MANAJEMEN RISIKO KONTRAK KEUANGAN ISLAM

MANAJEMEN RISIKO KONTRAK KEUANGAN ISLAM
Oleh : Yuke Rahmawati, M.A
Abstrak
Mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari
kegiatan usaha, merupakan serangkaian prosedur dan metodologi dari manajemen risiko.
Dalam perspektif Islam, manajemen risiko merupakan usaha untuk menjaga amanah Allah
akan harta kekayaan demi untuk kemaslahatan manusia. Berbagai sumber ayat Qur’an
telah memberikan kepada manusia akan pentingnya pengelolaan risiko ini. Secara spesifik
aplikasinya dalam kontrak keuangan Islam, didukung dengan lahirnya beberapa
peraturan, salahsatunya tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum Syariah
Dan Unit Usaha Syariah. Peraturan ini lebih mengkhususkan segala aktivitas perbankan
umum syariah dalam menjalankan roda bisnisnya yang selalu terkait dengan risiko.
Industri keuangan Islam memiliki orientasi yang berbeda terhadap risiko, dimana risikorisiko tersebut secara spesifik tergantung pada jenis kontraknya. Serta risiko yang ada
harus ditanggung dan dibagi kepada dua pihak (risk sharring).

Keyword : Kontrak, Risk Management, Risk Sharing.
Pendahuluan
Satu tugas manusia hidup di dunia ini adalah hanya untuk beribadah pada Allah
Subhanahu wa Ta‟ala. Sebagaimana tertera dalam al-Qur‟an:
“Dan tidaklah Aku menciptakan manusia dan jin, melainkan hanya untuk beribadah
(taat/tunduk) kepada-Ku” (QS. Al-Dzariyat [51] : 56). Ayat ini mengarahkan manusia

supaya memahami, bahwa tidak boleh tidak segala aktivitas hidup harus didasarkan pada
ketaatan dan ketundukan pada Allah. Ditegaskan dalam al-Quran bahwa tak seorang pun
manusia mampu mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan, sehingga manusia harus
melalui hidupnya dengan keyakinan.
Dalam realitas hidup, manusia menghadapi beberapa hal yang sifatnya pasti dan
tidak pasti. Hidup yang diupayakan manusia memiliki arti melaksanakan tindakan dan
memuat keputusan berdasarkan informasi yang tidak sempurna. Kehidupan karenanya
mengandung ketidakpastian dan dari ketidakpastian inilah risiko berasal.Jika saja semua
hal dapat dipastikan maka manusia selalu dapat menghindari apa yang tidak diharapkan
dan selalu memperoleh apa yang diinginkan1.
Ketika kondisi-kondisi yang tidak diharapkan muncul, harus ada pengendalian yang
bisa memengaruhi kondisi yang lebih buruk terjadi. Sehingga, perlu pengelolaan risiko
yang akan dihadapi. Kondisi-kondisi tersebut bisa terjadi pada segala aktivitas hidup.
Namun penulis spesifikasi pada hal-hal yang terkait dengan perjanjian atau kontrak dimana
unsur risiko lebih dominan.Kesadaran masyarakat tentang pentingnya pengelolaan risiko
secara prudent dan terintegrasi—baik dalam industri perbankan, pasar modal, asuransi,
maupun industri non-finansial—semakin bertumbuh sejalan dengan makin tingginya risiko
di dunia usaha.
Pengertian dan Tujuan Manajemen Risiko
Maximize the wealth adalah salah satu motif manusia. Meski maksimalisasi

kekayaan juga dilakukan oleh manusia lainnya tetapi ada manusia yang menyadari

sepenuhnya bahwa dia adalah ciptaan Tuhan sehingga merasa perlu untuk
mempersembahkan sesuatu yang terbaik untuk Tuhan dan menyerahkan dirinya
sepenuhnya hanya kepada Tuhan saja.Manajemen risiko adalah merupakan salah satu
metode untuk mengelola risiko yang dihadapi dalam menjaga amanah dari stakeholder,
dalam ranah keduniawian. Sementara dalam ranah spiritual, manajemen risiko bisa
dimaknai sebagai menjaga amanah Tuhan yang dibebankan kepada manusia.
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di
muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah
tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada
diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum,
Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka
selain Dia ”. (QS. Ar-Ra‟d [13] : 11). Ayat ini jelas menyatakan bahwa risiko itu pasti
dihadapi dan harus dikelola. Manajemen risiko bertujuan untuk mengelola risiko sehingga
(organisasi) manusia bisa bertahan. Dalam perspektif Islam, manajemen risiko merupakan
usaha untuk menjaga amanah Allah akan harta kekayaan demi untuk kemaslahatan
manusia. Berbagai sumber ayat Qur‟an telah memberikan kepada manusia akan pentingnya
pengelolaan risiko ini.
Dalam “Buku Pintar Ekonomi Syariah”, risiko diartikan sebagai tingkat

kemungkinan terjadinya kerugian yang harus ditanggung dalam pemberian kredit,
penanaman investasi atau transaksi lain yang dapat berbentuk harta, kehilangan
keuntungan atau kemampuan ekonomi antara lain karena adanya perubahan suku bunga,
kebijakan pemerintah dan kegagalan usaha.2 Risiko juga dikatakan sebagai bahaya, yakni
ancaman atau kemungkinan suatu tindakan atau kejadian yang menimbulkan dampak yang
berlawanan dengan tujuan yang ingin dicapai. Dan risiko juga dikatakan sebagai peluang,
yakni sisi yang berlawanan dari peluang untuk mencapai tujuan. 3 Risiko biasa diukur
dengan standar deviasi dari hasil historis. Meskipun semua bisnis mengandung
ketidakpastian, kontrak keuangan Islam menghadapi jenis-jenis risiko yang secara alami
muncul dari aktivitas yang dijalankan. Tujuannya adalah untuk memaksimalkan profit dan
nilai tambah. 4
Risiko dapat di bedakan menjadi risiko bisnis dan risiko finansial. Risiko bisnis
muncul secara alami dari aktivitas bisnis yang dijalankan, biasanya yang terkait dengan
faktor-faktor yang memengaruhi pasaran produk, Sedangkan risiko finansial dari
kemungkinan kerugian dalam pasar keuangan akibat adanya perubahan pada variabelvariabel keuangan. Risiko juga dapat dibedakan menjadi risiko sistemik, yaitu yang
berhubungan dengan keseluruhan pasar atau perekonomian. Dan risiko nonsistemik, yaitu
yang berhubungan dengan aset atau perusahaan yang spesifik. 5 Dari macam risiko
finansial, selanjutnya dibagi menjadi risiko pasar dan risiko kredit. Sementara risiko
nonfinansial meliputi risiko opersional, risiko regulator dan risiko hukum. Risiko pasar
adalah risiko yang melekat pada instrumen dan aset yang diperdagangkan di pasar. Adapun

risiko kredit adalah risiko kegagalan nasabah untuk memenuhi kewajibannya secara penuh
dan tepat waktu sesuai dengan kesepakatan. Sedangkan risiko operasional adalah konsep
yng tidak terdefinisikan dengan jelas, risiko ini bisa muncul akibat kesalahan atau
kecelakaan yang bersifat manusiawi maupun teknis. Secara langsung atau tidak langsung,
risiko ini dihasilkan oleh ketidakcukupan atau kegagalan proses internal, faktor manusia,
teknologi atau akibat faktor-faktor eksternal. Adapun risiko hukum berhubungan dengan
risiko tidak terlaksananya kontrak, seperti terkait dengan masalah undang-undang, legislasi
dan regulasi yang memengaruhi pemenuhan kontrak atau transaksi.6
Manajemen risiko merupakan serangkaian prosedur dan metodologi yang
digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang

