TESIS SINERGI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN K (1)

TESIS SINERGI KEBIJAKAN
PENANGGULANGAN KEMISKINAN
BERBASIS PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT
pascasarjana

(KODE : PASCSARJ-0107) : TESIS SINERGI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN
KEMISKINAN BERBASIS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (PRODI : MAGISTER
ADMINISTRASI PUBLIK)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sampai saat ini, Pemerintah dan Pemerintah Daerah di Indonesia masih menghadapi
permasalahan kemiskinan yang bersifat multidimensional. Kemiskinan menjadi
sebab dan akibat dari lingkaran setan (vicious cyrcle)-rangkaian permasalahan
pengangguran, rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia, dan rendahnya
tingkat kesejahteraan masyarakat. Kondisi tersebut digambarkan dengan masih
tingginya jumlah penduduk miskin dan jumlah pengangguran terbuka, serta masih
rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (Indonesia) Indonesia dibanding mayoritas
negara-negara lain. Kualitas sumber daya manusia ditandai oleh indeks

pembangunan manusia (IPM) atau human development index (HDI). Indeks
pembangunan manusia merupakan indikator komposit status kesehatan yang dilihat
dari angka harapan hidup saat lahir, taraf pendidikan yang diukur dengan angka
melek huruf penduduk dewasa dan gabungan angka partisipasi kasar jenjang
pendidikan dasar, menengah, tinggi, serta taraf perekonomian penduduk yang
diukur dengan pendapatan domestik bruto (PDB) per kapita dengan paritas daya
beli.
Merujuk data dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
Tahun 2010-2014, perkembangan jumlah penduduk miskin, jumlah pengangguran,
dan indeks pembangunan manusia (IPM) di Indonesia antara tahun 2004-2009

sebagai berikut:
* Tabel sengaja tidak ditampilkan *
Berdasarkan data dalam Surat Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat,
Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Bapermas,
P3AKB) Kota X Nomor 511.1/662/VIII/2009 tentang Permohonan Alokasi Raskin Bulan
Agustus 2009; dan data Bagian Administrasi Pemerintahan Sekretariat Daerah Kota
X, diketahui bahwa Rumah Tangga Sasaran (RTS) penerima raskin : tahun 2008
sebanyak 26.521 KK, tahun 2009 sebanyak 22.729 KK dan tahun 2010 sebanyak
21.954 KK yang terdiri dari 11.251 rumah tangga hampir miskin, 7.135 rumah

tangga miskin, dan 3.568 rumah tangga sangat miskin. Merujuk data dari Bappeda
Kota X dan Bapermas, P3AKB Kota X, bahwa jumlah penduduk miskin di Kota X pada
tahun 2009 mencapai 104.988 jiwa, ditambah jumlah gakin di Panti Sosial, Diffabel,
total penduduk miskin di Kota X sebanyak 106.389 jiwa.
Untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia, berbagai program penanggulangan
kemiskinan telah digulirkan oleh Pemerintah sejak era Orde Baru hingga saat ini.
Beberapa program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat
yang pernah dilaksanakan yaitu : Kredit Usaha Kecil (KUK), Kredit Industri Kecil (KIK),
Kredit Candak Kulak (KCK), Inpres Desa Tertinggal (IDT), Padat Karya, Jaring
Pengaman Sosial- Program Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (JPS-PDMDKE),
Program Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah (P2MPD), P4K, TPSPKUD, Unit Ekonomi Desa dan Simpan Pinjam (UEDSP), Pengembangan Kawasan
Terpadu, Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan
Kemiskinan Perkotaan (P2KP).
Dalam era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (Kabinet Indonesia
Bersatu I), Pemerintah menetapkan salah satu prioritas dan arah kebijakan
pembangunan untuk menanggulangi kemiskinan. Sesuai dengan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, khususnya
berkaitan dengan agenda peningkatan kesejahteraan masyarakat, salah satu
sasarannya yaitu : menurunkan jumlah penduduk miskin menjadi 8,2% dan
pengurangan pengangguran menjadi 5,1% dari total angkatan kerja pada tahun

2009.
Pemerintah meluncurkan tiga kelompok (kluster) program penanggulangan. Dalam
materi presentasi Deputi Menkokesra Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan
(2008) yang berjudul "Harmonisasi Program-Program Penanggulangan Kemiskinan

Berbasis Pemberdayaan Masyarakat" dan Buletin Sambung Hati 9949 edisi bulan
November 2009, terdapat tiga kluster program untuk penanggulangan kemiskinan
yaitu :
1. Program-Program dalam kluster program Bantuan dan Perlindungan Sosial.
Kelompok program ini bertujuan untuk melakukan pemenuhan hak dasar,
pengurangan beban hidup, serta perbaikan kualitas hidup masyarakat miskin.
Program ini dianalogikan dengan pemberian ikan kepada masyarakat miskin dan
kelompok rentan lainnya seperti kaum miskin, lansia, korban bencana dan konflik,
penyandang cacat, komunitas adat terkecil, yang jumlahnya 19,1 juta Rumah Tangga
Sasaran (RTS) secara nasional. Program-program dalam Kluster ini meliputi : Jaminan
Kesehatan Masyarakat, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Langsung Tunai
(BLT), Beras untuk Rumah Tangga Miskin (Raskin), Bantuan Tunai Bersyarat (BTB)
atau Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan untuk Pengungsi/Korban Bencana,
Bantuan untuk Penyandang Cacat dan Bantuan untuk Kelompok Lansia. Bantuan
untuk Penyandang Cacat diberikan kepada penyandang cacat permanen, dalam arti

tidak dapat menghidupi diri sendiri dan sepenuhnya tergantung kepada orang lain
dalam melakukan aktivitas. Pemerintah memberikan bantuan dana jaminan sosial
bagi penyandang cacat berat dengan indeks Rp 300.000 per orang per bulan selama
12 bulan. Bantuan pelayanan dan jaminan sosial lansia terlantar diberikan kepada
masyarakat yang tidak berdaya secara fisik, ekonomi, dan sosial. Bantuan Lansia
dikirim lewat PT POS Indonesia dan para pendamping bertugas mengantar dana
bantuan tersebut kepada penerima yang berhak. Pemerintah memberikan bantuan
dana jaminan sosial bagi Lansia dengan indeks Rp 300.000 per orang per bulan
selama 12 bulan. Anggaran dan Sasaran Program-Program Bantuan dan
Perlindungan Sosial tercantum dalam tabel berikut :
2. Program-Program Pemberdayaan Masyarakat. Kluster ini diibaratkan sebagai kail,
dimana pemerintah melaksanakan program-program yang tergabung dalam Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. PNPM Mandiri yang diluncurkan
pemerintah pada 30 April 2007. Melalui Program ini dibangun infrastruktur seperti
jalan kampung, jembatan, irigasi, air bersih, sarana pendidikan, sarana kesehatan,
bantuan dana bergulir untuk usaha, unit ekonomi produktif (UEP), simpan pinjam
perempuan (SPP) dan sebagainya. Anggaran PNPM Mandiri tahun 2007 sebesar Rp
2,794 triliun, tahun 2008 sebesar Rp 5,924 triliun, dan tahun 2009 sebesar Rp 7,647
triliun. Tahun 2008 untuk PNPM Penguatan mencakup 3,999 kecamatan dan 47.954
desa dan Sasaran 500.000 RTSM di Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa

Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Timur. 700.000 RTSM 13

provinsi. Enam provinsi tambahan adalah NAD, Sumatera Utara, DIY, Banten, Nusa
Tenggara Barat dan Kalimantan Selatan.
3. Program UMKM untuk Kemandirian Masyarakat. Dalam upaya mengurangi
kemiskinan dan pengangguran, serta memberdayakan usaha mikro, kecil, dan
menengah (UMKM), pemerintah melaksanakan program Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Kluster ini diibaratkan sebagai perahu, di mana UMKM mendapat kredit usaha dari
bank-bank milik negara yaitu Bank BRI, Bank BNI, Bank Mandiri, dan Bank Syariah
Mandiri, Bank Bukopin dan Bank BTN. Hingga Oktober 2009 KUR yang telah
disalurkan sebesar Rp 8.332.161.000.000 dengan jumlah nasabah 2.236.926 orang.
Pada tahun 2008, KUR menciptakan lapangan kerja untuk 4,59 juta orang. Pada
tahun 2009 diperkirakan akan membuka lapangan kerja untuk 6 juta orang.
Alokasi anggaran untuk penanggulangan kemiskinan yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yaitu : pada tahun 2004 mencapai Rp 19
triliun, tahun 2005 meningkat 26.3 % menjadi Rp 24 triliun, tahun 2006 meningkat
70.8 % menjadi Rp 41 triliun, tahun 2007 meningkat 24.4% menjadi Rp 51 triliun dan
tahun 2008 meningkat 13.7 % menjadi Rp 58 triliun dan tahun 2009 meningkat 12 %
menjadi 66,2 triliun.
Berbagai program penanggulangan kemiskinan dengan dukungan peningkatan

anggaran untuk pengentasan kemiskinan yang cukup signifikan sejak tahun 2004
hingga tahun 2009, mampu menurunkan jumlah penduduk miskin di Indonesia
walaupun tidak secara drastis. Tingkat kemiskinan yang pada tahun 2007 sebesar
16,58 persen, pada tahun 2008 sudah menurun menjadi sebesar 15,42 persen, pada
tahun 2009 tingkat kemiskinan menurun lagi menjadi 14,15 persen. Tetapi, target
yang ditetapkan dalam RPJMN Tahun 2004-2009 untuk menurunkan jumlah
penduduk miskin menjadi 8,2% pada tahun 2009 tidak tercapai.
Dalam era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono (Kabinet Indonesia
Bersatu II), Pemerintah tetap menetapkan salah satu prioritas dan arah kebijakan
pembangunan untuk menanggulangi kemiskinan. Berdasarkan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014, sasaran bidang
penanggulangan kemiskinan dan pemerataan pembangunan adalah menurunkan
tingkat kemiskinan menjadi sebesar 8-10% pada akhir 2014.
Untuk mencapai sasaran tersebut, arah kebijakan dan prioritas program
penanggulangan kemiskinan yang diluncurkan Pemerintah tahun 2010-2014 dalam
tabel berikut yaitu : Pertama, meningkatkan pertumbuhan pada sektor-sektor yang
menyerap tenaga kerja dan efektif menurunkan kemiskinan. Kedua, Meningkatkan
kualitas dan efektivitas kebijakan dalam rangka mempercepat penurunan

kemiskinan. Ketiga, meningkatkan efektivitas pelaksanaan penurunan kemiskinan di

daerah khususnya daerah tertinggal dan korban bencana.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2009 tentang Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan, kelompok program penanggulangan kemiskinan terdiri
dari kelompok program : berbasis bantuan dan perlindungan sosial, berbasis
pemberdayaan masyarakat, dan berbasis pemberdayaan usaha mikro dan kecil.
Untuk menanggulangi kemiskinan di Kota X, beberapa program Pemerintah Pusat
yang dilaksanakan antara lain : Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas),
Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Beras untuk
Masyarakat Miskin (Raskin), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat MandiriPerkotaan (PNPM Mandiri Perkotaan), Program Pemberdayaan Fakir Miskin Melalui
Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (PPFM-BLPS) atau dikenal dengan Kelompok
Usaha Bersama Ekonomi (KUBE), dan Padat Karya Produktif serta Kredit Usaha
Rakyat (KUR).
Menindaklanjuti pelaksanaan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan
yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, dan dalam rangka desentralisasi dan
otonomi daerah saat ini, Pemerintah Daerah berperan besar untuk menanggulangi
kemiskinan. Pemerintah Daerah dengan didukung stakeholders dan masyarakat,
dapat mengembangkan prakarsa untuk menyusun berbagai kebijakan dan
melaksanakan program-program penanggulangan kemiskinan yang berbasis
pemberdayaan masyarakat. Pemerintah Daerah juga dapat berperan dengan
menyediakan dana atau program pendamping untuk pelaksanaan program-program

dari Pemerintah Pusat.
Beberapa program berbasis pemberdayaan masyarakat yang diluncurkan oleh
Pemerintah Kota X meliputi : Program bantuan perbaikan/rehap Rumah Tidak Layak
Huni (RTLH); Sanitasi Masyarakat (Sanimas); Bantuan operasional Posyandu Balita
dan Lansia; Kegiatan pendidikan ketrampilan, pembangunan tempat usaha,
pinjaman modal bergulir untuk koperasi dan usaha mikro kecil dan menengah
(UMKM); Solo Techno Park; Pengembangan Wisata Kuliner-Galabo, alokasi Dana
Pembangunan Kelurahan (DPK) dan Program Terpadu Pemberdayaan Masyarakat
Berbasis Gender (P2MBG).
Program-program pemberdayaan dari Pemerintah dan Pemerintah Kota X yang
dilaksanakan di tingkat kelurahan meliputi : PNPM Mandiri Perkotaan, BLPS- P2FM
(KUBE), Bantuan Rehap RTLH, P2MBG, Padat Karya Produktif dan DPK.
Untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas kebijakan dalam rangka mempercepat
penurunan kemiskinan, salah satunya melalui sinkronisasi kebijakan dan program

penanggulangan kemiskinan, serta harmonisasi antar pelaku. Berbagai program
pemberdayaan masyarakat dari Pemerintah dan Pemerintah Kota X memerlukan
sinergi baik dalam tataran kebijakan, kelembagaan dan implementasi program.
Penanggulangan kemiskinan memerlukan perubahan yang cukup sistemik dan
menyeluruh, namun penanganannya selama ini cenderung parsial sektoral, tidak

