BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN BAKU A . Latar belakang dan Perkembangan Perjanjian Baku di Indonesia - Asas Kebebasan Berkontrak Dan Perjanjian Baku Dalam Jual Beli Apartemen Salemba Residence

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN BAKU A . Latar belakang dan Perkembangan Perjanjian Baku di Indonesia Beberapa tahun belakangan ini, dunia perdagangan mengalami perkembangan yang sangat pesat baik dalam skala nasional maupun internasional. Hal ini ditandai dengan banyaknya produk barang dan/atau jasa yang ditawarkan

  pihak pelaku usaha kepada masyarakat selaku pihak pembeli. Masyarakat tidak perlu bersusah panyah dalam memenuhi kebutuhan mereka baik bersifat primer, sekunder, tersier, dan komplementer. Semua telah disediakan oleh para pelaku usaha.

  Pitlo mengatakan latar belakang tumbuhnya perjanjian baku adalah karena keadaan sosial ekonomi. Perusahaan yang besar, dan perusahaan pemerintah mengadakan kerja sama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingan mereka, ditentukan syarat-syarat secara sepihak. Pihak lawannya pada umumnya mempunyai kedudukan lemah, baik karena prinsipnya maupun karena

   ketidaktahuannya hanya menerima apa yang di sodorkan.

  Pihak pelaku usaha dalam memenuhi kebutuhan pihak pembeli yang semakin meningkat tersebut, tidak mungkin bergerak dengan lambat yang tidak sesuai dengan permintaan. Menyingkapi hal ini pihak pelaku usaha berfikir bagaimana caranya memberikan pelayanan yang efektif dan efisien kepada pihak pembeli. Untuk itu, pihak pelaku usaha memikirkan suatu cara yaitu dengan

41 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Cet VIII, Sumur, Bandung, 1976, hal. 35.

  39 membuat atau menyusun isi dan syarat terlebih dahulu yang dituangkan kedalam bentuk perjanjian baku.

  Perjanjian baku merupakan suatu aspek perjanjian yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Perjanjian ini tumbuh dan berkembang untuk memenuhi perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Akan tetapi, dengan banyaknya pihak pembeli yang harus dipenuhi kebutuhannya, pihak pelaku usaha tidak mungkin membuat ketentuan-ketentuan yang akan berlaku untuk orang-perorangan. Maka untuk memenuhi hasrat pihak pembeli tersebut, pihak pelaku usaha merancang perjanjian yang berisi syarat-syarat tertentu yang dapat diberlakukan secara kolektif dan massal. Jadi latar belakang dari perjanjian baku adalah keadaan ekonomi. Di Indonesia tidak secara jelas diketahui sejak kapan mulai timbul perjanjian baku dalam kehidupan sehari-hari, yang pasti sejak dahulu perjanjian ini telah terjadi, misalnya dalam perjanjian jual beli dan cuci cetak film.

  Biasanya perjanjian baku ini dibuat dalam bentuk formulir dalam jumlah yang tertentu yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat selaku pihak pembeli, dimana formulir tersebut diberikan kepada masyarakat yang menginginkannya, karena isi dari perjanjian baku itu terlebih dahulu dibuat oleh pihak pelaku usaha, maka tidak jarang isi dari perjanjian baku itu bersifat menguntungkan satu pihak saja yaitu pihak pelaku usaha. Mayoritas dari keseluruhan isi perjanjian baku itu adalah mengatur tentang kewajiban pembeli yang harus dipenuhinya.

  Di dalam transaksi perdagangan terutama dalam perjanjian jual beli, perjanjian baku banyak digunakan. Hal ini dikarenakan dengan penggunaan perjanjian baku dalam bentuk formulir ini terbukti dapat memberikan pelayanan yang cepat (efisien) dan sekaligus memberikan kepastian hukum (efektif), yaitu kepastian hukum yang menyatakan klausula baku tersebut berlaku sah dan mempunyai kekuatan hukum. Dengan bentuk dan isi yang ditentukan hanya oleh pihak pelaku usaha saja, maka pihak pembeli tidak dapat melakukan proses tawar menawar, sehingga pihak pembeli hanya dapat melakukan tindakan “mengambil” atau “menolak” isi perjanjian tersebut terkait dengan kebutuhannya. Istilah ini dikenal dengan istilah “take it or leave it contract”.

  B . Pengertian Perjanjian Baku

  Yang dimaksud dengan perjanjian baku adalah suatu perjanjian tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut, bahkan seringkali perjanjian tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk formulir- formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika perjanjian tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausula- klausulanya, di mana pihak lain dalam perjanjian tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegoisasi atau mengubah klausula-klausula yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga

  

  biasanya perjanjian baku sangat berat sebelah. Pihak yang kepadanya disodorkan perjanjian baku tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk bernegosiasi dan berada hanya pada posisi “take it or leave it contract ”.

42 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Dalam Bisnis) Buku Kedua, Cet. I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 76.

  Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian baku adalah perjanjian

  

  Menurut Hondius bahwa perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan kebiasaan yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas

   perdagangan.

  Sutan Remy Sjahdeini mengartikan perjanjian baku sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingan atau meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan hanya beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Dengan kata lain yang

  

  Dari uraian-uraian di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa ternyata para ahli hukum dalam memberikan pengertian mengenai perjanjian baku ini berbeda-beda. Tetapi pada prinsipnya sama, yaitu perjanjian tersebut ditentukan secara sepihak, dengan kewajiban lebih banyak dibebankan kepada pihak pembeli, karena pihak pembeli terdesak oleh kebutuhannya sehingga pihak pembeli terpaksa menerima perjanjian itu, bentuknya tertulis berupa formulir-formulir dan disiapkan dalam jumlah yang banyak.

