Paradoks Globalisasi Ketimpangan di Teng (1)

Paradoks Globalisasi : Ketimpangan di Tengah Pertumbuhan Pesat
Ekonomi di Chile
Alfionita Rizky Perdana
Departemen Hubungan Internasional
Universitas Airlangga

ABSTRACT

Globalization is seen as the cause of increasing economic growth in many countries. Country
which adopts economic globalization values such as free trade is also seen as a success story
in reducing poverty and creating equality among its society. However based on the facts,
these are not always true. In many countries, economic globalization cannot bring prosperity
to each person. Inequality still can be found ; the rich people control most capital, access to
public service, and get higher salary than those poor people. This is also happened in Chile
where economic growth keeps growing higher since the neoliberalism globalization took
place in 1974. Even though they have reached a good economic growth each year, but
inequality still exists. Based on this fact, in this paper the writer will explain that
globalization may increase economic growth but it does not mean that globalization
eradicates inequality. In this paper the writer will use the arguments proposed by scholars
such as Robert Wade, David Harvey, Branko Milanovic, and Kavaljit Singh in which they
opposed that globalization can eradicate inequality.


Keywords: economic globalization, Chile, economic growth, inequality.

Globalisasi dinilai sebagai penyebab partumbuhan ekonomi meningkat pesat di banyak
negara. Seringkali pula negara-negara yang terlibat dalam globalisasi ekonomi misalnya
dalam dinilai mampu menurunkan angka kemiskinan dan menciptakan masyarakat yang
sejahtera. Akan tetapi, pada faktanya tidak selalu demikian. Di banyak negara yang terjadi
justru globalisasi ekonomi tidak membawa kesejahteraan bagi tiap individu. Ketimpangan
pada kenyataannya masih banyak ditemui terjadi ; golongan kaya menguasai kapital, akses
pelayanan, dan perolehan gaji yang lebih besar dibanding golongan miskin. Seperti yang
terjadi di Chile, pertumbuhan ekonomi negara ini mengalami peningkatan sejak globalisasi

1

Alfionita Rizky Perdana

ekonomi tahun 1974. Meski demikian, ketimpangan di Chile juga masih dapat ditemui. Pada
paper ini penulis akan menjelaskan bahwa globalisasi tidak menghilangkan ketidaksetaraan
di tengah pertumbuhan ekonomi yang berhasil diraih suatu negara. Di dalam
membuktikannya penulis akan merujuk pada penggunaan argumen-argumen ilmuwan seperti

Robert Wade, David Harvey, Branko Milanovic, dan Kavaljit Singh yang keempatnya
menolak pandangan globalisasi menciptakan pemerataan di suatu negara.

Kata-Kata Kunci: globalisasi ekonomi, Chile, pertumbuhan ekonomi, ketimpangan.

Globalisasi secara sederhana didefinisikan oleh Baylis & Smith (2001, 7) sebagai sebuah
proses peningkatan keterhubungan antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya di
belahan bumi lain. Globalisasi menyebabkan ruang dan waktu menjadi menyempit. Akibat
penyempitan ini, maka akan terjadi keterhubungan antarmasyarakat. Dengan adanya
keterhubungan antarmasyarakat di belahan bumi mana pun, akan ada kemudahan yang
diterima oleh masyarakat maupun negara dan aktor-aktor lainnya. Termasuk dalam bidang
ekonomi, globalisasi dipandang oleh masyarakat dapat membawa manfaat. Tetapi juga tidak
jarang ada yang memandang jika globalisasi sebenarnya tidak membawa keuntungan bagi
masyarakat atau negara.

Globalisasi ekonomi dapat dikarakterkan dengan adanya liberalisasi perekonomian suatu
negara dan beriringan dengan prinsip neoliberalisme. Ini dapat dilihat dari upaya negara
untuk terintegrasi dalam perdagangan internasional dan meliberalisasi finansial serta catatan
modalnya (Singh 2005, 24). Ada beberapa kisah sukses negara-negara di dunia yang berhasil
mencapai kemakmuran ekonomi setelah meliberalisasi ekonominya, seperti Tiongkok dan

India di tahun 1970-1980-an (Wolf 2005, 141-3). Melihat fenomena kesuksesan tersebut,
seringkali ada asumsi-asumsi yang menyatakan bahwa globalisasi berkontrbusi pada
peningkatan pertumbuhan ekonomi dan berperan dalam pemerataan ekonomi. Akan tetapi,
ada pula yang menilai sebaliknya. Perhitungannya, jika Tiongkok tidak dikutsertakan dalam
penghitungan angka kemiskinan dan pemerataan ekonomi di tingkat global tahun 2001 maka
terjadi peningkatan angka kemiskinan dari tahun 1981 sebesar 2,4 juta menjadi 2,7 juta
(Ravallion 2004, dalam Wade 2006, 109). Sehingga, jika ditarik ke masing-masing negara,
maka fakta tersebut benar adanya. Seperti yang terjadi di Chile, negara ini adalah salah satu
negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi di dunia stabil di Amerika Latin
(Contreras 2007). Akan tetapi, di Chile ada ketimpangan ekonomi tercipta di tengah
2

Paradoks Globalisasi : Ketimpangan di Tengah Pertumbuhan Pesat Ekonomi di Chile

pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut. Tingkat upah di masyarakat belum sepenuhnya
merata, setidaknya 9 dari 10 tenaga kerja di Chile mendapat gaji di bawah rata-rata minimum
gaji yang seharusnya di negara-negara maju (Durán 2011, dalam Council on Hemispheric
Affairs 2011).

