Anda itu laki laki atau perempuan Trans (1)

Anda itu, laki-laki atau perempuan? “Trans” atau “asli”?
Homo atau hetero?: Menyoal “identitas” dalam air keruh
diskursus gender

Khaerul Umam Noer1

Abstrak

Dalam membahas soal gender, baik oleh para pemerhati
kajian gender maupun awam, seringkali akan bermuara pada
satu persoalan klasik: bahwa hanya ada laki-laki dan
perempuan. Diskusi soal ini seringkali dimulai dari aspek
fundamental, bahwa secara spesies, manusia hanya terdiri dari
dua jenis kelamin. Mengingat hanya dua jenis kelamin yang
diciptakan Tuhan, meski ada pula interseks tapi tetap saja
akan berada entah laki-laki atau perempuan, maka
diasumsikan hanya ada dua identitas gender. Pertanyaannya
adalah, benarkah sesederhana itu? Tulisan ini tidak ditujukan
untuk memberikan persetujuan atas asumsi tersebut, pun
tidak dimaksudkan untuk menggurui. Tulisan ini akan
memantik beberapa persoalan penting dalam pemahaman kita

atas identitas gender, tentu saja, diskusi hangat akan menjadi
hadiah tersendiri.
Kata kunci: gender, identitas, heteronormativitas, gender
ketiga.
Tulisan ini dimulai dengan sebuah kebingungan. Ketika saya
diminta untuk membuat tulisan dalam sebuah seminar yang diadakan
oleh para sahabat di Kajian Gender, saya tergagap. Bukan karena
saya tidak biasa menulis dengan topik gender, melainkan saya
tergagap
karena
saya
menyadari
bahwa
siapapun
yang
mendengarkan presentasi dan membaca tulisan ini adalah mereka
yang tumbuh dan dibesarkan dengan tradisi kajian gender. Alih-alih
memuji atau bercerita mengenai topik penelitian, saya memilih untuk
berjalan mundur. Saya tidak meminta anda, para pembaca yang saya
hormati, untuk menghabiskan waktu anda membaca coretan dan

1

Direktur Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia (PKWG UI),
terdampar sebagai pengajar di Universitas Muhammadiyah Jakarta, dan secara
sukarela mendaftar sebagai anggota Asosiasi Antropologi Indonesia. Penulis
dapat dihubungi di surel umam_noer@yahoo.com.

1

omong kosong saya; pun saya tidak meminta anda untuk bersepakat
dengan saya. Saya justru ingin agar kita bisa beradu argumentasi,
bukan untuk mencari siapa yang benar versus siapa yang salah,
melainkan untuk mencari satu titik temu – meski titik temu itu boleh
jadi adalah sebuah kesepatakan bahwa kita tidak bersepakat.
Menyoal gender sebagai basis penjelasan
Sebelum saya mulai ngoceh tidak jelas, ada dua hal yang ingin
saya tanyakan. Pertama, apa yang kita ketahui tentang gender
sebagai sebuah konsep? Kedua, benarkah gender sebagai konsep
bebas bias dan berlaku secara universal? Kedua pertanyaan tersebut
krusial untuk dijawab sebelum saya mencapai pertanyaan mendasar

dalam tulisan ini: apa sesungguhnya identitas gender itu dan
mengapa kita merasa perlu untuk mendefinisikan identitas gender?
Tanpa disadari, para peminat kajian gender seringkali mengabaikan
untuk mempertanyakan ulang mengenai definisi dari gender itu
sendiri. Sebagai konsep, gender, sama halnya dengan konsep lain
seperti globalisasi atau bahkan terorisme, diambil secara kasar,
ditelan mentah-mentah, dan kemudian dipakai nyaris sebagai konsep
yang tanpa kritik. Para peminat kajian gender terlalu asik bicara soal
peliyanan, diskriminasi, dan identitas seakan bahwa hal-hal tersebut
adalah persoalan gender secara inheren tanpa terlebih dahulu
bertanya, apakah kita memahami konsep gender yang selama ini kita
pergunakan.
Titik awal terbaik untuk menjelaskan konsep gender ada pada
definisi dari gender. Seringkali kita mengambil definisi dari Shapiro
(1981) yang membedakan gender dengan seks. Seks atau jenis
kelamin merujuk pada kondisi biologis universal, di mana di dunia ini,
hanya ada dua kelamin: laki-laki dan perempuan. Dua kelamin ini
memiliki perbedaan secara anatomis dan fisiologis, sehingga ada halhal tertentu yang hanya dimiliki oleh perempuan yang tidak tidak
dimiliki oleh laki-laki, dan demikian sebaliknya, sedangkan gender
merujuk pada interpretasi sosial dan kultural terkait dengan

perbedaan antara dua seks. Secara sederhana, seks adalah
perbedaan biologis yang mengakibatkan pembedaan sosio-kultural,
atau dalam kata lain, gender sebagai konstruksi sosial secara inheren
ada dalam diri setiap manusia sebagai spesies.
Persoalannya adalah, benarkah konsep gender di atas bebas
dari bias? Bagi saya, konsep gender telah terdistorsi oleh bias kultural
atas perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, dalam
konteks spesifik pada reproduksi. Persoalannya, apakah perbedaan
biologis ini berlaku secara sinkronis dan diakronis? Dan apakah
konsepsi mengenai “laki-laki”, “perempuan”, dan “reproduksi” berlaku
sama secara universal? Saya menjawab tidak, bahwa konsepsi
mengenai “laki-laki”, “perempuan” dan “reproduksi” sangat erat

