BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep - Nasionalisme dalam Novel 5 cm. Karya Donny Dhirgantoro: Analisis Strukturalisme

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konsep adalah gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Menurut Malo (1985: 47) konsep-konsep yang dipakai dalam ilmu sosial, walaupun kadang-kadang istilahnya sama dengan yang digunakan sehari-hari, namun makna dan pengertiannya dapat berubah.

  Konsep-konsep yang digunakan adalah sebagai berikut:

2.1.1 Novel

  Istilah novel berasal dari bahasa Latin, novellas yang kemudian diturunkan menjadi

  

novies , yang berarti baru. Perkataan baru ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa novel

  merupakan jenis cerita fiksi (fiction) yang muncul belakangan dibandingkan dengan cerita pendek (short story) dan roman, (Waluyo, 2002: 36).

  Pengertian novel dalam The American College Dictionary yang dikutip oleh Tarigan (2003: 164) menjelaskan bahwa novel adalah suatu cerita yang fiktif dalam panjang yang tertentu, melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut. Di dalam novel memang mempunyai panjang yang tertentu dan merupakan suatu cerita prosa yang fiktif. Hal itu sejalan dengan pendapat Nurgiyantoro (2005: 9) yang memberikan pengertian bahwa novel adalah sebuah prosa fiksi yang panjangnya cukup, artinya tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek.

  Menurut Robert Lindell (dalam Waluyo, 2006: 6) karya sastra yang berupa novel, pertama kali lahir di Inggris dengan judul Pamella merupakan bentuk catatan harian seorang pembantu rumah tangga kemudian berkembang dan menjadi bentuk prosa fiksi yang kita kenal seperti saat ini.

  Novel merupakan jenis karya sastra yang tentunya menyuguhkan nilai yang berguna bagi masyarakat pembaca. Hal ini telah diungkapkan oleh Goldmann (dalam Saraswati, 2003: 87) mendefinisikan novel merupakan cerita mengenai pencarian yang terdegradasi akan nilai- nilai otentik di dalam dunia yang juga terdegradasi akan nilai-nilai otentik di dalam dunia yang juga terdegradasi, pencarian itu dilakukan oleh seorang hero yang problematik. Ciri tematik tampak pada istilah nilai-nilai otentik yang menurut Goldmann merupakan totalitas yang secara tersirat muncul dalam novel, nilai-nilai yang mengorganisasikan sesuai dengan mode dunia sebagai totalitas. Atas dasar definisi itulah selanjutnya Goldmann mengelompokkan novel menjadi tiga jenis yaitu novel idealisme abstrak, novel psikologis (romantisme keputusasaan), dan novel pendidikan (paedagogis).

  Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa novel merupakan jenis cerita fiksi yang muncul paling akhir jika dibandingkan dengan cerita fiksi yang lain. Novel mengungkapkan konflik kehidupan para tokohnya secara lebih mendalam dan halus. Selain itu tokoh-tokoh, serangkaian peristiwa, dan latar ditampilkan secara tersusun hingga bentuknya lebih panjang dibandingkan dengan prosa rekaan yang lain.

  Fungsi novel pada dasarnya untuk menghibur para pembaca. Novel pada hakikatnya adalah cerita dan karenanya terkandung juga di dalamnya tujuan memberikan hiburan kepada pembaca. Sebagaimana yang dikatakan Wellek dan Warren (dalam Nurgiyantoro, 2005: 3) membaca sebuah karya fiksi adalah menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin.

  Tarigan (2003: 165) menyatakan bahwa novel mengandung kata-kata berkisar antara 35.000 buah sampai tidak terbatas jumlahnya. Dengan kata lain jumlah minimum kata- katanya adalah 35.000 buah, kalau kita pukul-ratakan sehalaman kertas kuarto jumlah barisnya ke bawah 35 buah dan jumlah kata dalam satu baris 10 buah, maka jumlah kata dalam satu halaman adalah 35 x 10 = 350 buah. Selanjutnya dapat kita maklumi bahwa novel yang paling pendek itu harus terdiri minimal lebih dari 100 halaman. Lebih lanjut Brooks dalam ”An Approach to Literature” (Tarigan, 2003: 165) menyimpulkan bahwa ciri-ciri novel adalah (1) novel bergantung pada tokoh; (2) novel menyajikan lebih dari satu impresi; (3) novel menyajikan lebih dari satu efek; (4) novel menyajikan lebih dari satu emosi.

