2 Tata Kelola Pemerintahan Dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah

Apakah Tata Kelola Pemerintahan Daerah yang Lebih Baik
Meningkatkan Kinerja Pertumbuhan Ekonomi Daerah
di Indonesia?

Neil McCulloch
Institute of Development Studies
University of Sussex, UK
Edmund Malesky
Graduate School of International Relations and Pacific Studies
University of California
San Diego, USA
8 October 2010

Ringkasan
Banyak literatur menyatakan bahwa negara-negara dengan tata kelola
pemerintahan yang lebih baik memiliki angka pertumbuhan yang lebih tinggi.
Kami mengembangkannya apakah hal tersebut juga berlaku pada tingkat daerah
di Indonesia. Kami menggunakan seperangkat data baru dari kualitas tata kelola
ekonomi pada 243 kabupaten/kota di seluruh Indonesia untuk memperkirakan
dampak dari sembilan aspek tata kelola pemerintahan terhadap pertumbuhan
1


daerah. Hasilnya mengejutkan, kami menemukan bukti yang relatif kecil
mengenai hubungan yang kuat antara kualitas tata kelola pemerintahan dengan
kinerja perekonomian. Namun, kami menemukan bahwa variabel-variabel
struktural, seperti ukuran ekonomi, kekayaan sumber daya alam dan jumlah
penduduk,

memiliki

pengaruh

langsung

terhadap

kualitas

tata

kelola


pemerintahan daerah maupun terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini
menegaskan

bahwa

berbagai

upaya

untuk

meningkatkan

tata

kelola

pemerintahan daerah menuntut adanya perhatian yang lebih besar untuk
memahami bagaimana karakteristik-karakteristik struktural tersebut membentuk

ekonomi politik daerah dan bahwa hal tersebut pada gilirannya mempengaruhi
kinerja perekonomian.

JEL Codes: H70, 043, 056

Penghargaan
Kami mengucapkan terima kasih kepada kantor Bank Dunia di Jakarta, khususnya kepada Sukma
Yuningsih, atas perannya yang besar dalam kompilasi data, juga kepada the Asia Foundation dan
KPPOD yang telah memberikan akses data tentang tata kelola pemerintahan daerah yang
mereka miliki. Ucapan terima kasih juga kami tujukan kepada BPS, Bank Indonesia dan BKPM
yang telah memberikan akses data dan saran-saran terkait data yang mereka miliki. Kami juga
menghargai kontribusi pak Boedi Rheza dan Pak Sigit Murwito dari KPPOD yang telah
menyediakan tambahan analisis teknis, dan pak Agung Pambudhi yang telah memberikan arah
dan keterkaitan studi ini terhadap proses kebijakan secara keseluruhan. Ucapan terima kasih
juga ditujukan kepada Monica Wihardja, Michael Buehler, dan Russell Toth atas tanggapan dan
saran yang sangat membantu, juga kepada para peserta lokakarya di CSIS, the World Bank dan
Ausaid di Jakarta. Akhirnya, kami berterima kasih atas dukungan finansial dari the Australian
Development Research Awards yang didanai oleh Ausaid. Semua kesalahan yang ada merupakan
tanggung jawab kami.


2

Pendahuluan
Selama dua dekade terakhir telah dapat terlihat adanya perkembangan yang
cepat pada literatur mengenai hubungan antara kelembagaan, tata kelola
pemerintahan, dan kinerja ekonomi. Dimulai dengan seminar mengenai studi
yang dilakukan oleh North (1981, 1989, 1990) telah muncul kesadaran tentang
pentingnya kelembagaan – khususnya kelembagaan yang dikaitkan dengan
penegakan kontrak dan perlindungan terhadap hak-hak kepemilikan – dalam
menciptakan insentif yang memberikan peningkatan terhadap pertumbuhan
ekonomi (lihat Helpman (2008) dalam beberapa hasil studi terbaru).
Dilema mendasar yang dihadapi pada studi-studi tersebut adalah adanya
kesulitan dalam memperlihatkan hubungan sebab akibat antara kelembagaan
dengan kinerja ekonomi. Sangat dimungkinkan bahwa pertumbuhan ekonomi
menyediakan sumber daya dan kebutuhan atas kelembagaan yang lebih
berkualitas. Berbagai upaya yang bernas telah dilakukan untuk dapat
memperlihatkan hubungan sebab akibat yang terjadi antara kelembagaan
dengan kinerja ekonomi. Yang paling terkenal, Acemoglu dan kawan-kawan
(2001) yang menggunakan kematian penduduk sebagai sebuah instrumen yang
berkaitan dengan kelembagaan di era kolonial dalam upayanya untuk

membangun hubungan sebab akibat ini. Mereka memberikan argumentasi
mengenai tinggi rendahnya kualitas kelembagaan di masa awal koloni, sangat
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitar yang terjangkit banyak penyakit atau
tidak. Di tempat-tempat dengan kematian yang tinggi, para penduduk tidak atau
tidak dapat membangun kelembagaan yang baik, sedangkan di tempat-tempat
yang lingkungannya lebih sehat mereka dapat membangun kelembagaan yang
baik. Acemoglu dkk memperlihatkan bahwa, kematian penduduk pada awal
koloni secara masuk akal tidak berkaitan dengan kinerja ekonomi jangka panjang
kecuali pengaruhnya terhadap pengembangan kelembagaan; hal tersebut dapat
menunjukkan suatu mekanisme dalam mengidentifikasi hubungan sebab akibat
antara kelembagaan dengan kinerja ekonomi.
3

Namun, pandangan tentang hubungan sebab akibat yang kuat di antara
kelembagaan dan kinerja ekonomi tidak diterima secara universal. Sebagai
contoh, Glaeser dkk (2004) membuktikan bahwa beberapa ukuran kelembagaan
yang digunakan saat ini mencerminkan outcome (misalnya pengakuan terhadap
hak-hak kepemilikan) daripada kendala kelembagaan yang bersifat struktural
(seperti perundang-undangan atau sistem pemilihan). Mereka menemukan
hubungan kecil antara ukuran-ukuran kendala struktural yang lebih dalam ini

dengan kinerja ekonomi, tetapi mereka menemukan potensi adanya peran kuat
SDM sebagai modal awal. Mereka memperlihatkan, bukti yang ada ternyata
mendukung pemikiran bahwa kebijakan-kebijakan yang baik akan memberikan
peningkatan terhadap pertumbuhan, yang selanjutnya akan berakibat kepada
perbaikan-perbaikan kelembagaan.
Lebih jauh, terdapat perdebatan tentang faktor-faktor yang merupakan hal
terpenting dalam membentuk kelembagaan. Sokoloff dan Engerman (2000)
menyatakan bahwa kekayaan alam pada awalnya, dan bukan pola penyakit di
permukiman koloni, yang menentukan sifat kelembagaan yang terbentuk di
masing-masing negara. Mereka memperlihatkan betapa kelembagaan yang
dikendalikan oleh kaum elit dapat melanggengkan ketidakseimbangan yang
pada gilirannya memperlambat kinerja ekonomi dan memperkuat kondisi status
quo kelembagaan tersebut.
Studi yang baru-baru ini dilakukan oleh Kauffman dan Kraay (2010) memperkuat
pemikiran bahwa hubungan antara tata kelola pemerintahan dan pertumbuhan
mungkin bersifat dua arah. Mereka menemukan hubungan sebab akibat positif
yang kuat dari tata kelola pemerintahan terhadap pertumbuhan, yang bersaing
dengan hubungan umpan balik yang negatif dari pendapatan terhadap tata
kelola pemerintahan. Mereka membuktikan bahwa hal ini dapat mengarah
kepada jebakan-jebakan pada tata kelola pemerintahan dengan tingkat

