Dinamika Perdagangan Senjata Di Asia Ten

DINAMIKA PERDAGANGAN SENJATA DI ASIA TENGGARA
2004-2008 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEAMANAN
KAWASAN
M. Sya’roni Rofii*, IIS UGM, roni080@gmai.com

Abstrak - Perdagangan senjata ibarat pedang bermata dua, di satu sisi berguna untuk
pertahanan diri, tetapi di sisi lain dapat juga memicu ketegangan antar negara. Pandangan
seperti itu bisa dilihat dari pengalaman negara-negara di sejumlah kawasan, termasuk Asia
Tenggara. Belanja besar-besaran oleh satu atau dua negara biasanya menimbulkan efek
spiral bagi negara lain dan bahkan kawasan sekitarnya. Hal menarik lainnya adalah pembelian
senjata memiliki relevansi dengan entah tingkat konflik di masing-masing negara yang
bersangkutan, pertumbuhan ekonomi cukup baik, ataupun didorong oleh upaya peningkatan
hubungan kerjasama dengan negara produsen senjata. Tulisan ini mencoba menguraikan
fenomena tersebut dengan menggunakan analisis data secara komprehensif.
Abstract - Arms trade is like a double-edged sword, on the one hand are useful for selfdefense,but
on the other hand can also lead to tensions between countries. Such a view can be seen from
the experience of countries in various regions, including Southeast Asia. Large-scale spending
by one or two states usually cause a spiral effect for other countries and even the surrounding
region. Another interesting point is the purchase of weapons have relevance to either the
level of conflict in each country concerned, economic growth, or driven by efforts to increase
cooperation with the state arms manufacturer. This paper tried to describe this phenomenon

by using a comprehensive data analysis.
Kata Kunci : arm race, military expenditure, keamanan kawasan.
PENDAHULUAN
Membahas tentang pengeluaran atau
belanja militer (military expenditure) sebuah
negara memang selalu menarik.Ia menarik
karena secara otomatis menimbulkan efek
spiral terhadap pilihan-pilihan tindakan negara
lain, khususnya negara tetangga pada tingkat
kawasan.Pengeluaran militer untuk membeli
senjata biasanya menjadi fokus perhatian
karena secara kasat mata bentuknya dapat

dilihat dan memungkinkan semua pihak
melakukan kalkulasi kekuatan berdasarkan
harga senjata di pasaran. Kegiatan belanja
persenjataan sebuah negara semacam
ini lantas memicu kecurigaan negara
tetangga dan merambah menjadi kecurigaan
dikawasan, kecurigaan ini seringkali direspon

dengan menganalisa postur kekuatan negara
tersebut untuk kemudian dilanjutkan dengan
mengimbangi apa yang dimiliki negara

* M.Sya’roni Rofii, S.HI, MA, alumnus Program
Pasca Sarjana Ilmu Hubungan Internasional,
FISIPOL UGM, asisten peneliti pada Institue of
Internasional Studies (IIS) UGM.

Universitas Pertahanan Indonesia



tetangga-kemungkinan tindakan perimbangan
di sini bisa dalam arti menyamai atau bahkan
melampaui [1].
Sebuah negara mengalokasikan anggaran
tinggi untuk keperluan militer disebabkanpaling
tidak karena beberapa hal, diantaranya adalah
pertama, negara tersebut sedang berada

dalam kondisi yang meniscayakannya untuk
memiliki infrastruktur militer yang memadai
karena kebutuhan di lapangan: ancaman
separatis, medan juang, efektifitas, dll. Kedua,
hal ini terjadi karena perekonomian negara
tersebut sedang berada dalam kondisi positif
(surplus). Ketiga, disamping perekonomian
sedang dalam kondisi positif ia terjadi juga
karena negara yang bersangkutan memiliki
ambisi untuk menjadi aktor penting di
kawasannya.
Dari sekian faktor tersebut terdapat
garis demarkasi terkait hubungan antara
pengeluaran militer dan implikasi yang
ditimbulkan oleh tindakan tersebut. Esai ini
hendak menjawab pertanyaan perihal, sejauh
mana implikasi perdagangan senjata di Asia
Tenggara terhadap keamanan di Kawasan?
Seperti apa negara-negara merespon
dinamika perdagangan senjata?

