegiat HAM kehilangan fokus. SBY hanya menggunakan isu pelanggaran HAM
sebagai alat tawar politik dengan pelaku dan menjadikannya sebagai alat mengatasi lawan-lawan
politik setiap kali perhelatan politik digelar.
Padahal, seluruh mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu sesungguhnya sudah
amat jelas diatur dalam UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. UU ini memiliki
keterbatasan, tetapi cukup memadai untuk meretas jalan penyelesaian pelanggaran HAM masa
lalu jika ditopang kemauan politik kokoh dan tidak basa-basi.

Lakukan dua hal
Oleh karena untuk tujuan keadilan dan pemenuhan hak-hak korban SBY belum bertindak,
sebaiknya Presiden dibujuk menyelesaikan pelanggaran HAM sebagai warisan mengesankan
bagi diri dan partainya.


Presiden perlu diyakinkan untuk melakukan dua hal di akhir masa kepemimpinannya. Pertama,
menangani pelanggaran HAM masa lalu yang secara teknis yudisial sulit dibuktikan menurut
”logika penegak hukum”. Presiden atas nama kepala negara cukup memberi pengakuan dan
meminta maaf kepada keluarga korban dan publik.
Kedua, terhadap pelanggaran HAM yang terjadi secara teknis yudisial bisa diperiksa, seperti
kasus penghilangan orang, dan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi setelah tahun 2000,
Presiden tinggal memprakarsai pembentukan pengadilan HAM ad hoc sekaligus memerintahkan
Kejaksaan Agung untuk melakukan penyidikan dan penuntutan.

AM

Selanjutnya, untuk pemajuan akuntabilitas penegakan HAM, SBY perlu membangun kebijakan
politik penegakan HAM yang akuntabel dengan menyediakan legislasi yang kondusif.
Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu adalah mandat legal perundang-undangan kita. Oleh
karena itu, kewajiban ini melekat pada setiap pemimpin nasional yang berkuasa.

kli

pin


gE

LS

Hendardi Ketua Setara Institute, Jakarta; Ketua Majelis Anggota Perhimpunan Bantuan Hukum
dan HAM Indonesia Nasional

kli

pin

gE

LS

AM

http://pik.kompas.co.id/tark/detail.cfm?item=21&startrow=26&style=advanced&session=1
353393879955
G30S dan Permintaan Maaf

KOMPAS(Nasional) - Sabtu, 24 Mar 2012 Halaman: 6 Penulis: Franz Magnis-Suseno
Ukuran: 7264

Apa yang Salah dengan G30S/PKI?
Catatan untuk Franz Magnis-Suseno SJ
Sulastomo

AM

http://pik.kompas.co.id/tark/detail.cfm?item=1&startrow=51&style=advanced&session=13
53394301267
Apa yang Salah dengan G30S/PKI? * Catatan untuk Franz Magnis-Suseno SJ
KOMPAS(Nasional) - Sabtu, 31 Mar 2012 Halaman: 7 Penulis: Sulastomo Ukuran: 6509
Ilustrasi: 1

Pada 17 Oktober 1965, dua minggu setelah peristiwa itu, kami berkeliling di Jawa Tengah. Di
Klaten, di tepi sebuah sungai, hati kami tersayat melihat mayat bergelimpangan.

LS


Itulah dampak peristiwa politik yang diawali dengan penculikan dan kemudian pembunuhan
pemimpin teras Angkatan Darat oleh Gerakan 30 September pada 1 Oktober 1965 dini hari.

gE

G30S ternyata sebuah gerakan kudeta, terbukti dari berbagai pengumuman pemimpin gerakan itu
yang membentuk Dewan Revolusi dan menyatakan kabinet demisioner. Dewan Revolusi di pusat
akan ditindaklanjuti dengan pembentukan Dewan Revolusi Daerah.

pin

Di Yogyakarta, pembentukan Dewan Revolusi juga disertai pembunuhan Komandan Korem
Yogya Kolonel Katamso dan Letkol Soegiono. Di belakang G30S adalah Biro Khusus PKI yang
dibentuk Ketua CC PKI DN Aidit. Pengumuman G30S/Dewan Revolusi dipersiapkan oleh Biro
Khusus PKI. Wajar jika kemudian G30S diperkenalkan sebagai G30S/PKI meski kemudian
dikatakan gerakan itu tak sepenuhnya menjadi kebijakan CC PKI.

kli

CC PKI tidak pernah mengutuk gerakan itu. Begitulah sifat kepemimpinan partai komunis
bahwa Ketua CC PKI DN Aidit memiliki wewenang melakukan semua itu. Kalau berhasil,
mungkin akan diakui juga sebagai kebijakan semua CC PKI.
Pasca-G30S/PKI sebagaimana kita ketahui terjadi gontok- gontokan, bahkan pembunuhan
terhadap saudara-saudara kita yang dianggap anggota PKI atau simpatisannya. Ribuan orang
terbunuh atau dibunuh, mayat mereka dibuang ke sungai sebagaimana dikemukakan di atas.
Bung Karno sebenarnya berusaha melerai, antara lain, dengan mengharapkan peran Himpunan
Mahasiswa Islam. Beberapa kali Pengurus Besar HMI melakukan pertemuan dengan Menteri
Dalam Negeri Dr Soemarno membicarakan upaya melerai suasana gontok-gontokan ini. HMI
mengirim tim ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun, harus diakui, upaya melerai ini gagal.
Masyarakat sudah telanjur terbius suasana membunuh atau dibunuh. Mengapa?
Tidak berlebihan jika peristiwa itu merupakan kelanjutan dari berbagai peristiwa sebelumnya.
Suasana politik nasional yang panas mengawali peristiwa G30S/PKI antara yang pro-PKI dan

anti-PKI. Kekuatan anti-PKI satu demi satu dibubarkan, mulai dari Partai Masyumi/PSI, Partai
Murba, Gerakan Kebudayaan Manifes Kebudayaan, hingga Badan Pendukung Soekarnoisme
yang terdiri atas kalangan pers. Puncaknya tuntutan terhadap pembubaran HMI yang hendak
dipaksakan DN Aidit hanya dua hari sebelum G30S/PKI pada rapat umum CGMI yang dihadiri
sekitar 10.000 mahasiswa di Istora Senayan di hadapan Bung Karno dan Waperdam Leimena.
Baik Bung Karno maupun Pak Leimena menolak tuntutan pembubaran HMI. Suasana politik
bertumpu pada Bung Karno, PKI, dan juga Angkatan Darat. Kondisi politik pada waktu itu oleh
PKI digambarkan telah ”hamil tua” yang mengindikasikan suatu kejadian luar biasa akan terjadi.