terintegrasi, dan belum sinergis.
Dalam dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Di Kota X (2008:3), disebutkan
: tindakan penanganan kemiskinan menghadapi permasalahan dan tantangan,
antara lain : 1) Indikator atau tolok ukur kriteria penduduk miskin masih banyak
perbedaan diantara beberapa SKPD, sehingga data yang dihasilkan juga berbeda. 2)
Belum sepenuhnya memberdayakan masyarakat. 3) Terjadi salah sasaran. 4) Tidak
optimalnya pengelolaan dana. 5) Usaha yang dipilih tidak berorientasi pasar. 6)
Distribusi dana kurang mendasarkan pada kebutuhan nyata. 7) Belum terpadunya
pelaksanaan kegiatan. 8) Mental dan perilaku, pola ketergantungan pada bantuan
dan lemahnya motivasi untuk melakukan usaha produktif. 9) Perilaku budaya
masyarakat yang senang menerima bantuan sehingga apabila ada pendataan untuk
bantuan jumlah masyarakat miskin selalu bertambah. 10) Program yang bergulir di
masyarakat setelah selesai tidak ada mekanisme monitoring dan evaluasinya. 11)
Lemahnya koordinasi masing-masing SKPD saat menyusun intervensi kemiskinan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka penelitian tentang Sinergi Kebijakan
Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Di Kota X relevan
dan menarik untuk dilakukan. Program-program pemberdayaan masyarakat yang
diteliti mencakup : PNPM Mandiri Perkotaan, KUBE, Bantuan Rehap RTLH, P2MBG,
dan DPK.
B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan
dan menganalisa sinergi kebijakan penanggulangan kemiskinan berbasis
pemberdayaan masyarakat di Kota X. Secara terperinci, permasalahan yang ingin
dijawab dalam penelitian ini yaitu :
1. Bagaimana kebijakan dan kelembagaan yang mendukung sinergi dalam
penanggulangan kemiskinan di Kota X ?
2. Bagaimana bentuk-bentuk sinergi dalam implementasi program-program
penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan
di tingkat kelurahan di Kota X?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan :
1. Mendeskripsikan kebijakan dan kelembagaan yang mendukung sinergi dalam
penanggulangan kemiskinan di Kota X.
2. Mendeskripsikan dan menganalis bentuk-bentuk sinergi dalam implementasi
program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat
yang dilaksanakan di tingkat kelurahan di Kota X.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu:
1. Manfaat Praktis.

Memberikan rekomendasi untuk sinergi dalam penanggulangan kemiskinan berbasis
pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan di tingkat kelurahan di Kota X.
2. Manfaat Akademik.
Mengembangkan pengetahuan tentang sinergi dalam inplementasi kebijakan
penanggulangan kemiskinan yang mendasarkan pada kajian teori governance dan
teori kolaborasi collaboration. Teori governance merupakan basis teori untuk
menjelaskan dan menganalisa sinergi peran antar pelaku (aktor) kebijakan
penanggulangan kemiskinan. Teori kolaborasi untuk menjelaskan dan menganalisa
bentuk-bentuk sinergi.

BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
masalah
Belakangan ini, dalam segala aspek yang berhubungan dengan pemerintahan,
reformasi birokrasi menjadi isu yang sangat kuat untuk direalisasikan. Terlebih
lagi,birokrasi pemerintah Indonesia telah memberikan sumbangsih yang
sangat besar terhadap kondisi keterpurukan bangsa Indonesia dalam krisis
multidimensi yang berkepanjangan. Birokrasi yang telah dibangun oleh
pemerintah sebelum era reformasi telah membangun budaya birokrasi yang
kental
dengan
korupsi,
kolusi,
dan
nepotisme
(KKN).
Akan tetapi, pemerintahan pasca reformasi pun tidak menjamin
keberlangsungan reformasi birokrasi terealisasi dengan baik. Kurangnya
komitmen pemerintah pasca reformasi terhadap reformasi birokrasi ini
cenderung berbanding lurus dengan kurangnya komitmen pemerintah
terhadap pemberantasan KKN yang sudah menjadi penyakit akut dalam
birokrasi pemerintahan Indonesia selama ini. Sebagian masyarakat
memberikan cap negatif terhadap komitmen pemerintah pascareformasi
terhadap reformasi birokrasi. Ironisnya, sebagian masyarakat Indonesia saat
ini, justru merindukan pemerintahan Orde Baru yang dinggap dapat
memberikan kemapanan kepada masyarakat, walaupun hanya kemapanan
yang
bersifat
semu.
Agar Indonesia tidak semakin jatuh maka birokrasi Indonesia perlu melakukan
reformasi secara menyeluruh. Reformasi itu sesungguhnya harus dilihat dalam

kerangka teoritik dan empirik yang luas, mencakup didalamnya penguatan
masyarakat sipil (civil society), supremasi hukum, strategi pembangunan
ekonomi dan pembangunan politik yang saling terkait dan mempengaruhi.
Dengan demikian, reformasi birokrasi juga merupakan bagian tak terpisahkan
dalam
buruknya
birokrasi
saat
ini.
1.2
Rumusan
Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, penulis mengemukakan
beberapa
rumusan
masalah,
diantaranya:
1.
Apakah
yang
dimaksud
dengan
reformasi
birokrasi?
2.
Bagaimana
reformasi
birokrasi
di
Indonesia?
3. Bagaimana birokrasi Indonesia sebelum adanya reformasi birokrasi?
4. Bagaimana mekanisme pelaksanaan reformasi birokrasi yang seharusnya
dilakukan
oleh
pemerintah
guna
mengatasi
patologi
birokrasi?
1.3
Tujuan
Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mngkaji kembali bagaimana sebenarnya
pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia. Selain itu, pembuatan makalah
ini juga bertujuan untuk mengkaji lebih dalam mengenai bagaimana proses
dari reformasi birokrasi itu sendiri di Indonesia guna mengatasi patologi
birokrasi
di
Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Reformasi
Birokrasi
2.1.1
Definisi
Reformasi
Birokrasi
Birokrasi bukanlah suatu fenomena yang baru bagi kita karena sebenarnya
telah ada dalam bentuknya yang sederhana sejak beribu-ribu tahun yang lalu.
Namun demikian kecenderungan mengenai konsep dan praktek birokrasi telah
mengalami perubahan yang berarti sejak seratus tahun terakhir ini. Dalam
Masyarakat yang modern, birokrasi telah menjadi suatu organisasi atau
institusi yang penting. Pada masa sebelumnya ukuran negara pada umumnya
sangat kecil, namun pada masa kini negara-negara modern memiliki luas
wilayah, ruang lingkup organisasi, dan administrasi yang cukup besar dengan
berjuta-juta
penduduk.
Reformasi adalah mengubah atau membuat sesuatu menjadi lebih baik
daripada yang sudah ada. Reformasi ini diarahkan pada perubahan
masyarakat yang termasuk didalamnya masyarakat birokrasi, dalam
pengertian perubahan ke arah kemajuan. Dalam pengertian ini perubahan
masyarakat diarahkan pada development (Susanto, 180). Karl Mannheim
sebagaimana disitir oleh Susanto menjelaskan bahwa perubahan masyarakat
adalah
berkaitan
dengan
norma-normanya.
Development
adalah
perkembangan yang tertuju pada kemajuan keadaan dan hidup anggota
masyarakat, dimana kemajuan kehidupan ini akhirnya juga dinikmati oleh
masyarakat. Dengan demikian maka perubahan masyarakat dijadikan sebagai
peningkatan martabat manusia, sehingga hakekatnya perubahan masyarakat
berkait erat dengan kemajuan masyarakat. Dilihat dari aspek perkembangan
masyarakat tersebut maka terjadilah keseimbangan antara tuntutan ekonomi,
politik, sosial dan hukum, keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta
konsensus antara prinsip-prinsip dalam masyarakat (Susanto: 185-186).
Reformasi ini harus dilakukan oleh pejabat tertinggi, seperti presiden dalam
suatu negara atau menteri/kepala lembaga pada suatu departemen dan
kementerian negara/lembaga negara, sebagai motor penggerak utama.