Kondisi Objektif Internasional
Perang Dingin dalam konteks hubungan
internasional oleh banyak kalangan dianggap sebagai salah satu titik penting menganalisa periodisasi evolusi kekuatan militer
negara-negara di dunia. Era pra 1990-an dan
setelahnya memang merupakan era dimana
kekuatan militer dihadapkan pada persoalan
perlombaan senjata (arm race) [2]. Setelah
Perang Dunia II kemudian dilanjutkan dengan
Era Perang Dingin. Kondisi yang ada (Perang
Dingin) kemudian secara otomatis menyebabkan kekuatan militer diistirahatkan sejenak atau dikembalikan ke “barak” karena tidak
banyak peperangan yang harus dihadapi [3].
Sementara kekuatan militer diistirahatkan



Universitas Pertahanan Indonesia

tidak lantas membuat aktifitas menyangkut militer terhenti, sebab setelah itu ada semacam
upaya recovery, evaluasi, dan pengembangan. Recovery dalam arti memulihkan kekuatan yang tadinya diterjunkan ke medan perang, tambal sulam infrastruktur militer yang
cacat atau rusak dan upaya recovery lainnya;

evaluasi terhadap kemajuan-kemajuan dan
kegagalan dalam peperangan; kemudian tentu, beralih kepada
proses jangka panjang
dan ini bisa disebut sebagai upaya pengembangan.
Dari sudut pandang pengembangan
bisa diartikan bahwa sebuah negara yang
memiliki industri pertahanan melakukan
inovasi. Setelah terjadi inovasi tentu saja
sebagai sebuah sayap bisnis akan mencari
lahan bisnis untuk menjajakan hasil
produksinya. Sementara di sisi lain negaranegara berkembang yang secara militer belum
mapan memiliki kecenderungan untuk terus
menerus “mengkonsumsi” persenjatan dari
negara-negara maju yang memiliki industri
pertahanan. Akibatnya, arus perdagangan
senjata atau dalam arti luas diistilahkan
dengan “arm transfer” terus mengalami
peningkatan. Jika dalam kondisi normal
“arm transfer” tetap mengalami peningkatan,
bagaimana jika konstelasi geopolitik dalam

situasi tegang?
Dalam beberapa dekade terakhir dunia
memang sedang dihadapkan pada beberapa
persoalan serius dan rumit. Rumit dalam
arti keadaan dunia yang sebelumnya dapat
diprediksi karena aktor tradisional memainkan
peranan penting, namun belakangan dengan
adanya aktor non-negara dalam konteks
hubungan internasional maka kalkulasi tidak
hanya fokus pada aktor tradisional seperti
negara tetapi juga kepada aktor non negara.
Barangkali ungkapan Sekretaris Jendral
NATO, Lord Robertson, yang menganggap
dunia berada dalam ketidakstabilan dapat
memberikan gambaran kondisi dunia

dalam spektrum pertahanan-keamanan,
“Some European ountries have decided to
increase their defends budgets. There are
now encouraging signs of defense industry

consolidation within Europe” [4].
Untuk lebih memudahkan melakukan
pemetaan terkait impor senjata dan letak
penggunaannya, menurut hemat penulis
paling tidak ada beberapa faktor dominan
yang menciptakan trend dan mempengaruhi
ko telasi geopolitik terkait tahun-tahun
sebelumnya dan untuk beberapa tahun ke
depan diantaranya adalah: pertama, ancaman
aktor tradisional, hal ini berarti negaranegara membangun persepsi sendiri tentang
potensi ancaman terhadap negara tetangga
ataupun pada wilayah kawasan. Seperti
serangan Amerika Serikat dan sekutusekutunya ke Irak dan Afghanistan pada
tahun 2003 menjadi catatan tersendiri bahwa
di era yang demokratis seperti sekarang
ternyata tidak menjamin perang bakal usai.
Irak untuk kawasan Timur Tengah barangkali
oleh negara tetangga akan dianggap sebagai
titik api yang suatu saat akan menjalar ke
negara negara tetangganya.