pendapatan yang rendah, yang mana tata kelola yang buruk akan menyebabkan
4

kinerja ekonomi yang lemah, yang pada gilirannya semakin mendukung tata
kelola pemerintahan yang buruk.
Salah satu kelemahan dari kebanyakan hasil studi dalam bidang ini adalah
bahwa mereka telah memfokuskan diri pada data lintas negara. Tidak hanya hal
ini mengakibatkan banyaknya sampel yang diambil dari negara-negara tersebut
dan memerlukan rentang waktu yang relatif panjang, lebih dari itu, studi-studi
semacam itu terbuka terhadap kritik yaitu ada faktor-faktor penting yang
terlewatkan (seperti budaya) yang mungkin saja mempunyai pengaruh yang
penting terhadap kinerja ekonomi dan yang juga berkorelasi dengan tata kelola
pemerintahan, sehingga menciptakan kemungkian terjadinya perkiraan yang bias
mengenai hubungan antara tata kelola pemerintahan dan pertumbuhan.
Untuk menyikapi isu-isu sebab akibat tersebut, baru-baru ini sebuah grup
ilmuwan telah mulai melihat variasi dalam tata kelola pemerintahan lintas unitunit tingkat daerah pada beberapa negara, dan telah menerapkan percobaanpercobaan

alami

dalam


pembentukan

kelembagaan-kelembagaan

atau

kebijakan dalam upaya mengidentifikasi secara lebih baik, hubungan sebab
akibat antara tata kelola pemerintahan dengan kinerja ekonomi. Karena data
mereka berkualitas lebih baik dan pengukuran yang mereka lakukan lebih tepat,
para ilmuwan tersebut mampu secara lebih baik mengetes logika-logika mikro
yang menginformasikan tentang teori yang menghubungkan tata kelola
pemerintahan dengan pertumbuhan. Hasilnya, beberapa faktor kunci telah
diterapkan dalam meneliti hubungan antara hak-hak kepemilikan dengan
kegiatan kewirausahaan (Galiani dan Scargrodsky 2006, Di Tella 2007, Fields
2007, Banerjee dan Iyer 2005, Malesky dan Taussig 2009). Ilmuwan lainnya
telah melakukan analisis yang cerdas untuk tingkat daerah, dampak korupsi
terhadap sifat perekonomiannya (Fisman 2001, Golden dan Picci 2003, Di Tella
dan Schargrodsky 2003, Olken 2007), pentingnya hubungan negara dengan
sektor swasta (Cali 2009), juga peramalan korupsi (Malesky dan Samphantharak

2008).
5

Studi-studi yang dilakukan pada tingkat daerah sangat bermanfaat mengingat
aspek kerangka politik dan legal, dan pada tingkat tertentu, juga aspek-aspek
budaya dan bahasa, merupakan aspek-aspek yang dapat dikatakan sama dalam
batas-batas suatu negara, tidak demikian halnya dengan aspek-aspek pada
lintas negara di dunia (sekalipun kita juga mengakui bahwa beberapa negara
memiliki beragam etnis, budaya dan bahasa pada daerah-daerah perbatasan
negara mereka).
Lebih jauh, analisa semacam ini pada tingkat daerah semakin bertambah relevan
dalam

perumusan

kebijakan,

dimana

banyak


negara

beranjak kepada

desentralisasi yang lebih luas dalam bidang politik, fiskal, dan administrasi.
Pemerintah pusat dan lembaga-lembaga donor seringkali mempunyai tujuan
eksplisit meningkatkan tata kelola pemerintahan pada tingkat daerah dengan
berpijak bahwa hal ini akan memperbaiki pertumbuhan ekonomi daerah. Hal
tersebut berdasarkan asumsi bahwa hubungan sebab akibat bergerak dari tata
kelola pemerintahan ke pertumbuhan. Jika dalam kenyataannya, hubungan
tersebut bergerak dalam arah sebaliknya, maka upaya-upaya untuk memperbaiki
kelembagaan-kelembagaan daerah akan mempunyai dampak yang kecil
terhadap kinerja perekonomian. Oleh karena itu, memperoleh sebuah pijakan
pemahaman empiris yang lebih baik tentang hubungan antara tata kelola
pemerintahan daerah dengan pertumbuhan ekonomi daerah akan mempunyai
implikasi kebijakan yang signifikan.
Makalah ini menguji hubungan antara tata kelola pemerintahan daerah dengan
pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia. Indonesia adalah sebuah negara
yang menarik untuk dipelajari karena negara ini menjalankan sebuah proses

besar desentralisasi pada 2001, dan pengendalian administrasi, fiskal, dan politik
terhadap berbagai kebijakan telah menghasilkan pemerintahan sebanyak (kini)
33 provinsi dan sekitar 500 kabupaten/kota. Tiga puluh enam persen
pengeluaran pemerintah sekarang dilaksanakan oleh pemerintah daerah (tingkat
6

provinsi dan kabupaten/kota), dengan peningkatan yang sangat besar pada
anggaran pemerintah kabupaten/kota selama beberapa tahun terakhir (World
Bank, 2007). Setiap provinsi dan kabupaten/kota sekarang memiliki parlemen
daerahnya masing-masing (DPRD) dengan wakil-wakilnya yang dipilih langsung
oleh rakyat, seperti juga dengan pemilihan langsung para kepala daerah.
Pemerintah provinsi mengkoordinasikan dan melaksanakan fungsi-fungsi
strategis yang berdampak kepada lebih dari satu pemerintah kabupaten/kota.
Pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab terhadap sebagian besar
pemberian pelayanan, pembangunan prasarana jalan di daerah dan penyiapan
peraturan perekonomian di daerah.
Namun demikian, kinerja perekonomian kabupaten/kota di Indonesia pasca
desentralisai pada tahun 2001 sangat bervariasi. Beberapa kabupaten/lota
terlihat memiliki kemajuan ekonomi yang mantap, investasi yang kuat serta
penciptaan lapangan kerja. Tetapi banyak lainnya yang kemajuannya tertinggal,
gagal menikmati pertumbuhan ekonomi yang tercipta secara menyeluruh. Lebih
jauh, terdapat bukti bahwa beberapa kebijakan yang dibuat oleh pihak
berwenang di daerah memiliki sangkut paut dengan kualitas iklim investasi di
daerah (Lewis 2003). Pepinsky dan Wihardja (2009) juga menyatakan bahwa
kinerja ekonomi yang berbeda lintas kabupaten/kota digerakkan oleh keragaman
dalam aspek kekayaan alam, tidak bergeraknya faktor, dan kualitas dari
kelembagaan. Pentingnya kualitas kelembagaan pada tingkat kabupaten/kota
juga ditekankan oleh Pemerintah Pusat Indonesia, juga oleh komunitas lembaga
donor. Namun, hingga sekarang, mengukur apakah hal ini benar dan, jika benar,
betapa pentingnya tata kelola ekonomi daerah terhadap kinerja perekonomian
daerah, merupakan hal yang tidak mungkin karena kurangnya data yang
memadai pada tingkat daerah.
Pada 2008, the Asia Foundation, bersama dengan sebuah Lembaga nasional
non pemerintah di Indonesia, yaitu KPPOD, telah meluncurkan seperangkat data
baru yang mengukur kualitas tata kelola pemerintahan daerah pada 243
7

