Nasionalisme dalam Novel 5 cm. Karya Donny Dhirgantoro: Analisis Strukturalisme

(1)

NASIONALISME DALAM NOVEL

5 cm.

KARYA DONNY DHIRGANTORO: ANALISIS STRUKTURALISME

SKRIPSI

OLEH

YASIR ICHWAN

NIM 100701030

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

(3)

PERNYATAAN

Nasionalisme Dalam Novel 5 cm.

Karya Donny Dhirgantoro: Analisis Strukturalisme

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi saya ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, April 2014


(4)

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Nasionalisme dalam Novel 5 cm. Karya Donny Dhirgantoro: Analisis Strukturalisme”. Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Dalam proses pengerjaan skripsi ini, peneliti sangat banyak mendapat bimbingan, dorongan, dan dukungan. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terwujudnya skripsi saya ini, yaitu

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M.&H., M.Sc., (C.T.M.), Sp.A(K.). selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Ir. M.Sc., Ph.D selaku Pembantu Rektor I Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Ir. Armansyah Ginting, M.Eng selaku Pembantu Rektor II Universitas Sumatera Utara, Bapak Drs. Bongsu Hutagalung, M.Si. selaku Pembantu Rektor III Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.LI selaku Pembantu Rektor IV Universitas Sumatera Utara, dan Bapak Ir. Yusuf Husni selaku Pembantu Rektor V Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan sarana dan prasarana dalam proses penyelesaian skripsi ini.

2. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Bapak Dr. M. Husnan Lubis, M.A. selaku Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu Budaya, Bapak Drs. Samsul Tarigan selaku Pembantu Dekan II Fakultas Ilmu Budaya, Bapak Drs. Yuddi Adrian Mulyadi, M.A. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Ilmu Budaya, yang telah banyak memberikan sumbangsih berupa sistem pendidikan


(5)

3. yang baik sesuai dengan kurikulum sehingga mempermudah proses penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. selaku Ketua Departemen Sastra Indonesia dan Bapak Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P. selaku Sekretaris Departemen Sastra Indonesia, yang telah memberikan dorongan, nasihat dan saran dalam proses penyelesaian skripsi ini.

5. Bapak Drs. Isma Tantawi, M.A. selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P. selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu, memberikan kritik, dan saran dalam proses penyelesaian skripsi ini.

6. Staf pengajar dan Administrasi di Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan proses pengajaran yang baik dan ilmu yang bermanfaat dalam proses penyelesaian skripsi ini. 7. Abah H. Saiful Ahyar dan Ibunda Hj. Nursiah tercinta yang tidak henti-hentinya

memberikan semangat dan dorongan baik secara moril dan materil untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Kepada semua pihak yang telah banyak memberikan masukan berupa saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini, peneliti mengucapakan terima kasih. Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Medan, April 2014 Penulis


(6)

Nasionalisme Dalam Novel 5 cm.

Karya Donny Dhirgantoro: Analisis Strukturalisme

Oleh Yasir Ichwan

Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya USU

ABSTRAK

Penelitian ini menganalisis tentang struktur yang membangun nilai nasionalisme dan bentuk nasionalisme dalam novel 5 cm. karya Donny Dhirgantoro. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk memahami makna nasionalisme secara lebih luas. Metode pengumpulan data yang dilakukan peneliti adalah teknik pustaka, baca, dan catat. Teknik analisis data yang dilakukan peneliti adalah menganalisis unsur-unsur pembangun novel, mengaitkan antara unsur pembangun novel, menyajikan hasil analisis, dan menyimpulkan penelitian. Pada penelitian ini, diperoleh data dan informasi melalui buku-buku yang berkaitan dengan objek penelitian. Teori yang digunakan adalah teori strukturalisme yang memaparkan dan menunjukkan unsur-unsur yang membangun karya sastra serta mengaitkan antara unsur pembangun karya sastra. Novel yang dianalisis adalah novel 5 cm.karya Donny Dhirgantoro. Struktur yang membangun nilai nasionalisme dalam novel 5 cm. yaitu tema yang mengangkat tentang nilai kebersamaan, latar tempat yang berada di kota-kota Indonesia, latar waktu yang mengacu pada hari kemerdekaan bangsa Indonesia, latar sosial para tokoh yang berasal dari kaum terpelajar dan eksponen peristiwa reformasi, perwatakan tokoh yang bersikap pantang menyerah, sopan santun, bangga terhadap negara sendiri, rela berkorban, berjiwa pemimpin, cinta kepada negara sendiri, alur cerita yang mengandung nilai kebersamaan, sikap toleransi, bermusyawarah, tidak korupsi, kolusi, dan nepotisme, pantang menyerah, tolong-menolong, selalu bersyukur, rela berkorban, dan cinta tanah air, sudut pandang pengarang yang mengajarkan tentang nilai cinta terhadap tanah air, pantang menyerah, bangga terhadap negara sendiri, dan gaya bahasa yang digunakan adalah bahasa Betawi dan bahasa Jawa. Bentuk nasionalisme dalam novel 5 cm. adalah doa, sopan santun, musyawarah, mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak korupsi, kolusi, dan nepotisme, kebersamaan, bertanggung jawab, kerja keras, batik, bersyukur, blangkon, bahasa Jawa, kerukunan, gotong royong, peduli lingkungan hidup, kepemimpinan, disiplin, bendera merah putih, sikap hormat, lagu Indonesia Raya, upacara bendera, persatuan dan kesatuan, dan cinta tanah air.


(7)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN... i

PRAKATA ... ii

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 ...Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 4

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Konsep ... 5

2.1.1 Novel ... 5

2.1.2 Nasionalisme ... 6

2.2 Landasan Teori ... 14

2.2.1 Teori Strukturalisme ... 14

2.3 Tinjauan Pustaka ... 16

BAB III METODE PENELITIAN ... 19

3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 19

3.2 Metode dan Teknik Analisis Data ... 20

BAB IV ANALISIS STRUKTUR YANG MEMBANGUN NILAI NASIONALISME DALAM NOVEL 5 cm. KARYA DONNY DHIRGANTORO ... 21


(8)

4.1 Tema... 21

4.2 Latar ... 22

4.3 Penokohan dan Perwatakan ... 27

4.4 Alur ... 35

4.5 Sudut Pandang ... 44

4.6 Gaya Bahasa ... 46

BAB V ANALISIS BENTUK NASIONALISME DALAM NOVEL 5 cm. KARYA DONNY DHIRGANTORO ... 48

5.1 Doa ... 48

5.2 Sopan Santun... 49

5.3 Musyawarah ... 50

5.4 Mencerdaskan Keheidupan Bangsa ... 51

5.5 Tidak Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme ... 52

5.6 Kebersamaan ... 55

5.7 Bertanggung Jawab ... 57

5.8 Kerja Keras ... 60

5.9 Batik ... 61

5.10 Bersyukur ... 64

5.11 Blangkon ... 66

5.12 Bahasa Jawa ... 68

5.13 Kerukunan ... 70

5.14 Gotong Royong ... 72


(9)

5.16 Kepemimpinan ... 76

5.17 Disiplin ... 78

5.18 Bendera Merah Putih ... 79

5.19 Sikap Hormat ... 81

5.20 Lagu Indonesia Raya ... 82

5.21 Upacara Bendera ... 83

5.22 Persatuan dan Kesatuan ... 84

5.23 Cinta Tanah Air ... 87

BAB VI SIMPULAN ... 89

DAFTAR PUSTAKA ... 90


(10)

Nasionalisme Dalam Novel 5 cm.

Karya Donny Dhirgantoro: Analisis Strukturalisme

Oleh Yasir Ichwan

Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya USU

ABSTRAK

Penelitian ini menganalisis tentang struktur yang membangun nilai nasionalisme dan bentuk nasionalisme dalam novel 5 cm. karya Donny Dhirgantoro. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk memahami makna nasionalisme secara lebih luas. Metode pengumpulan data yang dilakukan peneliti adalah teknik pustaka, baca, dan catat. Teknik analisis data yang dilakukan peneliti adalah menganalisis unsur-unsur pembangun novel, mengaitkan antara unsur pembangun novel, menyajikan hasil analisis, dan menyimpulkan penelitian. Pada penelitian ini, diperoleh data dan informasi melalui buku-buku yang berkaitan dengan objek penelitian. Teori yang digunakan adalah teori strukturalisme yang memaparkan dan menunjukkan unsur-unsur yang membangun karya sastra serta mengaitkan antara unsur pembangun karya sastra. Novel yang dianalisis adalah novel 5 cm.karya Donny Dhirgantoro. Struktur yang membangun nilai nasionalisme dalam novel 5 cm. yaitu tema yang mengangkat tentang nilai kebersamaan, latar tempat yang berada di kota-kota Indonesia, latar waktu yang mengacu pada hari kemerdekaan bangsa Indonesia, latar sosial para tokoh yang berasal dari kaum terpelajar dan eksponen peristiwa reformasi, perwatakan tokoh yang bersikap pantang menyerah, sopan santun, bangga terhadap negara sendiri, rela berkorban, berjiwa pemimpin, cinta kepada negara sendiri, alur cerita yang mengandung nilai kebersamaan, sikap toleransi, bermusyawarah, tidak korupsi, kolusi, dan nepotisme, pantang menyerah, tolong-menolong, selalu bersyukur, rela berkorban, dan cinta tanah air, sudut pandang pengarang yang mengajarkan tentang nilai cinta terhadap tanah air, pantang menyerah, bangga terhadap negara sendiri, dan gaya bahasa yang digunakan adalah bahasa Betawi dan bahasa Jawa. Bentuk nasionalisme dalam novel 5 cm. adalah doa, sopan santun, musyawarah, mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak korupsi, kolusi, dan nepotisme, kebersamaan, bertanggung jawab, kerja keras, batik, bersyukur, blangkon, bahasa Jawa, kerukunan, gotong royong, peduli lingkungan hidup, kepemimpinan, disiplin, bendera merah putih, sikap hormat, lagu Indonesia Raya, upacara bendera, persatuan dan kesatuan, dan cinta tanah air.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Indonesia merupakan sebuah negara yang sangat menarik karena faktor keanekaragamannya, mulai dari suku, budaya, agama, bahasa, warna kulit, dan sebagainya. Sebagai sebuah negara, keanekaragaman Indonesia dapat diilustrasikan dengan bentuk tangan manusia yang memiliki lima jari. Kelima jari manusia memiliki bentuk yang berbeda-beda, tetapi memiliki fungsi yang sama, yaitu mempermudah manusia dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Lima jari manusia akan berfungsi secara maksimal apabila kelima jari tersebut bersatu dan bekerja sama. Begitu juga dengan keanekaragaman yang ada di negara Indonesia, walaupun berbeda-beda suku, budaya, agama, bahasa, warna kulit, dan sebagainya, warga negara Indonesia harus tetap bersatu dan bekerja sama untuk mewujudkan sikap kebangsaan yang kuat.

Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti negara atau bangsa, ditambah akhiran isme yang berarti: (a) suatu sikap ingin mendirikan negara bagi bangsanya sesuai dengan paham/ideologinya, (b) suatu sikap ingin membela tanah air/negara dari penguasaan dan penjajahan bangsa asing, (Budiyono, 2007: 208). Menurut Smith (2003: 10) nasionalisme adalah suatu ideologi yang meletakkan bangsa di pusat masalahnya dan berupaya mempertinggi keberadaannya. Nasionalisme sebagai manifestasi kecintaan dan kesetiaan tertinggi kepada tanah air, negara, dan bangsa merupakan modal dasar bagi pembentukan negara dan karakter bangsa.