Kedua, ancaman non-tradisional,
seperti terorisme, bajak laut, dan kejahatan
transnasional lainnya. Serangan jaringan
terorisme yang diduga Al-Qaeda pada tahun
2001 menjadi catatan sendiri bagi setiap
negara. Bahwa negara sekuat AS masih
memiliki celah untuk diserang, apalagi
serangan tersebut tidak memandang target
apakah militer atau sipil, sehingga ketiadaan
pembedaa semacam ini menjadikan terorisme
sebagai salah satu ancaman berbahaya bagi
kemanan manusia (human security). Begitu
juga dengan kejadian terkait bajak laut di
kawasan lepas pantai Afrika, Somalia, dimana
sekelompok perompak melakukan aksi
serangan bersenjata untuk menggagalkan
atau menghalangi kapalkapal barang yang
melintas di kawasan tersebut. Jika ancaman

seperti inidibiarkan maka otomatis akan

menghambat iklim ekonomi Negara - negara
yang menggunakan jasa penyebarangan
dari kawasan pantai Afrika. Hal ini tentu
akan menjadi salah satu pertimbangan
negara dalam mengembangkan sistem
pertahanannya.
Ketiga,
penjagaan
kedaulatan,
secara
tradisional negara-negara telah
membangun paradigma bahwa kedaulatan
wilayah adalah harga mati, setidaknya
doktrin itu yang ditanamkan oleh negaranegara terhadap personil militer mereka [5].
Secara internasional negara-bangsa melalui
Piagam PBB telah mengakui masing-masing
kedaulatan wilayah. Di beberapa kawasan,
wilayah territorial seringkali menjadi pemicu
ketegangan. Untuk menyebut beberapa
contoh, misalnya, kawasan Ambalat yang

merupakan zona panas antara IndonesiaMalaysia, sebab bagi Indonesia Ambalat
[6] adalah bagian dari wilayah Indonesia
sementara Malaysia pun ikut mengklaim
bahwa Ambalat juga bagian dari wilayahnya.
Kasus serupa juga terjadi antara Israel-Mesir
terkait aliran Sungai Nil, atau hubungan
antara Malaysia-Singapura terkait wilayah.
Ini juga berarti menjaga kedaulatan negara
dari

ancaman

separatisme

kelompok

tertentu, seperti gerakan separatis PKK bagi
pemerintah Turki, OPM bagi pemerintah
Indonesia.
Keempat, ikut menjaga ketertiban

dunia, setiap negara memiliki konstitusi
dan hampir seluruh konstitusi negara
memimpikan sebuah dunia ideal yang
identik dengan aman, damai, sejahtera.
Perserikatan Bangsa Bangsa barangkali
merupakan symbol persatuan seluruh
negara-bangsa dalam menciptakan tatanan
dunia ideal tersebut. Beberapa perang tidak
dapat dielakkan dan pada saat yang sama
berulangkali PBB sebagai salah satu institusi
internasional terpenting datang sebagai

Universitas Pertahanan Indonesia



“insinyur” rekonstruksi pasca perang. PBB
melalui instrument Peace Keeping Operation
datang bersama pasukan multinasional
melibatkan negara-negara yang memiliki
iktikad dalam menciptakan perdamaian
dunia. Seperti operasi perdamaian di Irak,
Libanon, Palestina dan beberapa kawasan
yang masih rentan akan aksi kekerasan
bersenjata. Negara-negara yang terlibat
operasi seringkali memiliki perbedaan struktur
geografis [7] sehingga antara suplai dan
kebutuhan pertahanan harus disesuaikan.
Operasi seperti ini otomatis menjadi faktor
berikutnya dalam agenda revitalisasi sistem
pertahanan.

jata adalah: China, India, UEA, Korea

Se-

latan dan Yunani, menyedot sekitar 35 persen
total impor senjata di dunia. Data ini sekaligus
mengilustrasikan bagaimana perubahan iklim
keamanan yang mengalami pergeseran dari
Timur Tengah ke kawasan Asia [9].
SIPRI

juga

mencatat

kawasan

Asia

mengalami peningkatan anggaran belanja
militer atau impor senjata tertinggi pada
periode 2004-2008 [10]. Hal ini disebabkan
oleh kembali menguatnya perekonomian
Asia Tenggara setelah diterpa krisis 1997,
sehingga

negara-negara

memilih

untuk

memperbaharui senjata [11]. Selain itu, faktor
yang menyebabkan tingginya angka transaksi