43 Syahmin A.K., Hukum Kontrak Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal.

  142. 44 45 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 66.

  Perjanjian baku ini biasanya dibuat pihak pelaku usaha dengan tujuan pembuatan perjanjian lebih praktis dan efisien, tetapi perjanjian baku ini pada umumnya hanya menguntungkan pihak pelaku usaha sedangkan pihak pembeli.

  Perjanjian baku dapat dibedakan dalam tiga jenis:

  1. Perjanjian baku sepihak , adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat dalam hal ini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi kuat dibandingkan pihak debitur. Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.

  2. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah , ialah perjanjian baku yang mempunyai objek hak-hak atas tanah. Dalam bidang agraria misalnya, dapat dilihat formulir-formulir perjanjian sebagaimana yang diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Agustus 1977 No. 104/Dja/1977, yang berupa antara lain akta jual beli, model 1156727 akta hipotik model 1045055 dan sebagainya.

  3. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat , terdapat perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan, yang dalam kepustakaan Belanda biasa

   disebut dengan “contract model”.

  46 http://www.pengacaraonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=87:as as-kebebasan-berkontrak-dalam-kaitannya-dengan-perjanjian-baku-&catid=42&Itemid=53.

  Diakses tanggal 06 Mei 2010.

  C . Ciri-Ciri Perjanjian Baku

  Suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai perjanjian baku, apabila dalam perjanjian tersebut terdapat ciri-ciri sebagai berikut :

  1. Perjanjian baku tertuang dalam bentuk formulir Menurut ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata menyatakkan bahwa tiap-tiap perikatan itu dilahirkan dari undang-undang dan karena persetujuan, Undang- undang sifatnya tertulis, sedangkan persetujuan ada yang tertulis dan lisan. Dari bunyi pasal ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian itu sifatnya bebas tergantung para pihak yang membuatnya. Perjanjian dapat dibuat secara tertulis maupun dalam bentuk lisan, hal ini dimata hukum adalah sah. Namun, ketentuan mengenai perjanjian baku biasanya ditetapkan dalam bentuk tertulis, oleh karena itu disebut dengan perjanjian baku.

  2. Isinya ditetapkan secara sepihak Isi perjanjian ditetapkan terlebih dahulu oleh pihak yang mempunyai posisi ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pihak yang lain. Dalam hal ini yang memiliki posisi ekonomi kuat adalah pihak pelaku usaha, sedangkan yang berada dalam posisi ekonomi lemah adalah pihak pembeli. Pihak pembeli dalam hal ini tidak dapat melakukan penawaran dan hanya dapat menerima maupun menolak isi perjanjian tanpa dapat melakukan perubahan- perubahan terhadap isi perjanjian tersebut.

  3. Perjanjian baku berlaku secara kolektif dan massal Perjanjian baku yang dibuat secara tertulis dalam bentuk formulir-formulir tersebut diperbanyak atau digandakan dalam jumlah yang tidak terbatas. Isi perjanjian tersebut tidak dibuat satu persatu berdasarkan keinginan pihak pembeli, namun berlaku massal tanpa melihat kondisi dan keadaan pihak pembeli baik dari segi ekonomi ataupun yang lainnya. Bersifat kolektif berarti isinya tetap dan tertentu, tidak disesuaikan dengan orang perorangan. Dimana isi perjanjian tidak dapat diubah oleh pihak yang lemah posisinya, dalam hal ini pihak pembeli.

4. Kebutuhan pihak pelaku usaha sebagai pengikat

  Dalam hal ini kedudukan pihak pelaku usaha sangat kuat, kebutuhan hidup pihak pembeli yang kian hari kian meningkat itu hanya dapat dipenuhi atau disediakan oleh pihak pelaku usaha sehingga pihak pembeli demi mempertahankan hidupnya terpaksa menerima isi perjanjian karena kebutuhan yang memaksa. Dalam kondisi seperti ini, seolah-olah ketika pihak pembeli menerima perjanjian tersebut seakan tiada paksaan dan merupakan kehendak bebas dari pihak pembeli itu sendiri.

D. Kekuatan Mengikat Perjanjian Baku

  Menurut ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, perjanjian yang dibuat secara sah, yaitu memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belak pihak atau karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang, dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

47 Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak, artinya pihak-pihak harus menaati perjanjian itu sama dengan menaati undang-undang.

  Jika ada yang melanggar perjanjian yang mereka buat, ia dianggap sama dengan melanggar undang-undang, yang mempunyai akibat hukum tertentu yaitu sanksi 47 R. Subekti & R. Tjitrosudibio, Op Cit, hal.342. hukum. Jadi, barang siapa melanggar perjanjian, ia akan mendapat hukuman seperti yang telah ditetapkan dalam undang-undang.

  Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Dalam perkara perdata, hukuman bagi pelanggar perjanjian ditetapkan oleh hakim berdasarkan undang-undang atas permintaan pihak lainnya. Menurut undang-undang, pihak yang melanggar perjanjian itu harus membayar ganti kerugiaan (Pasal 1243 KUHPerdata), menanggung beban

   resiko (Pasal 1237 ayat 2 (dua) KUHPerdata).