Kata sya’ab, qaum, ummah banyak digunakan Alquran untuk merujuk makna bangsa. Kata sya’ab yang menjadi kata tunggal dari syu’uban tercantum dalam Alquran pada surat Al Hujurat ayat 13 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia:

”Wahai manusia kami sesungguhnya telah menciptakan kamu dari seseorang laki-laki dan seorang perempuan, dan kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Bangsa dalam pengertian politik menurut Dault (2005: 2) adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama dan tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam.

Semangat kebangsaan atau nasionalisme dari suatu bangsa tidak dapat dilepaskan dari hasrat bangsa itu dalam mewujudkan arah dan tujuan yang hendak dicapai oleh bangsa


(12)

tersebut. Nasionalisme merupakan sikap politik dan sosial dari kelompok masyarakat yang mempunyai kesamaan kebudayaan, bahasa, dan wilayah, serta kesamaan cita-cita, dan tujuan. Hal itu diutarakan pula oleh Soekarno (1964: 3) yang mengatakan bahwa nasionalisme adalah suatu iktikad; suatu keinsyafan rakyat bahwa rakyat itu ada satu golongan, satu bangsa.

Menurut Soekarno (1964: 5) semangat kebangsaan atau nasionalisme secara tersirat telah lahir sejak masa Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Semangat seperti itu terbelah-belah pada saat Indonesia dijajah oleh Belanda. Jiwa kebangsaan hanya terlihat sebagai jiwa persatuan satu daerah atau satu kepulauan. Semangat kebangsaan itu secara keseluruhan mempunyai satu tujuan, yaitu mengusir penjajah dari negeri tumpah darah kita ini, Indonesia. Akan tetapi, wujud nasionalisme seperti itu bersifat lokal. Rasa kebangsaan secara nyata baru dilakukan pada tahun 1908, yaitu Budi Utomo. Bentuk dan arah nasionalisme kita pada saat itu didasari oleh kesatuan wilayah, kesatuan keinginan, kesamaan nasib, dan kesamaan hal-ihwal. Kesamaan itu diarahkan pada usaha mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Itulah yang terlihat dalam nasionalisme sebelum kemerdekaan Indonesia.

Bagaimana bentuk semangat kebangsaan atau nasionalisme pada masa kini? Tampaknya nasionalisme telah mengalami pergeseran makna. Barangkali rasa kebangsaan kita kini telah ternodai atau terancam oleh berbagai faktor dari luar dan dari dalam negeri sendiri. Apakah memang dalam bentuk dan arah seperti sekarang inikah nasionalisme yang kita idamkan untuk membawa bangsa ini ke arah masyarakat yang adil dan makmur?

Prinsip nasionalisme bangsa Indonesia dilandasi nilai-nilai Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945 yang diarahkan agar bangsa Indonesia senantiasa menempatkan persatuan kesatuan, kepentingan, keselamatan bangsa, dan negara di atas kepentingan pribadi atau kepentingan golongan, menunjukkan sikap rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negara, bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia serta tidak merasa rendah diri, mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban antara sesama manusia dan sesama bangsa, menumbuhkan sikap saling mencintai manusia, mengembangkan sikap tenggang rasa dan tidak semena-mena terhadap orang lain, gemar melakukan kegiatan kemanusiaan, senantiasa menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, berani membela kebenaran dan keadilan, merasa bahwa bangsa Indonesia merupakan bagian dari seluruh umat manusia, dan menganggap pentingnya sikap saling menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.

Karya sastra adalah sebuah hasil ciptaan manusia. Sastra tumbuh dan berkembang karena peranan manusia. Sebuah karya sastra pada dasarnya berisi tentang permasalahan yang melingkupi kehidupan masyarakat, termasuk persoalan-persoalan sosial. Nasionalisme


(13)

merupakan bagian dari persoalan sosial, karena menyangkut tentang kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Masalah nasionalisme sering diangkat dalam cerita yang berbentuk novel, salah satunya adalah novel 5 cm.

Novel 5 cm. adalah novel karya Donny Dhirgantoro, yang diterbitkan oleh Grasindo pada tahun 2005. Novel ini menceritakan tentang perjalanan lima orang bersahabat yakni Arial, Riani, cinta, dan persahabatan. Novel ini mencetak rekor buku laris di Gramedia Bookstore selama dua tahun berturut-turut. Pada tahun 2012, novel ini diadaptasi menjadi sebuah film dengan judul yang sama 5 cm.

Novel 5 cm. adalah novel yang mengangkat nilai nasionalisme. Dalam novel tersebut terdapat nilai nasionalisme yang dapat menjadi titik balik bagi segenap pemuda Indonesia untuk kembali menancapkan nilai nasionalisme di dalam benak dan hati mereka, yang dewasa ini mungkin terkontaminasi oleh pengaruh-pengaruh yang datangnya dari luar maupun dari dalam negerinya sendiri.

Nasionalisme kita seakan muncul dengan paksaan yaitu ketika ada serangan atau ada ancaman dari pihak luar, kita baru bersatu teguh mengganyang negara yang bersangkutan. Nasionalisme bangsa Indonesia terjadi pasang surut akibat pengaruh global yang telah mendarah daging dalam jiwa generasi Indonesia. Dalam kenyataannya, kini rasa nasionalisme kultural dan politik sudah mengkhawatirkan dalam kehidupan keseharian kita.

Nasionalisme merupakan suatu paham yang berkaitan dengan usaha untuk menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (nation) dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Permasalahan yang menarik untuk dikaji dan diteliti dalam penelitian ini adalah nasionalisme yang terdapat dalam novel 5 cm.

1.2Rumusan Masalah

Untuk mendapatkan hasil penelitian yang terarah, maka diperlukan suatu rumusan masalah. Permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah struktur yang membangun nilai nasionalisme dalam novel 5 cm. karya Donny Dhirgantoro?

2. Bagaimanakah bentuk nasionalisme yang terdapat dalam novel 5 cm. karya Donny Dhirgantoro?


(14)

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan suatu penelitian haruslah jelas mengingat penelitian harus mempunyai arah dan tujuan yang tepat. Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Menganalisis struktur yang membangun nilai nasionalisme dalam novel 5 cm. karya Donny Dhirgantoro.

2.Menganalisis bentuk nasionalisme yang terdapat dalam novel 5 cm. karya Donny Dhirgantoro.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Memperluas khasanah ilmu pengetahuan terutama bidang bahasa dan sastra Indonesia, khususnya dalam menganalisis novel dengan teori strukturalisme. 2. Memahami makna nasionalisme secara lebih luas.

3. Memberikan masukan kepada mahasiswa untuk mengkaji dan menelaah novel. 4. Menambah referensi dan membantu pembaca dalam memahami makna yang


(15)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konsep adalah gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Menurut Malo (1985: 47) konsep-konsep yang dipakai dalam ilmu sosial, walaupun kadang-kadang istilahnya sama dengan yang digunakan sehari-hari, namun makna dan pengertiannya dapat berubah.

Konsep-konsep yang digunakan adalah sebagai berikut:

2.1.1 Novel

Istilah novel berasal dari bahasa Latin, novellas yang kemudian diturunkan menjadi novies, yang berarti baru. Perkataan baru ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa novel merupakan jenis cerita fiksi (fiction) yang muncul belakangan dibandingkan dengan cerita pendek (short story) dan roman, (Waluyo, 2002: 36).

Pengertian novel dalam The American College Dictionary yang dikutip oleh Tarigan (2003: 164) menjelaskan bahwa novel adalah suatu cerita yang fiktif dalam panjang yang tertentu, melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut. Di dalam novel memang mempunyai panjang yang tertentu dan merupakan suatu cerita prosa yang fiktif. Hal itu sejalan dengan pendapat Nurgiyantoro (2005: 9) yang memberikan pengertian bahwa novel adalah sebuah prosa fiksi yang panjangnya cukup, artinya tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek.

Menurut Robert Lindell (dalam Waluyo, 2006: 6) karya sastra yang berupa novel, pertama kali lahir di Inggris dengan judul Pamella merupakan bentuk catatan harian seorang pembantu rumah tangga kemudian berkembang dan menjadi bentuk prosa fiksi yang kita kenal seperti saat ini.

Novel merupakan jenis karya sastra yang tentunya menyuguhkan nilai yang berguna bagi masyarakat pembaca. Hal ini telah diungkapkan oleh Goldmann (dalam Saraswati, 2003: 87) mendefinisikan novel merupakan cerita mengenai pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai otentik di dalam dunia yang juga terdegradasi akan nilai-nilai-nilai-nilai otentik di dalam dunia yang juga terdegradasi, pencarian itu dilakukan oleh seorang hero yang problematik. Ciri tematik tampak pada istilah nilai-nilai otentik yang menurut Goldmann merupakan totalitas yang secara tersirat muncul dalam novel, nilai-nilai yang mengorganisasikan sesuai dengan


(16)

mode dunia sebagai totalitas. Atas dasar definisi itulah selanjutnya Goldmann mengelompokkan novel menjadi tiga jenis yaitu novel idealisme abstrak, novel psikologis (romantisme keputusasaan), dan novel pendidikan (paedagogis).

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa novel merupakan jenis cerita fiksi yang muncul paling akhir jika dibandingkan dengan cerita fiksi yang lain. Novel mengungkapkan konflik kehidupan para tokohnya secara lebih mendalam dan halus. Selain itu tokoh-tokoh, serangkaian peristiwa, dan latar ditampilkan secara tersusun hingga bentuknya lebih panjang dibandingkan dengan prosa rekaan yang lain.

Fungsi novel pada dasarnya untuk menghibur para pembaca. Novel pada hakikatnya adalah cerita dan karenanya terkandung juga di dalamnya tujuan memberikan hiburan kepada pembaca. Sebagaimana yang dikatakan Wellek dan Warren (dalam Nurgiyantoro, 2005: 3) membaca sebuah karya fiksi adalah menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin.

Tarigan (2003: 165) menyatakan bahwa novel mengandung kata-kata berkisar antara 35.000 buah sampai tidak terbatas jumlahnya. Dengan kata lain jumlah minimum kata-katanya adalah 35.000 buah, kalau kita pukul-ratakan sehalaman kertas kuarto jumlah barisnya ke bawah 35 buah dan jumlah kata dalam satu baris 10 buah, maka jumlah kata dalam satu halaman adalah 35 x 10 = 350 buah. Selanjutnya dapat kita maklumi bahwa novel yang paling pendek itu harus terdiri minimal lebih dari 100 halaman. Lebih lanjut Brooks dalam ”An Approach to Literature” (Tarigan, 2003: 165) menyimpulkan bahwa ciri-ciri novel adalah (1) novel bergantung pada tokoh; (2) novel menyajikan lebih dari satu impresi; (3) novel menyajikan lebih dari satu efek; (4) novel menyajikan lebih dari satu emosi.

2.1.2 Nasionalisme

Penggunaan istilah nasionalisme dalam pengertian sosial dan politik yang diakui merujuk pada filsuf Jerman, Johan Gottfried Herder dan biarawan kontra-revolusioner Perancis, Uskup Augustin de Barruel pada akhir abad kedelapan belas. Penggunaan istilah ini di dalam Bahasa Inggris pada tahun 1936 bersifat teologis, sebagai doktrin bahwa bangsa-bangsa tertentu dipilih secara ilahiah. Sejak itu, istilah ini cenderung disamakan dengan egoisme nasional. Namun demikian, biasanya istilah lain seperti kebangsaan/nasionalitas (nationality) dan kenasionalan (nationalness) dalam arti sebagai semangat nasional atau individualitas nasional lebih disukai, (Smith, 2003: 6).

