Dinamika Administrasi publik Di Indonesi
Dinamika Administrasi publik Di Indonesia
Bab I
PENDAHULAUAN
Latar Belakang
Dinamika perkembangan administrasi publik di mulai berkembang ke antero dunia,
termasuk ke Indonesia. Sejak dekade 1990an, administrasi publik telah berkembang pesat
dibandigkan ilmu lainnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan ilmu administrasi
publik begitu masif terjadi di negara asalnya Amerika Serikat dan negara-negara AngloSaxon lainnya seperti Inggris, Kanada, Australia dan Selandia Baru. Sedangkan di negaranegara berkembang, dinamika administrasi publik tidak begitu intens karena masih kuatnya
kontrol politik, birokrasi dan budaya.
konsep dan paradigma administrasi publik yang berkembang di Indonesia diimpor
dari luar. Teori tentang kebijakan publik, teori manajemen publik dan teori governance
adalah teori yang lahir di Barat, yang kemudian diadopsi oleh kalangan akademisi dan
praktisi administrasi publik di Indonesia. Sampai saat ini, penulis belum menemukan satu
pun tulisan atau pun buku tentang teori administrasi publik yang ”asli” Indonesia.
Kebanyakan, buku-buku tentang teori administrasi publik yang ditulis oleh orang Indonesia
dan beredar di Indonesia merupakan buku-buku yang mencuplik teori-teori administrasi
publik dari luar dengan sedikit modifikasi (threatment) dan tambahan di sana-sini dengan
kasus Indonesia. Fenomena ini jika dibiarkan berlangsung dalam jangka waktu yang lama
dapat mengakibatkan hilangnya kemandirian dan identitas administrasi publik di Indonesia.
Keilmuwan administrasi publik di Indonesia berlangsung dalam kondisi yang
dinamis sudah terasa sejak terjadinya reformasi politik di Indonesia yang ditandai dengan
lengsernya Orde Baru tahun 1998 hingga saat ini, dialektika keilmuwan administrasi terjadi
begitu hangat. Masing-masing jurusan/departemen/program studi yang menawarkan
pendidikan administrasi publik di perguruan tinggi-perguruan tinggi di Indonesia memiliki
cakrawala keilmuwan yang berbeda satu sama lain. Labih jauh, hal ini menimbulkan
perspentif yang berbeda dalam memandang dan menjalankan pendidikan administrasi
publik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Latar Belakang Sejarah Perkembangan Ilmu Administrasi Publik
Administrasi negara sebenarnya sudah ada semenjak dahulu kala. Ia akan timbul
dalam suatu masyarakat yang terorganisasi. Dalam catatan sejarah peradaban manusia, maka
di Asia Selatan termasuk di Indonesia, Cina, dan di Mesir Kuno, dahulu sudah didapatkan
suatu sistem penataan pemerintahan. sistem penataan tersebut pada saat sekarang ini dikenal
dengan sebutan administrasi negara. Administrasi negara modern yang dikenal sekarang ini
adalah produk dari suatu masyarakat feodal yang tumbuh subur di negara-negara Eropa.
Negara-negar di daratan Eropa yang kesemuanya dikuasai oleh kaum feodal, bangsawan,
dan kaum ningrat kerajaan berusaha untuk mengukuhkan sistem pemerintahannya. Dengan
semakin tumbuhnya perkembangan masyarakat, maka sentralisasi kekuasaan dan
pertanggungjawaban dalam pemerintahan monarki menimbulkan suatu kebutuhan untuk
mendapatkan korps administrator yang cakap, penuh dedikasi, stabil, dan integritas. Korps
administrator ini pada gilirannya nanti akan menjadi tenaga spesialis pada masing-masing
bidang dan jabatan yang beraneka dalam tataran pemerintahan nasional. Kebutuhan akan
suatu sistem mulai dirasakan, yakni suatu sistem untuk menata sentralisasi kekuasaan dan
pertanggung jawaban pemerintahan. Salah satu perwujudan kebutuhan suatu sistem penataan
pemerintahan yang sistematis tersebut di Prusia dan Austria dikenal sistem kameralisme
(cameralisz). Sistem ini dapat dikatakan sebagai awal mulanya administrasi negara.
Kameralisme ini dirancang untuk mencapai efisiensi manajemen yang tersentrarlisasikan
dan paternalistis, yang ditandai oleh corak perckonomian yang merkantilisme. Sistem
pemerintahan semacam ini sangat membutuhkan tamatan-tamatan perguruan tinggi dalam
banyak bidang, seperti misalnya keuangan negara dtrn administrasinya, kepolisian, ekonomi,
pertanian, dan kehutanan.
Gejala diperlukannya suatu sistem penatataan administrasi pemerintahan seperti di
Prusia dan trustria tersebut, kemudian diperkuat di Perancis pada sekitar abad ke-18 dengan
usaha-usaha untuk mengembangkan teknologi. Perancis membutuhkan tenaga-tenaga ahli
yang cakap dan profesional untuk mengisi jabatan-jabatan pemerintahan. Sekolah-sekolah
nasional yang profesional didirikan untuk menunjang pemenuhan kebutuhan tersebut.
Walaupun unsur-unsur kameralisme dan teknologi Perancis teiah memberikan pengaruh
yang besar terhadap administrasi negara diberbagai negara di Eropa pada waktu itu. Akan
tetapi, esensi dari unsur-unsur tersebut tampaknya mulai memudar ketika terjadi Revormasi
Perancis dan juga ketika zaman Napoleon. 'fitik berat perhatian mulai beralih diberikan
kepada hak-hak individu dan kervajiban negara untuk melindungi hak-hak tersebut. Esensi
ini kemudian hari menimbulkan suatu rasa kewajiban dan loyalitas kepada negara melalui
suatu usaha penafsiran dan aplikasi hukum yang adil (fair-banded), dan kebutuhan untuk
menetapkan keabsahan dalam mengungkapkan keinginan-keinginan kepada pemerintah.
Suatu ung- kapan pendapat yang menyarankan agar pejabat-pejabat tinggi yang permanen
(senior permanent officers) seharusnya dididik terlebih da- hulu dibidang hukum, merupakan
suatu kenyataan atas esensi terse- but. Timbullah waktu itu suatu ungkapan yang
menyatakan bahwa: "Negara adalah berkuasa, sentralisasi dan abadi (durable). Adapun
birokrasi yang berorientasi legalistik haruslah mengabdikan kepada fungsi yang menjamin
adanya stabilitas yang langgeng dan yang mampu menyatakan untuk melind- ungi
keinginan-keinginannya. "
Pandangan yang legalistik dari sistem negara dan birokrasinya ini terdapat hampir
pada sebagian besar negara-negara Eropa Barat, dan dalam kadar derajatnya yang lebih kecil
terdapat pula pada negara- negara Eropa Timur. Demikian pula pada negara-negara baru
bekas jajahan dari negara-negara Eropa tersebut. Inggris Raya dan Amerika Serikat pada
gilirannya mengembangkan sistem administrasi negaranya yang sangat berbeda satu sama
lain dengan sistem di daratan Eropa tersebut. Kedua negara ini tidak mau mengadopsi
pandangan mistik Eropa mengenai negara, dan meninggalkan tradisi kodifikasi tata
hukumnya. Inggris telah lama memercayakan tanggung jawab administrasi pemerintahannya
pada cara perwakilan dari para bangsawan dan orang-orang yang berpendidikan tinggi.
Sampai dengan akhir abad ke-18 dan awalabad ke-19 sebagian besar kaum bangsawan
berasal dari tuan tanah di pedesaan (rural-estate). Baru pada waktu diadakan perombakan
pegawai - pegawai pemerintahan di abad ke-19, maka kemudian hampir sebagian besar
administrator berasal dari kaum pedagang (mercantile) dan kelas-kelas usahawan di kotakota. Selanjutnya pada akhir abad ke 19, mereka telah mulai menerapkan proses seleksi
yang berlandaskan pada ujian yang bersifat kompetitif yang keras dari lulusan-lulusan
universitas, terutama dari Oxford dan Cambridge.
Dalam ujian-ujian ini diujikan beberapa materi antaranya hukum administrasi seperti
vang terjadi di daratan Eropa, dan spesialisasi-spesialisasi lainnya lang bertalian secara
langsung dengan administrasi negara yang masih terpusat pada sifat-sifat klasik dan
kemanusiaan. Cara rekrutmen untuk memasuki dinas-dinas administrasi pemerintahan di
Inggris ini masih berlangsung dengan sedikit perubahan di sana sini, sampai akhir tahun
1960-an. Sistem ini dirancang untuk memperoleh administrator-administrator yang
generalis, cerdas, dan mempunyai perspektif profesional. Mereka mempelajari administrasi
dan segala kegiatan untuk mengadministrasikan pekerjaan.
2.2 Pergeseran Paradigma
Perkembangan suatu disiplin ilmu dapat ditelusuri dari perubahan paradigmanya.
Paradigma merupakan suatu cara pandang, nilai-nilai, metode-metode, prinsip dasar, atau
memecahkan sesuatu masalah, yang dianut oleh suatu masyarakat ilmiah pada suatu masa
tertentu (Kuhn, 1970). Apabila suatu cara pandang tertentu mendapatkan tantangan dari luar
dan mengalami krisis atau anomalies, maka kepercayaan dan wibawa dari cara pandang
tersebut menjadi luntur atau berkurang. Orang mulai mencari cara pandanf yang lebih
sesuai, ataudengan kata lain muncul suatu paradigma baru.
Dalam hubungannya dengan perkembangan ilmu administrasi publik, ini pernah
terjadi beberapa kali, dan terlihat pada pergantian cara pandang yang lama dengan yang
baru, sebagaimana diungkapkan oleh nicholas henry (1995;21-49). nicholas hendry
mengungkapkan bahwa standard suatu disiplin ilmu, seperti yang dikemukanan oleh Robert.
T Golembiewski, mencakup fokus dan locus. Fokus mempersoalkan what of the field atay
metode dasar yang digunakan atau cara-cara ilmiah apa yang dapat digunakan untuk
memecahkan suatu persoalan. Sedangkan Locus mencakup where of the field atau medan
atau tempat dimana metode tersebut digunakan atay diterapkan. berdasarkan dua kategori
disiplin tyersebut, Henry mengungkapkan bahwa telah terjadi lima paradigma administrasi
publik, seperti yang akan diuraikan berikut ini.
a. Paradigma 1 (1900-1926)
Dalam paradigma ini dikenal dengan paradigma dikotomi Politik administrasi, dari
tahun 1900-1926.
Tonggak sejarah yang dapat dipergunakan sebagai momentum dari fase
paradigma pertama ini ialah tr.rlisan dari Irrank J. Goodnow clan Lenald D. White. Di
dalan-r br-rkunya Politics and Administraliott, frank Gooclnow'' berpendapat bahr,va ada
dua fungsi pokok pemerintah yang amat berbeda satu sama lain. Dua fungsi pokok
tersebut ialah politik dan administrasi sebagaimana yang tertulis dalam judul bukunya.
Politik menurut Goodnow harus membuat kebijak- sanaan-kebijaksanaan atau melahirkan
keinginan-keinginan negara. Sementara administrasi diartikan sebagai hal yang harus
berhubungan dengan pelaksanaan kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut. Pemisahan
kekuasaan memberikan dasar perbedaan antara politik dan administrasi. Badan legislatif
dengan ditambah kemampuan penafsiran dari badan yudikatif mengemukakan keinginankeinginan negara dan kebijaksanaan formal. Sedangkan badan eksekutif mengadministrasikan kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut secara adil dan tidak memihak kepada
salah satu kekuatan politik. Penekanan paradigma I ini adalah pada locusnya, yakni
mempermasalahkan di mana seharusnya administrasi negara ini berada. Secara jelas,
menurut Goodnow dan pengikut-pengikutnya, administrasi negara seharusnya berpusat
pada birokrasi pemerintahan. Sementara itu, walaupun badan legislatif dan yudikatif
mempunyai juga kegiatan administrasi dalam jumlah tertentu, namun fungsi pokok dan
tanggung jawabnya tetap menyampaikan keinginan ke inginan negara. Inisial legitimasi
yang konseptual tentang locus ini memberikan pusat pengertian atau definisi dari bidang
administrasi. Selanjutnya dalam kaitannya dengan locus paradigma pertama ini ialah
timbulnya suatu persoalan di antara kalangan akademisi dan praktisi mengenai dikotomi
politik-administrasi.
Administrasi negara menerima perhatian yang besar dari beberapa sarjana pada
periode ini, sebagai hasil adanya suatu gerakan pelayanan masyarakat umum (public
seruice mouement). Gerakan ini dilakukan oleh banyak universitas-universitas di bagian
arval abad ini. Ilmu Politik, sebagaimana isu yang dilaporkan tahun 1914 oleh Komisi
Instruksi dalam Pemerintahan dari Asosiasi Ilmu Politik Amerika (Committee on
Instruction in Gouernment of the American Political Science As- sociation) menyatakan,
bahwa komisi ini sangat memikirkan tentang bagaimana melatih orang-orang, dan
mempersiapkan mereka secara profesional dalam bidang-bidang tertentu seperti
misalnya; hukum, kewartar,vanan, ahli-ahli untuk jabatan-jabrrtan pemerintahan, dan
petugas-petugas riset. Dari sini jelaslah bahwa administrasi merupakan sub bidang dari
ilmu politik. Tahun 1912, suirtu komisi mengenai latihan jabatan praktis untuk pegawaipegawai pemerintah dibentuk dibawah koordinasi dari APSA (American political Science
Association atau Asosiasi Ilmu Politik Amerika). Pada tahun 1914 dalam laporannya
komisi tersebut memberikan rekomendasi bahwa di masa depan perlu didirikan fakultasfakultas profesional yang khusus untuk melatih administrator-administrator negara, dan
titel (degree) teknis yang baru diberikan untuk tujuan tersebut.
Administrasi negara mulai mendapatkan legitimasi akademis pada tahun 1920-an.
Pada tahun 1926 usaha yang amat terhormat dilakukan oleh Leonald White dengan
menerbitkan bukunya yang terkenal Introduction to the Study of Public Administration.