Para ilmuwan telah banyak berargumen mengenai kaitan globalisasi dengan pertumbuhan dan

ketimpangan ekonomi. Salah satunya adalah Kavaljit Singh (2005) yang mengatakan bahwa
globalisasi telah menyebabkan adanya ketimpangan ekonomi di antara negara-negara.
Pendapat ini juga didukung oleh ilmuwan lainnya yaitu Branko Milanovic (2007) yang
menyatakan bahwa globalisasi belum sepenuhnya menciptakan pemerataan ekonomi di
seluruh dunia. Begitu pula dengan Robert Wade (2006) yang menyatakan bahwa dalam
implementasinya, pertumbuhan ekonomi dan perkembangan pasar bebas tidak berjalan secara
seimbang. Sementara itu David Harvey (2007) berpandangan bahwa neoliberalisme tidak
menciptakan pemerataan ekonomi dan selain itu pertumbuhan ekonomi di tingkat global
justru menurun. Sehingga, penulis akan membuktikan bahwa globalisasi memang dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara tetapi tidak menghilangkan ketimpangan
di suatu negara dan tingkat internasional. Penulis akan mengambil contoh kasus bagaimana
Chile yang sejak tahun 1974 mengalami globalisasi ekonomi, memang mengalami
pertumbuhan ekonomi yang signifikan, tetapi permasalahan muncul karena masih ada
ketimpangan di sana.

Perekonomian Chile Sebelum Globalisasi Ekonomi

Sebelum dikenal sebagai negara paling stabil perekonomiannya di Amerika Latin, Chile
menjadi negara yang menerapkan sistem Sosialisme. Seperti halnya negara-negara Amerika
Latin lainnya, Chile menerapkan strategi import substitution industry (ISI) sepanjang tahun

1960-an (Hourton 2012, 3). Dengan cara ini, pemerintah menggerakkan perindustrian dalam
negeri untuk berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Konsepsi kemandirian
dilakukan untuk memutus ketergantungan Chile dengan negara-negara maju lainnya. Meski
Chile tergolong sebagai negara dengan perekonomian yang masih rendah, namun negara ini
terbilang berani dalam menerapkan proteksionisme (Buc 2006, 2). Akan tetapi, ketika
memasuki tahun 1973, pemerintahan Salvador Allende mulai mengalami instabilitas
perekonomian domestik. Tingkat inflasi di Chile mencapai 286 persen di tahun 1973 (Buc
2006, 2). Harga-harga mulai mengalami kenaikan sehingga diilustrasikan sebuah keluarga
3

Alfionita Rizky Perdana

yang dahulu mampu membeli 5 galon susu kini hanya mampu membeli 1 galon susu (Buc
2006, 2). Ini diakibatkan oleh mahalnya harga Dollar di Chile, sehingga menyebabkan hargaharga di Chile menjadi naik (Buc 2006, 2). Dengan harga Dollar AS yang mahal, maka pasar
gelap di Chile pun ikut menjadi berkembang. Pemerintah pun mengontrol ketat harga-harga
di pasaran sehingga ini berakibat pada kelangkaan barang-barang kebutuhan masyarakat di
pasar (Buc 2006, 2). Kelangkaan ini juga berkaitan dengan harga Dollar AS yang mahal di
Chile. Mengetahui adanya kenaikan nilai tukar Dollar yang tinggi, masyarakat kemudian
menjadi panik dan berbondong-bondong untuk membeli barang-barang kebutuhannya
(Schatan 2001, 60).


Salah satu fitur penting dalam perekonomian Chile sebelum adanya globalisasi ekonomi
adalah pemberian social safety kepada masyarakat sebagai bentuk implementasi komitmen
sosialisme (Schatan 2001, 58). Sebagai negara yang menerapkan sistem sosialisme maka
Chile berkewajiban untuk menyediakan social safety kepada masyarakat mereka. Dapat
dikatakan jika kehidupan masyarakat Chile saat itu berjalan stabil sebelum terjadinya
instabilitas di tahun 1970-an tersebut. Untuk melakukan pembiayaan social safety bagi
masyarakat Chile ini, salah satu sumbernya adalah melalui pencetakan uang (Buc 2006, 2).
Pencetakan uang berlebih ini nantinya akan menyebabkan terjadinya inflasi berlebih di dalam
negeri.