2.1.2 Nasionalisme

  Penggunaan istilah nasionalisme dalam pengertian sosial dan politik yang diakui merujuk pada filsuf Jerman, Johan Gottfried Herder dan biarawan kontra-revolusioner Perancis, Uskup Augustin de Barruel pada akhir abad kedelapan belas. Penggunaan istilah ini di dalam Bahasa Inggris pada tahun 1936 bersifat teologis, sebagai doktrin bahwa bangsa- bangsa tertentu dipilih secara ilahiah. Sejak itu, istilah ini cenderung disamakan dengan egoisme nasional. Namun demikian, biasanya istilah lain seperti kebangsaan/nasionalitas (nationality) dan kenasionalan (nationalness) dalam arti sebagai semangat nasional atau individualitas nasional lebih disukai, (Smith, 2003: 6).

  Ideologi nasionalisme telah didefinisikan dengan berbagai cara, tetapi kebanyakan definisi tersebut tumpang tindih dan menyingkapkan tema yang sama. Tentu saja tema utamanya adalah masalah yang mendominasi bangsa. Tempat nasionalisme berupaya mempertinggi derajat bangsa. Sasaran umum nasionalisme ada tiga: otonomi nasional, kesatuan nasional, dan identitas nasional, (Smith, 2003: 6). Bagi para nasionalis, suatu bangsa tidak bisa melangsungkan hidupnya kalau tidak terdapat ketiga sasaran ini dalam derajat yang memadai. Dari sini muncul definisi kerja nasionalisme: suatu gerakan ideologis untuk mencapai dan mempertahankan otonomi, kesatuan, dan identitas bagi suatu populasi, yang sejumlah anggotanya bertekad untuk membentuk suatu bangsa yang aktual atau bangsa yang potensial, (Smith, 2003: 6).

  Dalam satu abad terakhir istilah nasionalisme digunakan dalam rentang arti yang kita gunakan sekarang. Di antara penggunaan-penggunaan itu, yang paling penting adalah: (1) suatu proses pembentukan, atau pertumbuhan bangsa-bangsa; (2) suatu sentimen atau kesadaran memiliki bangsa bersangkutan; (3) suatu bahasa dan simbolisme bangsa; (4) suatu gerakan sosial dan politik demi bangsa bersangkutan; (5) suatu doktrin atau ideologi bangsa, baik yang umum maupun yang khusus, (Smith, 2003: 7).

  Rupert Emerson (dalam Dault, 2005: 2) mendefinisikan nasionalisme sebagai komunitas orang-orang yang merasa bahwa mereka bersatu atas dasar elemen-elemen penting yang mendalam dari warisan bersama dan bahwa mereka memiliki takdir bersama menuju masa depan. Sementara menurut Ernest Renan (dalam Dault, 2005: 2) yang sering dikutip Soekarno, nasionalisme merupakan unsur yang dominan dalam kehidupan sosial-politik sekelompok manusia dan telah mendorong terbentuknya suatu bangsa atau nation guna menyatukan kehendak untuk bersatu. Menurut Soekarno (dalam Dault, 2005: 3) semangat nasionalisme merupakan semangat kelompok manusia yang hendak membangun suatu bangsa yang mandiri, dilandasi satu jiwa dan kesetiakawanan yang besar, mempunyai kehendak untuk bersatu dan terus menerus ditingkatkan untuk bersatu, dan menciptakan keadilan dan kebersamaan. Hasrat hidup bersama itu merupakan solidaritas agung.

  Ernest Renan (dalam Dault, 2005: 3) menyebut nasionalisme sebagai le desire

  

d’entre ensemble atau kehendak untuk bersatu. Nasionalisme ini membentuk persepsi dan

  konsepsi identitas sosial kaum pergerakan di seluruh negara-negara jajahan sebagai suatu kekuatan politik yang tidak bisa disangkal oleh penguasa kolonial. Tujuan nasionalisme ini adalah pembebasan dari penjajahan dan menciptakan masyarakat/negara yang adil dan tidak ada lagi penindasan manusia oleh manusia.

  Dalam dimensi politik, nasionalisme merupakan ideologi yang meyakini bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan, yaitu suatu negara yang penduduknya memiliki hak dan kewajiban sama serta mau mengingatkan dirinya dalam suatu negara, (Kohn, 1984: 11). Demikian juga Soekarno, presiden pertama Indonesia, mengatakan bahwa bangsa adalah sebuah konstruksi yang dihasilkan oleh sebuah visi yang diperjuangkan. Dalam pengertian politik ini, prinsip-prinsip utama dalam nasionalisme adalah kebebasan, kesatuan, keadilan, dan kepribadian yang menjadi orientasi kehidupan kolektif suatu kelompok untuk mencapai tujuan politik, yaitu negara nasional, (Kartodirdjo, 1993: 3).