Ideologi nasionalisme telah didefinisikan dengan berbagai cara, tetapi kebanyakan definisi tersebut tumpang tindih dan menyingkapkan tema yang sama. Tentu saja tema


(17)

utamanya adalah masalah yang mendominasi bangsa. Tempat nasionalisme berupaya mempertinggi derajat bangsa. Sasaran umum nasionalisme ada tiga: otonomi nasional, kesatuan nasional, dan identitas nasional, (Smith, 2003: 6). Bagi para nasionalis, suatu bangsa tidak bisa melangsungkan hidupnya kalau tidak terdapat ketiga sasaran ini dalam derajat yang memadai. Dari sini muncul definisi kerja nasionalisme: suatu gerakan ideologis untuk mencapai dan mempertahankan otonomi, kesatuan, dan identitas bagi suatu populasi, yang sejumlah anggotanya bertekad untuk membentuk suatu bangsa yang aktual atau bangsa yang potensial, (Smith, 2003: 6).

Dalam satu abad terakhir istilah nasionalisme digunakan dalam rentang arti yang kita gunakan sekarang. Di antara penggunaan-penggunaan itu, yang paling penting adalah: (1) suatu proses pembentukan, atau pertumbuhan bangsa-bangsa; (2) suatu sentimen atau kesadaran memiliki bangsa bersangkutan; (3) suatu bahasa dan simbolisme bangsa; (4) suatu gerakan sosial dan politik demi bangsa bersangkutan; (5) suatu doktrin atau ideologi bangsa, baik yang umum maupun yang khusus, (Smith, 2003: 7).

Rupert Emerson (dalam Dault, 2005: 2) mendefinisikan nasionalisme sebagai komunitas orang-orang yang merasa bahwa mereka bersatu atas dasar elemen-elemen penting yang mendalam dari warisan bersama dan bahwa mereka memiliki takdir bersama menuju masa depan. Sementara menurut Ernest Renan (dalam Dault, 2005: 2) yang sering dikutip Soekarno, nasionalisme merupakan unsur yang dominan dalam kehidupan sosial-politik sekelompok manusia dan telah mendorong terbentuknya suatu bangsa atau nation guna menyatukan kehendak untuk bersatu. Menurut Soekarno (dalam Dault, 2005: 3) semangat nasionalisme merupakan semangat kelompok manusia yang hendak membangun suatu bangsa yang mandiri, dilandasi satu jiwa dan kesetiakawanan yang besar, mempunyai kehendak untuk bersatu dan terus menerus ditingkatkan untuk bersatu, dan menciptakan keadilan dan kebersamaan. Hasrat hidup bersama itu merupakan solidaritas agung.

Ernest Renan (dalam Dault, 2005: 3) menyebut nasionalisme sebagai le desire d’entre ensemble atau kehendak untuk bersatu. Nasionalisme ini membentuk persepsi dan konsepsi identitas sosial kaum pergerakan di seluruh negara-negara jajahan sebagai suatu kekuatan politik yang tidak bisa disangkal oleh penguasa kolonial. Tujuan nasionalisme ini adalah pembebasan dari penjajahan dan menciptakan masyarakat/negara yang adil dan tidak ada lagi penindasan manusia oleh manusia.

Dalam dimensi politik, nasionalisme merupakan ideologi yang meyakini bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan, yaitu suatu negara yang penduduknya memiliki hak dan kewajiban sama serta mau mengingatkan dirinya dalam


(18)

suatu negara, (Kohn, 1984: 11). Demikian juga Soekarno, presiden pertama Indonesia, mengatakan bahwa bangsa adalah sebuah konstruksi yang dihasilkan oleh sebuah visi yang diperjuangkan. Dalam pengertian politik ini, prinsip-prinsip utama dalam nasionalisme adalah kebebasan, kesatuan, keadilan, dan kepribadian yang menjadi orientasi kehidupan kolektif suatu kelompok untuk mencapai tujuan politik, yaitu negara nasional, (Kartodirdjo, 1993: 3).

Prinsip nasionalisme bangsa Indonesia dilandasi oleh empat pilar yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. Pancasila yang berarti lima dasar atau lima asas adalah nama dari Dasar Negara Republik Indonesia. Pancasila yang dimaksud adalah lima Dasar Negara sebagaimana yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yang berbunyi sebagai berikut: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; (3) Persatuan Indonesia; (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; (5) Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa Pancasila memiliki dua pengertian, yaitu: (1) Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia, dan Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, (Darmodihardjo, 1984: 24).

Pengertian pokok tentang Undang-Undang Dasar 1945 adalah keseluruhan naskah yang terdiri dari: (1) Pembukaan Undang Dasar 1945; (2) Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 yang terdiri dari 16 Bab berisi 37 pasal, Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan; (3) Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, (Bakry, 1987: 89). Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar yang tertulis, yang disampingnya masih ada hukum dasar tidak tertulis, yaitu ”aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis”, (Bakry, 1987: 89).

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan bentuk negara yang dipilih sebagai komitmen bersama. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah pilihan yang tepat untuk mewadahi kemajemukan bangsa. Oleh karena itu komitmen kebangsaan akan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi suatu “keniscayaan” yang harus dipahami oleh seluruh komponen bangsa. Dalam pasal 37 ayat 5 secara tegas menyatakan bahwa khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan karena merupakan landasan hukum yang kuat bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat diganggu gugat, (MPR, 2012: 7).

Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan negara sebagai modal untuk bersatu. Kemajemukkan bangsa merupakan kekayaan kita, kekuatan kita, yang sekaligus juga menjadi


(19)

tantangan bagi kita bangsa Indonesia, baik kini maupun yang akan datang. Oleh karena itu kemajemukan itu harus kita hargai, kita junjung tinggi, kita terima, dan kita hormati serta kita wujudkan dalam semboyan Bhinneka Tunggal ika, (MPR, 2012: 7).

Dr. M. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Alquran (Shihab, 2006: 333-344) menyatakan bahwa unsur-unsur nasionalisme juga dapat ditemukan dalam Alquran:

1. Persamaan Keturunan

Dalam Alquran ditegaskan bahwa Allah SWT menciptakan manusia terdiri dari berbagai ras, suku, dan bangsa agar tercipta persaudaraan dalam rangka menggapai tujuan bersama yang dicita-citakan. Alquran sangat menekankan kepada pembinaan keluarga yang merupakan unsur terkecil terbentuknya masyarakat, dari masyarakat terbentuk suku, dan dari suku terbentuk bangsa, sebagaimana dalam Alquran pada surat Al A’raf ayat 160 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia:

”Dan mereka Kami bagi menjadi dua belas suku yang masing-masingnya berjumlah besar dan Kami wahyukan kepada Musa ketika kaumnya meminta air kepadanya: ”Pukullah batu itu dengan tongkatmu!”. Maka memancarlah dari padanya dua belas mata air. Sesungguhnya tiap-tiap suku mengetahui tempat minum masing-masing. Dan Kami naungkan awan di atas mereka dan Kami turunkan kepada mereka manna dan salwa. (Kami Berfirman): ”Makanlah yang baik-baik dari apa yang telah Kami rezekikan kepadamu”. Mereka tidak menganiaya Kami, tapi merekalah yang selalu menganiaya dirinya sendiri”.

Rasulullah Muhammad SAW dalam perjuangannya di Makkah justru mendapat pembelaan dari keluarga besarnya. Sejalan dengan itu Rasulullah Muhammad SAW bersabda: ”Sebaik-baiknya kamu adalah pembela keluarga besarnya selama pembelaannya itu bukan dosa (HR Abu Daud dari Suroqoh bin Malik)”.

Pengelompokkan dalam suku bangsa tidak boleh menyebabkan fanatisme buta, sikap superioritas dan penghinaan terhadap bangsa lain. Rasulullah Muhammad SAW bersabda: ”Tidaklah termasuk dalam golongan kita orang yang mengajak kepada ashobiyyah (fanatik buta terhadap kelompok), bukan pula yang berperang atas dasar ashobiyyah, bukan pula yang mati dengan mendukung ashobiyyah (HR Abu Daud dari Jubair bin Muth’im)”.

2. Persamaan Bahasa

Bahasa pada hakikatnya bukan hanya sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan isi pikiran dan tujuan, tapi untuk memelihara identitas dan sebagai pembeda dari komunitas lain. Jadi, bahasa merupakan perekat terjadinya persatuan umat atau bangsa. Dalam konteks paham nasionalisme, bahasa pikiran, dan perasaan, jauh lebih penting ketimbang bahasa lisan, karena sekali lagi ditekankan bahwa bahasa lisan adalah jembatan perasaan.


(20)

Orang-orang Yahudi yang bahasanya satu, yaitu bahasa Ibrani, dikecam oleh Alquran dalam surat Al Hasyr ayat 14 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia:

”Mereka (Yahudi) tidak akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan antara sesama mereka (Yahudi) adalah sangat hebat. Kamu kira mereka (Yahudi) itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka (Yahudi) adalah kaum yang tidak mengerti”.

Sahabat-sahabat Rasulullah ketika meremehkan sahabat Salman (berasal dari Persia), Suhaib (berasal dari Romawi) dan Bilal (berasal dari Ethiopia) maka Rasulullah Muhammad SAW bersabda: ”Kebangsaan Arab yang ada pada diri kalian bukanlah karena bapak atau ibu melainkan dari bahasa, maka barang siapa berbicara bahasa Arab maka dia adalah bangsa Arab (HR Ibnu ’Asakir)”.

Jadi, terlihat bahwa bahasa, saat dijadikan sebagai perekat dan unsur kesatuan umat, dapat diakui oleh Alquran, bahkan inklusif dalam ajarannya. Bahasa dan keragamannya merupakan salah satu bukti keesaan dan kebesaran Allah SWT. Hanya saja harus diperhatikan bahwa dari bahasa harus lahir kesatuan pikiran dan perasaan, bukan sekadar alat menyampaikan informasi.

3. Persamaan Adat Istiadat

Pikiran dan perasaan satu kelompok/umat tercermin antara lain dalam adat istiadatnya. Dalam konteks ini, kita dapat merujuk perintah Alquran surat Ali Imran ayat 104: ”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”.

Kata ‘urf dan ma’ruf pada ayat-ayat itu mengacu kepada kebiasaan dan adat istiadat yang tidak bertentangan dengan al-khair, yakni prinsip-prinsip ajaran Islam. Rincian dan penjabaran kebaikan dapat beragam sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat. Sehingga, sangat mungkin suatu masyarakat berbeda pandangan dengan masyarakat lain. Apabila rincian maupun penjabaran itu tidak bertentangan dengan prinsip ajaran agama, maka itulah yang dinamai ‘urf/ma’ruf.

Imam Bukhari meriwayatkan, bahwa suatu ketika Aisyah mengawinkan seorang gadis yatim kerabatnya kepada seorang pemuda dari kelompok Anshar (penduduk kota Madinah). Nabi Muhammad SAW yang tidak mendengar nyanyian pada acara itu, berkata kepada Aisyah, ”Apakah tidak ada permainan/nyayian? Karena orang-orang Anshar senang mendengarkan nyanyian”. Demikian Nabi Muhammad SAW menghargai adat-kebiasaan


(21)

masyarakat Anshar. Jadi, jelas bahwa adat istiadat sebagai salah satu pembentuk bangsa tidaklah bertentangan dengan Islam.

4. Kesatuan dan Persatuan

Tidak dapat disangkal bahwa Alquran memerintahkan persatuan dan kesatuan. Sebagaimana secara jelas dinyatakan dalam surat Al Anbiyaa ayat 92 dan surat Al Mu’minun ayat 52 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: ”Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku”.