Trend dan Anomali Perdagangan Senjata
Kita bisa mengatakan faktor-faktor
seperti di atas atau yang serupa dengan di
atas sangat mempengaruhi arus transfer
senjata dari negara satu ke negara lain,
dari kawasan satu ke kawasan lain. Senjata
dalam berbagai bentuknya yang berpotensi
membunuh manusia terbukti masih menjadi
obyek bisnis yang menarik. Beberbagai jenis
persenjataan terus dikembangkan, mulai
dari senapan kecil yang daya mematikannya
kecil hingga bom nuklir yang daya bunuhnya
sangat massif dan berlangsung lama [8].
Laporan
Perdamaian

tahunan
Internasional

Institut

Riset

Stockholm

(Stockholm International Peace Research
Institute/SIPRI), yang dirilis secara berkala
di Swedia menjadi indikator bagaimana
fenomena global mempengaruhi peningkatan
arus transaksi persenjataan.
Untuk wilayah kawasan misalnya, SIPRI
mencatat bahwa jangka waktu tahun 19801984 lima besar penerima perlengkapan persenjataan militer adalah :Irak, India, Libya,
Syria, dan Mesir, tercatat 25 persen impor

senjata disebabkan oleh tensi ketegangan
internasional

di

kawasan

(seperti,

di

Semenanjung Taiwan, Semenanjung Korea,
antara India dan Pakistan, dan Laut China
Selatan) termasuk kasus antara China dan
India yang berambisi untuk menjadi kekuatan
penting di kawasan atau kekuatan dunia.
Modernisasi juga dilakukan secara ekstensif
oleh Australia, China, India, Japan, Korea
Selatan,

Malaysia,

Pakistan,

Singapura,

Taiwan dan Viet Nam. Negara-negara ini
telah mengumukan rencana jangka panjang
memodernisasi kapabilitas militernya dengan
mengimpor senjata [12].
Atau bahkan menjadi permulaan perlombaan senjata di kawasan, sebab, sebagaimana dihadirkan oleh Dr. Tim Huxley [13] dalam
kuliah umum yang diselenggarakan Asia Research Center, Murdoch University, bahwa
negaranegara di kawasan Asia Tenggara
tengah melakukan modernisasi besar-besaran, tidak hanya pada alutsista tetapi juga
mengembangkan sektor lain yang sangat
modern.

secara keseluruhan mengalir ke kawasan ini.

Indonesia, menurut catatan Hideaki Kane-

Untuk periode 2004-2008 besar importir sen-

da, setelah menggelar pertemuan dua negara



Universitas Pertahanan Indonesia

Indonesia-Rusia pada 2006, Indonesia mer-

Bisa dikatakan kawasan Asia Tenggara

encanakan membeli skuadron tempur udara

termasuk kawasan yang rentan terhadap

berupa 12 jet, tipe Su-27SK dan Su-30MKM;

ancaman

hal yang sama dilakukan juga oleh Singapura
dengan membeli 12 jet tempur baru F- 15SG
dari AS; Thailand di bawah kepemimpinan

militer

negara-negara

besar.

Indonesia, misalnya, mau tidak mau harus
berhadapan dengan dua kepentingan besar
China dan AS [17]. China memiliki kepentingan
untuk menggenggam peraian selat Malaka

Thaksin Shinawatra saat itu, bertemu Putin

karena dari situlah suplai energi, migas

bersepakat untuk membeli 12 jet tempur Su-

dan

30 MKM; Malaysia sepakat untuk membeli

kebutuhan China menggunakan jalur laut

18 Su-30MKM dalam jangka waktu dua ta-

Indonesia sebagai jalur untuk kepentingan

hun; sedangkan Vietnam membeli jet tempur

ge-strategis militer. Sedangkan AS tengah

sejumlah 36 buah tipe SU-27SK [14].

menjajaki kemungkinan menguasai seluruh

Hideak [15] melihat kecederungan yang
terjadi di Asia Tenggara bahwa di Asia, China
sedang membangun kekuatan militer untuk

komoditas lainnya dikirim, termasuk

kawasan Samudra Pasifik “focus on Pacific
Ocean”, [18] sekaligus sebagai strategi
menghadang kekuatan armada laut China.
Data periodik yang dirilis SIPRI dan data-

jangka panjang agar mampu menjadi salah

data para analis strategi lainnya merupakan

satu kekuatan penting militer dunia. Begitu

data mentah yang diolah dari sejumlah

juga dengan Indonesia, yang, menurutnya

transaksi oleh negara-negara yang terlibat

pasca embargo AS pada 1999 akibat tudin-

dalam jual-beli senjata khususnya senjata

gan melanggar HAM di Timor Timur perlahan

besar. Sejumlah negara membuka sedikit

mulai memperbaiki persenjataan militernya
dengan membeli transportasi udara tipe
C130, dengan tujuan untuk kebutuhan patr-

data

tentang

transaksi

dikonsumsipublik,

mereka

sementara

data

untuk
pasti

adalah bagian dari kerahasiaan, seperti
dilakukan Israel dan China. Belum lagi melihat

oli cepat untuk mencegah “anti-terorism and

kenyataan bahwa disamping aktor negara,

anti-piracy measures” [16].

