Makalah INDONESIA SEBAGAI NEGARA HUKUM Y

Makalah-INDONESIA SEBAGAI
NEGARA HUKUM YANG
BERDASARKAN PANCASILA
Makalah-INDONESIA SEBAGAI NEGARA HUKUM YANG BERDASARKAN
PANCASILA
Written by Prof. Dr. H. Suko Wiyono, SH, MH.
Wednesday, 21 September 2011 10:44
INDONESIA SEBAGAI NEGARA HUKUM YANG BERDASARKAN PANCASILA
The basic concept of Indonesia is a constitutional state basically can not be
separated from the travel history of Indonesia before independence. The
Indonesian nation is a country before independence colonized by the Dutch,
the postscript is a country that adheres to the continental European legal
systems. In continental European countries, the concept of state law called
rechtsstaat which builds upon the elements of the protection of human rights
(human rights), the separation and division of state power to ensure
protection of human rights, rule of law, the administration of justice. In
addition rechtsstaat concept, in countries following the Anglo-Saxon legal
system, known as the concept of state law the rule of law is built upon the
pillars of the supremacy of the rule of law, of equality before the law, and the
guarantee of human rights protection. Pancasila is the state law the state law
that was built by the Indonesian nation based on the noble values of

Pancasila, whose elements are not much different from the concept of state
law that was built by the countries applying the law of continental Europe.
This is understandable, because with the implementation of the principle of
concordance, then by Indonesia itself exactly the same system of law with
the state legal system that colonizeR.
Key words: Indonesia as a state, Pancasila
A. PENDAHULUAN
Mochtar Kusumaatmadja[1] mengemukakan makna terdalam dari Negara
berdasarkan atas hukum adalah: “...kekuasaan tunduk pada hukum dan
semua orang sama di hadapan hukum”. Konsep negara hukum tentu saja
sekaligus memadukan paham kedaulatan rakyat dengan kedaulatan hukum
sebagai satu kesatuan. Untuk menelusuri konsep tentang negara hukum
pada dasarnya dapat dijelaskan melalui dua aliran pemikiran, yaitu konsep
rechtsstaat dan the rule of law. Untuk memahami hal itu, dapat ditelusuri

sejarah perkembangan dua konsep yang berpengaruh tersebut. Konsep
“rechtssaat” berasal dari Jerman dan konsep “the rule of law” berasal dari
Inggris. Istilah rechtsstaat mulai populer di Eropa sejak abad XIX, meskipun
pemikiran tentang itu sudah lama ada, sedangkan istilah “the rule of law”
mulai populer dengan terbitnya sebuah buku dari Albert Venn Dicey tahun

1855 dengan judul Introduction to the Studi of the Law of the Constitution.
Konsep rechtsstaat[2] lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme,
sehingga sifatnya revolusioner. Sebaliknya, konsep the rule of law
berkembang secara evolusioner. Hal ini nampak dari isi atau kriteria
rechtsstaat dan kriteria the rule of law. Konsep rechtsstaat bertumpu pada
sistem hukum kontinental yang disebut “civil law” atau “modern Roman
law”, sedangkan konsep the rule of law bertumpu pada sistem hukum yang
disebut “common Law” atau “Anglo Saxon”.
Rechtsstaat dan the rule of law dengan tumpuannya masing-masing
mengutamakan segi yang berbeda. Konsep rechtsstaat mengutamakan
prinsip wetmatigheid yang kemudian menjadi rechtmatigheid, sedangkan the
rule of law mengutamakan equality before The law[3] Akibat adanya
perbedaan titik berat dalam pengoperasian tersebut, muncullah unsur-unsur
yang berbeda antara konsep rechtsstaat dan konsep the rule of law. Adapun
perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. unsur-unsur rechtsstaat :
a. adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM).
b. adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan negara untuk menjamin
perlindungan HAM,
c. pemerintahan berdasarkan peraturan,

d. adanya peradilan administrasi; dan
2. unsur-unsur the rule of law
a. adanya supremasi aturan hukum,
b. adanya kesamaan kedudukan di depan hukum, dan
c. adanya jaminan perlindungan HAM.
Dari uraian unsur-unsur rechtsstaat maupun the rule of law tersebut nampak
adanya persamaan dan perbedaan antara kedua konsep tersebut. Baik
rechtsstaat maupun the rule of law selalu dikaitkan dengan konsep
perlindungan hukum, sebab konsep-konsep tersebut tidak lepas dari gagasan

untuk memberi pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Dengan demikian keduanya sama-sama memiliki inti upaya memberikan
perlindungan pada hak-hak kebebasan sipil dari warga negara, berkenaan
dengan perlindungan terhadap hak-hak dasar yang sekarang lebih populer
dengan HAM, yang konsekuensi logisnya harus diadakan pemisahan atau
pembagian kekuasaan di dalam negara. Sebab dengan pemisahan atau
pembagian kekuasaan di dalam negara, pelanggaran dapat dicegah atau
paling tidak dapat diminimalkan.
Di samping itu, perbedaan antara konsep rechtsstaat dan the rule of law
nampak pada pelembagaan dunia peradilannya, Rechtsstaat dan the rule of

law menawarkan lingkungan peradilan yang berbeda meskipun pada intinya
kedua konsep tersebut menginginkan adanya perlindungan bagi hak asasi
manusia melalui pelembagaan peradilan yang independen. Pada konsep
rechtsstaat terdapat lembaga peradilan administrasi yang merupakan
lingkungan peradilan yang berdiri sendiri, sedangkan pada konsep the rule of
law tidak terdapat peradilan administrasi sebagai lingkungan yang berdiri
sendiri. Hal ini disebabkan dalam konsep the rule of law semua orang
dianggap sama kedudukannya di depan hukum, sehingga bagi warga negara
maupun pemerintah harus disediakan peradilan yang sama.
Selanjutnya Philipus M. Hadjon[4] menjelaskan: “Konsep Rechtsstaat
bertumpu pada sistem hukum kontinental yang disebut “Civil Law” atau
“Modern Roman Law”, sedangkan konsep “The Rule of Law“ bertumpu pada
sistem hukum yang disebut “Common Law”. Karakteristik Civil Law adalah
“administratif“, sedangkan karakteristik Common Law adalah “judicial “.
Pembentukan hukum Civil law dilakukan melalui undang-undang dan
kodifikasi sedangkan Common law melalui Preseden (Judge made law).
Meskipun konsep Rechtsstaat dan Rule Of Law setelah Perang Dunia Kedua
juga sangat peduli terhadap kesejahteraan sosial, namun filosofi liberalistik
individual dan kapitalistiknya tetap menonjol, karena itu tidak disenangi oleh
negara-negara yang menganut paham sosialis-komunis. Negara-negara