Globalisasi Ekonomi dalam Kebijakan dan Strategi Pemerintah Chile Sesudah Tahun
1974

Seiring dengan keruntuhan pemerintahan Allende di Chile tahun 1973, di tahun berikutnya
Chile dikuasai oleh junta militer (Schatan 2001, 57). Junta militer yang dikomandoi oleh
Jenderal Augusto Pinochet mendapat dukungan dari pihak CIA dan pemerintah Amerika
Serikat (AS) saat itu. Sebagai umpan balik atas kejatuhan Allende, maka CIA dan pemerintah
AS bersedia untuk mempersiapkan rancangan program ekonomi yang akan menjadi
keputusan pemerintahan berkuasa di Chile saat itu, yakni junta militer Pinochet (Schatan

2001, 57). Beberapa langkah diambil oleh pemerintahan berkuasa saat itu berdasar preskripsi
yang diberikan AS seperti pembukaan pasar dan penerapan pasar bebas, pengaturan suplai
uang untuk mengatasi inflasi, privatisasi perusahaan-perusahaan pemerintah, dan juga
termasuk mencabut social safety yang diberikan pemerintah Chile kepada masyarakat di sana
(Schatan 2001, 61-2).
4

Paradoks Globalisasi : Ketimpangan di Tengah Pertumbuhan Pesat Ekonomi di Chile

Harga-harga produk di pasar mulai dibebaskan ke pasar. Karena pasar dianggap sebagai
pihak yang tepat dalam menentukannya (Schatan 2001, 62). Ini berbeda dibanding
pemerintahan di Chile sebelumnya yang mengontrol ketat harga-harga di pasar sehingga
tidak ada perubahan harga barang-barang (Schatan 2001, 61). Berikutnya, kebijakan
neoliberalisme yang diterapkan oleh pemerintah Chile adalah melakukan privatisasi
perusahaan-perusahaan milik negara. Caranya adalah dengan menjadikan petinggi-petinggi
perusahaan negara tersebut sebagai pemilik penuh perusahaan. Sebelumnya, perusahaan
negara dikelola oleh orang-orang yang berasal dari kalangan sipil, pemerintahan, maupun
anggota militer yang kepemilikannya diatasnamakan kepada negara (Schatan 2001, 61-2).
Akan tetapi, dengan kebijakan pemerintahan baru di Chile ini, maka kepemilikan perusahaan
negara menjadi sepenuhnya menggunakan nama personal, bukan lagi atas nama negara.

Privatisasi perusahaan negara di Chile ini juga dilakukan dengan penentuan gaji pegawai
secara bebas sesuai pasar. Begitu pula dengan harga jual produk-produk yang dihasilkan oleh
perusahaan tersebut, sepenuhnya diserahkan pada pasar.

Selain di tingkat domestik, pembaruan juga dilakukan dalam konteks integrasi Chile ke
perdagangan internasional. Sebagai kelanjutan dari kebijakan pasar bebas, Chile kemudian
mengikuti banyak perjanjian perdagangan bebas baik regional maupun tingkat global.
Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Tokman (2010, 3-4) ada sekitar 29 perjanjian
perdagangan bebas baik regional maupun bilateral yang diikuti Chile. Ini menunjukkan
bahwa Chile begitu besar niatnya untuk terintegrasi dalam perdagangan internasional.
Keadaan ini juga dilatarbelakangi kebutuhan Chile untuk membuka perekonomiannya agar
dapat menarik investor asing serta lebih memudahkan ekspor produk mereka yang mulai
masif digalakkan. Beberapa langkah lanjutan juga dilakukan seiring dengan adanya
perjanjian perdagangan internasional ini yaitu dengan liberalisasi catatan modal. Penurunan
tarif ekspor dan impor serta halangan dalam perdagangan dihapuskan untuk dapat
meningkatkan pemasukan Chile kembali setelah sebelumnya di masa ISI, Chile menerapkan
proteksionisme yang tinggi dengan tarif sebesar 94 persen untuk impor (Tokman 2010, 2). Di
tahun 1979 pemerintah Chile menurunkan tarif impor menjadi 10 persen (Buc 2006, 4). Ini
merupakan angka terendah pada masa itu. Oleh sebab itu, impor menjadi begitu mudah
dilakukan. Pemerintah Chile di tahun 1990-an juga menerapkan kebijakan baru dalam

perdagangan bebasnya dengan menurunkan tarif dalam perdagangannya yang semula sebesar

5

Alfionita Rizky Perdana

15 persen kemudian menjadi 11 persen dan selanjutnya menjadi hanya 6 persen (Buc 2006,
5).