2

kaitannya dengan lokus kultural di mana konsepsi itu diletakkan. Saya
setuju dengan Scheider (1984) dan Yanagisako dan Collier (2004),
bahwa penting bagi para pengkaji gender untuk bisa melihat bahwa
konsepsi mengenai “laki-laki”, “perempuan”, dan “reproduksi” harus
dilihat terpisah pada setiap kebudayaan. Persoalannya adalah,

seringkali para pengkaji gender mencampuradukkan berbagai
konsepsi dan secara serampangan mengatakan bahwa pemahaman
atas konsep gender telah ada sejak jaman prasejarah dan berlaku
secara universal sama.
Menjadi penting untuk diingat bahwa tanpa disadari, kita
memungut konsep yang sesungguhnya sangat bias yang diletakkan
pada asumsi kultural barat (baca: Eropa). Tentu saja penting bagi kita
untuk memahami bagaimana studi gender berkembang terutama
pada abad 19 dan 20, yang dalam banyak hal perkembangannya itu
memiliki irisan dengan studi feminisme, sosiologi, dan antropologi.
Jika kita melihat feminisme misalnya, penekanan pada Gelombang
Pertama terletak pada determinisme biologis dalam kaitannya dengan
gender, dalam hal ini bahwa akar dari segala persoalan perempuan
ada pada diferensiasi seksual. Karena laki-laki dan perempuan dilihat
sebagai dua entitas yang berbeda, maka keduanya – perspektifnya
sangat Parsonian – akan saling menegasikan satu sama lain, dan
akibatnya, benturan antara laki-laki dan perempuan tidak dapat
terhindarkan, yang sayangnya dalam perang ini perempuan
diposisikan sebagai pihak yang kalah.
Contoh lain, kajian antropologis misalnya, kontruksi gender

acapkali muncul dalam kajian-kajian yang berkaitan dengan kinship
dan relasi sosial didalamnya. Dalam hal ini bagaimana perempuan
dan laki-laki diletakkan dalam satu skema kultural yang bernama
kekerabatan, dan dari skema itu pula diatur mengenai hak dan
kewajiban setiap orang. Dalam tradisi antropologi, skema ini
diperkenalkan oleh Lewis Morgan, yang menyatakan: “the family
relationships are as ancient as the family. They exsisted ion virtue of
the law of derivation, which expressed by the perpetuation of the
species through the marriage relation (Morgan, 1871:10)”. Dengan
landasan itu, Morgan kemudian mengambil kesimpulan jika pola
kekerabatan adalah genetik dan karenanya pola tersebut berlaku
secara sosial di semua tempat karena pada dasarnya setiap orang
berbagi gen yang sama melalui proses perkawinan, dan melalui
proses perkawinan itulah suatu kebudayaan muncul dan berkembang
(lihat Wiesner-Hank 2004). Pertanyaannya adalah, jika benar pola
kekerabatan adalah genetik, mengapa antropolog harus repot-repot
menjelaskan pola di berbagai wilayah? Di sisi lain, terma “pola” itu
sendiri bermasalah dalam terma itu sendiri. Sesuatu tidak dikatakan
sebagai pola jika sesuatu itu hanya satu-satunya.
Apa yang ingin saya sampaikan adalah, bahwa determinisme

biologis yang menjadi landasan bagi kehadiran gender adalah titik

3

awal dari pembedaan yang ajeg antara laki-laki dan perempuan.
Bahwa seseorang dikatakan sebagai laki-laki jika ia “memenuhi
persyaratan” anatomis, fisiologis, dan sosio-kultural, demikian pula
perempuan. Dalam konteks ini, bahwa ada sosok yang “memenuhi
persyaratan” sebagai laki-laki secara anatomis atau fisiologis tapi
tidak secara sosio-kultural, maka ia tetap dianggap sebagai laki-laki,
hanya saja dia “spesies laki-laki yang menyimpang.” Keajegan ini
memberikan kita satu petunjuk yang jelas: siapapun yang memiliki
penis, maka dia laki-laki; dan siapapun yang memiliki vagina, maka
dia perempuan. Karena jenis kelamin anatomis dan fisiologis amat
terang benderang, maka diasumsikan bahwa jenis kelamin sosiokultural pun sama terangnya. Tidak mungkin ada kesalahan dalam hal
itu.
Persoalannya adalah, pemahaman atas pembedaan yang ajeg
dan rigid tersebut jelas sangat bias, sebab pandangan mengenai dua
jenis kelamin biologis yang terpisah secara ajeg satu sama lain tidak
kita temukan dalam konteks kultural Indonesia. Jika para pengkaji