Buku pertama yang secara keseluruhannya dipersembahkan untuk mengenalkan ilmu
administrasi negara. Dwight leonald pernah mengatakan mengenai buku ini bahwa buku
tersebut merupakan dari karakter kemajuan Amerika, dan di dalam saripatinya itu
tercermin dorongan yang umum dari bidang ini. Dorongan itu antara lain mengemukakan
sebagai berikut: (1) Politik seharusnya tidak usah mengganggu lagi administrasi. (2)
Manajemen memberikan sumbangan analisis ilmiahnya terhadap administrasi. (3)
Administrasi negara adalah mampu menjadikan dirinya sebagai ilmu pengetahuan yang
"value free". (4) Misi dari ilmu administrasi adalah ekonomis dan efisiensi.
Hasil dari paradigma pertama ini memperkuat paham (nation) perbedaan dari
dikotomi politik-administrasi. Paham perbedaan ini akan tampak jelas dengan cara
menghubungkannya dengan suatu koresponden antara dikotomi nilai (ualue) dan praktek.
Dengan demikian, segala hal yang diteliti oleh administrasi negara di dalam lembaga
eksekutif bagaimana pun diwarnai dan diabsahkan (legitimized) dengan praktik dan
ilmiah (practice and scientific. Sementara itu studi policy making dan masalah-masalah
yang bergayutan telah mulai ditinggalkan oleh sarjana-sarjana ilmu politik. Pembagian
daerah analisis antara administrasi negara dan iimu politik selama masa orientasi locus in
itampaknya mempunyai dampak yang panjang sampai sekarang ini. Hal ini dapat dilihat
beberapa universitas di Amerika Serikat (kelihatannya diikuti pula oleh universitasuniversitas di Indonesia) bahwa bidang administrasi negara itu di dalamnya diuraikan
materi-materi seperti: teori organisasi, administrasi keuangan, administrasi kepegawaian,
dan Administrasi Perbekalan. Sedangkan bidang ilmu politik diajarkan subjek-subjek.
Teori pemerintahan, kepresidenan, proses pembuatan undang-undang, politik pemerintah
pusat dan daerah, perbandingan politik, hubungan internasional dan banyak hal lagi.
Pengaruh kedua dari fase orientasi locus ini ialah isolasi administrasi negara dari
bidang
kajian
lainnya
seperti
misalnya,
administrasi
perusahaan
(business
administration). Isolasi ini memberikan konsekuensi yang tidak menguntungkan,
terutama sekali ketika bidang-bidang tersebut memulai penelitiannya terhadap sifat
organisasi. Akhirnya, pengaruh lain yang sangat terasa ialah, karena penekanan
administrasi negara pada "administrasi dan praktika" pada mulanya, maka usaha-usaha
berikutnya adalah dipusatkan untuk memberikan fondasi prinsip-prinsip ilmiah pada
administrasi tersebut. Hal ini merupakan suatu usaha yang tiada mudah pada awal
perkembangan administrasi negara sebagai suatu ilmu.
b. Paradigma 2
Prinsip-prinsip Administrasi, Tahun 1927-1937.
Tahun 1.927, W. E, Willoughby menerbitkan bukunya yang berjudul Principles
of Public Administratioz. Buku ini merupakan buku teks kedua yang membahas secara
penuh di bidang administrasi negara. Buku pertama ditulis oleh Leonald D. White yang
termasuk dalarn paradigma pertama. Prinsip-prinsip administrasi negara yang
dikemukakan oleh Willoughby ini memberikan indikasi terhadap tren baru .lari
perkembangan bidang ini. Sekaligus membuktikan bahwa prinsip-prinsip itu ada dan
dapat dipelajari. Dengan demikian, administrator-administrator bisa menjadi ahli dan
cakap di dalam pekerjaannya kalau mereka mau mempelajari bagaimana menerapkan
prinsip-prinsip tersebut. Pada fase paradigma kedua ini, administrasi negara benar-benar
mencapai puncak reputasinya. Sekitar tahun 1930an, administrasi banyak mendapat
sumbangan yang berharga dari bidang-bidang lainnya seperri industri dan pemerintahan.
Sehingga dengan demikian, pengem- bargan pengetahuan manajemen memberikan
pengaruh yang besar terhadap timbulnya prinsip-prinsip administrasi tersebut. Itulah
sebabnya locus dar, paradigma ini mudah diketahui yakni berada pada esensi prinsipprinsip tersebut.
Sesungguhnya walaupun administrasi itu sebenarnya bisa berada di mana saja,
akan tetapi karena prinsip adalah prinsip dan administrasi adalah administrasi, maka
menurut persepsi paradigma ini administrasi negara mempunyai suatu prinsip tertentu.
Prinsip-prinsip administrasi negara yang dimaksudkan tersebut ialah adanya suatu
kenyataan, bahwa administrasi negara bisa teriadi pada semua tatanan administrasi tanpa
memedulikan kebudayaan, fungsi, lingkungan, misi, atau kerangka institusi. Ia bisa
diterapkan dan diikuti di bidang apa pun tanpa terkecuali. Kenyataan ini memberikan
penegasan bahwa prinsip-prinsip administrasi tersebut bisa diterapkan dan dipakai oleh
negara-negara yang berbeda kebudayaan, lingkungan, fungsi, misi, dan atau kerangka
institusi Dengan demikian bisa terjadi administrasi negara di barat atau di timur, asal- kan
prinsip-prinsip tersebut digunakan. Selanjutnya, oleh karena administrasi negara telah
memberikan konstribusinya yang banyak terhadap formulasi prinsip-prinsip administrasi melalui suatu usaha penelitian ilmiah, maka administrasi negara seharusnya
menghasilkan suatu paket akademis di dalam menerapkan suatu prinsip dalam dunia
kenyataan organisasi, perusa- haan, atau apa pun namanya.
Beberapa karya yang menonjol dalam fase paradigma kedua ini, anrara lain dapat
disebutkan: Mary Parker Follet, menulis Creatiue Experience (1930), Henri Fayol,
Indwstrial and General Management (1930), James D. Mooney dan Alan C. Reile5
Principles of Organiza- tion (1939), dan berbagai tulisan-tulisan lainnya yang
mengemuka- kan prinsip-prinsip administrasi negara tersebut. Ahli-ahli organisasi sering
menyebutkan aliran ini sebagai aliran manajemen administratif (administratiue
management), karena aliran ini memusatkan titik perhatiannya pada eselon hierarki atas
dari sesuatu organisasi. Suatu literatur yang releuantyang dihasilkan oleh aliran manajemen administratif ini kira-kira bersamaan waktunya dengan suatu usaha pengenrbangan
di bidang bisnis (business scbool)yang memusatkan per- hatiannya pada hierarki
terbarvah atau pelaksana organisasi (asseble- line). Ahli-ahli riset pada aliran ini sering
kali menamakannya sebagai manajemen ilmiah (scientific mdnagement) yang
mengembangkan prinsip efisiensi tenaga gerakan dari pelaksana. Literatur yang sangat
terkenal di masa ini ialah tuiisan Frederick. Taylor, Principle of Scientific Management
(1911) dan beberapa hasil karya Frank dan Lillian Gilbreth.
Dalam hubungannya dengan konsep paradigma ini manajemen ilmiah sedikit
sekali pengaruhnya terhadap konsep administrasi negara pada fase ini. Karena
manajemen hanya memberikan titik perhatiannya pada tingkat pelaksana dalam sesuatu
organisasi. Tahun 1937 merupakan puncak akhir dari fase paradigma kedua ini. Pada
tahun itu Luther H. Gulick dan Lyndaii Urwick mengemukakan tulisannya Paper on the
Science of Administration. Tulisan ini sebenarnya adalah iaporan yang dibuatnya pada
komisi presiden untuk administrasi. Pada waktu Gulick dan Urwick merupakan orang
kepercayaan dari Presiden Franklin D. Roosevelt. Menurut Gulick dan Urwick, prinsip
adalah amat penting bagi administrasi sebagai suatu ilmu. Adapun letak di mana prinsip
itu akan dipakai tidak begitu penting. Pocus memegang peranan penting dibandingkan
atas locus. Prinsip administrasi yang terkenal dari Gulick dan Urwick ialah singkatan
POSDCORB (Planning, Organizing, Staffing, Directing, Coordinating, Reporting,
Budgeting). Walaupun sebagian besar orang menamakan masa-masa ini adalah masa
"Orto dok Kesiangan" bagi administrasi negara. Akan tetapi, inilah ciri yang bisa diteliti
dari paradigma kedua. Tahun-tahun berikutnya merupakan tahun tantangan bagi administrasi negara.
Banyak konsep-konsep baru yang mencoba mengkritik konsep administrasi
negara yang dirasakan ortodoks tersebut. Dalam tahun 1938, setahun setelah Gulick dan
Urwick mengemukakan prinsip- prinsip administrasi tadi, Chester I. Barnard menerbitkan
bukunya The Functions of Executiue. Pengaruhnya terhadap administrasi negara be- lum
dirasakan dapat mengatasi persoalan pada waktu itu. Akan tetapi, pada kemudian hari
buah pikiran Barnard tersebut memberikan penga- ruh terhadap Herbert A. Simon, ketika
Simon menulis kritikannya yang tajam pada bidang ini. Kritikan Simon tersebut dapat
dibaca dalam bukunya Administr ative Behavior. Walaupun secara jelas, Administrative
Behavior banyak terpengaruh oleh Barnard, akan tetapi karena pada waktu itu Barnard
menjabat Presiden Direktur New Jersey Bell Telephone dan tidak menjadi anggota dari
masyarakat administrasi negara, maka pengaruh tersebut tidak dibesar-besarkan (bas been
delayed).
Perselisihan maintream konsepsi administrasi negara kemudian dipercepat di
tahun-tahun 1940-an, dengan adanya dua arah kekuatan yang datang bersama-sama.
Pertama, keberatan atas pendapat bahrva politik dan administrasi tidak bisa dipisahkan
dalam banyak kesempatan. Dan yang kedua, bahwa prinsip-prinsip administrasi adalah
secara logis tidak konsistennya.
c. Paradigma 3
Administrasi Negara sebagai llmu Politik,'lhbun 1950-1970.
Sebagai hasil dari derasnya kritikan yang ditujukan kepada kon- sepsi
administrasi negara pada waktu itu, maka akhirnya bidang ini melakukan lompatan ke
belakang mcncmui orang tua disiplin ini yakni ilmu politik. Akibat dari lompatan
menemui orang tua itu, maka ter- jadilah perubahan dan pen-rbaruan definisi locus-nya
yakni birokrasi pemerintahan, dan kekurangan hubungan dengan focusnya. Secara
singkat dikatakan bahrva fase paradigma ketiga ini me- rupakan suatu usaha untuk
menetapkarn kcmbali hubr.rngan kon- septual antara administrasi negara dcngan ilmu
politik. Akan tetapi, konsekuensi dari usahtr ini ialah keharusan untuk merumuskan
bidang ini paling sedikit dalam huburigannya dengan focus keahliannya yang esensial.
Itr"rlah sebabnya tulisan-tulisan administrasi negara dalam tahun I950-an penckanan
pcnrbicarairnnya pada wilayah keperrtingan (area of inleres) atau sebagai sinonim dari
ilmu
politik. Administrasi
negara
sebagari
suatu
bidang
studi
yang
dapat
diidentifikasik:rn memulai perjalanannya yang panjang menurun bukit yang berputarputar. Walaupun usaha untuk kembali kcpada rhnu politik sebagai suatu identifikasi darri
administrasi negara pada paradigma ini, akan tetapi sebaliknya ilmu politik mulai
melupakannya. Tahun 1962 administrasi bukan lagi dianggap scbagiri bagian dari ilmu
politik. hal ini terbukti dari laporan kon-risi ilmu politik sebirgai sr,rirtr-r disiplin dari
APSA (American Political Science Association). Tahun 1964, suatu survei yang
dilakukan oleh sarjana-sarjana ilmr politik merencanakan petuniuk tcntang merosotnya
minat terhadap administrasi negara dalam fakultas-fakultas ilmu politik . Tahun1967
administrasi negara benar-benar docoret dari program pertemuan tahun APSA.
Melihat perlakuan ilmu politik terhadap administrasi seperti yang diceritakan
diatas, maka tahun 968 dwight waldo memprotes keadaan seperti itu. Dia menulis bahwa
sarjana-sarjana ilmu politik tidak lagi mengidentifikasikan dirinya dengan administrasi
negara adalah bersikap tidak memedulikan dan memusuhi. Mereka menginginkan
secepatnya bebas dari administrasi negara. Sarjana-sarjana administrasi negara merasa
tidak senang dan dianggap sebagai warga negara kelas dua. Antara tahun 1960 sampai
tahun 1970 hanya dijumpai empat persen dari semua artikel yang diterbitkan dalam lima
jurnal utama ilmu politik yang membicarakan administrasi negara. Dasawarsa 60-an
merupakan suatu saat memisahkannya administrasi negara sebagai bidang kajian dalam
ilmu politik. Fakultas-fakultas ilmu politik menyebutnya dengan inisial ”Tipe PA.”
Ada dua perkembangan baru yang patut dicatat pada masa ini, yakni pertama,
tumbuhnya penggunaan studi kasus sebagai suaty sarana yang bersifat epistimologi.
Kedua, timbulnya studi perbandingan dan pembangunan administrasi sebagai salah satu
bagian dari administrasi negara.
d. Paradigma 4
Administrasi Publik sebagai Ilmu administrasi, Tahun 1956-1970
Dalam paradigma ini prinsip-prinsip manajemen yang pernah populer sebelumnya,
dikembangkan secara ilmliah dan mendalam. Perilaku organisasi,analisis manaiemen,
penerapan teknologi modern seperti metode kuantitatif, analisis sistem, riset operasi dsb,
merupakan fokus dari paradigma ini. Dua arah perkembangan terjadi dalam paradigma
ini,yaitu yang berorientasi kepada perkembangan ilmu administrasi ini yang didukung
olen disiplin psikologi sosial,dan yang berorientasi pada kebijakan publik.Semua fokus
yang dikembangkan disinidiasumsikan dapatditerapkan tidak hanya dalam dunia
bisnis,tetapi juga dalam dunia administrasi publik. Karena itu locusnya menjadi tidak
jelas.
e. Paradigma 5
Administrasi Negara sebagai Administrasi Negara, Tahun 1970.