  Prinsip nasionalisme bangsa Indonesia dilandasi oleh empat pilar yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. Pancasila yang berarti lima dasar atau lima asas adalah nama dari Dasar Negara Republik Indonesia. Pancasila yang dimaksud adalah lima Dasar Negara sebagaimana yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yang berbunyi sebagai berikut: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; (3) Persatuan Indonesia; (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; (5) Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa Pancasila memiliki dua pengertian, yaitu: (1) Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia, dan Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, (Darmodihardjo, 1984: 24).

  Pengertian pokok tentang Undang-Undang Dasar 1945 adalah keseluruhan naskah yang terdiri dari: (1) Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945; (2) Batang Tubuh Undang- Undang Dasar 1945 yang terdiri dari 16 Bab berisi 37 pasal, Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan; (3) Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, (Bakry, 1987: 89). Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar yang tertulis, yang disampingnya masih ada hukum dasar tidak tertulis, yaitu ”aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis”, (Bakry, 1987: 89).

  Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan bentuk negara yang dipilih sebagai komitmen bersama. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah pilihan yang tepat untuk mewadahi kemajemukan bangsa. Oleh karena itu komitmen kebangsaan akan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi suatu “keniscayaan” yang harus dipahami oleh seluruh komponen bangsa. Dalam pasal 37 ayat 5 secara tegas menyatakan bahwa khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan karena merupakan landasan hukum yang kuat bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat diganggu gugat, (MPR, 2012: 7).

  Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan negara sebagai modal untuk bersatu. Kemajemukkan bangsa merupakan kekayaan kita, kekuatan kita, yang sekaligus juga menjadi tantangan bagi kita bangsa Indonesia, baik kini maupun yang akan datang. Oleh karena itu kemajemukan itu harus kita hargai, kita junjung tinggi, kita terima, dan kita hormati serta kita wujudkan dalam semboyan Bhinneka Tunggal ika, (MPR, 2012: 7).

  Dr. M. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Alquran (Shihab, 2006: 333-344) menyatakan bahwa unsur-unsur nasionalisme juga dapat ditemukan dalam Alquran:

  1. Persamaan Keturunan Dalam Alquran ditegaskan bahwa Allah SWT menciptakan manusia terdiri dari berbagai ras, suku, dan bangsa agar tercipta persaudaraan dalam rangka menggapai tujuan bersama yang dicita-citakan. Alquran sangat menekankan kepada pembinaan keluarga yang merupakan unsur terkecil terbentuknya masyarakat, dari masyarakat terbentuk suku, dan dari suku terbentuk bangsa, sebagaimana dalam Alquran pada surat Al A’raf ayat 160 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia:

  ”Dan mereka Kami bagi menjadi dua belas suku yang masing-masingnya berjumlah besar dan Kami wahyukan kepada Musa ketika kaumnya meminta air kepadanya: ”Pukullah batu itu dengan tongkatmu!”. Maka memancarlah dari padanya dua belas mata air. Sesungguhnya tiap-tiap suku mengetahui tempat minum masing-masing. Dan Kami naungkan awan di atas mereka dan Kami turunkan kepada mereka manna dan salwa. (Kami Berfirman): ”Makanlah yang baik-baik dari apa yang telah Kami rezekikan kepadamu”. Mereka tidak menganiaya Kami, tapi merekalah yang selalu menganiaya dirinya sendiri”. Rasulullah Muhammad SAW dalam perjuangannya di Makkah justru mendapat pembelaan dari keluarga besarnya. Sejalan dengan itu Rasulullah Muhammad SAW bersabda: ”Sebaik-baiknya kamu adalah pembela keluarga besarnya selama pembelaannya itu bukan dosa (HR Abu Daud dari Suroqoh bin Malik)”.

  Pengelompokkan dalam suku bangsa tidak boleh menyebabkan fanatisme buta, sikap superioritas dan penghinaan terhadap bangsa lain. Rasulullah Muhammad SAW bersabda: ”Tidaklah termasuk dalam golongan kita orang yang mengajak kepada ashobiyyah (fanatik buta terhadap kelompok), bukan pula yang berperang atas dasar ashobiyyah, bukan pula yang mati dengan mendukung ashobiyyah (HR Abu Daud dari Jubair bin Muth’im)”.