berpaham sosialis-komunis lalu mengembangkan konsep Socialist Legality,
ialah Negara Hukum berwawasan sosialis-komunis untuk mewujudkan
masyarakat sosialis tanpa kelas dan anti Hak Asasi Manusia. Konsekuensinya
tidak ada tempat istimewa bagi individu untuk memiliki Hak Kekayaan
Intelektual, semuanya harus diserahkan menjadi milik Negara.
Berkenaan dengan negara hukum ini, Daniel S. Lev[5] berpendapat bahwa
negara hukum adalah suatu negara yang disandarkan pada pembagian
kekuasaan yang bertujuan untuk memperlemah elit-elit politik. Pembagian
kekuasaan berdasarkan ide negara hukum menjadi suatu hal yang sah
(legitimate).
Dalam konsep “Negara Hukum”, eksistensi peraturan perundang-undangan

merupakan salah satu unsur fundamental bagi penyelenggaraan
pemerintahan negara berdasarkan atas hukum. Hal itu tercermin dari konsep
Friedrich Julius Stahl[6] dan Zippelius[7] Menurut F.J. Stahl unsur-unsur utama
negara hukum adalah:
1. pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;
2. pemisahan kekuasaan negara berdasarkan prinsip trias politika;
3. penyelenggaraan pemerintahan menurut undang-undang (wetmatigheid
van bestuur); dan

4. peradilan administrasi negara.
Sementara itu, Menurut Zippelius unsur-unsur negara hukum terdiri atas:
1. pemerintahan menurut hukum (rechtsmatigheid van bestuur);
2. jaminan terhadap hak-hak asasi;
3. pembagian kekuasaan; dan
4. pengawasan justisial terhadap pemerintah.
Dari unsur-unsur tersebut di atas nampak adanya perbedaan, jika Stahl
menempatkan “penyelenggaraan pemerintahan menurut undang-undang
(wetmatigheid van bestuur)” pada elemen yang ketiga dari konsep negara
hukum, sebaliknya Zippelius menempatkannya pada unsur pertama dengan
pengertian yang agak luas, ialah “penyelenggaraan pemerintahan menurut
hukum (rechtsmatigheid van bestuur)”. Di sini nampak bahwa F.J. Stahl
masih sangat kental terpengaruh konsepsi dari aliran legisme, yang mana
aliran tersebut menyatakan tidak ada hukum di luar undang-undang. Oleh
karena itu, salah satu unsur utama negara hukum menurut F.J. Stahl adalah
penyelenggaraan pemerintahan menurut undang-undang (wetmatigheid van
bestuur).
B. PEMBAHASAN
Negara Hukum Berdasarkan Pancasila
Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) Soekarno dalam

pidatonya pada tanggal 18 Agustus 1945 dan pidato Iwa Koesoema
Soemantri (anggota PPKI), menunjukkan bahwa UUD 1945 memang bersifat
sementara. Adapun pidato tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ir. Soekarno: Saya beri kesempatan untuk membuat pemandangan umum,

yang singkat. Cekak aos hanya mengenai pokok-pokok saja dan tuan-tuan
semuanya tentu mengerti, bahwa Undang-Undang Dasar yang kita buat
sekarang ini, adalah Undang-Undang Dasar sementara. Kalau boleh saya
memakai perkataan ini: ini adalah Undang-Undang Dasar kilat. Nanti kalau
kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan
mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat
membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan sempurna.
2. Iwa Koesoema Soemantri: Salah satu perubahan yang akan saya
tambahkan, yang saya usulkan, yaitu tentang perubahan Undang-Undang
Dasar. Disini belum ada artikel tentang perubahan Undang-Undang Dasar
dan itu menurut pendapat saya, masih perlu diadakan.
Dari pidato di atas nampak bahwa Undang-Undang Dasar 1945 itu adalah
konstitusi revolusi yang bersifat sementara dan kelak akan disusun konstitusi
baru yang lebih lengkap, jika suasana telah memungkinkan. Pernyataan
ketua PPKI tentang sifat sementara dari UUD 1945 ini, sejalan dengan aturan

tambahan UUD 1945 naskah asli yang menyatakan:
1. Dalam Enam Bulan sesudah akhirnya peperangan Asia Timur Raya,
Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang
ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar ini.
2. Dalam Enam Bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk,
Majelis itu bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar.
Dari ketentuan dua ayat Aturan Tambahan UUD 1945 tersebut dapat ditarik
penafsiran bahwa UUD 1945 dimaksudkan hanya berlaku untuk masa dua
kali enam bulan atau setahun saja, terhitung mulai berakhirnya perang Asia
Timur Raya pada tanggal 15 Agustus 1945. UUD 1945 sebagai konstitusi
revolusi sering pula disebut dengan Undang-Undang Dasar kilat. Oleh karena
itu dapat dimengerti apabila rumusan UUD 1945 sangat singkat bila
dibandingkan dengan konstitusi negara lain seperti , Malaysia, Philipina,
India, Pakistan maupun Iran. Bahkan hal-hal yang berkaitan dengan
penyelenggaraan negara dibuat sesederhana mungkin agar dapat segera
digunakan dalam penyelenggaraan negara.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang disusun secara singkat itu, dalam
Pembukaan maupun Batang Tubuh (pasal-pasalnya), tidak ada satu kalimat
atau perkataan yang secara eksplisit menyatakan bahwa Indonesia adalah
negara hukum. Tetapi pengertian yang sedemikian di dapat pada alinea ke 4

(empat) Pembukaan UUD 1945: “Maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar Negara Indonesia”, Jadi
Republik Indonesia adalah negara hukum yang berkonstitusi yang dituliskan.
[8]

Memang apabila ditelusuri dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), ternyata pada saat proses
perumusan UUD 1945 tidak diwarnai dengan perdebatan yang mendalam
tentang faham negara hukum. Walaupun dalam proses perumusan UUD
1945 di BPUPKI tidak ada perdebatan secara eksplisit tentang negara hukum,
namun hal ini tidak berarti bahwa secara konseptual Indonesia adalah bukan
negara hukum, karena adanya konstitusi merupakan konsekuensi dari
penerimaan konsep negara hukum. Menurut Moh. Mahfud[9] pada saat
pendiri negara (founding fathers) berdebat untuk menyusun sebuah
konstitusi, berarti mereka secara sadar telah memilih konsep negara hukum
untuk negara yang akan didirikan. Konstitusi berfungsi membatasi secara
hukum, oleh karena itu penggunaan kekuasaan pemerintah tidak boleh
melanggar hak asasi manusia dan tidak boleh melampaui batas kewenangan
yang diberikan dalam konstitusi tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut Yusril Ihza Mahendra[10] menyatakan:

“Meskipun UUD 1945 merupakan naskah konstitusi yang singkat, negara
yang hendak dijelmakannya secara normatif memenuhi syarat-syarat sebuah
negara hukum“. Di samping itu, dalam sidang BPUPKI[11] dapat ditemukan
pendapat yang menginginkan agar negara Indonesia yang akan didirikan itu
merupakan negara kesejahteraan, negara yang berkedaulatan rakyat,
negara yang hendak mewujudkan keadilan, negara yang menjamin
kesehatan rakyat, negara yang menjamin kebebasan rakyat untuk
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Hal tersebut antara lain
dikemukakan oleh M. Yamin, Soekarno dan Hatta.
M. Yamin[12] antara lain menyatakan : “…bahwa negara yang akan dibentuk
itu hanya semata-mata untuk seluruh rakyat, untuk kepentingan seluruh
bangsa yang akan berdiri kuat di dalam negara yang menjadi
kepunyaannya”. Selanjutnya ia menambahkan : “ Kesejahteraan rakyat yang
menjadi dasar dan tujuan negara Indonesia merdeka ialah pada ringkasnya
keadilan masyarakat atau keadilan sosial[13]. Dalam kesempatan yang sama
Soekarno mengatakan : “Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan,
kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan, di
bawah pimpinan Ratu Adil, Maka oleh karena itu jikalau kita memang betulbetul mengerti, mengingat, mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima
prinsip hal sociale rechtsvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik,
tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan,

artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.”[14]
Dari pernyataan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa negara yang
diinginkan oleh bangsa Indonesia ialah negara yang menjamin kesejahteraan
rakyat, yang menjamin keadilan dan hak asasi manusia. Negara yang
demikian itu tiada lain ialah negara hukum. Apabila dalam Pembukaan dan
Batang Tubuh UUD 1945 sebelum perubahan tidak dikemukakan pernyataan
yang eksplisit tentang negara hukum, ternyata tidak demikian halnya dalam

Penjelasan UUD 1945 naskah asli. Dalam Penjelasan Bagian Umum tentang
Sistem Pemerintahan Negara, pada Pokok Pikiran yang pertama di tegaskan :
“Indonesia ialah Negara yang berdasar atas Hukum (rechtsstaat) dan bukan
berdasar atas kekuasaan belaka (machsstaat)”. Perlu diingat bahwa
penjelasan UUD 1945 tidak pernah dibahas dalam BPUPKI, bahkan naskah
tersebut baru muncul kemudian menyertai naskah UUD 1945 setelah
diumumkan dalam Berita Negara pada tahun 1946.
Mohamad Fajrul Falakh[15] berpendapat, bahwa pemuatan pernyataan
Indonesia sebagai sebuah negara hukum dalam Penjelasan UUD 1945
menunjukkan kesadaran post-factum, setelah terjadi kekalahan fasisme
Jerman di bawah Adolf Hitler dan fasisme Jepang di bawah Tenno Heika
dalam Perang Dunia II. Selanjutnya ia menyatakan, bahwa kedua rezim fasis
ini dirujuk dengan rasa kagum dan percaya diri oleh Soepomo di dalam
pidatonya di depan BPUPKI, dan keduanya merupakan negara kekuasaan
(machtstaat). Maka dapat dimengerti apabila Penjelasan UUD 1945 hanya
menerangkan negara hukum dengan cara melawankan antara rechtsstaat,
sistem konstitusi, dan tidak bersifat absolutisme di satu sisi dengan
machtsstaat di sisi yang lain.
Hanya saja pernyataan Indonesia adalah negara hukum dalam penjelasan
UUD 1945 ini pun tidak ada elaborasi lain mengenai prinsip-prinsip negara
hukum, sehingga sangat sulit untuk menelusuri orientasi konsepsinya di
antara berbagai konsepsi negara hukum yang ada. Berkait dengan orientasi
konsepsi negara hukum ini, menurut Soetandyo Wignjosoebroto,[16] ide
rechtsstaat atau yang di negeri-negeri bertradisi common law disebut the
rule of law mula pertama di perkenalkan dalam ketatanegaraan HindiaBelanda melalui Regeringsreglement (RR) tahun 1854. Ide itu digariskan
dalam RR melalui tiga pasalnya, yaitu Pasal 79, 88, 89. Pasal 79 RR
menyiratkan asas Trias Politika yang menghendaki diserahkannya kekuasaan
peradilan ke tangan hakim yang bebas, yang berarti menyiratkan asas
pembagian kekuasaan. Pasal 88 memerintahkan dilaksanakannya asas
legalitas dalam setiap proses pemidanaan, sedangkan Pasal 89 melarang
pemidanaan yang menyebabkan seseorang akan kehilangan hak-hak
perdatanya. Sebagai negara yang telah dijajah sekian lama oleh Belanda,
hukum Indonesia dapat dikelompokkan dalam keluarga Romawi – Jerman. Hal
ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh beberapa pakar antara lain oleh
Rene David dan John E.C. Brierley, Muhamad. Yamin dan Djoko Soetono.
Rene David dan John E.C. Brierley, menyatakan “To a certain extent
Indonesia, colonised by The Dutch, belongs to The Romano-Germanic
family”. [17]
Sedangkan Ashary,[18] menyatakan, karena besarnya pengaruh ide
rechtsstaat terhadap konsep negara hukum yang khas Indonesia, maka
banyak kepustakaan Indonesia yang menyebutkan bahwa istilah negara
hukum merupakan terjemahan langsung dari rechtsstaat. Hal ini antara lain