Reformasi birokrasi di Indonesia belum berjalan dengan maksimal. Indikasinya
adalah buruknya pelayanan publik dan masih maraknya perkara korupsi.
Reformasi birokrasi merupakan salah satu cara untuk membangun
kepercayaan rakyat. Reformasi birokrasi adalah suatu usaha perubahan pokok
dalam suatu sistem yang tujuannya mengubah struktur, tingkah laku, dan
keberadaan atau kebiasaan yang sudah lama. Ruang lingkup reformasi
birokrasi tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga
mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan sikap serta tingkah laku. Hal
ini berhubungan dengan permasalahan yang bersinggungan dengan
wewenang
dan
kekuasaan.
Reformasi birokrasi adalah sebuah harapan masyarakat pada pemerentah
agar mampu memerangi KKN dan membentuk pemerintahan yang bersih
serta keinginan masyarakat untuk menikmati pelayanan public yang
efisien,responsip dan akuntabel. Maka dari itu masyarakat perlu mengetahui
reformasi birokrasi yang dilakukan saat ini agar kehidupan bernegara berjalan
dengan baik,msyarakat juga berposisi sebagai penilai dan pihak yang dilayani
pemerintah.
Pada dasarnya Reformasi Birokrasi adalah suatu perubahan signifikan
elemen-elemen birokrasi seperti kelembagaan, sumber daya manusia
aparatur, ketatalaksanaan, akuntabilitas, aparatur, pengawasan dan
pelayanan publik, yang dilakukan secara sadar untuk memposisikan diri
(birokrasi) kembali, dalam rangka menyesuaikan diri dengan dinamika
lingkungan yang dinamis. Perubahan tersebut dilakukan untuk melaksanakan
peran dan fungsi birokrasi secara tepat, cepat dan konsisten, guna
menghasilkan manfaat sesuai diamanatkan konstitusi. Perubahan kearah yang
lebih baik, merupakan cerminan dari seluruh kebutuhan yang bertitik tolak
dari fakta adanya peran birokrasi saat ini yang masih jauh dari harapan.
Realitas ini, sesungguhnya menunjukan kesadaran bahwa terdapat
kesenjangan antara apa yang sebenarnya diharapkan, dengan keadaan yang
sesungguhnya
tentang
peran
birokrasi
dewasa
ini.
2.1.2
Tujuan
Reformasi
Birokrasi
1. Memperbaiki kinerja birokrasi agar lebih efektif dan efisien.
2. Terciptanya birokrasi yang profesional, netral, terbuka, demokratis, mandiri,
serta memiliki integritas dan kompetensi dalam melaksanakan tugas dan
tanggung
jawabnya
selaku
abdi
masyarakat
dan
abdi
negara.
3.
Pemerintah
yang
bersih
(clean
government).
4.
Bebas
KKN.
5.
Meningkatkan
kualitas
pelayanan
terhadap
masyarakat.
2.1.3
Pokok-pokok
Reformasi
Birokrasi
Pemerintahan
Reformasi Birokrasi harus dimulai dari penataan kelembagaan dan
sumberdaya manusia aparatur. Langkah selanjutnya adalah membuat
mekanisme, pengaturan, sistem, dan prosedur yang sederhana tidak berbelitbelit, menegakkan akuntabilitas aparatur, meningkatkan dan menciptakan
pengawasan yang komprehensif, dan meningkatkan kualitas pelayanan publik
menuju pelayanan publik yang berkualitas dan prima. Reformasi birokrasi
perlu diprioritaskan pada unit-unit kerja pelayanan publik seperti imigrasi,
bea-cukai, pajak, pertanahan, kepolisian, kejaksaan, pemerintahan daerah dan
pada institusi atau instansi pemerintah yang rawan KKN, seperti pemerintah
pusat/daerah, kepolisian, kejaksaan, legislatif, yudikatif, dan departemen
dengan anggaran besar seperti departemen pendidikan, departemen agama,
dan
departemen
pekerjaan
umum.
Pokok-pokok Pikiran Tentang Reformasi Birokrasi Aparatur Negara dapat
digambarkan
sebagai
berikut
:
1.
Penataan
Kelembagaan
atau
Orgnisasi.