kabupaten/kota di seluruh negeri. 1 Data ini berdasarkan pada data yang mewakili
secara statistik, random sampel yang diambil lebih dari 12,000 perusahaan dan
729 asosiasi bisnis yang ada pada seluruh kabupaten/kota dimaksud. Kami
menggunakan data ini untuk mengetes secara empiris hipotesa bahwa tata
kelola pemerintahan daerah yang lebih baik di Indonesia secara positif
berkorelasi dengan kinerja perekonomian di daerah.
Dalam melaksanakan studi tersebut, kami menghadapi beberapa tantangan.
Pertama, data yang memiliki arti pada kinerja ekonomi pada tingkat
kabupaten/kota di Indonesia hanya tersedia untuk jangka waktu yang relatif
singkat, dan survey untuk mengukur kuatlitas tata kelola pemerintahan pada
tingkat kabupaten/kota sejauh ini tersedia hanya satu tahun, 2007.

2

Kedua,

membangun hubungan sebab akibat pada konteks Indonesia akan sulit
disebabkan alasan-alasan yang sama yang mengganggu upaya membangun
hubungan sebab akibat seperti pada literatur lintas negara: ukuran-ukuran yang
kita gunakan untuk penata kelolaan, lebih belakangan dari pada jangka waktu
data kinerja ekonomi yang kita miliki; dan instrumen-instrumen lainnya yang
masuk akal yang hanya mempengaruhi kualitas penata kelolaan daerah tetapi
bukan kinerja perekonomian selain melalui cara ini, sulit ditemukan.
Sekalipun demikian, kami percaya bahwa data yang kami miliki telah
memungkinkan kami untuk menuliskan sebuah cerita yang masuk akal dan
berdasarkan kepada bukti-bukti empiris mengenai hubungan antara tata kelola
pemerintahan daerah dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, dan yang
secara potensial memiliki implikasi kebijakan yang penting.
1

Perangkat data ini adalah salah satu dari seri data yang digunakan untuk mengukur
penata kelolaan ekonomi di Vietnam, Bangladesh, Sri Lanka, Kamboja dan Filipina, yang
didukung oleh the Asia Foundation. Lihat VCCI-VNCI VCCI – VNCI (2007). The Vietnam
Provincial Competitiveness Index 2007; Measuring Economic Governance for Private
Sector Development. Hanoim USAID studi di Vietnam. Informasi lebih detail dapat
ditemukan di www.asiafoundation.org.

2

Sebuah panel pendek terkait dengan survai ini telah ada untuk tingkat kabupaten di satu
provinsi – Aceh. Suatu survai yang sekarang sedang dilaksanakan akan memberikan
data panel pada beberapa provinsi lainnya.

8

Makalah kami dimulai sebagai berikut. Bagian berikut memberikan tinjauan
secara singkat tentang literatur topik ini. Kemudian kami jelaskan data yang kami
gunakan, baik untuk mengukur kinerja perekonomian daerah maupun kualitas
tata kelola ekonomi daerah. Bagian berikutnya menjelaskan korelasi sederhana
antara ukuran pertumbuhan dengan berbagai ukuran tata kelola.
Hal ini kemudian dilanjutkan dengan regresi pertumbuhan “Barro style” yang
sederhana (Barro 1991) yang mencakup beberapa aspek berbeda dari
penatakelolaaan sebagai variabel-variabel yang mampu menjelaskan. Kami juga
menguji kebenaran hasil tersebut dengan menggunakan ukuran-ukuran tata
kelola dari survei yang berbeda; dan memeriksa kemungkinan adanya bias-bias
yang disebabkan adanya harapan-harapan dari para responden. Kami berusaha
memusatkan permasalahan kebalikan dari hubungan sebab akibat, baik dengan
cara membuat sebuah instrumen tata kelola pemerintahan, maupun dengan cara
memanfaatkan fakta bahwa kami memiliki data perusahaan maupun data tingkat
daerah. Selain itu, kami meneliti apakah ada hubungan antara tata kelola
pemerintahan daerah dengan pertumbuhan jangka panjang yang menggunakan
tingkat PDB per kapita sebagai pendekatan yang mewakili pertumbuhan jangka
panjang. Hasil akhir kami, membalikkan pertanyaan kami kembali dan bertanya
tentang faktor-faktor struktural apa yang menentukan dari kualitas tata kelola.
Seksi terakhir berisi ringkasan dari hasil studi kami serta garis besar implikasi
hasil tersebut terhadap kebijakan.

Tinjauan Literatur
Avinash Dixit (2001) telah mendefinisikan konsep tata kelola ekonomi sebagai
berikut:
Tata kelola ekonomi terdiri atas proses-proses yang mendukung aktivitas ekonomi dan
transaksi ekonomi dengan cara melindungi hak-hak kepemilikan, menegakkan kontrak,
dan mengambil langkah bersama dalam menyiapkan infrastruktur fisik dan organisasi
yang sesuai. Proses-proses tersebut dilaksanakan pada kelembagaan-kelembagaan

9

formal dan informal. Bidang tata kelola ekonomi mempelajari dan membandingkan
kinerja berbagai kelembagaan yang berbeda pada berbagai kondisi yang berbeda,
evolusi kelembagaan-kelembagaan tersebut, dan transisi dari satu set kelembagaan ke
set kelembagaan yang lain.

Definisi yang dibuat oleh Dixit tersebut mencakup suatu spektrum yang luas
yang ekstrim dari interaksi-interaksi antara para pelaku pasar dengan
kelembagaan-kelembagaan yang dilakukan oleh pemerintah. Para cendekiawan
bidang ilmu politik dan ekonomi telah meneliti interaksi-interaksi tersebut dari
berbagai perspektif yang bervariasi. Beberapa proyek penelitian mengasumsikan
adanya korelasi yang tinggi di antara berbagai bentuk tata kelola pemerintahan
dan oleh karena itu mendefinisikan konsep tersebut secara luas sehingga
seluruh interaksi tersebut tercakup di bawah satu judul tunggal (Acemoglu,
Johnson, dan Robinson (2001), Knack dan Keefer (1995)).
Ilmuwan-ilmuwan

lainnya

telah

menyempitkan

definisi

tersebut,

dengan

memisahkan tata kelola menjadi beberapa konsep yang berbeda, seperti korupsi
(Wei 2000), transparansi (Kaufman dkk 2003), peraturan (Djankov 2002), dan
pengadaan barang-barang pemerintah (Kaufman dkk 2003), yang masingmasingnya masih mengandung beberapa jenis kebijakan dan macam interaksi
yang berbeda. Ilmuwan lainnya telah mengambil perspektif mikro yang mana
kebijakan-kebijakan yang bersifat individu seperti prosedur pendaftaran usaha
telah diisolasi dan diteliti secara terpisah dari jenis-jenis tata kelola pemerintahan
lainnya yang ada di masyarakat. Meskipun berbagai pendekatan riset dan
perspektif memasukkan faktor-faktor tata kelola, hingga baru-baru ini literatur
pun telah mencapai konsensus yang luas – kualitas dari tata kelola ekonomi
merupakan faktor yang paling kritis dalam menentukan hasil-hasil secara
ekonomi (Reynolds 1983).
Sejak North (1981), sebuah literatur secara ekstensif telah menekankan adanya
dua tipe berbeda dari kelembagaan-kelembagaan yang merupakan pusat untuk
pertumbuhan: kelembagaan di bidang perkontrakan dan kelembagaan di bidang
hak-hak kepemilikan. North mendefinisikan hal ini selayaknya, sebagai
10

kelembagaan-kelembagaan yang: a) menyediakan kerangka legal untuk
memfasilitasi kontrak-kontrak swasta yang memfasilitasi transaksi-transaksi
ekonomi; b) melindungi setiap individu dari pengambil-alihan hak kepemilikan
oleh

negara.