ternyata aktor non-negara juga ikut aktif

Graik terkait impor senjata di kawasan pada 2004-2008.
Sumber: SIPRI,2009.

dalam meramaikan konsumsi besar-besaran
sejumlah senjata. Akibatnya, persebaran
senjata kepada aktor illegal atau tidak bisa
dideteksi dari tahun ke tahun berada pada
angka signiikan, 51 % [19].
Sekedar

bahan

perbandingan,

pada

tahun 1999, sebagaimana ditulis Bantarto
Bandoro [20] bahwa militer Peru mengirim
sekitar 10.000 senjata jenis AK-47 [21]
kepada Angkatan Bersenjata Revolusioner
di Kolombia, sebuah kelompok gerilya yang
mempunyai hubungan dengan pengembangan
Drugs.Kelompok itu membeli senjata dari

Universitas Pertahanan Indonesia



Jordan. Hampir sebagian besar AK-47 saat

Regulasi PBB

ini berada pada pihak yang tidak berwenang.

Pada tingkatan internasional, negara-

Menurut laporan PBB, hanya 18 juta (atau

negara melihat arus transfer persenjataan

sekitar 3 persen) dari sekitar 550 senjata

yang sangat tinggi dengan kontrol rendah,

ringan dan kaliber kecil yang digunakan

sehingga negara-negara anggota Perserika-

oleh pemerintah, militer, polisi. Perdagangan

tan Bangsa Bangsa mulai memberikan per-

gelap jenis senjata itu mencakup hampir

hatian pada isu ini. Pada tahun 1991 PBB

20 persen dari keseluruhan perdagangan

melalui Majelis Umum membentuk lembaga

senjata kecil dan menghabiskan dana sekitar

UN Register of Register Conventional Arms

1 milyar dollar AS setiap tahunnya. Dalam

(UNROCA) sebagai tindakan preventif atas

satu dasawarsa terakhir, senjata ringan dan

ekses negatif persebaran senjata. Konsen-

kaliber kecil telah memperburuk 46 dari 49

sus yang sama juga dilanjutkan dengan Arms

konlik di dunia, pada tahun 2001 diperkirakan

Trade Treaty (ATT) [23] yang diupayakan un-

senjata itu bertanggung jawab terhadap 1000

tuk menciptakan kontrol yang lebih baik ter-

kematian setiap harinya; 80 persen korban

kait transfer senjata internasional, rencana ini

adalah wanita dan anak-anak. Apalagi kalau

didukung oleh Uni Eropa, Lembaga Pelucu-

melihat kecenderungan dunia dewasa ini

tan Senjata PBB (UNIDIR), dan secara garis

yang memperlihatkan bagaimana militer juga

besar rencana ini ditujukan untuk meningkat-

bisa dijadikan komoditas bisnis, para analis

kan kewaspadaan terkait ATT yang diusulkan

menyebutnya dengan private military/security

anggota PBB, organisasi regional, civil soci-

company (PMC/PSC) atau private military

ety, dan industri.

irms (PMF) [22].

Regulasi yang ada sejauh ini memang me-

Artinya, transfer atau perdagangan senjata

nyesuaikan dengan kondisi saat dibuatnya

bukan merupakan sesuatu yang “terlarang”

masing-masing aturan.Beberapa kesepaka-

dalam konteks internasional, setiap negara

tan internasional yang memiliki komitmen

boleh saja memilikinya. Dari data statitik yang

untuk mencegah destabilisasi akumulasi sen-

ada kita bisa melihat bagaimana persebaran

jata konvensional antara lain adalah [24] :

senjata di kawasan Asia Tenggara sangat
dipengaruhi oleh kondisi ekonomi sebuah

• Five Powers Communiqué, 8–9 July
1991;

negara dan tensi ketegangan di sekitarnya.

• Five Power Guidelines for Conventional

Namun demikian, yang ingin penulis garis

Arms Transfers, 17-18 October 1991;

bawahi adalah bahwa konsumsi berlebihan

• OSCE

Principles

Governing

Con

senjata tanpa ada pembatasan berpotensi

ventional Arms Transfers, 23 November

memicu ketegangan intra dan antar kawasan,

1993;

ibarat pepatah, “asap tidak akan muncul
manakala tidak ada api (ketegangan)”, agar

• United Nations Guidelines for
International Arms Transfers, 1996;

ketegangan dapat diatasi tentu hal itu bisa

• European Union Common Rules Gover

diredam dengan pendekatan yang lebih

ing Control of Exports of Military Tech

damai pada tingkat kawasan dengan regulasi-

nology and Equipment, 1998/2008;

regulasi, agar stabilitas dapat dijaga.