timbul dari kegiatan usaha. Pada dasarnya, manajemen risiko dilakukan melalui proses
identifikasi risiko, evaluasi dan pengukuran risiko dan pengelolaan risiko. Potensi kerugian
dan keuntungan tetap ada dalam usaha bisnis, meski selalu mengharapkan keuntungan
tetapi tidak menutup kemungkinan terjadi kerugian. Kerugian akibat risiko yang bersifat
spekulatif misalnya akan merugikan pihak tertentu tetapi akan menguntungkan pihak
lainnya.7
Sementara evaluasi dan pengukuran risiko bertujuan untuk mengenali dan
memahami karakterisitik risiko dengan lebih baik. dengan pemahaman yang baik, maka
risiko akan lebih mudah untuk dikendalikan. Evaluasi yang lebih sistematis dilakukan

untuk mengukur risiko tersebut.Terdapat beberapa teknik untuk mengukur risiko
tergantung jenis risikonya. Probabilitas bisa digunakan untuk mengukur risiko. Ketika
probabilitas tinggi, maka suatu risiko perlu mendapat perhatian lebih ekstra. Pengukuran
risiko yang lainnya bisa pula dilakukakan dengan teknik durasi.
Pengelolaan risiko perlu dilakukan secara cermat mengingat konsekuensinya yang
cukup serius jika gagal dalam mengelola risiko. Risiko bisa dikelola dengan berbagai cara,
seperti penghindaran, ditahan (retention), diversifikasi, atau ditransfer ke pihak lain.
Mengelola risiko dengan cara menghindar adalah cara yang paling mudah dan aman,
namun tidak optimal. Sebagai contoh jika kita menghendaki keuntungan yang tinggi dari
bisnis, tentunya kita harus menghadapi risiko tersebut dan mengelolanya dengan baik,
tidak dengan cara menghindar.
Dari pengertian risiko diatas, dapat dipahamibahwa tujuan dari manajemen risiko
adalah minimisasi kerugian dan meningkatkan kesempatan ataupun peluang. Bila akan
terjadinya kerugian, maka manajemen risiko dapat memotong mata rantai kejadian
kerugian tersebut, sehingga efek dominonya tidak akan terjadi. Pada dasarnya manajemen
risiko bersifat pencegahan terhadap terjadinya kerugian maupun „accident‟. Pelaksanaan
manajemen risiko haruslah menjadi bagian integral dari pelaksanaan sistem manajemen
perusahaan/ organisasi. Proses manajemen risiko Ini merupakan salah satu langkah yang
dapat dilakukan untuk terciptanya perbaikan berkelanjutan (continuous improvement).
Proses manajemen risiko juga sering dikaitkan dengan proses pengambilan keputusan

dalam sebuah organisasi. Manajemen risiko adalah metode yang tersusun secara logis dan
sistematis dari suatu rangkaian kegiatan: penetapan konteks, identifikasi, analisa, evaluasi,
pengendalian serta komunikasi risiko. Proses ini dapat diterapkan di semua tingkatan
kegiatan, jabatan, proyek, produk ataupun asset. Manajemen risiko dapat memberikan
manfaat optimal jika diterapkan sejak awal kegiatan. Walaupun demikian manajemen
risiko seringkali dilakukan pada tahap pelaksanaan ataupun operasional kegiatan.8
Dasar Hukum Manajemen Risiko
Badan Sertifikasi Manajemen Risiko atau disingkat BSMR adalah suatu badan
sertifikasi yang berdiri dan diresmikan pertama kalinya pada tanggal 8 Agustus 2005
sebagai tindak lanjut dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/25/PBI/2005 tentang
Sertifikasi Manajemen Risiko Bagi Pengurus dan Pejabat Bank Umum. Badan Sertifikasi
Manajemen Risiko (BSMR) bertugas untuk menyelenggarakan sertifikasimanajemen risiko
yang mengacu pada international best practices, menerbitkan sertifikat manajemen risiko,
mencabut sertifikat apabila pemegang sertifikat terbukti bersalah melakukan pelanggaran
di bidang perbankan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau
pelanggaran kode etik profesi, serta melaporkan kegiatan yang berhubungan dengan
sertifikasi secara berkala kepada Bank Indonesia. Demi menjaga kualitas sertifikasi
manajemen risiko perbankan di Indonesia mengikuti standar kualitas internasional, BSMR

bekerjasama dengan Global Association of Risk Professional (GARP) dalam bentuk

penyusunan silabus, buku kerja, materi dan soal ujian Program Sertifikasi Manajemen
Risiko. GARP adalah sebuah asosiasi profesi manajemen risiko yang memiliki reputasi
international sebagai penyelenggara sertifikasi Financial Risk Manager (FRM) yang
khususnya ditujukan bagi para pelaku industri jasa keuangan.9
Peraturan Bank Indonesia No. 13/23/PBI/2011 juga menunjukkan tentang
Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum Syariah Dan Unit Usaha Syariah.
Peraturan ini lebih mengkhususkan segala aktivitas perbankan umum syariah dalam
menjalankan roda bisnisnya yang selalu terkait dengan risiko.
Prinsip-Prinsip Manajemen Risiko Kontrak Keuangan Islam
Terdapat beberapa prinsip yang harus dipatuhi di dalam mengembangkan dan
menerapkan suatu model Manajemen Risiko. Prinsip-prinsip tersebut adalah: 10
1. Transparansi.
Prinsip ini mensyaratkan agar seluruh potensi risiko yang ada pada suatu aktivitas,
khususnya transaksi, dibeberkan secara terbuka. Risiko yang tersembunyi/
disembunyikan akan menjadi sumber permasalahan terbesar dan per definisi, tidak akan
dapat dikelola dengan baik.
2. Pengukuran yang Akurat.
Prinsip ini mewakili sisi sains dari konsep Manajemen Risiko, dan mensyaratkan
investasi berkesinambungan untuk berbagai teknik dan alat yang akan digunakan
sebagai syarat dari proses Manajemen Risiko yang kuat.

