MANAJEMEN TERNAK PERAH Kesehatan Ternak

MAKALAH PRAKTIKUM
MANAJEMEN TERNAK PERAH
“Kesehatan Ternak Dan Alat Alat laboratorium”
SAPI PERAH DI BBPTU – HPT BATURADEN

Di Susun oleh :
Kelompok 04 F
Rina Suryani

D0A013029

Dimas Pringgadigda

D0A013030

Iwan Risnawan

D0A013031

Windu Sasiana


D0A013033

Rizena Rizki

D0A013034

Disqiara yugo P.

D0A013035

Hermita Tri astuti

D0A013037

Londi Bimantara

D0A0130

Arif Cahyanto


D0A013040

Lutfi atur rosidin

D0A013041

Mohamad Zaki Nufus

D0A013069

LABORATORIUM PRODUKSI TERNAK PERAH
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2014
1

LEMMBAR PENGESAHAN
LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM
MENEJEMEN TERNAK PERAH


OLEH
Rina Suryani

D0A013029

Dimas Pringgadigda

D0A013030

Iwan Risnawan

D0A013031

Windu sasiana

D0A013033

Rizena Rizqi Pramana


D0A013034

Disqiara yugo P.

D0A013035

Hermita Tri astuti

D0A013037

Londi Bimantara

D0A0130

Arif Cahyanto

D0A013040

Lutfi atur rosidin


D0A013041

Mohamad Zaki Nufus

D0A013069

KELOMPOK 4F

DITERIMA DAN DISETUJUI
PADA TANGGAL …………………2014
Koordinator asisten

ASISTEN PENDAMPING

M.Arief Mustofa
NIM : D1E011027

Muhamad Romdona
NIM : D1E011061
2


DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL

i

LEMBAR PENGESAHAN ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
1.2 Tujuan

1

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

3


BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil

4

3.1.1 kesehatan ternak

4

3.1.2 Alat – Alat Laboratorium
3.2 Pembahasan

5

6

3.2.1 Kontrol Kesehatan 6
3.2.2 Penanganan Kesehatan
3.2.3 Pencegahan Penyakit 12


7

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 KESIMPULAN
4.2 SARAN

13

13

DAFTAR PUSTAKA

3

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sistem peternakan sapi perah yang ada di Indonesia masih merupakan jenis
peternakan rakyat yang hanya berskala kecil dan masih merujuk pada system

pemeliharaan yang konvensional. Banyak permasalahan yang timbul seperti
permasalahan pakan dan kesehatan ternak. Agar permasalahan dapat ditangani
dengan baik, diperlukan adanya perubahan pendekatan dari pengobatan menjadi
bentuk pencegahan dan dari pelayanan individu menjadi bentuk pelayanan
kelompok.
Manajemen ternak sapi perah merupakan hal yang sangat penting. Manajemen
sebagai pedoman agar tidak terjadi kerugian baik secara materi maupun kerugian
secara genetik dan agar terciptanya bibit unggul sapi perah yang akan
mengahasilakan produksi susu yang berkualitas baik pula. BBPTU-HPT
Baturaden sangat memperhatikan segala aspek manajemen. Sehingga dapat
dipercaya menjadi satu-satunya balai pembibitan sapi perah di Indonesia.
Untuk memperoleh hasil susu sapi perah yang optimal , diperlukan upaya
penanganan kesehatan sapi perah melalui pencegahan dan pengendalian penyakit
secara tepat. Dalam usaha sapi perah, kesehatan hewan merupakan salah satu
aspek yang perlu diperhatikan dalam pemeliharaannya. Sapi yang kondisinya
lemah akan mudah sekali terserang oleh infeksi penyakit baik yang menular
maupun yang tidak menular. Usaha sapi perah harus terletak di daerah yang tidak
pernah terjangkit atau daerah endemis penyakit hewan menular atau tidak
ditemukan gejala klinis maupun bukti adanya penyakit lain seperti, antara lain :
penyakit Antraks (radang limpa), penyakit mulut dan kuku (Foot and Mouth

Disease), penyakit ngorok/mendekur (septichaemia epizootica/ SE), dan
Brucellosis (kluron menular).