Dengan

kata

lain,

kelembagaan-kelembagaan

perkontrakan melindungi wirausahawan

di

bidang

yang satu terhadap yang lain,

sedangkan kelembagaan-kelembagaan di bidang hak kepemilikan swasta
melindungi mereka dari pemerintah.
Coase (1937) dan Williamson (1975, 1985) telah menulis hal-hal yang dapat
dikembangkan lebih lanjut mengenai pentingnya penegakan kontrak bagi
pengembangan ekonomi. Hal ini kemudian telah diuji secara lebih luas dengan
mengoperasikan kelembagaan-kelembagaan di bidang perkontrakan sebagai
biaya dari penegakan kontrak dan keseluruhan tingkat kepercayaan penduduk
pada kelembagaan-kelembagaan yang legal (Grossman dan Hart 1986, Hart dan
Moore 1990, Hart 1995). North dan Weingast (1989) dan Grief (2006) telah
menuliskan mengenai kejadian-kejadian utama di bidang ekonomi yang
menghubungkan pengembangan antara kelembagaan di bidang perkontrakan
tersebut dengan kisah-kisah sukses, yang terdokumentasi dengan baik, tentang
pembangunan Inggris di masa revolusi industri, dengan para pedagang
Magrahbi, dan dengan negara-negara kota dari Italia.
Dengan menggunakan bermacam kelembagaan yang ada di provinsi-provinsi di
Mexico, Laeven dan Woodruff (2007) menemukan sebuah hubungan penting di
antara kelembagaan-kelembagaan di bidang perkontrakan yang lebih baik
dengan tingkat-tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi pada ukuran yang pasti.
Akhirnya, pada sebuah makalah yang dekat hubungannya dengan kegiatan studi
kami, Ardagna dan Lusardi (2008) memperlihatkan bahwa kelembagaankelembagaan penegakan kontrak yang lebih baik akan meningkatkan proporsi
wirausahawan yang mengidentifikasi diri mereka sendiri sebagai memiliki
orientasi pada pertumbuhan.

11

Penulis-penulis lainnya telah menyelidiki pentingnya hak-hak kepemilikan untuk
pertumbuhan ekonomi jangka panjang (Jones 1981, De Long dan Shleifer 1993,
Olson 2000). Pada literatur ekonomi dan politik, Weingast (1992, 1993) terkenal
dalam menekankan pentingnya disain dari kelembagaan-kelembagaan politik,
sehingga penduduk dapat merasa bahwa mereka memiliki komitmen yang dapat
dipercaya bahwa kekayaan milik mereka tidak akan diambil alih oleh petugas
negara. Teori komitmen yang dapat dipercaya muncul dari sebuah konsep yang
dikenal sebagai kebijakan inkonsisten terhadap waktu pada ekonomi politik yang
positif.

Kebijakan-kebijakan inkonsisten terhadap waktu adalah kebijakan-kebijakan di
mana pembuat kebijakan tersebut memiliki dorongan untuk mengingkari
kebijakan yang telah mereka terbitkan setelah para pelaku ekonomi (investor
dalam negeri dan asing) telah menyesuaikan sikap untuk mengikuti kebijakan
tersebut. Para wirausahawan ini akan menolak untuk dikelabui lagi dan sebagai
akibatnya mereka tidak akan merespon lagi terhadap penerbitan kebijakan, serta
mereka akan mengambil langkah yang didasarkan kepada suatu prediksi bahwa
para politisi nantinya akan menyimpang dari pilihan-pilihan kebijakan di masa
yang akan datang.

Pertumbuhan yang kurang optimal akan tidak terhindarkan sebagai akibat dari
hal tersebut, oleh karena itu para pembuat teori telah menyusun hipotesa bahwa
diperlukan suatu komitmen yang dapat dipercaya terhadap reformasi kebijakan,
hal ini untuk mengikat para penentu kebijakan agar mau mereformasi diri.
Komitmen tersebut perlu memastikan bahwa biaya-biaya penyimpangan
terhadap kebijakan yang telah diterbitkan tidak boleh tinggi.

12

Singkatnya, untuk mencapai reformasi ekonomi para pembuat kebijakan harus
mengikatkan diri mereka sendiri kepada perangkat peraturan, yang akan
membatasi kewenangan berkelebihan untuk intervensi perekonomian.

3

Dalam rangka menjaga argumen tersebut, De Soto (1989, 2000) memperlihatkan
bahwa usaha-usaha informal cenderung menjadi informal hanya karena mereka
haus terhadap sumber-sumber daya bisnis yang sangat diperlukan khususnya
sumber-sumber daya yang terkait dengan hak-hak kepemilikan dan kredit.
Secara khusus ia memprediksikan bahwa, melalui pengadaan sertifikat tanah,
para wirausahawan di sektor informal dapat ditransformasikan ke dalam sumber
pertumbuhan ekonomi baru yang penting di dunia yang berkembang ini.
Seperangkat kelembagaan tata kelola pemerintahan yang lebih lanjut, yang
muncul pada tahun-tahun belakangan ini adalah jaringan regulasi yang
berdampak kepada kewirausahaan. Djankov dkk (2002) telah mengidentifikai
korelasi yang kuat antara biaya dan waktu yang diperlukan untuk memulai
sebuah bisnis dengan besaran perekonomian informal. Studi-studi pada tingkat
mikro

berikutnya

telah

menunjukkan

bahwa

pendaftaran

perusahaan-

perusahaan baru dan bidang-bidang usaha baru ternyata lebih tinggi ketika
kendala-kendala regulasi untuk memasuki bisnis dan regulasi umum lainnya
lebih rendah (Desau dkk 2003; Klapper dkk 2007; Demirguc-Kunt dkk 2006). Hal
ini khususnya berlaku pada industri yang memiliki kendala-kendala yang lebih
tinggi di luar regulasi untuk masuk – sebagai contoh, peralatan yang lebih mahal
3

Elster, Jon. 1993. “Bargaining over the Presidency”. East European Constitutional Review, Fall/
Winter; Elster, Jon. 1997. “Afterward: The Making of Postcommunist Presidencies” In Post
Communist Presedents, edited by Raymond Taras. Cambridge: Cambridge University Press;
Elster, Jon. 1998. “Deliberation and Constitution Making”. In Deliberative Democracy, edited by
Jon Elster. New York: Cambridge University Press; Elster, Jon, Claus Offe, and Ulrich K. Preuss.
2000. Institutional Design in Post-communist Societies: Rebuilding the Ship at Sea. Cambridge:
Cambridge University Press. Weingast, Barry R. 1992. “The Economic Role of Political
Institutions”. Institute for Policy Reform Working Paper 46. Weingast, Barry R. 1993a
“Constitutions as Governance Structures: The Political Foundations of Secure Markets.” Journal
of Institutional and Theoretical Economics, 149.1. Weingast, Barry R. 1993b. “Constitutions as
Commitment Devices. “Journal of Institutional and Theoretical Economics, 149.1.

