BAB II PENGATURAN DAN BENTUK PERJANJIAN KERJASAMA JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN ANTARA PT JAMSOSTEK (PERSERO) DENGAN KLINIK KESEHATAN SWASTA DI KOTA BINJAI A. Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian - Asas Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian K

BAB II PENGATURAN DAN BENTUK PERJANJIAN KERJASAMA JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN ANTARA PT JAMSOSTEK (PERSERO) DENGAN KLINIK KESEHATAN SWASTA DI KOTA BINJAI A. Perjanjian Pada Umumnya

1. Pengertian Perjanjian

  Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada pihak lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Melalui perjanjian terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak yang membuat perjanjian.

  Secara yuridis pengertian perjanjian terdapat pada Pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau

  36

  lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya atau lebih”. Dilihat dari bentuknya perjanjian itu dapat berupa suatu perikatan yang mengandung janji-janji

  37

  atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan di atas tidak lengkap dan terlalu luas.

  Dikatakan tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi tersebut dikatakan juga terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin yang juga merupakan perjanjian, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam 36 37 Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal. 94

Hasanudin Rahman, Legal Drafting, (Bandung : PT Citra aditya Bakti, 2000), hal. 4

  23 KUHPerdata Buku III. Perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata Buku III

  38 kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain dinilai dengan uang.

  Abdulkadir Muhammad mengemukakan bahwa definisi perjanjian dalam

  39 Pasal 1313 KUHPerdata tersebut masih terdapat beberapa kelemahan, yakni :

  a. Hanya menyangkut sepihak saja Hal ini dapat diketahui dari perumusan : “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikat” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu ”saling mengikatkan diri” sehingga terdapat konsensus antara para pihak.

  b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus Dalam pengertian perbuatan mencakup juga tindakan melaksanakan tugas/pekerjaan orang lain tanpa kuasa (zaakwaarneming). Perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) yang tidak mengandung suatu

  konsensus

  seharusnya dipakai kata persetujuan

  c. Pengertian perjanjian terlalu luas Pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata terlalu luas karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksudkan adalah hubungan antara debitur dengan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja.

  d. Dalam rumusan pasal tersebut tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak mengikat dirinya tidak jelas untuk apa.

  Istilah perjanjian sebenarnya merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu overeenkomst dan dalam kepustakaan ilmu hukum di Indonesia sendiri ada berbagai macam pendapat di kalangan para sarjana. “Sebagian para sarjana hukum menterjemahkan sebagai kontrak dan sebagian lainnya menterjemahkan sebagai

  40

  perjanjian.”

38 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung : PT.Citra Aditya

  Bakti, 2001). Hal. 65 39 40 J. Satrio, Hukum Perjanjian, (Bandung : PT. Citra Aditya Bhakti, 1992) hal. 23-24 Ricardo Simanjuntak, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, (Jakarta : PT.Gramedia, 2006), hal. 27

  Karena rumusan perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata banyak mengandung kelemahan maka muncullah doktrin yang mencoba melengkapi pengertian perjanjian tersebut. “Menurut pendapat para ahli hukum, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum (rechtshandeling) yang berdasarkan kata sepakat dapat menimbulkan suatu akibat hukum.”

41 Menurut Subekti, ”suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana

  seseorang berjanji kepada orang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”

42 Dalam perkembangannya pengertian perjanjian tersebut mengalami perubahan

  sebagaimana dikemukakan oleh J.Van Dunne, menyebutkan ”perjanjian ditafsirkan sebagai suatu hubungan hukum penawaran dari satu pihak dan perbuatan hukum penerimaan dari pihak lain.”

  43 Perjanjian dinamakan juga persetujuan atau kontrak karena menyangkut kedua belah pihak yang setuju atau sepakat untuk melakukan sesuatu.

  2. Unsur-Unsur Perjanjian

  Unsur-unsur yang tercantum dalam hukum perjanjian dapat dikategorikan sebagai berikut:

  44

  a. Adanya kaidah hukum Kaidah dalam hukum perjanjian dapat terbagi menjadi dua macam, yakni tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum perjanjian tertulis adalah kaidah- kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, 41 Purwahid Patrik, Op. Cit, hal. 45 42 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT. Intermasa, 2001), hal. 36 43 Purwahid Patrik, Op. cit, hal. 45 44 Salim H.S, Hukum Kontrak : Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), hal. 3 dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum perjanjian tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat, seperti: jual beli lepas, jual beli tahunan, dan lain sebagainya. Konsep-konsep hukum ini berasal dari hukum adat.

  b. Subyek hukum Istilah lain dari subjek hukum adalah rechtperson. Rechtperson diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Subjek hukum dalam perjanjian kerjasama ini adalah badan penyelenggara selaku pemberi kerja yaitu PT.Jamsostek dan pelaksana pelayanan kesehatan selaku penerima kerja yaitu klinik kesehatan.

  c. Adanya prestasi Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi para pihak dalam suatu kontrak. Pada umumnya suatu prestasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1234 KUHPerdata terdiri dari beberapa hal yaitu memberikan sesuatu; berbuat sesuatu; dan tidak berbuat sesuatu.

  d. Kata sepakat Dalam Pasal 1320 KUHPer ditentukan empat syarat sahnya perjanjian, dimana salah satunya adalah kata sepakat (konsensus). Kesepakatan merupakan unsur mutlak terjadinya perjnjian kerjasama. Kesepakatan dapat terjadi dengan berbagai cara, namun yang paling penting adalah adanya penawaran dan penerimaan atas penawaran tersebut.

  45 Sehingga dapat

  dikatakan bahwa kesepakatan ialah persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak.

  e. Akibat hukum Setiap Perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya

3. Risiko dalam Perjanjian

  Dalam teori hukum dikenal suatu ajaran yang disebut dengan resicoleer (ajaran tentang risiko), yang berarti seseorang berkewajiban untuk memikul kerugian jika ada sesuatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang menjadi objek perjanjian. Ajaran ini timbul apabila terdapat keadaan memaksa

  (overmach) .

