Tantangan Konseptualisasi Tanggung Jawab pada

Tantangan Konseptualisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam
Kerangka Hukum Lokal di Indonesia
Oleh: Hanna Marthatya Hakim (14/376385/PSP/05318)

Pendahuluan
Seiring berjalannya waktu, era globalisasi telah menempatkan perusahaan
multinasional di posisi lembaga yang paling kuat di planet ini, dan secara bersamaan,
perusahaan juga menghadapi kritik tentang peran dan dampak kehadiran mereka. Lebih
khususnya lagi, dampak kehadiran perusahaan multinasional pada era globalisasi ini selalu
dikaitkan dengan isu-isu kerusakan lingkungan yang lintas batas negara, seperti isu
pemanasan global yang menjadikan bisnis modern menjadi tersangka utama atas terjadinya
peningkatan konsentrasi gas efek rumah kaca, naiknya suhu rata-rata permukaan bumi,
perubahan iklim yang tidak menentu, dan naiknya permukaan air laut (“Batan”, 2002).
Salah satu respons terhadap hal tersebut adalah munculnya berbagai forum dan
diskusi yang membahas isu global tersebut, salah satunya adalah forum kerja sama
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), antara World Meteorological
Oranization (WMO) dengan United Nations Environmental Program (UNEP). Forum
tersebut membuat berbagai laporan yang membahas mengenai perubahan iklim, salah satu
laporannya menyimpulkan bahwa 64% dari gas efek rumah kaca merupakan karbon dioksida
(CO2), 80% dari CO2 dihasilkan dari konsumsi bahan bakar fosil, dan masih dalam laporan
yang sama, dijelaskan bahwa efek rumah kaca meningkat secara artifisial pasca revolusi

industri (IPCC, 1995).
Dari fakta adanya ancaman serius terhadap lingkungan yang diakibatkan sektor
industri di atas, sudah menjadi hal yang mendesak bagi perusahaan untuk ikut serta
bertanggung jawab terhadap hal tersebut demi kepentingan umat manusia secara keseluruhan.
Sejalan dengan hal tersebut, Tully (2005) berpendapat bahwa perusahaan ikut terlibat dalam
isu globalisasi karena terkait dengan beberapa hal berikut, yaitu: (1) pentingnya perusahaan
menjadi aktor sosial; (2) perkembangan dan pembangunan teknologi modern yang
menyebabkan akses pada informasi menjadi mudah, dan (3) meningkatnya kesadaran
konsumen. Tiga hal tersebut membuka peluang bagi masyarakat luas, khususnya konsumen

dan masyarakat global untuk memaksa perusahaan melakukan tanggung jawab sosial dan
lingkungan. Adanya berbagai macam tuntutan ini juga didukung oleh adanya peran negara
dan organisasi internasional yang juga mengangkat dan menekankan isu dan pentingnya
tanggung jawab sosial perusahaan (Tully, 2005).
Negara-negara di Eropa dan Amerika menjadi contoh bagaimana tanggung jawab
perusahaan masuk menjadi elemen penting, misalnya dalam pasar modal. Contohnya, New
York Stock Exchange memiliki Dow Jones Sustainability Index (DJSI) bagi saham-saham
perusahaan yang dikategorikan memiliki nilai corporate sustainability dengan salah satu
kriterianya adalah praktik CSR. Begitu pula London Stock Exchange yang memiliki Socially
Responsible Investment (SRI) Index dan Financial Times Stock Exchange (FTSE) yang