Hal yang harus dipahami pertama kali adalah pengertian dan penggunaan Alquran terhadap kata umat. Ar-Raghib Isfahani, pakar bahasa yang menyusun kamus Alquran Al-Mufradat fi Ghanb, Alquran menjelaskan bahwa umat adalah kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, baik persamaan agama, waktu, tempat, baik pengelompokkan itu secara terpaksa maupun atas kehendak sendiri. Kalau demikian, dapat dikatakan bahwa makna kata umat dalam Alquran sangat lentur, dan mudah menyesuaikan diri.

Jamaluddin Al-Afghani, yang dikenal sebagai penyatu persatuan Islam (Liga Islam), menegaskan bahwa idenya bukan untuk menuntut umat Islam berada di bawah satu kekuasaan, tetapi hendaknya mereka mengarah kepada satu tujuan, serta saling membantu untuk menjaga keberadaan masing-masing. Sebagaimana dijelaskan dalam Alquran surat Ali Imran ayat 105 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: ”Janganlah kamu menjadi seperti mereka yang berkelompok-kelompok dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat”.

Kalimat ”dan berselisih” digandengkan dengan ”berkelompok-kelompok” untuk mengisyaratkan bahwa yang terlarang adalah pengelompokkan yang mengakibatkan perselisihan. Kesatuan umat Islam tidak berarti dileburnya segala perbedaan, atau ditolaknya segala ciri/sifat yang dimiliki oleh perorangan, kelompok, asal keturunan, dan bangsa.

Kelenturan kandungan makna umat seperti yang dikemukakan terdahulu mendukung pandangan ini. Sekaligus membuktikan bahwa dalam banyak hal, Alquran hanya mengamanatkan nilai-nilai umum dan menyerahkan kepada masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai umum itu.

Dalam Alquran juga mengakui adanya kebinekaan dalam kesatuan, yaitu dijelaskan dalam surat Al Maidah ayat 48 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: ”Seandainya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan”.


(22)

Akan tetapi itu tidak dikehendaki-Nya. Dengan demikian, tidak dapat dibuktikan bahwa Alquran menuntut penyatuan umat Islam seluruh dunia pada satu wadah persatuan saja, dan menolak paham kebangsaan.

Alquran tidak mengharuskan penyatuan seluruh umat Islam ke dalam satu wadah kenegaraan. Sistem kekhalifahan yang dikenal sampai masa kekhalifahan Utsmaniyah merupakan salah satu bentuk yang dapat dibenarkan, tetapi bukan satu-satunya bentuk baku yang ditetapkan. Oleh sebab itu, jika perkembangan pemikiran manusia atau kebutuhan masyarakat menuntut bentuk lain, hal itu dibenarkan pula oleh Islam, selama nilai-nilai yang diamanatkan maupun unsur-unsur perekatnya tidak bertentangan dengan Islam.

5. Persamaan Sejarah

Persamaan sejarah muncul sebagai unsur kebangsaan karena unsur ini merupakan salah satu yang terpenting demi menyatukan perasaan, pikiran, dan langkah-langkah masyarakat. Sejarah menjadi penting, karena umat, bangsa, dan kelompok dapat melihat dampak positif atau negatif pengalaman masa lalu, kemudian mengambil pelajaran dari sejarah, untuk melangkah ke masa depan. Sejarah yang gemilang dari suatu kelompok akan dibanggakan anggota kelompok serta keturunannya, demikian pula sebaliknya.

Alquran sangat menonjol dalam menguraikan peristiwa sejarah. Bahkan tujuan utama dari uraian sejarahnya adalah guna mengambil iktibar (pelajaran), guna menentukan langkah berikutnya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa unsur kesejarahan sejalan dengan ajaran Alquran. Sehingga kalau unsur ini dijadikan salah satu faktor lahirnya nasionalisme, hal ini inklusif di dalam ajaran Alquran, selama uraian kesejarahan itu diarahkan untuk mencapai kebaikan dan kemaslahatan.

6. Cinta Tanah Air

Cinta tanah air sejalan dengan perintah Alquran, bahkan inklusif dalam ajarannya dan praktik Nabi Muhammad SAW. Cinta kepada tanah air tampak pada saat beliau tinggal di Madinah dan menjadi warga kota, beliau memohon kepada Allah: ”Ya Allah cintakan kota Madinah kepada kami, sebagaimana Engkau mencintakan kota Makkah kepada kami (HR Bukhari, Malik, dan Akhmad)”.

Orang yang gugur dalam mempertahankan keluarga, harta, dan negeri sendiri dinilai sebagai mati syahid, sebagaimana gugur dalam membela agama, bahkan agama menggandengkan pembelaan agama dan pembelaan negara dalam Alquran surat Al Mumtahanah ayat 8-9 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia:

”Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari


(23)

negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.

Dari uraian di atas terlihat bahwa nasionalisme sangat sejalan dengan ajaran Alquran dan Sunah. Bahkan semua unsur yang melahirkan paham tersebut, inklusif dalam ajaran Alquran.

Nasionalisme politik di Indonesia diperkenalkan oleh para intelektual dan kaum terpelajar pada awal abad 20, yang kemudian tokoh-tokoh tersebut membentuk Budi Utomo pada tahun 1908. Gerakan ini berkembang di kalangan terpelajar yang kelak menjadi cikal-bakal terbentuknya elit modern Indonesia.

Kebangkitan nasionalisme yang dipelopori oleh Wahidin Soedirohoesodo, Soetomo, HOS Tjokroaminoto dan generasi yang lebih muda seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, SM Kartosoewirjo, Tan Malaka, dan lain-lain, semakin mendinamisasikan kaum pergerakan dalam upaya mencapai kemerdekaan. Di bawah cengkraman kolonialis Hindia-Belanda dan juga Jepang, para tokoh pergerakan itu benar-benar menyadari arti penting semangat nasionalisme, karena penjajah menerapkan kapitalisme modern yang telah mengakibatkan bangsa Indonesia sangat menderita dengan kemiskinan, kebodohan, dan kesengsaraan.

Setelah Budi Utomo pada tahun 1908 dibentuk kemudian menyusul organisasi yang bersifat politik, yaitu Indische-Partij pada tahun 1911 dan Sarekat Islam pada tahun 1912 yang kemudian menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Indische-Partij dibentuk oleh tiga “serangkai” EFE Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soeryaningrat (bangsawan Jawa dari keraton Paku Alam). Sarekat Islam dibentuk oleh Haji Samanhoedi pedagang batik dari Solo yang “keturunan Bugis-Makassar”, dan kemudian berkembang di bawah kepemimpinan (Haji Oemar Said) Tjokroaminoto. Selanjutnya, keberanian untuk berorganisasi makin berkembang dan pemuda-pemuda etnik mengambil peranannya masing-masing. Tegaklah kemudian Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Sumatera, Jong Batak, dan sebagainya. Dengan menggunakan organisasinya yang berdasarkan asal kelahiran mereka, maka mereka telah memberikan makna ideologi dalam kerangka proses pencerahan dan pembentukan identitas baru, ke-Indonesiaan. Artinya, ideologi yang berlatar etnik terlibat secara intens di tengah-tengah pertarungan pencarian identitas di bawah bayang-bayang kekuasaan kolonialisme Belanda. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa cita-cita ke-Indonesiaan sudah sejak awal dicari dan ditemukan bersama oleh warga terdidik-tercerahkan yang berasal dari kelahiran etnik yang berbeda-beda itu. Warga Hindia-Belanda


(24)

yang terdidik-tercerahkan dan dari etnik berbeda-beda itu bersatu padu, berdialog dan mempertanyakan identitas diri mereka, meskipun identitas etnik dan budaya mereka berbeda-beda.

Selanjutnya tibalah saat yang bersejarah bagi bangsa Indonesia ketika sejumlah warga terdidik-tercerahkan itu berkumpul dan berkongres pada tanggal 28 Oktober 1928. Pertemuan itu menghasilkan sebuah rumusan (penegasan) tentang nama diri bangsa, tanah air, dan bahasa, yaitu Indonesia. Momen bersejarah itu hingga kini masih diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda.

2.2 Landasan Teori 2.2.1 Teori Strukturalisme

Analisis sastra adalah ikhtiar untuk menangkap atau mengungkapkan makna yang terkandung dalam teks sastra. Pemahaman terhadap teks sastra harus memperhatikan unsur-unsur struktur yang membentuk dan menentukan sistem makna, (Culler dalam Pradopo, 1995: 41).

Kehadiran strukturalisme dalam penelitian sastra, sering dipandang sebagai teori dan pendekatan. Hal ini pun tidak salah, karena baik pendekatan maupun teori saling melengkapi dalam penelitian sastra. Pendekatan strukturalisme akan menjadi sisi pandang apa yang akan diungkap melalui karya sastra, sedangkan teori adalah pisau analisisnya, (Endraswara, 2008: 49).

Strukturalisme sebenarnya merupakan paham filsafat yang memandang dunia sebagai realitas berstruktur. Dunia sebagai suatu hal yang tertib, sebagai sebuah relasi dan keharusan. Jaringan relasi ini merupakan struktur yang bersifat otonom. Keteraturan struktur itu, akan membentuk sebuah sistem yang baku dalam penelitian sastra. Menurut Junus (dalam Endraswara, 2008: 49) strukturalisme memang sering dipahami sebagai bentuk. Karya sastra adalah bentuk. Oleh sebab itu, strukturalisme sering dianggap sekadar formalisme modern. Memang, ada kesamaan antara strukturalisme dengan formalisme, yang sama-sama mencari arti dari teks itu sendiri.

Strukturalisme merupakan cabang penelitian sastra yang tidak bisa lepas dari aspek-aspek linguistik. Keutuhan makna bergantung pada koherensi keseluruhan unsur sastra, (Endraswara, 2008: 50). Keseluruhan sangat berharga dibandingkan unsur yang berdiri sendiri, karena masing-masing unsur memiliki pertautan yang membentuk sistem makna. Setiap unit struktur teks sastra hanya akan bermakna jika dikaitkan hubungannya dengan


(25)

struktur lainnya. Hubungan tersebut dapat berupa paralelisme, pertentangan, inversi, dan kesetaraan. Hal yang terpenting adalah bagaimana fungsi hubungan tersebut menghadirkan makna secara keseluruhan.

Menurut Jean Peaget (dalam Endraswara, 2008: 50) strukturalisme mengandung tiga hal pokok. Pertama, gagasan keseluruhan (wholness), dalam arti bahwa bagian-bagian atau unsurnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya. Kedua, gagasan transformasi (transformation), struktur itu menyanggupi prosedur transformasi yang terus menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru. Ketiga, gagasan keteraturan yang mandiri (self regulation) yaitu tidak memerlukan hal-hal di luar dirinya untuk mempertahankan prosedur transformasinya, struktur itu otonom terhadap rujukan sistem lain.

Paham strukturalis, secara langsung maupun tidak langsung sebenarnya telah menganut paham penulis Paris yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure. Paham ini mencuatkan konsep sign dan meaning (bentuk dan makna/isi) atau seperti yang dikemukakan Luxemburg (dalam Endraswara, 2008: 50) tentang signifiant-signifie dan paradigma-syntagma. Kedua unsur itu selalu berhubungan dan merajut makna secara keseluruhan. Oleh karena itu, kedua unsur penting ini tidak dapat dipisahkan dalam penafsiran sastra.