AM

Pada 4 Agustus ada berita Bung Karno sakit. Dikabarkan, Bung Karno kemungkinan tak mampu
lagi melaksanakan tugas sehari-hari. Siapa yang akan menggantikan Bung Karno? Rumor politik
yang beredar, wajar kalau ada spekulasi antara PKI atau Angkatan Darat. Siapa yang mendahului
mengambil inisiatif, dialah yang akan memenangi pertarungan politik nasional. Dengan
timbulnya peristiwa G30S/PKI, bisa saja DN Aidit mengambil prakarsa mendahului meski justru
berdampak fatal bagi PKI.

gE

LS

Sifat gerakan komunis, antara lain, radikal. Demikian juga di Indonesia. Korban berjatuhan
dalam jumlah besar dan sering disertai kebiadaban sebagaimana peristiwa Madiun 1948.
G30S/PKI juga dimulai dengan penculikan dan pembunuhan keji. Fenomena inilah yang
mewarnai kejiwaan rakyat Indonesia pasca-G30S/PKI sehingga suasana membunuh atau
dibunuh muncul di masyarakat.

pin

Korbannya, ribuan anggota dan simpatisan PKI terbunuh atau termarjinalkan di masyarakat.
Kalau mereka mahasiswa, kuliahnya dihentikan; kalau pekerja, bisa kehilangan pekerjaannya
dan KTP-nya ditandai khusus sehingga kehilangan hak sipilnya. Hukum karma seolah-olah
berlaku meski bisa juga dianggap sebagai pelanggaran HAM sehingga niat Presiden SBY
meminta maaf, menurut Romo Magnis, perlu didukung.
Secara budaya

kli

Kalau benar Presiden hendak minta maaf atas peristiwa 1965 itu, siapa yang harus meminta maaf
ketika partai-partai lawan PKI dibubarkan, pemimpin Masyumi/PSI dipenjarakan tanpa diadili,
pemimpin teras TNI/Angkatan Darat diculik dan dibunuh, demikian juga korban peristiwa
Madiun 1948? Haruskah Presiden SBY juga minta maaf kepada mereka? Bukankah semua itu
juga bisa dianggap sebagai pelanggaran HAM?
Beberapa tahun lalu Ketua CGMI di tahun 1965, Mas Hardoyo, meninggal dunia. Kami dapat
pemberitahuan melalui SMS. Di rumah duka banyak perhatian ditujukan kepada kami. Sebagian
dari pelayat adalah para bekas tahanan politik PKI atau anggota dan simpatisan PKI. Tanpa kami
duga, kami diundang memberi sambutan dan diperkenalkan sebagai ”sahabat” Mas Hardoyo.
Di depan jenazah Mas Hardoyo, kami sampaikan bahwa Mas Hardoyo adalah teman diskusi
yang sering panas disebabkan kami saling berbeda pendapat. Mas Hardoyo memimpin gerakan
pembubaran HMI di kalangan mahasiswa. Namun, sebagai manusia, kami ada persamaan: akan
menghadap Tuhan dan pada saat seperti inilah kita harus memaafkan siapa saja yang mendahului

kita. Mas Hardoyo ternyata juga dikebumikan sesuai dengan ajaran agamanya.
Beberapa tahun lalu Presiden SBY menganugerahkan kepada Pak Syafrudin Prawiranegara
pahlawan nasional. Dapat dikatakan, Pak Syafrudin bisa mereprentasikan pemimpin Masyumi
yang hak-hak sipilnya pernah direnggut. Kebijakan Presiden SBY itu bisa dianggap sebagai
penyelesaian dengan pendekatan budaya terhadap pelanggaran HAM yang dialami tokoh
Masyumi dan anggotanya yang banyak dipenjarakan tanpa diadili.
Demikian juga langkah anak-anak eks Darul Islam, anak-anak pahlawan revolusi, dan juga anakanak eks PKI yang berhimpun dalam satu organisasi merupakan pendekatan budaya
penyelesaian pelanggaran HAM yang dipelopori anak-anak kita.

AM

Dengan pendekatan budaya seperti ini dendam di antara sesama warga bangsa dengan sendirinya
terkubur. Sebaliknya, minta maaf pada salah satu golongan saja lebih politis sehingga masih
meninggalkan implikasi politik. Dengan pertimbangan seperti itu, Presiden SBY tak perlu minta
maaf atas kejadian 1965. Pendekatan budaya justru akan lebih memperkukuh upaya rekonsiliasi
nasional.

LS

Sulastomo

kli

pin

PB HMI 1963-1966

gE

Ketua Umum

G30S dan Permintaan Maaf
Oleh Franz Magnis-Suseno SJ
Ada berita mengejutkan: Presiden, katanya, mau mengajukan permintaan maaf kepada para
korban segala pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Tanah Air sejak Indonesia merdeka.

AM

Rencana Presiden ini menuntut sikap kita juga. Kalau di sini saya membatasi diri pada
pelanggaran-pelanggaran pasca-Gerakan 30 September (G30S), itu bukan untuk meremehkan
pelanggaran-pelanggaran lain. Namun, semata-mata karena raksasanya jumlah orang yang
menjadi korban, kompleksitasnya latar belakangnya, beban ketersentuhan emosional, dan
kepekaan yang sampai hari ini masih tersisa dalam masyarakat.
Menghindar dari simplifikasi

LS

Dari luar negeri, kasus pelanggaran kelihatan jelas. Penumpasan sebuah kudeta kok bermuara
pada pembunuhan massal terhadap apa saja yang berbau komunis, disusul kebijakan resmi
negara yang menghancurkan eksistensi serta menstigmatisasi sebagai manusia terkutuk jutaan
masyarakat yang sedikit pun tidak terlibat, dengan ratusan ribu orang ditahan selama lebih dari
10 tahun. Tak dapat diragukan, kejadian-kejadian itu termasuk salah satu kejahatan terbesar
terhadap umat manusia di bagian kedua abad ke-20.

gE

Akan tetapi, masalahnya tak sesederhana itu. Kita bisa bertanya: mengapa 46 tahun sesudah
peristiwa itu emosi-emosi anti-”PKI” masih begitu kuat; mengapa pengakuan mereka yang
pernah ditahan, disiksa, dan dikucilkan merupakan korban begitu sulit? Apakah hanya karena
indoktrinasi Orde Baru (misalnya lewat film Pengkhianatan G30S/PKI)?