• OSCE Document on Small Arms and
Light Weapons, 24 November 2000.



Universitas Pertahanan Indonesia

Prinsip yang ditanamkan pada guidelines

terhadap hak warga negranya untuk memi-

di atas meliputi kebutuhan untuk mengantisi-

liki senjata. Tanpa legislasi dan enforcement

pasi transfer senjata yang mungkin berdam-

yang efektif, hukum ekonomi akan mendikte

pak pada destabilisasi pada ranah pengem-

penjualan senjata dengan harga yang murah.

bangan

militer,

mencegah

merebaknya

konlik bersenjata, atau khawatir jatuh ke tangan kelompok teroris [25]. Standar transparansi yang digunakan PBB sebagaimana pada
laporan PBB tahun 2001 yakni: (a) Suplier
dan penerima; Pengguna akhir; (c) Tanggal
kesepakatan dan/atau tanggal pengiriman;
(d) Tipe senjata, komponen, transfer jasa
atau pengetahuan;(e) Karakteristik Performa
dasar senjata atau komponen yang ditransfer; (f) Kuantitas senjata atau komponen yang
ditransfer; (g) Term keuangan; (h) Support
teknis dan kesepakatan training [26].
Kawasan Asia Tenggara sendiri memiliki
iktikad baik menyesuaikan dengan masyarakat internasional lainnya, melalui ASEAN,
ASEAN Regional Forum (ARF), komunitas
kawasan melalui ARF pada 2001 bersepakat
untuk secara berkala mempublikasikan buku
putih pertahanan (White Papers) [27]. Ada
yang secara konsisten menerbitkan ada juga
yang tidak, kelemahan dari mekanisme seperti ini juga terletak pada gambaran postur
yang terlalu general untuk alasan rahasia
pertahanan.
Sejauh ini, sebagaimana disebut Bantarto,
pemerintah tidak cukup efektif menekan suplai
maupun permintaan dari senjata jenis tersebut [28]. Upaya multilateral untuk menekan
manufaktur dan distribusi jenis senjata seperti
tersebut di atas tidak efektif, antara lainkarena ada beberapa negara yang tidak bersedia
menerima pengekangan terhadap kegiatan
mereka sendiri. Pada tahun 2001, misalnya,
AS memblokade perjanjian global untuk mengawasi peredaran senjata ringan dan kaliber
kecil, karena khawatir akan terjadinya retriksi

KESIMPULAN
Kawasan Asia Tenggara dalam beberapa
tahun terakhir bisa dibilang mampu melewati
ketegangan antar negara dengan jalur menghindari ketegangan bersenjata. Meskipun masih ada benih-benih ketegangan di kawasan.
Benih ketegangan itu bisa dalam arti kecurigaan yang wajar terjadi antar negara di
dalam kawasan yang masingmasing memiliki
kepentingan sendiri. Tensi ketegangan yang
diselesaikan dengan tanpa menggunakan
pendekatan militer bisa jadi menjadi modal
berharga bagi negara kawasan Asia Tenggara untuk terus menerus memupuk kemitraan
dengan menjadikan ARF sebagai payung komunikasi untuk kebaikan kawasan.
Kedepan tentu ASEAN sekaligus ARF
sebagai organisasi regional memiliki modal
berharga untuk menjaga stabilitas kawasan
dari ancaman eksternal manakala bersatu
menangkal setiap ancaman potensial dari
luar. Sementara pada wilayah internal, aturan
yang telah ada dengan mekanisme White
Papers paling tidak bisa menjadi simbol saling percaya (trust) antar sesama penghuni
kawasan.
DAFTAR REFERENSI
[1]. Logika seperti ini dalam terminologi
hubungan
internasional
dikonsepsikan
dengan “Security Dilemma”, yakni tindakan
sebuah negara dalam rangka merespon
segala bentuk ancaman dengan mengambil
sikap waspada, perimbangan kekuatan.
[2]. Samuel P. Huntington mendefinisikan
arm race sebagai proses yang berlangsung
dengan ‘a progressive, competitive peacetime