  Kemudian beliau menambahkan, perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak. Perjanjian tersebut tidak boleh ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak saja. Jika ingin menarik kembali atau membatalkan itu harus memperoleh persetujuan pihak lainnya, jadi diperjanjikan lagi. Namun demikian, apabila ada alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang,

   perjanjian dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak.

  Keadilan dalam hukum itu menghendaki kepastian, yaitu apa yang diperjanjikan harus dipenuhi, janji itu mengikat seperti undang-undang (Pasal 1338 ayat 1 (satu)), sedangkan yang harus dipenuhi itu sesuai dengan kepatutan dan kesusilaan (Pasal 1338 ayat 3 (tiga), asas keadilan). Hakim berwenang mencegah suatu pelaksanaan perjanjian yang tidak adil, yaitu tidak sesuai dengan kepatutan dan kesusilaan atau dengan itikad jahat.

  Dengan melihat hal yang telah diuraikan di atas, bagaimana kekuatan mengikatnya perjanjian baku ini, menurut Mariam Darus Badrulzaman meninjau masalah ada dan kekuatan mengikat perjanjian baku, maka secara teoritis yuridis,

  48 49 Abdulkadir Muhammad, Op Cit, hal. 97.

  Ibid. perjanjian ini tidak memenuhi elemen-elemen yang dikehendaki oleh Pasal 1320

   jo 1338 KUHPerdata.

  Kemudian beliau menambahkan, kita melihat bahwa perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku diadakan tidak memberikan kesempatan pada debitur untuk mengadakan perundingan dengan pengusaha (kreditur). Debitur tidak mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasannya dalam menentukan isi perjanjian baku ini. Sehingga perjanjian baku ini tidak memenuhi elemen-elemen yang dikehendaki Pasal 1320 jo 1338 KUHPerdata dan akibatnya

   tidak ada.

  50 51 Mariam Darus II, Op Cit, Hal. 52.

  Ibid.

BAB IV ANALISIS HUKUM ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU JUAL BELI A. Keabsahan Jual Beli Apartemen Salemba Residence Sebagai Perjanjian Baku Jual beli diatur dalam pasal 1457 KUHPerdata yaitu jual beli adalah suatu

  persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang

  

  telah dijanjikan. Bahwa jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud

   dalam bentuk penyerahan uang oleh pihak pembeli kepada pihak pelaku usaha.

  Ketentuan Pasal 18 ayat 1 (satu) Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985, tentang rumah susun menentukan bahwa satuan rumah susun yang telah dibangun baru dapat dijual untuk dihuni setelah mendapat izin lanyak huni dari pemerintah daerah yang bersangkutan. Untuk mendapatkan izin lanyak huni perusahaan pengembang harus telah menyelesaikan bangunan dan sudah harus bersertifikat.

  Berdasarkan ketentuan tersebut, maka untuk dapat menjual satuan-satuan apartemen, perusahaan pengembang pembangunan apartemen harus mendapat izin layak huni dari pemerintah daerah, sedangkan untuk melaksanakan jual belinya dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, terlebih dahulu harus memenuhi persyaratan adanya akta pemisahan atas satuan-satuan apartemen untuk pembuatan sertifikat hak milik atas apartemen oleh Kantor Pertanahan setempat. 52 53 R. Subekti & R. Tjitrosudibio, Op Cit, hal. 366.

  Gunawan Widjaya dan Kartini Muljadi, Jual Beli (Seri Hukum Perikatan), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 7.

  Dalam prakteknya banyak apartemen-apartemen yang belum selesai dibangun oleh perusahaan pengembang pembangunan telah dipasarkan untuk dijual kepada pihak pembeli. Ini dilakukan oleh perusahaan pengembang apartemen untuk memperoleh dana murah dan menjajaki kepastian pasar. Bagi pihak pembeli dengan membeli apartemen pada saat apartemen tersebut belum dibangun adalah untuk mendapatkan harga yang relatif murah, karena pada kenyataannya harga apartemen setelah bangunannya selesai harganya naik.

  Bentuk hubungan hukum antara perusahaan pemgembang dengan pihak pembeli tersebut dituangkan dalam suatu perjanjian baku. Lazimnya perjanjian tersebut telah disiapkan oleh perusahaan pengembang apartemen sepihak dalam suatu bentuk dan klausul-klausul tertentu yang kemudian diajukan kepada pihak pembeli. Perjanjian jual beli tersebut baik dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan maupun dalam bentuk akta notaris.

  Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausul sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Penggunaan perjanjian baku ini merupakan rasionalisasi hubungan hukum perjanjian sebagai cara meningkatkan efisiensi dalam pemakaian tenaga, biaya, dan waktu dengan tujuan untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada pihak pembeli.

  Di dalam hubungan pra kontraktual, pihak pelaku usaha lebih dominan sebab dalam tahap awal ini posisi itu memang berada pada pihak pelaku usaha namun setelah perjanjian jual beli dilaksanakan, maka posisi pihak pelaku usaha sangatlah lemah sehingga sudah semestinya dalam tahap negosiasi ini pihak pelaku usaha senantiasa mengantisipasi berbagai hal guna menghindari terjadinya masalah-masalah sehubungan dengan perjanjian jual beli pada masa yang akan datang. Dalam hal ini pihak pembeli berada pada posisi yang sekadar mencermati isi perjanjian jual beli namun tidak berarti tidak mempunyai kemampuan dalam menentukan syarat-syarat dan klausul perjanjian.