Untuk menata lembaga atau sebuah organisasi ada beberapa hal yang harus
dilakukan, diantaranya : perampingan struktur organisasi yang banyak atau
kaya fungsi, menciptakan organisasi yang efektif dan efesien, rasional, dan
proporsional, organisasi disusun berdasarkan visi, misi, dan strategi yang
jelas, mengedepankan kompetensi dan profesionalitas dalam pelaksanaan
tugas, menerapkan strategi organisasi pembelajaran (learning organization)
yang
cepat
beradaptasi
dengan
terhadap
perubahan.
2.
Sumber
Daya
Manusia
(SDM)
Aparatur.
SDM yang ingin dibangun adalah PNS yang profesional, netral, dan sejahtera,
manajemen kepegawaian modern, PNS yang profesional, netral, sejahtera,
berdayaguna, berhasilguna, produktif, transparan, bersih dan bebas KKN
untuk melayani dan memberdayakan masyarakat, jumlah dan komposisi
pegawai yang ideal (sesuai dengan tugas, fungsi dan beban kerja yang ada di
masing-masing instansi
pemerintah), penerapan sistem merit dalam
manajemen PNS, klasifikasi jabatan, standar kompetensi, sistem diklat yang
mantap, standar kinerja, penyusunan pola karier PNS, pola karir terbuka, PNS
sebagai perekat dan pemersatu bangsa, membangun sistem manajemen
kepegawaian unified berbasis kinerja, dan dukungan pengembangan database
kepegawaian, sistem informasi manajemen kepegawaian, sistem remunerasi
yang
layak
dan
adil,
menuju
manajemen
modern.
3.
Tata
Laksana
atau
Manajemen.
Ketatalaksanaan aparatur pemerintah disederhanakan, ditandai oleh
mekanisme, sistem, prosedur, dan tata kerja yang tertib, efisien, dan efektif,
melalui pengaturan ketatalaksanaan yang sederhana: standar operasi, sistem,
prosedur, mekanisme, tatakerja, hubungan kerja dan prosedur pada proses
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan pengendalian, proses
korporatisasi dan privatisasi, pengelolaan sarana dan prasarana kerja,
penerapan perkantoran elektronis dan pemanfaatan teknologi informasi (egovernment), dan apresiasi kearsipan. Juga penataan birokrasi yang efisien,
efektif, transparan, akuntabel, hemat, disiplin, dan penerapan pola hidup
sederhana. Efisiensi kinerja aparatur dan peningkatan budaya kerja,
terwujudnya sistem dan mekanisme kerja yang efektif dan efisien (dalam
administrasi pemerintahan maupun pelayanan kepada masyarakat), sistem
kearsipan yang andal (tepat guna, tepat sasaran, tepat waktu, efektif dan
efisien), otomatisasi administrasi perkantoran, dan sistem manajemen yang
efisien dan efektif. Unit organisasi pemerintah yang mempunyai potensi
penerimaan keuangan negara, statusnya didorong menjadi unit korporatisasi
dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU), BHMN, BUMD, Perum, Persero,
UPT,
UPTD,
atau
bentuk
lainnya.
4.
Akuntabilitas
Kinerja
Aparatur
Pemahaman tentang akuntabilitas terus ditingkatkan dan diupayakan agar
diciptakan Kinerja Instansi pemerintah yang berkualitas tinggi, akuntabel dan
bebas KKN, ditandai oleh Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
(SAKIP) yang efektif, sistem dan lingkungan kerja yang kondusif: berdasarkan
peraturan dan tertib administrasi, terlaksananya sistem akuntabilitas instansi
yang berguna sebagai sarana penilaian kinerja instansi dan individu oleh
stakeholders (atasan, masyarakat, dan pihak lain yang berkepentingan)
didukung sistem informasi dan pengolahan data elektronik yang terpadu
secara nasional dan diterapkan di semua departemen/lembaga di bidang
perencanaan dan penganggaran, organisasi dan ketalaksanaan, kepegawaian,
sistem akuntansi keuangan negara yang dikaitkan dengan indikator kinerja
dan pelayanan masyarakat, dan aparatur negara yang bebas KKN (kondisi

yang terkendali dari praktek-praktek penyalahgunaan kewenangan dan
penyimpangan serta pelanggaran disiplin, tingginya kinerja sumber daya
aparatur
dan
kinerja
pelayanan
publik).
5.
Pengawasan.
Pengawasan ini dilakukan dengan harapan terbangunnya sistem pengawaan
nasional dengan elemen-elemen pengawasan fungsional, pengawasan
internal, pengawasan eksternal, dan pengawasan masyarakat,ditandai oleh
sistem pengendalian dan pengawasan yang tertib, sisdalmen/waskat, wasnal,
dan wasmas, koordinasi, integrasi dan sinkronisasi aparat pengawasan,
terbentuknya sistem informasi pengawasan yang mendukung pelaksanaan
tindak lanjut, serta jumlah dan kualitas auditor profesional yang memadai,
intensitas tindak lanjut pengawasan dan penegakan hukum secara adil dan
konsisten.
6.
Pelayanan
Publik.
Pelayanan publik sebagai barometer transparansi dan akuntabilitas,
diharapkan dapat didorong upaya mewujudkan pelayanan publik yang prima
dalam arti pelayanan yang cepat, tepat, adil, dan akuntabel ditandai oleh
pelayanan tidak berbelit-belit, informatif, akomodatif, konsisten, cepat, tepat,
efisien, transparan dan akuntabel, menjamin rasa aman, nyaman, dan tertib,
kepastian (persyaratan biaya waktu pelayanan dan aturan hukum), dan tidak
dijumpai pungutan tidak resmi. Kondisi kelembagaan, SDM aparatur,
ketatalaksanaan, dan pengawasan, mampu mendukung penyelenggaraan
pelayanan publik yang berkualitas dan mendorong munculnya praktek-praktek
pelayanan yang lebih menghargai para pengguna jasa; perubahan paradigma
aparatur yang terarah dalam upaya revitalisasi manajemen pembangunan ke
arah penyelenggaraan good governance: menjadi entrepreneurial competitive
government (pemerintahan yang kompetitif), customer driven dan
accountable government (pemerintahan tanggap/responsive), serta globalcosmopolit orientation government (pemerintahan yang berorientasi global.
7.
Budaya
Kerja
Produktif,
Efisien
dan
Efektif.
Pelaksanaan Budaya Kerja Produktif, Efisien dan Efektif iniadalah untuk
membangun kultur birokrasi pemerintah yang produktif, efisien, dan efektif
terciptanya iklim kerja yang berorientasi pada etos kerja dan produktivitas
yang tinggi, melalui Pengembangan Budaya Kerja yang mengubah mindset,
pola pikir, sikap dan perilaku serta motivasi kerja; menemukenali kembali
karakter dan jati diri, membangun birokrat berjiwa entrepreneur, dengan
pengembangan budaya kerja yang tinggi (terbentuk pola pikir, sikap, tindak
dan perilaku, serta budaya kerja pegawai yang etis, bermoral, profesional,
disiplin, hemat, hidup sederhana, jujur, produktif, menghargai waktu, menjadi
panutan
dan
teladan,
serta
mendapat
kepercayaan
masyarakat).
8.
Koordinasi,
Integrasi,
dan
Sinkronisasi
Koordinasi, Integrasi, dan Sinkronisasi ini Perlu ditingkatkan koordinasi
program dan pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, pengawasan dan
pengendalian
program
pendayagunaan
aparatur
negara.
9.
Best
Practices.
Best practices yaitu Mengamati contoh keberhasilan beberapa Pemerintah
Daerah dalam melaksanakan reformasi birokrasi dan meningkatkan kualitas
pelayanan publik, antara lain Provinsi (DI Yogyakarta, Sumatera Barat, Riau,
Bali, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur), Kabupaten (Solok, Tanah
Datar, Sidoarjo, Takalar, Sragen, Karanganyar, Sleman, Bantul, Kebumen,
Jembrana, Gianyar, dan Tabanan), dan Kota (Balikpapan, Tarakan, Malang,
Sawahlunto,
dan
Pekanbaru).