  Pengertian risiko selalu berhubungan dengan adanya overmacht, sehingga seharusnya ada kejelasan tentang kedudukan para pihak, yaitu pihak yang harus bertanggung gugat dan pihak yang harus menanggung risiko atas kejadian-kejadian dalam keadaan memaksa.

45 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontak, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,

  2010), hal. 13

  Menurut R. Subekti, yang dimaksud dengan risiko adalah ”kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian di luar kesalahan salah satu

  46

  pihak.” Sedangkan menurut Sri Redjeki Hartono, ”risiko juga merupakan suatu

  47

  ketidak pastian di masa yang akan datang tentang kerugian.” Risiko dalam perjanjian sepihak diatur dalam Pasal 1237 ayat (1) KUH

  Perdata yang menentukan bahwa risiko dalam perjanian sepihak ditanggung oleh kreditur. Sedangkan risiko pada perjanjian timbal balik diatur dalam Pasal 1545 KUHPerdata, bahwa jika suatu barang tertentu yang telah dijanjika untuk ditukar musnah di luar salah pemiliknya, maka persetujuan dianggap gugur, dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi persetujuan, dapat menuntut kembali barangnya yang telah ia berikan dalam tukar menukar.

4. Perjanjian Baku

  a. Latar belakang lahirnya perjanjian baku Perjanjian baku merupakan suatu bentuk perjanjian yang berisikan hak dan kewajiban kedua belah pihak yang diwujudkan dalam bentuk tulisan yang sudah dibakukan. Salah satu pihak dalam perjanjian itu, yaitu pihak yang secara ekonomis kuat, biasanya menetapkan syarat-syarat baku secara sepihak. “Perjanjian baku itu

46 R. Subekti, Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,

  1988), hal. 59 47 Sri Redjeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, (Jakarta : PT.Sinar Grafika, 2000), hal. 62 pada prinsipnya ditetapkan sepihak tanpa lebih dahulu merundingkannya dengan

  48

  pihak yang lainnya.” Perjanjian baku telah dikenal dalam masyarakat dan sangat berperan terutama dalam dunia usaha. Istilah perjanjian baku dalam bahasa Belanda dikenal dengan

  standard voor vaardeen , dalam hukum Inggris di kenal dengan standart contrac.

  “Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah dituangkan dalam bentuk formulir, kontrak ini ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak,

  49

  terutama pihak ekonomi kuat terhadap pihak ekonomi lemah.” Sedangkan pendapat Mariam Darus menterjemahkan standar kontrak dengan

  “istilah perjanjian baku, baku berarti patokan, ukuran, acuan. Jika bahasa hukum dibakukan, berarti bahwa hukum itu ditentukan ukurannya, patokannya, standarnya,

  50

  sehingga memiliki arti tetap yang dapat menjadi pegangan umum.” Sebagaimana halnya dalam pemakaian istilah yang tidak seragam tersebut diatas, dijumpai pula adanya beberapa pengertian mengenai perjanjian baku. Menurut

  Houdius sebagaimana dikutip oleh Mariam Darus Badrulzaman merumuskan mengenai perjanjian baku adalah “konsep perjanjian tertulis yang disusun tanpa membicarakan isinya dan lazimnya dituangkan dalam sejumlah perjanjian tidak

  51

  terbatas yang sifatnya tertentu”

  48 49 Ari Purwadi, Hukum dan Pembangunan, (Majalah Hukum, No 1 Tahun XXV, 1995), hal. 58 Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, (Jakarta : PT.Raja Grafindo Perkasa, 2006), hal.145 50 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Standard), Perkembangannya di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 46 51 Mariam Darus Badrulzaman , Aneka Hukum Bisnis, Op. Cit, hal 47

  Az. Nasution dalam bukunya konsumen dan hukum merumuskan “perjanjian dengan syarat-syarat baku adalah konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian yang masih akan dibuat yang jumlahnya tidak tertentu tanpa terlebih

  52

  dahulu membicarakannya.” Kontrak atau perjanjian standar adalah kontrak yang telah dibuat dalam bentuk baku (standard form) atau dicetak dalam jumlah blangko yang banyak untuk beberapa bagian yang menjadi objek transaksi, seperti besarnya nilai transaksi, jenis dan jumlah barang yang ditransaksikan dan sebagainya, sehingga dengan kontrak standard ini lembaga pembiayaan yang mengeluarkannya tidak membuka kesempatan kepada pihak lain untuk melaksanakan negosiasi mengenai apa yang akan disepakati dalam kontrak.

  Latar belakang tumbuhnya perjanjian baku karena keadaan sosial ekonomi. Untuk menjaga kepentingan perusahaan besar dan perusahaan pemerintah dalam mengadakan kerjasama, biasanya mereka menentukan syarat-syarat secara sepihak.

  Pihak lawannya pada umumnya mempunyai kedudukan yang lemah baik karena posisinya maupun karena ketidaktahuannya, mereka hanya menerima apa yang disodorkan dan menyetujuinya, maka kemungkinan untuk mengadakan perubahan itu sama sekali tidak ada.

  Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perjanjian baku memang lahir dari kebutuhan masyarakat itu sendiri, karena dunia bisnis tidak dapat berlangsung 52 AZ. Nasution “Konsumen dan Hukum Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen di Indonesia ”, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,1995), hal. 95. tanpa perjanjian baku.