  Sebagaimana diketahui bahwa dalam suatu perjanjian, hukum Indonesia tidak hanya memberikan perlindungan kepada pihak pelaku usaha, tetapi juga memberikan perlindungan kepada pihak pembeli terhadap pihak pelaku usaha yang tidak jarang menyalahgunakan kedudukannya yang kuat dalam menghadapi mereka yang ingin membeli, yaitu dengan memaksakan syarat-syarat yang melampaui batas kewajaran dan pertimbangan keadilan. Kenyataan tersebut mengimplementasikan bahwa perjanjian jual beli dalam bentuk baku itu di dalamnya banyak terdapat klausul-klasul yang cukup memberatkan.

  Namun bagaimana juga kiranya ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian jual beli dimana pihak pelaku usaha hendaknya menjalankan kegiatan usahanya semestinya memperhatikan juga pengakomodiran hak-hak dan kepentingan pihak pembeli, termasuk di dalamnya pencantuman klausul-klausul tertentu yang tidak boleh memberatkan salah satu pihak.

  Pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 11/KPTS/1994 tanggal 17 November 1994 Tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun, dimaksud untuk mengamankan kepentingan perusahaan pengembang apartemen serta para calon pihak pembeli dari kemungkinan terjadinya ingkar janji dari para pihak tersebut. Dengan adanya pembatasan oleh pemerintah tersebut antara hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian baku jual beli apartemen mendapat perlindungan yang seimbang.

  

B. Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Jual Beli

Apartemen Salemba Residence

  KUHPerdata maupun perundang-undangan lainnya tidak memuat ketentuan yang mengharuskan maupun melarang seseorang untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian ataupun mengharuskan maupun melarang untuk tidak mengikatkan diri dalam suatu perjanjian.

  Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjanjian Indonesia memantapkan adanya kebebasan ini. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka tentunya perjanjian yang dibuat tidaklah sah, orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat. Yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu untuk setuju atau tidak setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud, dengan akibat transaksi yang diinginkan tidak dapat dilangsungkan.

  KUHPerdata maupun ketentuan perundang-undangan lainnya tidak melarang bagi seseorang untuk membuat perjanjian dengan siapapun juga yang menghendakinya. Undang-undang hanya menentukan bahwa orang tertentu tidak cakap membuat perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1330 KUHPerdata. Dari segi ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa setiap orang memilih pihak dengan siapa ia menginginkan untuk membuat perjanjian asalkan pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap untuk membuat perjanjian. Bahkan menurut Pasal 1331 KUHPerdata, bila seseorang membuat perjanjian dengan seseorang lain yang menurut undang-undang tidak cakap untuk membuat perjanjian, maka perjanjian itu tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang tidak cakap.

  KUHPerdata maupun ketentuan perundang-undangan lainnya juga tidak memberikan larangan kepada seseorang untuk membuat perjanjian dalam bentuk tertentu yang dikehendakinya. Ketentuan yang ada adalah bahwa untuk perjanjian tertentu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan, misalnya dibuat dalam akta otentik. Dengan demikian sepanjang ketentuan perundang-undangan tidak menentukan bahwa suatu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertentu, maka para pihak bebas untuk memilih bentuk perjanjian yang dikehendakinya, yaitu apakah perjanjian akan dibuat secara lisan atau tertulis atau perjanjian dibuat dengan akta di bawah tangan atau akta otentik.

  Berdasarkan data pihak penjual PT. ADHI KARYA (Persero) Tbk membuat perjanjian jual beli apartemen dalam bentuk baku atau standar kontrak yang klausul-klausulnya telah disusun sebelumnya oleh pihak pelaku usaha. Perjanjian tersebut dibuat sebagai cara untuk meningkatkan efisiensi dalam pemakian tenaga, biaya, dan waktu dengan tujuan untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada pihak pembeli. Dalam pembuatan perjanjian, pihak pelaku usaha lebih dominan sebab dalam tahap awal ini posisi itu memang berada pada pihak pelaku usaha namun setelah perjanjian jual beli dilaksanakan, maka posisi pihak pelaku usaha sangatlah lemah sehingga sudah semestinya dalam tahap negosiasi ini pihak pihak pelaku usaha senantiasa mengatur berbagai hal guna menghindari terjadinya masalah-masalah sehubungan dengan perjanjian jual beli di belakangan hari. Hal ini tidak berarti pihak pembeli tidak diberi hak atau kesempatan untuk merubah atau menegosiasikan klausul-klausul dan substansi perjanjian tersebut.

  Dalam membuat perjanjian jual beli yang disebut perjanjian pengikatan jual beli telah mengakomodasikan hak-hak pembeli sebagai pihak kedua dalam perjanjian secara wajar. Ini dapat dilihat dalam perjanjian pengikatan jual beli tersebut seperti klausul : a.

  Pihak pertama dengan ini setuju dan mengikatkan dirinya untuk menjual kepada pihak kedua dan pihak kedua dengan ini setuju dan mengikatkan diri untuk membeli dari pihak pertama hak milik atas unit apartemen; b. Hak milik atas unit apartemen meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama sesuai dengan nilai perbandingan proporsionalnya

  (NPP); c. Setiap pembayaran harga jual beserta jumlah uang lain yang harus dibayar oleh pihak kedua kepada pihak pertama menurut perjanjian ini harus dilakukan melalui rekening pihak pertama pada: Bank Mandiri cabang wisma baja, acc Nomor: 070.0004192857, atas nama KSO Adhi Realty-Eden Capital.