Pemerintahan junta militer di Chile juga bukan tanpa masalah ketika menjalankan kebijakan
ekonomi bersifat neoliberalismenya ini. Pemerintah menetapkan exchange rate secara tetap
selama beberapa tahun (Schatan 2001, 62). Ini kemudian berakibat pada peningkatan hutang
luar negeri Chile yang besar. Besarnya hutang luar negeri Chile menyebabkan pemerintah
saat itu kemudian meminjam dana ke IMF dan memenuhi persyaratan IMF (Schatan 2001,
62). Beberapa persyaratan yang diajukan oleh IMF sebagai imbal balik atas dana pinjaman ke
Chile di antaranya penghapusan atau liberalisasi foreign exchange dan kontrol impor,
memfasilitasi masuknya investasi luar negeri secara baik, menaikkan suku bunga untuk
mencegah membanjirnya pengajuan kredit dari masyarakat, menaikkan pajak, mencabut
social safety dari masyarakat, kontrol peningkatan gaji masyarakat, dan menghentikan


kontrol harga (Schatan 2001, 62). Kebijakan neoliberalisme semacam ini juga bertujuan
untuk mengendalikan suplai uang berlebih di Chile yang menyebabkan inflasi dan
permasalahan ekonomi di domestik di era pemerintahan sebelumnya. Selain itu, pemerintah
Chile kemudian mengubah kebijakan penerapan nilai tukar yang tetap tersebut untuk
kemudian didevaluasi dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor Chile dan menjaga kualitas
ekspornya serta produk domestik agar mampu bersaing dengan produk-produk impor
(Tokman 2010, 2).

Selain menerapkan kebijakan ekonomi neoliberal, pembaruan strategi dalam perdagangan
internasional, Chile juga melakukan liberalisasi finansial. Kebijakan liberalisasi finansial
yang dilakukan oleh Chile di antaranya mergers and accusations (M&As), privatisasi bankbank milik pemerintah, penghilangan restriksi masuknuya bank asing, dan deregulasi industri
perbankan (Singh 2005, 37-41). Tujuan dari adanya liberalisasi finansial ini adalah untuk
memfasilitasi bisnis dan ekonomi Chile sehingga pembangunan negara ini akan terus
berlanjut. Dengan liberalisasi finansial, implikasi lanjutannya adalah peranan pemerintah
menjadi berkurang dan pasar memegang kendali kuat atas kegiatan bisnis, investasi, dan
perekonomian di Chile.

6

Paradoks Globalisasi : Ketimpangan di Tengah Pertumbuhan Pesat Ekonomi di Chile


Pertumbuhan Ekonomi Chile : Efek Globalisasi ?

Meskipun telah diterapkan kebijakan ekonomi yang baru, namun untuk dapat mencapai
pertumbuhan ekonomi yang baik memerlukan waktu lama sejak diberlakukannya kebijakankebijakan ekonomi tersebut. Sekitar 10 tahun sejak globalisasi ekonomi Chile tahun 1974,
negara ini masih harus mengatasi permasalahan seperti besarnya hutang luar negeri mereka
(Buc 2006, 5). Selain itu, ada krisis yang melanda Chile sehingga PDB mereka kian merosot
meskipun globalisasi ekonomi sudah terjadi. Di kurun waktu ini sebenarnya menggambarkan
titik lemah globalisasi ekonomi yang berpengaruh dalam pertumbuhan ekonominya. Chile
meskipun telah membuka pasarnya dan menerapkan berbagai fitur-fitur globalisasi, pada
kenyataannya negara ini tidak mengalami pertumbuhan ekonomi yang bagus. Investasi asing
belum berani ditanamkan di Chile meskipun negara ini sudah menerapkan kebijakan yang
memfasilitasi investasi tersebut. Keadaan ini seperti yang dikatakan oleh Singh bahwa tidak
selamanya liberalisasi finansial berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara
(Singh 2005, 24).

Selain itu, liberalisasi finansial yang dilakukan di Chile justru berakibat pada adanya krisis
yang dialami oleh Chile di tahun 1980-an (Buc 2006, 2). Krisis ini disebabkan oleh
melonjaknya jumlah pinjaman yang diajukan oleh perusahaan-perusahaan di Chile saat itu.
Industri di Chile tengah berkembang pesat dan untuk memenuhi kebutuhan ekspor, maka
perusahaan pun mengajukan pinjaman ke bank-bank untuk membiayai biaya produksinya.
Akan tetapi, yang terjadi adalah perusahaan-perusahaan ini tidak dapat membayar hutanghutangnya saat jatuh tempo hingga berakibat pada krisis yang meningkatkan inflasi dan
pengangguran tinggi. Krisis di Chile ini hampir sama dengan yang terjadi di Asia Tenggara
tahun 1997 yang juga diakibatkan oleh liberalisasi finansial. Adanya krisis ini kemudian
berimplikasi pada penurunan pertumbuhan ekonomi di Chile selama dua tahun. Krisis juga
kembali terjadi di Chile di tahun 1990-an yang berdampak pada penurunan pertumbuhan
ekonomi dan peningkatan pengangguran (De Gregorio 2004, 4). Sehingga dari sini didapat
gambaran bahwa globalisasi ekonomi bukan tanpa celah karena telah berkontrbusi dalam
penurunan pertumbuhan ekonomi. Globalisasi juga berpotensi membuat pertumbuhan
ekonomi suatu negara bersifat volatil dan rentan. Seperti di Chile, Pertumbuhan ekonomi di
negara ini cenderung rawan dan volatil (Tokman 2010, 16).