  2. Persamaan Bahasa Bahasa pada hakikatnya bukan hanya sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan isi pikiran dan tujuan, tapi untuk memelihara identitas dan sebagai pembeda dari komunitas lain. Jadi, bahasa merupakan perekat terjadinya persatuan umat atau bangsa. Dalam konteks paham nasionalisme, bahasa pikiran, dan perasaan, jauh lebih penting ketimbang bahasa lisan, karena sekali lagi ditekankan bahwa bahasa lisan adalah jembatan perasaan. Orang- orang Yahudi yang bahasanya satu, yaitu bahasa Ibrani, dikecam oleh Alquran dalam surat Al ayat 14 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia:

  Hasyr

  ”Mereka (Yahudi) tidak akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan antara sesama mereka (Yahudi) adalah sangat hebat. Kamu kira mereka (Yahudi) itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka (Yahudi) adalah kaum yang tidak mengerti”. Sahabat-sahabat Rasulullah ketika meremehkan sahabat Salman (berasal dari

  Persia), Suhaib (berasal dari Romawi) dan Bilal (berasal dari Ethiopia) maka Rasulullah Muhammad SAW bersabda: ”Kebangsaan Arab yang ada pada diri kalian bukanlah karena bapak atau ibu melainkan dari bahasa, maka barang siapa berbicara bahasa Arab maka dia adalah bangsa Arab (HR Ibnu ’Asakir)”.

  Jadi, terlihat bahwa bahasa, saat dijadikan sebagai perekat dan unsur kesatuan umat, dapat diakui oleh Alquran, bahkan inklusif dalam ajarannya. Bahasa dan keragamannya merupakan salah satu bukti keesaan dan kebesaran Allah SWT. Hanya saja harus diperhatikan bahwa dari bahasa harus lahir kesatuan pikiran dan perasaan, bukan sekadar alat menyampaikan informasi.

  3. Persamaan Adat Istiadat Pikiran dan perasaan satu kelompok/umat tercermin antara lain dalam adat istiadatnya. Dalam konteks ini, kita dapat merujuk perintah Alquran surat Ali Imran ayat 104:

  ”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”.

  Kata ‘urf dan ma’ruf pada ayat-ayat itu mengacu kepada kebiasaan dan adat istiadat yang tidak bertentangan dengan al-khair, yakni prinsip-prinsip ajaran Islam. Rincian dan penjabaran kebaikan dapat beragam sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat. Sehingga, sangat mungkin suatu masyarakat berbeda pandangan dengan masyarakat lain. Apabila rincian maupun penjabaran itu tidak bertentangan dengan prinsip ajaran agama, maka itulah yang dinamai ‘urf/ma’ruf.

  Imam Bukhari meriwayatkan, bahwa suatu ketika Aisyah mengawinkan seorang gadis yatim kerabatnya kepada seorang pemuda dari kelompok Anshar (penduduk kota Madinah). Nabi Muhammad SAW yang tidak mendengar nyanyian pada acara itu, berkata kepada Aisyah, ”Apakah tidak ada permainan/nyayian? Karena orang-orang Anshar senang mendengarkan nyanyian”. Demikian Nabi Muhammad SAW menghargai adat-kebiasaan masyarakat Anshar. Jadi, jelas bahwa adat istiadat sebagai salah satu pembentuk bangsa tidaklah bertentangan dengan Islam.

  4. Kesatuan dan Persatuan Tidak dapat disangkal bahwa Alquran memerintahkan persatuan dan kesatuan. Sebagaimana secara jelas dinyatakan dalam surat Al Anbiyaa ayat 92 dan surat Al Mu’minun ayat 52 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: ”Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku”.

  Hal yang harus dipahami pertama kali adalah pengertian dan penggunaan Alquran terhadap kata umat. Ar-Raghib Al-Isfahani, pakar bahasa yang menyusun kamus Alquran Al- Mufradat fi Ghanb, Alquran menjelaskan bahwa umat adalah kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, baik persamaan agama, waktu, tempat, baik pengelompokkan itu secara terpaksa maupun atas kehendak sendiri. Kalau demikian, dapat dikatakan bahwa makna kata umat dalam Alquran sangat lentur, dan mudah menyesuaikan diri.

  Jamaluddin Al-Afghani, yang dikenal sebagai penyatu persatuan Islam (Liga Islam), menegaskan bahwa idenya bukan untuk menuntut umat Islam berada di bawah satu kekuasaan, tetapi hendaknya mereka mengarah kepada satu tujuan, serta saling membantu untuk menjaga keberadaan masing-masing. Sebagaimana dijelaskan dalam Alquran surat Ali

  

Imran ayat 105 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: ”Janganlah kamu menjadi

  seperti mereka yang berkelompok-kelompok dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat”.

  Kalimat ”dan berselisih” digandengkan dengan ”berkelompok-kelompok” untuk mengisyaratkan bahwa yang terlarang adalah pengelompokkan yang mengakibatkan perselisihan. Kesatuan umat Islam tidak berarti dileburnya segala perbedaan, atau ditolaknya segala ciri/sifat yang dimiliki oleh perorangan, kelompok, asal keturunan, dan bangsa.