gender mau sedikit menoleh pada masa klasik Hindu-Buddha
misalnya, mengenal perpaduan Siwa dan Parvati dalam satu sosok
yang dinamai Ardhanarisvara, lalu apakah kita mengatakan bahwa itu
adalah dewa atau dewi? Contoh lainnya, jika kita mengatakan, karena
berdasarkan seks manusia hanya ada laki-laki dan perempuan, maka
secara otomatis hanya ada dua gender, laki-laki dan perempuan, lalu
bagaimana dengan konsepsi kultural masyarakat Bugis yang
mengenal lima gender: laki-laki, perempuan, calabai, calalai, dan
bissu. Bagaimana menjelaskan keberadaan calabai, calalai, dan
bissu? Kita mengenal pula istilah tomboy maupun lembeng (kemayu),
bagaimana menjelaskan dua hal ini? Apakah kita akan mengatakan
bahwa tomboy dan lembeng adalah deviasi dari gender? Tidakkah
kita hanya melarikan diri – untuk tidak mengatakan mengabaikan –
dari usaha untuk memberikan penjelasan yang lebih?
Gender binari, benarkah sejelas itu?
Bagi saya, adalah penting bagi para pengkaji gender untuk
memahami bahwa konsepsi kita atas gender tidak bebas bias, dan
dengan memahami itu, kita bisa beranjak ke satu persoalan lain yang
lebih krusial: oposisi biner. Dapat dipastikan, bahwa setiap pengkaji
gender selalu menikmati topik ini : dikotomi privat versus publik,

nature versus culture, dan produksi versus reproduksi. Ada baiknya
kita membuka kembali tulisan Rosaldo (1974), Ortner (1974), dan
Harris dan Young (1981) yang menyatakan bahwa dikotomi ini adalah
hubungan struktral antara laki-laki dan perempuan di setiap
masyarakat, dan karena ini ada di semua tempat, maka dikotomi ini
menawarkan sebuah penjelasan logis dan universal atas satu
gagasan pokok: sexual inequalities.

4

Gagasan pokok dari ketidaksetaraan adalah bahwa ada satu
titik yang dianggap setara, sebut saja equilibrium, yang persoalannya
titik tersebut tidak pernah terjadi. Selalu ada dalam masyarakat, di
mana pun dan kapan pun, kondisi yang menciptakan ketidaksetaraan.
Selalu ada hubungan struktural yang timpang yang secara langsung
ataupun tidak langsung meneguhkan ketidaksetaraan. Dari sudut
pandang tersebut, tentu saja dapat dibenarkan. Bahwa terma
struktural mempersyaratkan adanya struktur, dan dimanapun kata
struktur muncul, maka kata itu mempersyaratkan adanya jenjang
yang tidak setara alias asimetris. Maka menjadi logis, jika untuk

mencapai kondisi yang setara, target utamanya adalah pada struktur
itu sendiri, dan genderang perang dimulai dengan memerangi konsep
mengenai struktur yang mudah dilihat, dirasakan, dan paling seksi
untuk didiskusikan: pembagian area sosio-kultural yang lebih dikenal
sebagai rumah (ber)tangga (Budiman 2006)
Dikotomi nature versus culture, atau domestik versus publik,
atau produksi versus reproduksi dalam gatra rumah(ber)tangga,
merujuk pada Ortner dan Whitehead (1981), muncul dari perspektif
sosiologis bahwa ada ruang-ruang yang didominasi (atau setidaknya
secara dominan diasosiasikan) oleh laki-laki dan ada ruang-ruang
yang didominasi (atau setidaknya secara dominan diasosiasikan) oleh
perempuan, dan untuk alasan itu maka ruang-ruang tersebut secara
kultural dianggap memiliki nilai yang berbeda. Hipotesisnya
sederhana: bahwa dikotomi ini muncul pada asosiasi simbol pada nilai
yang dianggap lebih rendah, dalam hal ini nature, ketimbang nilai
yang dianggap lebih tinggi, dalam hal ini culture, dan bahwa asosiasi
simbolik ini menjadi awal devaluasi universal atas posisi perempuan
versus laki-laki.
Persoalan dikotomi ini seringkali dianggap penting pada
dikotominya, bukan pada landasan dari terbentuknya dikotomi itu