Universitas Pertahanan Indonesia



increase in armamaents by two states or
coalitions of state resulting from conflicting
purpose or mutual fears’, dalam Barry Buzan,
An Introduction to Strategic Studies: Military
Technology and International Relations, Part
II (London: MacMillan Press, 1987), Hlm 41.
[3]. Sebab Era Perang Dingin, ditandai dengan
peperangan yang melibatkan negara-negara
besar seperti Amerika Serikat di Vietnam bisa
dianggap sebagai perang asimetris. Berbeda
halnya jika AS berhadapan dengan kekuatan
besar lain seperti Uni Soviet barangkali
membutuhkan kekuatan ekstra.
[4]. “Threat Assesment and the future of
global defense industry,” dalam http://www.
nato.int/docu/speech/2002/so210142.htm,
akses tanggal 18 Desember 2009.
[5]. Di beberapa pos penjagaan Tentara
Nasional Indonesia, kita sering melihat tulisan
“NKRI Harga Mati”, menjadi symbol tersendiri
bagi personil TNI untuk menjaga kedaulatan
bangsa dan negaranya.
[6]. Laporan terakhir menyebutkan bahwa
kasus Ambalat oleh kedua negara bakal
dibicarakan dalam perundingan oleh dua belah
pihak dengan tanpa melibatkan mahkamah
internasional seperti kasus Sipadan-Ligitan.
[7]. Indonesia secara berkala ikut dalam Peace
Keeping Operation dengan mengirimkan
kontingen Garuda (Konga). TNI yang
biasanya berlatih tempur di kawasan tropis
harus berhadapan dengan kondisi berbeda,
seperti daerah gurun pasir atau kalau ke
kawasan Eropa akan bertemu iklim musim
salju, begitu juga dengan perbedaan lainnya;
terkait dengan pasukan Konga XIII yang
bertugas di Lebanon yang kemudian meraih
penghargaan dari pemerintah karena dinilai
berhasil menjalankan misi bisa dilihat dalam,
“TNI Di Lebanon Terima Medali Kehormatan”
sumber kantor berita Antara, dalam http://
www.dephan.go.id, akses 10 Agustus 2000.
[8]. Rakaryan Sukarjaputra, “Dunia Semakin
Penuh Senjata”, Kompas, 25 Juni 2007.
Sukarjaputra dalam tulisannya berkesimpulan,



Universitas Pertahanan Indonesia

dengan semakin banyaknya beredar senjata
maka harapan akan dunia lebih aman dan
damai menurutnya semakin jauh.
[9]. Mark Bromley, dkk. “Recent Trends In
The Arm Transfer”, SIPRI Background Paper,
April 2009. Hlm. 4.
[10]. Siemon T Wezeman, “Arm Transfer
to Asia and Indochina,” SIPRI Background
Paper, Oktober 2009.
[11]. Hideaki Kaneda, “Southeast Asia’s
Growing Arm Race,” Taipei Times, 12 Juni
2006. Dalam http://www.taipeitimes.com/
News/index_most_read_story, akses 12
Desember 2009.
[12]. Mark, Ibid.
[13]. Tim Huxley, “An Arm Race in the Region?
Southeast Asian Defense Policies, Military
Spending and Weapons Procurement,” dalam
http://www.google.com/wwarc.murdoch.edu.
au%2Fimg%2FHuxley%2520Seminar.pdf+
arm+race+in+south+east+asia&hl=id&gl=id,
akses 20 Desember 2009.
[14]. Hideaki, “Southeast Asia’s”. Data yang
dihadirkan oleh Hideaki ini merupakan data
dan analisa pada tahun 2006.
[15].
Hideaki merupakan mantan Wakil
Laksamana Japan Self Defense Forces,
Direktur Okazaki Institute di Tokyo. Pada akhir
tulisan, secara eksplisit ia mengharapkan agar
China mereposisi diri di bidang pertahanan,
dengan tujuan menjadi counter-balance
kekuatan China di Kawasan.
[16]. Ibid.
[17]. Ibid.
[18]. Ibid.
[19]. Statistik tentang persebaran ini bisa
dilihat dalam Mark Bromley, dkk.”Recent,”
hlm. 5.
[20]. Lihat Bantarto Bandoro, “Masalahmasalah Keamanan Internasional Abad
21”, Makalah disampaikan pada Seminar
Pembangunan
Hukum
Nasional
VIII,
diselenggaran oleh BPHN Depkumham,
Denpasar 12-18 Juli 2003.
[21]. Data lain meyebutkan bahwa peredaran