13

atau input-input lain yang diperlukan (Fisman dan Sarria-Allende 2004) – dan di
mana teknologi atau pergeseran permintaan global telah terjadi (Ciccone dan
Papaioannou 2007). Ardagna dan Lusardi (2008) juga menemukan bahwa biaya
masuk yang lebih tinggi menurunkan jumlah wirausahawan yang memiliki
orientasi terhadap pertumbuhan. Karena regulasi-regulasi ini ditentukan oleh
pejabat yang berwenang, dan seringkali disalahgunakan untuk mengambil
keuntungan, para ilmuwan cenderung memperlakukan hal tersebut sebagai
bagian dari kelembagaan-kelembagaan di bidang hak-hak kepemilikan atau
“tangan yang mencengkeram” dari pihak negara.
Sayangnya, studi yang paling empiris telah gagal untuk menguraikan cakupan
luas dari faktor-faktor lingkungan bisnis yang sangat terkait. Faktor-faktor yang
kompleks ini tidak hanya terdiri atas kelembagaan-kelembagaan utama seperti
hak-hak kepemilikan, biaya transaksi, dan regulasi yang semuanya merupakan
fokus dari studi kami, tetapi juga sifat-sifat sosial ekonomi seperti tingkat
pendapatan, pengembangan di bidang keuangan, dan budaya kewirausahaan.
Sebagai akibat dari kesulitan tersebut, studi yang paling berpengaruh terhadap
interaksi antara kelembagaan-kelembagaan dengan aktivitas ekonomi adalah
eksperimen-eksperimen alamiah yang menggunakan kejutan-kejutan yang
bersifat eksternal terhadap kelembagaan-kelembagaan. Salah satua contoh
adalah arus bukti yang muncul yang mendukung hipotesa De Soto dalam logikamikro yaitu bagaimana hak-hak kepemilikan mempengaruhi perilaku pada tingkat
individu. Dengan mengambil keuntungan dari adanya variasi di dalam distribusi
hak atas tanah di Argentina, Galiani dan Scargrodsky (2006) memperlihatkan
bagaimana

perbaikan

mendadak

di

dalam

hak-hak

kepemilikan

telah

mengarahkan keluarga-keluarga untuk melakukan investasi lebih banyak di
dalam perbaikan rumah serta di dalam meningkatkan ekonomi pribadi mereka,
seperti

berinvestasi

untuk

pendidikan

anak-anak

mereka.

Pendekatan-

pendekatan dengan melakukan percobaan alamiah serupa telah diterapkan dan
hasilnya memperlihatkan bahwa satu kali lipat peningkatan di dalam hak-hak
kepemilikan dapat meningkatkan kepercayaan terhadap kekuatan dan kejujuran
14

pasar (Di Tella dkk 2007) dan secara substansial meningkatkan jumlah jam yang
didedikasikan untuk pekerjaan yang bersifat produktif (Field 2007). Banerjee dan
Iyer (2005) menemukan bahwa efek tersebut di atas bertahan dari generasi ke
generasi, berdasarkan perbedaan-perbedaan dalam hak-hak kepemilikan yang
bersifat kedaerahan di dalam rejim kolonial India.
Studi mikro ekonomi yang baru-baru ini dilakukan untuk melihat sejauh mana
pengaruh aspek-aspek lingkungan regulasi terhadap kinerja daerah mencakup
dua makalah yang saling berkaitan,Kaplan dkk (2007) dan Bruhn (2008),
keduanya mempertimbangkan akibat dari adanya perubahan di dalam biaya
untuk memulai investasi. Keduanya mengambil keuntungan dari program
reformasi di Meksiko yang, dimulai pada tahun 2002, mempermudah secara
bertahap peraturan-peraturan untuk memasuki bisnis pada tingkat daerah.
Sementara pentahapan implementasi pada daerah-daerah tertentu tidak
sepenuhnya dilakukan secara acak, para pemakalah tersebut membuktikan
secara meyakinkan bahwa program tersebut menawarkan peluang yang unik,
yaitu memisahkan antara efek dari kendala-kendala khusus untuk memasuki
bisnis dengan faktor-faktor kelembagaan yang mempengaruhi operasi-operasi
usaha terkait.
Namun, bukti yang muncul dari kedua studi tersebut rancu. Para penulis
menggunakan sumber-sumber data yang berbeda, mencakup kota-kota dan
jangka waktu yang berbeda, dan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang
bertentangan. Kaplan dkk (2007) menggunakan data registrasi dari the Mexican
Social Security Institute yang mencakup lebih banyak daerah dan jangka waktu
yang lebih panjang dan mengidentifikasi peningkatan yang hanya bersifat
sementara dalam registrasi perusahaan-perusahaan baru, yang menurut mereka
terbaik diartikan sebagai pergerakan satu kali perpindahan perusahaanperusahaan dari ekonomi informal ke ekonomi formal. Bruhn (2008), pada
gilirannya menggunakan data survei rumah tangga yang mencakup sejumlah
kota yang lebih homogen yang memperlihatkan bahwa para pemilik usaha
15

informal nampaknya tidak ingin merubah usaha mereka ke usaha formal setelah
diterapkannya reformasi. Namun, makalah ini tidak memusatkan kepada
mengapa penambahan di dalam registrasi perusahaan baru hanya bersifat
sementara. Temuan Bruhn’s, pada khususnya, dan kerancuan temuan di dalam
kedua makalah pada umumnya, konsisten dengan pendapat bahwa biaya-biaya
langsung untuk memformalkan usaha hanyalah merupakan satu dari persoalan
kelembagaan di bidang hak-hak kepemilikan yang dipertimbangkan oleh seorang
wirausahawan ketika memutuskan apakah akan membuat usahanya menjadi
usaha formal atau tidak.
Barangkali upaya yang paling menyeluruh saat ini dalam menjawab tantangan
dalam menguraikan secara empiris tentang betapa jenis-jenis kelembagaan yang
berbeda akan berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi melalui berbagai cara
yang berbeda, adalah makalah Acemoglu dan Johnson (2005), Para penulis
menyimpulkan

bahwa

kelembagaan

dalam

bidang

hak-hak

kepemilikan

mempunyai efek yang signifikan terhadap pertumbuhan tingkat nasional pada
jangka panjang, sedangkan kelembagaan dalam bidang perkontrakan tidak
demikian. Penjelasan mereka adalah bahwa akan lebih memungkinkan dan lebih
efisien bagi pihak swasta untuk saling bernegosiasi satu sama lain dalam rangka
mencapai cara terbaik kedua untuk melakukan transaksi mereka, yaitu transaksi
yang berbasiskan reputasi, daripada mencari solusi secara individu dalam
menghadapi pejabat-pejabat pemerintahan. Hal ini konsisten dengan penelitian
di negara-negara berkembang (McMillan dan Woodruff 1999; Banerjee dan Duflo
2000; McMillan dan Woodruff 2002).
Arus literatur yang lebih jauh tidak melihat kepada bagaimana kelembagaan
telah mempengaruhi pertumbuhan, tetapi bagaimana desentralisasi telah
mempengaruhi

kinerja

perekonomian.