pin

Sejak 1964, saya studi teologi di Yogyakarta. Waktu itu saya semakin khawatir jangan-jangan
Indonesia diambil alih oleh kaum komunis. Kesan saya, masyarakat bukan komunis buta
terhadap bahaya itu. Namun, tsunami anti-PKI sesudah G30S menunjukkan bahwa saya keliru.
Ternyata PKI dibenci dan ditakuti, tetapi orang tak berani mengungkapkannya karena takut dicap
anti-Nasakom, ”komunisto-fobi”, atau—lebih gawat—”antek Nekolim”.

kli

Kita ingat: 1995, Pramoedya Ananta Toer—yang selama 13 tahun ditahan, salah seorang
sastrawan Indonesia paling diakui secara internasional—mendapat hadiah Magsaysay. Namun,
Mochtar Lubis dan sejumlah sastrawan lain protes keras. Bukan karena mau balas dendam,
melainkan karena di tahun-tahun sebelum G30S Pramoedya menjadi penghasut yang
menyerukan ”pengganyangan” terhadap ”kebudayaan Manikebu, komprador, imperialis, dan
kontrarevolusi”, ”kebudayaan setan yang seyogianya sudah harus tidak lagi mengotori bumi
Indonesia”.
Pramoedya hanya salah satu. Pada tahun-tahun itu semua yang tak tunduk terhadap kebijakan
Soekarno yang pro- PKI dihantam dan diancam. PKI menyerukan pengganyangan ”tujuh setan
desa” dan ”tiga setan kota”, para lawan politiknya dicap ”Masyumi”. Masyumi sendiri yang pada
1960 dilarang Presiden Soekarno difitnah sebagai musuh revolusi. CGMI menyerukan
pembubaran HMI. Suasana penuh kebencian, intimidasi, dan fitnah terhadap segala apa yang

anti-PKI itulah yang meledak sesudah G30S.
Sekarang sudah hampir pasti (baca buku John Roosa) bahwa G30S memang dirancang oleh Aidit
dan bukan sekadar gerakan beberapa opsir kiri Angkatan Darat (versi PKI dan Cornell Paper
tulisan kondang McVey/Anderson). Betul, ”kebijakan” Aidit ini tidak disahkan oleh Politbiro
PKI. Kebijakan politik komunis umumnya memang tak ditentukan dalam politbiro, tetapi
langsung oleh pimpinan/sekretaris jenderal partai. Bukankah selama September 1965 orangorang PKI bicara tentang ”revolusi yang hamil tua”? Bukankah kader Pemuda Rakyat disuruh
siap-siap?

LS

AM

Yogyakarta pada 1 Oktober 1965 diambil alih oleh Dewan Revolusi. Kami waktu itu belum tahu
bahwa pengambilalihan itu terjadi dengan membunuh Komandan Korem Kolonel Katamso dan
anggota stafnya, Letkol Sugiono. Pada 4 Oktober, kami mendengar, mereka yang diculik
ternyata langsung dibunuh (suatu brutalitas yang sulit dimengerti: masak sandera dibunuh
sebelum coba diadakan perundingan). Saya langsung teringat kebrutalan komunis di sekian
negara di dunia. Kesan saya, orang-orang di Yogyakarta diliputi rasa waswas, seakan-akan tahu
ada darah mengalir dan akan ada darah mengalir lagi. Mereka masih ingat peristiwa Madiun, 17
tahun sebelumnya, saat PKI membunuh sekitar 4.000 orang non-kombatan.

gE

Akhir Oktober 1965, saya membaca di koran bahwa di Banyuwangi ditemukan sumur berisi 80
mayat santri. Di Yogya, RPKAD sudah sejak 20 Oktober melakukan pembersihan terhadap
”PKI”, didukung masyarakat yang antikomunis. Banyak tokoh komunis dieksekusi. Di Jawa
Timur, dan sejak Desember juga di Bali dan tempat lain, para pemuda mulai membunuhi orangorang PKI. Pembunuhan itu berlangsung sampai Februari 1966. Taksiran jumlah terbunuh
setengah juta dianggap realistis.

pin

Mengerikan? Betul! Namun, sindiran Roosa bahwa pembunuhan itu policy terencana Soeharto
saya anggap naif. Pembunuhan-pembunuhan itu—di mana militer memang sangat terlibat—
merupakan akibat segala ketegangan yang terakumulasi selama tahun-tahun sebelumnya yang
menciptakan situasi yang oleh Mohammad Roem disebut ”mereka atau kami”.

kli

Hal yang sepenuhnya jadi tanggung jawab Soeharto adalah kebijakan resmi negara sesudah 11
Maret 1966. Suatu kebijakan yang sama sekali tak perlu karena PKI sebagai kekuatan politik
sudah hancur, sedangkan seorang pemimpin yang bertanggung jawab seharusnya mengusahakan
rekonsiliasi. Dasar kebijakan yang diambil justru sebaliknya: menciptakan rasa benci dan
dendam gelap, yaitu penghancuran kehidupan serta stigmatisasi ”orang-orang terlibat/tak bersih
lingkungan” itu sebagai warga-bangsa yang jahat.
Sudah tiba waktunya
Sekarang, 46 tahun kemudian, sudah tiba waktunya kita berani menghadapi kenyataan dan
mengambil sikap yang bermartabat. Betul bahwa latar itu membuat kita mengerti mengapa
sampai terjadi sesuatu yang sedemikian mengerikan. Kompleksitas itu membungkamkan
stigmatisasi bangsa Indonesia pasca-1965 sebagai bangsa pembunuh oleh luar negeri.
Namun, memahami latar belakang tak berarti membenarkan apa yang terjadi. Kita harus berani

menyebut jahat apa yang jahat. Secara sederhana: Betapa pun suasana politik waktu itu dipenuhi
permusuhan dan saling mengancam karena mengganasnya wacana PKI, tetapi meluasnya reaksi
anti-G30S menjadi pembunuhan liar besar-besaran—apalagi rancangan pemerintahan
Soeharto—tidak dapat dibenarkan. Kita perlu mengakui hal itu.
Oleh karena itu, kalau Presiden mau minta maaf atas segala pelanggaran hak-hak asasi manusia
pada masa lampau, termasuk atas pelanggaran hak-hak asasi dalam tsunami antikomunis pascaG30S, mari kita dukung!