dikemukakan oleh Muhammad Yamin dan Djoko Soetono.
Muhammad Yamin[19] menyatakan “Republik Indonesia ialah suatu negara
hukum (rechtsstaat, government of law) tempat keadilan yang tertulis
berlaku, bukanlah negara polisi atau negara militer, tempat polisi dan
prajurit memegang pemerintah dan keadilan, bukanlah pula negara
kekuasaan (machtsstaat) tempat tenaga senjata dan kekuatan badan
melakukan sewenang-wenang”. Sedangkan Djoko Soetono[20] menyatakan:
“Negara hukum yang demokratis sesungguhnya istilah ini adalah salah,
sebab kalau dikatakan democratische rechtsstaat, yang penting dan primair
adalah rechtsstaat”.
Untuk itu, dalam memahami negara hukum Republik Indonesia hendaklah
disadari bahwa ide rechtsstaat mempunyai pengaruh yang cukup besar dan
di sisi lain ada kecenderungan nasional untuk merumuskan suatu konsep
negara hukum yang khas Indonesia. Ide khas tersebut terlontar dalam
gagasan yang disebut dengan negara hukum Pancasila atau negara hukum
berdasarkan Pancasila. Untuk merumuskan konsep negara hukum yang khas
Indonesia, pertama-tama hendaklah dipahami secara jelas, bahwa ide dasar
Negara Hukum Indonesia diilhami oleh ide dasar rechtsstaat. Langkah ini
dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa negara hukum Republik Indonesia
pada dasarnya adalah negara hukum, artinya bahwa dalam konsep negara
hukum Pancasila pada hakikatnya juga memiliki elemen yang terkandung
dalam konsep rechtsstaat maupun dalam konsep rule of law. Bertolak dari
beberapa pendapat tersebut di atas dan juga adanya Peradilan Tata Usaha
Negara di Indonesia, maka wajar apabila ada pendapat bahwa orientasi
negara hukum Indonesia adalah tradisi hukum Eropa Continental.
Namun apabila di kaji secara mendalam bahwa pendapat yang menyatakan
orientasi konsepsi Negara Hukum Indonesia hanya pada tradisi hukum Eropa
Continental ternyata tidak sepenuhnya benar, sebab apabila disimak
Pembukaan UUD 1945 alinea I (satu) yang menyatakan “Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu,
maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan” menunjukkan keteguhan dan kuatnya
pendirian bangsa Indonesia menghadapi masalah kemerdekaan melawan
penjajahan. Dengan pernyataan itu bukan saja bangsa Indonesia bertekad
untuk merdeka, tetapi akan tetap berdiri di barisan yang paling depan dalam
menentang dan menghapuskan penjajahan di atas dunia.
Alinea ini mengungkapkan suatu dalil objektif, yaitu bahwa penjajahan tidak
sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan dan oleh karenanya harus
ditentang dan dihapuskan agar semua bangsa di dunia ini dapat
menjalankan hak atas kemerdekaan sebagai hak asasinya. Di samping itu
dalam Batang Tubuh UUD 1945 naskah asli, terdapat pasal-pasal yang
memuat tentang hak asasi manusia antara lain: Pasal 27, 28, 29, 30, dan 31.

Begitu pula dalam UUD 1945 setelah perubahan pasal-pasal yang memuat
tentang hak asasi manusia di samping Pasal 27, 28, 29, 30 dan 31 juga
dimuat secara khusus tentang hak asasi manusia dalam Bab XA tentang Hak
Asasi Manusia yang terdiri dari Pasal 28A, 28B, 28C, 28D, 28E, 28F, 28G,
28H, 28I dan Pasal 28J. Hal ini menunjukkan bahwa dalam konsep negara
hukum Indonesia juga masuk di dalamnya konsepsi negara hukum Anglo
Saxon yang terkenal dengan rule of law.
Dari penjelasan dua konsep tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep
“negara hukum” Indonesia tidak dapat begitu saja dikatakan mengadopsi
konsep rechtsstaat maupun konsep the rule of law, karena latar belakang
yang menopang kedua konsep tersebut berbeda dengan latar belakang
negara Republik Indonesia, walaupun kita sadar bahwa kehadiran istilah
“negara hukum” berkat pengaruh konsep rechtsstaat maupun pengaruh
konsep the rule of law. Sejalan dengan hal tersebut, Hadjon[21], menyatakan
bahwa negara hukum Indonesia agak berbeda dengan rechtsstaat atau the
rule of law. Rechtsstaat mengedepankan wetmatigheid, yang kemudian
menjadi rechtsmatigheid, sedangkan The rule of law mengutamakan prinsip
equality before the law. Adapun negara hukum Indonesia, menghendaki
adanya keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat yang
mengedepankan asas kerukunan. Dari prinsip ini terlihat pula adanya elemen
lain dari negara hukum Pancasila yakni terjalinnya hubungan fungsional yang
proporsional antar kekuasaan negara, penyelesaian sengketa secara
musyawarah, dan peradilan merupakan sarana terakhir. Sejauh menyangkut
HAM, yang ditekankan bukan hanya hak atau kewajiban, melainkan juga
jalinan yang seimbang antara keduanya.
Sebenarnya di Indonesia, baru pada tahun 1966 istilah the rule of law mulai
populer untuk mengartikan negara hukum, hal ini diungkapkan oleh
Ashary[22] sebagai berikut: “Selain istilah rechtstaat, sejak tahun 1966
dikenal pula istilah The rule of law yang diartikan sama dengan negara
hukum". Pendapat tersebut antara lain dikemukakan oleh Sunaryati Hartono
dan Sudargo Gautama.
Sunaryati Hartono[23] mengemukakan: “Oleh sebab itu, agar supaya
tercipta suatu negara hukum yang membawa keadilan bagi seluruh rakyat
yang bersangkutan, penegakan the rule of law itu harus diartikan dalam
artinya yang materiil. Sudargo Gautama[24] menyatakan: “dan jika kita
berbuat demikian, maka pertama-tama kita melihat bahwa dalam suatu
negara hukum, terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap
perseorangan. Negara tidak maha kuasa, tidak bertindak sewenang-wenang.
Tindakan-tindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum. Inilah
apa yang oleh ahli hukum Inggris dikenal sebagai rule of law.
Dari berbagai macam pendapat tersebut, nampak bahwa di Indonesia baik
the rule of law maupun rechtsstaat diterjemahkan dengan negara hukum.