Karya sastra yang dibangun atas dasar bahasa, memiliki ciri bentuk (form) dan isi (content) atau makna (significance) yang otonom, (Endraswara, 2008: 50). Artinya, pemahaman karya sastra dapat diteliti dari teks sastra itu sendiri. Hanya saja, pemahaman harus mampu mengaitkan kebertautan antar unsur pembangun karya sastra. Kebertautan unsur itu akan membentuk sebuah makna utuh.

Ide dasar strukturalis adalah menolak kaum mimetik (yang menganggap karya sastra sebagai tiruan kenyataan), teori ekspresif (yang menganggap karya sastra sebagai ungkapan watak dan perasaan pengarang), dan menentang asumsi bahwa karya sastra sebagai media komunikasi antara pengarang dan pembaca, (Endraswara, 2008: 50). Pendek kata, strukturalisme menekankan pada otonomi penelitian sastra.

Penekanan Strukturalis adalah memandang karya sastra sebagai teori mandiri. Penelitian dilakukan secara obyektif yaitu menekankan aspek intrinsik karya sastra. Analisis struktural dalam analisis teks sastra menjadi perantaraan dalam membongkar sistem makna yang terkandung di dalamnya. Pendekatan struktural sebagai prioritas awal untuk mengetahui kebulatan makna teks sastra yang harus memperhatikan pemahaman peran dan fungsi unsur-unsur yang membangun teks sastra, (Teeuw, 1991: 61).


(26)

Berdasarkan penilaian tersebut, analisis struktural terhadap teks sastra memiliki tujuan untuk membongkar atau mengungkapkan keterkaitan unsur-unsur dalam teks sastra secara totalitas dalam menghasilkan makna, (Teeuw, 1991: 135). Menurut Goldman (dalam Ratna, 2004: 122) menekankan bahwa dalam rangka memberi keseimbangan antara karya sastra dengan aspek-aspek yang berada di luarnya, yaitu antara hakikat otonomi dengan hakikat ketergantungan sosialnya, tidak secara langsung menghubungkan karya dengan struktur sosial yang menghasilkannya, melainkan mengaitkannya terlebih dahulu dengan kelas sosial dominan.

Hal ini sesuai dengan pendapat A. Teeuw (dalam Pradopo, 1995: 46). “Analisis struktural merupakan hal yang harus dilakukan untuk memahami prosa (baik cerpen, novel, dan roman) yaitu dengan memahami struktur fisik dan struktur batin yang terdapat di dalamnya”. Sebelum melakukan analisis karya sastra dengan menggunakan pendekatan apapun haruslah menggunakan pendekatan strukturalisme.

Analisis struktural merupakan prioritas utama sebelum diterapkannya analisis yang lain. Tanpa analisis struktural tersebut, kebulatan makna yang dapat digali dari karya sastra tersebut tidak dapat ditangkap, dipahami sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur itu di dalam keseluruhan karya sastra, (Teeuw, 1991: 16).

Mukarovski dan Vodica (dalam Ratna, 2004: 93) menyebutkan unsur-unsur prosa, di antaranya tema, latar atau setting, penokohan atau perwatakan, alur atau plot, sudut pandang, dan gaya bahasa. Berdasarkan pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa analisis strukturalisme berusaha memaparkan dan menunjukkan unsur-unsur yang membangun karya sastra serta menjelaskan bahwa antara unsur-unsur tersebut kurang berfungsi tanpa adanya interaksi. Untuk dapat memecahkan masalah, maka digunakan analisis strukturalisme pada novel 5 cm. karya Donny Dhirgantoro yang akan dikaji.

2.3 Tinjauan Pustaka

Penelitian terhadap Novel 5 cm. pernah dilakukan oleh Dwi Lindawati pada tahun 2009 yang berjudul ”Moralitas Sosial Tokoh dan Amanat dalam Novel 5 cm. Karya Donny Dhirgantoro”. Data dalam penelitian tersebut adalah unit-unit teks pada novel 5 cm. karya Donny Dhirgantoro yang berupa paparan bahasa yang menggambarkan moralitas sosial tokoh dan amanat-amanat yang terkandung. Namun yang membedakan dengan penelitian ini adalah data yang menjadi objek kajiannya. Dwi menggunakan unit-unit teks yang berupa paparan bahasa yang menggambarkan moralitas sosial tokoh dan amanat-amanat yang ingin disampaikan pengarang sedangkan penelitian ini menggunakan data yang berupa kata, klausa,


(27)

kalimat, dan ungkapan yang mengandung makna nasionalisme. Selain itu, Dwi juga membahas moralitas sosial tokoh berdasarkan beberapa aspek, yaitu: (1) moralitas dilihat dari aspek ketaatan kepada peraturan, (2) moralitas dilihat dari aspek tidak suka menyakiti orang lain, (3) moralitas dilihat dari aspek memiliki rasa empati terhadap orang lain, (4) moralitas dilihat dari aspek cinta tanah air, dan (6) moralitas dilihat dari aspek memiliki rasa tanggung jawab terhadap orang lain. Sedangkan dalam penelitian ini, peneliti membahas nasionalisme dari segala aspek, seperti aspek politik, agama, pendidikan, kebudayaan, ideologi dan sebagainya.

Novel 5 cm. juga pernah diteliti oleh Silvia Ratna Juwita pada tahun 2012 yang berjudul ”Nilai Moral Novel 5 cm. Karya Donny Dhirgantoro dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah”. Metode yang digunakan dalam penulisan penelitian tersebut adalah metode kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai moral yang terdapat dalam novel 5 cm. karya Donny Dhirgantoro, selain itu penulisan penelitian tersebut juga menggunakan pendekatan psikologi sosial yang membahas tentang hubungan antar individu dan tanggapan masyarakat terhadap individu karena dalam penelitian tersebut mencoba menguraikan nilai moral yang terkandung dalam novel 5 cm. karya Donny Dhirgantoro. Namun yang membedakan dengan penelitian ini adalah cara menganalisis kajiannya. Silvia menganalisis nilai moral yang terdapat dalam Novel 5 cm. kemudian menghubungkannya dengan proses pembelajaran sastra di sekolah tingkat SMA kelas XI (sebelas). Dalam analisisnya Silvia mendapatkan nilai moral yang terkadung dalam novel 5 cm. seperti: kejujuran, bertanggungjawab, disiplin, visioner, adil, peduli, dan kerja keras. Kemudian nilai-nilai moral tersebut diimplikasikan pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di tingkat SMA kelas XI (sebelas) dalam aspek mendengarkan. Sedangkan penelitian ini, peneliti menganalisis nasionalisme berdasarkan kajian strukturalisme, artinya peneliti memaparkan keterkaitan unsur-unsur dalam teks sastra secara totalitas sehingga menghasilkan makna nasionalisme. Unsur-unsur yang dianalisis seperti tema, peristiwa atau kejadian, latar atau setting, penokohan atau perwatakan, alur atau plot, sudut pandang, dan gaya bahasa berdasarkan indikator nasionalisme.

Penelitian ini hampir sama dengan penelitian Irvandi Arifiansyah pada tahun 2011 yang berjudul ”Kajian Struktural Dan Nilai Pendidikan Novel 5 cm. Karya Donny Dhirgantoro”. Penelitian tersebut berbentuk deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan strukturalisme. Metode yang digunakan adalah metode analisis isi. Walaupun sama-sama menggunakan kajian strukturalisme, yang menjadi kajian Irvandi yaitu tentang nilai pendidikan yang terdapat dalam Novel 5 cm. Artinya, dalam penelitian tersebut Irvandi


(28)

menganalisis secara struktural Novel 5 cm., kemudian Irvandi juga menganalisis nilai pendidikan yang terdapat dalam novel tersebut. Adapun nilai pendidikan yang dibahas, yaitu nilai pendidikan sosial, nilai pendidikan moral, nilai pendidikan religius, dan nilai pendidikan estetika. Jadi, Irvandi memaparkan nilai pendidikan berdasarkan keterkaitan antar unsur dalam teks sastra. Hal yang menjadi pembeda dengan penelitian ini adalah fokus kajiannya. Penelitian ini secara lebih spesifik membahas tentang nasionalisme yang merupakan bagian dari nilai pendidikan itu sendiri. Peneliti menganalisis nasionalisme berdasarkan keterkaitan antar unsur teks sastra. Artinya, peneliti menganalisis secara lebih luas tentang nasionalisme berdasarkan strukturalisme.


(29)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Jenis penelitian yang dipakai adalah penelitian pustaka. Penelitian pustaka merupakan suatu penelitian yang dilakukan di ruang perpustakaan untuk menghimpun dan menganalisis data yang bersumber dari perpustakaan, baik berupa buku-buku, periodikal-periodikal, seperti majalah-majalah ilmiah yang diterbitkan secara berkala, kisah-kisah sejarah, dokumen-dokumen dan materi perpustakaan lainnya, yang dapat dijadikan sumber rujukan untuk menyusun suatu laporan ilmiah, (Fathoni, 2006: 95-96).

Metode dan teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti adalah teknik pustaka, baca, dan catat.

a. Teknik Pustaka adalah teknik yang menggunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data, (Subroto, 1992: 42). Data diperoleh dalam bentuk tulisan maka harus dibaca, hal-hal yang penting dicatat kemudian disimpulkan dan memelajari sumber tulisan yang dapat dijadikan sebagai landasan teori dan acuan dalam hubungan dengan objek yang akan diteliti.

b. Teknik baca dan catat. Teknik baca yaitu dengan membaca secara berulang-ulang secara keseluruhan novel tersebut untuk memahami isinya secara utuh. Teknik catat yaitu mencatat kata, kalimat, atau data-data yang penting yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, serta mengumpulkan teori-teori yang relevan yang berhubungan dengan penelitian.

c. Kemudian dilanjutkan dengan sumber data, yaitu menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang langsung didapat dan diperoleh oleh penulis dari sumber pertamanya untuk keperluan penelitian, (Surachmad, 1990:163). Sumber data primer dalam penelitian ini adalah novel 5 cm. karya Donny Dhirgantoro.

Sumber Data:

Judul Novel : 5 cm.

Pengarang : Donny Dhirgantoro

Penerbit : PT Gramedia Widiasarana Indonesia Jumlah Halaman : 381 Halaman

Cetakan : Keduapuluh Sembilan Tahun Terbit : 2013


(30)

Warna Sampul : Hitam

Desain Sampul : Bayu Abdinegoro

Sumber data sekunder adalah sumber data yang terlebih dahulu dikumpulkan orang di luar penyelidik itu sendiri. Walaupun yang dikumpulkan itu sebenarnya adalah data asli, (Surachmad, 1990: 163). Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku sastra, referensi, catatan singkat, dan sebagainya yang relevan dengan penelitian. Data penelitian berisi kutipan-kutipan dari data buku, dokumen, catatan resmi, dan lain-lain untuk memberi gambaran laporan.

3.2 Metode dan Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang akan dilakukan oleh peneliti adalah sebagai berikut: a. Menganalisis Unsur-Unsur Pembangun Novel

Peneliti akan menganalisis unsur-unsur pembangun novel 5 cm. karya Donny Dhirgantoro berdasarkan kata, klausa, kalimat, dan ungkapan yang mengandung nasionalisme melalui tokoh Arial, Riani,

b. Mengaitkan Antara Unsur Pembangun Novel

Setelah dianalisis peneliti, maka langkah selanjutnya adalah mengaitkan hasil analisis antara unsur yang satu dengan lainnya yang membangun struktur novel 5 cm. karya Donny Dhirgantoro.

c. Menyajikan Hasil Analisis

Kemudian peneliti akan menyajikan hasil analisis tersebut dengan menjelaskan bagaimana nasionalisme dalam novel 5 cm. karya Donny Dhirgantoro berdasarkan analisis strukturalisme.

d. Menyimpulkan Penelitian

Hasil analisis akan dibuat simpulan tentang nasionalisme dalam novel 5 cm. karya Donny Dhirgantoro berdasarkan analisis strukturalisme.