memiliki FTSE4 Good sejak 2001 (Daniri, 2009). Contoh lainnya adalah pemerintah Swedia.
Pada tahun 2007, berdasarkan laporan organisasi non-profit AccountAbility, Swedia
mendapatkan peringkat pertama dalam indeks daya saing yang bertanggung jawab
(Responsible Competitiveness Index). Indeks ini menunjukkan bahwa Swedia memimpin
daya saing bisnis melalui praktek-praktek bisnis yang bertanggung jawab (AccountAbility,
2007).
Pendekatan dari berbagai negara untuk CSR bervariasi dan masih ada perdebatan
tentang bagaimana masalah ini harus ditangani. Pemerintah Inggris juga merupakan salah
satu contoh pemerintah yang memiliki visi ambisius untuk menerapkan tanggung jawab
sosial perusahaan: mencari organisasi sektor swasta yang secara sukarela mempertimbangkan
dampaknya bagi masyarakat Inggris, baik dampak ekonomi, sosial dan lingkungan, serta
mengambil tindakan lanjutan untuk mengatasi tantangan utama berdasarkan pada bisnis inti
mereka- secara lokal, regional, nasional, dan internasional (Castka, Bamber, & Sharp, 2005).
Di Indonesia sendiri, tanggung jawab sosial perusahaan masuk ke dalam Undangundang No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan UU No. 25/2007 tentang
Penanaman Modal (UU PM). Pada pasal 74 UU PT yang menyebutkan bahwa setiap
perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber
daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Jika tidak dilakukan,
maka perseroan tersebut bakal dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Dalam UU PM pasal 15 huruf b disebutkan, setiap penanam modal berkewajiban
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Jika tidak, maka dapat dikenai sanksi mulai

dari peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha dan/atau

fasilitas penanaman modal, atau pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman
modal (Pasal 34 ayat (1) UU PM.
Masuknya tanggung jawab sosial perusahaan dalam perundang-undangan dijelaskan
oleh Partomuan Pohan (2007), konseptor UU PT, bahwa tanggung jawab sosial harus
dimaknai sebagai instrumen untuk mengurangi praktek bisnis yang tidak etis dan sebagai
sarana untuk meminimalisir dampak negatif dari proses produksi bisnis terhadap publik,
khususnya dengan para stakeholdernya (“Hukumonline”, 2007). Dengan landasan tersebut,
CSR diberlakukan sebagai kewajiban yang sifatnya mandatory dan harus dijalankan oleh
pihak perseroan selama masih beroperasi.
Dampak dengan masuknya tanggung jawab sosial dalam Undang-Undang tentunya
menimbulkan permasalahan tersendiri terkait dengan pengertian konsep tanggung jawab
sosial itu sendiri. Sebagaimana pendapat Waagstein (2010) mengenai pendefinisian tanggung
jawab sosial di Indonesia masih kurang dan inkonsisten, Undang-Undang tersebut membuka
peluang munculnya Peraturan Daerah – Peraturan Daerah multi interpretasi yang dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap konsep tanggung jawab sosial itu sendiri.
Fokus Bahasan
Dari latar belakang dan problematika yang muncul di atas, maka fokus pembahasan
yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah bagaimana konsep tanggung jawab sosial

perusahaan diterjemahkan dalam aturan hukum formal di tingkat daerah di Indonesia?
Tujuan dari tesis ini adalah untuk menyelidiki apakah konsep tanggung jawab sosial
perusahaan dalam Peraturan Daerah sesuai dengan konsep teoritis mengenai tanggung jawab
sosial perusahaan.
Pembahasan
Dalam konteks tanggung jawab sosial perusahaan di Indonesia, tulisan ini akan
berfokus pada aspek kerangka hukum dari tanggung jawab sosial perusahaan di tingkat
daerah. Secara khusus, bahasan akan mengambil contoh dua peraturan daerah, yaitu
Peraturan Daerah No 10/ 2012 Kota Cilegon dan Peraturan Daerah No.3/ 2013 Provinsi
Kalimantan Timur. Konteks ini diambil berdasarkan realita bahwa hanya di Indonesia,
konsep tanggung jawab sosial perusahaan masuk dalam kerangka hukum formal berupa
perundang-undangan dan peraturan daerah.

Konsep pergeseran dari bentuk tanggung jawab sosial yang bersifat sukarela menjadi
suatu kewajiban merupakan pergeseran fundamental dari tanggung jawab sosial itu sendiri.
Archie Carrol (2012) membuat konsep tanggung jawab sosial perusahaan dengan sebutan
The Corporate Social Responsibility Pyramid, yaitu terdiri dari 4 dimensi: (1) tanggung
jawab ekonomi, yaitu menghasilkan keuntungan; (2) tanggung jawab formal, mematuhi
peraturan yang ada; (3) Tanggung jawab etis, berlaku sesuai etis; (4) tanggung jawab
filantropi, menjadi warga perusahaan yang baik. Dari 4 dimensi tersebut, perdebatan yang