sendiri. Jika kita membaca buku Nature, Culture and Gender
(McCormack dan Strathern 1980) misalnya, kita bisa melihat bahwa
persoalan dikotomi itu sendiri tidak mutlak universal. Dikotomi privat
versus publik misalnya, bagaimana kita menjelaskan fenomena sosial
menguasaan perempuan atas perdagangan di pasar-pasar tradisional
Jawa (lihat Alexander 1999, Newberry 2013)? Apakah kita
mengatakan bahwa penguasaan pasar di Jawa oleh perempuan
adalah persoalan privat versus publik? Ataukah kita mengatakan
bahwa pasar adalah ruang yang egaliter yang memberikan ruang
bagi perempuan? Jika kita mengatakan bahwa pasar adalah ruang
egaliter. Jika pasar dikatakan sebagai ruang egaliter bagi kedua
gender, bagaimana kita bertahan pada dikotomi yang sangat kental
perspektif struktural yang meniadakan adanya ruang lain? Di sisi
inilah para pengkaji gender lagi-lagi secara serampangan
mengambilalih konsep dikotomi untuk menjelaskan fenomena sosial
yang ingin dicermati.

5

Jebakan lainnya terletak pada keengganan untuk mengakui
bahwa isi kepala peneliti dipengaruhi perspektif Parsonian. Ada dua
persoalan. Pertama, ada kecenderungan para pengkaji gender sangat
mahir dalam teori, utamanya dalam menjelaskan dikotomi-dikotomi
ini namun mengabaikan bagaimana persinggungan dalam teori
terhadap dikotomi-dikotomi itu sendiri. Kedua, ada kecenderungan
untuk berusaha sebaik yang dia bisa, untuk membuktikan adanya
dikotomi-dikotomi itu sendiri. Alih-alih menjelaskan bagaimana gender
berperan dalam kehidupan, banyak di antara pengkaji yang terlalu
asik, untuk tidak mengatakan terjebak dalam romantisme kajian
gender, dan bicara mengenai dikotomi, seakan tidak ada hal lain yang
lebih krusial ketimbang dikotomi itu sendiri. Barangkali gejalanya
lebih parah, bahwa untuk membuktikan bahwa dikotomi itu benar ada
dan universal, para pengkaji tanpa sadar melakukan seleksi, terjebak
para scoptoma, kondisi di mana mata kita melihat apa yang ingin kita
lihat. Tanpa disadari, semangat untuk melihat dikotomi dan
menjelaskannya sesuai dengan teori menjadikan realitas sebagai
sasaran tembak, yang sayangnya tembakannya amat membabi-buta.
Saya tidak mengatakan bahwa dikotomi-dikotomi semacam itu
tidak penting sebagai pisau analisis, namun menjadi sangat penting
untuk memahami bagaimana dikotomi-dikotomi ini, sebagai konsep,
muncul, berkembang, dan saling bersinggungan dalam suatu realitas
sosial. Persoalannya, barangkali karena para pengkaji gender ini
sudah terlalu mahir, atau mungkin saja dikejar tenggat waktu,
sehingga seringkali melewatkan hal-hal kecil, sesuatu yang dianggap
remeh, yang justru amat penting. Atau barangkali pula, karena teori
terlalu didewakan, sehingga para pengkaji gender memaknai teori
sebagai pisau segala macam. Dengan pisau itulah kita membuat
irisan gender binari menjadi jelas, sejelas langit tanpa awan di siang
yang kering kerontang.
Akui sajalah, anda itu homo atau hetero? Asli apa palsu?
Sebagaimana telah saya jelaskan bahwa para pengkaji gender
terlanjur memahami dikotomi nature versus culture, privat versus
publik, dan produksi versus reproduksi itu menyiratkan satu hal:
bahwa dikotomi ini hanya dapat dipergunakan bagi dua gender.
Karena sejak awal sudah bicara dengan kaca mata kuda tentang
dikotomi, maka para pengkaji gender mengabaikan satu fakta
mendasar, bahwa gender adalah konstruksi sosial dengan fluiditas
tinggi. Maka menarik untuk dipertanyakan, bagaimana dengan orangorang yang tidak masuk ke dalam dua kotak gender tersebut? Jika
kita mengasumsikan, meminjam istilah Dede Oetomo (2010), bahwa
ada kotak-kotak yang dipergunakan untuk membagi setiap orang di
bumi berdasarkan gender, maka akan selalu ada orang-orang yang
terpaksa memilih atau dipaksa memilih untuk masuk ke dalam kotak
tersebut, meski kotak tersebut sama sekali tidak sesuai dan akurat. Di
6