(31)

BAB IV

ANALISIS STRUKTUR YANGMEMBANGUNNILAI NASIONALISME DALAM NOVEL 5 cm. KARYA DONNY DHIRGANTORO

4.1 Tema

Tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita, (Stanton dan Kenny dalam Nurgiantoro, 2005: 67). Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi tertentu. Menurut Sudjiman (1986: 50) tema adalah gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra, sedangkan menurut Sumardjo dan Saini (1986: 56), mengemukakan bahwa tema adalah ide sebuah cerita. Pengarang dalam menulis ceritanya bukan sekadar mau bercerita, tetapi mau menyampaikan sesuatu kepada pembacanya. Menurut beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tema adalah gagasan atau ide sentral (pokok) yang menjadi dasar penciptaan cerita.

Secara keseluruhan tema novel 5 cm. adalah tentang persahabatan. Pada novel 5 cm. kisah persahabatan begitu kental tertuang dalam setiap peristiwa yang dijalani para tokohnya. Tokoh yang menjalani persahabatan dalam novel 5 cm. ini adalah Genta, Arial, dan Ian. Mereka adalah lima orang bersahabat yang sering menghabiskan waktu bersama-sama.

Tema tentang persahabatan tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:

”Tapi kan ada yang lebih penting dari sekadar selera...,” Genta ngomong pelan dan melanjutkan, “yang penting kan kita bareng-bareng terus berlima...menghargai pendapat semuanya, selera semuanya, ketawa buat semuanya, sedih buat semuanya”. (5 cm.: 50)

Pada kutipan tersebut, nilai nasionalisme dari persahabatan adalah tentang kebersamaan yang dilakukan oleh kelima orang tokoh yang bersahabat, yaitu Genta, Arial, persatuan. Kebersamaan melambangkan sebuah persatuan dari kelima orang tokoh bersahabat tersebut. Kebersamaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 986) mempunyai arti yaitu hal yang dilakukan bersama. Kebersamaan merupakan suatu bentuk nasionalisme karena adanya unsur persatuan di dalamnya.

Nilai persatuan terdapat dalam sila ketiga Pancasila Persatuan Indonesia. Pada sila ketiga Pancasila ini menyiratkan adanya suatu keragaman, sehingga perlu adanya rasa untuk bersatu dari keberagaman tersebut guna membentuk suatu kebulatan yang utuh. Pada novel 5


(32)

cm. keberagaman terlihat dalam aspek perbedaan pendapat, jenis kelamin, selera, dan juga pandangan hidup. Semua perbedaan tersebut menjadi sebuah kekuatan yang membuat mereka bisa memahami satu dengan yang lainnya sehingga terjalin rasa saling menghargai. Adanya rasa saling menghargai tersebut, membuat kelima orang bersahabat ini menjalin kebersamaan atas nama persahabatan.

Kelima tokoh dalam novel 5 cm. merupakan orang-orang sejak masa SMA sudah bersahabat. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut:

”Kalau kata karena walau bagaimana pun dengan cara apa pun kita nggak akan bisa kembali lagi ke masa-masa SMA yang sangat indah bagi mereka. Masa SMA yang nggak akan tergantikan dengan apa pun.... Jadi, biarkan aja semuanya gelap, yang penting kita pernah sama-sama di gelap bahagia sana.” (5 cm.: 46)

Pada kutipan tersebut dapat diidentifikasikan bahwa rasa kebersamaan mereka memang sudah terjalin lama karena sudah menghabiskan waktu bersama-sama sejak masa SMA, sehingga membuat rasa persatuan di antara kelima orang bersahabat ini sudah cukup kuat. Rasa kebersamaan kelima orang bersahabat ini juga berlanjut, ketika mereka mendaki gunung Semeru. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:

”Kalo ada yang capek bilang ya, jangan ada yang gengsi. Satu orang capek, semuanya berhenti. Kebanyakan orang gagal ke puncak karena kecapekan dan gengsi nggak mau bilang. Yang ada cuma maksa sehingga akibatnya nggak bisa ngelanjutin.” (5 cm.: 237)

Pada kutipan tersebut, kebersamaan dalam persahabatan mereka memang cukup jelas terlihat. Rasa kebersamaan seakan sudah tertanam di dalam benak mereka, sehingga mereka harus melaksanakan sesuatunya berdasarkan kepentingan bersama. Kelima orang bersahabat dalam novel 5 cm. ini benar-benar menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan dirinya sendiri. Hal itu dilakukan sejak masa SMA, mereka bersama-sama mendaki gunung Semeru. Nilai nasionalisme yang terdapat dalam tema novel 5 cm. adalah tentang persahabatan, yang di dalamnya terdapat rasa kebersamaan.

4.2 Latar

Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semua yang dapat berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung (Stanton dalam Sugihastuti, 2007: 35). Latar atau setting mengacu pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan, (Abrams dalam


(33)

Nurgiantoro, 2005: 216). Latar dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.

a. Latar Tempat

Latar tempat merujuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan. Latar tempat dalam novel 5 cm. adalah di Indonesia yaitu terbagi di beberapa kota di Indonesia seperti Jakarta, Bogor, Cirebon, Jogjakarta, Madiun, dan Malang. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut:

”Panasnya Jakarta hari itu menimpa gerbong, menambah tua tampilan kereta”. (5 cm.: 148)

”Heh bengong, udah sampai Bogor nih...,” Arial menyenggol bahu Indy. (5 cm.: 91) ”Menjelang sore kereta mulai memasuki daerah Cirebon. Mereka berenam masih saja bercanda ngobrol segala macam, nggak peduli dengan keadaan kereta. Kerinduan pada diri mereka masing-masing mengalahkan semuanya.” (5 cm.: 152-153)

”Genta, Riani yang mulai kekuningan di stasiun Lempuyangan Jogjakarta.” (5 cm.: 172)

”Kita di mana, Ta?” Riani yang baru bangun bertanya ke Genta. ”Di Madiun.” Arial menjawab pertanyaan Riani. (5 cm.: 178)

”Jalan-jalan kota Malang yang tidak terlalu lebar menyambut mereka sore itu, suatu tempat yang lain dan asing.” (5 cm.: 194)

Jakarta adalah kota yang menjadi asal dan tempat tinggal para tokoh dalam novel 5 cm. Bogor adalah kota yang menjadi salah satu tempat yang tertera dalam novel 5 cm. yaitu ketika Arial dan Indy datang ke sebuah pesta ulang tahun temannya. Cirebon juga menjadi salah satu kota yang disinggahi oleh para tokoh di dalam novel 5 cm. karena pada saat itu kereta api yang mereka tumpangi melintasi daerah Cirebon. Jogjakarta menjadi tempat pemberhentian sementara para tokoh dalam novel 5 cm. menuju Malang. Pada saat itu mereka berhenti di stasiun Lempuyangan, Jogjakarta, untuk ke toilet. Madiun juga menjadi tempat berhenti mereka sementara, tepatnya di stasiun kereta Madiun. Mereka juga sempat bersarapan nasi pecel di stasiun ini. Malang merupakan kota terakhir yang menjadi pemberhentian mereka sebelum menuju Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, tempat yang menjadi tujuan utama mereka.

Selain enam kota tersebut, yang menjadi latar tempat dalam novel 5 cm. yang paling utama adalah berada di Gunung Semeru tepatnya di Puncak Mahameru. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut:


(34)

”Para pendaki tampak berbaris teratur di puncak Mahameru. Di depan barisan tertancap tiang bendera bambu yang berdiri tinggi sendiri dengan latar belakang kepulan asap Mahameru dan langit biru.

”Pengibaran Sang Saka Merah Putih di puncak Mahameru.” Teriakan seorang pendaki, memecah segala suara yang ada saat itu, menimbulkan keheningan yang mendadak. Hanya suara angin dan desir pasir yang ada.” (5 cm.: 344)

Gunung Semeru adalah gunung berapi tertinggi di Pulau Jawa. Puncak Gunung Semeru dikenal dengan nama Mahameru. Mahameru artinya adalah raja dari gunung atau gunung yang besar. Maha artinya besar atau megah dan meru dalam bahasa Jawa artinya gunung (5 cm.: 202). Posisi gunung ini terletak di antara wilayah administrasi Kabupaten Malang dan Lumajang. Gunung Semeru masuk dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.

Nilai nasionalisme dari kutipan di atas adalah di puncak Mahameru para tokoh dalam novel 5 cm. dan seluruh pendaki melakukan upacara bendera untuk memperingati hari kemerdekaan bangsa Indonesia. Mereka melakukan upacara bendera dengan khidmat dan penuh tangis bahagia. Keheningan di puncak Mahameru menjadikan suasana semakin penuh dengan keharuan. Hal itu dapat dilihat juga dalam kutipan berikut:

”YEAH...!!! teriak semua pendaki serentak membahana memecahkan keheningan, disusul dengan saling berpelukan. Sekali lagi Sang Dwiwarna berkibar di puncak Mahameru tahun ini. Suara-suara tangis bahagia dan teriakan-teriakan penuh semangat terdengar memenuhi puncak. Hampir seluruh pendaki di situ tak bisa menahan haru. Di pagi ini semua merasa dekat sekali satu sama lain, bergembira dengan hati sesak penuh kebanggaan. Di sini... di Mahameru tanggal tujuh belas Agustus... Tanah Air ini indah sekali.” (5 cm.: 347)

Nilai nasionalisme yang terkadung dari latar tempat ini adalah di Puncak Mahameru para tokoh dalam novel 5 cm. melakukan upacara pengibaran bendera Merah Putih untuk memperingati hari kemerdekaan bangsa Indonesia. Ketinggian puncak Mahameru dapat diartikan bahwa itulah tempat tertinggi yang berada di Pulau Jawa, sehingga para tokoh dalam novel 5 cm. merasa lebih dekat dengan Tuhan tetapi tetap menjejakkan kaki di tanah air Indonesia, yaitu di puncak Mahmeru. Mereka juga mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan karena telah diberikan negeri yang begitu indah, yang bernama Indonesia di puncak Mahameru.

b. Latar Waktu

Latar waktu merupakan hal yang berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa yang diceritakan pada sebuah karya fiksi, dalam hal ini latar waktu yang mengandung nilai nasionalisme terdapat dalam kutipan berikut:


(35)

”Di sini... di Mahameru tanggal tujuh belas Agustus... Tanah Air ini indah sekali. Ibu Pertiwi pun tersenyum melihat anak-anaknya yang bergembira di atas pangkuannya”. (5 cm.: 347)

Tanggal 17 Agustus adalah tanggal yang keramat bagi bangsa Indonesia. Tanggal 17 Agustus tepatnya pada tahun 1945, merupakan hari yang menjadi tonggak baru perjalanan bangsa Indonesia, karena pada saat itulah mulai dikumandangkan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia oleh Presiden Republik Indonesia yang pertama, Ir. Soekarno. Tanggal 17 Agustus juga dijadikan sebagai Hari Ulang Tahun Republik Indonesia, sehingga setiap tahunnya pada tanggal tersebut selalu diadakan sebuah penghormatan berupa upacara bendera dan acara-acara hiburan seperti perlombaan-perlombaan untuk memeriahkan hari yang begitu sakral bagi bangsa Indonesia.