Pepinsky

dan

Wihardja

(2009)

mengungkapkan sebuah teka-teki yang menarik mengenai desentralisasi di
Indonesia. Dengan menggunakan aplikasi cerdas dari pendekatan kasus sintetik
Abadie,

mereka

memperkirakan

bahwa

kebijakan

desentralisasi

tidak
16

memainkan peran di dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia sejak
kebijakan tersebut diimplementasikan pada tahun 2000. Suatu negara yang
memiliki ukuran, komposisi sosial ekonomi, dan budaya yang sama dengan
Indonesia tetapi tanpa melakukan desentralisasi, akan berkembang sama cepat
setelah terjadinya Krisis Finansial Asia pada tahun 1997.
Di antara berbagai penjelasan yang mereka susun untuk menggambarkan
temuan tersebut adalah apa yang mereka istilahkan sebagai patologi ketiga dari
pembangunan ekonomi Indonesia – kualitas kelembagaan yang bertumbuh dari
dalam sendiri (endogenous). Singkatnya, desentralisasi mempunyai efek
berbeda di Indonesia pada tingkat kabupaten, yang merupakan tingkatan
pertama dan yang dianggap merupakan asal kekuatan-kekuatan baru, pada
Reformasi Konstitusi di tahun 2001. Kabupaten-kabupten yang memiliki kondisi
yang menguntungkan untuk pengembangan ekonomi, seperti jumlah penduduk
yang tinggi dan kepedulian politik yang tinggi, lebih mampu mengembangkan
kelembagaan-kelembagaan

tata

kelola

pemerintahan

yang

mendorong

pertumbuhan pada era pasca desentralisasi. Kabupaten-kabupaten yang
memiliki kondisi struktural yang buruk untuk mencapai pertumbuhan, dan
menunjukkan tanda-tanda awal bahwa akuntabilitas kelembagaan daerah
dikendalikan oleh elit-elit di daerah, yang memanfaatkan kekuasaan mereka
untuk memperoleh keuntungan pribadi ketimbang mendorong kesejahteraan
umum yang memperkuat pertumbuhan. (Pepinsky dan Wijardja, 2009).
Singkatnya, pada kelompok yang kedua ini desentralisasi telah menciptakan
kelompok raja kecil yang tidak bertanggung jawab terhadap rakyatnya (Hofman
dan Kaiser 2006) dan tanpa kehadiran pemerintah pusat yang kuat yang
mengendalikan dorongan-dorongan mereka untuk melakukan pengambilalihan
(Pepinsky 2008). Mengingat beberapa daerah tumbuh lebih cepat setelah
desentralisasi sedangkan yang lain banyak mengalami perekonomian yang
memburuk, serta mobilitas faktor antar daerah kecil, maka hasil akhir dari proses
desentralisasi di Indonesia secara keseluruhan tidak ada/hilang.

17

Disebabkan

kurangnya

ketersediaan

data

untuk

mengukur

tata

kelola

pemerintahan dan PDB pada tingkat daerah, Pepinsky dan Wijardja tidak mampu
menguji teori mereka secara sistematis tentang seleksi kelembagaan yang
bertumbuh dari dalam (endogenous), mereka hanya bergantung kepada
pembahasan yang bersifat kualitatif pada lima daerah tempat di mana mereka
mencoba membangun hubungan antar kondisi struktural, seperti modal SDM
dan kepedulian awal di bidang politik, serta derajat cengkeraman para elit daerah
paska desentralisasi. Di dalam makalah ini, kami mengambil manfaat dari data
set yang baru dari tata kelola ekonomi yang disediakan oleh Komite Pemantauan
Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), untuk menguji apakah kondisi struktural
ada hubungannya dengan kualitas kelembagaan dan tata kelola pemerintahan
yang baik; dan, yang kedua, apakah tata kelola ekonomi pada tingkat
kabupaten/kota sebenarnya terkait dengan pertumbuhan ekonomi.

Data
Data kami berasal dari dua sumber utama: data survei resmi dari Badan Pusat
Statistik (BPS); dan data the Asia Foundation/KPPOD mengenai kualitas tata
keloa ekonomi seperti disebutkan di atas. Pengukuran utama kami terhadap
kinerja perekonomian adalah PDB pada tingkat daerah (baik termasuk maupun
tidak termasuk minyak dan gas). Untuk menghitung pertumbuhan per kapita,
kami telah menggunakan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan
data kependudukan dari BPS.4
Penting untuk diketahui bahwa terdapat beberapa kelemahan signifikan di dalam
data PDRB yang diterbitkan BPS untuk tingkat daerah. Indonesia memiliki sekitar
500 daerah dan oleh karena itu perhitungan perkiraan yang tepat dari PDB pada
daerah yang menyebar seperti ini merupakan tantangan logistik yang amat
4

Pada kenyataannya ada tiga sumber data Kependudukan: interpolasi dari Sensus
Kependudukan; Data Susenas; serta ukuran-ukuran Kependudukan yang digunakan oleh
Kementerian Keuangan untuk menghitung pengiriman-pengiriman fiskal. Kami menggunakan
data dari sumber yang pertama karena merupakan angka-angka resmi yang dipublikasikan oleh
BPS.

18

besar. Walaupun semua daerah diperkirakan akan mengikuti prosedur-prosedur
yang sama, namun tidak terhindarkan adanya variasi di dalam kapasitas kantorkantor statistik di daerah di seluruh negeri. Lebih jauh, beberapa komponen PDB
dapat terukur lebih baik dari pada komponen-komponen yang lain disebabkan
karena tingkat ketelitian sumber-sumber datanya.
Contohnya, hasil pengukuran PDB hortikultura mungkin akan lebih teliti karena
hal tersebut didasarkan kepada perkiraan luas areal tanam dan panen dilakukan
tiga kali per tahun oleh Kementerian Pertanian. 5 Hal yang sama, output dari
industri manufaktur dengan lebih dari 100 karyawan diukur setiap tahun melalui
Survei Industri, dan untuk perlistrikan, gas, dan air minum dari instansi-instansi
publik yang terkait. Di sisi lain, estimasi untuk semua sektor konstruksi,
perdagangan, hotel dan restoran, transport dan jasa nampaknya mengalami
kesalahan pengukuran yang sangat besar.
Sementara kesalahan pengukuran dalam variabel dependen yang kami gunakan
tidak boleh menyebabkan bias terhadap hasil studi kami, dengan adanya kondisi
data seperti tersebut maka akan menjadi lebih sulit untuk melihat dengan tajam,
faktor-faktor penentu apa yang penting secara statistik dalam pertumbuhan
daerah. Oleh karena itu kami mengecek hasil studi kami untuk memastikan
kekuatan studi tersebut dengan menggunakan dua alternatif pengukuran dari
kinerja perekonomian pada tingkat daerah: pertama kami menggunakan
komponen PDB yang sudah terukur paling akurat – output manufaktur 6; kedua,
kami menggunakan data dari survei rumah tangga yang dilakukan secara
nasional setiap tahun untuk menghitung pengeluaran konsumsi rata-rata per
kapita pada tingkat daerah. Untuk memperhitungkan fakta bahwa harga-harga
tidak sama di seluruh negeri, kami menurunkan konsumsi per kapita di setiap
5

Walaupun (lihat Rosner dan McCulloch, 2008) terdapat kritik terhadap metoda perhitungan yang
digunakan.
6

Kami juga berusaha untuk menggunakan data dana siaga (outstanding loans) tingkat daerah
dari Bank Indonesia tetapi menjumpai bahwa data ini tidak ada korelasinya dengan data
pertumbuhan PDB.