  Setiap pembayaran harga jual beserta jumlah uang lain yang harus dibayar oleh pihak kedua kepada pihak pertama menurut perjanjian ini harus dilakukan secara penuh, tanpa potongan. Pembanyaran melalui cek/bilyet giro atau transfer ke rekening pihak pertama dianggap diterima setelah dana yang bersangkutan efektif diterima atau dibukukan dalam rekening pihak pertama dan kemudian dikeluarkan kwitansi resmi oleh pihak pertama; d.

  Segera setelah pihak kedua menerima pemberitahuan mengenai penyerahan pembangunan dari pihak pertama, maka selanjutnya para pihak harus menandatangani Berita Acara Serah Terima, dengan ketentuan bahwa pihak kedua tidak lalai dalam memenuhi kewajiban-kewajibannya berdasarkan perjanjian ini; e. Para pihak dengan ini setuju dan mengikatkan diri untuk menandatangani akta jual beli segera setelah:

  • sertifikat hak milik atas satuan rumah susun telah diterbitkan dan didaftarkan atas nama pihak pertama oleh pihak yang berwenang;
  • harga jual atas unit apartemen telah dilunasi;
  • berita acara serah terima telah ditandatangani oleh para pihak;
  • iuran penggunaan dan iuran pemeliharaan atas unit apartemen untuk periode waktu yang bersangkutan telah dilunasi, dan:
  • ongkos, biaya, serta pajak sebagaimana dinyatakan dalam pasal 8 perjanjian telah dilunasi.

  Klausul-klausul perjanjian jual beli apartemen yang membebaskan pihak pelaku usaha dari tanggung jawabnya seperti “segala biaya, risiko dan akibat hukum yang timbul sehubungan dengan perubahan dan/atau penambahan atas unit apartemen tersebut, menjadi beban dan tanggung jawab Pihak pembeli sepenuhnya, dan sehubungan dengan hal tersebut Pihak pembeli dengan ini akan membebaskan Pihak pelaku usaha dari tuntutan dan/atau gugatan pihak manapun juga mengenai hal tersebut”.

  Dalam ketentuan tersebut pihak pelaku usaha melepaskan tanggung jawabnya atas akibat perubahan jika terjadi tuntutan dari pihak ketiga lainnya, pada hal dalam setiap perubahan atas setiap satuan rumah susun tersebut adalah atas persetujuan dari pihak pelaku usaha.

  Dengan demikian berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian jual beli apartemen dalam bentuk baku sudah terakomodasi dengan baik atau dengan kata lain asas kebebasan berkontrak telah dilaksanakan oleh pihak penjual walaupun dengan pembatasan-pembatasan dalam klausul-klausul tertentu.

  

C. Klausula-Klausula Baku Terhadap Jual Beli Apartemen Salemba

Residence Belum Memenuhi Asas Kebebasan Berkontrak

  Walaupun belum dilakukan penelitian secara pasti, dewasa ini sebagian besar perjanjian dalam dunia bisnis berbentuk perjanjian baku/perjanjian standar/standard contract.Adapun yang dimaksud dengan perjanjian baku adalah suatu perjanjian yang isinya telah diformulasikan oleh suatu pihak dalam bentuk- bentuk formulir.

  Lahirnya perjanjian baku dilatarbelakangi antara lain oleh perkembangan masyarakat modern, dan perkembangan keadaan sosial ekonomi. Tujuan semula diadakannya perjanjian baku adalah alasan efisiensi dan alasan praktis sebagai contoh dapat ditemukan perjanjian baku seperti dalam perjanjian kredit perbankan, perjanjian asuransi, perjanjian penitipan barang, perjanjian antara konsumen dengan PT. Telkom, perjanjian antara konsumen dengan PDAM, perjanjian antara pemilik hotel dengan konsumen, dsb.

  Ketentuan yang sangat penting dalam hubungan dengan perjanjian menurut KUHPerdata, antara lain adalah Pasal 1320 dan Pasal 1338 ayat 1 (satu) KUHPerdata. Pentingnya Pasal 1320 KUHPerdata disebabkan dalam pasal tersebut diatur mengenai syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu:

  1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tertentu; 4. suatu sebab yang halal.

  Pasal 1338 ayat 1 (satu) KUHPerdata yang merupakan tiangnya hukum perdata berkaitan dengan penjabaran dari asas kebebasan berkontrak, yaitu: 1. bebas membuat jenis perjanjian apa pun; 2. bebas mengatur isinya; 3. bebas mengatur bentuknya.

  Kesemuanya dengan persyaratan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Bahwa perjanjian baku memenuhi asas kebebasan berkontrak seperti yang tertuang dalam Pasal 1320 dan 1338 ayat 1 (satu) KUHPerdata. Mengenai hal ini terdapat pendapat:

  1. Perjanjian baku tidak memenuhi unsur-unsur perjanjian seperti yang diatur pada Pasal 1320 dan Pasal 1338 ayat 1 (satu) KUHPerdata;

  2. Perjanjian baku memenuhi unsur-unsur perjanjian seperti yang dimaksud pada Pasal 1320 dan Pasal 1338 ayat 1 (satu) KUHPerdata.

  Seperti telah diuraikan, isi perjanjian baku telah dibuat oleh satu pihak, sebagai pihak lainnya tidak dapat mengemukakan kehendak secara bebas.