3. Informasi Berkualitas yang Tepat Waktu.
Prinsip ini akan turut menentukan akurasi pengukuran dan kualitas keputusan yang
diambil. Sebaliknya tidak terpenuhinya prinsip ini bisa membawa manajemen pada
suatu keputusan yang berisiko fatal.
4. Diversifikasi
Sistem Manajemen Risiko yang baik menempatkan konsep diversifikasi sebagai sesuatu
yang penting untuk dicermati. Hal ini menuntut pola pemantauan yang konstan dan
konsisten. Asumsinya adalah bahwa konsentrasi (Risiko) dapat muncul setiap saat
seiring dengan berbagai perubahan yang terjadi di dunia.
5. Independensi
Berdasarkan prinsip independensi, keberadaan suatu kelompok Manajemen Risiko yang
independen makin dianggap sebagai suatu keharusan. Prinsip ini tidak sekedar berbicara
tentang kewenangan dan level tanggung jawab dari kelompok Manajemen Risiko dan
kelompok/unit lainnya dalam perusahaan, melainkan juga tentang tentang visi
perusahaan dan kualitas interrelasi antara kelompok Manajemen Risiko dengan
kelompok/unit lainnya, dan juga antar kelompok/unit yang melaksanakan transaksi
dengan mengambil risiko tertentu.
6. Pola Keputusan yang Disiplin.
Porsi sains dalam konsep Manajemen Risiko memang telah memberikan banyak
kontribusi bagi kemampuan Manajemen Risiko dalam melakukan pengukuran risiko

namun kualitas keputusan tetap saja tergantung pada bagaimana manajemen
memutuskan cara terbaik untuk menggunakan alat/teknik tertentu dan memahami
keterbatasan yang dimiliki oleh alat/teknik tersebut.
7. Kebijakan
Prinsip ini mensyaratkan bahwa tujuan dan strategi Manajemen Risiko suatu perusahaan
harus dirumuskan dalam sebuah Policy, Manual & Procedure yang jelas. Policy harus

secara jelas menjabarkan dan mendefiniskan filosofi Manajemen Risiko perusahaan dan
menyediakan keseluruhan pendekatan yang digunakan serta organisasi dari proses
pengambilan Risiko. Tujuan utama dari hal tersebut adalah untuk memberikan kejelasan
mengenai proses Manajemen Risiko, baik untuk pihak internal maupun untuk pihak
eksternal seperti regulator dan para analis.
Secara historis penerapan manajemen risiko pada bank, dalam hal ini BI sendiri
baru mulai menerapkan aturan perhitungan capital adequacy ratio (CAR) pada bank sejak
1992.(Tedy, InfoBankNews.com). Sementara itu, bank dengan prinsip syariah lahir
pertama kali di Indonesia pada tahun yang sama. Jadi jika dilihat dari usia sistem
perbankan syariah, hal ini merupakan tantangan yang berat. Bank syariahpun akan sangat
sulit mengikuti konsep yang telah dijalankan perbankan konvensional dalam hal
manajemen risiko, mengingat perbankan konvensional membutuhkan waktu yang panjang
untuk membangun sistem dan mengembangkan teknik manajemen risiko. Dalam hal ini

Islamic Financial Services Board (IFSB), telah merumuskan prinsip-prinsip manajemen
risiko bagi bank dan lembaga keuangan dengan prinsip syariah. Pada 15 Maret 2005 yang
lalu, exposure draft yang pertama telah dipublikasikan. Dalam executive summary draft
tersebut dengan jelas disebutkan bahwa kerangka manajemen risiko lembaga keuangan
syariah mengacu pada Basel Accord II (yang juga diterapkan perbankan konvensional) dan
disesuaikan dengan karakteristik lembaga keuangan dengan prinsip syariah. 11
Karakter dari aktifitas keuangan Islam tidak bisa dipahami tanpa adanya
pemahaman yang jelas tentang prinsip-prinsip berbagi keuntungan dan kerugian (Profit
and Loss Sharing / PLS). Kontrak-kontrak PLS merupakan dasar bagi keuangan Islam dan
Musyarakah serta Mudharabah adalah dua kontrak paling umum yang menggunakan
skema PLS dalam keuangan Islam. Dalam hal ini, misalnya Bank dan nasabah bekerjasama
sebagai mitra dan melakukan aktifitas-aktifitas bisnis. Aktifitas di mana bank hanya
berpartisipasi dengan memberikan modal maka kontrak ini disebut sebagai Mudharabah.
Pada kontrak Musyarakah, bank dapat ambil bagian dalam pengelolaan atas bisnis bersama
yang dilakukan. Skema-skema lainnay yang terdapat dalam kontrak keuangan Islam
diantaranya; Murabahah, Salam, Istisna, dan Ijarah. Yang masing kontrak tersebut dalam
aplikasinya memiliki risiko-risiko yang harus diperhatikan.
Lembaga keuangan Islam dihadapkan pada risiko yang tinggi dalam hal kredit,
operasional, pasar dan likuiditas yang disebabkan oleh pola PLS tadi. Dibutuhkan kontrak
kerjasama yang transparan sebagai sebuah dasar bagi transaksi yang dilakukan. Syar‟iah

menuntut bahwa kontrak kerjasama harus dibuat dengan menggunakan istilah-istilah yang
jelas dan tidak boleh ada hal yang disembunyikan atau dibiarkan tidak jelas.
Ketidakjelasan tidak diperbolehkan terjadi dan dianggap sebagai Gharar . Lebih jauh dari
itu, kontrak harus sesuai dengan aturan-aturan dan prinsip-prinsip Syari‟ah.12
Permasalahan Manajemen Risiko pada Kontrak Keuangan Islam
Survei yang dilakukan Islamic Development Bank (2001) terhadap 17 lembaga
keuangan syariah dari 10 negara mengimplikasikan, risiko-risiko unik yang harus dihadapi
bank syariah lebih serius mengancam kelangsungan usaha bank syariah dibandingkan
dengan risiko yang dihadapi bank konvesional. Survei tersebut juga mengimplikasikan
bahwa para nasabah bank syariah berpotensi menarik simpanan mereka jika bank syariah
memberikan hasil yang lebih rendah daripada bunga bank konvesional. Lebih jauh survei
tersebut menyatakan, model pembiayaaan bagi hasil, seperti diminishingmusyarakah,
musyarakah, mudharabah, dan model jual-beli, seperti salam dan istishna’, lebih berisiko
ketimbang murabahah dan ijarah.(Rahmani, 2010).

Industri keuangan Islam memiliki orientasi yang berbeda terhadap risiko. Risikorisiko tadi secara mendasar lebih melekat pada tipe kontrak kerjasama sebagai akibat dari
proses pembentukan yang unik pada kontrak di dunia perbankan Islam. Berbagi
keuntungan dan kerugian merupakan sifat khusus pada sejumlah kontrak keuangan Islam,
selain itu karakter lainnya adalah hubungan yang berubah antar pihak yang terlibat selama
masa berlakunya kontrak. Hal ini menghadapkan pihak-pihak yang terlibat pada sejumlah
risiko. Risiko-risiko ini secara spesifik tergantung pada jenis kontrak. Hal yang bisa
diperkirakan secara akurat biasanya tidak menimbulkan risiko, kondisi tidak bisa
diprediksikan lah yang merupakan pencetus terjadinya risiko. Semakin tinggi tingkat
ketidakpatian maka semakin tinggilah resiko yang ada. Risiko seharusnya tidak perlu ada
di pasar di mana terdapat informasi yang benar-benar sinkron. Informasi yang tidak
sinkron (asymmetric information) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan tidak bisa
dihindari di pasar. Ketidak sinkronan menyebabkan ketidakpastian di mana kemudian
ketidakpastian menciptakan resiko.