4

Tujuan dilakukannya praktikum manajemen ternak perah di BBPTU-HPT
Baturraden adalah untuk mengetahui tata laksana pemeliharaan sapi perah
terutama dari segi manajemen kesehatannya. Manajemen kesehatan merupakan
salah satu faktor pendukung dalam pemeliharaan sapi perah di BBPTU-HPT
Baturaden. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas lebih jelas mengenai
manajemen kesehatan serta peralatan laboratotium yang digunakan di BBPTUHPT sapi perah Baturraden.

1.2 Tujuan
1. Mengetahui manajemen kesehatan ternak sapi perah di BBPTU – HPT
Baturaden
2. Mengetahui penanganan dan pengobatan penyakit yang terdapat di
BBPTU-HPT
3. Mengetahui upaya menjaga kesehatan ternak di BBPTU-HPT
Baturraden
4. Mengetahui alat - alat laboratorium sapi perah di BBPTU – HPT

Baturaden
5. Mengetahui fungsi dan kegunaan alat – alat laboratorium di BBPTU –
HPT Baturaden

II. TINJAUAN PUSTAKA
Peradangan dapat terjadi pada satu kelenjar atau lebih dan mudah dikenali
apabila pada kelenjar susu menampakkan gejala peradangan yang jelas. Kelenjar

5

ambing membengkak, edematus berisi cairan eksudat yang disertai tanda-tanda
peradangan yang lainnay seperti suhu meningkat, kemerahan, rasa sakit, dan
penurunan fungsi.Akan tetapi seringkali suit diketahui kapan terjadi suatu
peradangan, sehingga diagnosis terhadap mastitis sering dilakukan dengan
melakukan pengujian pada produksi susu, misalnya dengan penghitungan jumlah
sel somatik (JSS) dalam susu (Nugroho, 2008).
Mastitis bersifat kompleks karena : (1) Penyebabnya beragam (bakteri :
streptococcus sp, stphylococcus sp, dan lain-lain, kapang atau khamir serta virus);
(2) Tingkat reaksinya beragam; (3) Lama penyakitnya bervariasi; (4) Akibat yang
ditimbulkannya sangat bervariasi. Ada 3 faktor mempermudah terjadinya mastitis
yaitu, kondisi hewan itu sendiri, kondisi lingkungan yang buruk dan agen
penyebab penyakit (Nurdin, 2011).
Penyakit mulut dan kuku (PMK) atau penyakit Apthae Epizootica (AE)
disebabkan oleh virus. Penyakit ini menular kontak langsung melalui air kencing,
air susu, air liur, dan benda lain yang tercemar kuman AE. Gejala : (1) rongga
mulut, lidah dan telapak kaki atau atau tracak melepuh serta terdapat tojolan bulat
berisi cairan yang bening; (2) demam atau panas, suhu badan menurun drastis; (3)
nafsu makan menurun bahkan tidak mau makan sama sekali; (4) air liur keluar
berlebihan. Adapun cara pengendalian tersebut adalah: vaksinasi dan sapi yang
sakit diasingkan dan diobati secara terpisah (Santosa, U. 2001).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
3.1.1 Kesehatan Ternak
1. Pencegahan yang dilakukan di BBPTU dilakukan biosecuriti yang di
lakukan pada ternak maupun pada lokasi kandang agar tidak ada
penyakit yang masuk

6

2. Dilakukan desinfektan cacing hati serta cacing usus. Pada penyakit
cacing di lakukan uji cacing yang di lakukan setiap 6 bulan sekali.
3. Pengontrolan kesehatan dilakukan setiap hari untuk mencegah
penyakit tersebut semakin parah, sehingga mudah untuk dilakukan
pengobatan
4. Pengontrolan kesehatan dilakukan bukan hanya pada ternaknya saja
tetapi dilakukan juga pengontrolan terhadap hasil produknya
5. Uji susu meliputi uji antibiotik, uji kualitas susu serta uji mastitis
6. Uji mastitis dilakukan 5 minggu sekali, pada ternak yang terkena
mastitis ternak tersebut di kumpulkan untuk memudahkan pengobatan
sehingga tidak menular pada sapi perah yang lainnya
7. Cara pemerahan jika ada yang terkena mastitis, dilakukan pemerahan
pertama pada ternak yang sehat dulu kemudian dilakukan pemerahan
terhadap ternak yang terkena mastitis
8. Tingkatan penyakit mastitis dibagi menjadi 3 bagian yaitu sub klinis,
klinis dan akut. Pada mastitis sub klinis gejala umum dan khususnya
tidak kelihatan sedangkan pada mastitis yang bersifat klinis dan akut
dapat di bedakan dari rasa, bau dan warnanya
9. Penyakit yang sering menyerang pada sapi perah
a. Pada pedet umur 6 bln rawan terkena penyakit, biasanya pedet
menderita diare, ntritis, timpani, melvever yaitu difersifikasi kalsium
b. Mastitis diobati dengan mastilek, super mastikot
c. Klinis di obati dengan injeksi kalsium