Kaitannya dengan kutipan tersebut, dapat dijelaskan bahwa pada tanggal 17 Agustus mereka sampai di puncak Mahameru setelah mendaki dengan susah payah. Pada tanggal tersebut pula mereka melakukan upacara pengibaran bendera Merah Putih di puncak tertinggi Pulau Jawa yaitu Mahameru, guna memperingati hari kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal ini menjelaskan bahwa dari segi latar waktu, nilai nasionalisme yang terdapat pada tanggal 17 Agustus adalah tanggal tersebut merupakan tanggal yang menjadi kebanggaan bagi seluruh bangsa Indonesia, karena pada saat itu adalah tanggal lahirnya bangsa Indonesia.

c. Latar Sosial

Latar sosial mencakup hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat. Kehidupan sosial tokoh-tokoh dalam novel 5 cm. adalah sama-sama berasal dari kaum terpelajar yaitu alumni perguruan tinggi. Selain itu mereka berlima juga merupakan mahasiswa yang ikut berdemo sewaktu menurunkan Orde Baru dalam peristiwa reformasi, hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut:

”Gue jadi inget waktu zaman kita demo nurunin Orde baru...,” Riani tiba-tiba menggumam sendiri.

”Lho apa hubungannya, Ni?” Ian bingung.

”Dulu kita teriak-teriak atas nama rakyat di seluruh penjuru Indonesia. Trus yang di sekeliling lo ini emangnya siapa?”

Semua mengedarkan pandangan ke sekeliling. Diam. Kilatan peristiwa masa-masa kuliah, demo, long march ke Gedung DPR/MPR, memakai jaket alamamater kebanggaan kampus, dan nggak ada yang ditakutin. Saat berduka atas tewasnya empat pahlawan reformasi, pita hitam pun diikatkan di lengan sebagai tanda berduka, mengiringi upacara pemakaman penuh haru dan semangat yang membara di Tanah Kusir. Kilasan beralih ke ruas Jalan Sudirman dan Gatot Subroto yang jadi lautan jaket almamater mahasiswa, gedung DPR/MPR yang berubah menjadi base camp kebanggaan mahasiswa, kepalan tangan dan pekik reformasi, hingga


(36)

memuncak pada pendudukan atap gedung rakyat dan berbasah basah ria di kolam depan DPR/MPR. Nasi bungkus gratis dari rakyat yang dibagikan oleh ibu-ibu di pinggir jalan dan Indonesia Raya yang dikumandangkan penuh haru setelah reformasi tercapai, semuanya sepilas terlintas.

”Bener juga lo,” Arial memecah kekosongan.

”Mereka juga sebagian dari yang dulu kita perjuangkan,” sambut Riani. (5 cm.: 185) Nilai nasionalisme yang terdapat dalam kutipan di atas adalah tokoh-tokoh dalam novel 5 cm. adalah tokoh-tokoh yang terpelajar. Tokoh-tokoh dalam novel 5 cm. adalah para alumni perguruan tinggi. Berada di bangku perguruan tinggi merupakan suatu pencapaian yang membanggakan di dunia pendidikan karena ilmu yang didapatkan di perguruan tinggi jauh lebih mendalam. Pendidikan begitu penting dalam proses membangun bangsa, karena dengan pendidikan dapat mencerdaskan kehidupan anak bangsa sehingga dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Berada di bangku perguruan tinggi, berarti juga ikut dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga dapat membangun bangsa ke arah yang lebih baik.

Selain itu nilai nasionalisme yang terdapat dalam kutipan tersebut adalah para tokoh dalam novel 5 cm. adalah mahasiswa yang ikut berdemo untuk menurunkan Orde Baru dalam peristiwa reformasi. Peristiwa reformasi adalah peristiwa lengsernya Presiden Soeharto dari tampuk kepemimpinan negara Republik Indonesia. Lengsernya Soeharto sebagai presiden dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, seperti masalah politik, ekonomi, dan sosial. Dari segi politik, dipicu oleh pengangkatan kembali Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia setelah hasil pemilu 1997 yang menunjukkan bahwa Golkar sebagai pemenang mutlak. Terpilihnya kembali Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia dan membentuk Kabinet Pembangunan VII penuh dengan ciri nepotisme dan kolusi.

Dari faktor ekonomi, Indonesia merupakan salah satu negara yang terkena dampak dari krisis moneter dunia yang berakibat pada merosotnya nilai rupiah secara drastis. Hal ini diperparah dengan hutang luar negeri Indonesia yang semakin memburuk. Keadaan semakin kacau karena terjadinya ketidakstabilan harga-harga bahan pokok, termasuk minyak. Kenaikan harga minyak, kemudian berpengaruh pada kenaikan tarif angkutan umum.

Dari faktor sosial, banyak terjadinya konflik-konflik sosial diberbagai daerah di Indonesia. Selain itu, krisis ekonomi yang berkepanjangan berdampak pada rakyat yang mengalami kelaparan. Hal ini berakibat pada hilangnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Ini berarti bahwa krisis ekonomi yang melanda Indonesia mendorong hancurnya kredibilitas pemerintahan Orde Baru dimata rakyat.


(37)

Mahasiswa yang pada saat itu menjadi kaum terpelajar merasa bahwa situasi Indonesia sudah tidak lagi kondusif di bawah pemerintahan Orde Baru. Kasus Trisakti juga menjadi salah satu penyebab semakin kuatnya persatuan di kalangan mahasiswa pada saat itu, untuk menuntut agar Presiden Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Para tokoh dalam novel 5 cm. dituliskan sebagai bagian dari mahasiswa yang berdemo di gedung DPR/MPR. Mereka berdemo untuk melengserkan Presiden Soeharto dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia karena dianggap sudah tidak mampu lagi menjadi pemimpin yang mensejahterakan rakyatnya, serta sudah banyak berbuat korupsi, kolusi, dan nepotisme sehingga membuat rakyatnya semakin menderita.

Nilai nasionalisme yang dapat disimpulkan dalam kutipan di atas adalah para tokoh dalam novel 5 cm. merupakan pahlawan reformasi yang memperjuangkan aspirasi rakyat yang sudah tidak lagi menginginkan Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia karena merasa kehidupan mereka sudah terombang-ambing oleh krisis moneter yang melanda Indonesia. Para tokoh dalam novel 5 cm. berjuang atas nama rakyat Indonesia yang menginginkan adanya reformasi di segala bidang. Hal itu tercapai ketika Presdien Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden Republik Indonesia tepat pada tanggal 21 Mei 1998.

4.3 Penokohan atau Perwatakan

Penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Tokoh-tokoh itu rekaan pengarang, maka tokoh-tokoh perlu digambarkan dan hanya pengaranglah yang ‘mengenal’ mereka. Tokoh-tokoh dalam cerita perlu digambarkan ciri-ciri lahir dan sifat serta sikap batinnya agar wataknya juga dikenal oleh pembaca, (Sudjiman, 1986: 23).

Perwatakan seorang tokoh memiliki tiga dimensi sebagai struktur pokoknya, yaitu fisiologis, sosiologis, dan psikologis (Lajos Egri dalam Sukada, 1993: 62). Dimensi fisiologis meliputi: jenis kelamin, umur, tinggi badan, warna kulit, rumbut, postur tubuh, dan penampilan. Dimensi sosiologis meliputi golongan masyarakat, pekerjaan, pendidikan, agama, suku bangsa, tempat tinggal, kedudukan dalam masyarakat, dan hobi. Dimensi psikologis meliputi: moral, ambisi pribadi, temperamen, sikap hidup, pikiran, perasaan, tanggung jawab, dan tingkat kecerdasan.

Tokoh adalah pelaku cerita. Tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan dalam berbagai peristiwa pada cerita (Sudjiman, 1991: 16). Namun demikian, tokoh dalam cerita rekaan haruslah digambarkan sesuai dengan realita kehidupan yang ada. Perwatakannya pun haruslah logis diterima oleh akal sehat.


(1)

BAB VI SIMPULAN

Berdasarkan analisis yang telah dibahas pada bab IV dan bab V yaitu analisis struktur yang membangun nilai nasionalisme dan analisis bentuk nasionalisme dalam novel 5 cm. karya Donny Dhirgantoro, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Struktur yang membangun nilai nasionalisme dalam novel 5 cm. yaitu a. Tema yang mengangkat tentang nilai kebersamaan.

b. Latar tempat yang berada di kota-kota Indonesia, latar waktu yang mengacu pada hari kemerdekaan bangsa Indonesia, latar sosial para tokoh yang berasal dari kaum terpelajar dan eksponen peristiwa reformasi.

c. Perwatakan tokoh yang bersikap pantang menyerah, sopan santun, bangga terhadap negara sendiri, rela berkorban, berjiwa pemimpin, cinta kepada negara sendiri.

d. Alur cerita yang mengandung nilai kebersamaan, sikap toleransi, bermusyawarah, tidak korupsi, kolusi, dan nepotisme, pantang menyerah, tolong-menolong, selalu bersyukur, rela berkorban dan cinta tanah air. e. Sudut pandang pengarang yang mengajarkan tentang nilai cinta terhadap

tanah air, pantang menyerah, bangga terhadap negara sendiri.

f. Gaya bahasa yang digunakan adalah bahasa Betawi dan bahasa Jawa. 2. Bentuk nasionalisme dalam novel 5 cm. adalah doa, sopan santun, musyawarah,

mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak korupsi, kolusi, dan nepotisme, kebersamaan, bertanggung jawab, kerja keras, batik, bersyukur, blangkon, bahasa Jawa, kerukunan, gotong royong, peduli lingkungan hidup, kepemimpinan, disiplin, bendera merah putih, sikap hormat, lagu Indonesia Raya, upacara bendera, persatuan dan kesatuan, dan cinta tanah air.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Al Asyhar, Thabib. 2003. Bahaya Makanan bagi Kesehatan Jasmani dan Rohani. Jakarta: Al Mawardi.

Aminuddin. 2000. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru.

Arifiansyah, Irvandi. 2011. Kajian Struktural Dan Nilai Pendidikan Novel 5 cm. Karya Donny Dhirgantoro. Surakarta: Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret.

Bakry, Noor MS. 1987. Pancasila Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.

Baribin, Raminah. 1985. Teori dan Apresiasi Prosa Fiksi. Semarang: IKIP Semarang Press.

Bintarto, R. 1980. Gotong Royong Suatu Karakteristik Bangsa Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu.

Budiyono, Kabul. 2007. Nilai-Nilai Kepribadian dan Kejuangan Bangsa Indonesia.

Bandung: Alfabeta.

Dault, Adhyaksa. 2005. Islam dan Nasionalisme. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Darmodiharjo, Darji. 1984. Pancasila Suatu Orientasi Singkat. Jakarta: Aries Lima.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: MedPress.

Fathoni, Abdurrahmat. 2006. Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi. Jakarta: Rineka Cipta.

Franzischa,Laoura Winda. 2012.Analisis Pelanggaran Prinsip Sopan Santun dalam Komik Crayon Shinchan Volume 2 Karya Yoshito Usui. Surabaya: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Hamzah, Andi. 1991. Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama.

Hamzah, Jur Andi. 2005. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Hartono, dkk. 1991. Ilmu Budaya Dasar. Surabaya: Bina Ilmu.

Juwita, Silvia Ratna. 2012. Nilai Moral Novel 5 cm. Karya Donny Dhirgantoro dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah. Jakarta: Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. http//:tulis.uinjkt.ac.id. Diakses tanggal 6 Desember 2013.


(3)

Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pembangunan Bangsa tentang Nasionalisme, Kesadaran, dan Kebudayaan Nasional. Yogyakarta: Aditya Media.