  Perjanjian baku dibutuhkan dan karena itu diterima oleh masyarakat, yang masih perlu dipersoalkan apakah perjanjian itu tidak bersifat sangat berat sebelah dan tidak mengandung klausul yang secara tidak wajar sangat memberatkan bagi pihak lainnya, sehingga perjanjian itu merupakan perjanjian yang tidak adil. Yang dimaksud berat sebelah di sini ialah bahwa perjanjian itu hanya mencantumkan hak-hak salah satu pihak saja (yaitu pihak yang mempersiapkan perjanjian baku tersebut), tanpa mencantumkan apa yang menjadi kewajiban- kewajiban pihaknya dan sebaliknya hanya menyebutkan kewajiban-kewajiban pihak lainnya.

  b. Jenis-Jenis Perjanjian Baku Menurut Mariam Darus Badrulzaman perjanjian baku dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu sebagai berikut:

  1) Perjanjian baku sepihak adalah kontrak yang ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya dalam perjanjian, contohnya adalah butir butir perjanjian pemasangan air minum, dimana pihak yang kuat disini biasanya kredibitur yang secara ekonomi kekuatan yang lebih dan debitur. 2) Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua belah pihak, misalnya perjanjian baku yang pihaknya terdiri dari majikan dan pihak yang lainnya buruh. Dimana biasanya kedua belah pihak lazimnya terkait dalam perjanjian organisasi serikat buruh, misalnya perjanjian buruh kolektif untuk menjaga sengketa sengketa antara majikan dan karyawan. 3) Perjanjian baku yang ditetapkan oleh Pemerintah, ialah perjanjian baku yang isinya telah ditentukan oleh Pemerintah terhadap perbuatan hukum tertentu saja, misalnya tentang perjanjian yang mempunyai hak hak atas tanah. Dalam bidang agraria dengan formulir formulir perjanjian sebagaimana diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri Tanggal 6 Agustus 1977 No : 104/Dja/l977 berupa antara lain Akta Jual Beli, Model 1156727, Akta Hipotik Model 1045055 dan sebagainya. 4) Perjanjian baku yang ditentukan dilingkungan Notaris atau Advokad adalah perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dan anggota masyarakat yang minta bantuan Notanis atau 30

53 Advokad yang bersangkutan.

  c. Ciri-Ciri Perjanjian Baku Klausula yang sering muncul dalam perjanjian baku adalah klausula eksonerasi sebagai klausula tambahan atas unsur esensial dari suatu perjanjian. klausula eksonerasi adalah syarat yang berisi pembebasan atau pembatasan tanggung jawab secara tidak langsung yaitu dengan memperluas alasan-alasan keadaan memaksa.

  Klausula tersebut merupakan klausula yang sangat merugikan pihak yang memiliki posisi lemah jika dibandingkan dengan pihak lawannya karena beban yang seharusnya dipikul oleh pihak yang kuat, dengan adanya klausula tersebut menjadi beban pihak yang lemah.

  Mengenai klausula eksenorasi ini menurut Rijken dalam Mariam Darus Badrulzaman, adalah klausula yang dicantumkan di dalam suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau

  54 perbuatan melawan hukum.

  Klausula eksenorasi ini dapat terjadi atas kehendak satu pihak yang dituangkan dalam perjanjian secara individual atau secara massal. Bentuk yang bersifat massal ini telah dipersiapkan terlebih dahulu dan diperbanyak dalam bentuk formulir. 53 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Standard), Perkembangannya di Indonesia,

  Op. Cit , hal. 49 54 Rijken dalam Mariam Darus Badrulzaman, Ibid., hal. 48.

  Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, “perjanjian baku dengan klausula eksonerasi yang meniadakan atau membatasi kewajiban salah satu pihak (kreditur)

  55

  untuk membayar ganti kerugian kepada debitur, memiliki ciri sebagai berikut :” 1) isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif kuat daripada debitur; 2) debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu; 3) terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian tersebut; 4) bentuknya tertulis; 5) dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual.

  Perjanjian dengan syarat-syarat baku ini umumnya dapat dibedakan dalam 2

  56

  (dua) bentuk : 1) Dalam bentuk perjanjian

  Dalam bentuk perjanjian artinya suatu perjanjian yang konsepnya telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak, biasanya penjual dan atau produsen, perjanjian ini disamping memuat aturan-aturan umumnya biasa tercantum dalam suatu perjanjian, memuat pula persyaratan khusus baik berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian, menyangkut hal hal tertentu dan / atau berakhirnya perjanjian itu.

  2) Dalam bentuk persyaratan.

  Perjanjian dapat pula dalam bentuk persyaratan, yaitu syarat-syarat khusus yang termuat dalam berbagai kwitansi, tanda penerimaan atau tanda 55 penjualan, kartu kartu tertentu pada papan-papan pengumuman yang

  Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 117 56 AZ. Nasution, Op. Cit, hal. 99

  diletakkan diruang penerimaan tamu atau di lapangan atau secarik kertas tertentu yang termuat dalam kemasan atau wadah produk bersangkutan.

  Buku III KUHPerdata selain mengatur mengenai perikatan yang timbul dari perjanjian, juga mengatur perikatan yang timbul dari Undang-undang.

  Dalam KUHPerdata terdapat aturan umum yang berlaku untuk semua perjanjian dan aturan khusus yang berlaku hanya untuk perjanjian tertentu saja yang namanya sudah diberikan Undang-undang.

  Keberadaan suatu perjanjian baku juga tidak terlepas dari terpenuhinya syarat-syarat mengenai sahnya suatu perjanjian/kontrak seperti yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata, antara lain sebagai berikut: 1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3) Suatu hal tertentu 4) Suatu sebab yang halal 5. Asas Kebebasan Berkontrak dalam Kaitannya dengan Perjanjian Baku.

  Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa secara yuridis perjanjian memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak melanggar undang-undang, ketertiban

  57

  umum dan kesusilaan. Hal ini berarti bahwa pihak yang mengadakan perjanjian diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal- 57 Lihat Pasal 1337 KUH Perdata pasal hukum perjanjian dan mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan

  58 mereka dalam perjanjian yang mereka adakan.