7

Alfionita Rizky Perdana

Di periode tahun 1984 hingga 1997, perekonomian Chile mengalami perbaikan dan
bertumbuh sebesar 7,3 persen per tahun dan kemudian bertambah 3 persen menjadi sekitar
7,6 persen di tahun berikutnya (Solimano 2009, 9). Selanjutnya sepanjang tahun 1998 hingga
2005, pertumbuhan ekonomi rata-rata di Chile sebesar 3,5 persen dan di tahun 2011 menurut
Chile’s Central Bank menunjukkan angka peningkatan sebesar 8,4 persen (Council on
Hemispheric Affairs 2011). Namun sayangnya angka sebesar ini disebutkan oleh Durán
(2011, dalam Council on Hemispheric Affairs 2011) 75 persennya dinikmati oleh 10 persen
masyarakat kaya di Chile. Sementara menurut IMF, PDB Chile berdasarkan purchasing
power parity (PPP) di pertengahan 2011 mencapai angka US$ 250 juta dan untuk PDB per

kapita pada waktu yang sama sebesar US$ 15.900 (IMF 2011, dalam Council on Hemispheric
Affairs 2011). Capaian ini menjadi gambaran bahwa pertumbuhan ekonomi di Chile begitu
pesat sejak diberlakukannya kebijakan neoliberalisme di sektor ekonomi. Kemudian untuk
foreign direct investment, di tahun 2012 Chile meraih US$ 26,4 juta (Heine 2013, dalam

Centre for International Governance Innovation 2013). Menelusuri sumber pertumbuhan
ekonomi di Chile juga tidak hanya karena kebijakan neoliberalisme, namun juga obyek atau
komoditas yang dijual oleh Chile dalam perdagangan internasional. Chile merupakan negara
dengan kekayaan alam timah sebagai komoditas ekspor utama mereka yang telah
menyumbang pemasukan bagi Chile. Oleh sebab itu, bagi para ilmuwan, pertumbuhan
ekonomi Chile akan terus meningkat seiring pula dengan ekspor timah ke berbagai negara
(Council on Hemispheric Affairs 2011).

Ketimpangan di Chile di Tengah Globalisasi Ekonomi

Melihat fakta di Chile yang masih mengalami ketimpangan, tentunya peernyataan globalisasi
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menurunkan ketimpangan patut dipertanyakan
kembali. David Harvey (2007, 156) menyatakan satu-satunya capaian terbaik neoliberalisme
adalah reduksi dan kontrol inflasi, tetapi gagal dalam menghapus ketimpangan. Di Chile,
inflasi berhasil dikontrol oleh pemerintah, reduksi tarif dan halangan dalam perdagangan
internasional berhasil diturunkan, namun masih ada permasalahan ketimpangan ditemukan di
negara ini. Selain itu, mengutip penjelasan Harvey (2007, 156), globalisasi yang dinilai
menciptakan ketimpangan dipandang oleh para globalis sebagai sebuah momen untuk
“menyalahkan” mereka yang kalah dalam sistem dan mendesak untuk tetap terjun dalam
usahanya, membiarkan kompetisi di pasar berjalan, maka proses pertumbuhan ekonomi akan
terus berjalan.
8

Paradoks Globalisasi : Ketimpangan di Tengah Pertumbuhan Pesat Ekonomi di Chile

Branko Milanovic (2007, 33) pernah berujar bahwa 20-25 tahun terakhir tren yang muncul
adalah semua negara Amerika Latin menurun dan semakin miskin dalam konteks pendapatan
per kapitanya. Ekonomi terbuka Chile akibat globalisasi memengaruhi perusahaan dalam
negeri kesulitan dalam menjual produk-produk mereka. Kedatangan investor dan perusahaan
asing ke Chile mendorong dihasilkannya produk yang lebih inovatif dan menarik masyarakat
Chile. Akibatnya, produk-produk dalam negeri menjadi tidak kompetitif, dampak lanjutannya
adalah adanya pengangguran tercipta karena perusahaan domestik tidak sanggup lagi
beroperasi. Pemerintah Chile juga tetap memberlakukan impor barang dari luar negeri. Ini
juga menambah tingkat persaingan produk-produk yang dipasarkan di Chile. Produk-produk
impor lebih menarik pembeli dan harganya juga lebih murah dibanding produk keluaran
dalam negeri Chile.