Meskipun kekacauan intelektual masih juga berlangsung sampai saat ini, namun
administrasi negara mencapai sustu proses pembaruan yang valid. Pembaruan dalam
tahap paradigma yang kelima ini locus administrasi negara tidak semata-mata pada ilmu
murni administrasi, melainkan pada teori organisasi. Dalam dua setengah dekade terakhir
perhatian pada teori organisasi ditujukan terutama pada bagaimana dan mengapa
organisasi-organisasi itu bekeria, bagaima- na dan mengapa orang-orang berperilaku
dalam organisasi demikian pula bagaimana dan mengapa keputusan-keputusan itu
diambil. Perhatian itu lebih diberikan pada bagaimana dan mengapanya dibandingkan
pada bagaimana seharusnya hal-hal tersebut teriadi. Selain itu, pertimbanganpertimbangan untuk menggunakan teknik-teknik iimu manajemen ke dalam lingkungan
pemerintahan menjadi perhatian pula dalam fase paradigma kelima ini. Lebih dari itu,
administrasi
negara
semakin
bertambah
perhatiannya
terhadap
wilayah
ilmu
kebilaksanaan (policy science), Politik ekonomi, proses pembuatan kebijaksanaan
pemerintah dan analisis- nya (public policy making process), dan cara-cara pengukuran
dari hasil-hasil kebijaksanaan yang telah dibuat. Aspek-aspek perhatian ini dapat
dianggap dalam banyak hal sebagai suatu mata rantai yang menghubungkan antara focus
administrasi negara dengan locusnya. Sebagaimana yang terlihat dalam tren yang diikuti
oleh paradigma ini, maka focus administrasi negara adalah teori organisasi, praktika
dalam analisis public policy, dan teknik-teknik administrasi dan manajemen yang sudah
maju. Adapun locus normatif dari administrasi negara digambarkan oleh paradigma ini
ialah pada birokrasi pemerintahan dan pada persoalan-persoalan masyarakat (public
affairs).
walaupun public affairs masih dalam proses mencari bentuknya, akan tetapi
melihat perkembangannya bidang ini menduduki tempat urama dalam menarik perhatian
administrasi negara. Dalam waktu yang singkat, administrasi negara sebagai suatu bidang kajian telah menunjukkan warnanya sendiri. Beberapa departe- men, fakultas, dan
akademi baru administrasi negara dan public affairs bermunculan. Hal ini membuktikan
adanya suatu sikap yang jelas dari paradigma ini. Antara tahun"L973-1978 relah dibentuk
kurang lebih 21 persen fakultas profesional administrasi negara danpublic affairs, dan
sekitar 53 persen departemen administrasi negara danpwblic affairs. 'Walaupun terdapat
pula beberapa universitas menempatkan program administrasi negara ke dalam
departemen ilmu politik, hal tersebut hanya diiumpai pada universitas-universitas kecil.
Mereka lebih senang hanya mau melayani pendaftaran yang semakin menyusut
dibandingkan dengan suatu usaha terencana untuk mengembang- kan kurikulum
administrasi negara sebagai bagian dari ilmu politik. Selain itu, fakultas-fakultas yang
dulunya dibentuk dari kombinasi administrasi negara dengan administrasi perusahaan
sebagai akibat dari paradigma 4 di muka, telah menyusut lebih dari separuhnya.
Salah satu kecenderungan dari pertumbuhan'administrasi negara ini terbentuknya
asosiasi nasional dari fakultas-fakultas tersebut (The National Association of School of
Public Affairs and Administration). Asosiasi ini pada tahun 1980 mempunyai anggota
lebih dari 200 ins- titusi, dan lebih dari 25.000 mahasiswa baik yang penuh ataupun yang
parttime terdaftar dalam program MPA (Master of Public Administration) pada akhir
tahun 1970-an. Demikianlah perkembangan administrasi negara baik yang diikuti lewat
sejarahnya maupun lewat perkembangan paradigma. Ke- semuanya itu berlatar belakang
empiris dari negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Karena dari sanalah ilmu ini
mulai dikembangkan. Belajar dari pengalaman mereka kita petik yang dianggap baik dan
bisa diterapkan dalam pertumbuhan administrasi negara kita.
2.3. Ilmu Administrasi Publik di Indonesia
Indonesia sebenarnya sudah menganut sistem administrasi sejak zaman kerajaan
dahulu Secara umum sistem pemerintahan pada masa kerajaan bersifat feodalsentralistik. Raja merupakan penguasa tunggal yang harus dipatuhi. Segala keputusan ada
di tangan raja dan rakyat harus melaksanankannya. Birokrasi diorganisir untuk
mengkomunikasikan kebijakan-kebijakan raja kepada rakyat. Birokrasi pada masa itu
adalah perpanjangan tangan raja untuk memaksakan kehendaknya kepada rakyat. Ada
beberapa ciri yang dimiliki oleh birokrasi pada masa itu (1) Penguasa menganggap dan
menggunakan administrasi publik untuk urusan pribadi, (2) Administrasi adalah perluasan
rumah tangga istana raja, (3) Tugas pelayanan yang ditujukan kepada pribadi sang raja, (4)
Gaji dari raja kepada pegawai pegawai kerajaan pada hakikatnya adalah anugerah yang
juga dapat ditarik sewaktu-waktu sekehendak raja dan (5) Para pejabat kerajaan dapat
berbuat sekehendak hatinya kepada rakyat, seperti halnya yang dilakukan oleh raja.
Secara sosiologis, struktur masyarakat pada masa itu terbagi ke dalam dua lapisan,
yaitu golongan priyayi dan wong cilik (rakyat jelata). Golongan priyayi terdiri atas para
pejabat tinggi pusat mulai dari keluarga raja (pangeran), panglima perang (militer), penasihat
raja (patih), kemudian pejabat-pejabat di bawahnya seperti juru tulis (pejabat administrasi),
abdi dalem, para punggawa (hulubalang istana) dan para bangsawan yang diberi hak
istimewa dan pejabat daerah mulai dari adipati/bupati, kuwu (kepala daerah), demang
(kepala desa), bekel (kepala kampung), Sementara itu, wong cilik adalah rakyat jelata yang
tidak memiliki kekuasaan apa-apa seperti petani, pedagang, buruh, tukang, orang biasa dan
lain-lain. Hubungan kedua lapisan tadi lebih bersifat patront client di mana wong cilik tidak
memiliki kekuasaan yang berarti.
a. Periode Kolonial Belanda
Bangsa Indonesia pernah dijajah selama beberapa abad oleh bangsa asing. Bangsa
asing yang pertama kali datang ke Indonesia adalah Portugis (1511), kemudian Belanda
(1818), disusul oleh Inggris dan terakhir Jepang (1942). Pada awalnya mereka datang ke
Indonesia hanya untuk berdagang, namun lama kelamaan ingin menguasai. Dalam tulisan
ini, yang dijadikan pisau analisis untuk mengetahui pola politisasi birokrasi pada periode
ini hanya pada masa penjajahan Belanda dengan beberapa pertimbangan. Pertama,
Belanda merupakan bangsa yang paling lama menjajah Indonesia. Kedua, pola hubungan
politik-birokrasi lebih mudah diidentifikasi pada masa ini karena Belanda sudah
menerapkan administrasi pemerintahan yang cukup baik dan rapi di Indonesia.
Kolonialisme Belanda dimulai dengan munculnya VOC (Verenigde Oostindische
Compagnie) pada tahun 1862, yang merupakan organisasi dagang Timur Jauh yang diberi
wewenang besar untuk mengeksploitasi wilayah dagang atas nama raja Belanda. Awalnya
tujuan VOC datang ke Indonesia hanya untuk berdagang, kemudian lama-kelamaan niat
busuk VOC terungkap. Dimulai dengan memonopoli rempah-rempah penduduk, meminta
tanah untuk mendirikan kantor hingga akhirnya ingin menguasai seluruhnya.
Melihat perkembangan VOC yang begitu pesat dan telah menguasai pusat
perdagangan rempah-rempah di Indonesia mendorong kerajaan Belanda di awal abad18
menempatkan seorang Gubernur Jenderal (General Gouvenour) untuk mengkoordinir
wilayah jajahan. Akibatnya, struktur pemerintahan di wilayah jajahan menempatkan
Gubernur Jenderal pada posisi yang sangat berkuasa atas segala sesuatu urusan di negara
jajahan. Gubernur Jenderal diberi kekuasaan untuk mengatur wilayah jajahan, namun
tetap membayar upeti kepada kerajaan Belanda sebagai bukti kesetiaannya. Pada masa
itu, Belanda telah menerapkan sistem administrasi modern dalam mengurus dan
mengendalikan wilayah jajahannya, termasuk di Indonesia. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Sinambela, bahwa cara-cara yang dipakai Belanda melahirkan pola
birokrasi kolonial yang cukup maju, tanpa mengubah total tatanan yang ada. Selanjutnya
menurut Dwiyanto, pada masa kolonial terdapat dualisme sistem administrasi
pemerintahan. Di satu sisi telah mulai diperkenalkan dan diberlakukan sistem
administrasi kolonial (Binnenlandsche Bestuur) yang mengenalkan sistem administrasi
dan birokrasi modern, sedangkan pada sisi lain sistem administrasi tradisional
(Inhemsche Bestuur) masih tetap dipertahankan. Artinya, Belanda tetap memakai jasajasa pegawai pribumi yang berasal dari priyayi untuk kegiatan-kegiatan birokratisadministratif. Sementara itu, untuk mengawasi mereka diangkat pejabat Belanda dengan
mengambil model Barat dengan jabatan residen, asisten residen dan countreuler yang
hierarkinya bertanggung jawab kepada Gubernur Jenderal.
Pegawai pribumi berkewajiban melaksanakan (implementator) kebijakankebijakan Belanda kepada masyarakat. Dalam realitanya, pegawai-pegawai ini lebih
berorientasi pada kepentingan kolonial (penjajah) karena diiming-imingi dengan gaji dan
kedudukan, tanpa mereka sadari bahwa gaji dan kedudukan yang diperoleh telah
menyengsarakan rakryat. Seperti yang dikemukakan oleh Tjokroamidjojo, orientasi dan
kondisi kepegawaian pada zaman penjajahan lebih ditujukan untuk kepentingan penjajah
dan demi kepentingan pemeliharaan keamanan dan ketertiban belaka. Jadi, dapat
dipahami bahwa pola politisasi birokrasi pada masa kolonial ini terlihat dalam
pengangkatan pejabat-pejabat pribumi (bupati) dari kalangan priyayi (bangsawan) tanpa
kriteria yang jelas dan dominannya orientasi birokrasi pada kepentingan-kepentingan
politik penjajah dibanding melaksanakan fungsi pelayanan (service functions) terhadap
public.
Perkembangan administrasi negara di Indonesia dapat pula diikuti seberapa iauh
pimpinan nasional (pemerintah) mempunyai perhatian untuk melakukan perbaikan dan
pengembangan. Salah satu upaya untuk mengetahuinya ialah dengan mengamati upaya
reformasi administrasi pemerintahan yang pernah dilakukan oleh dua pemerintahan
cukup lama di Indonesia, yakni zaman pemerintahan Bung Karno dan zaman
pemerintahan
b. Zaman Soeharto.
Pada awal perkembangan ilmu administrasi negara tahun 1950- an, pemerintah
dalam hal ini Presiden Soekarno melalui almarhum Perdana H.Djuandaa meiakukan
reformasi administrasi negara Indonesia. Ketika pemerintah proklamasi melaksanakan
pemerintahan sendiri administrasi pemerintahannya waktu itu meniru dan mewarisi
sistem administrasi dari pemerintahan kolonial. Sewaktu dijajah Belanda dahulu dalam
waktu ya.ng sangat lama, kita hanya mengenal sistem administrasi pemerintahan kerajaan
Belanda. Sistem itulah satu-satunya yang kita kenalkan dalam menata administrasi negara
kita semenjak proklamasi.
Pemerintah Jepang pernah juga menlajah negara kita, dan pernah sistem
administrasi Jepang dicoba dipakai untuk sementara waktu. Karena sistem pemerintahan
kerajaan Belanda yang lama diterapkan di negara jajahan saat itu, maka sisrem
administrasi Belanda ini yang banyak berpengaruh dalam tatanan sistem administrasi
pemerintahan kita. Sistem ini lama-kelamaan dirasakan tidak lagi memadai, lagi pula
semangat ingin melepas dari warisan kolonial dan semangat kemerdekaan yang masih
berkobar di dada bangsa kita, maka hal ini amat mendorong terciptanya pem- baruan dan
pengembangan sistem administrasi negara kita. Saat itu di Amerika Serikat
dikembangkan sistem administrasi negara yang modern, praktis dan efisien. Maka
Presiden Soekarno dengan Perdana Menteri Almarhum H. Djuanda mengundang perutusan dari Amerika Serikat. Guru besar ilmu administrasi publik dari Cornel dan
Pittburg didatangkan ke Indonesia untuk memberi- kan saran pengembangan dan
perbaikan sistem administrasi negara kita.
Hasil dari perutusan ini dilakukan reformasi administrasi pemerintahan. Susunan
kementerian mulai ditata, didirikan lembaga yang menjadi pusat pelatihan dan
pengembangan tenaga-tenaga administrasi negara, di dirikannya fakultas dan universitas
yang mengajarkan ilmu administrasi negara seperti yang dikembangkan oleh Amerika
Serikat, dan dibangun badan perancang nasionai yang kelak kemudian berubah menjadi
Bappenas. Kantor Urusan Pegarvai (KUP) didirikan yang kelak kemudian menjadi
BAKN (Badan Administrasi Kepegar,vaian Negara) dan sekarang berubah menjadi BKN
(Badan Kepegarvaian Negara). Reformasi pertama yang dilakukan an Soekarno didorong
oleh perubahan ketika zaman kepresiden- yang terjadi di lingkungan strategis nasional
dan global. Lingkungan strategis nasional ialah berubahnya tata sistem pemerintahan
yang dijalankan berdasarkan warisan kolonial Belanda ke arah tatanan sistem
administrasi yang bersifat modern pengaruh dari Amerika Serikat. Pengaruh global
terjadi bermula dari sistem administrasi yang modern, praktis dan efisien yang
dikembangkan oleh Amerika Serikat tadi. Ada faktor pendorong (leverage points) yang
membuat Bung Karno memerhatikan pengembangan dan reformasi administrasi negara.