Strategi Penguatan Manajemen Risiko Kontrak Keuangan Islam
Manajemen risiko mengenal proses dan strategi modern dengan mengadopsi
berbagai alat analisa risiko. Elemen terpenting dari manajemen risiko adalah memahami
konsep timbal balik antara risiko dengan tingkat return. Manajemen risiko yang
komprehensif harus mencakup tiga komponen, yakni;13
1. Membangun Lingkungan Manajemen Risiko yang tepat serta kebijakan dan prosedur
yang sehat. Tahap ini berhubungan dengan seluruh tujuan dan strategi lembaga
keuangan terhadap risiko dan kebijakan-kebijakan menajemen terhadapnya, seperti
mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengidentifikasi, memonitor, mengukur
dan mengontrol risiko-risiko. Kebijakan dan prosedur meliputi proses review
manajemen risiko, batas toleransi risiko yang tepat, sistem pengukuran risiko yang
memadai, istem pelaporan yang komprehensif dan sistem kontrol internal yang efektif.
Panduan dan strategi harus dibuat untuk membatasi risiko yang melekat pada aktivitas
yang dijalankan.
2. Menciptakan Pengukuran, Mitigasi, dan Monitoring yang tepat. Lembaga harus
memiliki sistem manajemen informasi untuk mengukur, memonitor, mengontrol dan
melaporkan berbagai eksposure risiko.
3. Kontrol Internal yang cukup. Sebuah sistem kontrol internal yang efektif mencakup
proses identifikasi dan evaluasi berbagai jenis risiko yang cukup dan terdapat sistem
informasi yang memadai untuk mendukungnya. Struktur pemberian insentif dan
tanggung jawab yang sesuai dengan penurunan risiko yang diambil pada sebagian
pegawai juga memberikan elemen penting untuk mereduksi keseluruhan risiko.
Struktur pemberian insentif yang efisien akan membatasi posisi seseorang pada tingkat
tertentu dan mendorong para pengambil kebijakan agar mengelola risiko yang konsisten
dengan tujuan lembaga/organisasi.

Ruang lingkup

Identifikasi Resiko

Analisa Resiko

Evaluasi Resiko
Pengendalian Resiko

Proses Manajemen Risiko
a. Manajemen Risiko Kredit.
Strategi manajemen risiko kredit harus diketahui oleh seluruh bagian dalam lembaga
keuangan dengan menunjukkan tujuan atau kemauan lembaga dalam menyalurkan
pembiayaan di berbagai sektor, baik usaha, lokasi geografis, jangka waktu, tingkat
propabilitas dan tujuan kualitas kredit.
b. Manajemen Risiko Suku Bunga
Lembaga keuangan/Bank harus memiliki manajemen risiko suku bunga untuk
mengukur, memonitor, mengontrol dan melaporkan eksposure suku bunga. Sistem
pengukuran harus mampu memanfaatkan konsep keuangan dan teknik manajemen
risiko untuk menilai seluruh risiko suku bungan yang melekat pada aset, liabilitis, dan
posisi-posisi dalam off balance sheet. Menukur risiko suku bunga adalah GAP analysist,
duration GAP, dan GAP simulation.
c. Manajemen Risiko Likuiditas
Esensi dari masalah manajemen likuiditas adalah adanya hubungan timbal balik antara
likuiditas dan profitabilitas, dan adanya mismacth antara permintaan dan penawaran
aset-aset likuid. Lembaga keuangan harus menentukan proses pengukuran dan
monitoring kebutuhan pendanaan lebih dengan membuat penilaian terhadap cash inflow
dan cash outflow. Fungsi audit internal juga perlu untuk mereview proses manajemen
likuiditas secara berkala, untuk mengidentifikasi masalah dan kelemahan dalam
mengambil langkah-langkah yang tepat.
d. Manajemen Risiko Operasional
Risiko Operasional memang cukup kompleks sehingga sangat sulit untuk mengukurnya.
Sebagian besar teknik pengukuran risiko operasional yang ada masih sangat sederhana
dan bersifat eksperimental. Misalnya, mengumpulkan informasi dari berbagai jenis

laporan, baik laporan audit, laporan pengawasan, laporan manajemen, rencana bisnis,
rencana operional, tingkat error dan lain-lain. Unsur penting lainya adalah meyakinkan
bahwa sistem pelaporan telah konsisten, aman, dan bisnis yang independen. Serta audit
internal memainkan peran penting dalam memitigasi risiko operasional.14
Sikap Terhadap Risiko
Sektor usaha Islam sama sekali tidak luput dari kekuatan ekonomi saat ini. Investor
dan pemilik modal islam menunjukkan reaksi berupa perhatian dan kecemasan yang sama,
seperti kondisi keuangan yang tidak likuid, risiko kredit, risiko struktur modal, risiko mata
uang, dan risiko ekonomi secara keseluruhan.
Dalam keuangan syariah terdapat dua aksioma atau kaidah fiqh yang terkait dengan
risiko, yakni al kharaj bi al dhaman dan al ghurmu bi al ghurm. Yang memiliki arti bahwa
setiap return yang didapat dari aset, secara instrinsik terkait dengan tanggung jawab atas
kerugian yang muncul dari aset. Kaidah in identik dengan aksioma keuangan high riskhigh return. Konsep keuangan Islam melarang adanya pemisahan antara return dan
tanggung jawab untuk menanggung kerugian. Justru risiko yang ada harus ditanggung dan
dibagi kepada dua pihak (risk sharring). Prinsip universal dalam risiko adalah, tingkat
return yang diharapkan atas investasi bergantung pada tingkat risiko, semakin tinggi pula
return yang akan didapat, begitu pula sebaliknya. Prinsip ini relevan dengan kaidah yang
telah ditetapkan oleh ulama fiqh.15
Berdasarkan hal ini, persoalan penting terkait dengan pemikiran ulama fiqh atas
konsepsi risiko. Pertama, kewajiban untuk menanggung risiko dan penerimaaan return
tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Return yang ada akan sebanding dengan potensi
dengan risiko, dan sebaliknya. Walaupun demikian kondisi ini akan sangat sulit dipenuhi
dalam kontrak keuangan syariah, begitu juga dengan implikasi yang ada. Kedua,
kebanyakan orang tidak menyukai risiko sehingga lembaga keuangan yang bekerja atas
nama mereka, harus ekstra hati-hati dan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak
mengambil risiko yang berlebihan.
Dalam perspektif praktis toleransi terhadap risiko keuangan, lembaga keuangan
harus berusaha menghilangkan risiko finansial sebisa mungkin. Menggunakan modal yang
dimiliki dengan lebih efisien untuk mengakumulasi jumlah aset dan memaksimalkan
tingkat return atas ekuitas yang dimiliki. Selain itu perlu pencadangan yang lebih besar,
memiliki kontrol internalyang lebih akurat serta teknik manajemen risiko yang lebih
efisien.
Risiko Kredit Pembiayaan Islam
Kontrak keuangan Islam sangat sarat dengan kesepakatan-kesepakatan yang unik
dan memiliki karakter individual. Karakteristik semacam itu lebih bersifat kualitatif dan
tidak selalu terdefinisikan dan terdokumentasi dengan baik dibandingkan dengan kontrak
keuangan yang lebih bersifat konvensional. Sebagai contoh, selama masa berlakunya
kontrak keuangan Islam dapat terjadi kasus di mana terdapat ketidak jelasan apakah dan
bagaimana eksposur risiko kredit ditanggung dengan adanya jaminan atau agunan. Aspek
penting lain yang harus diingat adalah bahwa, disebabkan penerapan kontrak keuangan
Islam yang relatif baru, maka ada keterbatasan informasi mengenai kriteria kualitatif dan
kuantitatif yang digunakan untuk membuat kontrak-kontrak tersebut. Selain itu, lembaga
keuangan Islam menghadapi tantangan dalam hal memperkenalkan struktur kontrak dan
portofolio yang baru atau dalam hal memodifikasi struktur kontrak dan portofolio yang