muncul seiring dengan adanya hukum legal formal mengenai tanggung jawab sosial
perusahaan berkembang. Seperti menurut Waagenstein (2010), adanya peraturan perundangundangan ini memunculkan dua perhatian: dari sisi masyarakat yang memerhatikan
implementasi dari peraturan; dan sisi komunitas bisnis yang memerhatikan bertambahnya
biaya perusahaan dan ketidakuntungan dalam berkompetisi bisnis.
Dari dua perhatian tersebut, dapat pula dipahami perspektif lain dari sisi pemerintah.
Sebagai negara dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, tentu perlu adanya
kebijakan yang mencegah terjadinya kerusakan lingkungan parah yang diakibatkan oleh
pengambilan SDA ini secara berlebihan. Melihat kesadaran perusahaan multinasional sampai
perusahaan lokal yang rendah untuk memerhatikan masyarakat dan lingkungan sekitarnya, seperti beberapa kasus yang terjadi akibat hal ini: kasus Lumpur Lapindo, Tragedi Lapangan
Minyak Tiaka, dan konflik masyarakat papua dengan PT Freeport- cukup rasional untuk
melihat tanggung jawab sosial perusahaan bukan lagi sebagai kegiatan tanggung jawab yang
bersifat sukarela, tetapi perlu dilaksanakan sebagai perintah wajib yang disertai dengan sanksi
(Sukarmi, 2010).
Kesadaran bahwa potensi konflik serta kerusakan yang lebih parah, baik resiko bagi
perusahaan maupun masyarakat secara umum menyadarkan bahwa perusahaan bukan lagi
sebagai entitas yang mementingkan diri sendiri, alienasi dan atau eksklusifitas dari
lingkungan masyarakat, melainkan sebuah entitas usaha yang wajib melakukan adaptasi
kultural dengan lingkungan sosial (Sukarmi, 2010).
Meskipun perundang-undangan dan peraturan daerah masih merupakan bentuk upaya
reaktif pemerintah terhadap dampak negatif dari praktek bisnis. Seperti pada contoh dua

daerah yang sudah mengeluarkan peraturan daerah mengenai tanggung jawab sosial
perusahaan, dua peraturan daerah ini perlu untuk ditinjau lebih jauh mengingat besarnya
potensi konflik yang terkait dengan potensi Sumber Daya Alam daerah serta banyaknya

perusahaan yang beroperasi di kota Cilegon dan Provinsi Kalimantan Timur. Berikut akan
dijabarkan lebih jauh mengenai dua peraturan daerah tersebut.
Definisi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
John Elkington (1997) menegaskan tanggung jawab sosial perusahaan sebagai suatu
konsep yang secara khusus memiliki kewajiban untuk mempertimbangkan kepentingan
konsumen, pekerja, shareholder, komunitas, dan lingkungan. The World Business Council for
Sustainable Development (WBCSD) mendefinisikan tanggung jawab sosial perusahaan
sebagai: “continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic
development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as
of the local community and society at large (komitmen berkelanjutan oleh bisnis untuk
berperilaku etis dan berkontribusi pada pembangunan ekonomi sekaligus memperbaiki
kualitas hidup para pekerja dan keluarga mereka serta komunitas lokal dan masyarakat luas”
(“The World Business Council for Sustainable Development”, n.d).
Dari kedua definisi umum diatas, dapat dilihat bahwa tanggung jawab sosial
perusahaan merupakan konsep yang sangat luas. Sejalan dengan definisi tanggung jawab
sosial di atas, UU PT Pasal 1 angka 3 UU PT juga menggambarkan hal yang serupa,

“Tangung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta
dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan
lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat maupun
masyarakat pada umumnya”. Sedangkan pada peraturan daerah, berikut definisi yang
tercantum dalam Bab 1 Ketentuan Umum pada masing-masing Perda:
Kalimantan Timur

Cilegon

Tanggung jawab sosial yang melekat pada
setiap perseroan untuk berperan serta dalam
pembangunan
berkelanjutan
guna
meningkatkan
kualitas
kehidupan
dan
lingkungan yang bermanfaat, baik bagi
perusahaan sendiri, komunitas setempat,

maupun
masyarakat
pada
umumnya,
selain/diluar kewajiban membayar pajak dan
retribusi.