Faktor pendorong itu ditandai dari adanya perubahan baik di lingkungan strategis nasional maupun g1obal. Pemerintahan Presiden Soekarno mempunyai pandangan yang
jelas terhadap administrasi negara. Perhatiannya untuk mengembangkan sistem
administrasi negara sangat besar dengan didirikannya pada waktu Lembaga Administrasi
Negara (LAN) yang diharapkan sebagai lembaga kajian untuk mengembangkan Ilmu Administrasi Negara yang bisa diterapkan dalam kegiatan sehari-hari dari praktika ke
pemerintahan, Reformasi kedua dilakukan ketika zaman kepresidenan Soeharto.
Dorongan untuk melakukan reformasi ini pun diawali oleh keinginan untuk
membangun bangsa dan negara yang dimulai untuk menyelenggarakan pemerintahan
yang stabii, kuat dan sentralistis. Pembangunan tidak bakal terjadi kalau ekonomi bangsa
ini tidak tumbuh. Untuk menumbuhkannya diperlukan adanya stabilitas pemerintahan
baik di bidang politik, pertahanan, keamanan, sosial dan sektor lainnya. Dari keinginan
untuk mewujudkan stabilitas ini maka visi pemerintahan Presiden Soeharto adalah harus
dijalankan secara sentralistis. Pendekatan kekuasaan, keamanan, dan pemusatan segala
macam kebijakan dan urusan di pemerintah pusat amat kelihatan sekali. Maka disusunlah
suatu perubahan kebijakan menata kelembagaan dan sistem birokrasi pemerintah yang
mendukung terwujudnya visi sentral tersebut. Tahun 1974 lima tahun setelah Presiden
Soeharto memegang kendali pemerintahan mengeluarkan PP No. 44 dan 45 tahun 1974
sebagai tonggak dirombaknya dan disusun sistem serta struktur lembaga birokrasi
pemerintah. Semua organisasi dan sistem diseragamkan. Mulailah berturut-turut adanya
ketentuan perundangan yang menuju keseragaman itu. Susunan departemen kita yang
dipimpin para menteri diseragamkan lembaga dan sistemnya. Sistem penyusunan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban anggaran juga disusun seragam. Sistem rekrutmen
pegawai dan pengangkatan peiabat dalam jabatan, sistem diklat pegawai, sistem
penggajian pegawai yang merana, sistem pengawasan, dan semua sistem-sistem lainnya
diatur secara seragam dan sentral. Susunan pemerintah desa pun diseragamkan untuk
seluruh negara kita.
Reformasi administrasi negara yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden
Soeharto karena didorong oleh perubahan sistem lingkungan strategis narsional dari
pemerintahan Soekarno (Orde Lama) ke pemerintahan Orde Baru. Sementara lingkungan
strategis global ditandai dengan perlunya bantuan d:rri negara donor untuk membantu
kebijakan dan program pembangr-rnan yang dilakr.rkannya. Bantuan atau pinjaman
merupakan tatanan global yang harus ditaati dan diperhatikan untuk keberhasilan
pembangunan. Lepas apakah reformasi ketika masa kepresidenan Soeharto ada ekses
yang kurang baik terhadap demokrasi dan pemulihan kondisi perekonomian bangsa, akan
tetapi reformasi administrasi negarll yarng kcdua itu dimulai dari visi, pandangan, dan
kemauan yang jelas untuk lnenata sistem administrasi negara yang menekankan pada
pembangunan ekonomi. Ketika itu kalau semuanya tidak dikendalikan secara terpusat
barangkali pembangunan yang diprogramkan oleh pemerintahan Soeharto tidak
terlaksana. Keinginan menata kelembargaan di sistem administrasi negara yang
mendukung terhadap upaya pembangunan tersebut merupakan langkah yang terarah. hal
ini suatu bukti bahwa perhatian tcrhadap pembangunan, reformrrsi, perubahan dan
pengembangan administrasi negara merupakan prioritas bagi pemerintahan Presiden
Soeharto Kedua Presiden terdahulu mempunyai perhatian besar terhadap pengembangan
ilmu administrasi untuk kemanfaatan pemerir-rtahan yang dipimpinnya. Yang kedua,
kedua Presiden terdahulu melakukan reformasi karena didorong olch leverage points
yang jeias barik pada tataran lingkungan strategis nasional maupun global. Itulah
reformasi yang pernah dilakukan oleh pemerintah sepanjang sejarah kemerdekaan hingga
saat ini. Mulai pemerintahan reformasi yang dilakukan di awal tahun 1998, saya
mempunyai pan- dangan bahwa pemerintah kita hingga kini belum pernah melakukan
reformasi dan bahkan pemerintah yang silih berganti itu kurang perhatiannya terhadap
sistem dan tata laksana administrasi negara kita. Apa visi pemerintah terhadap reformasi
atau perubahan sistem administrasi negara sampai sekarang belum mengetahui sccara
jelas.
Kelembagaan dan sistem administrasi negara kita hingga seka- rang ini masih
seperti yang dulu direformasi oleh Presiden Soeharto. Belum ada perubahan sedikitpun.
Suasana dan struktur organisasi kelembagaan birokrasi pemerintah masih seperti dulu.
Sementara itu lingkungarn strategis nasional di global baik politik maupun ekonorni telah
mengalami perubahirn yang dahsyat.
c. Periode Reformasi Kemerdekaan
Baru
mulai
tahun
1945,
ketika
bangsa
Indonesia
memproklamasikan
kemerdekaannya, sistem administrasi negara di tangan bangsa sendiri. Kesempatan
terbuka luas bagi bangsa Indonesia untuk mengisi kekosongan jabatan-jabatan negara.
Akan tetapi, suatu hal yang tidak bisa dilupakan, bangsa Indonesia yang sebelumnya
tidak mempunyai pengalaman dalam praktik administrasi negara, dan pada saat itu
suasana masih diliputi perang. Belanda masih tidak rela meninggalkan Indonesia
berusaha kembali lagi. Oleh karena iru, proses penyelenggaraan administrasi masih
kelihatan tidak efisien. Para ad- ministrator dan pejabat negara pada waktu itu menempati
posisi-posisi administrasi tanpa berkesempatan untuk mendapat pendidikan dalam
lapangan (ilmu) administrasi negara, tanpa kesempatan bekerja di bawah pengawasan
ahli administrasi yang berpengalaman dan juga kurang mendapatkan pengalam an yang
dapat memperkembangkan pandangan administratif yang kreatif dan luas. Pada waktu itu
dirasakan perlunya mengembangkan ilmu administrasi negara dan memberikan
pendidikan bagi administrator-administrator yang kurang pengalaman tersebur. Lembaga
pendidikan pertama yang mengembangkan ilmu pemerintahan adalah Universitas Gadjah
Mada di Yogyakarta. Fakultas Hukum dan Sosial Politik saat itu dalam kurikulumnya
dikembangkan mata kuliah ilmu pemerintahan. Kemudian didirikan Fakultas Sosial dan
Politik dengan jurusan ilmu usaha negara yang kemudian menjadi jurusan ilmu.
d. Periode Paska Reformasi
lndonesia paska gerakan reformasi tahun 1998 belum sepenuhnya mengalami
perubahan yang signifikan ke arah peningkatan taraf kersejahteraan masyarakat secara
kongkret. Belum optimalnya penegakkan hukum, minimnya akses terhadap layanan dasar
di sejumlah daerah terpencil dan perbatasan, kemiskinan, pengangguran, perlakuan
diskriminatif terhadap komunitas masyarakat minaritas dan marginal, korupsi, kerusuhan
pasca pemilukada, pembakaran dan penyerbuan kantor penegak hukum dan varian
masalah publik lainnya masih menjadi pemandangan yang menghiasi kehidupan seharihari masyarakat indonesia.
Masalah publik yang sedemikian kompleks secara makro memberi kesan bahwa
reformasi di lndonesia belum berhasil untuk -nendatangkan kehidupan yang berkualitas
bagi publik di negara yang :nemiliki luas lima juta seratus tujuh puluh enam ribu delapan
ratus kilo meter persegi ini. Namun, demikianlah realitas yang harus dihadapi dua ratus
tujuh :uluh jutaan penduduk yang hidup di lndonesia. Reformasi yang dicanangkan pada
tahun 1998 belum sepenuhnya mampu memberikan harapan baru rada seluruh konstalasi
kehidupan berbangsa dan bernegara di lndonesia. demokrastitasi yang diperagakan
selama ini baru terbatas mempertontonkan, kebebasan sehingga menghasilkan konstruksi
politik yang berkembang melenceng dari kepentingan publik tanpa diiringi fundamen
ekonomi yang menopang kemakmuran kehidupan masyarakat. Perubahan yang dijanjikan
hanya sebatas komoditi morketing politik bagi para "bakal calon"yang berkompetisi
untuk merebut, mempertahankan dan meningkatkan akseptabilitas, popularitas dan
elektabilitasnya sehingga dapat menduduki kekuasaan pada lembaga legislatif maupun
eksekutif baik pada tingkat lokal maupun nasional' Tetapi seperti berlalu begitu saja, para
politisi hanya ingat rakyat saat kampanye dan lupa rakyat setelah menggenggam
kekuasaan. Aktivitas yang dilakukan oleh politisi pun masih berkutat dengan kegiatankegiatan yang berelasi dengan kepentingan Pemilu saia (election reloted octivities\
sehingga mereka hanya berdekatan dengan masyarakat saat menjelang Pemilu, selepas itu
mereka duduk manis di balik kursi kekuasaan.
Politisi di lndonesia umumnya hanya paham mengenai kedudukan mereka dalam
kekuasaan tetapi tidak memahami arah tujuan kekuasaan manakala kekuasaan sudah
diperoleh' Alhasil mereka juga masih gagap dalam mengikuti perumusan kebijakan
apalagi memahami dengan baik proses pengawasan implementasi kebijakan. oleh
karenanya, otomatisasi perilaku politik sebagai konsekuensi gelombang liberalisasi tanpa
arah menjadi kerangka dasar arsitektur demokrasi lndonesia masa kini. Perilaku politik
tersebut kemudian ditunjang dengan parsialitas pengetahuan politik, tingkat kepedulian
yang rendah terhadap penataan kehidupan bersama serta kualitas kesejahteraan yang
rendah. Variabel- variabel negatif tersebut kemudian terkompilasi sehingga membuat
otomatisasi perilaku politik menemukan jati dirinya dalam mayoritas masyarakat pemilih
sebagai pemegang kendali demokrasi di bumi pertiwi ini. Perlu untuk kita garis bawahi
bersama bahwa berdemokrasi dengan "perut kosong" membuat nalar jernih terdegradasi.
Hal inilah yang kemudian membuat masyarakat kita lekas lupa dengan tingkah laku
politisi yang korup dan mudah memaafkan segala kelalaian dalam pengambilan
keputusan yang dibuat para politisi padahal konsekuensinya sangat merugikan
masyarakat. lronisnya sikap permisif ini tetap berlangsung hingga saat ini meskipun
dampak dari keputusan tersebut telah menyengsarakan kehidupan masyarakat banyak.
Tidak optimainya gerak perubahan kondisi pOlitik paska reformasi salah
satunyadisebabkan ambiguitas atau absurditas Agenda Reformasi1998. Agenda
Reformesi 1998 dikonstruksi pada momenturn keseniangan pengetahuan dan informasi
cukup tettal antara elit pOli● k dan masyarakat sehiζlgga hesilnya adalah ungkat
Operasionalisasi di tataran praksis yang membias akibat℃aga ト paham′ ′ terhadap
kebutuhan rakyat dan tetap menghamba pada kebut む
han penguasa. Proses
mengangregasi dan mengartikulasikan kebLituhan publik d‖ akukan sesuai selera e‖ t
polijk
sehingga
konsekuensinya
tentunya
pengabalan
terhadap
kepentingan
publik.Halinilah vang menyebabkan arah keb り akan agenda reformasi む dak memillki
direksi yang jelas.Demokra む
sasi sebagai p‖ ar utama reformasilebih nampak
sebagallahan percobaan bukan
dlkonstruksi dalam perangkat perencanaan yang terdesain secara sistematik.
3ahkan perttmbangan administrajf FaSiOnal yang mengedepankan efesiensi
seringkali dipardang sebagal kemunduran demokrasi. Dalam konteks menyusun
agenda(ageη σα Sθ ttη g)′ rnaka agenda ´ eformasi belum d り abarkan secara ttgid balk
dari segi perubahan vang ]:harapkan′ target sasaran yang eligibel dan penetapan tengat、
vaktu realisasi cerubahan. Pada saat konstruk agenda reformasi jdak sepenuhnya jelas
maka
[Brtai polijk yang berkembang bak jamur di musim huian yang meskipun ilη
lahnya banyak pada era reformasi ini tetapi cenderung tidak memi‖ ki 18″aran ideologi
yang ielas.Kebanyakan partai politik ideologinya pragmatls IEn hanya bergerak untuk
mencOba mengimbangiselera awam sala.Hal ini -8mang implikasi dari berkembangnya
konsep co た わ θ 〃 ρθrly dimana partal [[ljk tidak memiliki ideO10gi tertentu tetapi
lebih berupaya mengg3et i,paj masyarakat dengan menganggangkatisu― isu populan
Konsekuensinya ]=Э logi jdak lagi dianggap pening bagi partai politik sehingga partal
politik
=[entuk untuk mendapatkan simpaj pOlijk bukan membentuk arah bagi
―]syarakat dalam berpolitik. ldealnya dimensi ldeologi tercermin dengan ielas yang
kemudian i=3arkan dalam garis keb り akan partal dan program― program yang akan
d り alankan untuk menseiahterakan rakyat saat mereka mampu merengkuh
kekuasaan. Partal POlitik harusnva tidak pragmatis. Partai politik bertindak
sebagal insutusi ldeO10gis yang menawarkan idealisme′
keblakan dan
program yang Sinergis dari hulU ke hilir kepada rakvat.Seperu di Amerika dengan
ielaS keika Partal DemOkrat berkuasa maka keblakan pemerintah
akan Cenderung berSedikan idOelogi‖
beral.Sedangkan saat Partal Republik
berkuasa maka kebijakan pemerintah a
Bab I
PENDAHULAUAN
Latar Belakang
Dinamika perkembangan administrasi publik di mulai berkembang ke antero dunia,
termasuk ke Indonesia. Sejak dekade 1990an, administrasi publik telah berkembang pesat
dibandigkan ilmu lainnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan ilmu administrasi
publik begitu masif terjadi di negara asalnya Amerika Serikat dan negara-negara AngloSaxon lainnya seperti Inggris, Kanada, Australia dan Selandia Baru. Sedangkan di negaranegara berkembang, dinamika administrasi publik tidak begitu intens karena masih kuatnya
kontrol politik, birokrasi dan budaya.
konsep dan paradigma administrasi publik yang berkembang di Indonesia diimpor
dari luar. Teori tentang kebijakan publik, teori manajemen publik dan teori governance
adalah teori yang lahir di Barat, yang kemudian diadopsi oleh kalangan akademisi dan
praktisi administrasi publik di Indonesia. Sampai saat ini, penulis belum menemukan satu
pun tulisan atau pun buku tentang teori administrasi publik yang ”asli” Indonesia.