  Kelenturan kandungan makna umat seperti yang dikemukakan terdahulu mendukung pandangan ini. Sekaligus membuktikan bahwa dalam banyak hal, Alquran hanya mengamanatkan nilai-nilai umum dan menyerahkan kepada masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai umum itu.

  Dalam Alquran juga mengakui adanya kebinekaan dalam kesatuan, yaitu dijelaskan dalam surat Al Maidah ayat 48 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: ”Seandainya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan”.

  Akan tetapi itu tidak dikehendaki-Nya. Dengan demikian, tidak dapat dibuktikan bahwa Alquran menuntut penyatuan umat Islam seluruh dunia pada satu wadah persatuan saja, dan menolak paham kebangsaan.

  Alquran tidak mengharuskan penyatuan seluruh umat Islam ke dalam satu wadah kenegaraan. Sistem kekhalifahan yang dikenal sampai masa kekhalifahan Utsmaniyah merupakan salah satu bentuk yang dapat dibenarkan, tetapi bukan satu-satunya bentuk baku yang ditetapkan. Oleh sebab itu, jika perkembangan pemikiran manusia atau kebutuhan masyarakat menuntut bentuk lain, hal itu dibenarkan pula oleh Islam, selama nilai-nilai yang diamanatkan maupun unsur-unsur perekatnya tidak bertentangan dengan Islam.

  5. Persamaan Sejarah Persamaan sejarah muncul sebagai unsur kebangsaan karena unsur ini merupakan salah satu yang terpenting demi menyatukan perasaan, pikiran, dan langkah-langkah masyarakat. Sejarah menjadi penting, karena umat, bangsa, dan kelompok dapat melihat dampak positif atau negatif pengalaman masa lalu, kemudian mengambil pelajaran dari sejarah, untuk melangkah ke masa depan. Sejarah yang gemilang dari suatu kelompok akan dibanggakan anggota kelompok serta keturunannya, demikian pula sebaliknya.

  Alquran sangat menonjol dalam menguraikan peristiwa sejarah. Bahkan tujuan utama dari uraian sejarahnya adalah guna mengambil iktibar (pelajaran), guna menentukan langkah berikutnya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa unsur kesejarahan sejalan dengan ajaran Alquran. Sehingga kalau unsur ini dijadikan salah satu faktor lahirnya nasionalisme, hal ini inklusif di dalam ajaran Alquran, selama uraian kesejarahan itu diarahkan untuk mencapai kebaikan dan kemaslahatan.

  6. Cinta Tanah Air Cinta tanah air sejalan dengan perintah Alquran, bahkan inklusif dalam ajarannya dan praktik Nabi Muhammad SAW. Cinta kepada tanah air tampak pada saat beliau tinggal di Madinah dan menjadi warga kota, beliau memohon kepada Allah: ”Ya Allah cintakan kota Madinah kepada kami, sebagaimana Engkau mencintakan kota Makkah kepada kami (HR Bukhari, Malik, dan Akhmad)”.

  Orang yang gugur dalam mempertahankan keluarga, harta, dan negeri sendiri dinilai sebagai mati syahid, sebagaimana gugur dalam membela agama, bahkan agama menggandengkan pembelaan agama dan pembelaan negara dalam Alquran surat Al

  Mumtahanah ayat 8-9 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia:

  ”Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang- orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang- orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.

  Dari uraian di atas terlihat bahwa nasionalisme sangat sejalan dengan ajaran Alquran dan Sunah. Bahkan semua unsur yang melahirkan paham tersebut, inklusif dalam ajaran Alquran.

  Nasionalisme politik di Indonesia diperkenalkan oleh para intelektual dan kaum terpelajar pada awal abad 20, yang kemudian tokoh-tokoh tersebut membentuk Budi Utomo pada tahun 1908. Gerakan ini berkembang di kalangan terpelajar yang kelak menjadi cikal- bakal terbentuknya elit modern Indonesia.

  Kebangkitan nasionalisme yang dipelopori oleh Wahidin Soedirohoesodo, Soetomo, HOS Tjokroaminoto dan generasi yang lebih muda seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, SM Kartosoewirjo, Tan Malaka, dan lain-lain, semakin mendinamisasikan kaum pergerakan dalam upaya mencapai kemerdekaan. Di bawah cengkraman kolonialis Hindia-Belanda dan juga Jepang, para tokoh pergerakan itu benar-benar menyadari arti penting semangat nasionalisme, karena penjajah menerapkan kapitalisme modern yang telah mengakibatkan bangsa Indonesia sangat menderita dengan kemiskinan, kebodohan, dan kesengsaraan.