19

daerah melalui indeks harga konsumen pada kota yang terdekat yang datanya
tersedia.7
Untuk variabel-variabel yang menjelaskan (explanatory), kami mengambil data
yang dikumpulkan dari sejumlah survei lain yang telah dilakukan oleh BPS.
Sebagai contoh, BPS menyelenggarakan Survei Sosial Ekonomi Nasional
(SUSENAS) setiap tahun, yang menghasilkan indikator-indikator sosial ekonomi
pada tingkat daerah. Settiap tiga tahun, BPS juga menyelenggarakan Sensus
Potensi Desa (PODES). Sensus ini mencakup seluruh desa di Indonesia,
mengumpulkan data infrastruktur dasar dan kondisi sosial ekonomi. Kami juga
telah mengambil data anggaran dari Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD –
Kementerian Keuangan), data investasi dari Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM), data pemilih dari Kementerian Dalam Negeri, Komisi Pemilihan
Umum (KPU) dan the Asia Foundation.
Salah satu tantangan utama dalam membangun basis data adalah dalam
kaitannya

dengan

pemekaran

daerah.

Antusiasme

dalam

menyikapi

desentralisasi pada tingkat daerah (disertai dengan insentif fiskal yang kuat)
telah menghasilkan pemekaran berbagai daerah untuk membentuk daerahdaerah baru yang lebih kecil. Pada tahun-tahun periode observasi studi, jumlah
pemerintahan daerah di Indonesia tumbuh lebih dari 50 persen. Pada 1999, BPS
mencatat 299 kabupaten/ kota di Indonesia. Dalam dua tahun jumlah ini telah
meningkat dengan cepat hingga jumlah pemerintah kabupaten/kota yang
menerima dana alokasi umum (DAU) dari Pemerintah Pusat pada tahun 2001
mencapai 336.8
7

BPS menerbitkan data indeks harga konsumen untuk 43 kota di seluruh negeri.

8

Jumlah kabupaten/kota tidak konsisten antara berbagai sumber data. Sebagai contoh, survei
Susenas dan Podes yang dilakukan oleh BPS tidak selalu memiliki jumlah kabupaten/kota yang
sama walaupun survei-survei tersebut dilaksanakan pada tahun yang sama. Hal ini disebabkan
perbedaan di dalam kerangka sampling yang digunakan pada waktu-waktu yang berbeda pada
tahun tersebut. Selain itu secara de jure dan de facto status dari suatu daerah yang baru dicatat
secara berbedaoleh lembaga yang berbeda. Agar konsisten, kami telah menggunakan definisi
dari Kementerian Keuangan – suatu daerah otonom provinsi/kabupaten/kota adalah daerah yang
menerima DAU pada awal tahun anggaran.

20

Pada tahun 2005, Indonesia memiliki 32 provinsi dan 434 kabupaten/kota yang
menerima DAU.9
Untuk menghindari perubahan yang mendadak dalam angka pertumbuhan per
kapita yang diakibatkan dari adanya pemekaran wilayah, maka kami tidak
menggunakan data paska desentralisasi, melainkan data sebelum desentralisasi
sehingga data yang tersedia tetap untuk jumlah yang sama dari seluruh
kabupaten/kota yaitu sebanyak 292.
Kepentingan utama kami adalah mengidentifikasi dampak dari tata kelola
perekonomian daerah terhadap kinerja ekonomi. Untuk itu, kami menggunakan
data dari Survey Tata Kelola Ekonomi Daerah (Local Economic Governance
Survey – LEGS) yang dilakukan oleh Asia Foundation dan KPPOD pada tahun
2007. Sampling acak dilakukan terhadap kurang lebih 50 perusahaan dari setiap
daerah tingkat (Dati) II yang berjumlah total 243 Kabupaten/Kota pada 15
Propinsi dari total 33 Propinsi di Indonesia, dengan jumlah total sampel
sebanyak 12.187 perusahaan.
Di setiap Kabupaten/Kota, survei tersebut disusun menurut ukuran perusahaan
(10-19 pegawai; 20-29; 100+) 10 serta sesuai dengan tiga sektor agregat –
produksi, perdagangan dan jasa11.

9

Sejak 2001, jumlah kabupaten/kota di Indonesia (tidak termauk enam pemerintahan tingkat kota
yang non-otonom di Jakarta) adalah: 2001 = 336, 2002 = 348, 2003 = 370, 2004 = 410, 2005 –
07 = 434, 2008 = 459.
10

Kerangka dari sampel ini adalah daftar perusahaan yang diperoleh dari Sensus Ekonomi 2006,
dengan sedikit pengurangan. Sampel ini kurang lebih bersifat proporsional terhadap ukuran jika
disesuaikan dengan probabilitas, dimana kriteria ukuran adalah jumlah perusahaan dalam
populasi di setiap ukuran perusahaan yang diurutkan di tiap sektor. Sejumlah minimum 5% dari
perusahaan yang menjadi sampel berukuran besar, dan sejumlah minimum 45% dari perusahaan
berukuran menengah untuk menjaga keterwakilan dari kelas ukuran yang lebih besar – lihat
KPPOD (2008). Local Economic Governance in Indonesia. Jakarta, Regional Autonomy Watch &
The Asia Foundation. untuk detail lebih lanjut dari metodologi sampling.
11
Produksi mencakup klasifikasi KLU BPS untuk pertambangan, manufaktur, listrik gas dan air,
serta konstruksi; Perdagangan mencakup klasifikasi KLU untuk perdagangan; Jasa mencakup
semua klasifikasi KLU yang lain – lihat KPPOD (2008).

21

Survei ini dianggap cukup representatif atas semua perusahaan swasta nonprimer dengan 10 atau lebih pegawai. 12 Setiap perusahaan yang terpilih
ditanyakan berbagai pertanyaan terkait dengan sembilan aspek tata kelola
daerah: akses terhadap tanah dan jaminan masa penggunaan lahan;
kemudahan masuk pasar dan perijinan usaha; interaksi antara sektor usaha
dengan pemerintah daerah; program pengembangan usaha; kapasitas dan
integritas

Walikota/Bupati;

pajak

dan

pungutan

lokal

serta

biaya-biaya

transaksional lainnya; infrastruktur daerah; serta masalah keamanan dan
resolusi konflik. Tanggapan terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas yang
diperoleh dari 50 perusahaan di setiap Kabupaten/Kota tersebut digunakan untuk
menyusun sub-index yang mencerminkan kualitas tata kelola di setiap daerah.
Sebagai contoh, sub-indeks Tanah disusun dari tanggapan terhadap pertanyaan
mengenai

waktu

yang

dibutuhkan

untuk

memperoleh

sertifikat

tanah,

kemudahan akses terhadap tanah, frekuensi dilakukannya penggusuran tanah
dan terjadinya konflik akibat tanah, serta persepsi keseluruhan mengenai
keberadaan masalah tanah di Kabupaten/Kota tersebut. 13 Dalam analisa, kami
juga mengagregasi semua sub-indeks tersebut menjadi sebuah Indeks Tata
kelola Ekonomi (Economic Governance Index - EGI) untuk Kabupaten
dimaksud.14
Salah satu keuntungan penggunaan pengukuran tata kelola ekonomi daerah
seperti ini adalah bahwa pengukuran ini mengukur hal-hal yang berada di bawah
kontrol pemerintah daerah. Seringkali survei mengenai iklim investasi tingkat
sub-nasional bertujuan untuk melihat daya tarik lokasi investasi (seperti GTZ
12