  Dalam setiap perjanjian selalu diasumsikan bahwa kedudukan kedua belah pihak membuat perjanjian adalah sama, baik dalam hal kekuatan maupun pengetahuan para pihak tentang isi perjanjian, akan tetapi dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Sering terjadi dalam pembuatan suatu perjanjian salah satu pihak memiliki kedudukan atau posisi yang jauh lebih kuat dibandingkan pihak yang lain. Hal ini menyebabkan pihak yang lemah hanya memiliki dua pilihan,yaitu menerima begitu saja syarat atau ketentuan-ketentuan yang diajukan oleh pihak yang lebih kuat kedudukannya atau menolaknya.

  Suatu asas penting berkaitan dengan berlakunya kontrak adalah asas kebebasan berkontrak. Dengan adanya asas ini, para pihak bebas mengadakan perjanjian apa saja meskipun belum diatur dalam KUH Perdata. Namun kebebasan itu tidak bersifat mutlak melainkan adanya batasannya seperti yang diatur dalam pasal 1337 KUH Perdata, yaitu tidak bertentangan atau dilarang oleh Undang-Undang, tidak bertentangan dengan kesulilaan dan kepentingan umum.

  Asas kebebasan berkontrak ini mengandung makna bahwa masyarakat memiliki kebebasan untuk membuat perjanjian sesuai dengan kehendak atau kepentingan mereka. Kebebasan yang dimaksud meliputi:

  a. kebebasan tiap orang untuk memutuskan apakah ia akan membuat perjanjian 58 atau tidak membuat perjanjian;

  Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung : PT. Aditya Bakti, 1989), hal. 13 b. kebebasan tiap orang untuk memilih dengan siapa ia akan membuat suatu perjanjian; c. kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian;

  d. kebebasan para pihak untuk menentukan isi perjanjian;

  59 e. kebebasan para pihak untuk menentukan cara pembuatan perjanjian.

  Apabila dikaji bahwa kebebasan berkontrak yang dimaksudkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata menyiratkan adanya beberapa asas yang berkaitan dengan kebebasan berkontrak dalam perjanjian :

  a. Mengenai terjadinya perjanjian Menurut Rutten yang dikutip Purwahid Patrik dalam bukunya mengatakan bahwa “perjanjian yang dibuat itu pada umumnya bukan secara formil tetapi konsensual, artinya perjanjian itu selesai karena sesuai dengan

  60

  kehendak atau konsensus semata-mata.” Asas konsensualisme artinya bahwa perjanjian hanya terjadi apabila telah adanya persetujuan kehendak antara para pihak. Asas ini berkaitan dengan saat lahirnya suatu perjanjian.

  b. Tentang akibat perjanjian Bahwa perjanjian mempunyai kekuatan mengikat antara pihak-pihak itu sendiri. Asas ini ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menegaskan bahwa ”perjanjian dibuat secara sah diantara para pihak, berlaku sebagai undang undang bagi para pihak yang melakukan perjanjian atau 59 setiap perjanjian mengikat kedua belah pihak”. 60 Syahmin Ak, Op. Cit, hal. 154 Purwahid Patrik, Op.cit, hal 68

  Menurut Grotius, dalam buku Mariam Darus Badrulzaman, dikatakan bahwa “Pacta sunt servanda” (janji itu mengikat). Selanjutnya ia mengatakan,

  61

  “promissorum implendorum obligation”. (kita harus memenuhi janji kita) Menurut asas ini apa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak mengikat sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas ini berkenaan

  62 dengan akibat hukum dari suatu perjanjian.

  c. Tentang isi perjanjian

  Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata berbunyi : Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Kemudian Pasal 1339 KUHPerdata, perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-undang. Dengan dimasukkannya itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berarti perjanjian itu ditafsirkan berdasarkan keadilan dan kepatutan.

  Menurut Pitlo, yang dikutip Purwahid Patrik dalam bukunya dikatakan bahwa “terjadinya hubungan yang erat antara ajaran itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian dan teori kepercayaan pada saat perjanjian

  63

  (kesepakatan terjadi pada saat penandatanganan).” Selanjutnya juga 61 dikatakan bahwa “perjanjian itu tidak hanya ditentukan oleh para pihak dalam

  Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku

  II Hukum Perikatan dengan Penjelasannya .(Bandung : Alumni, 1993). hal 109. 62 Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal. 16 63 Purwahid Patrik. Op.Cit, hal. 67-68. perumusan perjanjian tetapi juga ditentukan oleh itikad baik dan kepatutan,

  64

  jadi itikad baik dan kepatutan ikut pula menentukan isi dari perjanjian.” Menurut Vollmar yang dikutip Purwahid Patrik dalam bukunya mengatakan bahwa :

  Itikad baik (pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata) dan kepatutan (pasal 1339 KUHPerdata) umumnya disebutkan secara senafas dan Hoge Raad dalam putusan tanggal 11 Januari 1924 telah sependapat bahwa hakim setelah menguji dengan kepantasan dari suatu perjanjian tidak dapat dilaksanakan maka berarti perjanjian itu bertentangan dengan ketertiban

  65 umum dan kesusilaan.

  Menurut Mariam Darus Badrulzaman bahwa “di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat, terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh

  66

  kebiasaan dan kepatutan serta moral.” Selain itu isi perjanjian sepenuhnya diserahkan kepada para pihak yang membuatnya dengan mengindahkan ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata.

  Dengan kata lain selama perjanjian baku tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, kesusilaan dan ketertiban umum, maka semua isi perjanjian akan mengikat, apabila pihak dalam perjanjian tersebut sudah menandatanganinya.

  64 65 Ibid 66 Ibid .

  Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku

  II Hukum Perikatan dengan Penjelasannya, Op. Cit , hal. 87-88. Berdasarkan prinsip “kebebasan berkontrak”, tiap-tiap perjanjian yang dibuat secara sah adalah mengikat para pihak, mereka tidak dapat membatalkan/mengakhirinya tanpa persetujuan kedua belah pihak.

  Keberadaan asas kebebasan berkontrak dalam kaitannya dengan perjanjian baku dilatar belakangi oleh keadaan, tuntutan serta perkembangan dunia bisnis dewasa ini yang hampir disetiap bidangnya tidak lepas dari aspek transaksi ataupun perjanjian.

  Dalam kondisi tersebut, timbul suatu pertanyaan bahwa apakah perjanjian baku tersebut dapat dikatakan memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, atau dengan kata lain apakah perjanjian baku (standard contract) bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak.

  Dalam melihat permasalahan ini terdapat dua paham yang memandang bahwa apakah perjanjian baku tersebut melanggar asas kebebasan berkontrak

  67 atau tidak.

  a. Paham pertama secara mutlak memandang bahwa perjanjian baku bukanlah suatu perjanjian Menurut Sluijer, “perjanjian baku ini bukan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha di dalam perjanjian adalah seakan-akan sebagai pembentuk undang-undang swasta. Syarat-syarat yang ditentukan

67 Ibid

  pengusaha di dalam perjanjian itu adalah undang-undang bukan

  68

  perjanjian.”

  b. Paham kedua cenderung mengemukakan pendapat bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian Menurut Stein, “perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu, dengan asumsi bahwa jika dia menerima perjanjian itu, berarti dia secara

  69

  sukarela setuju pada isi perjanjian itu.” Setiap orang yang menandatangni perjanjian, bertanggung jawab pada isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yang membubuhkan tandatangan pada formulir baku, maka tanda tangan itu akan membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertandatangan mengetahui dan menghendaki isi perjanjian yang ditandatangani

B. Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK)-Jamsostek

  

1. Dasar Hukum Penyelenggaraan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan

(JPK)

  Keselamatan dan kesehatan kerja diatur dalam ketentuan Pasal 86 dan 87 Undang Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan 68 Hasanudin Raihan, “Seri Ketrampilan Merancang Kontrak Bisnis”, (Jakarta : Contract

  Drafting, 2003), hal 45 69 Ibid

  kerja yang diupayakan dalam bentuk sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 99 Undang Undang No 13 Tahun 2003 juga mengatur mengenai kesejahteraan dimana setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

  Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja menyatakan “Untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja diselenggarakan program Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang pengelolaannya dapat dilaksanakan dengan mekanisme asuransi”. Oleh karena itu konsepsi dasar tentang asuransi dipergunakan sebagai dasar dalam penyelenggaraan program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

  Secara yuridis pengertian Jamsostek secara tegas dinyatakan dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 yaitu : ”Suatu perlindungan untuk tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan

  70 meninggal dunia ”.

  Ditinjau dari jenis asuransi, maka Jaminan Sosial Tenaga Kerja termasuk

  71

  dalam jenis asuransi sosial yang sifatnya adalah wajib. Penyelenggaraan asuransi sosial ini ditangani secara langsung oleh pemerintah dan pemberlakukannya didasarkan pada undang-undang sehingga sifatnya wajib. Pasal 99 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa ”setiap 70 Sentosa Sembiring, Himpunan Undang-Undang Lengkap tentang Asuransi Jaminan Sosial

  Disertai Peraturan Perundang-undangan Terkait. ( Bandung : Nuansa Aulia, 2006), hal. 245 71 Emmy Pangaribuan, Hukum Pertanggungan dan Perkembangannya (Yogyakarta : Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1983), hal. 148

  pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh Jaminan Sosial Tenaga Kerja”. Pasal 99 Ayat (2) menyatakan “Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  Kehadiran Jamsostek merupakan tuntutan dari organisasi pekerja atau serikat buruh. Pada awal abad ke-20, banyak negara di Eropa mengalami goncangan akibat pemogokan buruh industri.

  Program Jamsostek memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan minimal bagi tenaga kerja dan keluarganya, dengan memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruhnya penghasilan yang hilang. Manfaat perlindungan tersebut dapat memberikan rasa aman kepada pekerja sehingga dapat lebih berkonsentrasi dalam meningkatan motivasi maupun produktivitas kerja.

  Salah satu bentuk Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang di atur dalam ketentuan

  pasal 16 Undang Undang Nomor 3 Tahun 1992 adalah program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK). Selanjutnya program JPK juga diatur dalam peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja yaitu mulai Pasal 33 sampai dengan Pasal 46 dan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 1995 tentang penunjukan PT.Jamsostek (Persero) selaku Badan Penyelenggara Undang Undang

  72 Nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja .

72 Kewajiban perusahaan mengikuti Jamsostek, http ://www.hukumonline.com. Diakses

  tanggal 25 Januari 2012

  Program JPK bersifat wajib bersyarat, artinya perusahaan dapat tidak mengikut sertakan tenaga kerjanya dalam program JPK sepanjang telah memberikan pelayanan kesehatan dengan benefit atau manfaat berupa jaminan kesehatan yang lebih baik dibandingkan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992. Hal ini juga disebutkan dalam Bab II Pasal 2 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jamsostek, bahwa ”pengusaha yang telah menyelenggarakan sendiri program pemeliharaan kesehatan bagi tenaga kerjanya dengan manfaat lebih baik dari paket JPK-Dasar menurut Peraturan Pemerintah ini, wajib ikut dalam Jaminan Pemeliharaan Kesehatan yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara.”