Kebanyakan, buku-buku tentang teori administrasi publik yang ditulis oleh orang Indonesia
dan beredar di Indonesia merupakan buku-buku yang mencuplik teori-teori administrasi
publik dari luar dengan sedikit modifikasi (threatment) dan tambahan di sana-sini dengan
kasus Indonesia. Fenomena ini jika dibiarkan berlangsung dalam jangka waktu yang lama
dapat mengakibatkan hilangnya kemandirian dan identitas administrasi publik di Indonesia.
Keilmuwan administrasi publik di Indonesia berlangsung dalam kondisi yang
dinamis sudah terasa sejak terjadinya reformasi politik di Indonesia yang ditandai dengan
lengsernya Orde Baru tahun 1998 hingga saat ini, dialektika keilmuwan administrasi terjadi
begitu hangat. Masing-masing jurusan/departemen/program studi yang menawarkan
pendidikan administrasi publik di perguruan tinggi-perguruan tinggi di Indonesia memiliki
cakrawala keilmuwan yang berbeda satu sama lain. Labih jauh, hal ini menimbulkan
perspentif yang berbeda dalam memandang dan menjalankan pendidikan administrasi
publik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Latar Belakang Sejarah Perkembangan Ilmu Administrasi Publik
Administrasi negara sebenarnya sudah ada semenjak dahulu kala. Ia akan timbul
dalam suatu masyarakat yang terorganisasi. Dalam catatan sejarah peradaban manusia, maka
di Asia Selatan termasuk di Indonesia, Cina, dan di Mesir Kuno, dahulu sudah didapatkan
suatu sistem penataan pemerintahan. sistem penataan tersebut pada saat sekarang ini dikenal
dengan sebutan administrasi negara. Administrasi negara modern yang dikenal sekarang ini
adalah produk dari suatu masyarakat feodal yang tumbuh subur di negara-negara Eropa.
Negara-negar di daratan Eropa yang kesemuanya dikuasai oleh kaum feodal, bangsawan,
dan kaum ningrat kerajaan berusaha untuk mengukuhkan sistem pemerintahannya. Dengan
semakin tumbuhnya perkembangan masyarakat, maka sentralisasi kekuasaan dan
pertanggungjawaban dalam pemerintahan monarki menimbulkan suatu kebutuhan untuk
mendapatkan korps administrator yang cakap, penuh dedikasi, stabil, dan integritas. Korps
administrator ini pada gilirannya nanti akan menjadi tenaga spesialis pada masing-masing
bidang dan jabatan yang beraneka dalam tataran pemerintahan nasional. Kebutuhan akan
suatu sistem mulai dirasakan, yakni suatu sistem untuk menata sentralisasi kekuasaan dan
pertanggung jawaban pemerintahan. Salah satu perwujudan kebutuhan suatu sistem penataan
pemerintahan yang sistematis tersebut di Prusia dan Austria dikenal sistem kameralisme
(cameralisz). Sistem ini dapat dikatakan sebagai awal mulanya administrasi negara.
Kameralisme ini dirancang untuk mencapai efisiensi manajemen yang tersentrarlisasikan
dan paternalistis, yang ditandai oleh corak perckonomian yang merkantilisme. Sistem
pemerintahan semacam ini sangat membutuhkan tamatan-tamatan perguruan tinggi dalam
banyak bidang, seperti misalnya keuangan negara dtrn administrasinya, kepolisian, ekonomi,
pertanian, dan kehutanan.
Gejala diperlukannya suatu sistem penatataan administrasi pemerintahan seperti di
Prusia dan trustria tersebut, kemudian diperkuat di Perancis pada sekitar abad ke-18 dengan
usaha-usaha untuk mengembangkan teknologi. Perancis membutuhkan tenaga-tenaga ahli
yang cakap dan profesional untuk mengisi jabatan-jabatan pemerintahan. Sekolah-sekolah
nasional yang profesional didirikan untuk menunjang pemenuhan kebutuhan tersebut.
Walaupun unsur-unsur kameralisme dan teknologi Perancis teiah memberikan pengaruh
yang besar terhadap administrasi negara diberbagai negara di Eropa pada waktu itu. Akan
tetapi, esensi dari unsur-unsur tersebut tampaknya mulai memudar ketika terjadi Revormasi
Perancis dan juga ketika zaman Napoleon. 'fitik berat perhatian mulai beralih diberikan
kepada hak-hak individu dan kervajiban negara untuk melindungi hak-hak tersebut. Esensi
ini kemudian hari menimbulkan suatu rasa kewajiban dan loyalitas kepada negara melalui
suatu usaha penafsiran dan aplikasi hukum yang adil (fair-banded), dan kebutuhan untuk
menetapkan keabsahan dalam mengungkapkan keinginan-keinginan kepada pemerintah.
Suatu ung- kapan pendapat yang menyarankan agar pejabat-pejabat tinggi yang permanen
(senior permanent officers) seharusnya dididik terlebih da- hulu dibidang hukum, merupakan
suatu kenyataan atas esensi terse- but. Timbullah waktu itu suatu ungkapan yang
menyatakan bahwa: "Negara adalah berkuasa, sentralisasi dan abadi (durable). Adapun
birokrasi yang berorientasi legalistik haruslah mengabdikan kepada fungsi yang menjamin
adanya stabilitas yang langgeng dan yang mampu menyatakan untuk melind- ungi
keinginan-keinginannya. "
Pandangan yang legalistik dari sistem negara dan birokrasinya ini terdapat hampir
pada sebagian besar negara-negara Eropa Barat, dan dalam kadar derajatnya yang lebih kecil
terdapat pula pada negara- negara Eropa Timur. Demikian pula pada negara-negara baru
bekas jajahan dari negara-negara Eropa tersebut. Inggris Raya dan Amerika Serikat pada
gilirannya mengembangkan sistem administrasi negaranya yang sangat berbeda satu sama
lain dengan sistem di daratan Eropa tersebut. Kedua negara ini tidak mau mengadopsi
pandangan mistik Eropa mengenai negara, dan meninggalkan tradisi kodifikasi tata
hukumnya. Inggris telah lama memercayakan tanggung jawab administrasi pemerintahannya
pada cara perwakilan dari para bangsawan dan orang-orang yang berpendidikan tinggi.
Sampai dengan akhir abad ke-18 dan awalabad ke-19 sebagian besar kaum bangsawan
berasal dari tuan tanah di pedesaan (rural-estate). Baru pada waktu diadakan perombakan
pegawai - pegawai pemerintahan di abad ke-19, maka kemudian hampir sebagian besar
administrator berasal dari kaum pedagang (mercantile) dan kelas-kelas usahawan di kotakota. Selanjutnya pada akhir abad ke 19, mereka telah mulai menerapkan proses seleksi
yang berlandaskan pada ujian yang bersifat kompetitif yang keras dari lulusan-lulusan
universitas, terutama dari Oxford dan Cambridge.
Dalam ujian-ujian ini diujikan beberapa materi antaranya hukum administrasi seperti
vang terjadi di daratan Eropa, dan spesialisasi-spesialisasi lainnya lang bertalian secara
langsung dengan administrasi negara yang masih terpusat pada sifat-sifat klasik dan
kemanusiaan. Cara rekrutmen untuk memasuki dinas-dinas administrasi pemerintahan di
Inggris ini masih berlangsung dengan sedikit perubahan di sana sini, sampai akhir tahun
1960-an. Sistem ini dirancang untuk memperoleh administrator-administrator yang
generalis, cerdas, dan mempunyai perspektif profesional. Mereka mempelajari administrasi
dan segala kegiatan untuk mengadministrasikan pekerjaan.
2.2 Pergeseran Paradigma
Perkembangan suatu disiplin ilmu dapat ditelusuri dari perubahan paradigmanya.
Paradigma merupakan suatu cara pandang, nilai-nilai, metode-metode, prinsip dasar, atau
memecahkan sesuatu masalah, yang dianut oleh suatu masyarakat ilmiah pada suatu masa
tertentu (Kuhn, 1970). Apabila suatu cara pandang tertentu mendapatkan tantangan dari luar
dan mengalami krisis atau anomalies, maka kepercayaan dan wibawa dari cara pandang
tersebut menjadi luntur atau berkurang. Orang mulai mencari cara pandanf yang lebih
sesuai, ataudengan kata lain muncul suatu paradigma baru.
Dalam hubungannya dengan perkembangan ilmu administrasi publik, ini pernah
terjadi beberapa kali, dan terlihat pada pergantian cara pandang yang lama dengan yang
baru, sebagaimana diungkapkan oleh nicholas henry (1995;21-49). nicholas hendry
mengungkapkan bahwa standard suatu disiplin ilmu, seperti yang dikemukanan oleh Robert.
T Golembiewski, mencakup fokus dan locus. Fokus mempersoalkan what of the field atay
metode dasar yang digunakan atau cara-cara ilmiah apa yang dapat digunakan untuk
memecahkan suatu persoalan. Sedangkan Locus mencakup where of the field atau medan
atau tempat dimana metode tersebut digunakan atay diterapkan. berdasarkan dua kategori
disiplin tyersebut, Henry mengungkapkan bahwa telah terjadi lima paradigma administrasi
publik, seperti yang akan diuraikan berikut ini.
a. Paradigma 1 (1900-1926)
Dalam paradigma ini dikenal dengan paradigma dikotomi Politik administrasi, dari
tahun 1900-1926.
Tonggak sejarah yang dapat dipergunakan sebagai momentum dari fase
paradigma pertama ini ialah tr.rlisan dari Irrank J. Goodnow clan Lenald D. White. Di
dalan-r br-rkunya Politics and Administraliott, frank Gooclnow'' berpendapat bahr,va ada
dua fungsi pokok pemerintah yang amat berbeda satu sama lain. Dua fungsi pokok
tersebut ialah politik dan administrasi sebagaimana yang tertulis dalam judul bukunya.
Politik menurut Goodnow harus membuat kebijak- sanaan-kebijaksanaan atau melahirkan
keinginan-keinginan negara. Sementara administrasi diartikan sebagai hal yang harus
berhubungan dengan pelaksanaan kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut. Pemisahan
kekuasaan memberikan dasar perbedaan antara politik dan administrasi. Badan legislatif
dengan ditambah kemampuan penafsiran dari badan yudikatif mengemukakan keinginankeinginan negara dan kebijaksanaan formal. Sedangkan badan eksekutif mengadministrasikan kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut secara adil dan tidak memihak kepada
salah satu kekuatan politik. Penekanan paradigma I ini adalah pada locusnya, yakni
mempermasalahkan di mana seharusnya administrasi negara ini berada. Secara jelas,
menurut Goodnow dan pengikut-pengikutnya, administrasi negara seharusnya berpusat
pada birokrasi pemerintahan. Sementara itu, walaupun badan legislatif dan yudikatif
mempunyai juga kegiatan administrasi dalam jumlah tertentu, namun fungsi pokok dan
tanggung jawabnya tetap menyampaikan keinginan ke inginan negara. Inisial legitimasi
yang konseptual tentang locus ini memberikan pusat pengertian atau definisi dari bidang
administrasi. Selanjutnya dalam kaitannya dengan locus paradigma pertama ini ialah
timbulnya suatu persoalan di antara kalangan akademisi dan praktisi mengenai dikotomi
politik-administrasi.
Administrasi negara menerima perhatian yang besar dari beberapa sarjana pada
periode ini, sebagai hasil adanya suatu gerakan pelayanan masyarakat umum (public
seruice mouement). Gerakan ini dilakukan oleh banyak universitas-universitas di bagian
arval abad ini. Ilmu Politik, sebagaimana isu yang dilaporkan tahun 1914 oleh Komisi
Instruksi dalam Pemerintahan dari Asosiasi Ilmu Politik Amerika (Committee on
Instruction in Gouernment of the American Political Science As- sociation) menyatakan,
bahwa komisi ini sangat memikirkan tentang bagaimana melatih orang-orang, dan
mempersiapkan mereka secara profesional dalam bidang-bidang tertentu seperti
misalnya; hukum, kewartar,vanan, ahli-ahli untuk jabatan-jabrrtan pemerintahan, dan
petugas-petugas riset. Dari sini jelaslah bahwa administrasi merupakan sub bidang dari
ilmu politik. Tahun 1912, suirtu komisi mengenai latihan jabatan praktis untuk pegawaipegawai pemerintah dibentuk dibawah koordinasi dari APSA (American political Science
Association atau Asosiasi Ilmu Politik Amerika). Pada tahun 1914 dalam laporannya
komisi tersebut memberikan rekomendasi bahwa di masa depan perlu didirikan fakultasfakultas profesional yang khusus untuk melatih administrator-administrator negara, dan
titel (degree) teknis yang baru diberikan untuk tujuan tersebut.
Administrasi negara mulai mendapatkan legitimasi akademis pada tahun 1920-an.
Pada tahun 1926 usaha yang amat terhormat dilakukan oleh Leonald White dengan
menerbitkan bukunya yang terkenal Introduction to the Study of Public Administration.