3.1.2 Alat Alat Laboratorium
A. Milk analiyzer

7

Adalah mesin yang digunakan untuk mendapatkan informasi yang akurat
mengenai kandungan-kandungan yang terdapat dalam susu ternak anda
tanpa memerlukan waktu yang banyak.
Contoh :kandungan lemak, berat jenis, uji bakteri, Reduktase, protein.

3.2 Pembahasan
3.2.1 Kontrol Kesehatan

8

Manajemen kesehatan di BBPTU-HPT Baturraden dilakukan control
kesehatan melalui 3 cara pengujian sampel yaitu pengujian sampel darah,
pengujian sampel feses dan pengujian cairan vagina. Pengujian sampel darah
dilakukan dengan pemngambilan sampel darah setiap tahun. Sampel darah yang
diambil akan di ujikan di Laboratorium Hematologi. Sampel yang dimasukkan ke
dalam alat tersebut membuktikan apakah sapi tersebut mengalami gangguan
kesehatan atau tidak. Alat tersebut disebut hematology analyzer. Prinsip alat
tersebut dapat mendeteksi kelainan komposisi darah. Kelainan komposisi darah
menjadi indikasi apakah sapi tersebut terserang penyakit atau tidak. Contohnya
dari alat tersebut terlihat leukosit nya diatas normal berarti sapi tersebut terkena
infeksi atau stress.
Kontrol kesehatan lainnya adalah dengan menguji sampel feses dari ternak
secara rutin dan diperiksa apakah terdapat cacing atau tidak. Apabila terdapat
cacing maka langsung ternak tersbut diberi obat cacing. Kontrol penyakit cacing
dilaksanakan setiap dua kali dalam satu tahun tujuannya agar ternak dapat dengan
pasti diidentifikasi apakah terserang penyakit cacing atau tidak. Ensminger (1991)
menyatakan bahwa penyakit cacingan pada ternak banyak dialami oleh ternak
yang dilepas di padang penggembalaan. Di BBPTU-HPT Baturraden, ternak
biasanya di lepas di padang penggembalaan untuk exercise di pagi hari. Sehingga
ternak di sana cukup sering terkena penyakit cacingan. Dengan control dua kali
dalam setahun maka ternak dapat diminimalisir terserang penyakit cacing yang
kronis.
Pengujian sampel berikutnya adalah pengujian sampel cairan vagina.
Untuk mendiagnosa penyakit di bagian reproduksi maka tim dokter hewan di
BBPTU-HPT Baturraden melaksanakan uji sampel cairan vagina. Apabila cairan
vagina tersebut terdapat mikroba patogen maka ternak bisa jadi mengidap infeksi
saluran reproduksi seperti endrometitis dan penyakit saluran reproduksi lainnya.
Kontrol kesehatan lainnya yang sangat penting adalah uji mastitis. Uji
mastitis di BBPTU-HPT Baturraden dilakukan setiap satu minggu sekali. Uji
mastitis menggunakan metode CMT (Californian Mastitis Test). metode yang
sering dipakai untuk uji mastitis antara lain Aulendorfer Mastitis Probe (AMP),