AM

Dengan minta maaf kita akan dibebaskan dari sisa kebencian dan dendam warisan pemerintahan
Soeharto. Kita tahu, orang yang hatinya masih ada dendam dan benci tak dapat menghadap
Pencipta dengan rasa baik. Kita pun ikut bersalah. Bersalah karena kita tidak menyebutkan jahat
apa yang jahat, bersalah karena tidak mengakui para korban sebagai korban. Permintaan maaf
akan membebaskan hati kita juga.
Franz Magnis-Suseno SJ

kli

pin

gE

LS

Rohaniwan; Guru Besar Pensiunan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

DESAKAN UNTUK MEMBENTUK KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI
Selasa, 10 April 2012

Desakan untuk Membentuk Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi
Senin, 09 April 2012 22:14 WIB

AM

BANDA ACEH - Gubernur terpilih Aceh nanti diminta memperhatikan korban pelanggaran
HAM dan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sesuai Kesepakatan Helsinki.
Sejumlah korban pelanggaran HAM menilai calon Gubernur/Wakil gubernur yang mengikuti
pemilu kepala daerah pada Senin (09/04/12) tidak memperhatikan korban pelanggaran HAM di
masa Daerah Operasi Militer dan masa darurat militer serta sipil di Aceh.

LS

Korban pelanggaran HAM Zukilfli Ibrahim mengatakan dalam debat dan kampanye tidak terlalu
terlihat bagaimana komitmen para calon mengenai penyelesaian kasus pelanggaran HAM di
masa konflik Aceh.

gE

"Kami berharap gubernur terpilih nanti melaksanakan isi MOU Helsinki yang antara lain
mengatur tentang pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, KKR," kata Zulkifli.
Pada tahun 1992, Zulkifli yang merupakan Desa Blangdhod Kecamatan Tangse Kabupaten Pidie
mengalami penyiksaan oleh aparat karena dituduh sebagai penyebab kekalahan Partai Golkar
dalam pemilu di wilayah tersebut.

pin

"Saya dianggap provokator yang membuat Golkar kalah, saya digantung dengan kepala di bawah
selama tiga hari di Pos Kopassus di Tangse" jelas Zulkifli.

kli

Padahal Zukifli mengaku dia tidak aktif dalam partai politik manapun. Setelah dibebaskan dia
pun merantau keluar Aceh.
Zulkifli pun harus kehilangan sejumlah keluarganya selama konflik Aceh.
Sementara itu Nurmah warga Desa Raya Sanggeue Kecamatan Pidie, Kabupaten Pidie setiap
malam mendapatkan ancaman pada tahun 1991, sehingga pindah ke Aceh Tamiang.
Ketika dalam pengungsian itu, Nurmah kehilangan Suami dan Anak laki-lakinya yang tewas
karena ditembak aparat.
"Perlakuan terhadap anak saya itu tidak manusiawi, lalu mereka menghancurkan rumah ini mau
dibakar, tetapi ada penolakan dari tokoh masyarakat yang menyebutkan bahwa rumah itu adalah
rumah mertuanya," jelas Nurmah.

Nurmah juga mendapatkan serangan teror selama lebih dari sepuluh tahun dan baru berakhir
setelah perjanjian damai pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka GAM, pada 2005
lalu.
"Kami hanya ingin mendapatkan pengakuan dari pemerintah bahwa memang ada pelanggaran
HAM dan pembentukan KKR, apabila tidak terlaksana, mungkin kejadian yang telah berlalu itu
akan berulang kembali itu mengapa harus ada KKR harus ada pngadilan HAM, " kata Nurmah.
Qanun KKR

AM

Minggu (08/04) dua orang korban pelanggaran HAM lainnya yaitu Musliadi dan Umar Usman,
keduanya dari Kabupaten Pidie juga mengungkapkan keinginan yang sama.
Keduanya pernah dipenjara karena dituduh membantu GAM, dan sempat dipenjara sampai
diberikan amnesti pada 2005 lalu. Sekarang aktif di organisasi korban pelanggaran Ham SPKP
HAM.

LS

Destika Gilang dari Kontras Aceh menilai komisi rekonsiliasi ini sudah harus dibuat secepatnya.

gE

Penyelesaian pelanggaran HAM di Aceh melalui Mekanisme Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi merupakan bagian dari Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki, 15 Agustus 2005. Point
2.3. MoU menyebutkan "Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya
rekonsiliasi".

pin

Pembentukan KKR juga dimasukan dalam UU Pemerintahan Aceh kata Destika Gilang seraya
mendesak DPRA untuk menyelesaikan Qanun KKR yang telah menjadi prioritas pembahasan
pada tahun ini.
"Dalam UU Pemerintahan Aceh kan jelas bahwa satu tahun setelah UU PA disahkan sudah harus
terbentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan sudah enam tahun perjanjian damai belum di
bentuk juga," kata dia.

kli

Gilang mengatakan meski koalisi NGO juga sudah menyusun rancangan KKR dan telah
menyerahkan kepada legislatif, terakhir pada 2010 lalu.
Dalam draf RUU KKR yang disusun masyarakat sipil antara lain mendesak pengakuan negara
bahwa ada pelanggaran HAM di Aceh dan reparasi terhadap para korban.
Koalisi Organisasi Non Pemerintah NGO mencatat sekitar 1.350 orang menjadi korban
pelanggaran HAM selama konflik di Aceh, tetapi diperkirakan jumlah sebenarnya lebih banyak
dibanding yang terdata.

LS

AM

http://www.merdeka.com/peristiwa/ketua-komnas-ham-mangkir-korban-tragedi-6566-kecewa.html
Selasa, 8 Mei 2012 21:09:03
Ketua Komnas HAM mangkir, korban tragedi 65/66 kecewa

Aksi KontraS tuntut penyelesaian kasus 65. merdeka.com/Mustiana
KATEGORI

gE

Reporter: Mustiana Lestari

Dipegang kuat-kuat poster tuntutannya. Napasnya tertahan dan dadanya naik turun. Bapak tua itu
berteriak geram.

pin

"Kami minta keadilan. Kita sudah tua kami tidak minta uang. Kami minta hak kami!" teriaknya.
Kekecewaannya memuncak saat diberitahu pimpinan sidang mangkir dari paripurna Komnas
HAM tentang penyelesaian tragedi 65/66.