Hal ini sebenarnya merupakan sesuatu yang wajar, sebab sejak tahun 1945
The rule of law merupakan suatu topik diskusi internasional, sejalan dengan
gerakan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Dengan demikian,
sulitlah untuk saat ini, dalam perkembangan konsep the rule of law dan
dalam perkembangan konsep rechtsstaat untuk mencoba menarik
perbedaan yang hakiki antara kedua konsep tersebut, lebih-lebih lagi dengan
mengingat bahwa dalam rangka perlindungan terhadap hak-hak dasar yang
selalu dikaitkan dengan konsep the rule of law, Inggris bersama rekanrekannya dari Eropa daratan ikut bersama-sama menandatangani dan
melaksanakan The European Convention of Human Rights.
Dengan demikian, lebih tepat apabila dikatakan bahwa konsep negara
hukum Indonesia yang terdapat dalam UUD 1945 merupakan campuran
antara konsep negara hukum tradisi Eropa Continental yang terkenal dengan
rechtsstaat dengan tradisi hukum Anglo Saxon yang terkenal dengan the rule
of law. Bahkan lebih dari itu Rene David & John E.C. Brierley[25],
menyatakan: “To a certain extent Indonesia, colonised by The Dutch, belongs
to the Romano-Germanic family. Here, however, Romano-Germanic concepts
combine with Muslim and customary law (adat law) in such a way that it is
appropriate to consider that the system is mixed also”. Hal ini sejalan
dengan pemikiran Yusril Ihza Mahendra[26] yang antara lain berpendapat
bahwa kebijakan pemerintah Indonesia dalam merumuskan kaidah-kaidah
hukum nasional, atau dalam semua hukum yang diciptakan, menjadikan
empat hal sebagai sumber hukum, yaitu hukum adat, hukum Islam, hukum
eks kolonial yang sudah diterima oleh masyarakat dan konvensi-konvensi
internasional yang berlaku. Hal ini sesuai dengan fungsi negara dalam
menciptakan hukum yakni mentransformasikan nilai-nilai dan kesadaran
hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakatnya. Mekanisme ini
merupakan penciptaan hukum yang demokratis dan tentu saja tidak
mungkin bagi negara untuk menciptakan hukum yang bertentangan dengan
kesadaran hukum rakyatnya. Oleh karena itu kesadaran hukum rakyat itulah
yang diangkat, yang direfleksikan dan ditransformasikan ke dalam bentuk
kaidah-kaidah hukum nasional yang baru.
Apabila dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 naskah asli, tidak
secara eksplisit terdapat pernyataan bahwa Indonesia adalah negara hukum,
lain halnya dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS). Dalam KRIS
dinyatakan secara tegas dalam kalimat terakhir dari bagian Mukadimah dan
juga dalam Pasal 1 ayat (1) bahwa Indonesia adalah negara hukum. Adapun
isi Mukadimah Konstitusi RIS adalah sebagai berikut:
MUKADIMAH
“Kami bangsa Indonesia semenjak berpuluh-puluh tahun lamanya bersatu
padu dalam memperjuangkan kemerdekaan, dengan senantiasa berhati
teguh berniat menduduki hak hidup sebagai bangsa yang merdeka

berdaulat.
Kini dengan berkat dan rakhmat Tuhan telah sampai kepada tingkatan
sejarah yang berbahagia dan luhur.
Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu Piagam
negara yang berbentuk republik federasi, berdasarkan pengakuan Ketuhanan
Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan
Sosial.
Untuk mewujudkan kebahagiaan kesejahteraan perdamaian dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia Merdeka yang
berdaulat sempurna”.
Hal itu kemudian dipertegas lagi dalam Pasal 1 ayat (1) KRIS yang
menyatakan “Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah
suatu negara hukum yang Demokrasi dan berbentuk federasi”. Dengan
demikian tidak perlu diragukan lagi bahwa secara eksplisit negara RIS
dinyatakan sebagai negara hukum. Sedangkan dalam Undang-Undang Dasar
Sementara 1950 (UUDS 1950), penegasan bahwa Indonesia adalah negara
hukum dapat dibaca dalam kalimat terakhir bagian Mukadimah dan dalam
Pasal 1 ayat (1) UUDS 1950 sebagai berikut:
MUKADIMAH
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak
sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada
saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan Rakyat
Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Dengan berkat dan rahmat Tuhan tercapailah tingkatan sejarah yang
berbahagia dan luhur.
Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu piagam
Negara yang berbentuk republik kesatuan, berdasarkan pengakuan ke
Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan
keadilan sosial, untuk mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian
dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia merdeka
yang berdaulat sempurna.
Kemudian rumusan negara hukum ini dipertegas lagi di dalam Pasal 1 ayat
(1) UUDS 1950 yang menyatakan: Republik Indonesia yang merdeka dan

berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk
kesatuan.
Dalam UUD 1945 setelah diadakan perubahan, konsepsi negara hukum yang
awalnya berada dalam Penjelasan UUD 1945, dimasukkan ke dalam Pasal 1
ayat (3) dengan perumusan “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Dengan demikian jelas bahwa baik konstitusi RIS 1949, UUDS 1950 maupun
UUD 1945 yang telah diubah, ketiganya merumuskan secara harfiah dan
tegas bahwa Indonesia adalah negara hukum, yang mana hal ini berbeda
dengan UUD 1945 naskah asli.
Meskipun pernyataan tentang sistem negara hukum yang terdapat dalam
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 setelah perubahan tersebut hanya diuraikan
secara singkat dan tidak ada tambahan penjelasan, namun makna dan
implikasinya sangat luas dan jelas. Agar dapat lebih dimengerti, hendaknya
dibaca pula isi Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan: “Kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Dari dua
pasal tersebut dapat ditegaskan bahwa Negara Indonesia menganut prinsip
demokrasi konstitusional (Constitutional Democracy)”[27] yang pada
pokoknya tidak lain adalah dari prinsip negara demokrasi yang berdasar atas
hukum sebagai sisi lain dari mata uang yang sama dengan prinsip negara
hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) yang sama-sama
dianut dalam UUD 1945. Berkaitan dengan hal tersebut Jimly Asshiddiqie[28]
menyatakan bahwa prinsip kedaulatan rakyat (democratie) dan kedaulatan
hukum (nomocratie) hendaklah diselenggarakan secara beriringan sebagai
dua sisi dari mata uang yang sama. Untuk itu, Undang-Undang Dasar 1945.
menganut pengertian bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara
hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) dan sekaligus adalah
negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy)
yang tidak terpisahkan satu sama lain.
Kedaulatan rakyat (democratie) di Indonesia itu diselenggarakan secara
langsung dan melalui sistem perwakilan. Secara langsung, kedaulatan rakyat
itu diwujudkan dalam tiga cabang kekuasaan yang tercermin dalam Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Daerah; Presiden dan Wakil Presiden; dan Kekuasaan
Kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Dalam menentukan kebijakan pokok pemerintahan dan mengatur ketentuanketentuan hukum berupa Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang (fungsi
legislasi), serta dalam menjalankan fungsi pengawasan (fungsi kontrol)
terhadap jalannya pemerintahan, pelembagaan kedaulatan rakyat itu
disalurkan melalui sistem perwakilan, yaitu melalui Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Di daerahdaerah provinsi dan kabupaten/kota, pelembagaan kedaulatan rakyat itu
juga disalurkan melalui sistem perwakilan, yaitu melalui Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.