Buku pertama yang secara keseluruhannya dipersembahkan untuk mengenalkan ilmu
administrasi negara. Dwight leonald pernah mengatakan mengenai buku ini bahwa buku
tersebut merupakan dari karakter kemajuan Amerika, dan di dalam saripatinya itu
tercermin dorongan yang umum dari bidang ini. Dorongan itu antara lain mengemukakan
sebagai berikut: (1) Politik seharusnya tidak usah mengganggu lagi administrasi. (2)
Manajemen memberikan sumbangan analisis ilmiahnya terhadap administrasi. (3)
Administrasi negara adalah mampu menjadikan dirinya sebagai ilmu pengetahuan yang
"value free". (4) Misi dari ilmu administrasi adalah ekonomis dan efisiensi.
Hasil dari paradigma pertama ini memperkuat paham (nation) perbedaan dari
dikotomi politik-administrasi. Paham perbedaan ini akan tampak jelas dengan cara
menghubungkannya dengan suatu koresponden antara dikotomi nilai (ualue) dan praktek.
Dengan demikian, segala hal yang diteliti oleh administrasi negara di dalam lembaga
eksekutif bagaimana pun diwarnai dan diabsahkan (legitimized) dengan praktik dan
ilmiah (practice and scientific. Sementara itu studi policy making dan masalah-masalah
yang bergayutan telah mulai ditinggalkan oleh sarjana-sarjana ilmu politik. Pembagian
daerah analisis antara administrasi negara dan iimu politik selama masa orientasi locus in
itampaknya mempunyai dampak yang panjang sampai sekarang ini. Hal ini dapat dilihat
beberapa universitas di Amerika Serikat (kelihatannya diikuti pula oleh universitasuniversitas di Indonesia) bahwa bidang administrasi negara itu di dalamnya diuraikan
materi-materi seperti: teori organisasi, administrasi keuangan, administrasi kepegawaian,
dan Administrasi Perbekalan. Sedangkan bidang ilmu politik diajarkan subjek-subjek.
Teori pemerintahan, kepresidenan, proses pembuatan undang-undang, politik pemerintah
pusat dan daerah, perbandingan politik, hubungan internasional dan banyak hal lagi.
Pengaruh kedua dari fase orientasi locus ini ialah isolasi administrasi negara dari
bidang
kajian
lainnya
seperti
misalnya,
administrasi
perusahaan
(business
administration). Isolasi ini memberikan konsekuensi yang tidak menguntungkan,
terutama sekali ketika bidang-bidang tersebut memulai penelitiannya terhadap sifat
organisasi. Akhirnya, pengaruh lain yang sangat terasa ialah, karena penekanan
administrasi negara pada "administrasi dan praktika" pada mulanya, maka usaha-usaha
berikutnya adalah dipusatkan untuk memberikan fondasi prinsip-prinsip ilmiah pada
administrasi tersebut. Hal ini merupakan suatu usaha yang tiada mudah pada awal
perkembangan administrasi negara sebagai suatu ilmu.
b. Paradigma 2
Prinsip-prinsip Administrasi, Tahun 1927-1937.
Tahun 1.927, W. E, Willoughby menerbitkan bukunya yang berjudul Principles
of Public Administratioz. Buku ini merupakan buku teks kedua yang membahas secara
penuh di bidang administrasi negara. Buku pertama ditulis oleh Leonald D. White yang
termasuk dalarn paradigma pertama. Prinsip-prinsip administrasi negara yang
dikemukakan oleh Willoughby ini memberikan indikasi terhadap tren baru .lari
perkembangan bidang ini. Sekaligus membuktikan bahwa prinsip-prinsip itu ada dan
dapat dipelajari. Dengan demikian, administrator-administrator bisa menjadi ahli dan
cakap di dalam pekerjaannya kalau mereka mau mempelajari bagaimana menerapkan
prinsip-prinsip tersebut. Pada fase paradigma kedua ini, administrasi negara benar-benar
mencapai puncak reputasinya. Sekitar tahun 1930an, administrasi banyak mendapat
sumbangan yang berharga dari bidang-bidang lainnya seperri industri dan pemerintahan.
Sehingga dengan demikian, pengem- bargan pengetahuan manajemen memberikan
pengaruh yang besar terhadap timbulnya prinsip-prinsip administrasi tersebut. Itulah
sebabnya locus dar, paradigma ini mudah diketahui yakni berada pada esensi prinsipprinsip tersebut.
Sesungguhnya walaupun administrasi itu sebenarnya bisa berada di mana saja,
akan tetapi karena prinsip adalah prinsip dan administrasi adalah administrasi, maka
menurut persepsi paradigma ini administrasi negara mempunyai suatu prinsip tertentu.
Prinsip-prinsip administrasi negara yang dimaksudkan tersebut ialah adanya suatu
kenyataan, bahwa administrasi negara bisa teriadi pada semua tatanan administrasi tanpa
memedulikan kebudayaan, fungsi, lingkungan, misi, atau kerangka institusi. Ia bisa
diterapkan dan diikuti di bidang apa pun tanpa terkecuali. Kenyataan ini memberikan
penegasan bahwa prinsip-prinsip administrasi tersebut bisa diterapkan dan dipakai oleh
negara-negara yang berbeda kebudayaan, lingkungan, fungsi, misi, dan atau kerangka
institusi Dengan demikian bisa terjadi administrasi negara di barat atau di timur, asal- kan
prinsip-prinsip tersebut digunakan. Selanjutnya, oleh karena administrasi negara telah
memberikan konstribusinya yang banyak terhadap formulasi prinsip-prinsip administrasi melalui suatu usaha penelitian ilmiah, maka administrasi negara seharusnya
menghasilkan suatu paket akademis di dalam menerapkan suatu prinsip dalam dunia
kenyataan organisasi, perusa- haan, atau apa pun namanya.
Beberapa karya yang menonjol dalam fase paradigma kedua ini, anrara lain dapat
disebutkan: Mary Parker Follet, menulis Creatiue Experience (1930), Henri Fayol,
Indwstrial and General Management (1930), James D. Mooney dan Alan C. Reile5
Principles of Organiza- tion (1939), dan berbagai tulisan-tulisan lainnya yang
mengemuka- kan prinsip-prinsip administrasi negara tersebut. Ahli-ahli organisasi sering
menyebutkan aliran ini sebagai aliran manajemen administratif (administratiue
management), karena aliran ini memusatkan titik perhatiannya pada eselon hierarki atas
dari sesuatu organisasi. Suatu literatur yang releuantyang dihasilkan oleh aliran manajemen administratif ini kira-kira bersamaan waktunya dengan suatu usaha pengenrbangan
di bidang bisnis (business scbool)yang memusatkan per- hatiannya pada hierarki
terbarvah atau pelaksana organisasi (asseble- line). Ahli-ahli riset pada aliran ini sering
kali menamakannya sebagai manajemen ilmiah (scientific mdnagement) yang
mengembangkan prinsip efisiensi tenaga gerakan dari pelaksana. Literatur yang sangat
terkenal di masa ini ialah tuiisan Frederick. Taylor, Principle of Scientific Management
(1911) dan beberapa hasil karya Frank dan Lillian Gilbreth.
Dalam hubungannya dengan konsep paradigma ini manajemen ilmiah sedikit
sekali pengaruhnya terhadap konsep administrasi negara pada fase ini. Karena
manajemen hanya memberikan titik perhatiannya pada tingkat pelaksana dalam sesuatu
organisasi. Tahun 1937 merupakan puncak akhir dari fase paradigma kedua ini. Pada
tahun itu Luther H. Gulick dan Lyndaii Urwick mengemukakan tulisannya Paper on the
Science of Administration. Tulisan ini sebenarnya adalah iaporan yang dibuatnya pada
komisi presiden untuk administrasi. Pada waktu Gulick dan Urwick merupakan orang
kepercayaan dari Presiden Franklin D. Roosevelt. Menurut Gulick dan Urwick, prinsip
adalah amat penting bagi administrasi sebagai suatu ilmu. Adapun letak di mana prinsip
itu akan dipakai tidak begitu penting. Pocus memegang peranan penting dibandingkan
atas locus. Prinsip administrasi yang terkenal dari Gulick dan Urwick ialah singkatan
POSDCORB (Planning, Organizing, Staffing, Directing, Coordinating, Reporting,
Budgeting). Walaupun sebagian besar orang menamakan masa-masa ini adalah masa
"Orto dok Kesiangan" bagi administrasi negara. Akan tetapi, inilah ciri yang bisa diteliti
dari paradigma kedua. Tahun-tahun berikutnya merupakan tahun tantangan bagi administrasi negara.
Banyak konsep-konsep baru yang mencoba mengkritik konsep administrasi
negara yang dirasakan ortodoks tersebut. Dalam tahun 1938, setahun setelah Gulick dan
Urwick mengemukakan prinsip- prinsip administrasi tadi, Chester I. Barnard menerbitkan
bukunya The Functions of Executiue. Pengaruhnya terhadap administrasi negara be- lum
dirasakan dapat mengatasi persoalan pada waktu itu. Akan tetapi, pada kemudian hari
buah pikiran Barnard tersebut memberikan penga- ruh terhadap Herbert A. Simon, ketika
Simon menulis kritikannya yang tajam pada bidang ini. Kritikan Simon tersebut dapat
dibaca dalam bukunya Administr ative Behavior. Walaupun secara jelas, Administrative
Behavior banyak terpengaruh oleh Barnard, akan tetapi karena pada waktu itu Barnard
menjabat Presiden Direktur New Jersey Bell Telephone dan tidak menjadi anggota dari
masyarakat administrasi negara, maka pengaruh tersebut tidak dibesar-besarkan (bas been
delayed).
Perselisihan maintream konsepsi administrasi negara kemudian dipercepat di
tahun-tahun 1940-an, dengan adanya dua arah kekuatan yang datang bersama-sama.
Pertama, keberatan atas pendapat bahrva politik dan administrasi tidak bisa dipisahkan
dalam banyak kesempatan. Dan yang kedua, bahwa prinsip-prinsip administrasi adalah
secara logis tidak konsistennya.
c. Paradigma 3
Administrasi Negara sebagai llmu Politik,'lhbun 1950-1970.
Sebagai hasil dari derasnya kritikan yang ditujukan kepada kon- sepsi
administrasi negara pada waktu itu, maka akhirnya bidang ini melakukan lompatan ke
belakang mcncmui orang tua disiplin ini yakni ilmu politik. Akibat dari lompatan
menemui orang tua itu, maka ter- jadilah perubahan dan pen-rbaruan definisi locus-nya
yakni birokrasi pemerintahan, dan kekurangan hubungan dengan focusnya. Secara
singkat dikatakan bahrva fase paradigma ketiga ini me- rupakan suatu usaha untuk
menetapkarn kcmbali hubr.rngan kon- septual antara administrasi negara dcngan ilmu
politik. Akan tetapi, konsekuensi dari usahtr ini ialah keharusan untuk merumuskan
bidang ini paling sedikit dalam huburigannya dengan focus keahliannya yang esensial.
Itr"rlah sebabnya tulisan-tulisan administrasi negara dalam tahun I950-an penckanan
pcnrbicarairnnya pada wilayah keperrtingan (area of inleres) atau sebagai sinonim dari
ilmu
politik. Administrasi
negara
sebagari
suatu
bidang
studi
yang
dapat
diidentifikasik:rn memulai perjalanannya yang panjang menurun bukit yang berputarputar. Walaupun usaha untuk kembali kcpada rhnu politik sebagai suatu identifikasi darri
administrasi negara pada paradigma ini, akan tetapi sebaliknya ilmu politik mulai
melupakannya. Tahun 1962 administrasi bukan lagi dianggap scbagiri bagian dari ilmu
politik. hal ini terbukti dari laporan kon-risi ilmu politik sebirgai sr,rirtr-r disiplin dari
APSA (American Political Science Association). Tahun 1964, suatu survei yang
dilakukan oleh sarjana-sarjana ilmr politik merencanakan petuniuk tcntang merosotnya
minat terhadap administrasi negara dalam fakultas-fakultas ilmu politik . Tahun1967
administrasi negara benar-benar docoret dari program pertemuan tahun APSA.
Melihat perlakuan ilmu politik terhadap administrasi seperti yang diceritakan
diatas, maka tahun 968 dwight waldo memprotes keadaan seperti itu. Dia menulis bahwa
sarjana-sarjana ilmu politik tidak lagi mengidentifikasikan dirinya dengan administrasi
negara adalah bersikap tidak memedulikan dan memusuhi. Mereka menginginkan
secepatnya bebas dari administrasi negara. Sarjana-sarjana administrasi negara merasa
tidak senang dan dianggap sebagai warga negara kelas dua. Antara tahun 1960 sampai
tahun 1970 hanya dijumpai empat persen dari semua artikel yang diterbitkan dalam lima
jurnal utama ilmu politik yang membicarakan administrasi negara. Dasawarsa 60-an
merupakan suatu saat memisahkannya administrasi negara sebagai bidang kajian dalam
ilmu politik. Fakultas-fakultas ilmu politik menyebutnya dengan inisial ”Tipe PA.”
Ada dua perkembangan baru yang patut dicatat pada masa ini, yakni pertama,
tumbuhnya penggunaan studi kasus sebagai suaty sarana yang bersifat epistimologi.
Kedua, timbulnya studi perbandingan dan pembangunan administrasi sebagai salah satu
bagian dari administrasi negara.
d. Paradigma 4
Administrasi Publik sebagai Ilmu administrasi, Tahun 1956-1970
Dalam paradigma ini prinsip-prinsip manajemen yang pernah populer sebelumnya,
dikembangkan secara ilmliah dan mendalam. Perilaku organisasi,analisis manaiemen,
penerapan teknologi modern seperti metode kuantitatif, analisis sistem, riset operasi dsb,
merupakan fokus dari paradigma ini. Dua arah perkembangan terjadi dalam paradigma
ini,yaitu yang berorientasi kepada perkembangan ilmu administrasi ini yang didukung
olen disiplin psikologi sosial,dan yang berorientasi pada kebijakan publik.Semua fokus
yang dikembangkan disinidiasumsikan dapatditerapkan tidak hanya dalam dunia
bisnis,tetapi juga dalam dunia administrasi publik. Karena itu locusnya menjadi tidak
jelas.
e. Paradigma 5
Administrasi Negara sebagai Administrasi Negara, Tahun 1970.