Komitmen perseroan untuk berperan serta
dalam
pembangunan
ekonomi
berkelanjutan guna meningkatkan kualitas
kehidupan
dan
lingkungan
yang
bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri,
komunitas setempat, maupun masyarakat
pada umumnya.


Sumber: Perda No. 10/2012 Kota Cilegon dan Perda No. 3/2013 Provinsi Kalimantan Timur

Dari pengertian yang terdapat dalam Perda tersebut, terlihat adanya kesamaan definisi
tanggung jawab sosial perusahaan. Hal ini berarti, konsep tanggung jawab perusahaan sesuai
dengan triple bottom line, yaitu aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan, serta ketentuan
tanggung jawab sosial sampai pada tahap pendefinisian, dari definisi internasional hingga
daerah tidak terjadi bias.
Perbandingan Konsep Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Peraturan Daerah
Perda no.3/2013 (Kaltim)

Perda No.10/2012 (Cilegon)

Karakteristik

Terdiri dari 13 Bab dengan 30 Pasal.

Terdiri dari 14 Bab dengan 27 Pasal.

Perda


Perda ini disahkan pada 22 April 2013.

Perda disahkan pada 30 April 2012

Istilah

Tanggung Jawab Sosial Lingkungan

Cilegon Corporate Social

Tanggung

Perusahaan (TJSLP) dan Program

Responsibility (CCSR)

Jawab Sosial

Kemitraan


dan

Perusahaan

(PKBL)

Aktor yang

Perusahaan

Bina

Lingkungan

yang

menjalankan Perseroan yang menjalankan kegiatan

berkewajiban kegiatan usahanya di bidang dan/atau usahanya di Kota Cilegon pada bidang
melakukan
TJSP

berkaitan dengan sumber daya alam dan/atau
wajib

melaksanakan

TJSLP

berkaitan

dengan

Sumber

dan Daya Alam.

PKBL.
Kelembagaan • Untuk melaksanakan program: Tim • Dewan Pengawas. Terdiri dari tokohPelaksana (TP), yang terdiri dari
unsur

perusahaan, • Cilegon

masyarakat,

pemerintah daerah, dan akademisi;
• Untuk
tingkat

menyelaraskan
lokal:

tokoh masyarakat dan akademisi.

program

Forum

Pelaksana,

terdiri dari tim-tim pelaksana;

Corporate

Social

Responsibility (CCSR), terdiri dari
unsur

tokoh

masyarakat,

unsur

akademisi, unsur LSM, dan unsur
perwakilan perusahaan.

• Tim Koordinasi Pelaksana (TKP):
Untuk

sinkronisasi

pelaksanaan

program tingkat provinsi.
Pelaksana
TJSP

Perusahaan

yang

berstatus

badan Individu

atau

masyarakat

yang

hukum; baik berstatus pusat, cabang, mendapatkan dana CSR perusahaan di
atau

unit

pelaksana

yang wilayah Cilegon.

berkedudukan di Kalimantan Timur;

tidak dibedakan perusahaan swasta
maupun milik negara.

Ruang
Lingkup

Perencanaan,

pelaksanaan, Pengelolaan

pengendalian, dan evaluasi terhadap kegiatan

meliputi
pendataan

serangkaian
perusahaan,

Tugas

kegiatan TJSLP & PKBL agar selaras penyusunan program, penghimpunan

Pelaksana

dengan program pemerintah daerah dan pendistribusian dana tanggung
dan

kearifan

lokal

masyarakat jawab sosial dan lingkungan.

setempat.
Pendanaan

Dana didapat dari keuntungan bersih Dana Tanggung Jawab Sosial dan
setelah

dikurangi

pajak

atau Lingkungan

dialokasikan dari mata anggaran lain didapat
yang

ditentukan

Persentase

merupakan

dari

dana

keuntungan

yang
bersih

perusahaan. perusahaan yang berdomisili di Kota

pendanaan

program Cilegon sebagai bentuk tanggung jawab

minimal 3% dari keuntungan bersih sosial perusahaan. Penentuan besaran
per tahun.