Penyaluran kedaulatan rakyat secara langsung (direct democracy) dilakukan
melalui pemilihan umum untuk memilih anggota lembaga perwakilan dan
memilih presiden dan wakil presiden, gubernur dan bupati/walikota. Di
samping itu, kedaulatan rakyat dapat disalurkan setiap waktu melalui
pelaksanaan hak atas kebebasan berpendapat, hak atas kebebasan pers,
hak atas kebebasan informasi, dan hak atas kebebasan berorganisasi dan
berserikat serta hak-hak asasi lainnya yang dijamin dalam Undang-Undang
Dasar. Namun, prinsip kedaulatan rakyat yang bersifat langsung itu
hendaklah dilakukan melalui saluran-saluran yang sah sesuai dengan
prosedur demokrasi (procedural democracy). Sudah seharusnya lembaga
perwakilan rakyat dan lembaga perwakilan daerah diberdayakan fungsinya
dan pelembagaannya, sehingga dapat memperkuat sistem demokrasi yang
berdasar atas hukum (demokrasi konstitusional) dan prinsip negara hukum
yang demokratis tersebut.
Bersamaan dengan itu, negara Indonesia juga disebut sebagai negara
hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (matchtsstaat), dan
pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar), bukan
absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Sebagai konsekwensi dari
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 perubahan, ada 3 (tiga) prinsip dasar yang wajib
dijunjung oleh setiap warga negara yaitu supremasi hukum, kesetaraan
dihadapan hukum, dan penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak
bertentangan dengan hukum. Dengan demikian dalam Negara Hukum
Indonesia di dalamnya terkandung pengertian adanya pengakuan terhadap
prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan
pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam
Undang-Undang Dasar, adanya jaminan hak asasi manusia dalam UndangUndang Dasar, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak
yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta
menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan
wewenang oleh pihak yang berkuasa. Dalam paham negara hukum yang
demikian itu, pada hakikatnya hukum itu sendirilah yang menjadi penentu
segalanya sesuai dengan prinsip nomokrasi (nomocracy) dan doktrin “the
rule of law, and not of man”. Dalam kerangka “the rule of law” itu, diyakini
adanya pengakuan bahwa hukum itu mempunyai kedudukan tertinggi
(supremacy of law), adanya persamaan dalam hukum dan pemerintahan
(equality before The law), dan berlakunya asas legalitas dalam segala
bentuknya dalam kenyataan praktek (due process of law).
Namun demikian, harus ada pula jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun
dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi, karena prinsip supremasi
hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri pada pokoknya berasal dari
kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, prinsip negara hukum hendaklah
dibangun dan dikembangkan menurut prinsip-prinsip demokrasi atau
kedaulatan rakyat (democratische rechtsstaat). Hukum tidak boleh dibuat,

ditetapkan, ditafsirkan dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan
kekuasaan belaka (machtsstaat). Prinsip negara hukum tidak boleh
ditegakkan dengan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi yang diatur
dalam Undang-Undang Dasar. Puncak kekuasaan hukum itu diletakkan pada
konstitusi yang pada hakikatnya merupakan dokumen kesepakatan tentang
sistem kenegaraan tertinggi.
Dengan demikian, merupakan suatu keharusan bahwa semua warga negara,
tanpa melihat kedudukannya, mengerti bahwa substansi dari negara hukum
adalah dianutnya paham supremasi hukum yang dalam bahasa populernya
disebut sebagai the Rule of Law. Berkait dengan democratische rechtsstaat
ini pendapat dari Padmo Wahjono (dalam Hendro Nurtjahjo,2004:83-84)
sangat menarik untuk dikemukakan. Ia menyatakan, bahwa dalam
perkembangan teori kenegaraan, pada pengertian reachtsstaat sering
dikaitkan dengan pengertian demokratis. Sehingga merupakan sesuatu yang
ideal dalam bernegara, ialah pola “Negara Hukum yang Demokratis”
( Democratische rechtsstaat). Rumusan itu pernah dipakai dalam Konstitusi
RIS dan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950, yang mana rumusan
tersebut lazim didunia barat dalam suatu sistem Parlementer. Adapun inti
perumusan ini, ialah bahwa Hukum yang berlaku dalam suatu Negara
Hukum, haruslah yang terumus secara demokratis, yaitu yang memang
dikehendaki oleh rakyat. Dalam sejarah kenegaraan menunjukkan, bahwa
apabila kekuasaan tertinggi semata-mata berada pada rakyat tanpa ada
suatu pembatasan, memungkinkan timbulnya absolute democratie, yang
tidak berbeda sifatnya dengan kekuasaan tidak terbatas pada satu orang
(diktatur), maupun pada sekelompok orang (diktatur proletariaat). Menurut
Padmo Wahjono, rumusan mengenai hal ini dapat dipahami dalam kalimat
terakhir alenia ke empat pembukaan UUD 1945 yang menyatakan : “….yang
terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan Rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam persmusyawaratan
perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia”. Selanjutnya ia menyatakan, bahwa sila-sila dari Pancasila
membatasi kemungkinan timbulnya demokrasi yang absolute, dan jaminan
itu lebih tegas dari pada rumusan: “Negara Hukum yang Demokratis“
ataupun sebaliknya ”Negara Demokrasi yang dibatasi oleh pola negara
Hukum”, karena pandangan bernegara tidak nampak dalam rumusan
tersebut.
Di Indonesia, prinsip rechtsstaat atau negara hukum yang memberlakukan
prinsip rule of law dan mengarah pada suatu welfare staat, diterima dengan
penyesuaian tertentu, yang mana prinsip negara hukum sebagai penjaga
malam atau nachtwakerstaat tidak bisa diterima oleh bangsa Indonesia.
Terkait dengan kedua konsep di atas, maka konsep “Negara Hukum