senjata jenis AK-47 telah laku terjual lebih
dari 100 juta unit di seluruh dunia. Tidak
mengherankan memang, sebab angkatan
bersenjata di 55 negara menggunakan AK47 sebagai senjata organik mereka, termasuk
Angkatan Bersenjata Indonesia pada masa
Orde Lama dan Orde Baru. Akan tetapi
disamping itu, AK-47 sebagaimana diakui
produsen resminya di Rusia, Izhsmash,
bahwa senjata ini banyak dipalsu dan
diproduksi di Bulgaria, China, Polandia, dan
AS. Produsen palsu tersebut dikahwatirkan
bakal memasok kepada kelompok-kelompok
non-negara. Lebih jelas tentang AK-47
sebagai prototype oleh penemunya bisa
dibaca dalam, “Kalashnikov, AK-47 demi
Tanah Air”, Kompas, 25 November 2009.
[22]. Terkait persoalan meningkatnya
perusahaan jasa militer dan keamaan
disertai sepak terjang mereka dalam
spektrum
pertahanan-keamanan
internasional bisa dibaca dalam Veronika
Sintha Saraswati, Imperium Perang Militer
Swasta: Neoliberalisme dan Korporasi Bisnis
Keamanan
Kontemporer,
(Yogyakarta:
Resist Book, 2009); Dario Azzelini dan Boris
Kanzleiter, (eds), La Empressa Guerra: Bisnis
Perang dan Kapitalisme Global, (Yogyakarta:
Penerbit Insist Press, 2005).
[23]. Mark Bromley, dkk. “Recent Trends In
The Arm Transfer”, SIPRI Background Paper,
April 2009. Hlm. 1.
[24]. Ibid. Hlm 20.
[25]. Ibid.
[26]. Ibid. Hlm 22.
[27]. Simon T. Weizemen, “Arms Transfer to
Asia and Indochina,” hlm. 8.
[28].
Khususnya senjata tipe kecil dan
caliber.
[29]. Bantarto Bandoro, “Masalah-masalah
Keamanan Internasional Abad 21”, Makalah
disampaikan pada Seminar Pembangunan
Hukum Nasional VIII, diselenggaran oleh
BPHN Depkumham, Denpasar 12-18 Juli
2003.

[30]. Barry Buzan, An Introduction to Strategic
Studies: Military Technology and International
Relations, Part II. London: MacMillan Press,
1987.
[31]. Dario Azzelini dan Boris Kanzleiter,
(eds), La Empressa Guerra: Bisnis Perang
dan Kapitalisme Global. Yogyakarta: Penerbit
Insist Press, 2005.
[32]. Hideaki Kaneda, “Southeast Asia’s
Growing Arm Race,” Taipei Times, 12 Juni
2006. Dalam http://www.taipeitimes.com/
News/index_most_read_story, akses 12
Desember 2009.
[33]. Mark Bromley, dkk. “Recent Trends In
The Arm Transfer”, SIPRI Background Paper,
April 2009.
[34]. Rakaryan Sukarjaputra, “Dunia Semakin
Penuh Senjata”, Kompas, 25 Juni 2007.
[35]. Siemon T Wezeman, “Arm Transfer
to Asia and Indochina,” SIPRI Background
Paper, Oktober 2009.
[36]. Tim Huxley, “An Arm Race in the Region?
Southeast Asian Defense Policies, Military
Spending and Weapons Procurement,” dalam
http://www.google.com/wwarc.murdoch.edu.
au%2Fimg%2FHuxley%2520Seminar.pdf+
arm+race+in+south+east+asia&hl=id&gl=id,
akses 20 Desember 2009.
[37]. Veronika Sintha Saraswati, Imperium
Perang Militer Swasta: Neoliberalisme dan
Korporasi Bisnis Keamanan Kontemporer.
Yogyakarta: Resist Book, 2009.
[38]. “Kalashnikov, AK-47 demi Tanah Air”,
Kompas, 25 November 2009.
[39]. “Threat Assesment and the future of
global defense industry,” dalam http://www.
nato.int/docu/speech/2002/so210142.htm,
akses tanggal 18 Desember 2009.
[40]. “TNI Di Lebanon Terima Medali
Kehormatan” sumber kantor berita Antara,
dalam http://www.dephan.go.id, akses 10
Agustus 2000.

Universitas Pertahanan Indonesia