Kodiran. 2002. Kebudayaan Jawa dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan. Jakarta: Haji Mas Agung.

Kohn, Hans. 1984. Nasionalisme Arti dan Sejarahnya. Jakarta: Erlangga.

Lindawati, Dwi. 2009. Moralitas Sosial Tokoh dan Amanat dalam Novel 5 cm. Karya Donny Dhirgantoro. Malang: Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. http//:library.um.ac.id. Diakses tanggal 5 Desember 2013.

Lubis, M dan J.C. Scott. 1997. Korupsi Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Lubis, M. Solly. 1997. Pembahasan UUD 1945. Bandung: Alumni.

Malo, Monase. 1985. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Karunika.

Moeljono, Djokosantoso. 2003. Beyond Leadership. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Nashriana. 2010. Asset Recovery dalam Tindak Pidana Korupsi: Upaya Pengembalian Kerugian Keuangan Negara. Pelembang: Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. http//:eprints.unsri.ac.id. Diakses tanggal 19 Maret 2014.

Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Purba, Afrillyana. 2005. Trips - WTO & Hukum HKI Indonesia: Kajian Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2010. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Rafi, Abu Fida Abdul. 2006. Terapi Penyakit Korupsi. Jakarta: Republik.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Riberu, J. 1992. Dasar-Dasar Kepemimpinan. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.

Saraswati, Ekarini. 2003. Sosiologi Sastra: Sebuah Pemahaman Awal. Malang: Bayu Media dan UMM Press.

Shihab, Quraish. 2006. Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan.

Sirait, Midian. 1997. Paham Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Slamet, D.S. dkk. 2003. Peribahasa Jawa sebagai Cermin Watak, Sifat, dan Perilaku Manusia Jawa. Jakarta: Pusat Bahasa.


(4)

Soegeng, Toekio. 1981. Tutup Kepala Tradisional Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Soekarno, 1964. Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1, Cetakan Ketiga. Jakarta: Penerbit di Bawah Bendera Revolusi.

Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi (Edisi Terjemahan oleh Sugihastusti dan Rossi Abi Al Irsyad). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Subroto. 1992. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Grafindo Persada.

Sudjiman, Panuti. 1986. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sujanto, Bedjo. 2007. Pemahaman Kembali Makna Bhinneka Tunggal Ika dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara. Jakarta: Sagung Seto.

Sukada, Made. 1993. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa.

Sulistyarini, Rr Indah Ria. 2010. Pelatihan Kebersyukuran untuk Meningkatkan Proactive Coping Pada Survivor Bencana Gunung Merapi. Yogyakarta: Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Islam Indonesia.

Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

Surachmad. 1990. Dasar dan Teknik Researce: Pengantar Metodologi Ilmiah. Bandung: Sinar Harapan.

Suradi. 2006. Korupsi dalam Sektor Pemerintah dan Swasta. Yogyakarta: Gara Media. Waluyo, Herman J. 2002. Pengakajian Prosa Fiksi. Surakarta: UNS Press.

Waluyo, Herman J. 2006. Puisi Prosa Fiksi dan Drama bagian II. Surakarta: UNS Press.

Tarigan, Henry Guntur. 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

Teeuw, A. 1991. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.

Tim Kerja Sosialisasi MPR, 2012. Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: MPR.

Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1988. Aneka Ragam Khasanah Budaya NusantaraI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Tim Redaksi Fokus Media. 2008. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bandung: Fokus Media.


(5)

SINOPSIS NOVEL 5 cm.

KARYA DONNY DHIRGANTORO

Novel ini merupakan kisah dari lima orang bersahabat yang mengaku manusia-manusia agak pintar, sedikit tolol dan sok tahu tentang semua hal. Mereka adalah Arial, Riani adalah orang yang memakai kacamata, cantik, cerdas, dan seorang yang selalu mengutamakan prestasi. hidupnya. Ian adalah sosok yang gendut dan kepalanya botak plontos. Genta adalah seorang pemimpin di kelompok ini, Genta merupakan sosok yang mempunyai perawakan badan yang agak besar dengan rambut agak lurus berjambul.

Lagu Picture of You miliknya The Cure terdengar lembut dari tape mobil Ian di sepanjang jalan Diponegoro, Menteng. Lima orang di dalam mobil itu baru saja makan bubur ayam di Cikini. Mereka sepakat, entah untuk ke berapa kalinya pergi ke rumah Arial. Tiba-tiba Genta berucap kepada teman-temannya supaya tidak berjumpa sementara untuk beberapa bulan. Riani yang pada awalnya tidak setuju dengan ide Genta, akhirnya mau untuk tidak berjumpa dengan teman-temannya selama tiga bulan. Mereka sepakat untuk bertemu kembali yaitu pada tanggal 14 Agustus. Genta meyakinkan kepada teman-temannya bahwa dia akan memberikan informasi tentang rencana yang akan mereka lakukan pada tanggal 14 Agustus tersebut.

Pada tanggal 7 Agustus, pukul sembilan pagi, Genta memberikan informasi kepada teman-temannya tentang rencana yang akan mereka lakukan pada tanggal 14 Agustus. Genta mengatakan kepada teman-temannya bahwa mereka akan berkumpul pada tanggal 14 Agustus di stasiun kereta api Senen pukul dua siang. Genta juga mengatakan kepada temannya bahwa mereka harus membawa tas gunung, baju hangat, senter, baterai, makanan ringan untuk empat hari, kacamata hitam, betadine, obat, sandal sepatu. Genta juga mengingatkan kepada teman-temannya terutama Ian, agar melakukan olahraga kecil-kecilan.

Pada tanggal 14 Agustus, pukul satu lebih tiga puluh lima menit, di stasiun kereta api Senen terasa panas sekali. Genta yang membawa barang bawaan yang sangat banyak, sedang menikmati makan siang di salah satu restoran Padang. Tiba-tiba Genta meliha dengan tas yang besar, baju oranye menyala, celana pendek, dan kacamata hitam dari kejauha hati mereka. Kemudian Riani dan Ian yang baru sampai di stasiun kereta api Senen juga langsung menghampiri adiknya yang bernama Arinda juga langsung menghampiri mereka berempat.

Pukul setengah tiga lebih, mereka berenam yang membawa barang bawaan cukup banyak menuju ke kereta yang siap untuk berangkat. Mereka menaiki kereta ekonomi Matarmaja, yang melayani trayek Malang-Jakarata. Kereta tersebut terlihat tua dan kumuh, dengan kaca-kaca yang sudah pecah. Setelah membereskan barang bawaan, mereka duduk berenam, berhadap-hadapan. Riani dan Dinda duduk berhadapan di pojok dekat jendela. Genta di sebelah Riani berhadapan dengan Arial, da dengan Ian. Lima menit kemudian kereta pun mulai bergerak meninggalkan stasiun kereta api Senen. Kereta bergerak perlahan dengan sesekali mengeluarkan angin dari sambungan gerbongnya.

Ian lalu bercerita tentang jungkir baliknya dia selama dua bulan. Ian menceritakan semua hal yang dialaminya selama dua bulan tersebut, mulai dari sikap pantang menyerahnya dia dalam mengerjai skripsi, mengalami dua kali penolakan terhadap kuisionernya,


(6)

menghadapi dosen pembimbingnya, melihat keriput tangan kedua orang tuanya, dan merasakan sidang skripsinya. Sementara Arial mulai bercerita tentang Indy, wanita yang telah merebut hatinya. Arial menceritakan kepada teman-temanya tentang sosok Indy yang memiliki paras yang biasa saja tetapi enak untuk dilihat dan tidak membuat bosan. Indy yang selama ini selalu mengisi hari-harinya.

Pada saat tengah malam, kereta yang membawa mereka mulai memasuki kota-kota di Jawa Tengah. Kereta melaju dengan cepat melewati jalan desa dan jalan kota yang damai dan sepi. Pukul setengah tiga malam, Genta, Riani menginjakkan kaki di ubin putih yang mulai kekuningan di stasiun Lempuyangan, Jogjakarta. Mereka berjalan ke toilet stasiun yang ada di antara para pedagang yang masih mencari rezeki di malam yang terasa dingin.

Mereka berempat segera berjalan masuk ke kereta. Perlahan tapi pasti, kereta mulai berjalan meninggalkan stasiun Lempuyangan. Kereta mulai melaju cepat melewati hutan jati antara Madiun dan Nganjuk. Keenam anak manusia ini pun sudah lepas dari rasa kantuknya, dan kembali bercanda di kereta. Pagi yang begitu cerah seakan menyambut rombongan yang jauh dari rumah ini.

Pukul setengah tiga lebih, mereka tiba di stasiun Malang. Matahari sore yang sudah enggan mengeluarkan panasnya datang menyambut. Sebelum meninggalkan kereta, sekali lagi mereka memandang kereta yang terdiam lelah setelah berlari seharian penuh, kereta yang dalam diamnya telah banyak bercerita tentang beragam manusia. Rombongan pecinta alam itu menarik perhatian banyak orang di stasiun Malang. Rasa pegal belum hilang benar dari badan mereka, sehingga mereka memutuskan untuk duduk sebentar di bangku stasiun yang panjang untuk meluruskan kaki dan menghilangkan penat.

Matahari sore masih tersisa sedikit, menembus pepohonan di jalan desa kecil. Sore itu di Tumpang banyak sekali kesibukan jip-jip menunggu pendaki yang mulai berdatangan dengan berbagai macam tas gunung yang besar. Penampilan mereka mirip semua karena memang mempunyai tujuan yang sama yaitu Mahameru. Mereka mulai melangkah, menyusuri jalan berbatu desa yang akhirnya berbelok ke jalan setapak kecil menuju ke punggung Mahameru. Perjalanan berlanjut menembus pinggir hutan, punggung Mahameru. Tampak dari ketinggian pinggiran lereng hutan Mahameru, Ranu Kumbolo perlahan muncul seperti tetesan air raksasa yang jatuh dari langit dan membesar di depan mereka.

Pukul dua malam, keadaan terasa dingin di atas tiga ribu meter dari permukaan laut. Keenam anak manusia itu tertegun melihat puncak Mahameru dalam gelap malam. Rombongan mulai bergerak, berjalan melewati hutan cemara yang gelap. Puncak Mahameru seperti sebuah gundukan pasir mahabesar dengan tebaran batu karang gunung di mana-mana. Jalur pendakian terlihat terang dipenuhi sinar bulan dan cahaya senter para pendaki yang mulai mendaki Gunung Semeru.

Matahari pagi 17 Agustus pun terbit, sinar matahari yang hangat menyapa badan dingin mereka. Keenam anak manusia itu seperti melayang saat menjejakkan kaki di tanah tertinggi Pulau Jawa. Waktu seperti terhenti, dataran luas berpasir itu seperti sebuah papan besar menjulang indah di ketinggian menggapai langit, di sekeliling mereka tampak langit biru sebiru-birunya dengan sinar matahari yang begitu dekat. Awan putih berkumpul melingkar di bawah mereka. Asap putih tebal yang membubung di depan mereka sekarang terlihat jelas sekali kepulannya. Para pendaki tampak berbaris teratur di puncak Mahameru. Tertancap tiang bendera bambu yang berdiri tinggi sendiri di depan barisan upacara dengan latar belakang kepulan asap Mahameru dan langit biru.

Rombongan anak manusia itu pun dengan khidmat dan penuh tangis haru melaksanakan upacara bendera di tanah tertinggi Pulau Jawa. Mereka tidak henti-hentinya mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan mereka negeri yang begitu Indah yang bernama Indonesia.