sinilah letak masalahnya, bahwa salah satu efek paling serius dari
otak kotak-kotak adalah keinginan yang begitu kuat untuk membagi
manusia ke dalam dua kutub ekstrem: hetero atau homo dan asli atau
palsu.
Pemahaman orientasi seksual adalah oposisi binari lain yang
muncul karena pemahaman bahwa segala sesuatu itu berbeda satu
sama lain. Berbeda itu hetero, maka sangat logis jika pemahaman
atas gender yang serampangan mendorong pemahaman atas
heteronormativitas (lihat Wiegman 2007). Lalu apa hubungan antara
gender dan heteronormativitas? Rasanya amat jelas, bahwa gender
adalah efek sekaligus alat bagi heteronormativitas. Sebagai alat, hal
itu dapat dilihat bagaimana tubuh dinaturalisasi menjadi dua bagian,
di mana setiap bagiannya memiliki seperangkat aturan (mencakup
segala hal) dan renjana (saya suka kata ini, mencakup emosi, cinta,
hasrat, birahi) yang saling bertaut satu sama lain. Artinya jelas,
bahwa untuk mentaati aturan, menyalurkan hasrat, atau apapun
namanya, hanya dapat dilakukan dalam satu konteks utama: laki-laki
dan perempuan.
Chrys Ingraham (1994) menyebutnya sebagai “heterogender”,
bahwa ada kumpul kebo antara gender dan heteronormativitas.
Konsekuensinya gender adalah alibi dari kekerasan yang didasarkan
pada norma heteroseksual sekaligus menjadi alasan bagi semua
disiplin sosial, mulai dari pembagian kerja berdasarkan seks hingga
pengaturan atas tubuh dan aktivitas seksual itu sendiri (lihat Foucault
1978, Brooks 2006, Swenson 2010). Dengan kata lain, bahwa
pemahaman atas konsepsi yang gender yang rigid, alih-alih
membebaskan, justru membelenggu semua orang, termasuk di sini
adalah pada orientasi seksual.
Dalam konsepsi yang rigid ini, setiap orang harus masuk ke
dalam satu kotak, entah itu heteroseksual atau homoseksual, dan
karena gender telah berselingkuh dengan heteronormativitas, maka
satu-satunya jalan keselamatan adalah heteroseks. Di sisi lain, ada
asumsi yang amat brutal yang mengandaikan kepunahan manusia
sebagai spesies jika semua manusia adalah homoseksual (barangkali
si pelontar asumsi ini lupa, kalau manusia sangat mahir dalam urusan
beranak-pinak), asumsi ini bahkan diperparah dengan anggapan
bahwa homoseksual adalah “produk impor” dari “barat” (itupun kalau
kita bisa bersepakat dengan terma barat atau timur itu sendiri yang
seringkali menyesatkan). Tentu saja menarik untuk dipertanyakan,
apakah seseorang itu benar-benar heteroseks atau benar-benar
homoseks sepanjang hidupnya? Atau dengan kata lain, apakah
seseorang itu 100 persen hetero atau 100 persen homo? Saya
meragukan jika para pengkaji gender, yang amat saya hormati,
pernah secara serius berpikir soal itu. Alih-alih berpikir, dengan
serampangan para pengkaji gender kemudian memaksa seseorang

7

untuk “mengakui dosa” sebagai heteroseks atau homoseks sepanjang
hidup mereka.
Persoalan orientasi seksual ini menarik sebab variasinya nyaris
tanpa batas. Jika seorang laki-laki, taat beragama, sudah menikah
dengan perempuan, memiliki anak, dan pada suatu masa dalam
hidupnya ia kemudian melakukan aktivitas seksual dengan laki-laki
lain, dan secara sadar laki-laki tersebut menikmatinya, maka dalam
kotak apa laki-laki tersebut akan dimasukkan? Apakah akan
dimasukkan ke dalam kotak heteroseks, karena toh si laki-laki sudah
menikah dan punya anak pula; ataukah dia akan dimasukkan ke
dalam kotak homoseks, karena toh dia menikmati aktivitas seksual
tersebut; atau barangkali dia ditempatkan di kotak biseksual? Jika
laki-laki tersebut dimasukkan ke dalam kotak biseksual, tidakkah itu
akan semakin membingungkan, sebab jika kita memahami gender
secara rigid, yang kemudian berimbas pada pemahaman kita atas
orientasi yang kaku, maka kotak biseksual adalah sesat pikir.
Bagaimana mungkin ada kotak dalam wilayah abu-abu dalam satu
konstruksi pemikiran yang menginginkan segala sesuatu berwarna
hitam-putih?
Konsekuensi yang tidak kalah berbahaya, dari pemikiran gender
yang rigid adalah pada kesimpulan bahwa hanya ada dua gender:
laki-laki dan perempuan (atau sebaliknya, sama saja). Kita perlu
melihat adanya gender lain di luar dua gender arus utama, apa yang
seringkali disebut sebagai “gender ketiga”. Meskipun sebetulnya saya
tidak setuju dengan istilah “gender ketiga”, karena secara tersirat
akan mendorong pertanyaan apa atau siapa yang kita letakkan
sebagai gender pertama dan gender kedua. Terma “gender ketiga”
sesungguhnya lebih banyak digaungkan oleh para sahabat yang
bergerak di isu LGBT dengan penekanan dasar pada transeksual.
Secara sederhana, kehadiran gender ketiga adalah perlawanan atas
mindset masyarakat Indonesia yang sangat heteronormatif dengan
landasan oposisi binari yang kuat, yang celakanya seringkali
dilandaskan pada persoalan determinisme biologis.
Dengan landasan determinisme biologis kita meletakkan
kerangka sosio kultural yang kemudian beralih pada persoalan politik
dan administratif. Dalam kerangka inilah terma gender ketiga muncul
dan mempertanyakan kembali asumsi kita tentang makna dari
gender itu sendiri. Di sisi ini, saya sepenuhnya setuju dengan temanteman di LGBT, bahwa ada persoalan mendasar mengenai
keberadaan transgender sebagai gender ketiga. Secara konseptual,
transgender belum menarik perhatian serius dari para pengkaji
gender, sebab seringkali terjadi kesalahpahaman bahwa istilah
transgender secara identik sama dengan operasi kelamin. Saya setuju
dengan teman-teman transeksual, bahwa istilah operasi kelamin
keliru dipahami, bahkan oleh para pengkaji gender. Istilah yang lebih
tepat adalah “penyesuaian kelamin”.