sudah ada. Akhirnya agar diingat bahwa semakin meningkatnya angka kebangkrutan
secara global dan meningkatnya spread yang bersaing dalam pinjaman dan kebijakan
kredit yang disesuaikan dengan risiko adalah beberapa alasan yang membuat evaluasi
terhadap risiko kredit menjadi lebih penting dari sebelumnya.16
Dalam analisa eksposur risiko kredit, faktor kuncinya adalah mengidentifikasi
hubungan antara pihak-pihak yang terlibat kontrak (counterparties), kontrak keuangan
Islam dan jaminan serta agunan yang digunakan untuk menanggung kemungkinan
kerugian jika terjadi kondisi gagal bayar. Secara lebih analitis lagi, setiap pihak yang
terlibat kontrak bisa terhubung dengan satu atau dua kontrak, dan dapat pula terhubung
dengan counteparty lainnya yang didefinisikan sebagai jaminan atau agunan. Memang
pada kenyataanya dalam satu lembaga keuangan terdapat banyak counterparty yang
terhubung dengan sejumlah kontrak. Selain itu, banyak kontrak keuangan Islam terhubung
dengan sejumlah besar counterparty dan banyak jenis jaminan serta agunan yang
digunakan untuk menanggung eksposur pada sejumlah kontrak dan counterparty secara
paralel. Dengan mempertimbangkan bahwa ketiga hal ini saling terhubung dengan derajat
yang berbeda-beda, seperi dalam hal masa siklus berlangsungnya suatu kontrak atau dalam
hal luasnya tanggungan kerugian yang dicakup jaminan dan agunan, masalah
mengindetifikasi dan mengukur eksposur kredit merupakan suatu proses yang rumit.
Dalam sistem pembiayaan Islam di mana ada identifikasi khusus tentang rating
jaminan dan agunan, lembaga keuangan hanya memiliki indikasi tertentu tentang cakupan
risiko aktual terhadap eksposur kontrak yang dijalankan. Namun demikian indikasiindikasi semacam itu harus didefinisikan secara kuantitatif dan menjadi bagian dari sistem
manajemen risiko. Evaluasi terhadap counterparty juga terhubung dengan kriteria kualitatif
seperti rating eksternal atau internal, industri atau lokasi geografis.17
Risiko Operasional pada Kontrak Keuangan Islam
Operasional risk adalah risiko terjadinya kerugian bagi lembaga keuangan oleh
ketidakcukupan atau kegagalan proses didalam manajemen lembaga tersebut, sumber daya
manusia dan sistem. Definisi opersional risk berasal dari Basel Accord II Framework, yang
mencakup unsur-unsur risiko yang terkait dengan proses internal, sumber daya manusia,
sistem, external events, legal and regulatory requirement. Risiko operasional ini
setidaknya mampu merusak profitabilitas dan nilai permodalan (saham), bahkan jumlah
nilai kerugiannya pun bisa menyamai kerugian akibat risiko kredit dan risiko pasar.18
Menurut panduan Dewan Layanan Keuangan Islam (Islamic Financial Services
Board) lembaga keuangan dihadapkan pada risiko operasional ketika kerugian-kerugian
terjadi disebabkan oleh tidak berjalannya fungsi pengawasan internal yang melibatkan
proses, sumber daya manusia dan sistem. Selain itu, lembaga keuangan harus menyertakan
ke dalam tanggung jawabnya sebagai lembaga yang memegang kepercayaan menyimpan
dana (fiduciary responsibilities), hal-hal yang mungkin menjadi penyebab timbulnya
kerugian yang diakibatkan oleh ketidak patuhan kepada syari‟ah dan kegagalan usaha.
Karakter khusus pada penerapan kontrak keuangan Islam adalah kuatnya keterlibatan
antara lembaga keuangan dan para mitra usaha. Selain itu, ketika menerapkan kesepakatan
kemitraan (seperti dalam Musyarakah dan Mudharabah), kedua belah pihak berbagi
keuntungan dan kerugian. Oleh karenanya, ada keterlibatan semua pihak (bank, pihak
pembeli, pihak penyewa, mitra usaha, dst) dalam faktor penyebab risiko operasional.

Manajemen Risiko pada Kontrak Profit and Loss Sharing (PLS)19

PLS adalah salah satu prinsip dasar dari pembiayaan Islam dan bisa diwujudkan
dalam sejumlah format tergantung pada tipe kontrak kerjasamanya. Format yang paling
umum adalah di mana bank menyediakan dana sementara pengusaha menyediakan waktu
dan usaha. Pada akhir dari periode yang disepakati, bila ada keuntungan maka dibagi
dengan proporsi yang sudah disepakati. Sebaliknya jika terdapat kerugian maka umumnya
bank lah yang menanggung semua beban, kecuali jika terjadi mismanajemen dan kelalaian
yang dilakukan oleh pihak pengusaha. Oleh karenanya maka tampak jelas bahwa risiko
yang ada pada kontrak kerjasama dengan pola berbagi keuntungan dan kerugian jauh lebih
besar. Utamanya rate of return dari setiap investasi dihitung secara ex-post dan oleh
karenanya apapun bentuk rate of return yang sudah ditetapkan sebelumnya tidak
diperkenankan dalam Islam. Kontrak kerjasama dengan pola Profit and Loss Sharing
mempengaruhi bank dalam banyak hal pada neraca keuangannya. Penggunaan dana
deposan dicatat sebagai liability karena merupakan sebuah penggunaan yang tidak terbatas
terhadap dana deposan untuk membiayai kegiatan pengusaha. Penyediaan dana untuk
pengusaha dicatat pada neraca aset.20
Sebagai produk layanan keuangan Islam, pembiayaan Musyarakah dan
Mudharabah termasuk pada pembiayaan ekuitas. Musyarakah juga dikenal dengan nama
“Pembiayaan kemitraan” atau ”Pembiayaan joint venture” . Fiqh Islam tidak pernah
menyebutkan kata-kata Musyarakah; kata ini diturunkan dari akar kata “syirkah” yang
berarti berbagi. Distribusi kekayaan yang tidak merata dianggap sebagai sebuah dosa
dalam Islam dan oleh karenanya kemitraan apapun yang mengusung distribusi keuntungan
dan kerugian yang tidak merata tidak diperbolehkan. Musyarakah adalah bentuk dari
pembiayaan ekuitas yang merujuk pada sebuah kesepakatan kemitraan antara bank dan
nasabah di mana ekuitas secara bersama dikontribusikan terhadap keuntungan dan
kerugian berdasarkan batasan-batasan yang sudah disepakati, dan oleh karenanya bukan
hanya semata meminjamkan uang. Modal yang digunakan bisa jadi dalam bentuk uang
cash atau dalam bentuk barang atau aset. Rasio pembagian keuntungan dapat ditentukan
pada saat perjanjian dan jika rasio berbagi rugi tidak disebutkan maka kerugian akan secara
otomatis dibagi berdasarkan proporsi modal yang disertakan. Kedua pihak memiliki hak
untuk mengelola meski salah satu dari kedua pihak bisa saja menyerahkan haknya kepada
yang lain. Musyarakah digunakan dalam kasus-kasus yang melibatkan investasi besar dan
untuk proyek-proyek joint venture. Dalam Musyarakah, pembiayaan dilakukan oleh kedua
belah pihak. Bila hanya satu pihak yang membiayai keseluruhan proyek maka bentuk
Mudharabah lah yang digunakan.
Gambar. 1
Skema Kontrak Musyarakah pada Bank Syariah