  Singkatnya tidak terjadi tawar menawar mengenai isi perjanjian sebagaimana menurut asas kebebasan berkontrak. Dengan demikian, dalam perjanjian baku berlaku, “take it or leave it contract”. Maksudnya apabila setuju silakan ambil, dan bila tidak tinggalkan saja, artinya perjanjian tidak dilakukan.

  Memperhatikan keadaan demikian, banyak isi perjanjian baku yang memberatkan atau merugikan pihak pembeli sebagaimana diketahui lazimnya syarat-syarat dalam perjanjian baku adalah mengenai: 1. cara mengakhiri perjanjian; 2. cara memperpanjang berlakunya perjanjian; 3. cara penyelesaian sengketa; 4. klausula eksonerasi. klausula eksonerasi adalah klausula yang digunakan dengan tujuan pada dasarnya untuk membebaskan atau membatasi tanggungjawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya, dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan dalam perjanjian

   tersebut.

  Klausula eksonerasi yang terdapat dalam perjanjian baku pada umumnya terlihat pada ciri-ciri yang ada, yaitu adanya pembatasan tanggung jawab atau kewajiban salah satu pihak yaitu pihak pelaku usaha untuk membayar ganti rugi kepada pihak pembeli. Klausula eksonerasi dapat berasal dari pihak pelaku usaha yang membuat rumusan pasal undang-undang.

  Menurut Mariam Darus Badrulzaman ciri-ciri klausula eksonerasi adalah sebagai berikut:

  1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif kuat dari debitur;

2. Debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu; 3.

  Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu ; 54 http://taqlawyer.com/2006/07/klausula-baku.html. Diakses tanggal 3 Mei 2010.

4. Bentuknya tertulis;

   5.

  Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individu

  Klausula eksonerasi hanya dapat digunakan dalam pelaksanaan perjanjian antara pihak pelaku usaha dan pihak pembeli. Eksonerasi hanya dapat digunakan jika tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Tujuan utama klausula eksonerasi adalah menghindari pihak pembeli merugikan kepentingan pihak pelaku usaha.

  Dalam perjanjian, pihak pembeli adalah pihak yang dilayani oleh pihak pelaku usaha sebagai pelayan. Dalam hubungan ekonomi dikatakan pihak pembeli adalah raja. Sebagai raja pihak pembeli dapat berbuat semaunya, sehingga dapat merugikan pihak pelaku usaha. Untuk menghindari kemungkinan timbul kerugian itu, pihak pelaku usaha mencari akal, yaitu menciptakan syarat baku yang disebut eksonerasi. Dengan kepintaran pihak pelaku usaha, eksonerasi dibuat sedemikian rapi, sehingga pihak pembeli dalam waktu relatif singkat kurang memahami isinya. Baru dapat disadari setelah mendapat peristiwa yang menimbulkan kerugian, dan berdasarkan klausula eksonerasi kerugian tersebut menjadi beban tanggung jawab pihak pembeli.

  Dalam suatu perjanjian dapat dirumuskan klausula eksonerasi karena keadaan memaksa yaitu kerugian yang timbul karena keadaan memaksa bukan tanggung jawab para pihak. Tetapi dalam syarat perjanjian dapat dibebankan kepada pihak pembeli, pihak pelaku usaha dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya dalam menyewa barang, barang tersebut musnah karena terbakar. Sebab

55 Mariam Darus II, Op Cit, hal. 50.

  kebakaran bukan salah para pihak. Dalam hal ini pihak pembeli diwajibkan melunasi harga yang belum dibayar lunas berdasarkan klausula eksonerasi.

  Apabila melihat keadaan di Indonesia, klausula eksonerasi ini sudah muncul sejak lama dimana masyarakat pihak pembeli kurang menyadari dan memperhatikannya. Apabila ada ketentuan yang merugikan biasanya tidak dipermasalahkan. Dengan demikian, walaupun pihak pelaku usaha mempunyai kebebasan merumuskan dan memberlakukan syarat atau klausula eksonerasi, pembatasan oleh undang-undang dan kesusilaan tidak dapat diabaikan.

  Keberlakuan eksonerasi dapat dikontrol melalui nilai-nilai pancasila dan rasa keadilan masyarakat Indonesia.

  

D. Manfaat Yuridis Dari Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian

Baku Bagi Pelaku Usaha

  Hukum dan sistem sosial masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, dimana hukum ada karena kehendak dari mayarakat dan tujuan dari dibentuknya hukum adalah untuk masyarakat. Hukum hanya dapat dimengerti dengan jalan memahami sistem sosial terlebih dahulu, karena hukum merupakan suatu proses dan sistem hukum merupakan pencerminan daripada suatu sistem sosial sebagai bagian dari sistem sosial itu sendiri. Hukum secara sosiologis adalah penting, dan merupakan suatu lembaga kemasyarakatan (social institution) yang merupakan himpunan nilai- nilai, kaidah-kaidah dan pola-pola perilaku yang

   berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia.

  Faktor-faktor yang menyebabkan pelaku usaha mencantumkan klausula baku tersebut yaitu: 56

  http://rastamanpoertorico.blogspot.com/2009/04/praktek-klausula-baku-dalam-jual- beli.html. Diakses tanggal 3 Mei 2010.

  1. Motif Ekonomi dan Pengetahuan Pelaku Usaha Hubungan jual beli apartemen yang terjadi antara pihak pelaku usaha dengan pihak pembeli dilaksanakan dalam upaya memenuhi kebutuhan dan/atau kepentingan masing-masing pihak, yaitu bagi konsumen memenuhi salah satu kebutuhan sehari-hari di dalam bertempat tinggal, sedangkan kebutuhan pelaku usaha dalam kegiatan usahanya yaitu nilai ekonomi atau keuntungan yang dapat diperolehnya (tujuan usaha).