dana

Tanggung

Perusahaan

selain

Jawab

Sosial

BUMN

harus

memperhatikan aspek keadilan dan
kemampuan perusahaan.
Program
TJSP

• Bina lingkungan dan sosial

• Pembangunan

• Kemitraan usaha mikro, kecil, dan
• Program bantuan langsung pada
• Program pembangunan sarana dan
prasarana fasilitas umum, sosial, dan

skala

TJSP

menyampaikan

di

keagamaan,

pendidikan

dan kebudayaan;
• Tanggap darurat sosial dan bencana

prioritas

program Tata

PKBL yang disusun perusahaan,
&

mengenai

pendataan

penyusunan

program,

penghimpunan dan pendistribusian dana

• TP mengkaji program TJSLP & dari

TJSLP

cara

pembangunan perusahaan,

daerah kepada TKP dan TP,

• Program

sosial

alam.

peribadatan

Pelaksanaan

dan

• Pemberdayaan ekonomi masyarakat;
• Kegiatan

masyarakat

• Pemda

umum

prasarana

lingkungan Kota Cilegon;

koperasi

Alur

fasilitas

sarana

perusahaan

yang

memiliki

kewajiban dan/atau dapat melaksanakan

PKBL Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

dilaksanakan perusahaan.

kepada masyarakat, dirumuskan oleh
CCSR.

Sanksi

• Teguran tertulis

• Dikenai sanksi berdasarkan UU

• Pembatasan kegiatan usaha

• Peringatan tertulis

• Pembekuan kegiatan usaha

• Pembatasan kegiatan usaha

• Pencabutan izin usaha

• Bagi anggota CCSR, diberhentikan

• Sanksi lain berdasarkan UU

oleh Walikota

Dari ringkasan pokok dua peraturan daerah tersebut, dapat dilihat perbandingan
konsep tanggung jawab sosial perusahaan yang berbeda dari dua wilayah berbeda.
Perusahaan yang berada di dua daerah tersebut selain harus mengikuti peraturan daerah
tersebut, konsep tanggung jawab sosial juga dapat dirujuk misalnya prinsip Corporate Social
Responsibility dan ISO 26000 yang dirumuskan oleh International Organization for
Standardization (ISO) yang diberi nama Guidance Standard on Social Responsibility. Dari
penurunan definisi mengenai tanggung jawab sosial perusahaan dari standar Internasional
ISO 26000 sampai Peraturan Daerah, telah terjadi bias yang berbeda-beda berdasarkan
kondisi bisnis di daerah operasi perusahaan. Seperti di kota Cilegon, pelaksanaan tanggung
jawab sosial perusahaan berarti membayar dana tanggung jawab sosial pada daerah, dan
kemudian pelaksanaan sepenuhnya dilakukan oleh pihak yang ditunjuk dan diberikan dana,
sedangkan anggota CCSR bertugas untuk mendistribusikan dana tersebut. Berbeda dengan
provinsi Kalimantan Timur, program tanggung jawab sosial sebaliknya dilaksanakan oleh
perusahaan sepenuhnya.
Merujuk pada definisi tanggung jawab sosial perusahaan pada bagian atas dan
dibandingkan dengan isi peraturan daerah, konsep tripple bottom line belum sepenuhnya
masuk menjadi perhatian para pembuat kebijakan. Contohnya, unsur lingkungan belum
sepenuhnya masuk menjadi bagian program TJSP di kedua daerah tersebut. Program sebatas
unsur sosial berupa pemberdayaan masyarakat dan masih ada program-program yang
berunsur filantropi. Selain dari konsep tersebut, kelemahan juga terlihat dari lemahnya peran
pemerintah untuk melindungi masyarakatnya dari The Santa Claus Syndrom (Petkoski &
Twose, 2003).
Selain pencegahan ketergantungan program yang belum diminimalisir dalam
peraturan daerah ini, terdapat satu tantangan lainnya, yaitu masalah pendataan. Sejauh