8

Persoalannya adalah, terma penyesuaian kelamin pun
bermasalah, setidaknya bagi saya. Teman-teman transgender keliru
ketika menjelaskan bahwa transgender adalah kondisi di mana
seseorang memiliki “identitas gender” yang berlawanan dengan
“tubuh biologisnya”. Dengan mengatakan bahwa transgender adalah
orang yang menghayati dirinya dalam gender lain yang berbeda
sepenuhnya dengan seks biologisnya, maka sesungguhnya temanteman transgender tanpa sadar (atau mungkin sadar tapi tidak
mempunyai pilihan lain) mempergunakan determinisme biologis
sebagai sumber justifikasinya. Dengan demikian, transgender tidak
memerdekakan diri mereka sendiri, sebab mereka masih terikat pada
satu determinisme biologis.
Selain transgender, ada pula interseks, yakni seseorang yang
dilahirkan dengan dua kelamin atau ambigous genitalia. Secara
sederhana, jika transgender muncul dalam “kondisi psikis”, maka
interseks adalah “kondisi medis”. Di sisi berbeda, tidak semua
transgender ataupun interseks kemudian memilih untuk menjadi
transeksual. Dalam hal ini mereka yang memilih untuk menjadi
transeksual dikatakan sebagai orang yang mengalami gender
dysphoria, atau kondisi tidak nyaman bahkan hingga tindakan
membenci tubuhnya karena tidak sejalan dengan identitas
gendernya. Banyak kasus di antara transgender seperti streess,
depresi, hingga percobaan bunuh diri karena gender dysphoria ini.
Persoalan gender ketiga ini menarik untuk dicermati, bukan
hanya karena secara sosiokultural sesungguhnya kita sudah sangat
familiar dengan teman-teman transgender, dalam hal ini waria
(meskipun sering muncul kesalahpahaman bahwa waria identik
dengan pekerja seks komersial), melainkan juga pada ambiguitas
yang inheren ada pada transgender secara konseptual. Di satu sisi,
terma gender ketiga merupakan perlawanan atas hegemoni (jika kita
menyebutnya sebagai hegemoni) heteronormativitas dan oposisi
binari, di sisi lain, untuk menjelaskan justifikasinya, gender ketiga
masih tersandera pada konsep identitas gender bias. Maka menjadi
persoalan serius, apakah transgender harus selalu dikaitkan pada
persoalan identitas gender versus determinisme biologis? Apakah
pemahaman determinisme biologis itu tertanam atau ditanamkan?
Saya tidak bermasalah sama sekali jika pemahaman atas
determinisme biologis “tertanam”, sebab bagi saya pemahaman itu
muncul dalam dirinya sendiri. Si individu lah yang merasa bahwa
dirinya tidak sesuai dengan tubuhnya. Persoalannya adalah,
bagaimana jika pemahaman itu ditanamkan? Bahwa individu atas
dorongan di luar tubuhnya mulai bertanya mengenai friksi antara diri
dan tubuhnya. Persoalannya menjadi lebih pelik manakala kita,
sebagai pengkaji gender, turut pula membentuk pemahaman itu. Para
pengkaji gender meletakkan satu kata kunci utama dalam
menjelaskan friksi tersebut: identitas gender, dan celakanya justru