  Setelah Budi Utomo pada tahun 1908 dibentuk kemudian menyusul organisasi yang bersifat politik, yaitu Indische-Partij pada tahun 1911 dan Sarekat Islam pada tahun 1912 yang kemudian menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Indische-Partij dibentuk oleh tiga “serangkai” EFE Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soeryaningrat (bangsawan Jawa dari keraton Paku Alam). Sarekat Islam dibentuk oleh Haji Samanhoedi pedagang batik dari Solo yang “keturunan Bugis-Makassar”, dan kemudian berkembang di bawah kepemimpinan (Haji Oemar Said) Tjokroaminoto. Selanjutnya, keberanian untuk berorganisasi makin berkembang dan pemuda-pemuda etnik mengambil peranannya masing-masing. Tegaklah kemudian Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Sumatera, Jong Batak, dan sebagainya. Dengan menggunakan organisasinya yang berdasarkan asal kelahiran mereka, maka mereka telah memberikan makna ideologi dalam kerangka proses pencerahan dan pembentukan identitas baru, ke-Indonesiaan. Artinya, ideologi yang berlatar etnik terlibat secara intens di tengah-tengah pertarungan pencarian identitas di bawah bayang- bayang kekuasaan kolonialisme Belanda. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa cita-cita ke-Indonesiaan sudah sejak awal dicari dan ditemukan bersama oleh warga terdidik- tercerahkan yang berasal dari kelahiran etnik yang berbeda-beda itu. Warga Hindia-Belanda yang terdidik-tercerahkan dan dari etnik berbeda-beda itu bersatu padu, berdialog dan mempertanyakan identitas diri mereka, meskipun identitas etnik dan budaya mereka berbeda- beda.

  Selanjutnya tibalah saat yang bersejarah bagi bangsa Indonesia ketika sejumlah warga terdidik-tercerahkan itu berkumpul dan berkongres pada tanggal 28 Oktober 1928. Pertemuan itu menghasilkan sebuah rumusan (penegasan) tentang nama diri bangsa, tanah air, dan bahasa, yaitu Indonesia. Momen bersejarah itu hingga kini masih diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Teori Strukturalisme

  Analisis sastra adalah ikhtiar untuk menangkap atau mengungkapkan makna yang terkandung dalam teks sastra. Pemahaman terhadap teks sastra harus memperhatikan unsur- unsur struktur yang membentuk dan menentukan sistem makna, (Culler dalam Pradopo, 1995: 41).

  Kehadiran strukturalisme dalam penelitian sastra, sering dipandang sebagai teori dan pendekatan. Hal ini pun tidak salah, karena baik pendekatan maupun teori saling melengkapi dalam penelitian sastra. Pendekatan strukturalisme akan menjadi sisi pandang apa yang akan diungkap melalui karya sastra, sedangkan teori adalah pisau analisisnya, (Endraswara, 2008: 49).

  Strukturalisme sebenarnya merupakan paham filsafat yang memandang dunia sebagai realitas berstruktur. Dunia sebagai suatu hal yang tertib, sebagai sebuah relasi dan keharusan. Jaringan relasi ini merupakan struktur yang bersifat otonom. Keteraturan struktur itu, akan membentuk sebuah sistem yang baku dalam penelitian sastra. Menurut Junus (dalam Endraswara, 2008: 49) strukturalisme memang sering dipahami sebagai bentuk. Karya sastra adalah bentuk. Oleh sebab itu, strukturalisme sering dianggap sekadar formalisme modern. Memang, ada kesamaan antara strukturalisme dengan formalisme, yang sama-sama mencari arti dari teks itu sendiri.

  Strukturalisme merupakan cabang penelitian sastra yang tidak bisa lepas dari aspek- aspek linguistik. Keutuhan makna bergantung pada koherensi keseluruhan unsur sastra, (Endraswara, 2008: 50). Keseluruhan sangat berharga dibandingkan unsur yang berdiri sendiri, karena masing-masing unsur memiliki pertautan yang membentuk sistem makna. Setiap unit struktur teks sastra hanya akan bermakna jika dikaitkan hubungannya dengan struktur lainnya. Hubungan tersebut dapat berupa paralelisme, pertentangan, inversi, dan kesetaraan. Hal yang terpenting adalah bagaimana fungsi hubungan tersebut menghadirkan makna secara keseluruhan.

  Menurut Jean Peaget (dalam Endraswara, 2008: 50) strukturalisme mengandung tiga hal pokok. Pertama, gagasan keseluruhan (wholness), dalam arti bahwa bagian-bagian atau unsurnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya. Kedua, gagasan transformasi (transformation), struktur itu menyanggupi prosedur transformasi yang terus menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru. Ketiga, gagasan keteraturan yang mandiri (self regulation) yaitu tidak memerlukan hal-hal di luar dirinya untuk mempertahankan prosedur transformasinya, struktur itu otonom terhadap rujukan sistem lain.