  Iuran (premi) dalam program JPK Jamsostek merupakan kewajiban yang harus dibayar oleh perusahaan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2012 tentang perubahan kedelapan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993, yaitu ditetapkan berdasarkan persentase dari upah yang dibedakan atas tenaga kerja lajang sebesar 3 % dan tenaga kerja berkeluarga 6% dari upah yang diterima, dan untuk upah maksimal dibatasi (ceiling) sebesar Rp. 3.080.000,-. Sebagai upah minimal tidak disebutkan, namun karena hak normatif tenaga kerja adalah upah minimal Regional/Propinsi, maka sebagai upah minimal ditentukan UMR/UMP yang berlaku dan ditetapkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

  

2. Manfaat dan Tujuan Penyelenggaraan Program Jaminan Pemeliharaan

Kesehatan

  PT. Jamsostek menyelenggarakan 4 (empat) program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, yaitu : a. Program Jaminan Hari Tua, diberikan dalam bentuk tabungan hari tua b. Program Jaminan Kecelakaan Kerja, diberikan dalam bentuk ganti rugi.

  c. Program Jaminan Kematian, diberikan dalam bentuk santunan kematian

  d. Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK), diberikan dalam bentuk

  73

  pelayanan kesehatan Program JPK mempunyai jaminan (benefit) yang berbeda dengan 3 (tiga) program Jamsostek lainnya. Jaminan (benefit) program JPK diberikan dalam bentuk pelayanan kesehatan yang dilayani oleh Pelaksana Pelayanan Kesehatan (PPK) yang ditunjuk oleh PT.Jamsostek berdasarkan perjanjian kerjasama dan beberapa pelayanan lainnya seperti persalinan normal dan pemberian alat bantu diberikan dalam bentuk batasan biaya pelayanan secara langsung.

  Selanjutnya perbedaan antara program JPK dengan ketiga program Jamsostek lainnya adalah pada kepesertaan dan sifat penyelenggaraannya. Kepesertaan ketiga program Jamsostek (JHT, JKK dan JKM) bersifat wajib bagi seluruh perusahaan dan tenaga kerja, sedangkan kepesertaan program JPK terdiri dari tenaga kerja beserta keluarganya dengan jumlah anak maksimal 3 (tiga) orang berusia di bawah 21 tahun dan belum menikah.

  Bagi perusahaan yang telah menyelenggarakan sendiri program jaminan pemeliharaan kesehatan bagi tenaga kerjanya dengan manfaat yang lebih baik

  73 Lihat Pasal 2 PP Nomor 14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja dibandingkan paket dasar JPK-Jamsostek, tidak diwajibkan lagi mengikuti program JPK-Jamsostek.

  Pemeliharaan kesehatan adalah hak normatif tenaga kerja, pemenuhannya menjadi tanggung jawab pengusaha. JPK adalah salah satu program Jamsostek yang membantu tenaga kerja dan keluarganya mengatasi masalah kesehatan, mulai dari pencegahan, pemenuhan kebutuhan alat bantu peningkatan fungsi organ tubuh, dan pengobatan secara efektif dan efisien di klinik atau rumah sakit. Setiap tenaga kerja yang telah mengikuti program JPK akan diberikan KPK (Kartu Pemeliharaan Kesehatan) oleh PT.Jamsostek sebagai bukti diri untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di klinik atau rumah sait yang telah ditunjuk sebagai sarana pelaksana pelayanan kesehatan Jamsostek.

  “Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan diselenggarakan secara terstruktur, terpadu dan berkesinambungan, bersifat menyeluruh dan meliputi pelayanan peningkatan derajat kesehatan, pencegahan dan penyembuhan penyakit,

  74

  serta pemulihan kesehatan.” Pelayanan dalam program JPK dibagi menjadi 4 (empat) tingkatan pelayanan yaitu : a. Pelayanan rawat jalan tingkat I (pertama), yaitu merupakan semua jenis pemeliharaan kesehatan perorangan yang dilaksanakan pada Pelaksana 74 Pelayanan Kesehatan (PPK) tingkat I, yang mencakup pemeriksaan dan

  Lihat Pasal 34 PP Nomor 14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja perawatan oleh dokter umum/gigi, pemberian obat-obatan, tindakan medis oleh dokter umum/gigi, penunjang diagnostik sederhana, persalinan normal pada rumah bersalin pemerintah, pelayanan imunisasi dasar, pelayanan keluarga berencana, pelayanan konsultasi dan rujukan, b. Pelayanan rawat jalan spesialistis di rumah sakit adalah merupakan pelayanan rujukan rawat jalan yang mencakup pemeriksaan oleh dokter spesialis, pemberian obat-obatan spesialistis sesuai standar obat JPK, penunjang diagnostik lanjutan, tindakan medis oleh dokter spesialis, pelayanan gawat darurat dan pelayanan fisioterapi,

  c. Pelayanan rawat inap adalah merupakan pelayanan lanjutan rawat jalan spesialis atau tindak lanjut pelayanan gawat darurat (emergensi) yang mencakup mondok dan makan di kelas 3 (tiga) untuk RS Swasta dan kelas 2 (dua) untuk RS Pemerintah Pusat/Daerah, pemberian obat-obatan spesialistis sesuai standar obat JPK, pelayanan operasi (kecil sedang dan besar), pelayanan diruang

  ICU/ICCU/PICU, pelayanan persalinan dengan komplikasi, penunjang diagnostik lanjutan (laboratorium, radiolagi, pemeriksaan elektro medis, patologi anatomi), tindakan medis oleh dokter spesialis, dan pelayanan fisioterapi. Lamanya jaminan pelayanan rawat inap dibatasi sampai 60 (enam puluh) hari perkasus pertahun sudah termasuk pelayanan di ruang ICU/ICCU/PICU selama 20 (dua puluh) hari bila diperlukan, d. Pelayanan khusus yang meliputi pemberian alat bantu terdiri dari pemberian kacamata, gigi palsu, alat bantu gerak, alat bantu dengar dan mata palsu yang diberikan dalam bentuk plafon biaya jaminan.