9

California Mastitis Test (CMT), Milk Quality Test (MQT), Michigan Mastitis Test
(MMT), Whiteside Test (WST) (Foley et al. 1972). Tindakan pencegahan dapat
dilakukan dengan menggunakan teknik deteksi mastitis lebih dini, terutama untuk
mastitis subklinis (Sudarwanto, 1998).
3.2.2 Penanganan Kesehatan
Penyakit-penyakit yang biasa ditemukan di BBPTU-HPT Baturraden ada
beberapa macam penyakit, yaitu:
1. Penyakit cacingan
Penyakit cacingan di BBPTU-HPT Baturaden banyak disebabkan oleh
penggembalaan di pagi hari, dimana hijauan terkontaminasi oleh telur cacing.
Hasil control kesehatan terdapat sapi yang mengalami cacingan dengan gejala
seperti: telur cacing ditemukan di feses, bulu berdiri, dan tubuh kurus. Cacingan
apabila dibiarkan maka dapat mempengaruhi produksi susu. menurut Spigel
(2001) dapat menurunkan produksi susu sebanyak 15% sehingga perlu ada
penanganan serius dari penyakit ini. Cara mengatasi ternak yang cacingan adalah
dengan diberikan obat Albendasol secara oral.
2. Endometritis
Endometritis merupakan peradangan di bagian endometrium. Endometritis
adalah peradangan pada lapisan endometrium uterus, biasanya terjadi sebagai suatu
hasil dari infeksi bakteri patogen terutama terjadi melalui vagina dan menerobos
serviks sehingga mengkontaminasi uterus selama partus, membuat involusi uterus
menjadi tertunda dan performa reproduksi memburuk. Sehingga menyebabkan
kerugian secara ekonomis.
Radang pada endometrium uterus ini juga dapat disebabkan infeksi sekunder
yang berasal dari bagian lain tubuh sehingga dapat menyebabkan gangguan
reproduksi pada hewan betina. Penyebab lain adalah karena kelanjutan dari
abnormalitas partus seperti abortus, retensio sekundinarium, kelahiran prematur,
kelahiran kembar, distokia serta perlukaan pada saat membantu kelahiran
(Sudarwanto, 1998). Endometritis sebagai gangguan pada saluran reproduksi

betina, dapat memperpanjang calving interval dan penurunan kesuburan hingga

10

kemajiran. Endometritis merupakan peradangan pada selaput lender uterus
(endometrium) yang diakibatkan oleh infeksi kuman yang masuk ke dalam uterus
melalui vagina, biasanya pada keadaan partus yang abnormal, atau secara
hematogen (aliran darah) (Sudarwanto, 1998). Endometritis disebabkan oleh
kuman spesifik pathogen pada uterus seperti Campylobacteriosis (Vibriosis) ,
Trichomoniasis dan Brucella abortus yang dapat menginfesi tanpa faktor
prediposisi yang lain. Untuk mengdiagnosa endometritis melalui palpasi rectal.
Penanganan ternak yang terdiagnosa penyakit endometritis adalah dengan
melakukan “Spul” atau pembersihan daerah uterus yang terkena radang dengan
menggunakan antiseptik. Sehingga, bakteri patogen didalam uterus mati. Dengan
begitu maka uterus dapat kembali sehat.

3. Masalah Reproduksi
Permasalahan yang timbul dalam reproduksi sapi perah di BBPTU-HPT
Baturraden banyak ditemui beberapa kasus kelainan atau disfungsi. Yang biasa
terjadi adalah kasus distokia atau sulit melahirkan. Distokia adalah suatu
gangguan dari suatu proses kelahiran atau partus, yang mana dalam stadium
pertama dan stadium kedua dari partus itu keluarnya fetus menjadi lebih lama dan
sulit, sehingga menjadi tidak mungkin kembali bagi induk untuk mengeluarkan
fetus kecuali dengan pertolongan manusia. Pada umumnya kejadian distokia lebih
sering terjadi pada sapi perah dibanding sapi potong (Putro, 2012). Menurut
Jackson (2007) kasus distokia disebabkan oleh penimbunan lemak di pelvis, bobot
lahir terlalu besar, hipokalsemia, umur induk, presentasi kelahiran dan lama
kebuntingan. Distokia dapat dicegah dengan memperhatikan penyebab yang dapat
menimbulkannya, yaitu dengan pakan seimbang dan tidak berlebih, memperbaiki
presentasi kelahiran dengan palpasi rectal, kemudian diberikan tindakan suportif
prepartus. Suportif prepartus dengan menambahkan vitamin ADEK dan Ca pada
umur 8 bulan kebuntingan. Selain untuk mencegah distokia, suportif prepartus
juga untuk menjaga stamina induk saat melahirkan nantinya.
Retensi Plasenta juga sering ditemui di farm. Retensio sekundinae yaitu
tertahannya plasenta atau selaput fetus setelah partus melebihi batas normalnya.
Secara fisiologik selaput fetus dikeluarkan dalam waktu 3-5 jam postpartus. Apabila