2.2
Tahap-tahap Reformasi Birokrasi yang Ideal dan Strategi Reformasi
Birokrasi
a.
Tahap-tahap
Reformasi
Birokrasi
yang
Ideal
Agar reformasi birokrasi dapat berjalan baik, perlu dilakukan langkah-langkah
manajemen perubahan. Manajemen perubahan adalah proses mendiagnosis,
menginisialisasi, mengimplementasi, dan mengintegrasi perubahan individu,
kelompok, atau organisasi dalam rangka menyesuaikan diri dan
mengantisipasi perubahan lingkungannya agar tetap tumbuh, berkembang,
dan menghasilkan keuntungan. Ada tujuh langkah manajemen perubahan
yang dikutip dari Harvard Business Essentials tahun 2005, yaitu sebagai
berikut:
1.
Memobilisasi energi dan komitmen para anggota organisasi melalui
penentuan cita-cita, tantangan, dan solusinya oleh semua anggota organisasi.
Pada tahap ini, setiap lini dalam instansi pemerintah harus tahu apa yang
dicita-citakan instansi, apa yang mereka hadapi, dan cara menghadapi atau
menyelesaikan masalah itu secara bersama-sama. Agar mereka tergerak
untuk menjalankan solusi bersama, mereka perlu dilibatkan dalam diskusi dan
pengambilan
keputusan.
2. Mengembangkan visi bersama, bagaimana mengatur dan mengorganisasi
diri maupun organisasi agar dapat mencapai apa yang dicita-citakan.
3.
Menentukan kepemimpinan. Di dalam instansi pemerintahan,
kepemimpinan
biasanya
dipegang
para
pejabat
eselon.
Padahal,
kepemimpinan harus ada pada semua level agar dapat mengontrol
perubahan. Pemimpin tertinggi harus memastikan orang-orang yang
kompeten dan jujurlah yang berperan sebagai pemimpin pada level-level di
bawahnya.
4.
Fokus pada hasil kerja. Langkah itu dilakukan dengan membuat
mekanisme asessment yang dapat mengukur hasil kerja tiap pegawai atau
tiap
tim
yang
diberi
tugas
tertentu.
5.
Mulai mengubah unit-unit kecil di instansi kemudian dorong agar
perubahan
itu
menyebar
ke
unit-unit
lain
di
seluruh
instansi.
6. Membuat peraturan formal, sistem, maupun struktur untuk mengukuhkan
perubahan, termasuk cara untuk mengukur perubahan yang terjadi.
7.
Mengawasi dan menyesuaikan strategi untuk merespons permasalahan
yang
timbul
selama
proses
perubahan
berlangsung.
b.
Strategi
Reformasi
Birokrasi
1.
Pada level kebijakan, harus diciptakan berbagai kebijakan yang
mendorong Birokrasi yang berorientasi pada pemenuhan hak-hak sipil warga
(kepastian hukum, batas waktu, prosedur, partisipasi, pengaduan, gugatan).
2. Pada level organisational, dilakukan melalui perbaikan proses rekrutmen
berbasis kompetensi, pendidikan dan latihan yang sensitif terhadap
kepentingan masyarakat, penciptaan Standar Kinerja Individu, Standar Kinerja
Tim
dan
Standar
Kinerja
Instansi
Pemerintah.
3.
Pada level operasional, dilakukan perbaikan melalui peningkatan service
quality meliputi dimensi tangibles, reliability, responsiveness, assurance dan
emphaty.
4.
Instansi Pemerintah secara periodik melakukan pengukuran kepuasan
pelanggan
dan
melakukan
perbaikan.
Strategi birokrasi yang profesional dalam pelayanan publik ini ditandai dengan
beberapa
karakteristik
antara
lain:
a.
Perubahan yang besar pada orientasi administrasi negara tradisional
menuju ke perhatian yang lebih besar pada pencapaian hasil dan pertanggung
jawaban
pribadi
pimpinan.
b.
Keinginan untuk keluar dari birokrasi klasik dan menjadikan organisasi,

pegawai, masa pengabdian dan kondisi pekerjaan yang lebih luwes.
c.
Tujuan organisasi dan individu pegawai disusun secara jelas sehingga
memungkinkan dibuatkannya tolok ukur prestasi lewat indikator kinerjanya
masing-masing, termasuk pula sistem evaluasi program-programnya.
d.
Staf pimpinan yang senior dapat memiliki komitmen politik kepada
pemerintah yang ada, dan dapat pula bersikap non partisan dan netral.
e. Fungsi-fungsi pemerintah bisa dinilai lewat uji pasar (market test) seperti
misalnya dikontrakkan pada pihak ketiga tanpa harus disediakan atau
ditangani
sendiri
oleh
pemerintah.
f.
Mengurangi peran-peran pemerintah misalnya lewat kegiatan privatisasi.
g. Birokrasi harus steril dari akomodasi politik yang menghambat efektivitas
pemerintahan.
h.
Rekruitmen dan penempatan pejabat birokrasi yang bebas dari kolusi,
korupsi
dan
nepotisme.
2.3
Reformasi
Birokrasi
Di
Indonesia
Reformasi yang terjadi menyusul jatuhnya Rezim Orde Baru ternyata tidak
seperti yang diharapkan, yaitu reformasi yang mampu mengadakan
perubahan kehidupan yang berarti bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Selain itu reformasi juga diharapkan untuk mampu memerangi Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme ( KKN ) dan membentuk pemerintahan yang bersih ternyata
masih jauh dari realita. Praktek KKN dalam birokrasi pemerintahan dan
pelayanan public masih terus berlangsung malah semakin merajalela.
Keinginan masyarakat untuk menikmati pelayanan public yang efisien,
responsive dan akuntabel masih jauh dari harapan. Masuknya orang-orang
baru dalam pemerintahan, baik di legislatif maupun eksekutif juga tidak
mampu menciptakan perubahan yang berarti dalam kinerja pemerintahan.
Bahkan banyak diantara mereka akhirnya terperangkap dalam lumpur KKN
dan
ikut
memperburuk
kinerja
birokrasi
dan
pelayanan
publik.
Pada masa orde reformasi dan orde sesudahnya (hingga saat ini), reformasi
birokrasi telah banyak diwacanakan dan diagendakan,bahkan mungkin telah
betul-betul secara serius dilaksanakan. Beberapa diantaranya adalah
diberlakukannya PP No.8 tahun 2003 tentang restrukturisasi organisasi
pemerintah daerah dengan konsep MSKF (Miskin Struktur Kaya fungsi).
Tujuannya jelas adalah untuk rasionalisasi birokrasi di lingkup pemerintahan
daerah. Kemudian juga ada perubahan paradigma dari UU Nomor 5 tahun
1974 yang menggunakan the structural efficensy model menuju UU Nomor 22
tahun 1999 yang selanjutnya diperbaharui dengan UU Nomor 32 tahun 2004
yang lebih cenderung menggunakan the local democracy model (Tim Fisipol
Unwar,2006) . Agenda reformasi tersebut tampaknya merupakan jawaban
atas semakin meningkatnya tuntutan masyarakat serta banyak didorong oleh
konsep konsep perubahan yang datang dari luar Indonesia seperti
entrepreneurial bureaucracy, reinventing government, good governance dan
sebagainya.
Good governance misalnya, adalah suatu mekanisme kerja,dimana aktivitas
pemerintahan berorientasi pada terwujudnya keadilan social dimana
pemerintah diharapkan mampu secara maksimal melaksanakan 3 fungsi
dasarnya yakni service,development,empowerment. Adapun konsekuensi dari
pelaksanaan good governance,setidaknya terlihat dari 3 hal berikut :
1.
Pemerintah mengambil posisi sebagai fasilitator dan advocator
kepentingan
public.
2.
Adanya perlindungan yang nyata terhadap “ruang dan wacana”
public,serta