  75 Disamping keempat tingkatan pelayanan tersebut diatas, program JPK

  mempunyai batasan-batasan dalam pemberian pelayanan kesehatan, yaitu antara lain : pembatasan pada jumlah hari rawat, pembatasan penggunaan PPK di luar jaringan yang telah ditetapkan Badan Penyelenggara, pembatasan pemberian obat-obatan, pembatasan pada pelayanan penyakit kanker, cuci darah (hemodialisa), operasi jantung dan pembatasan pada pelayanan cacat bawaan

  76 .

  Sesuai dengan bunyi konsideran yang terdapat pada Undang-Undang Nomor

  3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, maka dapat diketahui bahwa tujuan penyelenggaraaan program JPK adalah untuk memberikan perlindungan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan bagi tenaga kerja dan keluarganya serta meningkatkan produktifitas baik kualitas maupun kuantitasnya.

  Menurut Emmy Pangaribuan penyelenggaraan program Jamsostek diharapkan akan terwujudnya :

  77

  a. Bantuan kepada tenaga kerja dalam memenuhi kebutuhan umum selama bekerja dan di hari tua bersama keluarganya b. Memberikan ketenangan bekerja pada tenaga kerja pada usia produktif dan dengan demikian perusahaan dimana tempat mereka bekerja dapat memperoleh hasil yang baik dari tenaga kerja tersebut. 75 Lihat Pasal 16 Nonor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja 76 Buku Petunjuk Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Bagi Peserta, Jamsostek, hal. 22 77 Emmy Pangaribuan, Hukum Pertanggungan dan Perkembangannya, (Yogyakarta : Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1983), hal. 148

C. Pengaturan Perjanjian Kerjasama Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK)-Jamsostek

  

1. Penunjukan Klinik Kesehatan Sebagai Pelaksana Pelayanan Kesehatan

(PPK) Rawat Jalan Tingkat Pertama Bagi Peserta JPK-Jamsostek

  PT. Jamsostek (Persero) selaku Badan Penyelenggara dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi peserta JPK-Jamsostek tidak dapat melaksanakannya sendiri, tetapi harus melalui kerjasama dengan Pelaksana Pelayanan Kesehatan (PPK), baik tingkat pertama maupun tingkat lanjutan. Adapun penunjukkan PPK tersebut didasarkan pada negosiasi yang kemudian diikat dalam suatu ikatan kerjasama yang dibuat secara tertulis.

  Hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada Pasal 37 Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, “Pelaksanaan pemberian pelayanan sebagaimana dimaksud dalam

  Pasal 35 ayat (1), dilakukan oleh Pelaksana Pelayanan Kesehatan (PPK) berdasarkan perjanjian secara tertulis dengan Badan Penyelenggara”. Pilihan terhadap PPK ditentukan berdasarkan lokasi yang mendekati kawasan industri/perumahan kelengkapan fasilitas yang dimiliki oleh PPK, kemudahan sarana transportasi pencapaian ke PPK serta kemampuan daya beli program JPK

  78 berdasarkan iuran yang diterima pada masing-masing kantor cabang.

  Ikatan kerjasama dengan PPK yang dilakukan oleh kantor cabang PT.Jamsostek masing-masing diketahui oleh kantor wilayah sebagai pembina kantor 78 Wawancara dengan Bapak Umardin Lubis, Kepala Kantor Cabang PT.Jamsostek (Persero)

  Binjai, pada tanggal 14 Agustus 2012 cabang di wilayah kerjanya. Ikatan kerjasama tersebut mencakup fasilitas yang dimiliki oleh masing-masing PPK, hak dan kewajiban masing-masing pihak dengan masa kontrak minimal 1 (satu) tahun dan maksimal 5 (lima) tahun yang dapat diperpanjang ataupun dihentikan pelayanannya berdasarkan analisa dan evaluasi pelaksanaan pelayanan yang diberikan oleh PPK tersebut.

  Berdasarkan ketentuan Pasal 22 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : Per-12/Men/VI/2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja menyebutkan bahwa jenis PPK tingkat I (pertama) yang ditunjuk oleh PT Jamsostek yaitu berupa Puskesmas, balai pengobatan atau klinik kesehatan swasta, sedangkan untuk PPK tingkat II (Kedua) yaitu berupa Rumah Sakit Umum Pemerintah Pusat/Daerah/Swasta. Demikian pula apotik atau optikal yang digunakan terdiri dari milik Pemerintah/Swasta.

  Untuk menunjang keseragaman dalam pelaksanaan pembuatan perjanjian kerjasama dan sekaligus sebagai pedoman dalam pembuatan perjanjian kerjasama, maka PT Jamsostek membuat suatu buku petunjuk pelaksanaan pelayanan kesehatan bagi pelaksana pelayanan kesehatan yang didasarkan pada UU No 3 Tahun 1992.

2. Pola Pembiayaan Pelayanan Kesehatan Kepada Klinik Kesehatan

  Dalam Pasal 37 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja juga diatur pola pembayaran atau pembiayaan kepada klinik atas pelayanan kesehatan yang diberikan oleh PT.Jamsostek dilakukan dengan sistem kapitasi.

  Sistem kapitasi adalah merupakan suatu sistem pembiayaan kesehatan yang dilaksanakan dimuka berdasarkan jumlah kapita (jiwa) yang terdaftar sebagai peserta- JPK. Pembiayaan dengan sistem kapitasi tidak digantungkan kepada kondisi pasien peserta Jamsostek, sakit ataupun tidak sakit pembiayaan wajib diberikan.

  Pembiayaan secara kapitasi umumnya dilakukan Badan Penyelenggara (PT.Jamsostek) kepada PPK tingkat pertama, dalam hal ini klinik kesehatan yang telah ditunjuk sebagai Health Provider PT.Jamsostek Binjai sesuai dengan jumlah peserta (tertanggung) yang terdaftar di klinik kesehatan tersebut.