Contoh kasus pada Kontrak Musyarakah:
Nasabah X dari bank ABC berencana akan memulai operasi sebuah pabrik yang
menghasilkan lantai keramik. Bank masuk perjanjian dengan nasabah X tadi dengan
kontribusi modal sebanyak 40% sementara nasabah X sebanyak 60%. Bank menyerahkan
haknya untuk mengelola bisnis kepada nasabah X. Mereka sepakat untuk berbagi
keuntungan dengan perbandingan 20% untuk bank dan 80% untuk nasabah. Ketika terjadi
keuntungan maka mereka akan berbagi dengan perbandingan 1:4 sementara jika terjadi
kerugian maka pola sharingnya adalah 2:3 (rasio permodalan).
Musyarakah bisa juga dilakukan dengan bentuk Diminishing Musyarakah
(Musyarakah surut) di mana si pengusaha terus membeli saham dari mitranya dan akhirnya
akan membuat surut kepemilikan saham mitra tersebut, dan akhirnya akan habis sama
sekali. Penggunaan yang memungkinkan dari Musyarakah dapat dilakukan untuk
pembiayaan perumahan. Namun demikian Diminishing Musyarakah tidak bisa digunakan
dengan mudah untuk transaksi-transaksi dagang biasanya. Aturan umum kemitraan berlaku
atas penghentian kerjasama Musyarakah. Mitra yang terlibat dapat menghentikan
kerjasama Musyarakah dengan memberikan surat pemberitahuan. Kematian atau kondisi
gila dari salah satu pihak juga bisa menyebabkan berhentinya perjanjian Musyarakah.

Gambar. 2
Skema Kontrak Musyarakah Mutanaqishah pada Bank Syariah

Contoh kasus pada kontrak Musyarakah Mutanaqishah:
Nasabah X dari bank ABC berencana memulai operasi sebuah layanan transportasi
komersial dengan membeli sebuah kendaraan angkut penumpang. Bank masuk ke
perjanjian Musyarakah surut dengan nasabah di mana bank mengkontribusikan 90% dari
biaya pembelian kendaraan sementara nasabah mengkontribusikan 10% nya (pada
pembiayaan konvensional biasanya disebut dengan down-payment). Dari keuntungan yang
diperoleh, nasabah mendapatkan 25% sementara 75% sisanya merupakan bagian bank.
Mari kita asumsikan bahwa kontribusi modal dibagi menjadi 20 unit yang sama maka bank
memiliki 18 unit sementara nasabah memiliki 2 unit. Pada interval waktu yang sudah
disepakati katakanlah dua bulan, nasabah terus membeli satu unit modal dari yang
dikontribusikan oleh bank, sehingga nasabah terus menambah kontribusinya dan kontribusi
bank pun berkurang. Setelah 36 bulan, nasabah akan memiliki seluruh unit modal yang
dikontribusikan oleh bank yang artinya ia memiliki kendaraan secara utuh.
Sedangkan Mudharabah lebih dikenal dengan nama “kemitraan pasif”.
Mudharabah merupakan sebuah pola kemitraan di mana salah satu mitra
mengkontribusikan modal (rabb-ul-mal) dan yang lainnya adalah pengelola (mudharib).
Bentuk ini juga merupakan salah satu pembiayaan ekuitas dan lebih populer dibandingkan
dengan Musyarakah. Mitra yang menanamkan modal tidak bisa ambil bagian dalam
pengelolaan perusahaan. Mitra yang menanamkan modal dapat menyertakan dana dengan
sebuah batasan bahwa dana tersebut akan diinvestasikan di bisnis tertentu dan disebut
dengan Mudharabah terbatas (restricted Murdharabah). Atau bisa juga rabb-ul-mal
mengizinkan sang mudharib untuk menanamkan modal di bisnis apapun, dan disebut
dengan Mudharabah tidak terbatas (unrestricted mudharabah). Banyak bank
menggunakan Mudharabah untuk memobilisasi dana melalui rekening tabungan dan
investasi.

Gambar. 3
Skema Kontrak Mudharabah di Bank
Syariah

Contoh kasus kontrak Mudharabah:
Nasabah X melakukan pendekatan ke bank ABC agar mau menanamkan modal
pada produksi lantai keramik namun menyatakan dengan tegas bahwa dia tidak bisa
mengkontribusikan modal apapun. Bank menanamkan modal dengan memberikan seluruh
dana yang dibutuhkan untuk bisnis tersebut sementara nasabah yang bertanggung jawab
atas pengelolaannya. Nasabah dan bank merupakan mitra dalam kerjasama ventura ini.
Musyarakah dan Mudharabah memiliki kesamaan. Tetapi keduanya tidak bisa
disamakan dengan sekedar pembiayaan untuk suatu usaha semata. Keduanya mensyaratkan
partisipasi dalam bisnis baik dalam bentuk kontribusi modal atau manajemen atau
keduanya dan melarang pihak yang terlibat untuk mengambil keuntungan dengan
merugikan pihak lain dalam hal berbagi keuntungan dan kerugian. Para mitra bebas untuk
menentukan rasio pembagian keuntungan dan kerugian, berdasarkan kondisi tersebut
dalam hal di mana terjadi kerugian maka harus dibagi berdasarkan rasio kontribusi modal
sementara itu keuntungan bagi mitra yang melakukan pembiayaan (yang tidak ikut
berpartisipasi dalam pengelolaan) tidak boleh melampaui jumlah kontribusi modalnya. Dua
tipe kontrak ini dapat di-sekuritas-kan, khususnya ketika nilai investasinya besar. Investasi
tersebut sebagian bisa dibagi sama besarnya kemudian sertifikat Musyarakah/Mudharabah
dapat diterbitkan bagi masing-masing kontributor yang berfungsi sebagai sertifikat
debenture. Dengan kondisi tertentu sertifikat-setifikat ini bisa diperjualbelikan di pasar
sekunder dan kemudian dapat memberikan likuiditas yang sangat dibutuhkan oleh bankbank Islam. Berbagai ahli syari‟ah memiliki pendapat yang berbeda tentang dapat
dinegosiasikannya sertifikat-sertifikat ini. Sebagian meyakini bahwa jika investasi itu
dalam bentuk tunai dan aset maka bisa diperjualbelikan pada nilai yang lebih besar dari
nilai aset sementara sebagian lainnya menyatakan hal itu tidak bisa dilakukan. Bagi para
bankir, musyarakah dan mudharabah bisa digunakan untuk membiayai perdagangan impor
dan eskpor. Kedua tipe kontrak ini juga bisa digunakan untuk membiayai kebutuhan modal
kerja yang didasarkan pada transaksi. Dalam kondisi di mana suatu bisnis memiliki sedikit
aset maka akan mudah untuk menggunakan metode Musyarakah namun ketika aset yang
dimiliki jumlahnya besar maka metode bagi keuntungan dapat dilakukan dengan patokan
keuntungan kotor dan bukan keuntungan bersih lalu pengusaha bisa diberikan kompensasi
dengan cara meningkatkan bagian keuntungannya agar bisa menutupi biaya tidak
langsung. Overdraft harian secara teoritis bisa disediakan dengan menggunakan instrumen
ini namun secara praktis sulit untuk dilakukan. Namun demikian, ada sejumlah masalah
terkait dengan instrumen-instrumen ini yang telah menyebabkannya kurang populer di
kalangan bankir. Bank memiliki risiko kerugian yang lebih besar ketika menggunakan
instrumen-instrumen ini dan oleh karenanya para pemegang saham enggan untuk
berinvestasi. Masalah lain dapat muncul ketika pengusaha melakukan kecurangan terhadap
bank dan tidak secara terbuka dan jujur memberikan status keuangan usaha.