9

memberikan justifikasi bahwa terjadi ketidaksesuaian antara tubuh
biologis dengan identitas gender.
Menyoal identitas di tengah air keruh diskursus gender
Saya senang sekali dengan analog Dede Oetomo soal kotakkotak. Setelah membaca kusutnya pikiran saya, dan sebelum saya
menutup coretan saya, ada dua pertanyaan yang harus dijawab:
Pertama, mengapa saya harus masuk ke dalam kotak? Kedua, jika
saya tidak memilih, mengapa ada yang begitu repotnya memaksa
saya untuk masuk ke dalam satu kotak yang – mungkin saja – bukan
kotak pilihan saya? Masing-masing pertanyaan memiliki konsekuensi
sendiri.
Pertanyaan pertama memiliki mengasumsikan bahwa setiap
manusia, termasuk saya dan anda, memiliki kebebasan untuk
memilih kotak, dan dengan alasan kebebasan itu pula saya dapat
masuk ke satu kotak dan keluar dari kotak tersebut (apapun motifnya)
untuk beralih ke kotak lain. Tidak ada paksaan, sebab kata mengapa
merujuk pada kepentingan pribadi. Bahwa pilihan untuk masuk atau
keluar dari satu kotak adalah mutlak keputusan individu tanpa ada
kaitan maupun intervensi oleh pihak lain. Bagaimana jika saya
menolak untuk masuk ke kotak manapun? Jika perspektifnya disetujui,
maka tidak ada masalah sama sekali – paling mungkin saya ditanya
apakah saya manusia atau bukan.
Pertanyaan pertama mengisyaratkan bahwa identitas adalah
sesuatu yang cair, sesuatu yang dimunculkan oleh seseorang dalam
satu konteks ruang dan waktu tertentu, termasuk dalam cakupan itu
adalah identitas gender. Saya misalnya, dalam konteks apa saya
mempergunakan identitas saya sebagai laki-laki, muslim, lulusan
pesantren? Apakah konteks yang sama memunculkan identitas saya
sebagai laki-laki, terpelajar (maaf kalau anda mual-mual), dan ketua
pusat kajian (UI pula)? Jelas tidak. Identitas bukanlah selembar kertas
bernama KTP yang sejak awal ditulis sampai saya mati tidak akan
berubah (memang bisa berubah dengan sedikit pelicin). Fluiditas itu
menciptakan politik identitas, bahwa identitas adalah sesuatu yang
politis, sesuatu yang muncul atau tidak sesuai situasi di mana
identitas tersebut dimunculkan.
Pertanyaan kedua adalah persoalan serius. Dalam konteks
kultural misalnya, ketika heteronormativitas berselingkuh dengan
gender memunculkan satu pertanyaan abadi yang mengganggu
semua manusia yang belum menikah: “Kapan kawin?”, atau “Anak
perempuan jangan keseringan main sama laki-laki, nanti sulit dapat
jodoh”, atau apapun, variasinya nyaris tanpa batas. Dalam hal ini,
adalah politik kebudayaan yang mendorong heteronormativitas,
dengan segala macam persuasi bahkan hingga ancaman (mulai dari
hal-hal berbau magis sampai ancaman pencoretan dari daftar ahli
10

waris). Bagi saya, hal ini dapat dipahami dengan mudah, bahkan
dimaafkan.
Namun ada satu hal yang amat menggangu saya, bagaimana
jika paksaan untuk memilih itu datang dalam konteks penelitian?
Bahwa paksaan itu justru muncul dari para akademisi maupun aktivis
(saya enggan membedakan dua entitas ini yang seringkali
dibenturkan tanpa alasan yang logis). Disadari atau tidak, para
pengkaji gender, dengan basis keilmuan sebagai justifikasi yang
justru mendorong – untuk tidak mengatakan menjerumuskan –
seseorang (terserahlah anda sebut itu responden atau informan)
untuk masuk ke dalam satu kotak hanya untuk alasan memudahkan
analisis. Bagi saya, sebuah kesesatan bahkan pengkhianatan, jika
dengan basis teori keilmuan, alih-alih membebaskan, namun justru
menjerumuskan dan menghakimi.
Tentu saja ini masalah pribadi saya, bahwa saya seringkali
kecewa membaca berbagai hasil penelitian, utamanya ketika bicara
mengenai identitas gender, yang justru menjadi justifikasi untuk
menghakimi. Penghakiman massal yang justru didorong oleh hasil
penelitian yang sesat pikir adalah dosa besar yang menghasilkan
bayangan panjang di masa yang akan datang. Bagaimana mungkin
para pengkaji gender, yang memahami betul bahwa persoalan gender
dan identitas gender tidak dapat dilepaskan dari banyak irisan (sosio,
kultural, ekonomi, politik, dll), kemudian tiba pada satu kesimpulan
bahwa gender adalah sesuatu yang rigid, beku, kaku, nyaris bebas
dari perubahan?
Di sisi yang berbeda, ada satu dosa lain yang seringkali
dilupakan, bahkan oleh mereka yang dibesarkan dalam tradisi ilmu
sosial: bahwa para subjek adalah manusia. Di titik inilah saya setuju
dengan kritik Lila Abu-Lughod (1993), bahwa kecenderungan untuk
melakukan penelitian terhadap manusia, alih-alih menjadikan
manusia sebagai manusia, justru menjadikan manusia sebagai robot.
Lihatlah berbagai hasil penelitian yang kering emosi. Bahwa gender
adalah konstruksi, iya benar. Namun keliru jika memandang bahwa
manusia adalah subjek pasif atas konstruksi tersebut. Dalam
persoalan identitas gender misalnya, banyak kajian hanya berfokus
pada bagaimana identitas tersebut dikonstruksikan, bukan dimainkan.
Dengan berfokus pada konstruksi, memang hal itu akan membongkar
persoalan sosio-kultural, namun justru menjadikan manusia sebagai
robot yang bergerak sesuai dengan perintah sistem. Bahwa manusia
adalah manusia, yang dapat menginterpretasikan kehidupannya
sendiri merupakan persoalan yang terabaikan, dan disinilah letak
kritik saya. Bahwa banyak di antara pengkaji gender, barangkali
termasuk saya, gagal memahami bahwa diskursus gender tidak
seterang siang, yang berimplikasi pada simplifikasi identitas gender –
terlebih jika hanya untuk kepentingan analisis semata – adalah
sesuatu yang patut disayangkan, disesali, bahkan mungkin dikutuk.