  Paham strukturalis, secara langsung maupun tidak langsung sebenarnya telah menganut paham penulis Paris yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure. Paham ini mencuatkan konsep sign dan meaning (bentuk dan makna/isi) atau seperti yang dikemukakan Luxemburg (dalam Endraswara, 2008: 50) tentang signifiant-signifie dan paradigma-

  syntagma . Kedua unsur itu selalu berhubungan dan merajut makna secara keseluruhan. Oleh karena itu, kedua unsur penting ini tidak dapat dipisahkan dalam penafsiran sastra.

  Karya sastra yang dibangun atas dasar bahasa, memiliki ciri bentuk (form) dan isi (content) atau makna (significance) yang otonom, (Endraswara, 2008: 50). Artinya, pemahaman karya sastra dapat diteliti dari teks sastra itu sendiri. Hanya saja, pemahaman harus mampu mengaitkan kebertautan antar unsur pembangun karya sastra. Kebertautan unsur itu akan membentuk sebuah makna utuh.

  Ide dasar strukturalis adalah menolak kaum mimetik (yang menganggap karya sastra sebagai tiruan kenyataan), teori ekspresif (yang menganggap karya sastra sebagai ungkapan watak dan perasaan pengarang), dan menentang asumsi bahwa karya sastra sebagai media komunikasi antara pengarang dan pembaca, (Endraswara, 2008: 50). Pendek kata, strukturalisme menekankan pada otonomi penelitian sastra.

  Penekanan Strukturalis adalah memandang karya sastra sebagai teori mandiri. Penelitian dilakukan secara obyektif yaitu menekankan aspek intrinsik karya sastra. Analisis struktural dalam analisis teks sastra menjadi perantaraan dalam membongkar sistem makna yang terkandung di dalamnya. Pendekatan struktural sebagai prioritas awal untuk mengetahui kebulatan makna teks sastra yang harus memperhatikan pemahaman peran dan fungsi unsur- unsur yang membangun teks sastra, (Teeuw, 1991: 61).

  Berdasarkan penilaian tersebut, analisis struktural terhadap teks sastra memiliki tujuan untuk membongkar atau mengungkapkan keterkaitan unsur-unsur dalam teks sastra secara totalitas dalam menghasilkan makna, (Teeuw, 1991: 135). Menurut Goldman (dalam Ratna, 2004: 122) menekankan bahwa dalam rangka memberi keseimbangan antara karya sastra dengan aspek-aspek yang berada di luarnya, yaitu antara hakikat otonomi dengan hakikat ketergantungan sosialnya, tidak secara langsung menghubungkan karya dengan struktur sosial yang menghasilkannya, melainkan mengaitkannya terlebih dahulu dengan kelas sosial dominan.

  Hal ini sesuai dengan pendapat A. Teeuw (dalam Pradopo, 1995: 46). “Analisis struktural merupakan hal yang harus dilakukan untuk memahami prosa (baik cerpen, novel, dan roman) yaitu dengan memahami struktur fisik dan struktur batin yang terdapat di dalamnya”. Sebelum melakukan analisis karya sastra dengan menggunakan pendekatan apapun haruslah menggunakan pendekatan strukturalisme.

  Analisis struktural merupakan prioritas utama sebelum diterapkannya analisis yang lain. Tanpa analisis struktural tersebut, kebulatan makna yang dapat digali dari karya sastra tersebut tidak dapat ditangkap, dipahami sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur itu di dalam keseluruhan karya sastra, (Teeuw, 1991: 16).

  Mukarovski dan Vodica (dalam Ratna, 2004: 93) menyebutkan unsur-unsur prosa, di antaranya tema, latar atau setting, penokohan atau perwatakan, alur atau plot, sudut pandang, dan gaya bahasa. Berdasarkan pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa analisis strukturalisme berusaha memaparkan dan menunjukkan unsur-unsur yang membangun karya sastra serta menjelaskan bahwa antara unsur-unsur tersebut kurang berfungsi tanpa adanya interaksi. Untuk dapat memecahkan masalah, maka digunakan analisis strukturalisme pada novel 5 cm. karya Donny Dhirgantoro yang akan dikaji.