Meskipun kekacauan intelektual masih juga berlangsung sampai saat ini, namun
administrasi negara mencapai sustu proses pembaruan yang valid. Pembaruan dalam
tahap paradigma yang kelima ini locus administrasi negara tidak semata-mata pada ilmu
murni administrasi, melainkan pada teori organisasi. Dalam dua setengah dekade terakhir
perhatian pada teori organisasi ditujukan terutama pada bagaimana dan mengapa
organisasi-organisasi itu bekeria, bagaima- na dan mengapa orang-orang berperilaku
dalam organisasi demikian pula bagaimana dan mengapa keputusan-keputusan itu
diambil. Perhatian itu lebih diberikan pada bagaimana dan mengapanya dibandingkan
pada bagaimana seharusnya hal-hal tersebut teriadi. Selain itu, pertimbanganpertimbangan untuk menggunakan teknik-teknik iimu manajemen ke dalam lingkungan
pemerintahan menjadi perhatian pula dalam fase paradigma kelima ini. Lebih dari itu,
administrasi
negara
semakin
bertambah
perhatiannya
terhadap
wilayah
ilmu
kebilaksanaan (policy science), Politik ekonomi, proses pembuatan kebijaksanaan
pemerintah dan analisis- nya (public policy making process), dan cara-cara pengukuran
dari hasil-hasil kebijaksanaan yang telah dibuat. Aspek-aspek perhatian ini dapat
dianggap dalam banyak hal sebagai suatu mata rantai yang menghubungkan antara focus
administrasi negara dengan locusnya. Sebagaimana yang terlihat dalam tren yang diikuti
oleh paradigma ini, maka focus administrasi negara adalah teori organisasi, praktika
dalam analisis public policy, dan teknik-teknik administrasi dan manajemen yang sudah
maju. Adapun locus normatif dari administrasi negara digambarkan oleh paradigma ini
ialah pada birokrasi pemerintahan dan pada persoalan-persoalan masyarakat (public
affairs).
walaupun public affairs masih dalam proses mencari bentuknya, akan tetapi
melihat perkembangannya bidang ini menduduki tempat urama dalam menarik perhatian
administrasi negara. Dalam waktu yang singkat, administrasi negara sebagai suatu bidang kajian telah menunjukkan warnanya sendiri. Beberapa departe- men, fakultas, dan
akademi baru administrasi negara dan public affairs bermunculan. Hal ini membuktikan
adanya suatu sikap yang jelas dari paradigma ini. Antara tahun"L973-1978 relah dibentuk
kurang lebih 21 persen fakultas profesional administrasi negara danpublic affairs, dan
sekitar 53 persen departemen administrasi negara danpwblic affairs. 'Walaupun terdapat
pula beberapa universitas menempatkan program administrasi negara ke dalam
departemen ilmu politik, hal tersebut hanya diiumpai pada universitas-universitas kecil.
Mereka lebih senang hanya mau melayani pendaftaran yang semakin menyusut
dibandingkan dengan suatu usaha terencana untuk mengembang- kan kurikulum
administrasi negara sebagai bagian dari ilmu politik. Selain itu, fakultas-fakultas yang
dulunya dibentuk dari kombinasi administrasi negara dengan administrasi perusahaan
sebagai akibat dari paradigma 4 di muka, telah menyusut lebih dari separuhnya.
Salah satu kecenderungan dari pertumbuhan'administrasi negara ini terbentuknya
asosiasi nasional dari fakultas-fakultas tersebut (The National Association of School of
Public Affairs and Administration). Asosiasi ini pada tahun 1980 mempunyai anggota
lebih dari 200 ins- titusi, dan lebih dari 25.000 mahasiswa baik yang penuh ataupun yang
parttime terdaftar dalam program MPA (Master of Public Administration) pada akhir
tahun 1970-an. Demikianlah perkembangan administrasi negara baik yang diikuti lewat
sejarahnya maupun lewat perkembangan paradigma. Ke- semuanya itu berlatar belakang
empiris dari negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Karena dari sanalah ilmu ini
mulai dikembangkan. Belajar dari pengalaman mereka kita petik yang dianggap baik dan
bisa diterapkan dalam pertumbuhan administrasi negara kita.
2.3. Ilmu Administrasi Publik di Indonesia
Indonesia sebenarnya sudah menganut sistem administrasi sejak zaman kerajaan
dahulu Secara umum sistem pemerintahan pada masa kerajaan bersifat feodalsentralistik. Raja merupakan penguasa tunggal yang harus dipatuhi. Segala keputusan ada
di tangan raja dan rakyat harus melaksanankannya. Birokrasi diorganisir untuk
mengkomunikasikan kebijakan-kebijakan raja kepada rakyat. Birokrasi pada masa itu
adalah perpanjangan tangan raja untuk memaksakan kehendaknya kepada rakyat. Ada
beberapa ciri yang dimiliki oleh birokrasi pada masa itu (1) Penguasa menganggap dan
menggunakan administrasi publik untuk urusan pribadi, (2) Administrasi adalah perluasan
rumah tangga istana raja, (3) Tugas pelayanan yang ditujukan kepada pribadi sang raja, (4)
Gaji dari raja kepada pegawai pegawai kerajaan pada hakikatnya adalah anugerah yang
juga dapat ditarik sewaktu-waktu sekehendak raja dan (5) Para pejabat kerajaan dapat
berbuat sekehendak hatinya kepada rakyat, seperti halnya yang dilakukan oleh raja.
Secara sosiologis, struktur masyarakat pada masa itu terbagi ke dalam dua lapisan,
yaitu golongan priyayi dan wong cilik (rakyat jelata). Golongan priyayi terdiri atas para
pejabat tinggi pusat mulai dari keluarga raja (pangeran), panglima perang (militer), penasihat
raja (patih), kemudian pejabat-pejabat di bawahnya seperti juru tulis (pejabat administrasi),
abdi dalem, para punggawa (hulubalang istana) dan para bangsawan yang diberi hak
istimewa dan pejabat daerah mulai dari adipati/bupati, kuwu (kepala daerah), demang
(kepala desa), bekel (kepala kampung), Sementara itu, wong cilik adalah rakyat jelata yang
tidak memiliki kekuasaan apa-apa seperti petani, pedagang, buruh, tukang, orang biasa dan
lain-lain. Hubungan kedua lapisan tadi lebih bersifat patront client di mana wong cilik tidak
memiliki kekuasaan yang berarti.
a. Periode Kolonial Belanda
Bangsa Indonesia pernah dijajah selama beberapa abad oleh bangsa asing. Bangsa
asing yang pertama kali datang ke Indonesia adalah Portugis (1511), kemudian Belanda
(1818), disusul oleh Inggris dan terakhir Jepang (1942). Pada awalnya mereka datang ke
Indonesia hanya untuk berdagang, namun lama kelamaan ingin menguasai. Dalam tulisan
ini, yang dijadikan pisau analisis untuk mengetahui pola politisasi birokrasi pada periode
ini hanya pada masa penjajahan Belanda dengan beberapa pertimbangan. Pertama,
Belanda merupakan bangsa yang paling lama menjajah Indonesia. Kedua, pola hubungan
politik-birokrasi lebih mudah diidentifikasi pada masa ini karena Belanda sudah
menerapkan administrasi pemerintahan yang cukup baik dan rapi di Indonesia.
Kolonialisme Belanda dimulai dengan munculnya VOC (Verenigde Oostindische
Compagnie) pada tahun 1862, yang merupakan organisasi dagang Timur Jauh yang diberi
wewenang besar untuk mengeksploitasi wilayah dagang atas nama raja Belanda. Awalnya
tujuan VOC datang ke Indonesia hanya untuk berdagang, kemudian lama-kelamaan niat
busuk VOC terungkap. Dimulai dengan memonopoli rempah-rempah penduduk, meminta
tanah untuk mendirikan kantor hingga akhirnya ingin menguasai seluruhnya.
Melihat perkembangan VOC yang begitu pesat dan telah menguasai pusat
perdagangan rempah-rempah di Indonesia mendorong kerajaan Belanda di awal abad18
menempatkan seorang Gubernur Jenderal (General Gouvenour) untuk mengkoordinir
wilayah jajahan. Akibatnya, struktur pemerintahan di wilayah jajahan menempatkan
Gubernur Jenderal pada posisi yang sangat berkuasa atas segala sesuatu urusan di negara
jajahan. Gubernur Jenderal diberi kekuasaan untuk mengatur wilayah jajahan, namun
tetap membayar upeti kepada kerajaan Belanda sebagai bukti kesetiaannya. Pada masa
itu, Belanda telah menerapkan sistem administrasi modern dalam mengurus dan
mengendalikan wilayah jajahannya, termasuk di Indonesia. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Sinambela, bahwa cara-cara yang dipakai Belanda melahirkan pola
birokrasi kolonial yang cukup maju, tanpa mengubah total tatanan yang ada. Selanjutnya
menurut Dwiyanto, pada masa kolonial terdapat dualisme sistem administrasi
pemerintahan. Di satu sisi telah mulai diperkenalkan dan diberlakukan sistem
administrasi kolonial (Binnenlandsche Bestuur) yang mengenalkan sistem administrasi
dan birokrasi modern, sedangkan pada sisi lain sistem administrasi tradisional
(Inhemsche Bestuur) masih tetap dipertahankan. Artinya, Belanda tetap memakai jasajasa pegawai pribumi yang berasal dari priyayi untuk kegiatan-kegiatan birokratisadministratif. Sementara itu, untuk mengawasi mereka diangkat pejabat Belanda dengan
mengambil model Barat dengan jabatan residen, asisten residen dan countreuler yang
hierarkinya bertanggung jawab kepada Gubernur Jenderal.
Pegawai pribumi berkewajiban melaksanakan (implementator) kebijakankebijakan Belanda kepada masyarakat. Dalam realitanya, pegawai-pegawai ini lebih
berorientasi pada kepentingan kolonial (penjajah) karena diiming-imingi dengan gaji dan
kedudukan, tanpa mereka sadari bahwa gaji dan kedudukan yang diperoleh telah
menyengsarakan rakryat. Seperti yang dikemukakan oleh Tjokroamidjojo, orientasi dan
kondisi kepegawaian pada zaman penjajahan lebih ditujukan untuk kepentingan penjajah
dan demi kepentingan pemeliharaan keamanan dan ketertiban belaka. Jadi, dapat
dipahami bahwa pola politisasi birokrasi pada masa kolonial ini terlihat dalam
pengangkatan pejabat-pejabat pribumi (bupati) dari kalangan priyayi (bangsawan) tanpa
kriteria yang jelas dan dominannya orientasi birokrasi pada kepentingan-kepentingan
politik penjajah dibanding melaksanakan fungsi pelayanan (service functions) terhadap
public.
Perkembangan administrasi negara di Indonesia dapat pula diikuti seberapa iauh
pimpinan nasional (pemerintah) mempunyai perhatian untuk melakukan perbaikan dan
pengembangan. Salah satu upaya untuk mengetahuinya ialah dengan mengamati upaya
reformasi administrasi pemerintahan yang pernah dilakukan oleh dua pemerintahan
cukup lama di Indonesia, yakni zaman pemerintahan Bung Karno dan zaman
pemerintahan
b. Zaman Soeharto.
Pada awal perkembangan ilmu administrasi negara tahun 1950- an, pemerintah
dalam hal ini Presiden Soekarno melalui almarhum Perdana H.Djuandaa meiakukan
reformasi administrasi negara Indonesia. Ketika pemerintah proklamasi melaksanakan
pemerintahan sendiri administrasi pemerintahannya waktu itu meniru dan mewarisi
sistem administrasi dari pemerintahan kolonial. Sewaktu dijajah Belanda dahulu dalam
waktu ya.ng sangat lama, kita hanya mengenal sistem administrasi pemerintahan kerajaan
Belanda. Sistem itulah satu-satunya yang kita kenalkan dalam menata administrasi negara
kita semenjak proklamasi.
Pemerintah Jepang pernah juga menlajah negara kita, dan pernah sistem
administrasi Jepang dicoba dipakai untuk sementara waktu. Karena sistem pemerintahan
kerajaan Belanda yang lama diterapkan di negara jajahan saat itu, maka sisrem
administrasi Belanda ini yang banyak berpengaruh dalam tatanan sistem administrasi
pemerintahan kita. Sistem ini lama-kelamaan dirasakan tidak lagi memadai, lagi pula
semangat ingin melepas dari warisan kolonial dan semangat kemerdekaan yang masih
berkobar di dada bangsa kita, maka hal ini amat mendorong terciptanya pem- baruan dan
pengembangan sistem administrasi negara kita. Saat itu di Amerika Serikat
dikembangkan sistem administrasi negara yang modern, praktis dan efisien. Maka
Presiden Soekarno dengan Perdana Menteri Almarhum H. Djuanda mengundang perutusan dari Amerika Serikat. Guru besar ilmu administrasi publik dari Cornel dan
Pittburg didatangkan ke Indonesia untuk memberi- kan saran pengembangan dan
perbaikan sistem administrasi negara kita.
Hasil dari perutusan ini dilakukan reformasi administrasi pemerintahan. Susunan
kementerian mulai ditata, didirikan lembaga yang menjadi pusat pelatihan dan
pengembangan tenaga-tenaga administrasi negara, di dirikannya fakultas dan universitas
yang mengajarkan ilmu administrasi negara seperti yang dikembangkan oleh Amerika
Serikat, dan dibangun badan perancang nasionai yang kelak kemudian berubah menjadi
Bappenas. Kantor Urusan Pegarvai (KUP) didirikan yang kelak kemudian menjadi
BAKN (Badan Administrasi Kepegar,vaian Negara) dan sekarang berubah menjadi BKN
(Badan Kepegarvaian Negara). Reformasi pertama yang dilakukan an Soekarno didorong
oleh perubahan ketika zaman kepresiden- yang terjadi di lingkungan strategis nasional
dan global. Lingkungan strategis nasional ialah berubahnya tata sistem pemerintahan
yang dijalankan berdasarkan warisan kolonial Belanda ke arah tatanan sistem
administrasi yang bersifat modern pengaruh dari Amerika Serikat. Pengaruh global
terjadi bermula dari sistem administrasi yang modern, praktis dan efisien yang
dikembangkan oleh Amerika Serikat tadi. Ada faktor pendorong (leverage points) yang
membuat Bung Karno memerhatikan pengembangan dan reformasi administrasi negara.