Pancasila” hakikatnya memiliki elemen yang terkandung dalam konsep
Rechtsstaat dan Rule of Law. Perbedaan prinsipiilnya terletak pada landasan
filosofi kenegaraan, bahwa Negara Hukum Pancasila berbasis pada filsafat
Pancasila[29] bukan pada filsafat liberalistik. Pancasila sebagai ideologi
nasional memberikan ketentuan dasar sebagai landasan sistem hukum
Indonesia, termasuk landasan negara hukum. Kenyataan tersebut secara
utuh dapat dipahami pada Pembukaan, Batang Tubuh maupun penjelasan
UUD 1945 (sebelum perubahan) maupun Pembukaan dan pasal-pasal UUD
1945 sesudah dilakukan perubahan UUD 1945.
Sebelum UUD 1945 diubah, penjelasannya memuat tentang Negara Hukum
RI khususnya berkaitan Sistem Pemerintahan Negara RI sebagai berikut
1. Indonesia negara berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan
atas kekuasaan belaka (Machtsstaat).
2. Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak
bersifat absolutisme, (kekuasaan yang tidak terbatas).
3. Kedaulatan Rakyat dipegang oleh suatu badan, Majelis Permusyawaratan
Rakyat, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia.
4. Presiden ialah penyelenggara Pemerintah negara yang tertinggi dibawah
Majelis
5. Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
6. Menteri Negara ialah pembantu Presiden; Menteri Negara tidak
bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Berkait dengan sistem pemerintahan, Mohammad Noor Syam menyatakan,
bahwa: “sistem pemerintahan negara ini mencerminkan tatanan negara
hukum dan tatanan Demokrasi Pancasila, dan dilaksanakan oleh
kelembagaan negara”: Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 setelah
perubahan, disebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.
Selanjutnya, dengan negara hukum ini, Mohammad Noor Syam[30]
menyatakan bahwa negara sebagai rumah tangga bangsa, lebih-lebih
dengan predikat negara hukum, mengemban kewajiban untuk menegakkan
hukum demi keadilan bagi setiap manusia warganegara dan penduduk;
bahkan juga demi kemerdekaan manusia. Prinsip keadilan dan kemerdekaan
ini diajarkan para pemikir filsafat hukum, yang antara lain menyatakan: “The
ideal of moral good is represented by an ideal human being; The ideal of
justice is represented by an ideal social order”. Pada bagian lain

dikemukakan: “Universally valid elements of the idea of the law area justice
and legal certainty”[31]
Keadilan sebagai cita hukum hanya dapat ditegakkan oleh dan di dalam
negara; karena negara mempunyai kewenangan atas nama seluruh rakyat,
warga negara. Negara yang dapat menegakkan hukum hanyalah negara
hukum (Rechtsstaat), demikian dikemukakan Friedmann[32] “The law must
realize justice and the state must be a rechstsstaat”.
Pada hakikatnya tegaknya hukum dan keadilan ini ialah wujud kesejahteraan
manusia (warga masyarakat) lahir dan batin, sosial dan moral. Kesejahteraan
rakyat lahir batin, terutama terjaminnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat;
yaitu sandang, pangan, papan, rasakeamanan dan keadilan, serta kebebasan
beragama/kepercayaan. Cita-cita keadilan sosial ini dilaksanakan
(diupayakan) berdasarkan UUD dan hukum perundangan yang berlaku dan
ditegakkan secara melembaga berdasarkan UUD 1945.
Negara RI sebagai negara hukum, mengakui bahwa kewajiban untuk
menjamin dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat bukanlah
tanggungjawab lembaga hukum semata-mata, melainkan tanggungjawab
kelembagaan dan kepemimpinan atas nama kedaulatan rakyat. Hal itu
merupakan tanggung jawab semua warga negara; artinya oleh dan untuk
rakyat Indonesia sebagai manusia Indonesia, sebagaimana ditetapkan oleh
filsafat negara Pancasila dan UUD 1945. Wujud tanggung jawab rakyat warga
negara menegakkan keadilan itu ialah kualitas kesadaran hukum masyarakat
yang nampak dalam tertib sosial atau disiplin nasional.
Adapun menurut Hadjon[33], elemen-elemen penting negara hukum
Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah sebagai berikut :
1. keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat
berdasarkan kerukunan;
2. hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan
negara;
3. prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan
merupakan sarana terakhir jika musyawarah gagal; dan
4. keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Berdasarkan elemen-elemen tersebut, hendaknya upaya perlindungan
hukum bagi masyarakat diarahkan pada:

1. upaya mencegah terjadinya sengketa atau mengurangi terjadinya
sengketa sehingga sarana perlindungan hukum yang preventif perlu lebih
diutamakan dari pada perlindungan hukum yang represif,
2. upaya menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan rakyat secara
musyawarah dan penuh kekeluargaan, dan
3. penyelesaian sengketa melalui peradilan merupakan jalan terakhir dan
bukan forum konfrontasi sehingga dalam peradilan tercermin suasana damai
dan tenteram melalui hukum acaranya.

Pengertian Negara Hukum dalam konteks Negara Hukum Indonesia [34]
menurut penulis dapat dilihat dari sudut pandang asas religiusitas, asas
kolektifitas dan asas pengayoman. Asas religiusitas nampak bahwa negara
Indonesia terbentuk bukan karena “perjanjian bermasyarakat”dari status
“naturalis”ke status “civil” dengan perlindungan terhadap “civil right”,
melainkan atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dengan keinginan
luhur untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas. Konstruksi tersebut
merupakan cerminan luhur asas kolektifitas yang melahirkan kesepakatan
satu tujuan (gesamtakt) untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas dalam
arti “merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur” dan pembinaan akhlak
luhur berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun tujuan hukum
berdasarkan cita hukum Pancasila adalah untuk memberikan pengayoman
kepada manusia, yaitu melindungi manusia secara pasif (negatif) dengan
mencegah tindakan sewenang-wenang, dan secara aktif (positif) dengan
menciptakan kondisi kemasyarakatan yang manusiawi yang memungkinkan
proses kemasyarakatan berlangsung secara wajar sehingga secara adil tiap
manusia memperoleh kesempatan yang luas dan sama untuk
mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya secara utuh[35]. Dalam
rumusan tersebut termasuk juga tujuan untuk memelihara dan
mengembangkan budi pekerti kemanusiaan serta cita-cita moral rakyat yang
luhur berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Adapun pelaksanaan pengayoman dilakukan dengan usaha mewujudkan:
1. Ketertiban dan keteraturan yang memunculkan prediktabilitas.
2. Kedamaian yang berketentraman
3. Keadilan (distributif, komutatif, vindikatif, protektif)

Terhadap cara pandang berdasarkan asas kolektifitas tersebut, Mohammad
Tahir Azhary[36] menambahkan “asas kerukunan”, sehingga berdasarkan
kedua asas dimaksud “Bangsa dan Negara Indonesia merupakan satu
persatuan dan kesatuan dengan semangat kekeluargaan dan kerukunan
hidup”.
Apabila Moctar Kusumaatmadja mengambil titik pangkal pemahaman negara
hukum Pancasila berdasarkan “asas pengayoman” yang dikandung UUD
1945, dan ditambahkan dengan “asas kerukunan”oleh Mohammad Tahir
Azhary, lain halnya dengan Omar Seno Adji[37], yang mengangkatnya dari
sudut Pancasila sebagai sumber hukum. Berdasarkan fungsi Pancasila
sebagai sumber hukum tersebut maka negara hukum Indonesia dapat
dinamakan “Negara Hukum Pancasila”.
Selain itu layak pula dikemukakan pendapat Soejadi[38], tentang Pancasila
Sebagai Sumber Tertib Hukum Indonesia, antara lain:
Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila ditransformasikan dalam
cita hukum serta asas-asas hukum, yang selanjutnya dirumuskan dalam
konsep Hukum Nasional Indonesia. Dengan demikian dapat diperoleh
pemahaman bahwa Hukum Nasional Indonesia mengandung corak, tidak
menganut positivisme hukum, menolak faham legisme dan sekuleristik,
mewujudkan nilai keadilan, dan melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia.