Bentuk Risiko dalam Kontrak PLS
Identifikasi risiko-risiko yang ada pada kontrak Musyarakah:
1. Risiko kredit, risiko operasional, risiko pasar dan risiko likuiditas adalah risiko-risiko
utama yang dihadapi oleh lembaga keuangan ketika menjalankan baik kontrak
Musyarakah permanen maupun kontrak Musyarakah surut.

2. Risiko-risiko yang dihadapi saat menjalani kontrak Musyarakah permanen adalah :
Pada kontrak Musyarakah permanen, lembaga keuangan mempunyai andil kemitraan
dalam usaha yang dijalankan maka kejadian eksternal apapun atau secara umum
aktifitas-aktifitas apapun yang tidak berjalan dengan semestinya atau kegagalankegagalan yang disebabkan oleh risiko usaha yang menyebabkan kerugian akan
mengakibatkan terjadinya risiko operasional. Harus diingat bahwa lembaga keuangan
yang melibatkan diri dalam kontrak Musyarakah harus mau berbagi baik keuntungan
maupun kerugian. Rasio bagi untung yang disepakati bisa jadi berbeda dengan rasio
modal, sementara rasio bagi rugi harus sama dengan rasio modal sebagaimana
dijelaskan dalam bahasan Musyarakah permanen di bab 1 (rasio bagi untung adalah 1:4
sementara rasio bagi rugi adalah sama dengan rasio modal yaitu 2:3). Pada situasi
seperti ini, lembaga keuangan mengalami penyebaran porsi keuntungan dan kerugian
yang tidak menguntungkan.
Sebagai akibat dari ketidakmampuan kredit terkait dengan kontrak Musyarakah
permanen yang disebutkan di atas, lembaga keuangan bisa jadi menghadapi risiko
likuiditas karena bisa saja lembaga keuangan tersebut tidak mampu menyediakan dana
tunai yang cukup untuk investasi dan kegiatan usahanya yang lain. Akhirnya, kerugian
besar apapun pada kontrak Musyarakah dapat menyebabkan tidak bisa dilanjutkannya
suatu usaha. Kejadian semacam itu dapat berujung pada pembayaran “ekuitas terakhir”
yang sangat mungkin akan memiliki harga pasar yang lebih rendah dari harga awal. Pada
kasus ini lembaga keuangan dihadapkan pada risiko pasar.
Terdapat beberapa langkah untuk mengelola risiko kontrak Musyarakah dan
Musyarakah surut, diantaranya :
1. Pengelolaan Risiko Operasional. Risiko operasional utamanya disebabkan oleh
risiko bisnis. Lembaga keuangan yang mempunyai hak dalam pengelolaan usaha
kemitraan semacam itu bisa berpartisipasi dan atau memonitor proses usaha yang
dijalankan untuk meminimalisir risiko-risiko terkait. Lebih jauh lagi, polis asuransi
dapat digunakan untuk meng cover kerugian-kerugian besar yang disebabkan oleh
kejadian-kejadian eksternal.
2. Pengelolaan Risiko Kredit. Sama dengan pengelolaan resiko operasional, lembaga
keuangan dapat meminimalisir resiko kredit pada kontrak Musyarakah permanen
dengan cara terlibat langsung dalam aktifitas bisnis dan atau memonitor kondisi
neraca keuntungan dan kerugian usaha yang dijalankan. Lebih jauh lagi, penjualan
ekuitas terakhir merupakan semacam jaminan untuk meminimalisir kerugian dari
resiko kredit semacam itu. Akhirnya lembaga keuangan dapat meminimalisir resiko
kredit pada kontrak Musyarakah surut dengan cara mempunyai hak untuk menjual
ekuitas terakhirnya kepada pihak ketiga dengan persetujuan dewan Syari‟ah.
3. Pengelolaan resiko pasar pada kontrak Musyarakah. Lembaga keuangan harus
menentukan sebuah strategi yang jitu dalam menghadapi resiko pasar pada kontrak
Musyarakah Permanen di mana “stop loss” harus dengan jelas ditentukan agar bisa
menjual harga ekuitas terakhir. Di sisi lain, untuk resiko pasar dari kontrak
Musyarakah surut yang disebabkan oleh fluktuasi pasar, maka analisa statis dan
dinamis dapat diterapkan agar bisa mengestimasi current dan future Value at Risk
(VaR) dan mengevaluasi signifikansi dari ancaman resiko pasar. Untuk
meminimalisir resiko kredit dan resiko pasar, lembaga keuangan yang menjalani
kontrak Musyarakah surut harus menetapkan pembayaran atas penjualan ekuitas
kepada mitranya dengan sejumlah cicilan yang sudah disiapkan.
4. Pengelolaan resiko likuiditas pada kontrak Musyarakah. Pada kontrak Musyarakah
resiko likuiditas adalah akibat dari resiko-resiko lainnya. Lembaga keuangan dapat