Faktor pendorong itu ditandai dari adanya perubahan baik di lingkungan strategis nasional maupun g1obal. Pemerintahan Presiden Soekarno mempunyai pandangan yang
jelas terhadap administrasi negara. Perhatiannya untuk mengembangkan sistem
administrasi negara sangat besar dengan didirikannya pada waktu Lembaga Administrasi
Negara (LAN) yang diharapkan sebagai lembaga kajian untuk mengembangkan Ilmu Administrasi Negara yang bisa diterapkan dalam kegiatan sehari-hari dari praktika ke
pemerintahan, Reformasi kedua dilakukan ketika zaman kepresidenan Soeharto.
Dorongan untuk melakukan reformasi ini pun diawali oleh keinginan untuk
membangun bangsa dan negara yang dimulai untuk menyelenggarakan pemerintahan
yang stabii, kuat dan sentralistis. Pembangunan tidak bakal terjadi kalau ekonomi bangsa
ini tidak tumbuh. Untuk menumbuhkannya diperlukan adanya stabilitas pemerintahan
baik di bidang politik, pertahanan, keamanan, sosial dan sektor lainnya. Dari keinginan
untuk mewujudkan stabilitas ini maka visi pemerintahan Presiden Soeharto adalah harus
dijalankan secara sentralistis. Pendekatan kekuasaan, keamanan, dan pemusatan segala
macam kebijakan dan urusan di pemerintah pusat amat kelihatan sekali. Maka disusunlah
suatu perubahan kebijakan menata kelembagaan dan sistem birokrasi pemerintah yang
mendukung terwujudnya visi sentral tersebut. Tahun 1974 lima tahun setelah Presiden
Soeharto memegang kendali pemerintahan mengeluarkan PP No. 44 dan 45 tahun 1974
sebagai tonggak dirombaknya dan disusun sistem serta struktur lembaga birokrasi
pemerintah. Semua organisasi dan sistem diseragamkan. Mulailah berturut-turut adanya
ketentuan perundangan yang menuju keseragaman itu. Susunan departemen kita yang
dipimpin para menteri diseragamkan lembaga dan sistemnya. Sistem penyusunan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban anggaran juga disusun seragam. Sistem rekrutmen
pegawai dan pengangkatan peiabat dalam jabatan, sistem diklat pegawai, sistem
penggajian pegawai yang merana, sistem pengawasan, dan semua sistem-sistem lainnya
diatur secara seragam dan sentral. Susunan pemerintah desa pun diseragamkan untuk
seluruh negara kita.
Reformasi administrasi negara yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden
Soeharto karena didorong oleh perubahan sistem lingkungan strategis narsional dari
pemerintahan Soekarno (Orde Lama) ke pemerintahan Orde Baru. Sementara lingkungan
strategis global ditandai dengan perlunya bantuan d:rri negara donor untuk membantu
kebijakan dan program pembangr-rnan yang dilakr.rkannya. Bantuan atau pinjaman
merupakan tatanan global yang harus ditaati dan diperhatikan untuk keberhasilan
pembangunan. Lepas apakah reformasi ketika masa kepresidenan Soeharto ada ekses
yang kurang baik terhadap demokrasi dan pemulihan kondisi perekonomian bangsa, akan
tetapi reformasi administrasi negarll yarng kcdua itu dimulai dari visi, pandangan, dan
kemauan yang jelas untuk lnenata sistem administrasi negara yang menekankan pada
pembangunan ekonomi. Ketika itu kalau semuanya tidak dikendalikan secara terpusat
barangkali pembangunan yang diprogramkan oleh pemerintahan Soeharto tidak
terlaksana. Keinginan menata kelembargaan di sistem administrasi negara yang
mendukung terhadap upaya pembangunan tersebut merupakan langkah yang terarah. hal
ini suatu bukti bahwa perhatian tcrhadap pembangunan, reformrrsi, perubahan dan
pengembangan administrasi negara merupakan prioritas bagi pemerintahan Presiden
Soeharto Kedua Presiden terdahulu mempunyai perhatian besar terhadap pengembangan
ilmu administrasi untuk kemanfaatan pemerir-rtahan yang dipimpinnya. Yang kedua,
kedua Presiden terdahulu melakukan reformasi karena didorong olch leverage points
yang jeias barik pada tataran lingkungan strategis nasional maupun global. Itulah
reformasi yang pernah dilakukan oleh pemerintah sepanjang sejarah kemerdekaan hingga
saat ini. Mulai pemerintahan reformasi yang dilakukan di awal tahun 1998, saya
mempunyai pan- dangan bahwa pemerintah kita hingga kini belum pernah melakukan
reformasi dan bahkan pemerintah yang silih berganti itu kurang perhatiannya terhadap
sistem dan tata laksana administrasi negara kita. Apa visi pemerintah terhadap reformasi
atau perubahan sistem administrasi negara sampai sekarang belum mengetahui sccara
jelas.
Kelembagaan dan sistem administrasi negara kita hingga seka- rang ini masih
seperti yang dulu direformasi oleh Presiden Soeharto. Belum ada perubahan sedikitpun.
Suasana dan struktur organisasi kelembagaan birokrasi pemerintah masih seperti dulu.
Sementara itu lingkungarn strategis nasional di global baik politik maupun ekonorni telah
mengalami perubahirn yang dahsyat.
c. Periode Reformasi Kemerdekaan
Baru
mulai
tahun
1945,
ketika
bangsa
Indonesia
memproklamasikan
kemerdekaannya, sistem administrasi negara di tangan bangsa sendiri. Kesempatan
terbuka luas bagi bangsa Indonesia untuk mengisi kekosongan jabatan-jabatan negara.
Akan tetapi, suatu hal yang tidak bisa dilupakan, bangsa Indonesia yang sebelumnya
tidak mempunyai pengalaman dalam praktik administrasi negara, dan pada saat itu
suasana masih diliputi perang. Belanda masih tidak rela meninggalkan Indonesia
berusaha kembali lagi. Oleh karena iru, proses penyelenggaraan administrasi masih
kelihatan tidak efisien. Para ad- ministrator dan pejabat negara pada waktu itu menempati
posisi-posisi administrasi tanpa berkesempatan untuk mendapat pendidikan dalam
lapangan (ilmu) administrasi negara, tanpa kesempatan bekerja di bawah pengawasan
ahli administrasi yang berpengalaman dan juga kurang mendapatkan pengalam an yang
dapat memperkembangkan pandangan administratif yang kreatif dan luas. Pada waktu itu
dirasakan perlunya mengembangkan ilmu administrasi negara dan memberikan
pendidikan bagi administrator-administrator yang kurang pengalaman tersebur. Lembaga
pendidikan pertama yang mengembangkan ilmu pemerintahan adalah Universitas Gadjah
Mada di Yogyakarta. Fakultas Hukum dan Sosial Politik saat itu dalam kurikulumnya
dikembangkan mata kuliah ilmu pemerintahan. Kemudian didirikan Fakultas Sosial dan
Politik dengan jurusan ilmu usaha negara yang kemudian menjadi jurusan ilmu.
d. Periode Paska Reformasi
lndonesia paska gerakan reformasi tahun 1998 belum sepenuhnya mengalami
perubahan yang signifikan ke arah peningkatan taraf kersejahteraan masyarakat secara
kongkret. Belum optimalnya penegakkan hukum, minimnya akses terhadap layanan dasar
di sejumlah daerah terpencil dan perbatasan, kemiskinan, pengangguran, perlakuan
diskriminatif terhadap komunitas masyarakat minaritas dan marginal, korupsi, kerusuhan
pasca pemilukada, pembakaran dan penyerbuan kantor penegak hukum dan varian
masalah publik lainnya masih menjadi pemandangan yang menghiasi kehidupan seharihari masyarakat indonesia.
Masalah publik yang sedemikian kompleks secara makro memberi kesan bahwa
reformasi di lndonesia belum berhasil untuk -nendatangkan kehidupan yang berkualitas
bagi publik di negara yang :nemiliki luas lima juta seratus tujuh puluh enam ribu delapan
ratus kilo meter persegi ini. Namun, demikianlah realitas yang harus dihadapi dua ratus
tujuh :uluh jutaan penduduk yang hidup di lndonesia. Reformasi yang dicanangkan pada
tahun 1998 belum sepenuhnya mampu memberikan harapan baru rada seluruh konstalasi
kehidupan berbangsa dan bernegara di lndonesia. demokrastitasi yang diperagakan
selama ini baru terbatas mempertontonkan, kebebasan sehingga menghasilkan konstruksi
politik yang berkembang melenceng dari kepentingan publik tanpa diiringi fundamen
ekonomi yang menopang kemakmuran kehidupan masyarakat. Perubahan yang dijanjikan
hanya sebatas komoditi morketing politik bagi para "bakal calon"yang berkompetisi
untuk merebut, mempertahankan dan meningkatkan akseptabilitas, popularitas dan
elektabilitasnya sehingga dapat menduduki kekuasaan pada lembaga legislatif maupun
eksekutif baik pada tingkat lokal maupun nasional' Tetapi seperti berlalu begitu saja, para
politisi hanya ingat rakyat saat kampanye dan lupa rakyat setelah menggenggam
kekuasaan. Aktivitas yang dilakukan oleh politisi pun masih berkutat dengan kegiatankegiatan yang berelasi dengan kepentingan Pemilu saia (election reloted octivities\
sehingga mereka hanya berdekatan dengan masyarakat saat menjelang Pemilu, selepas itu
mereka duduk manis di balik kursi kekuasaan.
Politisi di lndonesia umumnya hanya paham mengenai kedudukan mereka dalam
kekuasaan tetapi tidak memahami arah tujuan kekuasaan manakala kekuasaan sudah
diperoleh' Alhasil mereka juga masih gagap dalam mengikuti perumusan kebijakan
apalagi memahami dengan baik proses pengawasan implementasi kebijakan. oleh
karenanya, otomatisasi perilaku politik sebagai konsekuensi gelombang liberalisasi tanpa
arah menjadi kerangka dasar arsitektur demokrasi lndonesia masa kini. Perilaku politik
tersebut kemudian ditunjang dengan parsialitas pengetahuan politik, tingkat kepedulian
yang rendah terhadap penataan kehidupan bersama serta kualitas kesejahteraan yang
rendah. Variabel- variabel negatif tersebut kemudian terkompilasi sehingga membuat
otomatisasi perilaku politik menemukan jati dirinya dalam mayoritas masyarakat pemilih
sebagai pemegang kendali demokrasi di bumi pertiwi ini. Perlu untuk kita garis bawahi
bersama bahwa berdemokrasi dengan "perut kosong" membuat nalar jernih terdegradasi.
Hal inilah yang kemudian membuat masyarakat kita lekas lupa dengan tingkah laku
politisi yang korup dan mudah memaafkan segala kelalaian dalam pengambilan
keputusan yang dibuat para politisi padahal konsekuensinya sangat merugikan
masyarakat. lronisnya sikap permisif ini tetap berlangsung hingga saat ini meskipun
dampak dari keputusan tersebut telah menyengsarakan kehidupan masyarakat banyak.
Tidak optimainya gerak perubahan kondisi pOlitik paska reformasi salah
satunyadisebabkan ambiguitas atau absurditas Agenda Reformasi1998. Agenda
Reformesi 1998 dikonstruksi pada momenturn keseniangan pengetahuan dan informasi
cukup tettal antara elit pOli● k dan masyarakat sehiζlgga hesilnya adalah ungkat
Operasionalisasi di tataran praksis yang membias akibat℃aga ト paham′ ′ terhadap
kebutuhan rakyat dan tetap menghamba pada kebut む
han penguasa. Proses
mengangregasi dan mengartikulasikan kebLituhan publik d‖ akukan sesuai selera e‖ t
polijk
sehingga
konsekuensinya
tentunya
pengabalan
terhadap
kepentingan
publik.Halinilah vang menyebabkan arah keb り akan agenda reformasi む dak memillki
direksi yang jelas.Demokra む
sasi sebagai p‖ ar utama reformasilebih nampak
sebagallahan percobaan bukan
dlkonstruksi dalam perangkat perencanaan yang terdesain secara sistematik.
3ahkan perttmbangan administrajf FaSiOnal yang mengedepankan efesiensi
seringkali dipardang sebagal kemunduran demokrasi. Dalam konteks menyusun
agenda(ageη σα Sθ ttη g)′ rnaka agenda ´ eformasi belum d り abarkan secara ttgid balk
dari segi perubahan vang ]:harapkan′ target sasaran yang eligibel dan penetapan tengat、
vaktu realisasi cerubahan. Pada saat konstruk agenda reformasi jdak sepenuhnya jelas
maka
[Brtai polijk yang berkembang bak jamur di musim huian yang meskipun ilη
lahnya banyak pada era reformasi ini tetapi cenderung tidak memi‖ ki 18″aran ideologi
yang ielas.Kebanyakan partai politik ideologinya pragmatls IEn hanya bergerak untuk
mencOba mengimbangiselera awam sala.Hal ini -8mang implikasi dari berkembangnya
konsep co た わ θ 〃 ρθrly dimana partal [[ljk tidak memiliki ideO10gi tertentu tetapi
lebih berupaya mengg3et i,paj masyarakat dengan menganggangkatisu― isu populan
Konsekuensinya ]=Э logi jdak lagi dianggap pening bagi partai politik sehingga partal
politik
=[entuk untuk mendapatkan simpaj pOlijk bukan membentuk arah bagi
―]syarakat dalam berpolitik. ldealnya dimensi ldeologi tercermin dengan ielas yang
kemudian i=3arkan dalam garis keb り akan partal dan program― program yang akan
d り alankan untuk menseiahterakan rakyat saat mereka mampu merengkuh
kekuasaan. Partal POlitik harusnva tidak pragmatis. Partai politik bertindak
sebagal insutusi ldeO10gis yang menawarkan idealisme′
keblakan dan
program yang Sinergis dari hulU ke hilir kepada rakvat.Seperu di Amerika dengan
ielaS keika Partal DemOkrat berkuasa maka keblakan pemerintah
akan Cenderung berSedikan idOelogi‖
beral.Sedangkan saat Partal Republik
berkuasa maka kebijakan pemerintah a