2.3 Tinjauan Pustaka

  Penelitian terhadap Novel 5 cm. pernah dilakukan oleh Dwi Lindawati pada tahun 2009 yang berjudul ”Moralitas Sosial Tokoh dan Amanat dalam Novel 5 cm. Karya Donny Dhirgantoro”. Data dalam penelitian tersebut adalah unit-unit teks pada novel 5 cm. karya Donny Dhirgantoro yang berupa paparan bahasa yang menggambarkan moralitas sosial tokoh dan amanat-amanat yang terkandung. Namun yang membedakan dengan penelitian ini adalah data yang menjadi objek kajiannya. Dwi menggunakan unit-unit teks yang berupa paparan bahasa yang menggambarkan moralitas sosial tokoh dan amanat-amanat yang ingin disampaikan pengarang sedangkan penelitian ini menggunakan data yang berupa kata, klausa, kalimat, dan ungkapan yang mengandung makna nasionalisme. Selain itu, Dwi juga membahas moralitas sosial tokoh berdasarkan beberapa aspek, yaitu: (1) moralitas dilihat dari aspek ketaatan kepada peraturan, (2) moralitas dilihat dari aspek tidak suka menyakiti orang lain, (3) moralitas dilihat dari aspek memiliki rasa empati terhadap orang lain, (4) moralitas dilihat dari aspek cinta tanah air, dan (6) moralitas dilihat dari aspek memiliki rasa tanggung jawab terhadap orang lain. Sedangkan dalam penelitian ini, peneliti membahas nasionalisme dari segala aspek, seperti aspek politik, agama, pendidikan, kebudayaan, ideologi dan sebagainya.

  Novel 5 cm. juga pernah diteliti oleh Silvia Ratna Juwita pada tahun 2012 yang berjudul ”Nilai Moral Novel 5 cm. Karya Donny Dhirgantoro dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah”. Metode yang digunakan dalam penulisan penelitian tersebut adalah metode kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai moral yang terdapat dalam novel 5 cm. karya Donny Dhirgantoro, selain itu penulisan penelitian tersebut juga menggunakan pendekatan psikologi sosial yang membahas tentang hubungan antar individu dan tanggapan masyarakat terhadap individu karena dalam penelitian tersebut mencoba menguraikan nilai moral yang terkandung dalam novel 5 cm. karya Donny Dhirgantoro. Namun yang membedakan dengan penelitian ini adalah cara menganalisis kajiannya. Silvia menganalisis nilai moral yang terdapat dalam Novel 5 cm. kemudian menghubungkannya dengan proses pembelajaran sastra di sekolah tingkat SMA kelas XI (sebelas). Dalam analisisnya Silvia mendapatkan nilai moral yang terkadung dalam novel 5

cm. seperti: kejujuran, bertanggungjawab, disiplin, visioner, adil, peduli, dan kerja keras.

Kemudian nilai-nilai moral tersebut diimplikasikan pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di tingkat SMA kelas XI (sebelas) dalam aspek mendengarkan. Sedangkan penelitian ini, peneliti menganalisis nasionalisme berdasarkan kajian strukturalisme, artinya peneliti memaparkan keterkaitan unsur-unsur dalam teks sastra secara totalitas sehingga menghasilkan makna nasionalisme. Unsur-unsur yang dianalisis seperti tema, peristiwa atau kejadian, latar atau setting, penokohan atau perwatakan, alur atau plot, sudut pandang, dan gaya bahasa berdasarkan indikator nasionalisme.

  Penelitian ini hampir sama dengan penelitian Irvandi Arifiansyah pada tahun 2011 yang berjudul ”Kajian Struktural Dan Nilai Pendidikan Novel 5 cm. Karya Donny Dhirgantoro”. Penelitian tersebut berbentuk deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan strukturalisme. Metode yang digunakan adalah metode analisis isi. Walaupun sama-sama menggunakan kajian strukturalisme, yang menjadi kajian Irvandi yaitu tentang nilai pendidikan yang terdapat dalam Novel 5 cm. Artinya, dalam penelitian tersebut Irvandi menganalisis secara struktural Novel 5 cm., kemudian Irvandi juga menganalisis nilai pendidikan yang terdapat dalam novel tersebut. Adapun nilai pendidikan yang dibahas, yaitu nilai pendidikan sosial, nilai pendidikan moral, nilai pendidikan religius, dan nilai pendidikan estetika. Jadi, Irvandi memaparkan nilai pendidikan berdasarkan keterkaitan antar unsur dalam teks sastra. Hal yang menjadi pembeda dengan penelitian ini adalah fokus kajiannya. Penelitian ini secara lebih spesifik membahas tentang nasionalisme yang merupakan bagian dari nilai pendidikan itu sendiri. Peneliti menganalisis nasionalisme berdasarkan keterkaitan antar unsur teks sastra. Artinya, peneliti menganalisis secara lebih luas tentang nasionalisme berdasarkan strukturalisme.