3.
Mengakui dan menghormati kemajemukan politik dalam rangka
mendorong
partisipasi
dan
mewujudkan
desentralisasi
(ibid).
Meskipun banyak agenda reformasi telah diintrodusir,dalam prakteknya
perubahan tersebut cukup sulit dilakukan. Beberapa data membuktikan bahwa
birokrasi public di Indonesia pada era reformasi belum sepenuhnya siap
menghadapi
perubahan.
1.
Laporan dari the world competitivness yearbook tahun 1999 yang
menyatakan bahwa birokrasi Indonesia berada pada kelompok Negara Negara
yang memiliki indeks competitivness yang paling rendah diantara 100 negara
yang
diteliti
(Cullen&
Cushman,2000).
2. Hasil penelitian PSKK UGM tahun 20000 di 3 provinsi yang menyimpulkan
bahwa kinerja birokrasi dalam pelayanan public masih amat buruk disebabkan
oleh
kuatnya
pengaruh
paternalisme
(Dwiyanto,20003).
3.
Hasil kajian political and economic risk consultancy di 14 negara tahun
2001,menyatakan adanya indikasi kinerja birokrasi di Indonesia yang makin
buruk
dan
korup
(Kompas,22
juni
2001)
Sementara itu, dalam lokus Negara berkembang, studi Dwight King (1989)
mengungkapkan beberapa sisi buram ciri birokrasi di negara berkembang
seperti
:
1.
Tidak
efisien,
antara
lain
ditandai
dengan
adanya
:

Tumpang
tindih
kegiatan
antar
instansi
 Struktur, norma, nilai,dan regulasi yang ada juga masih berorientasi pada
kekuasaan.
 Budaya birokrasi yang masih bersifat “dilayani” daripada “melayani”, dan

Banyaknya posisi-posisi terpenting dalam lembaga birokrasi kita yang
tidak
diisi
oleh
orang-orang
yang
berkompeten.
Padahal, birokrasi pada suatu negara merupakan suatu lembaga penting yang
merupakan alat negara dalam melayani masyarakat. Oleh karena itu, suatu
perubahan pada birokrasi kita harus dilaksanakan, atau melaksanakan
reformasi
birokrasi.
2.
Jumlah
pegawai
yang
berlebihan.
3.
Tidak
modern
atau
ketinggalan
jaman
4.
Seringkali
menyalahgunakan
wewenang.
5.
Tidak ada perhatian atau mengabaikan daerah daerah miskin dan tidak
tanggap atas keragaman kebutuhan dan kondisi daerah setempat.
Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Pemerintah di Indonesia pada dasarnya
dimulai sejak akhir tahun 2006 yang dilakukan melalui pilot project di
Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan.
Sejak itu, dikembangkan konsep dan kebijakan Reformasi Birokrasi yang
komprehensif yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden No.81 Tahun 2010
tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, dan Permenpan-rb No.
20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014. Selain itu,
diterbitkan pula 9 (sembilan) Pedoman dalam rangka pelaksanaan reformasi
birokrasi yang ditetapkan dengan Permenpan-rb No. 7 sampai dengan No. 15
yang meliputi pedoman tentang Pengajuan dokumen usulan sampai dengan
mekanisme persetujuan pelaksanaan reformasi birokrasi dan tunjangan
kinerja.
Pelaksanaan reformasi birokrasi di masing-masing instansi pemerintah
dilakukan berdasarkan kebijakan/program/kegiatan yang telah digariskan
dalam Grand Design Reformasi Birokrasi dan Road Map reformasi Birokrasi,
serta berbagai pedoman pelaksanaannya. Selanjutnya, pelaksanaan reformasi
birokrasi memerlukan sistem monitoring dan evaluasi yang solid dan kredibel
dan dapat mencerminkan suatu sistem pengukuran yang objektif, dan
pengguna dapat menerima dan menindaklanjuti hasil dari sistem tersebut.

Dalam rangka itu, ditetapkan Permenpanrb No. 1 Tahun 2012 tentang
Penilaian
Mandiri
Pelaksanaan
Reformasi
Birokrasi,
dan
untuk
operasionalisasinya ditetapkan Permenpanrb No. 31 Tahun 2012 tentang
Petunjuk Teknis Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Secara
Online.
Pedoman dan Petunjuk Teknis Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi
Birokrasi (PMPRB) tersebut merupakan acuan bagi instansi pemerintah untuk
melakukan penilaian upaya pencapaian program Reformasi Birokrasi sejalan
dengan pencapaian sasaran, indikator dan target nasional. PMPRB
mengkaitkan penilaian atas output dan outcome pelaksanaan program
reformasi birokrasi di instansi pemerintah, serta pencapaian Indikator Kinerja
Utama masing-masing instansi pemerintah dengan indikator keberhasilan
reformasi
birokrasi
secara
nasional.
Sistem Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB), berperan
sangat penting dalam mengetahui dan menilai serta mengawal pencapaian
reformasi
birokrasi
sebagaimana
diharapkan.
2.4