Ketimpangan yang terjadi di Chile juga berlanjut terjadi ketika memasuki tahun 1980-an.
Pada tahun ini terjadi krisis ekonomi di Amerika Latin yang dikenal sebagai Latin American
Debt Crisis (Hourton 2012, 5). Krisis ini menimbulkan tingginya angka pengangguran di

negara-negara kawasan Amerika Latin, tidak terkecuali di Chile (Hourton 2012, 5). Krisis
ekonomi ini ditambah dengan sedikitnya peranan pemerintah dalam perekonomian di Chile
menyebabkan angka pengangguran saat itu meningkat. Privatisasi yang dilakukan di Chile
juga menambah panjang faktor penyebab globalisasi ekonomi tidak serta merta membawa
pemerataan dalam masyarakat. Sepanjang tahun 1974 hingga 1990 atau saat era marketoriented di Chile, koefisien Gini selalu menunjukkan peningkatan sebesar 4,3 poin pada

periode tersebut (Schmidt-Hebbel 2006, 28). Ini menandakan jika koefisien Gini terus
meningkat, maka ketimpangan ekonomi dan sosial serta kemiskinan terus mengalami
kenaikan angka. Hal ini juga dapat dipahami karena pemerintah Chile di bawah kekuasaan
junta militer lebih berfokus pada market-oriented dan menghapus pengeluaran pemerintah
untuk keperluan sosial masyarakat (Schatan 2001, 57). Keadaan ini yang kemudian
dipandang sebagai alasan pendukung mengapa globalisasi ekonomi tidak bisa menciptakan
pemerataan ekonomi.

Selanjutnya, di periode demokrasi Chile tahun 1990, Chile memang memulai programprogram yang berlandaskan growth with equity (Council on Hemispheric Affairs 2011). Akan
tetapi, permasalahan yang muncul adalah kebijakan di Chile tidak bisa berjalan dengan baik.
Di dalam implementasinya, kebijakan-kebijakan baru pemerintah masih dinikmati oleh
9

Alfionita Rizky Perdana

golongan menengah atas di Chile. Pemerintah Chile mulai menyadari bahwa neoliberalisme
globalisasi di negara ini tidak serta merta membawa pemerataan ekonomi meskipun PDB
Chile terus naik dan negara ini menjadi negara paling stabil ekonominya di Amerika Latin.
Salah satu kebijakan yang diambil oleh pemerintah Chile kemudian adalah dengan
memberlakukan reformasi pajak (Council on Hemispheric Affairs 2011). Kebijakan fiskal ini
diambil dengan mekanisme peningkatan jumlah tagihan pajak per orang sebagai alternatif
pemerataan distribusi pendapatan di masyarakat. Akan tetapi, kebijakan ini tidak berjalan
secara efektif. Hal ini disebabkan oleh dua hal yakni pertama kebijakan ini tidak dilaksanakan
oleh warga negaranya. Masyarakat Chile enggan untuk membayar pajak terlalu tinggi
(Council on Hemispheric Affairs 2011). Akibatnya kemudian pemerataan distribusi
pendapatan tidak terjadi dan masih terus terkonsentrasi pada golongan menengah atas.
Bahkan meskipun telah diterapkan kebijakan ini, namun Chile masih tercatat sebagai negara
dengan angka pajak terendah di antara negara-negara Organization for Economic
Cooperation and Development (OECD) lainnya. Misalnya saja angka pajak yang dikenakan
pada kalangan bisnis di Chile hanya sebesar 17 persen sementara negara-negara OECD
lainnya telah memberlakukan penarikan pajak pada kalangan bisnis sebesar 35 persen
(Council on Hemispheric Affairs 2011). Sementara itu untuk pajak per orangan, Chile hanya
memberlakukan sebesar 5 persen, padahal di negara-negara OECD lainnya sudah mencapai
angka 45 persen (Council on Hemispheric Affairs 2011).

Kemudian penyebab kedua ketidakefektifan kebijakan reformasi pajak ini adalah
ketimpangan proporsi pembayaran pajak di Chile. Masyarakat golongan menengah bawah
atau yang bergaji rendah mendapat tagihan pajak yang sama besarannya dengan yang bergaji
tinggi dan atau golongan menengah ke atas. Sebagai gambaran menurut Kenzo Asahi (2011,
dalam Council on Hemispheric Affairs 2011) 20 persen masyarakat menengah ke bawah di
Chile harus membayar 15 persen total pajak mereka, sementara 20 persen golongan
menengah di Chile hanya membayar 12 persen tanggungan pajak mereka. Ini menjadi sebuah
ketidakadilan, sehingga yang terjadi masyarakat masih enggan untuk membayar pajak sesuai
ketentuan pemerintah. Selain soal ketidakefektifan kebijakan reformasi pajak, sebenarnya
kebijakan ini juga dipandang sebagai bukti dari kegagalan globalisasi ekonomi dalam
menciptakan pemerataan.