kli

Bapak tua bernama Zubaidi Hasan ini pantas kecewa karena sudah jauh-jauh datang tapi
paripurna yang seyogyanya memutuskan masa depan dia dan keluarganya, harus ditunda lagi
hingga 4,5,6 Juni mendatang.
Kekecewaan dan rasa marah korban tragedi 66/65 bersama Kontras segera diredam oleh
beberapa petinggi komnas Ham lain. Mereka mengatakan sang ketua Ifdhal Kasim serta Ridha
Saleh tidak hadir karena undangan mendadak.
"Pak Ifdal bersama Ridha Saleh tidak hadir karena ada undangan mendadak dari Dubes di Kuala
Lumpur tentang TKI yang konon organnya dicuri" ujar Yosef Adi Prasetyo selaku wakil ketua
Komnas HAM dan anggota tim penyidik.
Buntut dari ketidakhadiran ketua membuat sidang paripurna yang sebenarnya sudah memenuhi
kuorum ditunda hingga 5,6,7 Juni mendatang. Para petinggi ini beralasan tidak mau

keputusannya tidak menyeluruh.
"Ada usulan pak ketua harus tetap hadir kalau utuh jadi keputusan bersama. sehingga diusulkan
kalau begitu harus ada rapat khusus, Ditetapkan 4,5,6 Juni." Imbuhnya lagi.
Yosef atau yang akrab disapa Stanley ini berjanji akan mengunci rapat tersebut sehingga
dipastikan semua pimpinan akan hadir. Jikalau memang ketua ataupun anggota lainnya mangkir
maka keputusan tetap akan diambil.

kli

pin

gE

LS

AM

"Tidak ada alasan apapun tidak hadir, akan diputuskan di tgl 4,5,6 Juni," terang Kabul Supriyadi,
salah satu anggota tim penyelidik Komnas HAM.

http://www.merdeka.com/peristiwa/tragedi-6566-masih-jadi-isu-sensitif-di-indonesia.html
Selasa, 8 Mei 2012 16:48:20

AM

Tragedi 65/66 masih jadi isu sensitif di Indonesia

gE

1
Reporter: Mustiana Lestari

LS

Aksi KontraS tuntut penyelesaian kasus 65. merdeka.com/Mustiana
KATEGORI
Peristiwa
TAG
Komnas ham
Ham

Belum ada keputusan dan penyelesaian resmi dari Komnas HAM terkait tragedi kemanusiaan
65/66. Padahal sudah 4 kali mereka duduk bersama di paripurna.

pin

Sebagai pimpinan tim penyidik Komnas HAM, Nurkholis menyebut tragedi ini sebagai tragedi
yang berat dan sensitif. Dalam 4 tahun penyidikannya, dia telah menanyai 350 saksi dan
menerima ribuan dokumen.

kli

"Masalah ini masih sensitif di Indonesia dan memang berat. Tim sudah menyelesaikan 850
halaman laporan pokok. Ada ribuan dokumen rata-rata ada 10 halaman tiap saksi, yang semua
jumlahnya 350-an," terang Nurkholis kepada wartawan di Jakarta, Selasa (8/5).
Ketua yang memimpin 18 orang tim penyidik ini telah menjelajahi 6 tempat guna menyelidiki
kebenaran tragedi tersebut. Tempat-tempat itu antara lain Medan-Jl Gandhi, Moncong LoeSulsel, Palembang-Pulau Kemarau, Denpasar-Penjara Gianyar, Momera-Sika, Ambon- P buru
Ketika ditanya akankah ini akan menjadi pelanggaran HAM berat, pria yang sudah banyak
membongkar pasang anggotanya ini setuju namun itu belum resmi menjadi keputusan Komnas
HAM.
"Memang terjadi pembunuhan, pemerkosaan, Secara pribadi tidak membantah ini pelanggaran
HAM berat" tegasnya lagi.
Sedangkan untuk penyelesaian dari Komnas Ham dimungkinkan akan diputuskan ini

pelanggaran Ham berat, jika tidak minimal akan dikeluarkan rekomendasi.

kli

pin

gE

LS

AM

"Kemungkinan penyelesaian pelanggaran HAM berat atau berupa rekomendasi yang diambil
dari aklamasi atau voting," tutup pria yang juga menjabat sebagai wakil ketua hubungan
internasional.

http://cetak.kompas.com/read/2012/05/31/01555029/minta.maaf.bukan.proses.akhir
Kamis, 31 Mei 2012
KASUS PELANGGARAN HAM

Minta Maaf Bukan Proses Akhir

AM

RZF

Albert Hasibua

LS

Jakarta, Kompas - Dewan Pertimbangan Presiden masih mengkaji formulasi yang tepat dalam
menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Solusi diharapkan bisa
bersifat komprehensif.

gE

”Memang belum ada formulasinya, tapi kami mengharapkan dengan presiden sebagai kepala
negara minta maaf akan pelanggaran HAM masa lalu, bisa memacu saling memaafkan di dalam
masyarakat,” kata anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Albert Hasibuan, Rabu
(30/5), seusai pertemuan dengan tokoh-tokoh agama.

pin

Hadir dalam pertemuan itu Syaiful Bahri dari Muhammadiyah, Kacung Marijan dari Nahdlatul
Ulama, Andreas Yewangoe dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), dan Yanto Jaya
dari Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat. ”Dengan presiden minta maaf, jadi selesai beban
sejarahnya,” kata Albert.
Ia mengatakan, setelah permintaan maaf presiden, akan dibentuk komite ad hoc. Komite itu yang
akan membuat daftar para korban pelanggaran masa lalu. Setelah itu, masih ada berbagai
pendapat. Pertama, tidak ada lagi proses hukum berupa pengadilan. Kedua, tetap ada proses
hukum. ”Masih dalam pembahasan,” katanya.

kli

Kontekstual

Kacung Marijan mengatakan, kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu harus dipahami secara
kontekstual.
Ia mencontohkan, peristiwa di sekitar tahun 1965 harus dipahami konteksnya dan latar
sejarahnya. Solusi yang diajukan juga tidak bisa semata-mata dengan proses hukum. Pasalnya,
ada kebijakan negara dan persoalan yang disamarkan. Oleh karena itu, di atas hukum dan politik
harus ada solusi dari hati ke hati dari pihak-pihak yang terlibat.

”Kalau sekadar hukum enggak selesai, peran pemerintah mempertemukan dan bukan sekadar
presiden minta maaf, tetapi juga melibatkan yang lain,” katanya.