  Klausula baku dalam dokumen jual beli barang apartemen merupakan salah satu “sarana” bagi pihak pelaku usaha untuk mencapai tujuan usahanya yaitu keuntungan sebesar-besarnya dengan risiko yang sekecil-kecilnya (surplus). Keuntungan yang lebih yang di dapatkan pelaku usaha, yaitu seperti:

  a. beralihnya tanggung jawab dan/atau resiko pihak pelaku usaha atas apartemen kepada pihak pembeli, b. kewajiban pihak pelaku usaha yang diberikan kepada pihak pembeli dan pihak pembeli menerima atas kondisi apartemen yang diinginkan dari pihak pelaku usaha .

  2. Sosial Masyarakat Masyarakat pada dasarnya merupakan konsumen. Menurut Aristoteles

  “manusia adalah makhluk sosial”, artinya bahwa manusia akan selalu membutuhkan manusia yang lainnya untuk memenuhi apa yang menjadi kebutuhan dan kepentingannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dikarenakan pada hakekatnya manusia sebagai konsumen dimulai sejak lahir sampai dengan meninggal dunia, bahkan untuk kondisi tertentu anak yang masih dalam kandungan pun sudah menjadi konsumen yaitu konsumen yang berkaitan dengan

   kesehatan, pertumbuhan dan kecerdasan anak.

  Berdasarkan fakta yang ada, diketahui bahwa masyarakat juga menjadi penyebab klausula baku tersebut tetap ada yaitu dikarenakan : a. Lemahnya pengetahuan atau pemahaman akan klausula baku yang mengandung unsur klausula eksonerasi, sehingga dari hal ini juga menyebabkan lemahnya kontrol masyarakat terhadap praktek jual beli tersebut; b. Lemahnya kesadaran masyarakat yang berkenaan dengan kerugian yang mungkin di alaminya; c. Sikap kurang hati-hati, yaitu dengan tidak membaca atau mengamati dengan teliti isi dokumen, termasuk ketentuan klausula baku yang ada; d. Lemahnya rasa kepedulian bersama yaitu dimana pihak pembeli hanya memperjuangkan kepentingan pribadinya semata tanpa memperdulikan pihak pembeli lainnya pada satu masalah yang sama (klausula baku), seperti dengan memberikan informasi, dan sebagainya;

  3. Peran Pemerintah Lemahnya peranan pemerintah dalam membentuk kesadaran hak dan kewajiban secara hukum, baik pihak pelaku usaha ataupun pihak pembeli dalam praktek jual beli. Peranan pemerintah merujuk pada tingkatan paksaan eksternal yang dirasakan individu atau manusia, baik berupa membuat aturan hukum dan melaksanakan bekerjanya hukum, antara lain seperti sosialisasi, pembinaan, pengawasan, dan penegakan hukum. 57

  http://rastamanpoertorico.blogspot.com/2009/04/praktek-klausula-baku-dalam-jual- beli.html. diakses tanggal 3 Mei 2010.

  Pemerintah merupakan suatu lembaga yang memiliki dominasi dan otoritas yang sah, yaitu hak perintah berdasarkan legalitas aturan tertulis. Dari sudut pandang teknis murni, birokrasi mampu mencapai tingkat efisiensi tertinggi, dan dalam hal ini secara formal dikenal sebagai sarana paling rasional untuk menjalankan otoritas terhadap manusia. Birokrasi lebih tinggi dari bentuk lain dalam soal stabilitas, dan ketaatan disiplin, dan keterpercayaannya. Birokrasi membuka kemungkinan bagi tingginya tingkat kalkulabilitas hasil bagi kepala organisasi dan bagi mereka yang bertindak dalam kaitan dengan ini. Akhirnya birokrasi lebih tinggi dalam hal efisiensi intensif dan cakupan operasinya dan

   secara formal dapat diterapkan pada segala macam tugas administratif.

  4. Waktu Sejarah merupakan salah satu dasar acuan untuk mengubah, mengadaptasi, menolak atau memperkenalkan aspek-aspek tertentu dari masyarakat. Semakin sedikit orang mengenal waktu yang lalu, semakin besar pula seseorang dikuasai oleh waktu, terutama mengenal faktor-faktor sosial yang merupakan nilai sosial yang akan selalu melingkupi perubahan dalam masyarakat. Secara teoritis dijelaskan bahwa sosiologis berusaha merumuskan konsep tipe dan keseragaman umum proses-proses empiris, sedangkan sejarah berorientasi pada kausal dan penjelasan atas tindakan struktur, dan kepribadian individu yang memiliki

   signifikasi kultural.