11

plasenta menetap lebih lama dari 8-12 jam kondisi ini dianggap patologik, sehingga
disebut retensio sekundinae (retensi plasenta) (Manan, 2002). Patologi kejadian
retensio sekundinae adalah kegagalan pelepasan vili kotiledon fetal dari kripta
karunkula maternal. Setelah fetus keluar dan korda umbilikalis putus, tidak ada darah
yang mengalir ke vili fetal sehingga vili tersebut berkerut dan mengendur terhadap
kripta karankula. Uterus terus berkontraksi dan sejumlah darah yang tadinya mengalir
ke uterus sangat berkurang. Karunkula meternal mengecil karena suplai darah
berkurang sehingga kripta pada karunkula berdilatasi. Akibat dari semua itu vili
kotiledon lepas dari kripta karankula sehingga plasenta terlepas. Pada retensio
sekundinae, pemisahan dan pelepasan vili fetal dari kripta maternal terganggu,
sehingga pertautan diantara keduanya masih terjadi. Retensio sekundinae dan atau
endometritis dapat menurunkan kesuburan (infertilitas) pada penderita sampai pada
kemajiran, sehingga mengganggu proses reproduksi. Cara mengatasi ternak yang
terkena retensi plasenta adalah dengan membantu ternak mengeluarkan plasenta
dengan palpasi langsung dan dilakukan “spul” untuk menghindari radang atau luka di
saluran reproduksi.

4. Diare
Kasus diare biasa ditemukan pada pedet yang masih menyusu. Ketika
pedet pindah dari colostrum ke susu maka pedet biasanya terserang diare. Selain
itu juga diare disebabkan oleh bakteri di saluran pencernaan. Diare yang
disebabkan oleh bakteri dapat diatasi dengan penggunaan antibiotic. Apabila tiga
hari diare tersebut tidak kunjung hilang maka diberikan
5. Pneumonia
Pneumonia biasa ditemukan kasusnya pada pedet yang masih menyusu.
Ketika suhu dan kelembaban lingkungan kandang berubah maka pedet biasanya
akan terserang pneumonia. Untuk mengatasi hal tersebut maka lantai kandang
diberi alas agar suhu kandang optimal dan kelembabannya terjaga. Apabila alas
kandang terlalu basah maka dapat diganti secara berkala.

6. Bloat
12

Bloat atau kembung merupakan gangguan metabolic pada saluran
pencernaan khususnya di rumen. Hal ini disebabkan oleh produksi gas berlebih di
rumen dan ternak sulit untuk mengeluarkannya. Banyak cara untuk mengatasi
bloat yaitu dengan melubangi bagian rumen agar gas dapat keluar. Selain itu juga
dengan suplementasi minyak nabati yang mengandung asam lemak tak jenuh
dapat mengurangi bloat.
7. Mastitis
Mastitis merupakan infeksi atau peradangan pada jaringan interna ambing
yang dapat ditandai dengan perubahan kualitas maupun perubahan produksi susu
(Ensminger, 1991). Mastitis merupakan reaksi peradangan pada jaringan ambing
terhadap infeksi bakteri, kimia, panas, ataupun karena perlukaan (Schmidt et al.
1988). Respon peradangan ditandai dengan peningkatan protein darah dan sel darah
putih pada jaringan ambing dan susu. Tujuan dari peradangan adalah untuk netralisasi
terhadap penyebab iritasi, perbaikan jaringan yang rusak, dan pengembalian fungsi
normal ambing (Foley et al. 1972). Susu pada sapi yang menderita mastitis akan
mengalami perubahan secara fisik dan kimia. Perubahan secara fisik antara lain
terjadinya perubahan warna, bau, rasa, dan konsistensi. Perubahan secara kimiawi
meliputi penurunan jumlah kasein dan laktosa (Subronto, 2003). Kejadian mastitis
dapat disebabkan karena kausa infeksius dan non-infeksius. Kausa infeksius
disebabkan oleh mikroorganisme patogen masuk melalui saluran puting susu ke
dalam kelenjar ambing. Kausa non-infeksius berkaitan dengan kondisi hewan/ternak
dan kondisi lingkungan. Kerugian ekonomi yang diakibatkan mastitis antara lain;
terjadinya penurunan produksi susu per kuartir per hari antara 9-45.5%, penurunan
kualitas susu yang mengakibatkan penolakan susu mencapai 30-40% dan penurunan
kualitas hasil olahan susu, peningkatan biaya perawatan dan pengobatan serta
pengafkiran ternak lebih awal (Sudarwanto dan Sudarnika, 2008). Penanganan kasus
mastitis adalah dengan penyuntikkan antibiotic langsung intramamae. Setelah
beberapa hari pasca penyuntikkan susu harus dianalisis kandungan residu
antibiotiknya menggunakan alat khusus. Apabila di dalam susu sudah negatif
kandungan antibiotikanya dilanjutkan dengan uji kandungan nutrient susu