11

Daftar Pustaka
Abu-Lughod, L. 1993. Writing Women’s World, Bedouin Stories.
Berkeley and Los Angeles: University of California Press
Alexander, J. 1999. “Wanita Pengusaha di Pasar-pasar Jawa: Etnisitas,
Gender, dan Semangat Kewirausahaan”, dalam R.W. Hefner (ed.)
Budaya Pasar: Masyarakat dan Moralitas dalam Kapitalisme Asia
Baru. Jakarta: LP3ES
Brooks, A. 2006. Gendered Works in Asian Cities, The New Economy
and Changing Labour Markets. Hampshire: Ashgate
Budiman, Kris. 2006. “Perempuan di rumah-(ber)tangga”, dalam I.
Abdullah (ed.) Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Foucault, M. 1978. Discipline and Punish: The Birth of the Prison. New
York: Vintage
Harris, O. dan K. Young. 1981. “Engendered Structures: Some
Problems in the Analysis of Reproduction”, dalam J.S. Kahn dan J.R.
Llobera (eds.) The Anthropology of Precapitalist Societies. New
Jersey: Atlantic Highland
Ingraham, C. 1994. “The Heterosexual Imaginary: Feminist Sociology
and Theories of Gender”, Sociological Theory 12(2):203-219.
McCormack, C. dan M. Strathern (eds.). 1980. Nature, Culture, and
Gender. Cambridge: Cambridge
Newberry, J. 2013. Back Door Java: Negara, Rumah Tangga, dan
Kampung di Keluarga Jawa. Jakarta: KITLV dan Yayasan Obor
Indonesia
Oetomo, D. 2010. “Di luar kotak? Di antara kotak? Tanpa kotak? Kotak
baru?: Refleksi tentang keanekaragaman gender dan seksual”,
Jurnal Gandrung 1(2):7-16
Ortner, S.B. 1974. “Is Female to Male as Nature Is to Culture?”, dalam
M.Z. Rosaldo dan L. Lamphere (eds.) Woman, Culture, and Society.
California: Stanford
Rosaldo, M.Z. 1974. “Woman, Culture, and Society: A Theoritical
Overview”, dalam M.Z. Rosaldo dan L. Lamphere (eds.) Woman,
Culture, and Society. California: Stanford
Scheider, D.M. 1984. A Critique of the Study of Kinship. Ann Arbor:
University of Michigan Press
Sen, K. 1998. “Indonesian women at work: reframing the subject”,
dalam K. Sen dan M. Stivens (eds.) Gender and Power in Affluent
Asia. London and New York: Routledge
Shapiro, J. 1981. “Anthropology and the Study of Gender”, Sondings:
An Interdisciplinary Journal 64(4):446-465
12

Swenson, K.A. 2010. “Productive Bodies: Women, Work, and
Depression”, dalam L. Reed and P. Saukko (eds.) Governing the
Female Body: Gender, Health, and Networks of Power. New York:
Suny
Turner, B.S. 1984. The Body and Society. Oxford: Basil Blackwell
Wiegman, R. 2007. “The Desire for Gender”, dalam G.E. Haggerty dan
M. McGarry (eds.) A Companion to Lesbian, Gay, Bisexual,
Transgender, and Queer Studies. Malden: Blackwell
Wiesner-Hanks, M.E. 2004. “Structure and Meanings in a Gendered
Family History”, dalam T.A. Meade dan M.E. Wiesner-Hanks (eds.)
A Companion to Gender History. Malden: Blackwell
Yanagisako, S.J. dan J.F. Collier. 2004. “Towards a Unified Analysis of
Gender and Kinship”, dalam R. Parkin dan L. Stone (eds.) Kinship
and Family, An Anthtropological Reader. Malden: Blackwell

13