penulisan ini, tidak ada data resmi dari pemerintah daerah mengenai berapa jumlah
perusahaan yang melaksanakan TJSP di Kalimantan Timur dan transparansi pendanaan
dalam CCSR yang tidak jelas. Sehingga, sampai pada level pendefinisian, seluruh elemen
dalam kerangka hukum formal masih berangkat pada satu titik pandang yang sama, namun
pada penjabaran aturan teknis dalam peraturan daerah, konsep tanggung jawab sosial
perusahaan mengalami bias yang cukup jauh dari pelaksana, bentuk program, bobot
intervensi masyarakat dan sampai penentuan unsur pembiayaan belum jelas.
Kesimpulan
Dengan demikian, Adanya pendefinisian konsep tanggung jawab sosial perusahaan
dari kesepakatan internasional hingga peraturan daerah mencakup triple bottom line, yaitu
aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Namun, memasukkan konsep ini dalam kerangka
hukum formal menimbulkan pertentangan sendiri karena berseberangan dengan unsur
kesukarelaan dan berubah menjadi kewajiban. Seperti yang tertuang dalam Perda No. 10
tahun 2012 di Kota Cilegon dan Perda No No.3 tahun 2013 di Provinsi Kalimantan Timur
yang bias mengenai penurunan konsep tanggung jawab sosial perusahaan. Ditambah lagi,
aktivitas bisnis umumnya lebih berkonsentrasi pada legal-minimum requirements. Sehingga,
ketidakjelasan dalam kerangka hukum ini akan berdampak pada pelaksanaan CSR yang juga
tidak memiliki dampak yang benar-benar signifikan untuk masyarakat, terlebih lagi
pencegahan The Santa Claus Syndrom belum nampak pada kerangka hukum tersebut.
Tantangan ke depannya yang dihadapi pemerintah daerah di Indonesia adalah terkait
dengan pendataan dan transparansi kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan yang hingga
kini masih jauh dari yang sebagaimana azas-azas tanggung jawab sosial perusahaan yang
tertuang dalam peraturan daerah tersebut.

Daftar Pustaka
UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Perda No.10 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan kota Cilegon
Perda No.3 Tahun 2013 tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Provinsi Kalimantan
Timur
Carrol, A.B. (2012). A history of corporate social responsibility: concepts and practices. In
Crane, A; McWilliams, A; Datten D; Moon, J; Siegel, D. The oxford handbook od
corporate social responsibility. Oxford: Oxford University Press. Hal 19-48.
Castka, P., Bamber, C., & Sharp, J. M. (2005). Implementing effective corporate social
responsibility and corporate governance: a framework. London: British Standards
Institution and the High Performance Organisation Ltd .
Daniri, A.M,. (2009). Standarisasi tanggung jawab sosial perusahaan. http://kadinindonesia.or.id/enm/images/dokumen/KADIN-167-3770-15042009.pdf
Elkington, J. (1997). Cannibals with forks the triple bottom line of 21st century business.
Oxford: Capstone Publishing Limited.
Petkoski, D., Twose, N. (2003). Public policy for corporate social responsibility. World
Bank Institute.
Sukarmi. (2010). Tanggung jawab sosial perusahaan dan iklim penanaman modal.
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-bisnis/84-tanggung-jawab-sosialperusahaan-corporate-social-responsibility-dan-iklim-penanaman-modal.html. 4 januari
2010.
Tully (2005).Tully, Stephen, International documents on corporate responsibility, Edward El
gar Publishing Limited, Cheltenham, 2005.
Waagstein, P. R. (2010). The mandatory corporate social responsibility in indonesia:
problems and implications.
Website:
https://www.ipcc.ch/pdf/climate-changes-1995/ipcc-2nd-assessment/2nd-assessment-en.pdf

http://www.batan.go.id/ensiklopedi/01/01/02/02/01-01-02-02.html
http://www.wbcsd.org/work-program/business-role/previous-work/corporate-socialresponsibility.aspx

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis korelasi antara lama penggunaan pil KB kombinasi dan tingkat keparahan gingivitas pada wanita pengguna PIL KB kombinasi di wilayah kerja Puskesmas Sumbersari Jember

11 241 64

ANALISIS PENGARUH PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH (Studi Empiris pada Pemerintah Daerah Kabupaten Jember)

37 330 20

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22