13

menggunakan alat lactoscan. Apabila susu sudah layak konsumsi maka susu dari
ternak tersebut dapat dipasarkan kembali.

8. Brucellosis
Brucellosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri genus
Brucella. Brucella adalah bakteri yang berbentuk batang halus berukuran panjang
0,5-2,0 µ dan lebar 0,4-0,8 µ. Bakteri ini tidak bergerak, tidak berspora, bersifat
aerob dan parasit intraseluler yang dapat hidup dalam sel makrofag serta sel
epitel induk semang. Kemampuan ini yang menyebabkan pengobatan memakai
antibiotic kurang efisien dan efektif (Blood dan Radostitis 1989) serta
pemeriksaan bakteriologis yang sulit karena kuman jarang beredar di darah.
Penyebaran penyakit Bucellosis pada sapi telah dilaporkan terjadi hampir
di seluruh wilayah Indonesia yang setidaknya telah dilaporkan menyebar ke-26
propinsi (Sudibyo dan Ronohardjo, 1989). Termasuk juga BPPTU-HPT
Baturraden tempo lalu. Penularan langsung terjadi bila sapi menjilat/terjilat sisa
kelahiran tersebut. Bakteri yang dikeluarkan bersamaan dengan kelahiran tersebut
mampu menularkan lagi hingga 600 ekor sapi lain. Umumnya tingkat penularan
tertinggi terjadi selama satu bulan sejak induk penderita mengalami keguguran
atau melahirkan. Selanjutnya bakteri akan bersembunyi di dalam persendian,
kelenjar limfe (khususnya supramaria) dan kelenjar susu (Subronto 2003). Setelah
itu infeksi akan mengalami penurunan pada hari ke 48 hingga ke 90. Pada saat ini
kuman Brucella tidak dapat diisolasi dari darah atau uterus tidak bunting. Selama
proses penyakit berlangsung, hewan secara klinis nampak sepenuhnya sehat dan
lesi yang timbul bersifat ringan. Pernyataan tersebut menyebabkan akses maupun
kunjungan ke BPPTU-HPT Baturraden di tutup.
Brucellosis pada sapi jantan dapat terjadi tanpa memperlihatkan gejala
klinis walau pembesaran tetes akibat epididimistis dan orchitis terjadi (Ressang
1984). Diagnosa penyakit umumnya dilakukan berdasarkan isolasi kuman
Brucella yang dikonfirmasikan dengan pengujian bakteriologi seperti uji biokimia
dan uji serologis . Uji serologis merupakan teknik diagnosa yang umum
digunakan untuk brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan teknik
Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum Agglutination Test (SAT), dan
14

Complement Fixation Test (CFT). Sementara itu teknik diagnosa Enzymelinked
lmmunosorbent Assay (ELISA) adalah teknik diagnosa yang paling sensitif untuk
uji brucellosis .
3.2.3 Pencegahan Penyakit
Pencegahan penyakit di BBPTU-HPT Baturraden adalah dengan
melaksanakan kegiatan biosecurity. Biosecurity di BBPTU-HPT Baturraden
dilakukan dengan penyemprotan desinfectan di beberapa tempat. Contohnya ada
penyemprotan desinfektan di pintu masuk balai ini, penyemprotan di setiap
kandang dan penyemprotan di tempat pemerahan susu. Desinfektan yang
digunakan yaitu jenis Benzal Conium Clorida (BKC). Desinfektan ini berfungsi
untuk mengurangi jumlah mikroba pembawa penyakit yang berasal dari luar atau
dari lingkungan sehingga tidak menyerang ke ternak.

15

IV.

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
1.