Konsiliasi
Ketua Pansus Orang Hilang DPR Effendi Simbolon mengatakan, konsiliasi adalah proses yang
manusiawi. Namun, ia menegaskan konsolidasi tidak bisa dilakukan tanpa ada proses hukum.
”Minimal ada proses pengadilan,” katanya.

kli

pin

gE

LS

AM

Bahwa kemudian setelah proses pengadilan ada rekonsiliasi antara korban dan pelaku, hal ini
disambut baik. Ia mengingatkan proses saling memaafkan lebih terkait dengan kemanusiaan,
tetapi tidak bisa menyelesaikan status korban. ”Spirit saya hargai, akan tetapi tidak kemudian
menggugurkan prosesnya,” kata Effendi. (EDN)

http://cetak.kompas.com/read/2012/07/18/03242443/syarat.rekonsiliasi.tinggalkan.masa.lalu
TOKOH ASIA TENGGARA

Syarat Rekonsiliasi: Tinggalkan Masa Lalu

AM

KOMPAS/RIZA FATHONI

LS

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (kiri) disambut mantan Deputi Perdana Menteri Malaysia
Anwar Ibrahim, mantan Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta, dan mantan PM Thailand
Thaksin Shinawatra (dari kanan ke kiri) pada pembukaan forum dan jurnal Strategic Review di
Jakarta, Selasa (17/7). Strategic Review adalah jurnal triwulan yang berisi kumpulan tulisan
mengenai masalah-masalah kepemimpinan, kebijakan, dan hubungan internasional.

gE

JAKARTA, KOMPAS - Syarat tercapainya rekonsiliasi di suatu negara adalah saat semua pihak
di negara tersebut bersedia melangkah ke depan dan meninggalkan masa lalu tanpa melupakan
sejarah sebagai sebuah pelajaran.
Demikian benang merah diskusi bertema ”Perdamaian dan Rekonsiliasi di Asia Tenggara” yang
menghadirkan panelis tiga tokoh Asia Tenggara, yakni mantan Presiden Timor Leste Jose Ramos
Horta, mantan Perdana Menteri (PM) Thailand Thaksin Shinawatra, dan mantan Deputi PM
Malaysia yang juga tokoh reformasi Malaysia, Anwar Ibrahim, di Jakarta, Selasa (17/7).

pin

Ramos Horta mengatakan, ia pernah berkata kepada rakyat Timor Leste bahwa satu-satunya cara
untuk melangkah ke depan adalah dengan menutup lembaran sejarah 1974-1999 saat Timor
Leste masih menjadi bagian Indonesia.

kli

”Lihat saja hubungan antara Indonesia dan Timor Leste, bagaimana kami waktu itu, dan
bagaimana kami saat ini. Dalam 10 tahun terakhir, kami masih menghadapi masalah rumit, tetapi
sudah tidak ada lagi perselisihan besar,” ujarnya.
Sementara Thaksin mengungkapkan perkembangan situasi di Thailand, yang pernah dilanda
konflik politik tajam, yang membuat ia terguling dari kursi PM dan terasing di luar Thailand
hingga saat ini. Menurut dia, hingga saat ini masih ada sebagian pihak di Thailand yang menolak
dia kembali.
”Saya juga tidak ingin kembali jika itu hanya akan menambah masalah (di Thailand),” tutur
Thaksin seusai acara diskusi.
Cara memaafkan

Menurut Thaksin, ia hanya ingin negaranya sejahtera. Itu hanya bisa dicapai jika semua pihak tak
memikirkan diri sendiri serta belajar memaafkan dan memikirkan kepentingan rakyat.
”Saya baru saja mengunjungi Hiroshima (Jepang). Ribuan orang mati di sana karena bom atom.
Tetapi, rakyat di sana tahu bagaimana cara memaafkan. Mereka kini berteman dengan Amerika
yang mengebom kota mereka,” ungkap Thaksin.
Sementara Anwar Ibrahim mengatakan, di Malaysia tidak ada konflik terbuka yang terjadi,
seperti yang terjadi di Thailand atau Timor Leste. Namun, ada beberapa hal yang tak bisa
dilakukan di Malaysia, sementara di negara lain hal itu bisa dilakukan dengan bebas, seperti
mengungkapkan pendapat secara jujur dan terbuka.

kli

pin

gE

LS

AM

Anwar yakin suatu saat Malaysia akan memiliki kebebasan dan keadilan itu. ”Memang tidak
mudah untuk memaafkan dan melanjutkan langkah setelah segala penghinaan dan ketidakadilan
itu, tetapi kita harus melangkah ke depan,” kata Anwar.(DHF)

http://pik.kompas.co.id/tark/detail.cfm?item=22&startrow=76&style=advanced&session=1
353394454455
Pelanggaran HAM Berat: Presiden: Wajib Selesaikan Semua
KOMPAS(Nasional) - Kamis, 26 Jul 2012 Halaman: 4 Penulis: Fer; Ato; faj; Why
Ukuran: 2454 Foto: 1

AM

Pelanggaran HAM berat
Presiden: Wajib Selesaikan Semua
Jakarta, Kompas — Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, negara punya kewajiban
moral menyelesaikan semua pelanggaran HAM seadil-adilnya. Namun, solusi tersebut juga harus
dapat diterima oleh semua pihak.

LS

”Saya mempelajari solusi di Afrika Selatan, Kamboja, Bosnia, dan sebagainya yang modelnya
berbeda-beda. Solusinya memang berbeda-beda, tetapi ada solusi yang bisa diterima semua
pihak,” ujar Presiden di Kantor Kejaksaan Agung, Rabu (25/7).

gE

Untuk solusi yang dapat diterima semua pihak, apa yang terjadi harus dilihat jernih, jujur, dan
obyektif. ”Semangatnya tetap melihat ke depan. Selesaikan secara adil,” tuturnya.
Ia menjelaskan, rekomendasi Komisi Nasional HAM mengenai peristiwa 1965-1966 akan
dipelajari Jaksa Agung Basrief Arief. ”Saya berharap bisa berkonsultasi dengan DPR, DPD,
MPR, dan semua pihak,” ujarnya.

pin

Basrief mengatakan, kejaksaan akan meneliti laporan Komnas HAM mengenai pelanggaran
HAM berat 1965-1966. ”Nanti akan dilihat, apakah buktinya cukup atau tidak untuk
ditindaklanjuti,” kata Basrief.
Tak ada komitmen

kli

Sementara itu, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Haris
Azhar dan Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim menilai, Presiden Yudhoyono tidak memiliki
perhatian dan komitmen kuat menyelesaikan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM yang berat.
Jika memiliki komitmen, Presiden dapat mendorong pembentukan pengadilan HAM ad hoc atau
membuat kebijakan rekonsiliasi, termasuk merehabilitasi dan memberi kompensasi kepada
korban.
DPR pernah memberikan rekomendasi kepada pemerintah, yakni membentuk Pengadilan HAM
ad hoc untuk memeriksa kasus terkait orang hilang. Akan tetapi, menurut Haris, rekomendasi itu
tidak ditindaklanjuti pemerintah.
Menurut Ifdhal, penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat tidak harus diselesaikan
dengan mekanisme hukum. Kalau memiliki komitmen politis, pemerintah juga dapat menangani

dan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat dengan cara-cara politis melalui
rekonsiliasi.