Berikutnya, kebijakan kedua yang dalam implementasinya kurang efektif adalah pendidikan.
Pemerintah Chile menerapkan kebijakan baru dengan mendorong penduduknya agar
10

Paradoks Globalisasi : Ketimpangan di Tengah Pertumbuhan Pesat Ekonomi di Chile

mengenyam pendidikan tinggi dengan harapan mereka bisa memeroleh pekerjaan dengan gaji
tinggi (Reuters 2013). Akan tetapi pada kenyataannya yang terjadi masih golongan menengah
atas yang mampu menikmati pendidikan berkualitas. Mereka yang bergaji rendah atau
golongan menengah ke bawah hanya mampu untuk menempuh pendidikan di sekolahsekolah biasa atau dalam beberapa kasus mereka mengenyam pendidikan di sekolah swasta
yang biayanya lebih mahal dibanding sekolah negeri di Chile (Council on Hemispheric
Affairs 2011).

Ketidaksetaraan upah yang diterima masyarakat memperburuk keadaan masyarakat
menengah ke bawah karena sistem yang hanya dikuasai dan diatur oleh kalangan menengah
ke atas (Wade 2006). Sekolah-sekolah berkualitas baik dan sekolah yang tergolong sebagai
sekolah negeri lebih banyak dikuasai oleh golongan menengah ke atas. Keadaan seperti ini
turut menjadi indikator gambaran bagaimana ketimpangan ekonomi di Chile. Akses
pendidikan yang masih mahal dan hanya bisa diakses oleh golongan menengah atas ini juga
menggambarkan bahwa ada upaya dari pihak-pihak tertentu untuk mengkomodifikasi
pendidikan di sana (Council on Hemispheric Affairs 2011). Sehingga kemudian yang terjadi
adalah pendidikan menjadi sulit diakses semua kalangan. Anggaran pemerintah Chile untuk
pendidikan pun tercatat hanya sebesar 3,4 persen di tahun 2007 dan ini dirasa belum
sepenuhnya cukup untuk memfasilitasi pendidikan masyarakat di sana (Council on
Hemispheric Affairs 2011).

Selanjutnya ada pula penyebab adanya ketimpangan di Chile sepanjang periode sejak
globalisasi ekonomi hingga sekarang. Chile begitu tergantung dengan timah sebagai
komoditas ekspor mereka ke luar negeri (Council on Hemispheric Affairs 2011).
Permasalahan yang muncul adalah timah menyumbangkan banyak pemasukan bagi Chile,
akan tetapi ini tidak diiringi dengan pembukaan kesempatan kerja baru di bidang timah
(Council on Hemispheric Affairs 2011). Ada dua hal yang menjadi penyebabnya, pertama
Chile masih lebih banyak mengekspor timah secara mentah sehingga tidak banyak proses
pengolahannya. Kedua adalah tidak banyak perusahaan atau usaha-usaha ekspor timah yang
berniat untuk memperluas penyerapan tenaga kerjanya di Chile (Council on Hemispheric
Affairs 2011).

Penyebab lain adanya ketimpangan di Chile adalah adanya pergeseran tren di Chile yaitu
perusahaan-perusahaan asing lebih memilih untuk merekrut tenaga kerja low skill dibanding
11

Alfionita Rizky Perdana

tenaga kerja high skill (Council on Hemispheric Affairs 2011). Ini terjadi karena adanya
pandangan efisiensi dari perusahaan-perusahaan ini, sehingga akan lebih efisien untuk
merekrut tenaga kerja low skill karena gaji mereka yang murah. Dengan gaji murah ini
perusahaan dinilai akan tetap mempertahankan keuntungan perusahaan mereka. Gaji rendah
tidak sebanding jika harus dialokasikan pula untuk membayar pajak yang lebih besar dari gaji
mereka sendiri (Council on Hemispheric Affairs 2011). Belum lagi untuk memenuhi
kebutuhan pribadi dan keluarga, maka jelas gaji rendah yang dibayarkan perusahaan menjadi
sumber ketimpangan di Chile. Sebagai data, dari survei CASEN 2009 (dalam Council on
Hemispheric Affairs 2011), 76 persen masyarakat Chile memeroleh penghasilan kurang dari
350.000 Peso atau setara US$ 700 per bulan, sementara 90 persen masyarakat Chile yang
bekerja memeroleh gaji kurang dari 650.000 Peso atau setara US$ 1300 per bulan, atau
dengan kata lain 9 dari 10 pekerja di Chile memeroleh gaji di bawah gaji minimum rata-rata
di negara-negara maju. Golongan menengah ke atas di Chile menurut Duran (2011, dalam
Council on Hemispheric Affairs 2011) menjadi “pemilik” Chile berdasarkan fakta bahwa
sekitar 4000 keluarga di Chile memeroleh penghasilan per bulan sebesar 18.000.000 Peso
atau setara dengan US$ 38.000.
Kesimpulan