  Dengan demikian, dapat diketahui bahwa perjanjian baku yang dirancang secara sepihak oleh pihak pelaku usaha akan menguntungkan pihak pelaku usaha berupa: 58

  http://rastamanpoertorico.blogspot.com/2009/04/praktek-klausula-baku-dalam-jual- beli.html. Diakses tanggal 3 Mei 2010. a. efisiensi biaya, waktu, dan tenaga; b. praktis karena sudah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir atau blanko yang siap diisi dan ditandatangani; c. penyelesaian cepat karena pihak pembeli hanya menyetujui dan menandatangani perjanjian yang disodorkan kepadanya; d. perjanjian yang dibuat dalam jumlah yang banyak.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Keabsahan jual beli apartemen Salemba Residence ini mengacu kepada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang rumah susun dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang rumah susun dijadikan

  apartemen. Mengenai perjanjian tersebut berdasarkan pula pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam hal kepemilikan bersama ini Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak terlalu bulat dan utuh. Hal tersebut karena telah ada Undang-Undang lain yang mengatur secara khusus mengenai kepemilikan bersama ini. Akan tetapi hal-hal umum yang terdapat dalam perjanjian tersebut adalah tetap mengatur kepada peraturan yang ada dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Seperti halnya mengenai perjanjian jual beli. Hal-hal pokok yang ada dalam perjanjian jual beli pasal 1320 KUHPerdata yaitu: “kesepakatan, kecakapan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal”. Maka dalam perjanjian ini pun harus berdasarkan kepada empat hal tersebut di atas. Apabila tidak terpenuhi salah satu unsur yang tersebut di atas maka perjanjian tersebut adalah batal demi hukum.

  2. Di dalam perjanjian jual beli apartemen Salemba Residence hendaknya tidak memenuhi klausula baku yang bersifat klausula eksonerasi karena klausula eksonerasi digunakan dengan tujuan pada dasarnya untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak yaitu

  64 pihak pelaku usaha terhadap gugatan pihak lainnya sebagai pihak pembeli yang belum memenuhi asas kebebasan berkontrak. Setelah mendapatkan peristiwa yang menimbulkan kerugian maka berdasarkan klausula eksonerasi kerugian tersebut menjadi beban pihak pembeli.

  3. Manfaat bagi pihak pelaku usaha dalam perjanjian baku yaitu untuk mencapai tujuan usaha dengan mencari keuntungan sebesar-besarnya dan memperkecil risiko. Dengan beralihnya tanggung jawab atau risiko pihak pelaku usaha atas apartemen yang diberikan kepada pihak pembeli yang menjadi pemilik apartemen. Perjanjian baku yang dirancang secara sepihak oleh pihak pelaku usaha akan menguntungkan pihak pelaku usaha yaitu efisien biaya, waktu, tenaga, praktis karena perjanjian dibuat dalam jumlah yang banyak dan penyelesaian cepat karena pihak pembeli hanya menyetujui atau tidak menyetujui..

B. Saran 1.

  agar dalam penyusunan hukum perjanjian hendaknya diperhatikan kebiasaan serta kecendrungan yang hidup dalam masyarakat, khususnya masyarakat dunia usaha, sehingga hukum perjanjian dimaksud dapat menyesuaikan diri dengan hasrat serta kebutuhan yang tumbuh dalam masyarakat.

  2. Seyogianya perjanjian jual beli berbentuk baku yang tidak memberi kebebasan pihak-pihak dalam menentukan isi dan bentuk perjanjian dan tidak mencerminkan keseimbangan dan kewajiban yang pada akhirnya merugikan salah satu pihak dinyatakan batalkan.

  3. agar hendaknya peraturan-peraturan tentang kepemilikan bersama dalam apartemen Salemba Residence selain memperhatikan segi-segi ekonomis dan yuridis juga mempertimbangkan asas-asas keadilan dengan memberikan perlindungan yang selanyaknya terhadap subjek-subjeknya.

Dokumen yang terkait

Asas Kebebasan Berkontrak Dan Perjanjian Baku Dalam Jual Beli Apartemen Salemba Residence

1 30 79

Perjanjian Baku/Standar Kontrak Bertentangan Dengan Asas Kebebasan Berkontrak

2 33 147

Tinjauan Hukum Terhadap Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak Atas Perjanjian Baku dalam E-Commerce Dihubungkan dengan Buku III BW dan Undang-Undnag Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

0 3 1

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian - Tinjauan Hukum Pelaksanaan Perjanjian Jual Beli Tanaman Bibit Karet Antara Cv.Saputro Jaya Agrindo Dengan Masyarakat Petani Di Kabupaten Simalungun

0 0 44

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas – Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian - Aspek Hukum Perjanjian Pemborongan Pemeliharaan Tanaman Kelapa Sawit antara Hutagodang Estate d

0 0 21

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT SERTA ASPEK HUKUM JAMINAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian dan Perjanjian Kredit Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukum Perjanjian - Tinjauan Yuridis Terhadap Penyelesaian Kredit Bermasalah Dalam Pinja

0 0 40

BAB II PERJANJIAN DENGAN SYARAT-SYARAT BAKU - Penggunaan Kontrak Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Pembelian Kenderaan Roda Empat (Studi Normatif Terhadap Penggunaan Kontrak Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Pada Pt. Bca Finance Di Kota Medan)

0 0 12

BAB II PENGATURAN DAN BENTUK PERJANJIAN KERJASAMA JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN ANTARA PT JAMSOSTEK (PERSERO) DENGAN KLINIK KESEHATAN SWASTA DI KOTA BINJAI A. Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian - Asas Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian K

0 0 71

BAB II ASAS-ASAS HUKUM PERJANJIAN TERIMPLEMENTASI DALAM PERJANJIAN LEASING INDONESIA A. Implementasi Asas Hukum Perjanjian dalam Perjanjian Leasing. 1. Leasing sebagai suatu Perikatan - Analisis Yuridis Asas Hukum Perjanjian Dalam Perjanjian Leasing Dan P

0 0 25

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian - Asas Kebebasan Berkontrak Dan Perjanjian Baku Dalam Jual Beli Apartemen Salemba Residence

0 0 23