kli

pin

gE

LS

AM

(Fer/Ato/Faj/Why)
Image :
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Korban Peristiwa 1965/1966, Bejo Untung, menanggapi keputusan Komnas HAM soal peristiwa
1965/1966 di kantor Kontras, Jakarta, Rabu (25/7). Korban dan keluarga korban mendesak
Kejaksaan Agung menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM, dan meminta Presiden
serta DPR segera membentuk pengadilan ad hoc.

http://www.harianterbit.com/2012/07/31/darmonorekonsilisasi-penyelesaian-kasus-1965/
Selasa, 31 Juli 2012 17:44 WIB
Darmono: Rekonsilisasi, Penyelesaian Kasus 1965
Haris — HARIAN TERBIT

AKARTA-Temuan Komnas HAM terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam
peristiwa 1965,bisa diselesaikan melalui rekonsiliasi atau penyelesaian di luar pengadilan.
“Namun rekonsiliasi haruslah ada bukti-bukti pelanggaran yang dilakukan aparat pemerintah,”
katanya di Jakarta, Selasa (31/7).

AM

Sebelumnya, Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Peristiwa 1965–1966 setelah
melakukan pekerjaannya selama empat tahun, menyimpulkan bahwa adanya dugaan pelanggaran
tersebut benar terjadi.

LS

Komnas HAM meminta Jaksa Agung untuk memulai penyelidikan resmi berdasarkan temuan
dan untuk membentuk Pengadilan HAM “ad hoc” untuk membawa pelaku ke pengadilan
sebagaimana diatur UU Pengadilan HAM.
Menurut dia, penyelesaian melalui pengadilan dengan menggunakan UU Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), tidak bisa dilakukan atau tidak bisa retroaktif.

gE

“Kecuali pada kasus Timor Timur (Timtim) dan kasus Tanjung Priok,” katanya. Jadi, ia
menambahkan untuk kasus 1965 itu, tidak bisa terjangkau dengan membentuk pengadilan ad
hoc.

pin

“Kalau 1965 itu agak sangat jauh dari landasan hukum kita, lemahlah,” atanya.Kendati demikian,
pihaknya akan tetap mengevaluasi hasil temuan penyelidikan Komnas HAM tersebut.
Sebelumnya, Amnesty Internasional meminta Jaksa Agung menyelidiki temuan Komnas HAM
terkait dengan dugaan pelanggaran HAM yang bisa dianggap kejahatan terhadap kemanusiaan
yang dilakukan dalam konteks Kudeta 1965 yang gagal.

kli

Editor — Haris Fadillah

http://nasional.kompas.com/read/2012/08/02/02503424/Kejagung.Teliti.Pelanggaran.HAM.Berat
.1965
PELANGGARAN HAM
Kejagung Teliti Pelanggaran HAM Berat 1965
Kamis, 2 Agustus 2012 | 02:50 WIB

Jakarta, Kompas - Kejaksaan Agung masih meneliti laporan penyelidikan dari Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia mengenai adanya dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi pada 19651966. Kejagung membentuk tim untuk meneliti laporan Komnas HAM tersebut.

AM

”Kami masih meneliti laporan itu,” kata Jaksa Agung Basrief Arief, kemarin di Jakarta.
Hasil penelitian Kejagung akan menentukan apakah kasus pelanggaran HAM berat tahun 19651966 akan ditingkatkan ke tahap penyidikan atau tidak.

LS

Jika diputuskan untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan, Kejaksaan Agung membutuhkan
pengadilan HAM ad hoc mengingat kasus tersebut terjadi sebelum adanya Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pengadilan HAM ad hoc diperlukan Kejaksaan
Agung untuk meminta izin melakukan upaya hukum seperti penggeledahan dan penyitaan
selama proses penyidikan.

gE

”Untuk kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000 diperlukan
pengadilan HAM ad hoc,” kata Basrief.
Berdasarkan UU 26/2000, pengadilan HAM ad hoc dibentuk berdasarkan persetujuan DPR dan
Presiden.

kli

pin

Sementara itu, Mantan Jaksa Agung Abdul Rachman Saleh mengatakan, persoalan pembentukan
pengadilan HAM ad hoc merupakan masalah yang terus menjadi polemik. Seharusnya DPR dan
pemerintah tidak hanya menyetujui pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk beberapa
kasus, tetapi juga untuk pelanggaran HAM berat lainnya yang terjadi di masa lampau.
Pengadilan HAM ad hoc sebelumnya pernah dibentuk untuk mengadili kasus pelanggaran HAM
di Timor Timur dan Tanjung Priok. (faj)
Editor :

http://cetak.kompas.com/read/2012/08/08/02171856/ham.masa.lalu.jalan.berliku.ala.sby
Rabu,08 Agustus 2012

HAM Masa Lalu, Jalan Berliku ala SBY
Haris Azhar

Di kantor Kejaksaan Agung, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 25 Juli 2012, kembali
membuat pernyataan yang meminta Jaksa Agung mempelajari berkas hasil penyelidikan Komnas
HAM atas kasus 1965 dan penembakan misterius 1982-1985.

AM

Pernyataan ini semakin menambah daftar panjang ambiguitas sikap presiden terhadap kasus
masa lalu meski di sisi lain memperpanjang harapan keadilan di Indonesia.
Empat tahun lalu, 20 Maret 2008, saat menerima para korban pelanggaran HAM, Presiden SBY
juga membuat pernyataan serupa: bahwa pemerintahan akan mencari solusi terbaik untuk
menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu.