Kontrol kesehatan di BBPTU-HPT Baturaden dilakukan dengan rutin menguji
sampel darah, feses, dan cairan vagina, setiap pagi dan sore. Kemudian uji

mastitis rutin setiap 2 kali dalam satu tahun.
2. Penyakit yang sering ditemukan adalah cacingan, endometritis, masalah
reproduksi, mastitis, diare, bloat, dan pneumonia.
3. Penanganan penyakit cacingan adalah dengan pemberian Albendasol secara oral.
Penanganan endometritis adalah dengan “spul” uterus menggunakan antiseptic.
Penanganan masalah reproduksi adalah dengan bantuan langsung manusia dan
suportif prepartus. Penanganan masalah mastitis adalah dengan penyuntikkan
antibiotic intramammae. Penanganan diare oleh bakteri adalah antibiotic, bila
berlanjut diberi b-carbon secara oral. Penanganan pneumonia adalah dengan
penggunaan alas kandang dan pergantian alas kandang berkala. Penanganan bloat
adalah dengan melubangi bagian perut dekat rumen atau dengan suplementasi
minyak nabati.
4. Pencegahan penyakit di BBPTU-HPT Baturraden adalah dengan melakukan
biosecurity baik di gerbang masuk dan juga di dalam kandang pedet khususnya.
5. kesehatan dalam ternak tergantung dari breeding ,feeding dan manajemen
ternaknya .Jika salah satu dari faktor tersebut tidak berjalan maka produksi tidak
akan maksimal . Semakin baik tingkat ternak memerlukan pemeliharaan yang
lebih baik, baiaya yang lebih besar .
4.2. Saran
BBPTU-HPT Baturraden telah melaksanakan manajemen kesehatan yang
baik maka hanya tinggal dipertahankan saja. Saran untuk praktikum farm visit
manajemen ternak perah lebih kepada efisiensi waktu dan kejelasan susunan acara
sehingga tidak ada kebingungan dari praktikan sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

16

Blood DC, OM Radostitis. 1989. Veterinari Medicine. Bailliere Tindall, London.
England.
Ensminger ME. 1991. Animal Science. Illinois: Interstate.
Foley CR, Bath LD, Dickinson NF, Tucker AH. 1972. Dairy Cattle: Principles,
Practices, Problems, Profits. Philadelphia: Lea & Febiger.
Jackson (2007) Jackson,

P,

G.

2007. Handbook Obstetrik Veteriner. Edisi ke-2.

Diterjemahkan oleh ArisJunaidi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Manan, 2002. Ilmu Kebidanan pada Ternak. Fakultas kedokteran Hewan Universitas
Syiah Kuala banda Aceh.
Nugroho, C.P. 2008. Agribisnis Ternak Ruminansia. Direktorat Pembinaan Sekolah
Menengah Kejuruan. Jakarta.
Nurdin, E., 2011. Manajemen Sapi Perah. Graha Ilmu. Yogyakarta
Putro, 2012 Putro, P.P., Prihatno, S.A., Setiawan, E.M.N. 2012.

Petunjuk

Praktikum Ruminansia I Blok 115. Bagian Reproduksi dan Kebidanan. FKH
UGM.
Ressang AA. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Institut Pertanian Bogor, Bogo
Santosa, U. 2001. Tata Laksana Pemeliharaan Ternak Sapi. PT. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Schmidt GH, Van Vleck LD, Hutjens MF. 1988. Principles of Dairy Science. Ed ke-2.
New Jersey: Prentice Hall.
Spigel YN. 2001. Clinical and Teraupeutic Aspect of Retained Fetal Placenta in Dairy
Cows Under Intensive management. TJ. The Faculty of Veterinary Medicine for
Public Criticism 20(2001):121-156.
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak I. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ Press.
Sudarwanto 1998 Sudarwanto M. 1998. Pereaksi IPB-1 sebagai Pereaksi alternatif untuk
mendeteksi mastitis subklinis. Med Vet 5 (1): 1-5.
Sudarwanto M, Sudarnika E. 2008. Nilai diagnostik tes IPB mastitis dibandingkan
dengan jumlah sel somatik dalam susu. Prosiding Konferensi Ilmiah Veteriner
Nasional; Bogor, 19-22 Agu 2008. Bogor: KIVNAS. hlm 363-365.

17

Sudibyo, A. dan P. Ronohardjo . 1989 . Brucellosis pada sapi perah . Prosiding

18