  Sesungguhnya konsep kapitasi yang dibayarkan di depan sebelum pelayanan diberikan (prepaid) ternyata banyak memberikan dampak positif oleh karena memang memberikan harapan yang cukup bermakna, baik dari aspek penyederhanaan administrasi, efisiensi dana yang tersedia serta berkembangnya orientasi pelayanan ke

  79

  arah upaya-upaya pencegahan (preventif) atau promosi (promotif) Keuntungan pembiayaan klinik dengan sistem pembayaran dimuka (prepaid), dimungkinkan adanya suatu perencanaan yang lebih baik, sehingga memungkinkan tersedianya obat dan alat-alat kesehatan tepat pada waktunya. Mendorong pengumpulan data (untuk perencanaan) yang lebih baik dan akurat.

  Pembiayaan dengan sistem kapitasi juga akan mengubah hubungan pasien dengan dokter secara lebih bertanggung jawab, dalam arti seluruh tindakan medis 79 Upaya Untuk Meningkatkan Pembayan PPK dengan Sistem Kapitasi, http://www.depkes.go.id/downloads/JamPemKesMas(JPKM).pdf , diakses tanggal 24 Desember 2012. yang dilakukan akan didasari pada pertimbangan medis yang tepat, penggunaaan teknologi, tindakan medis, obat-obatan akan lebih rasional. Lebih jauh juga akan mengubah orientasi pelayanan kearah pencegahan, oleh karena dokter yang memegang peranan penting dan menentukan dalam pelayanan kesehatan akan menerima beban yang berat, apabila banyak peserta yang sakit (baik dari segi keuangan / fisik). Dengan kata lain Pelaksana Pelayanan Kesehatan (PPK) akan ikut

  80 memikul resiko sakit peserta, termasuk dari segi keuangan.

  Hal ini sudah tentu akan mendorong upaya-upaya pencegahan, disamping itu juga akan mengubah orientasi pelayanan yang lebih mengutamakan penyembuhan. Dengan orientasi pelayanan yang bersifat promotif dan preventif, diharapkan mampu menekan angka kesakitan, sehingga dengan sendirinya pengguna jasa pelayanan kesehatan akan lebih produktif baik secara sosial maupun ekonomi.

  

3. Hubungan Peserta JPK-Jamsostek Dengan Para Pihak Dalam Perjanjian

Kerjasama JPK

  Pengelolaan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) melibatkan 3 (tiga) pihak yaitu PT.Jamsostek selaku Badan Penyelenggara, klinik kesehatan sebagai Pelaksana Pelayanan Kesehatan (PPK) dan peserta JPK-Jamsostek selaku penerima pelayanan kesehatan. Dalam menggunakan program JPK, peserta Jamsostek tidak berhubungan langsung dengan PT. Jamsostek melainkan dengan klinik kesehatan. Secara sederhana hubungan para pihak dalam pengelolaan program JPK-Jamsostek dapat dilihat dalam bagan berikut ini :

80 Rice N & Smith, P.C, Capitation and Risk Adjusment in Health Care Financing,

  International Program Report, Querterly Millbank Report , Tahun 2001. hal 200

  SKEMA Hubungan Para Pihak Dalam Penyelenggaraan Program JPK-Jamostek

  KLINIK

  Kapitasi

  Pelaksana Pelayanan Kesehatan

  Pelayanan Pelayanan

  Kesehatan Dasar Klaim PT.

  JAMSOSTEK PESERTA

  (Bapel)

  Penerima Pelayanan

  Pelayanan

  Kesehatan

  Administrasi

  PERUSAHAAN Upah

  Benefit & Premi

Dokumen yang terkait

Asas Kebebasan Berkontrak Dan Perjanjian Baku Dalam Jual Beli Apartemen Salemba Residence

1 30 79

Perjanjian Baku/Standar Kontrak Bertentangan Dengan Asas Kebebasan Berkontrak

2 33 147

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA PENERBIT DAN PEDAGANG A. Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukum Perjanjian - Tinjauan Yuridis Perjanjian Kerjasama Electronic Data Capture Antara Bank Dengan Pedagang (Merchant) M

0 1 36

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas – Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian - Aspek Hukum Perjanjian Pemborongan Pemeliharaan Tanaman Kelapa Sawit antara Hutagodang Estate d

0 0 21

BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM A. Tinjauan Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian - Perjanjian Pelayanan Kesehatan Pasien Kurang Mampu Antara Pihak Rumah Sakit Umum Dengan Pasien

0 0 24

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBORONGAN A. Pengertian Perjanjian Pemborongan Pekerjaan 1. Pengertian Perjanjian - Analisis Hukum Terhadap Pembayaran Dalam Perjanjian Pemborongan Kerja Penyediaan Makanan(Studi Pada Panti Sosial Pamardi Putra In

0 0 37

BAB II TERJADINYA PERJANJIAN PENGGUNAAN ROOFTOP ANTARA PERUSAHAAN TELEKOMUNIKASI DENGAN PEMILIK BANGUNAN DI KOTA MEDAN A. Pengertian Perjanjian Pada Umumnya - Perjanjian Penggunaan Rooftop antara Perusahaan Telekomunikasi dengan Pemilik Bangunan di Kota M

0 0 32

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT SERTA ASPEK HUKUM JAMINAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian dan Perjanjian Kredit Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukum Perjanjian - Tinjauan Yuridis Terhadap Penyelesaian Kredit Bermasalah Dalam Pinja

0 0 40

BAB II PENGATURAN PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Perkawinan 1. Pengertian dan Hukum Perjanjian a. Pengertian Perjanjian - Perjanjian Perkawinan Yang

0 0 67

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT DAN JAMINAN FIDUSIA A. Perjanjian Kredit 1. Pengertian Perjanjian Kredit - Tanggung Jawab Debitur Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank

0 2 55