LS

Dalam kesempatan tersebut, para perwakilan korban menyampaikan harapannya atas kasuskasus mereka. Ibu Sumarsih, ibunda Wawan, mahasiswa Atma Jaya korban Semanggi I,
meminta agar proses hukum hasil penyelidikan Komnas HAM diteruskan oleh Kejaksaan
Agung.

gE

Azwar Kaili, korban Talangsari Lampung 1989, menyampaikan bahwa masih terjadi
diskriminasi terhadap para korban dan masyarakat di Dusun Talangsari. Desa mereka tidak
dibangun layaknya desa-desa tetangga.

pin

Irta Soemirta, korban Tanjung Priok 1984, juga menyatakan bahwa pengadilan HAM atas kasus
Tanjung Priok justru membebaskan para pelakunya.
Zig-zag

kli

Pernyataan presiden bisa menjadi awalan positif sejalan dengan prinsip hukum hak asasi
manusia. Bahwa negara adalah penanggung jawab pemulihan dari kejahatan kemanusiaan.
Pemulihan artinya penegakan hukum yang jujur dan adil, memperbaiki kondisi korban, keluarga
dan masyarakat yang terkena dampak kejahatan tersebut dan memastikan bahwa kejahatan
tersebut tidak berulang.
Lewat dari 2008, kemajuan justru datang dari DPR yang merekomendasikan penyelidikan atas
kasus penghilangan aktivis 1997-1998. Dalam rekomendasinya, DPR meminta presiden segera
mengeluarkan Keppres Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc, memperbaiki kondisi korban dan
keluarga korban, mencari mereka yang masih hilang dan segera meratifikasi konvensi
pencegahan penghilangan orang secara paksa. Sayangnya, presiden hingga kini belum
menindaklanjutinya.

Presiden justru meminta Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan mencari
format penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu. Djoko Suyanto sebagai Menko
Polhukam diminta memfasilitasi upaya perumusan penyelesaian.
Patut dipertanyakan apa motif di balik permintaan tersebut? Karena Menko Polhukam tidak
memiliki mandat yudisial untuk menangani kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu,
dibandingkan Jaksa Agung yang secara jelas tugasnya diatur dalam UU Pengadilan HAM.

AM

Hasil lain yang masih belum kelihatan adalah penunjukan Denny Indrayana sebagai Wakil
Menteri Hukum dan HAM pada 2011. Menurut Denny, salah satu tugasnya adalah mencari
rumusan terbaik dalam penuntasan kasus masa lalu. Tugas serupa disampaikan ke Albert
Hasibuan, saat diangkat jadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden, 2011.
Wajar jika kemudian Ombudsman Republik Indonesia (ORI) pada 2012 membuat kesimpulan
bahwa ada mala-administrasi oleh Presiden SBY, dengan tidak meneruskan rekomendasi kasus
penculikan dan penghilangan orang secara paksa 1997-1998.

LS

Kesempatan terakhir?

gE

Dalam konsep hak asasi manusia, pengakuan negara merupakan salah satu pilar penting dalam
kewajiban menangani peristiwa pelanggaran HAM. Namun, hal ini tidak cukup. Negara harus
menindaklanjutinya dengan perumusan aturan hukum yang menyatakan bahwa peristiwaperistiwa itu adalah kejahatan. Kejahatan tersebut kemudian diuji lewat proses hukum ataupun
nonhukum dengan memenuhi prinsip-prinsip akuntabilitas sehingga hasil kerja dan
rekomendasinya memiliki integritas dan implementatif.

pin

Dengan gambaran di atas, Presiden SBY dan pemerintahannya selama delapan tahun ini baru
sampai pada tahap pengakuan verbal belaka. Berbagai berkas pelanggaran HAM berat hanya
semakin menumpuk di kantor Kejaksaan Agung. Artinya, ada keberanian dari Kejaksaan Agung
untuk mendiamkan kasus-kasus tersebut dan secara tidak langsung hal ini ternyata direstui oleh
Presiden.

kli

Sisa pemerintahan SBY tinggal dua tahun lagi menuju 2014. Masih ada sedikit kesempatan buat
SBY untuk mengukir namanya agar bisa mendekati Vaclav Havel dan Nelson Mandela, yang
berhasil membawa bangsanya keluar dari beban masa lalu.
Yang perlu dilakukan SBY adalah meminta Jaksa Agung segera membentuk tim penyidik atas
berbagai berkas pelanggaran HAM. Permintaan ini bukan intervensi, melainkan sebuah tanggung
jawab pimpinan terhadap Jaksa Agung untuk bekerja sesuai aturan perundang-undangan.
Kerja Jaksa Agung akan semakin mematangkan hasil-hasil penyelidikan oleh Komnas HAM, di
antaranya mencari pelaku-pelaku yang masih hidup dan diduga mengetahui kejahatan yang
terjadi. Presiden SBY juga harus memastikan agar institusi seperti TNI, Polri, dan lembaga
intelijen mendukung secara penuh upaya hukum ini.

Identitas Indonesia hari ini dan hari depan diukur dari seberapa besar keberanian pemimpinnya
menghadapi para penjahat. Jangan sampai para penjahatlah yang justru menjadi pemimpin
bangsa kita pada masa depan.

kli

pin

gE

LS

AM

Haris Azhar Koordinator Kontras

http://pik.kompas.co.id/tark/detail.cfm?item=4&startrow=101&style=advanced&session=1
353394580377
Papua: Amnesti Tapol Jadi Kunci
KOMPAS(Nasional) - Kamis, 09 Aug 2012 Halaman: 5 Penulis: FER Ukuran: 1764
papua
Amnesti Tapol Jadi Kunci
Jakarta, Kompas — Pengampunan atau amnesti terhadap tahanan politik di Papua menjadi kunci
rekonsiliasi dan membangun kepercayaan antara pemerintah dan masyarakat Papua dalam
dialog damai Papua. Oleh karena itu, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono perlu
diyakinkan untuk dapat memberikan amnesti kepada tahanan politik Papua.

AM

Hal itu diungkapkan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Muridan, dalam diskusi
bertema ”Kontroversi Tahanan Politik Papua”, di Jakarta, Rabu (8/8). Hadir sebagai pembicara
antara lain Koordinator Jaringan Damai Papua Neles Tebay, peneliti Komisi untuk Orang Hilang
dan Korban Tindak Kekerasan Papang Hidayat, dan pemerhati tapol Gustav Dupe.

LS

”Pembebasan atau amnesti terhadap tapol penting dan menjadi tanda positif untuk rekonsiliasi
dan membangun dialog damai Papua,” kata Muridan.

gE

Neles Tebay menambahkan, adanya tapol di Papua menunjukkan masalah politik masih ada di
Papua. ”Kalau masalah mendasar yang menyebabkan adanya tapol tidak diselesaikan melalui
dialog akan ada banyak tapol di Papua,” tuturnya.
Neles mencontohkan pengibaran bintang kejora dianggap makar. Ia mempertanyakan apakah
orang yang mengibarkan bendera bintang kejora harus ditangkap. ”Itu tidak menyelesaikan
masalah,” katanya.

pin

Koordinator National Papua Solidarity (Napas) Marthen Goo mengatakan, dari catatan Napas
ada 47 ta