Globalisasi ekonomi dimulai di Chile di tahun 1974 saat junta militer berkuasa. Kebijakan
yang mengadopsi prinsip-prinsip neoliberalisme diterapkan di Chile seperti misalnya
integrasi pasar bebas, penghapusan social safety, pengaturan suplai uang, penurunan tarif
impor, serta membuka Chile untuk masuknya investasi maupun pembukaan perusahaanperusahaan asing di negara ini. 10 tahun awal penerapan neoliberalisme di Chile, negara ini
belum mengalami peningkatan ekonomi signifikan. Baru di tahun 1984 Chile mengalami
pertumbuhan ekonomi sebesar 7,3 persen. Akan tetapi meski globalisasi ekonomi lewat
perdagangan besar memengaruhi pertumbuhan ekonomi Chile tetapi ketimpangan ekonomi di
Chile tetap terjadi hingga saat ini. Pemerataan pendapatan belum terjadi dan masih banyak
masyarakat golongan menengah ke bawah di Chile yang kesulitan untuk memeroleh akses
pendidikan misalnya. Meskipun berbagai kebijakan untuk mengatasinya telah dilakukan
seperti menarik pajak tinggi serta mendorong masyarakatnya untuk memeroleh pendidikan,
namun masih ditemui implementasi yang salah dari kebijakan-kebijakan tersebut. Golongan
menengah ke bawah di Chile seringkali pula mengalami ketidakadilan dalam pembayaran
pajak yang tidak seimbang dengan gaji yang diperoleh misalnya. Dari fakta-fakta ini, jelas

12

Paradoks Globalisasi : Ketimpangan di Tengah Pertumbuhan Pesat Ekonomi di Chile

kemudian globalisasi tidak serta merta mampu menciptakan pemerataan di antara
masyarakat. (3900)
Daftar Pustaka

Buku dan Artikel dalam Buku

Baylis, John & Steve Smith, (eds.), 2001. The Globalization of World Politics, 2nd Edition .
Oxford : Oxford University Press, pp. 1-12.
Harvey, David, 2007. “Neoliberalism on Trial”, dalam A Brief History of Neoliberalism.
Oxford: Oxford University Press, pp. 152-182.
Milanovic, Branko, 2007. “Globalization and Inequality”, dalam Held, David & Ayse Kaya
(eds.), Global Inequality. Cambridge: Polity, pp. 26-49.
Singh, Kavaljit, 2005. “Does Financial Globalization Stimulate Investment and Growth?”,
dalam Questioning Globalization. London: Zed Books, pp. 21-54.
Wolf, Martin, 2005. “Incensed about Inequality”, dalam Why Globalization Works. New
Haven: Yale Notabene, pp. 138-172

Artikel Jurnal dan Jurnal Elektronik
Buc, Hernan Buchi, 2006. “How Chile Successfully Transformed Its Economy”,
Backgrounder, No. 1958, 18 September.

Contreras, Dante, 2007. “Poverty, Inequality, and Welfare in a Rapid-Growth Economy The
Chilean Experience”, 2020 Focus Brief on the World’s Poor and Hungry People, 27
Desember.
De Gregorio, Jose, 2004. “Economic Growth in Chile : Evidence, Sources, and Prospects”,
Central Bank of Chile Working Paper, No. 298, Desember.

Hourton, Alain, 2012. “Income Inequality in Chile : 1990-2006”, Discussion Paper Graduate
School of Economics Kyoto University, No. E-12-004, Mei.
13

Alfionita Rizky Perdana

Schatan, Jacobo, 2001. “Poverty and Inequality in Chile : Offspring of 25 Years of
Neoliberalism”, Development and Society, 30 (2) : 57 – 77.
Schmidt-Hebbel, Klaus, 2006. “Chile’s Economic Growth”, Cuadernos de Economia, 43 : 548.
Solimano, Andres, 2009. “Three Decades of Neoliberal Economics in Chile Achievements,
Failures, and Dilemmas”, UNU-WIDER Research Paper, No. 2009/37, Juni.
Tokman, Victor E., 2010. “Globalization in Chile : A Positive Sum of Winners & Losers”,
International Center for Trade and Sustainable Development, No. 14, Desember.

Wade, Robert H, 2006. “Should We Worry About Income Inequality”, dalam Held, David, &
Ayse Kaya (eds.), Global Inequality. Cambridge: Polity, pp. 104-131.

Artikel Online
Centre for International Governance Innovation, 2013. Will Inequality Hamper Chile’s
Economic Prospects [online]. dalam : https://www.cigionline.org/articles/2013/02/will-

inequality-hamper-chiles-economic-prospects [diakses 18 Juni 2015] .
Council on Hemispheric Affairs, 2011. The Inequality Behind Chile’s Prosperity [online].
dalam : http://www.coha.org/the-inequality-behind-chiles-prosperity/ [diakses 18 Juni
2015].

Media Massa Online

Reuters, 2013. Chile Must Combat Income Inequality, Despite Outlook. [online]. dalam
http://www.reuters.com/article/2013/10/23/chile-oecd-idUSL1N0ID0RO20131023
[diakses 18 Juni 2015].

14

Paradoks Globalisasi : Ketimpangan di Tengah Pertumbuhan Pesat Ekonomi di Chile

Lain-Lain
Gammage, Sarah, et al., 2014. “Poverty, Inequality, and Employment in Chile”, International
Labour Organization.

15