menghindari resiko tersebut baik dengan cara mengelola sumber dari mana resiko
berasal atau dengan cara menahan (tidak memberi-pentj) modal tambahan.
Identifikasi resiko pada kontrak kemitraan Mudharabah
Lembaga keuangan yang menjalani kontrak Mudharabah dihadapkan pada risiko
operasional, risiko pasar, dan risiko likuiditas. Analisa terhadap identifikasi risiko pada
kontrak Mudharabah dibagi menjadi dua periode : a) selama masa berjalannya investasi
dari perjanjian yang dilakukan, dan b) selama masa bagi untung dan tanggung rugi, jika
ada. Masalah-masalah yang berkaitan dengan resiko yang muncul selama masa bagi
untung rugi pada kontrak Mudharabah terdiri dari : setelah masa investasi awal, kontrak
Mudharabah diharapkan memberikan keuntungan finansial (profit). Namun demikian,
kontrak Mudharabah berpotensi menyebabkan lembaga keuangan yang merupakan mitra
keuangan berhadapan pada risiko operasional, risiko kredit, risiko pasar dan risiko
likuiditas sebagai berikut :
1. Karena lembaga keuangan dalam kontrak Mudharabah memiliki andil kemitraan
pada bisnis aktual yang dibiayai olehnya maka lembaga keuangan secara serta
merta dihadapkan pada risiko bisnis dan risiko operasional. Hal ini terjadi
disebabkan oleh kejadian eksternal atau di internal usaha dan menyebabkan
kerugian terhadap bisnis yang sedang dijalankan. Selanjutnya, atas kegiatankegiatan usaha yang berjalan tidak sebagaimana mestinya atau terjadinya
kegagalan-kegagalan dalam usaha yang ada di luar cakupan “due diligence” yang
terjadi selama dijalankannya proses operasional dan aktifitas usaha yang
menyebabkan kerugian, maka lembaga keuangan harus menanggung kerugian
tersebut sepenuhnya.
2. Kerugian-kerugian besar pada kontrak Mudharabah dapat mengakibatkan tidak
mampunya lembaga keuangan untuk memberikan modal tambahan investasi
Mudharabah dan bisnispun sangat mungkin tidak bisa beroperasi lagi. Kejadian ini
akan menyebabkan terjadinya pembayaran ekuitas terakhir untuk share ekuitas
investasi. Dalam kasus ini, harga ekuitas sangat mungkin mempunyai nilai harga
pasar yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai pada awal investasi dan
mengakibatkan ancaman finansial kepada risiko pasar ekuitas.
3. Lembaga keuangan tentunya mencari keuntungan yang dihasilkan dari kontrak
Mudharabah. Sebagai sebuah konsekwensi dari kerugian-kerugian yang disebutkan
di atas, para investor di bisnis Mudharabah tidak bisa memberikan keuntungan.
Lembaga keuangan dihadapkan pada risiko kredit yang disebabkan oleh kegagalan
mendapatkan expected cash in dari profit usaha.
4. Ketidakmampuan bayar yang disebutkan di atas menghadapkan lembaga keuangan
pada risiko likuiditas karena besar kemungkinan lembaga keuangan tidak bisa
menyediakan dana tunai yang memadai untuk diberikan kepada investasi dan
aktifitas-aktifitas lainnya.
5. Pada kontrak finansial Mudharabah, lembaga keuangan mempunyai hak yang tidak
kuat dalam hal pengelolaan bisnis kemitraan. Sebagaimana disebutkan di atas,
batasan-batasan ini dapat menyebabkan munculnya risiko transparansi sehingga
mendatangkan kerugian bagi lembaga keuangan. Oleh sebab itu, risiko transparansi
harus sangat diperhatikan dan dikontrol oleh lembaga keuangan yang menyediakan
kontrak Mudharabah.
Pengelolaan Risiko pada kontrak Mudharabah

1. Pengelolaan risiko operasional pada kontrak Mudharabah. Sama halnya dengan
Musyarakah, risiko operasional pada kontrak Mudharabah sebagian besar diawali oleh
risiko usaha. Karena pelaku usaha (mitra usaha) memegang tanggung jawab penuh atas
pengelolaan usaha, maka kejadian-kejadian yang memicu kerugian yang berhubungan
dengan risiko operasional tidak bisa dikelola oleh lembaga keuangan. Lembaga
keuangan harus memastikan bahwa kesepakatan-kesepakatan bisnis yang menggunakan
kontrak Mudharabah digerakkan oleh pelaku usaha yang berpengalaman dan cakap
sehingga proyek-proyek yang dijalankan dikelola sedemikian rupa guna meminimalisir
risiko usaha.
2. Pengelolaan risiko kredit pada kontrak Mudharabah. Ancaman risiko kredit pada
kontrak Mudharabah dapat diminimalisir dengan melakukan pengawasan atas kinerja
usaha, jika memungkinkan juga pengawasan atas neraca untung rugi usaha yang
dijalankan.
3. Pengelolaan risiko pasar pada kontrak Mudharabah. Dengan menerapkan prinsipprinsip yang sama pada kontrak Musyarakah, untuk mengelola risiko pasar pada
kontrak Mudharabah maka lembaga keuangan harus menetapkan strategi yang akan
diterapkan guna menghadapi risiko pasar misalnya ditetapkannya tindakan stop loss
dengan menjual harga ekuitas terakhir.
4. Pengelolaan risiko likuiditas pada kontrak Mudharabah. Pada kontrak Mudharabah,
risiko likuiditas dipicu oleh risiko-risiko lainnya. Maka lembaga keuangan mungkin
harus menyediakan kecukupan modal yang mesti ditentukan berdasarkan arahan-arahan
regulator atau berdasarkan estimasi internal.
Kesimpulan
Risiko dan keuntungan sangat berkaitan erat dalam produk keuangan Islam.
Struktur yang unik dari produk keuangan Islam menghadapkan produk-produk itu pada
jenis risiko yang beragam pada tahap-tahap yang berbeda dari kontrak keuangan. Lembaga
keuangan yang menyediakan produk keuangan Islam atau yang memformulasikan
kesepakatan berdasarkan kontrak keuangan Islam dihadapkan pada resiko keuangan
termasuk diantaranya risiko kredit, risiko operasional, risiko bisnis, risiko pasar dan risiko
likuiditas. Risiko-risiko semacam itu dapat mengakibatkan kerugian finansial yang besar
dan gangguan yang luar biasa terhadap kinerja lembaga keuangan tersebut. Sistem
keuangan Islam lebih berisiko dibandingkan dengan sistem keuangan konvensional.
Manajemen informasi memegang peranan yang krusial dalam pengelolaan risiko di sistem
keuangan Islam. Karakter khusus dari kontrak keuangan Islam menghadapkan lembaga
keuangan Islam pada risiko-risiko yang selalu berpindah-pindah dan berubah selama masa
berlakunya kontrak.
1. Fahmi Basyaib, Manajemen Risiko , Jakarta: PT. Grasindo, hal. xiv
2. Ahmad Ifham Shalihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah, Jakarta : PT Gramedia pustaka Utama, Cet-I,
2010, hal. 735.
3. Ferry N Idroes, Manajemen Risiko Perbankan , Jakarta : Rajawali Pers, 2008, hal. 4
4 . Thariqullah Khan, Habib Ahmed, Manajemen Risiko Lembaga Keuangan Syariah , Jakarta:Bumi
Aksara, 2008, hal.7
5. Phillipe Jorion and Sarkis. J, Khoury, 1996. Financial Risk Management Domestic and International
Dimensions, Cambridge, Massachusetts Blackwell Publisher, hal. 102
6 . Thariqullah Khan, Habib Ahmed, Manajemen Risiko Lembaga Keuangan Syariah , Jakarta:Bumi
Aksara, 2008, hal.11-14

7
Ikhwan,
Manajemen
Risiko
dalam
Perspektif
Islam,
dalam
http://ikhwanseadanya.wordpress.com/2012/01/22/manajemen-risiko-dalam-perspektif-islam/ di unduh pada
tgl 8 Desember 2012
8 Staf Universitas Indonesia, Prinsip Dasar Manajemen Risiko (Risk management), dalam
staff.ui.ac.id/internal/132096019/.../Sesi3ManajemenRisikoK3.doc. di unduh pada tgl 8 Desember 2012
9 Admin, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Sertifikasi_Manajemen_Risiko, diunduh pada tgl 8
Desember 2012.
10
Sultan,
Prinsip-Prinsip
Dasar
Manajemen
Risiko ,
dalam
http://sultanblack.blogspot.com/2009/06/prinsip-prinsip-dasar-manajemen-risiko.html, di unduh pada tgl 9
Desember 2012 .
11 Rahmani Timorita Yulianti, Dra. MAg, Manajemen Risiko Perbankan Syariah , dalam
http://syaifulrachmankrenz.blogspot.com/2010/05/manajemen-risiko-perbankan-syariah.html, di unduh pada
tgl 9 Desember 2012.
12 Al-Kiddiz, Risk Management in Financial and Islamic Banking , Palgrave McMillan, 2010, Cet-I, hal.