Perusahaan yang memiliki aktivitas utama di bidang pertanian, kehutanan atau perikanan
dikeluarkan karena jika dimasukkan maka akan menyebabkan kerangka sampling terlalu besar,
dan juga karena sifat dari isu Penatakelolaan yang dihadapi oleh sektor-sektor primer tersebut
akan sedikit berbeda dari hal yang dihadapi di sektor lainnya. Perusahaan milik negara juga tidak
dimasukkan karena diperkirakan pandangan mereka akan Penatakelolaan daerah akan sangat
berbeda dengan pandangan pihak swasta; demikian juga halnya dengan institusi pendidikan
publik, jasa kesehatan serta institusi pemerintah lainnya.
13
Lihat KPPOD (2008) untuk mengetahui lebih lanjut mengenai deskripsi detil dari konstruksi tiap
sub-indeks.
14
Dalam analisa yang ditampilkan disini, EGI hanyalah jumlah dari sembilan sub-indeks. Hal ini
berbeda dengan EGI yang dikalkulasikan oleh KPPOD (2008) yang juga memasukkan kualitas
peraturan perundangan daerah berdasarkan penilaian para ahli serta menggunakan
pembebanan untuk membedakan tingkat kepentingan dari setiap sub-indeks.

22

2008) dan karenanya memasukkan variabel yang terkait dengan sumber daya
yang dimiliki suatu daerah, seperti sumber daya alam dan kedekatannya dengan
pasar besar. Namun, hal tersebut bukan seuatu yang dapat dipengaruhi oleh
pemerintah daerah dan oleh karenanya bukan merupakan ukuran yang baik bagi
tata kelola ekonomi daerah. Di sisi lain, LEGS terfokus untuk mencoba mengukur
kualitas tata kelola dan bukan sumber daya.
Data yang dikumpulkan mencakup data numerik dan data persepsi. Terdapat
cukup banyak literatur mengenai potensi bias yang dapat terjadi dari
penggunaan data persepsi (lihat Kahneman and Krueger (2006) untuk
pembahasan hal ini). Namun demikian, kami percaya bahwa kedua jenis data
tersebut dapat berguna. Dalam hal ini, data persepsi amat berharga dalam
memberikan penilaian terhadap isu-isu yang mana sulit untuk menemukan
ketersediaan ukuran kuantitatif (seperti kapasitas dan integritas kepala daerah).
Karena survei tersebut mengumpulkan data persepsi perusahaan yang memang
mengalami tata kelola dari pemerintah daerah, kami percaya bahwa hal ini akan
lebih akurat dibandingkan survei yang hanya berdasarkan pendapat ahli lokal.
Lebih lagi, ketika baik data numerik dan data persepsi tersedia untuk suatu isu,
keduanya biasanya konsisten. Sebagai contoh, daerah dimana sering terjadi
pemadaman listrik juga bertendensi untuk memberikan data persepsi yang lebih
buruk akan kualitas infrastruktur listrik.
Selain survei perusahaan, LEGS juga mewawancarai pengurus dari tiga asosiasi
usaha di setiap daerah, termasuk cabang dari KADIN dan APINDO serta
asosiasi lainya yang terkait dengan sektor yang memiliki bagian terbesar pada
perekonomian daerah. Total terdapat 729 asosiasi usaha yang diwawancarai.
Hal ini memberikan tambahan informasi tentang bagaimana cara pemerintah
daerah berkonsultasi dengan sektor usaha dan berapa sering hal itu dilakukan,
serta penilaian asosiasi usaha mengenai kualitas proses tersebut. LEGS juga
memasukkan

informasi

mengenai

frekuensi

dan

kualitas

program

pengembangan usaha yang dilakukan oleh pemerintah daerah.

23

Sebagai tambahan, LEGS juga mengumpulkan data sekunder mengenai pajak
dan pungutan daerah serta telah melakukan telaah atas 932 peraturan daerah
dan keputusan walikota terkait dengan perijinan, perpindahan barang dan jasa
serta masalah ketenagakerjaan. Para peneliti KPPOD kemudian menilai perdaperda ini seiring dengan kesesuaian mereka dengan hukum nasional,
konsistensi antara tujuan dengan tindakan yang dilakukan, serta apakah perda
tersebut melanggar prinsip-prinsip dasar seperti kebebasan perpindahan barang
dari suatu daerah ke daerah lainnya di Indonesia.

Korelasi antara Tata kelola dan Pertumbuhan
Sebelum melakukan analisa yang lebih rumit terhadap hubungan antara tata
kelola dan

kinerja

pertumbuhan daerah, kiranya

akan

berguna untuk

memperhatikan korelasi sederhana dan hubungan antara tata kelola dan
pertumbuhan dalam data kami. Tabel 1 memperlihatkan matriks korelasi
perpasangan sederhana antara sub-indeks tata kelola dan pertumbuhan daerah
pada tahun 2001-2007.

Terdapat tiga hal yang menarik dari Tabel 1. Pertama, terdapat korelasi yang
cukup tinggi antara berbagai sub-indeks Tata kelola yang berbeda. Sebagai
contoh, daerah yang memiliki nilai tinggi dalam hal akses informasi juga akan
memiliki nilai tinggi pada semua sub-indeks lainnya kecuali dua: program
pengembangan usaha, dimana tendensinya nilainya akan lebih rendah; serta
integritas kepala daerah, dimana korelasinya tidak berbeda dari nol secara
statistik. Cerita yang sama juga muncul untuk semua sub-indeks lainnya dimana
hampir semua sub-indeks akan berkorelasi positif dengan sebagian besar subindeks lainnya namun memiliki korelasi negatif dengan sub-indeks program
pengembangan usaha.

24

Kami telah memperkirakan korelasi positif kecil yang signifikan antar sub-indeks
karena konsep Tata kelola memang saling tumpang-tindih pada batasan tertentu.
Namun adanya korelasi yang besar, misalnya antara biaya transaksi, keamanan,
perijinan dan sub-indeks lainnya memang sepertinya mengindikasikan bahwa
konsep-konsep Tata kelola itu dapat disederhanakan lagi dengan variabel yang
lebih sedikit. Selanjutnya, fakta bahwa ada satu sub-indeks – program
pengembangan usaha – yang berkorelasi negatif dengan empat sub-indeks
lainnya cukup mengherankan. Sampai saat ini masih belum dapat dijelaskan
mengapa program pengembangan usaha memiliki nilai yang lebih baik di
daerah-daerah dimana akses informasi, infrastruktur, pertanahan dan keamanan
bernilai lebih jelek.
Hal kedua yang cukup menarik dari Tabel 1 adalah fakta bahwa hanya satu dari
sembilan sub-indeks (infrastruktur) yang memiliki korelasi yang signifikan dengan
pertumbuhan daerah pada tahun 2001-2007. 15 Hal ini tidak menunjukkan adanya
hubungan yang kuat antara kualitas tata kelola dengan pertumbuhan.

15

Hasil ini juga berlaku ap