Dari pengertian mengenai unsur-unsur negara hukum yang telah
dikemukakan di atas, apabila dihubungkan dengan negara hukum Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, maka dapat ditemukan unsurunsur negara hukum, yaitu:
1. keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan
kerukunan;
2. adanya pengakuan mengenai adanya keseimbangan terhadap jaminan
hak-hak serta kewajiban asasi manusia dan warga negara;
3. adanya pembagian kekuasaan;
4. dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, pemerintah harus selalu
berdasar atas hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis;
5. adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya
bersifat merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah

maupun kekuasaan lainnya;
6. penyelesaian sengketa diusahakan secara musyawarah dan peradilan
merupakan jalan terakhir jika musyawarah gagal;
7. terjaminnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat; sandang, pangan, papan,
rasa keamanan, keadilan serta kebebasan beragama/ kepercayaan.
8. penyelenggaraan prinsip kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum secara
beriringan.
Sehubungan dengan pendapat di atas, maka menurut hemat penulis, adalah
menjadi tantangan para ilmuwan hukum (cendekiawan) Indonesia untuk
menjabarkan nilai-nilai Pancasila ke dalam konsep-konsep (teori) hukum
nasional yang lebih aplikatif. Sehingga dapat dibentuk tatanan sistem hukum
nasional yang konstan menampilkan Paradigma Negara Hukum Pancasila.
Dengan kata lain, maka ide negara hukum yang demokratis menjadi ide
yang harus diperjuangkan dan diterapkan dalam menegakkan supremasi
hukum di Indonesia.

C. KESIMPULAN
Dengan penyelenggaraan otonomi daerah, kedelapan unsur makro negara
hukum Indonesia di atas, tentunya masih dapat dipertajam dengan unsur
“adanya peran dan fungsi strategis Peraturan Daerah sebagai instrumen
yuridis penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk mewujudkan tujuan
negara hukum Indonesia”. Sebagai bagian dari peraturan perundangundangan di Indonesia, maka eksistensi Peraturan Daerah bagi Pemerintah
Provinsi, Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota di Indonesia, menjadi
instrumen yuridis cukup fundamental dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Hal ini dikarenakan, Peraturan Daerah bukan saja merefleksikan
keotonomian daerah dalam mengatur urusan rumah tangganya sendiri,
tetapi juga menunjukkan adanya kewenangan lembaga pembentuk hukum
(Peraturan Daerah) di Daerah yang secara hierarkis tidak memiliki hubungan
sub ordinat dengan lembaga pembentuk hukum (undang-undang) di tingkat
pusat. Berdasarkan unsur ini, menurut penulis, dapat dikembangkan
kekhususan peran dan fungsi aktif Peraturan Daerah dalam sistem hukum
nasional :
a. merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang
materi muatannya terfokus pada subjek, objek, kewenangan, dan urusan
rumah tangga daerah di wilayah hukum (yurisdiksi) Pemerintah Daerah bagi
pencapaian tujuan nasional,

b. sekalipun Peraturan Daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota tidak dapat
diberlakukan di Daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota lainnya, akan tetapi
sebagai bagian integral dari sistem hukum nasional, peran dan fungsi
Peraturan Daerah tidaklah bersifat superior terhadap peraturan perundangundangan tingkat atasan dan kepentingan nasional yang menjadi ramburambu perukunannya (larangan, keharusan, keserasian, keselarasan, dan
keseimbangannya). Tegasnya, keserasian hubungan antara Pemerintah Pusat
dengan Pemerintah Daerah (antar Pemerintah Daerah) dan segenap rakyat
di Daerah tetap terpelihara sebaik-baiknya,
c. prinsip-prinsip negara hukum Indonesia yang telah mengakomodasi secara
komprehensif jaminan dan perlindungan hak asasi manusia berdasarkan
perubahan Pasal 28 A,B,C,D,E,F,G,H,I,J Undang-Undang Dasar 1945 dan UU
No. 39 Th. 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dengan sendirinya menjadi
acuan (rambu-rambu) fundamental bagi pembentukan, pelaksanaan dan
penegakan Peraturan Daerah, dengan tujuan memberdayakan kehidupan,
kesejahteraan dan keadilan warga masyarakat di daerah sebagai warga
negara dan rakyat Indonesia.
d. konsekuensinya, di setiap wilayah hukum (yurisdiksi) daerah otonom
berproses penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kedaulatan
hukum, kedaulatan rakyat, asas desentrasilasi, dekonsentrasi, dan tugas
pembantuan dalam upaya mencapai tujuan nasional sebagaimana
termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, dan
e. dengan demikian, kewenangan Kepala Daerah dan DPRD dalam
membentuk, melaksanakan dan menegakkan Peraturan Daerah haruslah
signifikan dengan prinsip-prinsip negara hukum Indonesia berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945. Hal ini membawa konsekuensi bahwa aspek
pengawasan preventif dan represif terhadap Peraturan Daerah serta
keberlanjutannya melalui upaya judicial review ke Mahkamah Agung
merupakan standar baku (par exellence) tata laksana kehidupan negara
hukum Indonesia, dengan menempatkan supremasi hukum di atas
kekuasaan negara, daerah otonom, perseorangan, kelompok, suku, agama,
ras dan antar golongan (SARA).

DAFTAR PUSTAKA
Abdulgani Roeslan, 1964, Hukum Dalam Revolusi dan Revolusi Dalam
Hukum, BP. Prapanca. Jakarta.
Adji Oemar Seno, 1980, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta

Arief Sidharta Bernard, 1999, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah
Penelitian tentang fundasi kefilsafatan dan sifat keilmuan Ilmu Hukum
sebagai landasan pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia. Mandar
Madju, Bandung
Asshiddiqie Jimly 1, 2002, Judicial Review & Matinya TGPTPK, Diktum, Jurnal
Kajian Putusan Pengadilan, LeIP, edisi 1
_______________2, 2002, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan
Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia. Jakarta.
_______________3,2003, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan
keempat UUD 1945, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Kehakiman dan Hak Asasi Manu