Birokrasi
Indonesia
Sebelum
Reformasi
Birokrasi di Indonesia menurut Karl D Jackson merupakan bureaucratic
polity. Model ini merupakan birokrasi dimana negara menjadi akumulasi dari
kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat dari politik dan
pemerintahan. Ada pula yang berpendapat bahwa birokrasi di Indonesia
merupakan birokrasi Parkinson dan Orwel. Hal ini disampaikan oleh Hans
Dieter Evers. Birokrasi Parkinson merujuk pada pertumbuhan jumlah anggota
serta pemekaran struktural dalam birokrasi yang tidak terkendali. Birokrasi
Orwel merujuk pada pola birokratisasi yang merupakan proses perluasan
kekuasaan pemerintah yang dimaksudkan sebagai pengontrol kegiatan
ekonomi, politik dan social dengan menggunakan regulasi yang bila perlu ada
suatu
pemaksaan.
Dari model yang diutarakan di atas dapat dikatakan bahwa birokrasi yang
berkembang di Indonesia pada masa Orde Baru adalah birokrasi yang berbelitbelit, tidak efisien dan mempunyai pegawai birokrat yang makin
membengkak.
Keadaan ini pula yang menyebabkan timbulnya penyimpanganpenyimpangan
berikut,
seperti
:
1.
Maraknya
tindak
KKN
2.
Tingginya keterlibatan birokrasi dalam partai politik sehingga pelayanan
terhadap
masyarakat
tidak
maksimal
3.
Pelayanan
publik
yang
diskriminatif
4.
Penyalahgunaan
wewenang
5.
Pengaburan
antara
pejabat
karir
dan
non-karir
2.5
Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Guna Mengatasi Patologi Birokrasi
Beberapa perubahan yang perlu dilakukan pemerintah guna merespon kesan
buruk birokrasi. Birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan
perilakunya
antara
lain:
a.
Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang
diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan
menghindarkan
kesan
pendekatan
kekuasaan
dan
kewenangan.
b.
Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan
organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan
antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani

(termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat).
c.
Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan
prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern
yakni
:
pelayanan
cepat,
tepat,
akurat,
terbuka
dengan
tetap
mempertahankan
kualitas,
efesiensi
biaya
dan
ketepatan
waktu.
d.
Birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari
pada
sebagai
agen
pembaharu
pembangunan.
e.
Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari
birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang
strukturnya
lebih
desentralistis,
inovatif,
fleksibel
dan
responsif.
Dari pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa organisasi birokrasi yang
mampu memberikan pelayanan publik secara efektif dan efesien kepada
masyarakat, salah satunya jika strukturnya lebih terdesentralisasi daripada
tersentralisasi. Sebab, dengan struktur yang terdesentralisasi diharapkan
akan lebih mudah mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan yang
diperlukan oleh masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi dapat
menyediakan
pelayanannya
sesuai
yang
diharapkan
masyarakat
pelanggannya. Sedangkan dalam kontek persyaratan budaya organisasi
birokrasi, perlu dipersiapkan tenaga kerja atau aparat yang benar-benar
memiliki
kemampuan
(capabelity),
memiliki
loyalitas
kepentingan
(competency), dan memiliki keterkaitan kepentingan (consistency atau
coherency).
Oleh karena itu, untuk merealisasikan kriteria ini Pemerintah sudah
seharusnya segera menyediakan dan mempersiapkan tenaga kerja birokrasi
professional yang mampu menguasai teknik-teknik manajemen pemerintahan
yang tidak hanya berorientasi pada peraturan (rule oriented) tetapi juga pada
pencapaian
tujuan
(goal
oriented).


BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Fenomena birokrasi selalu ada bersama kita dalam kehidupan kita sehari-hari
dan setiap orang seringkali mengeluhkan cara berfungsinya birokrasi sehingga
pada akhirnya orang akan beranggapan bahwa birokrasi tidak ada manfaatnya
karena banyak disalahgunakan oleh pejabat pemerintah (birokratisme) yang
merugikan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan adanya reformasi birokrasi
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan demokratis mensyaratkan
kinerja dan akuntabilitas aparatur yang makin meningkat. Hal ini
mengindikasikan bahwa reformasi birokrasi merupakan kebutuhan dan harus
sejalan dengan perubahan tatanan kehidupan politik, kemasyarakatan, dan
dunia usaha. Dalam peta tantangan nasional, regional, dan internasional,
aparatur negara dituntut untuk dapat mewujudkan profesionalisme,
kompetensi dan akuntabilitas. Pada era globalisasi, aparatur negara harus
siap dan mampu menghadapi perubahan yang sangat dinamis dan tantangan
persaingan dalam berbagai bidang. Saat ini masyarakat Indonesia sedang
memasuki era yang penuh tuntutan perubahan serta antusiasme akan
pengubahan. Ini merupakan sesuatu yang di Indonesia tidak dapat dibendung
lagi. Oleh karena itu, reformasi di tubuh birokrasi indonesia harus terus
dijalankan demi tidak terciptanya lagi patologi birokrasi di Indonesia.
Usaha untuk mendorong peningkatan kompetensi aparat birokrasi

pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, sebagai wujud profesionalisme
dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, harus memerhatikan tiga hal pokok
di
bawah
ini
:
1.
Peningkatan
kesejahteraan
aparat
birokrasi
pemerintah.
2.
Peningkatan
etika
dan
moral
birokrasi
pemerintah.
3.
Peningkatan
profesionalisme
birokrasi
pemerintah.
Tujuan reformasi birokrasi: Memperbaiki kinerja birokrasi, Terciptanya good
governance, yaitu tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa,
Pemerintah yang bersih (clean government), bebas KKN, meningkatkan
kualitas
pelayanan
terhadap
masyarakat.
3.2
Saran
1.
Diharapkan kepada Pemerintah untuk memperhatinkan pelayanan yang
optimal
kepada
masyarakat.
2. Untuk Peningkatan pelayanan, pemerintah harus memberikan pelayanan
yang
merata
di
berbagai
aspek
3.
Masyarakat bukan hanya sebagai pihak yang dilayani tetapi juga
pengawas pelayanan maka pemerintah haruslah memperbaiki system
pelayanan hal ini di karenakan takutnya ketidak percayaan masyarakat
kepada
pemerintah
yang
menjalankan
pelayanan.
4.
Diharapkan juga kepada masyarakat agar lebih berpartisipatif dalam
pelaksanaan reformasi birokrasi, prinsip-prinsip good governance, pelayanan
publik, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang baik, bersih,
dan berwibawa, serta pencegahan dan percepatan pemberantasan korupsi.
5.
Mengupayakan penataan perundang-undangan, dengan menyelesaikan
rancangan undang-undang yang telah ada, Agar reformasi birokrasi guna
mencegah buruknya birokrasi dapat berjalan dengan baik dengan adanya
legalitas
secara
hukum
dalam
pelaksanaannya.


DAFTAR

PUSTAKA

Benveniste, Guy. 1997. Birokrasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Dwiyanto, Agus, dkk. 2006. reformasi birokrasi public di Indonesia.
Yogyakarta:
UGM
press.
Qodri azizy, abdul. 2007. Change management dalam reformasi birokrasi.
jakarta:
gramedia,
Thoha, Miftah. 2007. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
Share This